Anda di halaman 1dari 59

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 38 TAHUN 2007


TENTANG
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN
PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (3)


Undang-Undang

Nomor

32

Tahun

2004

tentang

Pemerintahan Daerah dan Pasal 30 ayat (9) UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
perlu

menetapkan

Pembagian

Urusan

Peraturan

Pemerintah

Pemerintahan

antara

tentang

Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah


Kabupaten/Kota;
Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Pemerintahan

Nomor

Daerah

32

Tahun

(Lembaran

2004

Negara

tentang
Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang
2005

tentang

Pengganti

Penetapan

Nomor 8 Tahun

Peraturan

Undang-Undang Nomor 3

Pemerintah
Tahun 2005

tentang . . .

- 2 -

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);
3. Undang-Undang
Penanaman

Nomor

Modal

25

Tahun

(Lembaran

2007

Negara

tentang
Republik

Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 4724).

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN
URUSAN

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN

PEMERINTAHAN

TENTANG
ANTARA

DAERAH

PEMBAGIAN
PEMERINTAH,

PROVINSI,

DAN

PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah

pusat,

selanjutnya

disebut

Pemerintah,

adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang


kekuasaan pemerintahan negara Republik

Indonesia

sebagaimana . . .

-3-

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan
pemerintahan

oleh

pemerintah

daerah

dan

DPRD

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan


prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara

Kesatuan

Republik

Indonesia

sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945.
3. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasbatas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
urusan

pemerintahan

dan

kepentingan

masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi


masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan

pemerintahan

dan

kepentingan

masyarakat

setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


5. Urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan
yang

menjadi

hak

dan

kewajiban

setiap

tingkatan

dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan


mengurus

fungsi-fungsi

tersebut

yang

menjadi

kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani,


memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

6. Kebijakan . . .

- 4 6. Kebijakan nasional adalah serangkaian aturan yang dapat


berupa norma, standar, prosedur dan/atau kriteria yang
ditetapkan Pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan
urusan pemerintahan.
BAB II
URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 2
(1) Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan
yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan
urusan

pemerintahan

yang

dibagi

bersama

antar

tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.


(2) Urusan

pemerintahan

yang

menjadi

kewenangan

Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi


politik

luar

negeri,

pertahanan,

keamanan,

yustisi,

moneter dan fiskal nasional, serta agama.


(3) Urusan

pemerintahan

yang

dibagi

bersama

antar

tingkatan dan/atau susunan pemerintahan sebagaimana


dimaksud

pada

ayat

(1)

adalah

semua

urusan

pemerintahan di luar urusan sebagaimana dimaksud


pada ayat (2).
(4) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) terdiri atas 31 (tiga puluh satu) bidang urusan
pemerintahan meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum . . .

- 5c.

pekerjaan umum;

d. perumahan;
e.

penataan ruang;

f.

perencanaan pembangunan;

g.

perhubungan;

h. lingkungan hidup;
i.

pertanahan;

j.

kependudukan dan catatan sipil;

k. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;


l.

keluarga berencana dan keluarga sejahtera;

m. sosial;
n. ketenagakerjaan dan ketransmigrasian;
o. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
p. penanaman modal;
q. kebudayaan dan pariwisata;
r.

kepemudaan dan olah raga;

s.

kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;

t.

otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi


keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;

u. pemberdayaan masyarakat dan desa;


v.

statistik;

w. kearsipan;
x. perpustakaan;
y.

komunikasi dan informatika;

z.

pertanian dan ketahanan pangan;

aa. kehutanan;
bb. energi dan sumber daya mineral;
cc. kelautan dan perikanan;
dd. perdagangan . . .

-6 dd. perdagangan; dan


ee. perindustrian.
(5) Setiap

bidang

urusan

pemerintahan

sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) terdiri dari sub bidang, dan setiap
sub bidang terdiri dari sub sub bidang.
(6) Rincian ketigapuluh satu bidang urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam
lampiran

yang

tidak

terpisahkan

dari

Peraturan

Pemerintah ini.
Pasal 3
Urusan

pemerintahan

yang

diserahkan

kepada

daerah

disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan


prasarana, serta kepegawaian.
BAB III
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Pemerintah
Pasal 4
(1) Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (4) berdasarkan kriteria eksternalitas,
akuntabilitas, dan

efisiensi dengan

memperhatikan

keserasian hubungan antar tingkatan dan/atau susunan


pemerintahan.
(2) Ketentuan . . .

7 -

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan teknis untuk


masing-masing sub bidang atau sub sub bidang urusan
pemerintahan diatur dengan peraturan menteri/kepala
lembaga pemerintahan non departemen yang membidangi
urusan

pemerintahan

yang

bersangkutan

setelah

berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.


