Anda di halaman 1dari 3

Landfill Gas, Pencegah Krisis Energi di Indonesia

Indonesia adalah negara dengan populasi penduduk terbesar keempat di


dunia, dengan total jumlah penduduk sebesar 253.609.643 jiwa. Dengan jumlah
penduduk sebanyak itu, konsumerisme terhadap pemenuhan kebutuhan hidup
masyarakat Indonesia sangat besar. Hal ini berujung pada residu yang sangat
masif dari konsumerisme tersebut, yaitu dalam bentuk sampah.
Sampah yang terkumpul dari masyarakat ini akan dikumpulkan dan
dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) atau landfill. Di Indonesia, ada
sekitar 438 TPA yang tersebar di seluruh Indonesia. TPA mungkin dapat menjadi
solusi bagi masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan di sekitarnya.
Namun, TPA juga mempunyai banyak kekurangan yang berdampak pada
kerusakan lingkungan pula. Salah satunya adalah pelepasan gas rumah kaca.
Gas rumah kaca diproduksi dari penguraian zat organik oleh bakteri
anaerob di dalam timbunan sampah sehingga menghasilkan gas metana (CH 4).
Akibat dari perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar timbunan sampah,
maka gas metana mencari jalan keluar yang pada akhirnya menuju ke udara
bebas. Gas metana inilah yang disebut sebagai gas rumah kaca karena daya
rusak nya terhadap ozon 21 kali lipat melebihi daya rusak gas CO 2.
Selain merusak ozon, bahaya dari gas metana yang dihasilkan oleh landfill
adalah sifatnya yang flammable dan explosive. Dampak dari bahaya kedua sifat
gas metana ini terjadi pada tahun 2005 silam, tepatnya di TPA Leuwigajah,
Cimahi, Jawa Barat. Hujan lebat selama 3 hari berturut- turut menyebabkan
tumpukan sampah di TPA memadat, sehingga gas metana yang tertimbun
termampatkan. Pada suatu saat, suhu lingkungan yang panas akibat penyinaran
sinar matahari mengakibatkan suhu landfill menjadi panas dan gas metana di
dalamnya meledak karena auto ignition. Akibatnya, timbunan sampah
berhamburan ke atas dan terjadi longsor sampah sekitar 2.7 juta meter kubik
menuju pemukiman warga sekitar yang mengakibatkan 156 warga tewas.
Menanggulangi hal tersebut, Pemkot Bandung menerapkan Darurat Sampah,
suatu kondisi darurat yang terdengar aneh namun berdampak sangat serius
pada saat itu.
Mengacu kepada pernyataan di atas, sepertinya gas metana (landfill gas)
menjadi masalah serius yang dihadapi oleh TPA. Namun, di satu sisi landfill gas
ini dapat menjadi komoditas tersendiri karena dapat digunakan sebagai sumber
energi alternatif. Pertanyaan nya adalah, Apakah landfill gas ini dapat mengatasi
kebutuhan energi di Indonesia sehingga krisis energi terhindari?
Mengintip Potensi Landfill Gas
Pemanfaatan gas metana dari landfill bukanlah hal yang baru. Hal ini
terbukti dengan perkembangan studi mengenai produksi landfill gas dan
beberapa negara sudah menerapkan landfill sebagai pabrik penghasil gas
metana seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan. Khusus di Indonesia, produksi
landfill gas baru diterapkan di satu TPA saja, yaitu di TPA Bantar Gebang, Bekasi.
TPA ini menghasilkan gas metana yang kemudian dimanfaatkan sebagai sumber
energi penghasil listrik dengan kapasitas 5-10 MW/Jam.
Apabila setiap TPA mengolah gas metana hasil peruraian bakteri anaerob
dari total 438 TPA yang tersebar di seluruh Indonesia, landfill gas akan menjadi
sumber energi alternatif yang sangat besar potensinya untuk dikembangkan.

Landfill gas yang dihasilkan tidak hanya dapat digunakan sebagai sumber energi
pembangkit listrik, namun juga dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif
yang menguntungkan dari segi kualitatif. Secara kualitatif, nilai kalor dari 1 m 3
landfill gas setara dengan 6000 Watt/Jam yang juga setara dengan setengah liter
bensin dan setara dengan 0,42 kg LPG yang berbahan dasar Propana (C 3H8) dan
Butana (C4H10).

