Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Seiring

dengan

semakin

berkembangnya

sains

dan

tekhnologi,

perkembangan di dunia farmasi pun tak ketinggalan. Semakin hari semakin


banyak jenis dan ragam penyakit yang muncul. Perkembangan pengobatan pun
terus di kembangkan. Berbagai macam bentuk sediaan obat, baik itu liquida,
solida dan semisolida telah dikembangkan oleh ahli farmasi dan industri.
Ahli

farmasi

mengembangkan

obat

untuk

pemenuhan

kebutuhan

masyarakat, yang bertujuan untuk memberikan efek terapi obat, dosis yang
sesuai untuk di konsumsi oleh masyarakat. Selain itu, sediaan semisolid
digunakan untuk pemakaian luar seperti krim, salep, gel, pasta dan suppositoria
yang digunakan melalui rektum. Kelebihan dari sediaan semisolid ini yaitu,
mudah dibawa, mudah pada pengabsorbsiannya. Juga untuk memberikan
perlindungan pengobatan terhadap kulit tubuh.
Salah satu sediaan semisolid adalah suppositoria. Suppositoria adalah suatu
sediaan setengah yang ditujukan untuk rektal, uretra dan vagina dimana sediaan
itu melarut, meleleh atau melunak dalam suhu tubuh. Umumnya sediaan ini
biasanya digunakan untuk pengobatan wasir.
Suppositoria rektal untuk dewasa beratnya kira-kira 2 gram dan biasanya
berbentuk lonjong seperti torpedo, sedangkan untuk anak-anak beratnya kira-kira
1 gram dan ukurannya lebih kecil. Suppositoria uretra biasanya berbentuk pensil
dan meruncing pada salah satu ujungnya. Dengan berat untuk laki-laki dan
perempuan berbeda.
Pada percobaan ini kami akan membuat suppositoria rektal. Suppositoria
rektal adalah suppositoria yang mempunyai berat kira-kira 2 sampai 3 gram dan
biasanya berbentuk terpedo. Suppositoria yang kami buat menggunakan
1

Ibuprofen sebagai zat aktif karena ibuprofen merupakan golongan antiinflamasi


yang mempunyai efek sebagai analgesik dan antipiretik. Oleh karena itu,
ibuprofen diformulasikan dalam bentuk suppositoria karena ibuprofen pada
penggunaan oral seperti tablet, bisa mengiritasi lambung. Maka alternatif yang
baik adalah diformulasikan dalam bentuk suppositoria yang digunakan melalui
rektal.
I.2 Maksud Percobaan
Mengetahui dan memahami cara pembuatan suppositoria rektal dengan
ibuprofen sebagai zat aktifnya.
I.3 Tujuan Percobaan
a.

Menentukan formulasi suppositoria ibuprofen

b.

Membuat suppositoria rektal dengan ibuprofen sebagai zat aktifnya.

c.

Menentukan evaluasi suppositoria ibuprofen

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur,
berbentuk torpedo, dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh (Moh.
Anief, 1987).
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang
diberikan melalui rectal, vagina atau uretra (Dirjen POM, 1995).
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur,
umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada suhu
tubuh (Dirjen POM, 1979).
Suppositoria adalah sediaan padat, melunak, melumer dan larut pada suhu
tubuh, digunakan dengan cara menyisipkan ke dalam rectum, berbentuk sesuai
dengan maksud penggunaannya, umumnya berbentuk torpedo (Formularium
Nasional).
Jadi, suppositoria dapat didefinisikan sebagai suatu sediaan padat yang
berbentuk torpedo yang biasanya digunakan melalui rectum dan dapat juga
melalui lubang di area tubuh, sediaan ini ditujukan pada pasien yang mudah
muntah, tidak sadar atau butuh penanganan cepat.
Macam-macam Suppositoria (Ansel, 2005) :
a. Suppositoria untuk rectum (rectal)
Suppositoria untuk rektum umumnya dimasukkan dengan jari tangan.
Biasanya suppositoria rektum panjangnya 32 mm (1,5 inchi), dan berbentuk
silinder dan kedua ujungnya tajam. Bentuk suppositoria rektum antara lain
bentuk peluru, torpedo atau jari-jari kecil, tergantung kepada bobot jenis
bahan obat dan basis yang digunakan. Beratnya menurut USP sebesar 2 g
untuk yang menggunakan basis oleum cacao.
3

b. Suppositoria untuk vagina (vaginal)


