PENDAHULUAN
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan
luar yang mengganggu. (1)
Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis, penyakit ini bervariasi
mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat
dengan sekret purulen. (1) Konjungtivitis umumnya disebabkan oleh reaksi alergi,
infeksi bakteri dan virus, serta dapat bersifat akut atau menahun.
(2)
Penelitian
yang dilakukan di Belanda menunjukkan penyakit ini tidak hanya mengenai satu
mata saja, tetapi bisa mengenai kedua mata, dengan rasio 2,96 pada satu mata dan
14,99 pada kedua mata. (3)
Konjungtivitis dapat dijumpai di seluruh dunia, pada berbagai ras, usia,
jenis kelamin dan strata sosial. Walaupun tidak ada data yang akurat mengenai
insidensi konjungtivitis, penyakit ini diestimasi sebagai salah satu penyakit mata
yang paling umum.
(3)
Amerika Serikat, 30% adalah keluhan konjungtivitis akibat bakteri dan virus, dan
15% adalah keluhan konjungtivitis alergi. Konjungtivitis juga diestimasi sebagai
salah satu penyakit mata yang paling umum di Nigeria bagian timur, dengan
insidensi 32,9% dari 949 kunjungan di departemen mata Aba Metropolis, Nigeria,
pada tahun 2004 hingga 2006. (4)
Pada konjungtivitis bakteri, patogen yang umum adalah Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan Neisseria
meningitidis. Penelitian yang dilakukan di Filadelfia menunjukkan insidensi
konjungtivitis bakteri sebesar 54% dari semua kasus di departemen mata pada
tahun 2005 hingga 2006. Penelitian di Kentucky pada tahun 1997 hingga 1998
menunjukkan pada 250 kasus konjungtivitis bakteri, 70% disebabkan oleh infeksi
Haemophilus influenzae. (3)
Patogen umum pada konjungtivitis virus adalah herpes simpleks virus tipe 1
dan 2, Varicella zoster, pox virus dan Human Immunodeficiency Virus. (1) Data
statistik yang akurat mengenai frekuensi penyakit ini tidak tersedia karena banyak
kasus konjungtivitis virus yang tidak mencari pertolongan medis.
(4)
Insidensi
tertentu. Walaupun
data mengenai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Struktur Anatomi dari Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan
dalam dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan
dari bola mata, kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Membran ini
berisi banyak pembuluh darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi. (2)
Konjungtiva terdiri dari tiga bagian: (2)
1
konjungtiva sesungguhnya.
Tarsal konjungtiva bersifat tipis, transparan, dan sangat vaskuler.
Menempel ketat pada seluruh tarsal plate pada kelopak mata atas. Pada
kelopak mata bawah, hanya menempel setengah lebar tarsus. Kelenjar
a.
Lapisan adenoid disebut dengan lapisan limfoid dan terdiri dari jaringan ikat
retikulum yang terkait satu sama lain dan terdapat limfosit diantaranya.
Lapisan ini paling berkembang di forniks. Tidak terdapat mulai dari lahir
tetapu berkembang setelah 3-4 bulan pertama kehidupan. Untuk alasan ini,
inflamasi konjungtiva pada bayi baru lahir tidak memperlihatkan reaksi
folikuler.
b.
Lapisan fibrosa Terdiri dari jaringan fiber elastik dan kolagen. Lebih tebal
daripada lapisan adenoid, kecuali di regio konjungtiva tarsal dimana pada
tempat tersebut struktur ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh
darah dan saraf konjungtiva. Bergabung dengan kapsula tenon pada regio
konjungtiva bulbar.
Konjungtiva mempunyai dua macam kelenjar, yaitu: (1)
Kelenjar sekretori musin. Mereka adalah sel goblet (kelenjar uniseluler yang
terletak di dalam epitelium), kripta dari Henle (ada apda tarsal konjungtiva)
dan kelenjar Manz (pada konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini
menseksresi mukus yang mana penting untuk membasahi kornea dan
konjungtiva.
