Hiperbilirubin
1.
Pengertian
2.
Klasifikasi
3. Epidemiologi
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu
pertama kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus
terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus
ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi
patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau
menyebabkan kematian.
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65
% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada
tahun 1998 menemukan sekitar 75 % bayi baru lahir mengalami ikterus
pada minggu pertama.
Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah
sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah
Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun
2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58 %
untuk kadar bilirubin di atas 5 mg / dL dan 29,3 % dengan kadar bilirubin
di atas 12 mg / dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito
melaporkan sebanyak 85 % bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar
bilirubin di atas 5 mg / dL dan 23,8 % memiliki kadar bilirubin di atas 13
mg / dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan
pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan
hiperbilirubinemia terjadi pada 82 % dan 18,6 % bayi cukup bulan.
Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan
4.
Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum
dapat dibagi:
a) Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah
lain, defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia
dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom
Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar
yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c) Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d) Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar
hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain.
5.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot,
epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot
h.
Perut membuncit
i.
Pembesaran pada hati
j.
Feses berwarna gelap
k.
Kadar bilirubin total mencapai 29 mg/dl.
l.
Tampak ikterus; sklera, kuku, kulit dan membran mukosa. Joundice
pada 24 jam pertama yang disebabkan oleh penyakit hemolitik waktu
lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik/infeksi. Jaundice yang tampak pada
hari ke 2 atau 3 dan mencapai puncak pada hari ke 3-4 dan menurun hari
ke 5-7 yang biasanya merupakan jaundice fisiologis.
Tabel Rumus Kramer
Daerah luas ikterus kadar bilirubin
1 Kepala dan leher 5 mg %
2 Daerah 1+ badan bagian atas 9 mg %
3 Daerah 1,2 + badan bagian bawah dan tungkai 11 mg %
4 Daerah 1,2,3 + lengan dan kaki dibawah lutut 12 mg %
5 Daerah 1,2,3,4 + tangan dan kaki 16 mg %
5.
Patofisiologi
6.
a.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan bilirubin serum
7.
Penatalaksanaan
a.
Tindakan umum
1)
Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) pada waktu hamil:
Mencegah truma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir
yang dapat menimbulkan ikhterus, infeksi dan dehidrasi.
2)
Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang
sesuai dengan kebutuhan bayi baru lahir.
3)
Imunisasi yang cukup baik di tempat bayi dirawat.
b.
Tindakan khusus
1)
Fototerapi: Dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin
patologis dan berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui
tinja dan urine dengan oksidasi foto.
2)
Pemberian fenobarbital: Mempercepat konjugasi dan mempermudah
ekskresi. Namun pemberian ini tidak efektif karena dapat menyebabkan
gangguan metabolic dan pernafasan baik pada ibu dan bayi.
3)
Memberi substrat yang kurang untuk transportasi/ konjugasi,
misalnya pemberian albumin karena akan mempercepat keluarnya
bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin lebih mudah
dikeluarkan dengan transfuse tukar.
4)
Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi: untuk
mencegah efek cahaya berlebihan dari sinar yang ditimbulkan dan
dikhawatirkan akan merusak retina. Terapi ini juga digunakan untuk
menurunkan kadar bilirubin serum pada neonatus dengan hiperbilirubin
jinak hingga moderat.
5)
Terapi transfuse: digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin yang
tinggi.
Terapi obat-obatan, misalnya obat phenorbarbital/luminal untuk
meningkatkan bilirubin di sel hati yang menyebabkan sifat indirect
menjadi direct, selain itu juga berguna untuk mengurangi timbulnya
bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hari.
6)
Menyusui bayi dengan ASI
7)
Terapi sinar matahari
c.
Tindak lanjut: Tindak lanjut terhadap semua bayi yang menderita
hiperbilirubin
dengan
evaluasi
berkala
terhadap
pertumbuhan,
perkembangan dan pendengaran serta fisioterapi dengan rehabilitasi
terhadap gejala sisa.
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:
a) Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini
kerjanya lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya
rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik.
Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
b) Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme
bilirubin(misalnya menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau
(menambahkan albumin untuk memperbaiki transportasi bilirubin).
Penambahan
albumin
bisa
dilakukan
tanpa
hipoalbuminemia.
Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi bilirubin
jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma
meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam
ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi
1g/kgBB, sebelum maupun sesudah terapi tukar.
c) Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral
dini
d) Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang
tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam
air.
e)Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar(Mansjoer
et al, 2007).
Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
1) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20mg%
2) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
3) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4) Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat <14mg% dan uji Coombs
direct positif(Hassan et al, 2005).
f) Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan
kompetitor inhibitif terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian
dan belum digunakan secara rutin.
g) Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara
intravena(500-1000mg/Kg IV>2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan
untuk mengurangi level bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik
isoimun.
Mekanismenya
belum
diketahui
tetapi
secara
teori
immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel retikuloendotel
dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang dilapisi
oleh antibody(Cloherty et al, 2008).
Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit.
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan
sebagai berikut :
1) Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas
mungkin dengan membuka pakaian bayi.
2) Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel
reproduksi bayi.
3) Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak
yang terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal.
4) Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh
bayi yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
5) Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
6) Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
7) Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis.
8.
Komplikasi
a.
Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi
kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan
otak (keadaannya disebut kern ikterus). Kern ikterus adalah suatu
keadaan dimana terjadi penimbunan bilirubin di dalam otak, sehingga
terjadi kerusakan otak.
b.
Efek jangka panjang dari kern ikterus adalah keterbelakangan
mental, kelumpuhan serebral (pengontrolan otot yang abnormal, cerebral
palsy), tuli dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.
9.Pencegahan
Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat
inkompatibilitas
ABO
sebelumnya.
AAP
dalam
rekomendasinya
mengemukakan beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai
berikut:
1.
Primer
AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan
hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi
ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8 - 12 kali sehari selama
beberapa hari pertama.