Suppositoria untuk vagina disebut juga pessarium biasanya berbentuk
bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai kompendik resmi beratnya 5 g,
apabila basisnya oleum cacao.
c. Suppositoria untuk saluran urin (uretra)
Suppositoria untuk untuk saluran urin juuga disebut bougie, bentuknya
rampiung seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan kesaluran urin pria atau
wanita. Suppositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang
140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan yang lainnya.
Apabila basisnya dari oleum cacao beratnya 4 g. Suppositoria untuk saluran
urin wanita panjang dan beratnya dari ukuran untuk pria, panjang 70 mm
dan beratnya 2 g, inipun bila oleum cacao sebagai basisnya.
d. Suppositoia untuk hidung dan telinga
Suppositoia untuk hidung dan telinga yang disebut juga kerucut
telinga, keduanya berbentuk sama dengan suppositoria saluran urin hanya
ukuran panjangnya lebih kecil, biasanya 32 mm. Suppositoria telinga
umumnya diolah dengan suatu basis gelatin yang mengandung gliserin.
Seperti dinyatakan sebelumnya, suppositoria untuk obat hidung dan telinga
sekarang jarang digunakan.
Tujuan Penggunaan Supositoria (Syamsuni, 2012) :
1. Untuk tujuan lokal, seperti pada pengobatan wasir atau hemoroid dan
penyakit infeksi lainnya. Suppositoria juga dapat digunakan untuk tujuan
sistemik karena dapat diserap oleh membrane mukosa dalam rectum. Hal ini
dilakukan terutama bila penggunaan obat per oral tidak memungkinkan seperti
pada pasien yang mudah muntah atau pingsan.
2. Untuk memperoleh kerja awal yang lebih cepat. Kerja awal akan lebih cepat
karena obat diserap oleh mukosa rektal dan langsung masuk ke dalam
sirkulasi pembuluh darah.

3. Untuk menghindari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran


gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati.
Keuntungan dan Kerugian Supositoria (Ansel, 1989) :
1. Keuntungan Supositoria :
a. Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.
b. Dapat menghindari keruskan obat oleh enzim pencernaan dan asam
lambung.
c. Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehingga obat dapat
berefek lebih cepat daripada penggunaan obat peroral.
d. Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
2. Kerugian Supositoria :
a. Pemakaiannya tidak menyenangkan.
b. Tidak dapat disimpan pada suhu ruang.
Persyaratan Supositoria (Ansel, 1989)
Sediaan supositoria memiliki persyaratan sebagai berikut :
1. Supositoria sebaiknya melebur dalam beberapa menit pada suhu tubuh atau
melarut (persyaratan kerja obat).
2. Pembebasan dan responsi obat yang baik.
3. Daya tahan dan daya penyimpanan yang baik (tanpa ketengikan, pewarnaan,
kemantapan bentuk, daya patah yang baik, dan stabilitas yang memadai dari
bahan obat).
4. Daya serap terhadap cairan lipofil dan hidrofil.
Basis supositoria (Ansel, 1989) :
Sediaan supositoria ketika dimasukkan dalam lubang tubuh akan melebur,
melarut dan terdispersi. Dalam hal ini, basis supositoria memainkan peranan
penting. Maka dari itu basis supositoria harus memenuhi syarat utama, yaitu
basis harus selalu padat dalam suhu ruangan dan akan melebur maupun melunak
dengan mudah pada suhu tubuh sehingga zat aktif atau obat yang dikandungnya
dapat melarut dan didispersikan merata kemudian menghasilkan efek terapi lokal
5

maupun sistemik. Basis supositoria yang ideal juga harus mempunyai beberapa
sifat seperti berikut:
1. Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.
2. Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat.
3. Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna dan bau
serta pemisahan obat.
4. Kadar air mencukupi.
5. Untuk basis lemak, maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan
penyabunan harus diketahui jelas.
Persayaratan Basis Suppositoria (Ansel, 1989) :
1. Secara fisiologi netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus, hal ini
dapat disebabkan oleh massa yang tidak fisiologis ataupun tengik, terlalu
keras, juga oleh kasarnya bahan obat yang diracik).
2. Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat).
3. Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil).
4. Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (pembekuan dapat
berlangsung

cepat

dalam

cetakan,

kontraksibilitas

baik,

mencegah

pendinginan mendaak dalam cetakan).


5. Interval yang rendah antara titik lebur mengalir denagn titik lebur jernih (ini
dikarenakan untuk kemantapan bentuk dan daya penyimpanan, khususnya
pada suhu tinggi sehingga tetap stabil).
Macam-macam Basis Suppositoria (Ansel,1989) :
1. Basis berlemak, contohnya: oleum cacao.
2. Basis lain, pembentuk emulsi dalam minyak: campuran tween dengan gliserin
laurat.
3. Basis yang bercampur atau larut dalam air, contohnya: gliserin-gelatin, PEG
(polietien glikol).

Syarat basis yang ideal


1. Menurut Lachman, 1994
a.

Telah mencapai kesetimbangan kristanilitas, dimana sebagian besar


komponen mencapai pada temperature rectal 36 0c, tetapi basis dengan
kisaran leleh lebihtinggi dapat digunakan untuk campuran eutektikum,
penambahan minyak-minyak, balsam-balsam, serta suppositoria yang
dugunakan pada iklim tropis.

b.

Secara keseluruhan basis tidak toksik dan tidak mengiritasi jaringan


yang peka dan jaringan yang meradang.

c.

Dapat bercampur dengan berbagai jenis obat.

d.