Kelenjar lakrimalis aksesorius, mereka adalah:
a Kelenjar dari Krause (terletak pada jaringan ikat konjungtiva di forniks,
b
2.4 Etiologi
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti: (8)
a. infeksi oleh virus atau bakteri.
b. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang.
c. iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar ultraviolet.
d. pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang.
2.5. Gejala Klinis
Gejala-gejala dari konjungtivitis secara umum antara lain: (1)
1.
darah
superfisial,
sirkuler
atau
Dilatasi perilimbal atau siliar menandakan inflamasi dari kornea atau struktur
yang lebih dalam. Warna yang benar-benar merah menandakan konjungtivitis
bakterial, dan penampakan merah susu menandakan konjungtivitis alergik.
Hiperemia tanpa infiltrasi selular menandakan iritasi dari sebab fisik, seperti
angin, matahari, asap, dan sebagainya, tetapi mungkin juda didapatkan pada
penyakit terkait dengan instabilitas vaskuler (contoh, acne rosacea).
(8)
2.
Discharge (sekret). Berasal dari eksudasi sel-sel radang. Kualitas dan sifat
alamiah eksudat (mukoid, purulen, berair, ropy, atau berdarah) tergantung dari
etiologinya. (6)
3.
4.
5.
6.
7.
gelatin yang dapat mencapai kornea. Papila limbal adalah tanda khas dari
keratokonjungtivitis vernal tapi langka pada keratokonjungtivitis atopik. (10)
8.
9.
toxin
yang
dihasilkan
mikroorganisme.
Phlyctenules
dari
11. Granuloma. Adalah nodus stroma konjungtiva yang meradang dengan area
bulat merah dan terdapat injeksi vaskular. Tanda ini dapat muncul pada
kelainan sistemik seperti tuberkulosis atau sarkoidosis atau mungkin faktor
eksogen seperti granuloma jahitan postoperasi atau granuloma benda asing
lainnya. Granuloma muncul bersamaan dengan bengkaknya nodus limfatikus
preaurikular
dan
submandibular
pada
kelainan
seperti
sindroma
Gambar 17 Granuloma konjungtiva disertai dengan folikel pada sindroma okuloglandular Parinaud. (12)
12. Nodus limfatikus yang membengkak. Sistem limfatik dari regio mata berjalan
menuju nodus limfatikus di preaurikular dan submandibular. Nodus
limfatikus yang membengkak mempunyai arti penting dan seringkali dihadapi
sebagai tanda diagnostik dari konjungtivitis viral. (10)
Perbedaan jenis-jenis konjungtivitis secara umum. (2)
Temuan
Viral
Bakteri
Klamidia
Alergika
Minimal
Generalisata
Minimal
Generalisata
Minimal
Generalisata
Hebat
Generalisa
Klinis
Umum
Gatal
Hiperemi
Mata
Banyak
Sedang
Sedang
ta
Minimal
Berair
Eksudasi
Adenopati
Minimal
Sering
Banyak
Jarang
Banyak
Hanya pada
Minimal
Tidak ada
periaurikul
ar
Pada
konjungtiviti
Monosit
s inklusi
Bakteri, PMN PMN, sel
kerokan
plasma, dan
dan
inklusi
Eosinofil
eksudat
yang
dipulas
Disertai
sakit
demam
Sering Kali
Tak Pernah
Tak
pernah
tenggorok
an
Seringkali
dan
2.6. Klasifikasi
Menurut penyebab terjadinya, konjungtivitis dibagi menjadi beberapa bagian:
(1)
a. Konjungtivitis bakteri.
b. Konjungtivitis klamidia.
c. Konjungtivitis viral.
d. Konjungtivitis ricketsia.
e. Konjungtivitis jamur.
f. Konjungtivitis parasit.
g. Konjungtivitis alergi.