Pasal 5
(1) Pemerintah

mengatur

dan

mengurus

urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangannya sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Selain mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
yang

menjadi

kewenangan

Pemerintah

sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Pemerintah mengatur dan


mengurus

urusan

pemerintahan

yang

menjadi

kewenangannya sebagaimana tercantum dalam lampiran


Peraturan Pemerintah ini.
(3) Khusus untuk urusan pemerintahan bidang penanaman
modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua
Urusan Pemerintahan yang Menjadi
Kewenangan Pemerintahan Daerah
Pasal 6
(1) Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah

kabupaten . . .

- 8 -

kabupaten/kota
pemerintahan
urusan

mengatur

yang

dan

berdasarkan

pemerintahan

mengurus
kriteria

sebagaimana

urusan

pembagian

dimaksud

dalam

Pasal 4 ayat (1) menjadi kewenangannya.


(2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.
Pasal 7
(1) Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat

(2)

adalah

urusan

pemerintahan

yang

wajib

diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan


pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan
pelayanan dasar.
(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. lingkungan hidup;
d. pekerjaan umum;
e. penataan ruang;
f. perencanaan pembangunan;
g. perumahan;
h. kepemudaan dan olahraga;
i. penanaman modal;
j. koperasi dan usaha kecil dan menengah;
k. kependudukan dan catatan sipil;
l. ketenagakerjaan;
m. ketahanan pangan . . .

- 9 m. ketahanan pangan;
n. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
o. keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
p. perhubungan;
q. komunikasi dan informatika;
r. pertanahan;
s. kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
t. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi
keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian,
dan persandian;
u. pemberdayaan masyarakat dan desa;
v. sosial;
w. kebudayaan;
x. statistik;
y. kearsipan; dan
z. perpustakaan.
(3) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (2) adalah urusan pemerintahan yang secara nyata
ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan daerah yang bersangkutan.
(4) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. kehutanan;
d. energi dan sumber daya mineral;
e. pariwisata;
f. industri . . .

- 10 -

f. industri;
g. perdagangan; dan
h. ketransmigrasian.
(5) Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh pemerintahan
daerah.
Pasal 8
(1) Penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud
dalam

Pasal

ayat

(2)

berpedoman

pada

standar

pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan


dilaksanakan secara bertahap.
(2) Pemerintahan daerah yang melalaikan penyelenggaraan
urusan

pemerintahan

penyelenggaraannya

yang

bersifat

dilaksanakan

oleh

wajib,

Pemerintah

dengan pembiayaan bersumber dari anggaran pendapatan


dan belanja daerah yang bersangkutan.
(3) Sebelum

penyelenggaraan

sebagaimana

dimaksud

pada

urusan
ayat

pemerintahan
(2),

Pemerintah

melakukan langkah-langkah pembinaan terlebih dahulu


berupa teguran, instruksi, pemeriksaan, sampai dengan
penugasan

pejabat

Pemerintah

ke

daerah

yang

bersangkutan untuk memimpin penyelenggaraan urusan


pemerintahan yang bersifat wajib tersebut.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan peraturan presiden.
Pasal 9 . . .

- 11 Pasal 9
(1) Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk
pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan.
(2) Di dalam menetapkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria

sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

(1)

memperhatikan keserasian hubungan Pemerintah dengan


pemerintahan daerah dan antar pemerintahan daerah
sebagai satu kesatuan sistem dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Penetapan

norma,

sebagaimana

standar,

dimaksud

pada

prosedur,
ayat

dan

(1)

kriteria

melibatkan

pemangku kepentingan terkait dan berkoordinasi dengan


Menteri Dalam Negeri.
Pasal 10
(1) Penetapan

norma,

standar,

prosedur,

dan

kriteria

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan


selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) tahun.
(2) Apabila

menteri/kepala

lembaga

pemerintah

non

departemen dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud


pada

ayat

(1)

belum

menetapkan

norma,

standar,

prosedur, dan kriteria maka pemerintahan daerah dapat


menyelenggarakan langsung urusan pemerintahan yang
menjadi
peraturan

kewenangannya

dengan

perundang-undangan

berpedoman
sampai

pada
dengan

ditetapkannya norma, standar, prosedur, dan kriteria.


Pasal 11 . . .

- 12 Pasal 11
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan
wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar,
prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1).
Pasal 12
(1) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan yang menjadi
kewenangan

pemerintahan

daerah

sebagaimana

dinyatakan dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini


ditetapkan dalam peraturan daerah selambat-lambatnya
1

(satu)

tahun

setelah

ditetapkannya

Peraturan

Pemerintah ini.
(2) Urusan pemerintahan wajib dan pilihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar penyusunan
susunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah.
BAB IV
PENGELOLAAN URUSAN PEMERINTAHAN
LINTAS DAERAH
Pasal 13
(1) Pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan
dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah
terkait.

(2) Tata . . .