Basis suppositoria tersebut menyusut secukupnya pada pendinginan,


sehingga dapat dilepaskan dari cetakan tanpa menggunakan pelumas
cetakan.

e.

Basis suppositoria tersebut tidak mempunyai bentuk stabil.

f.

Basis suppositoria tersebut tidak merangsang.

g.

Basis suppositoria tersebut bersifat membasahi dan mengemulsi.

h.

angka air tinggi, maksudnya presentase air yang tinggi


dapatdimasukkan kedalamnya.

i.

Basis suppositoria tersebut stabil dalam penyimpanan, maksudnya


warna, bau atau pola penglepasan obat tidak berubah.

j.

Suppositoria

dapat

dibuat

dengan

mencetak

dengan

tangan,

mesin,kompressi atau ekstrusi.


2. Menurut Scovilles, 1957
Basis suppositoria ideal seharusnya : stabil, mudah dalam penuangan,
menjadi keras pada pendinginan cepat, tidak membutuhkan lubrikan, cocok
dengan semua obat. Basis seharusnya netral dalam reaksi, tidak iritasi,
melunak atau larut pada suhu tubuh dan tidak bocor pada rectum.

Bahan Dasar Supositoria (Ansel, 1989) :


1. Bahan dasar berlemak : oleum cacao
Lemak coklat merupakan trigliserida berwarna kekuninagan, memiliki
bau yang khas dan bersifat polimorf (mempunyai banyak bentuk krital). Jika
dipanaskan pada suhu sektiras 30C akan mulai mencair dan biasanya meleleh
sekitar 34-35C, sedangkan dibawah 30C berupa massa semipadat. Jika
suhu pemanasannya tinggi, lemak coklat akan mencair sempurna seperti
minyak dan akan kehilangan semua inti kristal menstabil.
a. Keuntungan oleum cacao:
1. Dapat melebur pada suhu tubuh.
2. Dapat memadat pada suhu kamar.
b. Kerugian oleum cacao:
1. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (cairan pengeluaran).
2. Titik leburnya tidak menentu, kadang naik dan kadang turun apabila
ditambahkan dengan bahan tertentu.
3. Meleleh pada udara yang panas.
2. PEG (Polietilenglikol)
PEG merupakan etilenglikol terpolimerisasi dengan bobot molekul
antara 300-6000. Dipasaran terdapat PEG 400 (carbowax 400). PEG 1000
(carbowax 1000), PEG 1500 (carbowax 1500), PEG 4000 (carbowax 4000),
dan PEG 6000 (carbowax 6000). PEG di bawah 1000 berbentuk cair,
sedangkan di atas 1000 berbentuk padat lunak seperti malam. Formula PEG
yang dipakai sebagai berikut:
1.

Bahan dasar tidak berair: PEG 4000 4% (25%) dan PEG 1000 96%
(75%).

2.

Bahan dasar berair: PEG 1540 30%, PEG 6000 50% dan aqua+obat 20%.
Titik lebur PEG antara 35-63C, tidak meleleh pada suhu tubuh tetapi
larut dalam cairan sekresi tubuh.

a. Keuntungan menggunakan PEG sebagai basis supositoria, antara lain:


8

1. Tidak mengiritasi atau merangsang.


2. Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika dibandingkan
dengan oleum cacao.
3. Tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada
suhu tubuh.
b. Kerugian jika digunakan sebagai basis supositoria, antara lain:
1.

Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan, sehingga


timbul rasa yang menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara
mencelupkan supositoria ke dalam air dahulu sebelum digunakan.

2.

Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat


pelepasan obat.

Pembuatan supositoria dengan PEG dilakukan dengan melelehkan


bahan dasar, lalu dituangkan ke dalam cetakan seperti pembuatan supositoria
dengan bahan dasar lemak coklat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Absobsi Obat per Rektal (Ansel,1989)
Rektum mengandung sedikit cairan dengan PH 7,2 dan kapasitas dapar
rendah. Epitel rektum sifatnya berlipoid (berlemak) maka diutamakan
permeabel terhadap obat yang tidak terionisasi (obat yang mudah larut lemak).
Nilai Tukar
Nilai tukar adalah nilai yang digunakan untuk mengurangi kadar zat
aktif. Tujuan dari pengurangan zat aktif adalah meminimalisir over dosis yang
ditimbulkan. Karena zat aktif yang tertera pada literature merupakan kadar zat
aktif yang digunakan secara oral, maka pada penggunaan untuk rectal kadar
zat aktif harus dikurangi. Hal ini berkaitan dengan proses farmakokinetik di
dalam tubuh. Untuk obat-obat oral prosesnya melalui ADME sedangkan
untuk obat-obat lokal (suppo) prosesnya tidak melalui ADME melainkan
langsung diserap oleh permukaan mukosa rectal, kemudian masuk ke
pembuluh darah selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah. Oleh karena itu,

jika zat aktif masih menggunakan dosis oral, maka dikhawatirkan terjadi over
dosis pada pasien.
Pada

pembuatan

supositoria

menggunakan

cetakan,

volume

supositoria harus tetap. Tetapi, bobotnya beragam tergantung pada jumlah dan
bobot jenis yang dapat diabaikan, misalnya ekstrak belladonea dan garam
alkaloid.
Nilai tukar dimaksudkan untuk mengetahui bobot minyak cokelat yang
mempunyai volume yang sama dengan 1g obat. Berikut adalah tabel nilai
tukar:
Nama Obat