h. Konjungtivitis kimia atau iritatif
2.7 Patofisiologi
Konjungtiva merupakan jaringan ikat longgar yang menutupi permukaan
mata (konjungtiva bulbi), kemudian melipat untuk membentuk bagian dalam
palpebra (konjungtiva palpebra). Konjungtiva melekat erat dengan sklera pada
bagian limbus, dimana konjungtiva berhubungan dengan kornea. Glandula
lakrima aksesori (Kraus dan Wolfring) serta sel Goblet yang terdapat pada
konjungtiva bertanggung jawab untuk mempertahankan lubrikasi mata. Seperti
halnya membran mukosa lain, agen infeksi dapat melekat dan mengalahkan
mekanisme pertahanan normal dan menimbulkan gejala kinis seperti mata merah,
iritasi serta fotofobia. Pada umumnya konjungtivitis merupakan proses yang dapat
menyembuh dengan sendirinya, namun pada beberapa kasus dapat menimbulkan
infeksi dan komplikasi yang berat tergantung daya tahan tubuh dan virulensi virus
tersebut. (12)
2.8 Gejala dan Tanda Klinis
Konjungtivitis folikuler virus akut dapat muncul sebagai gejala yang ringan
dan sembuh sendiri hingga gejala berat yang menimbulkan kecacatan.
a
Demam faringokonjungtival
Tipe ini biasanya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang-kadang tipe
tenggorokan, dan konjungtivitis pada satu atau dua mata. Folikel sering mencolok
pada kedua konjungtiva, dan pada mukosa faring. Penyakit ini dapat terjadi
bilateral atau unilateral. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dapat disertai
keratitis superficial sementara ataupun sedikit kekeruhan di daerah subepitel.
Limfadenopati preaurikuler yang muncul tidak disertai nyeri tekan. Sindrom yang
ditemukan pada pasien mungkin tidak lengkap, hanya terdiri atas satu atau dua
gejala utama (demam, faringitis, dan konjungtivitis). (13)
b
Keratokonjungtivitis epidemika:
Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan oleh adenovirus subgroup D
tipe 8, 19, 29, dan 37. Konjungtivitis yang timbul umumnya bilateral. Awitan
sering pada satu mata kemudian menyebar ke mata yang lain. Mata pertama
biasanya lebih parah. Gejala awal berupa nyeri sedang dan berair mata, diikuti
dalam 5-14 hari kemudian dengan fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan
subepitel bulat. Fase akut ditandai dengan edema palpebra, kemosis, dan
hiperemia konjungtiva. Dalam 24 jam sering muncul folikel dan perdarahan
konjungtiva. Kadang-kadang dapat terbentuk pseudomembran ataupun membran
sejati yang dapat meninggalkan parut datar ataupun symblepharon. Konjungtivitis
berlangsung selama 3-4 minggu. Kekeruhan epitel terjadi di pusat kornea,
menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa disertai parut. (13)
keadaan luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi,
disertai sekret mukoid, dan fotofobia. Konjungtivitis dapat muncul sebagai infeksi
primer HSV atau pada episode kambuh herpes mata. Sering disertai keratitis
herpes simpleks, dengan kornea menampakkan lesi-lesi epitelial tersendiri yang
umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus epithelial yang bercabang
banyak (dendritik). Konjungtivitis yang terjadi umumnya folikuler namun dapat
kadang-kadang oleh virus coxsakie tipe A24. Yang khas pada konjungtivitis tipe
ini adalah masa inkubasi yang pendek (sekitar 8-48 jam) dan berlangsung singkat
(5-7 hari). Gejala dan tandanya adalah rasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing,
banyak mengeluarkan air mata, edema palpebra, dan perdarahan subkonjungtiva.
Kadang-kadang dapat timbul kemosis. Perdarahan subkonjungtiva yang terjadi
umumnya difus, namun dapat diawali oleh bintik-bintik perdarahan. Perdarahan
berawal dari konjungtiva bulbi superior menyebar ke bawah. Pada sebagian besar
kasus, didapatkan limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva, dan keratitis
epithelia. Pada beberapa kasus dapat terjadi uveitis anterior dengan gejala demam,
malaise, dan mialgia. Transmisi terjadi melalui kontak erat dari orang ke orang
melalui media sprei, alat-alat optik yang terkontaminasi, dan air. (13)
e
Konjungtivitis Newcastle
Konjungtivitis Newcastle disebabkan oleh virus Newcastle dengan
gambaran klinis sama dengan demam faring konjungtiva. Penyakit ini biasanya
terdapat pada pekerja peternak unggas yang ditulari virus Newcastle pada unggas.