Jika dilihat dari aspek pembangunan berkelanjutan (sustainable


development), landfill gas adalah sumber energi terbarukan (renewable energy),
dimana bahan baku nya adalah sampah organik dan jumlahnya sangat
berlimpah. Selain itu, penggunaan landfill gas juga berkontribusi terhadap
lingkungan dengan cara mengurangi efek gas rumah kaca hasil penimbunan di
TPA. Dari segi ekonomis, nilai jual landfill gas dapat bersaing dengan sumber
energi lainnya yang non-renewable. Masyarakat Indonesia juga akan merasakan
keuntungan dari penggunaan landfill gas ini seperti terpenuhinya sumber bahan
bakar dan pasokan listrik apabila landfill gas dimanfaatkan sebagai sumber
energi pembangkit listrik sehingga pemadaman listrik dapat terhindari.
Proses Sintesis Landfill Gas
Tahapan pertama sebelum sintesis landfill gas adalah pembuatan reaktor.
Reaktor dibangun dengan cara membuat lubang dengan ukuran 20x100 meter
dengan kedalaman tertentu. Lubang ini nantinya digunakan untuk penimbunan
sampah. Pada lubang yang telah dibuat, selanjutnya dipasang sistem pemipaan
yang berfungsi untuk mengalirkan gas metana hasil sintesis.
Setelah reaktor landfill gas dibuat, sampah ditimbun ke dalam lubang
dengan volume tertentu. Timbunan sampah kemudian ditambahkan dengan
paket mikroba pengurai yang nantinya akan memroses kandungan organik
dalam sampah melalui beberapa tahapan proses yang terjadi secara alamiah
dan menghasilkan landfill gas.
Tahapan berikutnya adalah pemasangan selimut berupa plastik hitam di
atas timbunan sampah. Hal ini bertujuan agar landfill gas tidak lepas ke udara.
Landfill gas yang dihasilkan kemudian dialirkan ke dalam sistem kondensasi
untuk memisahkan gas metana dan air. Agar landfill gas dapat dipakai di
peralatan, maka kandungan sulfur berupa hidrogen sulfida (H 2S) harus
dihilangkan dengan mengalirkan nya ke unit pemurnian. Landfill gas yang telah
dipisahkan dari kandungan air dan sulfurnya kemudian dialirkan ke ruang power
house untuk dijadikan sumber energi penghasil listrik atau dapat disimpan ke
dalam storage tank untuk pemanfaatan yang lain.
Proses sintesis landfill gas ini mempunyai beberapa hambatan. Dari segi
produksi, energi yang dihasilkan landfill gas per harinya masih tergantung oleh
iklim dan cuaca sekitar. Sebagai contoh pada TPA Bantar Gebang, Bekasi. Pada
musim kemarau, energi yang dihasilkan dapat mencapai 10 MW/Jam. Namun,
pada musim penghujan, energi yang dihasilkan hanya sebesar 5 MW/Jam.
Sedangkan dari segi infrastruktur, penggunaan TPA di Indonesia masih belum
maksimal. Tercatat dari 438 TPA yang ada di Indonesia, hanya 10 persen saja
yang beroperasi secara maksimal (Kementrian Lingkungan Hidup, 2014). Hal ini
akan menghambat produksi landfill gas sehingga hasil yang diperoleh tidak
maksimal pula. Maka dari itu, perlu peran aktif pemerintah dan masyarakat
Indonesia dalam pengembangan produksi landfill gas agar hasil yang diperoleh
menjadi maksimal.

Sasaran Kebijakan Energi Nasional


Pada tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan
Kepres no. 5/2006 tentang kebijakan energi nasional, dimana sasaran dari
kebijakan energi nasional ini adalah terwujudnya energy mix yang optimal pada
tahun 2025. Salah satu poin penjabaran energy mix
tersebut adalah
penggunaan gas alam yang bertambah menjadi lebih dari 30 persen.
Mengacu pada kondisi saat ini, penggunaan gas alam sebagai sumber
energi di Indonesia masih 26.5 persen, kedua terbanyak setelah minyak bumi
dengan penggunaan sebesar 54.4 persen dari total sumber energi yang
digunakan di Indonesia. Apabila pemerintah melihat dan mengembangkan
potensi dari landfill gas yang merupakan gas alam yang dihasilkan di TPA di
Indonesia, bukan tidak mungkin sasaran tersebut dapat terwujud.
Potensi landfill gas di TPA di seluruh Indonesia sebagai sumber energi
alternatif sangat besar. Harapannya, pemerintah benar-benar serius dalam
mengembangkan potensi landfill gas yang ada sehingga krisis energi yang akan
melanda Indonesia dapat terantisipasi.

Anda mungkin juga menyukai