Nilai tukar ol cacao per 1g

Acidum boricum

0.65

Garam alkaloid

0.7

Bismuth subgallas

0.37

Ichtammolum

0.72

Tanninum

0.68

Aethylis aminobenzoas

0.68

Aminoplhylinum

0.86

Bismuth subnitras

0.20

Sulfonamidum

0.60

Zinci oxydum

0.25

Dalam praktik, nilai tukar beberapa obat adalah 0.7 kecuali untuk
garam Bismuth dan Zincy Oxydum. Untuk larutan nilai tukarnya dianggap
satu. Bila supositoria mengandung obat atau zat padat yang banyak, pengisian
pada cetakan berkurang dan jika dipenuhi dengan campuran massa, akan
diperoleh jumlah obat yang melebihi dosis. Oleh sebab itu, untuk membuat
supositoria yang sesuai dapat dilakukan dengan cara menggunakan
perhitungan nilai tukar.

10

Uji Bahan Aktif


1. Titik lebur
Titik lebur adalah suhu di mana zat yang kita uji pertama kali
melebur atau meleleh seluruhnya yang ditunjukan pada saat fase padat
cepat hilang. Dalam analisa farmasi titik lebur untuk menetapkan
karakteristik senyawa dan identifikasi adanya pengotor. Untuk uji titik
lebur di butuhkan alat pengukuran titik lebur yaitu, Melting Point
Apparatus (MPA) alat ini digunakan untuk melihat atau mengukur
besarnya titik lebur suatu zat.
2. Bobot jenis
Bobot jenis adalah perbandingan bobot jenis udara pada suhu 250C
terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Bobot jenis suatu
zat adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot jenis dengan bobot
air dalam piknometer. Lalu dinyatakan lain dalam monografi keduanya
ditetapkan pada suhu 25 (FI IV hal 1302). Bobot jenis dapat digunakan
untuk:
1. Mengetahui kepekaan suatu zat
2. Mengetahui kemurniaan suatu zat
3. Mengetahui jenis zat
Piknometer untuk menentukan bobot jenis zat padat dan zat cair.
Zat padat berbeda dengan zat cair, zat padat memiliki pori dan rongga
sehingga berat jenis tidak dapat terdefinisi dengan jelas. Berat jenis sejati
merupakan berat jenis yang dihitung tanpa pori atau rongga ruang.
Sedangkan berat jenis nyata merupakan berat jenis yang di hitung
sekaligus degan porinya sehingga bj nyata < bj sejati.
Metode Pembuatan
Pembuatan supositoria secara umum yaitu bahan dasar supositoria
yang digunakan dipilih agar meleleh pada suhu tubuh atau dapat larut dalam

11

bahan dasar, jika perlu dipanaskan. Jika obat sukar larut dalam bahan dasar,
harus dibuat serbuk halus. setelah campuran obat dan bahan dasar meleleh
atau mencair, tuangkan ke dalam cetakan supositoria kemudian didinginkan.
Tujuan dibuat serbuk halus untuk membantu homogenitas zat aktif dengan
bahan dasar.
Cetakan suppositoria terbuat dari besi yang dilapisi nikel atau logam
lainnya, namun ada juga yang terbuat dari plastik. Cetakan ini mudah dibuka
secara longitudinal untuk mengeluarkan supositoria. Untuk mengatasi massa
yang hilang karena melekat pada cetakan, supositoria harus dibuat berlebih
(10%), dan sebelum digunakan cetakan harus dibasahi lebih dahulu dengan
parafin cair atau minyak lemak, atau spiritus sapotanus (Soft Soap Liniment)
agar sediaan tidak melekat pada cetakan. Namun, spiritus sapotanus tidak
boleh digunakan untuk supositoria yang mengandung garam logam karena
akan bereaksi dengan sabunnya dan sebagai pengganti digunakan oleum recini
dalam etanol. Khusus supositoria dengan bahan dasar PEG dan Tween bahan
pelicin cetakan tidak diperlukan, karena bahan dasar tersebut dapat mengerut
sehingga mudah dilepas dari cetakan pada proses pendinginan.
Metode pembuatan supositoria dibagi menjadi 3 yaitu (Ansel, 1989) :
a.

Dengan tangan
Yaitu dengan cara menggulung basis suppositoria yang telah
dicampur homogen dan mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang
dikehendaki. Mula-mula basis diiris, kemudian diaduk dengan bahanbahan aktif dengan menggunakan mortir dan stamper, sampai diperoleh
massa akhir yang homogen dan mudah dibentuk. Kemudian massa
digulung menjadi suatu batang silinder dengan garis tengah dan panjang
yang dikehendaki. Amilum atau talk dapat mencegah pelekatan pada
tangan. Batang silinder dipotong dan salah satu ujungnya diruncingkan.

b.