Umumnya
penyakit
bersifat
unilateral
walaupun
dapat
juga
bilateral.
terutama ditemukan pada konjungtiva tarsal superior dan inferior. Pada kornea
ditemukan keratitis epithelial atau keratitis subepitel. Pembesaran kelenjar getah
bening yang tidak nyeri tekan. (4)
Konjungtivitis virus menahun meliputi:
a
infiltrasi mononuclear dengan lesi berbentuk bulat, berombak, berwarna putihmutiara, dengan daerah pusat yang non radang. Nodul molluscum pada tepian atau
kulit palpebra dan alis mata dapat menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun
unilateral, keratitis superior, dan pannus superior, dan mungkin menyerupai
trachoma. (13)
b
Blefarokonjungtivitis varicella-zoster
Blefarokonjungtivitis varicella-zoster ditandai dengan hiperemia dan
dari varicella dapat terbentuk di bagian tepi ataupun di dalam palpebra sendiri dan
seringkali meninggalkan parut. Sering timbul konjungtivitis eksudatif ringan,
tetapi lesi konjungtiva yang jelas (kecuali pada limbus) sangat jarang terjadi. Lesi
di limbus menyerupai phlyctenula dan dapat melalui tahap-tahap vesikel, papula,
dan ulkus. Kornea di dekatnya mengalami infiltrasi dan bertambah pembuluh
darahnya. (13)
c
Keratokonjungtivitis morbili.
Enantema khas morbili seringkali mendahului erupsi kulit. Pada tahap awal
konjungtiva nampak seperti kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti
pembengkakan lipatan semilunar (tanda Meyer). Beberapa hari sebelum erupsi
kulit timbul konjungtivitis eksudatif dengan sekret mukopurulen. Bersamaaan
dengan munculnya erupsi kulit akan timbul bercak-bercak koplik pada
konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. Keratitis epithelial dapat terjadi
pada anak-anak dan orang tua. (13)
2.9 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Anamnesis yang teliti mengenai keluhan pasien dan riwayat terdahulu
sangat penting dalam menegakkan diagnosis konjungtivitis virus. Pada penyakit
ini, pasien akan mengeluhkan gejala-gejala yang berkaitan dengan proses infeksi
(bengkak, merah, nyeri) dan beberapa hari kemudian akan muncul infiltrasi di
bagian subepitel. Infiltrasi subepitel akan muncul sebagai keputihan di daerah
kornea yang bisa menurunkan visus pasien untuk sementara waktu. Sebagian dari
pasien akan mengalami pembengkakan di daerah kelenjar getah bening di bagian
depan telinga (preaurikula). Dokter bisa menggunakan biomicroscopic slit lamp
untuk melakukan pemeriksaan bagian depan mata. Kadang-kadang, pasien
mengalami pseudo-membrane pada jaringan di bagian bawah kelopak mata pada
konjungtiva. (2)
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan untuk konjungtivitis viral
adalah kultur dengan pemeriksaan sitologi konjungtiva yang dilakukan pada
infeksi yang menahun dan sering mengalami kekambuhan, pada reaksi
konjungtiva yang atipikal, serta terjadi kegagalan respon terhadap pengobatan
Demam faringokonjungtiva
Diagnosis demam faringokonjungtivitis dapat ditegakkan dari tanda klinis
Keratokonjuntivitis epidemika
Virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan dapat diidentifikasi dengan uji
Konjungtivitis herpetik
Pada konjungtivitis virus herpes simplek, jika konjungtivitisnya folikuler,
klinisnya. (2)
Blefarokonjungtivitis morbili
Kerokan konjungtiva menunjukkan rekasi sel mononuclear, kecuali jika ada
pseudomembran atau infeksi sekunder. Sediaan terpulas giemsa menampilkan selsel raksasa. (1)
Sementara itu konjungtivitis virus harus dibedakan dengan konjungtivitis
yang lain dan penyakit mata merah lainnya terkait dengan penatalaksanaannya.