Dengan mencetak kompresi

12

Hal ini dilakukan dengan mengempa parutan massa dingin


menjadi suatu bentuk yang dikehendaki. Suatu roda tangan berputar
menekan suatu piston pada massa suppositoria yang diisikan dalam
silinder, sehingga massa terdorong kedalam cetakan.
c.

Dengan mencetak tuang


Pertama-tama bahan basis dilelehkan, sebaiknya diatas penangas
air atau penangas uap untuk menghindari pemanasan setempat yang
berlebihan, kemudian bahan-bahan aktif diemulsikan atau disuspensikan
kedalamnya. Akhirnya massa dituang kedalam cetakan logam yang telah
didinginkan, yang umumnya dilapisi krom atau nikel.

Menurut Lachman, 1957


Metode pembuatan suppositoria
a. Mencetak dengan tangan
Metode pembuatan suppositoria yang paling sederhana dan paling tua
adalah dengan tangan, yakni dengan menggulung basis suppositoria yang
telah dicampur homogen dan mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang
dikehendaki. Mula-mula basis diiris, kemudian diaduk dengan bahan-bahan
aktif dengan menggunakan lumping sampai diperoleh massa akhir yang
homogen dan mudah dibentuk.
b. Mencetak kompressi
Suppositoria yang lebih seragam dan elegan secara farmasetik dapat
dibuat dengan mengkompressi parutan massa dingin menjadi suatu bentuk
yang dikehendaki. Suatu roda tangan berputar menekan suatu piston pada
massa suppositoria yang diisikan silinder, sehingga massa terdorong kedalam
cetakan (biasanya tiga). Metode kompressi dingin adalah cara yang sederhana
dan menghasilkan penampilan yang lebih elegan dibanding dengan mencetak
menggunakan tangan. Cara ini menghindari kemungkinan-kemungkinan
sedimentasi zat-zat padat yang tidak larut dalam basis suppositoria, tetapi cara
ini terlalu lambat untuk produksi skala besar. H satu kelemahan utama dalam
13

penggunaan teknik kompressi dingin untuk mencetak suppositoria dengan


basis tipe lemak adalah udara tang terkurung. Masuknya udara yang tidak
dapat dihindari ini memungkinkan adanya oksidasi dari basis dan bahanbahan aktif.
c. Mesin pencetak otomatis
Pelaksanaan pencetakan (penuangan, pendinginan, dan pemindahan)
dapat di lakukan dengan mesin. Seluruh pengisian, pengeluaran, dan
pembersihan cetakan, semua dijalankan secara otomatis. Produksi satu mesin
putar khusus berkisar 3500-6000 suppositoria per jam.
d. Mencetak tuang
Metode paling umum yang digunakan untuk membuat suppositoria
skala kecil dab skala besar adalah proses pencetakan. Pertama-tama bahan
basis dilelehkan, sebaiknya di atas penangas air atau penangas uap untuk
menghindari pemanasan setempat yang berlebihan, kemudian bahan aktif
diemulsikan atau disuspensikan kedalamnya.
Pengemasan Supositoria (Ansel, 1989) :
a.

Supositoria gliserin dan supositoria gelatin gliserin umumnya dikemas


dalam wadah gelas ditutup rapat supaya mencegah perubahan
kelembapan dalam isi supositoria.

b.

Supositoria yang diolah dengan basis oleum cacao biasanya dibungkus


terpisah-pisah atau dipisahkan satu sama lain pada celah-celah dalam
kotak untuk mencegah perekatan.

c.

Supositoria dengan kandungan obat yang sedikit lebih pekat biasnya


dibungkus satu per satu dalam bahan tidak tembus cahaya seperti
lembaran metal (alumunium foil).

Evaluasi Sediaan
Pengujian sediaan supositoria yang dilakukan sebagai berikut (Ansel, 1989) :
a.

Uji homogenitas

14

Uji homogenitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah bahan


aktif dapat tercampur rata dengan bahan dasar suppo atau tidak, jika tidak
dapat tercampur maka akan mempengaruhi proses absorbsi dalam tubuh.
Obat yang terlepas akan memberikan terapi yang berbeda. Cara menguji
homogenitas yaitu dengan cara mengambil 3 titik bagian suppo (atastengah-bawah atau kanan-tengah-kiri) masing-masing bagian diletakkan
pada kaca objek kemudian diamati dibawah mikroskop, cara selanjutnya
dengan menguji kadarnya dapat dilakukan dengan cara titrasi.
b.

Bentuk
Bentuk suppositoria juga perlu diperhatikan karena jika dari
bentuknya tidak seperti sediaan suppositoria pada umunya, maka
seseorang yang tidak tahu akan mengira bahwa sediaan tersebut bukanlah
obat. Untuk itu, bentuk juga sangat mendukung karena akan memberikan
keyakinan pada pasien bahwa sediaa tersebut adalah suppositoria. Selain
itu, suppositoria merupakan sediaan padat yang mempunyai bentuk
torpedo.

c.

Uji waktu hancur


Uji waktu hancur ini dilakukan untuk mengetahui berapa lama
sediaan tersebut dapat hancur dalam tubuh. Cara uji waktu hancur dengan
dimasukkan dalam air yang di set sama dengan suhu tubuh manusia,
kemudian pada sediaan yang berbahan dasar PEG 1000 waktu hancurnya
15 menit, sedangkan untuk oleum cacao dingin 3 menit. Jika melebihi
syarat diatas maka sediaan tersebut belum memenuhi syarat untuk
digunakan dalam tubuh. Digunakan media air karena sebagian besar
tubuh manusia mengandung cairan.

d.

Keseragaman bobot
Keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui apakah bobot
tiap sediaan sudah sama atau belum, jika belum maka perlu dicatat.
Keseragaman bobot akan mempengaruhi terhadap kemurnian suatu
15

sediaan karena dikhawatirkan zat lain yang ikut tercampur. Caranya


dengan ditimbang saksama 10 suppositoria, satu persatu kemudian
dihitung berat rata-ratanya. Dari hasil penetapan kadar, yang diperoleh
dalam masing-masing monografi, hitung jumlah zat aktif dari masingmasing 10 suppositoria dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen.
Jika terdapat sediaan yang beratnya melebihi rata-rata maka suppositoria
tersebut tidak memenuhi syarat dalam keseragaman bobot. Karena
keseragaman bobot dilakukan untuk mengetahui kandungan yang
terdapat dalam masing-masing suppositoria tersebut sama dan dapat
memberikan efek terapi yang sama pula.
e.

Uji titik lebur


Uji ini dilakukan sebagai simulasi untuk mengetahui waktu yang
dibutuhkan sediaan supositoria yang dibuat melebur dalam tubuh.
Dilakukan dengan cara menyiapkan air dengan suhu 37C. Kemudian
dimasukkan supositoria ke dalam air dan diamati waktu leburnya. Untuk
basis oleum cacao dingin persyaratan leburnya adalah 3 menit, sedangkan
untuk PEG 1000 adalah 15 menit.

f.

Kerapuhan
Supositoria sebaiknya jangan terlalu lembek maupun terlalu
keras yang menjadikannya sukar meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat
digunakan uji elastisitas. Supositoria dipotong horizontal. Kemudian
ditandai kedua titik pengukuran melalui bagian yang melebar, dengan
jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar, kemudian diberi
beban seberat 20N (lebih kurang 2kg) dengan cara menggerakkan jari
atau batang yang dimasukkan ke dalam tabung.

g.

Volume Distribusi
Volume distribusi (Vd) merupakan parameter untuk untuk
menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma
atau serum. Volume distribusi ini hanyalah perhitungan volume
16

sementara yang menggambarkan luasnya distribusi obat dalam tubuh.


Tubuh dianggap sebagai 1 kompartemen yang terduru dari plasma atau
serum, dan Vd adalah jumlah obat dalam tubuh dibagi dengan kadarnya
dalam plasma atau serum.
II.2 Rancangan Formula
Tiap suppositoria mengandung ( 3 gram ) :
Ibuprofen

125 mg

PEG 1000

96 %

PEG 4000

4%

II.3 Alasan Penambahan


II.3.1 Alasan Formulasi
Ibuprofen merupakan golongan antiinflamasi yang mempunyai efek
sebagai analgesik dan antipiretik. Pada formulasi ini ibuprofen diformulasikan
dalam bentuk suppositoria karena ibuprofen pada penggunaan oral seperti
tablet, bisa mengiritasi lambung. Maka alternatif yang baik adalah
diformulasikan dalam bentuk suppositoria yang digunakan melalui rektal yang
aktifitas

antipiretiknya

bekerja

dihipotalamus

dengan

meningkatkan

vasodilatasi dan aliran darah dipepheral.


II.3.2 Alasan Penambahan Zat Tambahan
A. Ibuprofen
Ibuprofen merupakan golongan antiinflamasi non steroid yang
mempunyai efek sebagai analgesik dan antipiretik yang dapat meringankan
nyeri pada setelah operasi. Digunakan ibuprofen sebanyak 125 mg karena
dosis untuk ibuprofen khususnya untuk suppositoria adalah 125 mg.
B. Kombinasi PEG 1000 dan PEG 4000
Digunakan basis kombinasi PEG 1000 dan PEG 4000 karena PEG
1000 mempunyai titik lebur 37 400 C sehingga pada suhu kamar berbentuk
cair dan PEG 4000 mempunyai titik lebur 50 - 580 dan pada suhu kamar
berbentuk padat. Sehingga penambahan PEG 1000 kedalam basis
17

suppositoria PEG 4000 dapat menurunkan titik lebur suppositoria dan


menurunkan waktu melarutnya (Ansel, 1989)
Digunakan formula basis dengan konsentrasi PEG 1000 96 % dan
PEG 4000 4 % karena untuk mendapatkan suppositoria yang disentegrasinya
cepat sehingga memberikan efek yang cepat (Lachman, 1994).
Jika menggunakan kombinasi PEG 1000 dan 4000 kosentrasi PEG
4000 harus lebih besar dari PEG 1000 (Scoviles, 1957).
II.4 Uraian Bahan
A. Ibuprofen ( Dirjen POM, 1995)
Nama resmi