Secara klinis bedasarkan keluhan subyektif dan obyektif perbedaan konjungtivitis
virus dengan konjungtivitis yang lain serta diagnosis mata merah dapat dilihat
pada tabel dibawah ini. (10)
Uveitis
Keratitis
K Bakteri
K. virus
K. alergi
akut
akut
obyektif
Penurunan
+++
+/++
+++
Visus
Nyeri
Fotofobia
Halo
Eksudat
Gatal
Demam
Injeksi
++/+++
+
++
+
++
+++
++
++
+++
-/++
+++
+++
-
++
-/++
-
+
++
-
siliar
Injeksi
++
++
++
+++
++
konjungtiva
Kekeruhan
+++
+/++
-/+
kornea
Kelainan
Midriasis
Miosis
Normal/
pupil
Kedalaman
nonrekatif iregular
Dangkal
N
miosis
N
dan
COA
Tekanan
intraokular
Sekret
Kelenjar
preaurikula
r
Tinggi
Rendah
+
-
+
-
++/+++
-
++
+
+
-
Keterangan:
a
Konjungtivitis Bakterial
Terdapat dua bentuk konjungtivitis bacterial: akut (dan subakut) dan
Penyakit ini, juga dikenal sebagai catarrh musim semi dan konjungtivitis
musiman atau konjungtivitis musim kemarau, adalah penyakit alergi bilateral
yang jarang.
(2)
daerah dingin. Penyakit ini hampir selalu lebih parah selama musim semi, musim
panas dan musim gugur daripada musim gugur. (12)
Tanda dan gejala
Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi mata berserat-serat.
Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi (demam jerami, eczema, dan lainnya).
Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat banyak papilla halus di
konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra superior sering memiliki
papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papilla raksasa berbentuk polygonal,
dengan atap rata, dan mengandung berkas kapiler. (2)
2.10 Komplikasi
Komplikasi dari konjungtivitis viral, antara lain:
Infeksi pada kornea (keratitis) dan apabila tidak ditangani bisa menjadi
ulkus kornea. (2)
2.11 Penatalaksanaan
Konjungtivitis viral biasanya bersifat suportif dan merupakan terapi
simptomatis, belum ada bukti yang menunjukkan keefektifan penggunaan
antiviral. Umumnya mata bisa dibuat lebih nyaman dengan pemberian cairan
pelembab. Kompres dingin pada mata 3 4 x / hari juga dikatakan dapat
membantu kesembuhan pasien. Penggunaan kortikosteroid untuk penatalaksanaan
konjungtivitis viral harus dihindari karena dapat memperburuk infeksi. (7)
Penatalaksanaan berdasarkan klasifikasi dan gejala dari konjungtivitis virus
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Konjungtivitis viral akut
a. Demam faringokonjungtiva
Pengobatan untuk demam faringokonjungtiva hanya bersifat suportif karena
dapat sembuh sendiri diberi kompres, astrigen, lubrikasi, sedangkan pada kasus
yang berat dapat diberikan antibiotik dengan steroid lokal. Pengobatan biasanya
simptomatis dan pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder. (2)
b. Keratokonjungtivitis epidemika
Hingga saat ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan
mengurangi
beberapa
gejala.
Selama
konjungtivitis
akut,
penggunaan
Eksisi, insisi sederhana pada nodul yang memungkinkan darah tepi yang
memasukinya atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitis. Pada kondisi
ini eksisi nodul juga menyembuhkan konjungtivitisnya. (14)
b
10 hari) (14)
c
Keratokonjungtivitis morbili
Tidak ada terapi yang spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang
BAB III
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas pasien
Nama
: Yanti
Umur
: 32 tahun
Alamat
: Aceh Besar
: 1-02-07-69
2.2 Anamnesis
Keluhan utama: Mata merah
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien mengeluhkan kedua matanya merah sejak 3 hari yang lalu. Pasien
juga mengeluhkan kedua matanya sering berair. Pasien tidak merasakan
penglihatan kabur dan juga tidak merasa silau terhadap cahaya. Pasien juga tidak
merasa nyeri pada kedua matanya. Riwayat trauma dan alergi disangkal.