: Ibuprofen

Nama lain

: Ibuprofen

RM / BM

: C13H18O2 / 206,28

Pemerian

: Serbuk hablur, putih hingga hamper putih, berbau khas


lemah

Kelarutan

: praktis tidak larut dalam air, sangat mudah larut dalam


etanol, dalam methanol, aseton dan dalam kloroform
sukar larut dalam etil asetat.

Stabilitas

: Ibuprofen dapat stabil ditemperatur tinggi pada suhu


105-110OC.

Kegunaan

: Sebagai zat aktif

Incompatibilitas

:interaksi antara ibuprofen dan asam asetat, setil


alkohol, kalsium stearat, magnesium telah diselidiki
oleh Gordon dan rekan kerja. Digunakan diferensial
kalorimetri campuran dipanaskan pada suhu 150C
permenit dan tidak boleh lebih dari suhu 300 sampai
1100C. Formulasi entektik sederhana dari masingmasing campuran ditandai dengan ketidakcocokan dari
stearat

dengan

ibuprofen

antaraakibat

interaksi

stabilitas kimia dari ibuprofen tidak ditentukan


18

investigasi campuran padat dari magnesium oksida


disimpan

550

pada

dan

400 ditandai

dengan

pembentukan garan magnesium dan ibuprofen tidak


ada interaksi yang berpengaruh nyata 30-80. Ibuprofen
menunjukkan tidak ada penguraian kimia dari
magnesium oksida pada 550C campuran padat antara
ibuprofen

dan

magnesium

hidrosida,

sodium

bikarbonat, potasium karbonat, Ca oksida, tapi bukan


antara Mg klorida.
Penyimpanan

: Dalam wadah tertutup rapat

DM

: 125 mg

B. PEG 1000 (Dirjen POM, 1979., Rowe, 2009)


Nama Resmi

: Polyethylenglycolum 1000

Nama lain

: Makrogol 1000, poliglikol 1000

Pemerian

: Massa seperti salep, putih, hampir putih

Kelarutan

: Memenuhi

syarat

yang

tertera

pada

polyethilenglycolum 1500
Stabilitas

: PEG secara kimiawi stabil diudara, higroskopik. PEG


menghambat

pertumbuhan

mikroba,

PEG

mengandung air yang dapat disterilkan dengan


autoclaving, filtrasi atau gamma.
Incompatibilitas

: dengan beberapa agen warna.

C. PEG 4000 (Dirjen POM, 1979., Rowe, 2009)


Nama Resmi

: Polyethylenglycolum 4000

Nama Lain

: Makrogol 4000, poliglikol 4000

Pemerian

: Serbuk licin putih atau potongan putih kuning gading,


praktis tidak berbau, tidak berasa

Kelarutan

: Mudah larut dalam air, dalam etanol (95%) P, dalam


kloroform P, praktis tidak larut dalam eter P
19

Stabilitas

: PEG secara kimiawi stabil diudara, higroskopik. PEG


menghambat

pertumbuhan

mikroba,

PEG

mengandung air yang dapat disterilkan dengan


autoclaving, filtrasi atau gamma.
Incompatibilitas

: Dengan beberapa agen warna

20

BAB III

METODE KERJA
III.1 Alat Yang Digunakan
Alu, cawan porselin, kemasan, lap halus, lap kasar, lemari es, lumping,
neraca analitik, pipet tetes, sarung tangan, water bath.
III.2 Bahan Yang Digunakan
Aluminium foil, kertas perkamen, ibuprofen, PEG 1000, PEG 4000
III.3 Perhitungan Bahan
Suppositoria = 3 g 10

= 30 g

Ibuprofen

= 125 mg

= 0,125 g 10 = 1,25 g

Basis

= 3 g 0,125 g
= 2,875 g

PEG 1000

= 96 %

= 2,76 g 10 = 27,6 g

PEG 4000

=4%

= 0,115 g 10 = 1,15 g

III.4 Cara Kerja


a. Disiapkan alat dan bahan
b. Dikalibrasi cetakan, yaitu membuat dan mencetak suppositoria dari basis
c. Dilelehkan PEG 4000 terlebih dahulu lalu PEG 1000
d. Digerus ibuprofen terlebih dahulu
e. Dimasukkan ibuprofen yang telah halus ke dalam basis hingga rata dan
dicampur
f. Campuran leburan dituang pada cetakan
g. Dibiarkan leburan dalam suhu kamar 10 menit diikuti dengan pendinginan
kembali dilemari es selama 30 menit.

21

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


IV.1 Hasil Pengamatan
1. Foto hasil pengamatan

2. Tabel Pengamatan
No

Pengujian yang dilakukan

1.

Uji Penampilan

Hasil yang diperoleh


1. Warna

yang

dihasilkan

putih kekuningan
2. Bagian

dalam

tidak

homogen

IV.2 Pembahasan
Suppositoria adalah bentuk sediaan obat padat yang umumnya
dimaksudkan untuk dimasukan kedalam

rectum, vagina

dan uretra.

Suppositoria rektal dan uretra biasanya menggunakan pembawa yang meleleh


atau melunak pada temperatur tubuh, sedangkan vagina kadang-kadang disebut
pessaries, juga disebut tablet kompresi yang hancur dalam cairan tubuh.
Pada percobaan ini dibuat suppositoria rektal. Suppositoria rektal
adalah suppositoria yang mempunyai berat kira-kira 2 sampai 3 gram dan

22

biasanya berbentuk terpedo. Suppositoria yang dibuat menggunakan ibuprofen


sebagai zat aktif.
Dalam pembuatanya digunakan metode cetak tuang karena jumlah
yang akan dibuat sedikit. Untuk cara membuat suppositoria pertama disiapkan
alat dan bahan, ditimbang bahan, dilelehkan PEG 4000, dimasukan ibuprofen
yang telah halus kedalam basis hingga rata dan dicampur, campuran lelehan
kemudian dibentuk menjadi terpedo dengan metode cetak tuang, dimasukan
kedalam lemari es sampai lelehan kembali memadat, kemudian dikeluarkan dari
lemari es. Setelah suppositoria tersebut jadi, dilakukan evaluasi yaitu evaluasi
uji penampilan dan diperoleh data yaitu warna suppositoria putih kekuningan,
bentuknya terpedo dan setelah dipotong memanjang suppositoria yang telah
jadi, bagian dalamnya berongga (tidak homogen) dan bagian luarnya tidak
berongga (homogen). Dengan melihat bentuk fisik bagian dalamnya yang
berongga ini dikarenakan seharusnya kami menggunakan kombinasi dua basis
tapi pada praktikum kali ini kami hanya menggunakan satu basis sehingga
menyebabkan suppositoria yang dibuat tidak memenuhi syarat karena pada
literatur dijelaskan untuk uji penampilan, suppositoria yang telah jadi dipotong
memanjang dan diamati secara visual bagian dalam dan luar masing-masing
suppositoria dan harus tampak homogen.

23

BAB V

PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dari hasil praktikum dapat disimpulkan :
1. Formulasi suppositoria ibuprofen terdiri atas ibuprofen 125 mg, PEG 1000
96% 27,6 g dan PEG 4000 4% sebanyak 0,15 g.
2. Cara pembuatan supposioria rektal ibuprofen menggunakan metode cetak
tuang dimana campuran ibuprofen dan basis di masukkan kedalam cetakan.
3. Evaluasi untuk suppositoria ibuprofen meliputi uji penampilan dimana
suppositoria yang telah jadi berwarna putih kekuningan berbentuk terpedo.
V.2 Saran
1.

Untuk asisten, agar tidak bosan-bosan untuk membimbing para praktikan


untuk menjadi lebih baik lagi.

2.

Untuk laboratorium, alat dan bahannya lebih dilengkapi lagi agar


praktikumnya dapat berjalan sesuai dengan prosedur

24

DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Goeswin. 2008. Pengembangan Sediaan Farmasi. Bandung. ITB.
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta. UI Press.
D e p a r t e m e n Fa r m a k o l o gi d a n T e ra p e u t i k . 2 0 1 1. F a r ma k ol og i da n
T e r a p i . Jakarta. FK-UI.
Dirjen Pom. 1979. FI Edisi III. Jakarta. Depkes RI
Jerkins. Glen. Dkk. 1957. Soevilles The are of Compouding. The elestion division.
New York.
Lachman, Leon. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta. UI Press.
Rowe, Raymond C dkk. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients
Sixth Edition. Great Britain. RPS Publishing.
Sweetman, Sean C.2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty sixth Edition. Great Britain. RPS Publishing.
Tjay, Tan HoandanKirana Rahardja.2010. Obat-obatPenting. Jakarta. Elex
Media Komputindo

LAMPIRAN
25

1. Skema Kerja
PEG
- Dilelehkan dengan menggunakan penangas
- Dimasukan ibuprofen kedalam basis
- Campuran didalam lelehan dibentuk menjadi suppo dengan
menggunakan cetakan
- Dimasukkan kedalam lemari es hingga memadat kembali
- Setelah memadat dikeluarkan lagi dari lemari es
- suppo yang telah jadi dikemas dengan alumunium foil
Suppositoria rektal

2. Etiket

26

3. Brosur

27

28

29

Anda mungkin juga menyukai