Riwayat penyakit dahulu:
Pasien belum pernah mengalami sakit yang sama. Tidak ada riwayat
pemakaian kacamata. Riwayat hipertensi dan DM disangkal.
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama. Terdapat riwayat keluarga
dengan kacamata. Riwayat hipertensi dan DM di keluarga disangkal.
Riwayat pengobatan:
Pasien belum pernah berobat
Riwayat kebiasaan:
Pasien tidak merokok. Pola makan teratur dan seimbang.
: baik
Kesadaran
: compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 84 x/ menit
Suhu
: 37 C
RR
: 16x/ menit
OD
5/5
Normal
Ortoforia
Normal kesegala arah
Dalam batas normal
Injeksi konjungtiva (+),
injeksi siliar (-),
chemosis (-)
Hiperemis (+), edema (-)
Normal : jernih, infiltrat
(-)
Cukup
Coklat/ bulat, ukuran 3
mm
rct(+), rctl (+)
Jernih
Tidak dinilai
Tidak dinilai
2.5 Diagnosis
Konjungtivitis ODS
Pemeriksaan
Visus
TIO
Hirschberg
Gerak bola mata
Palpebra
Conjungtiva bulbi
Conjungtiva tarsal
Kornea
COA
Iris/ Pupil
Lensa
Vitreus
Fundus
OS
5/5
Normal
Ortoforia
Normal kesegala arah
Dalam batas normal
Injeksi konjungtiva (+),
injeksi siliar (-),
chemosis (-)
Hiperemis (+), edema (-)
Normal : jernih, infiltrat
(-)
Cukup
Coklat/ bulat, ukuran 3
mm
rct (+), rctl (+)
Jernih
Tidak dinilai
Tidak dinilai
2.6 Terapi
Cendo Xitrol ED 4 dd gtt ODS
Ciprofloxacin 500mg 2 dd tab
Na-diklofenac 2 dd tab
Sohobion 500mg 1 dd tab 1
2.7 Prognosis
Ocular Dextra
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam
Ocular Sinistra
Ad bonam
Ad bonam
Ad bonam
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan , Daniel G. Oftalmologi Umum Jakarta: Widya Medika; 2000.
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2005.p128-131.
3. Basic Clinical Science and Course of Ophtalmology. In American Academy of
Ophthalmology. In ; 2009; New York.
4. Scott. Viral Conjunctivitis. [Online].; 2011 [cited 2014 September 30.
Available from: Available: http://emedicine.medscape.com/article/1191370overview#showall.
5. Majmudar PA. Allergic Conjunctivitis. Rush-Presbyterian-St Lukes Medical
CenteR; 2010.
6. Marlin DS. Bacterial Conjunctivitis. Penn State College of Medicine.
[Online].; 2009 [cited 2014 september 30. Available from:
[http://emedicine.medscape.com/article/1191370].
7. Budhistira P. Pedoman Diagnosis dan terapi penyakit Mata RSUP Sanglah
Denpasar. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/RSUP Sanglah
Denpasar Denpasar; 2009.
8. Khuruna AK. Comrehensive Ophtalmology Fourth Edition: Optics and
Refraction.: New Age Inernational (P) Limited Publishers; 2007; 12: 36-38.
9. Rapuano CA. Conjunctivitis. American Academy of Ophthalmology New
York; 2008.
10. James B. Lecture Notes Oftalmologi Jakarta: Erlangga; 2005.
11. Lang GK, Gareis O, Amann J, . Conjunctiva. Dalam: Ophthalmology: a short
textbook New York: Thieme; 2000.
12. Kanski JK. Conjunctiva. Dalam: Clinical Ophthalmology: A Systematic
Approach. 5th ed. New York; 2009.
13. Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. Conjunctiva. In: Riordan-Eva P,
Whitcher JP (editors). Vaughan & Asburrys General Opthalmology. 16th ed.
USA: McGraw-Hill Companies; 2004. p108-112.
14. Wijaya N. Ilmu Penyakit Mata. 3rd ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 1983.