- 13 (2) Tata cara pengelolaan bersama urusan pemerintahan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada
peraturan perundang-undangan.
BAB V
URUSAN PEMERINTAHAN SISA
Pasal 14
(1) Urusan

pemerintahan

yang

tidak

tercantum

dalam

lampiran Peraturan Pemerintah ini menjadi kewenangan


masing-masing

tingkatan

dan/atau

susunan

pemerintahan yang penentuannya menggunakan kriteria


pembagian urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1).
(2) Dalam

hal

pemerintahan

pemerintahan

daerah

menyelenggarakan

urusan

daerah

provinsi

kabupaten/kota
pemerintahan

yang

atau
akan
tidak

tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini


terlebih dahulu mengusulkan kepada Pemerintah melalui
Menteri Dalam Negeri untuk mendapat penetapannya.
Pasal 15
(1) Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen
menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk
pelaksanaan urusan sisa.

(2) Ketentuan . . .

- 14 (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)


dan ayat (3) berlaku juga bagi norma, standar, prosedur,
dan kriteria untuk urusan sisa.
BAB VI
PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 16
(1) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2), Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
kepala instansi vertikal atau kepada gubernur selaku
wakil

pemerintah

di

daerah

dalam

rangka

dekonsentrasi; atau
c. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
(2) Dalam

menyelenggarakan

sebagaimana

dimaksud

urusan

dalam

Pasal

pemerintahan
2

ayat

(4),

Pemerintah dapat:
a. menyelenggarakan sendiri;
b. melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
gubernur selaku wakil pemerintah dalam rangka
dekonsentrasi; atau
c. menugaskan . . .

- 15 c. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut


kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan
desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
(3) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah
yang

berdasarkan

pemerintahan

kriteria

yang

pembagian

menjadi

urusan

kewenangannya,

pemerintahan daerah provinsi dapat:


a. menyelenggarakan sendiri; atau
b. menugaskan sebagian urusan pemerintahan tersebut
kepada

pemerintahan

daerah

kabupaten/kota

dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas


pembantuan.
(4) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah
yang

berdasarkan

pemerintahan

kriteria

yang

pembagian

menjadi

urusan

kewenangannya,

pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat:


a. menyelenggarakan sendiri; atau
b. menugaskan dan/atau menyerahkan sebagian urusan
pemerintahan tersebut kepada pemerintahan desa
berdasarkan asas tugas pembantuan.
Pasal 17
(1) Urusan pemerintahan selain yang dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2) yang penyelenggaraannya oleh Pemerintah
ditugaskan penyelenggaraannya kepada pemerintahan
daerah berdasarkan asas

tugas pembantuan, secara

bertahap . . .

- 16 bertahap

dapat

pemerintahan

diserahkan
daerah

untuk

yang

menjadi

bersangkutan

urusan
apabila

pemerintahan daerah telah menunjukkan kemampuan


untuk memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang dipersyaratkan.
(2) Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi
yang

penyelenggaraannya

ditugaskan

kepada

pemerintahan daerah kabupaten/kota berdasarkan asas


tugas pembantuan, secara bertahap dapat diserahkan
untuk menjadi urusan pemerintahan kabupaten/kota
yang

bersangkutan

apabila

pemerintahan

daerah

kabupaten/kota telah menunjukkan kemampuan untuk


memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
dipersyaratkan.
(3) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana diatur
pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan perangkat
daerah, pembiayaan, dan sarana atau prasarana yang
diperlukan.
(4) Penyerahan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan bagi urusan
pemerintahan yang berdampak lokal dan/atau lebih
berhasilguna

serta

berdayaguna

apabila

penyelenggaraannya diserahkan kepada pemerintahan


daerah yang bersangkutan.

(5) Ketentuan . . .

- 17 (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyerahan


urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan peraturan presiden.

BAB VII
PEMBINAAN URUSAN PEMERINTAHAN
Pasal 18
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan kepada
pemerintahan daerah untuk mendukung kemampuan
pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
(2) Apabila

pemerintahan

daerah

ternyata

belum

juga

mampu menyelenggarakan urusan pemerintahan setelah


dilakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)

maka

untuk

sementara

penyelenggaraannya

dilaksanakan oleh Pemerintah.


(3) Pemerintah

menyerahkan

kembali

penyelenggaraan

urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat


(2)

apabila

pemerintahan

daerah

telah

mampu

menyelenggarakan urusan pemerintahan.


(4) Ketentuan

lebih

penyelenggaraan

lanjut
urusan

mengenai

tata

cara

pemerintahan

yang

belum

mampu dilaksanakan oleh pemerintahan daerah diatur


dengan peraturan presiden.

BAB VIII . . .

- 18 BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 19
(1) Khusus untuk Pemerintahan Daerah Provinsi DKI Jakarta
rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupaten/kota sebagaimana tertuang dalam lampiran
Peraturan

Pemerintah

ini

secara

otomatis

menjadi

kewenangan provinsi.
(2) Urusan pemerintahan di Provinsi Papua dan Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam berpedoman pada peraturan
perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus
daerah yang bersangkutan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Semua

ketentuan

berkaitan

secara

pemerintahan,

peraturan
langsung

wajib

perundang-undangan
dengan

mendasarkan

pembagian
dan

yang

urusan

menyesuaikan

dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 21 . . .

- 19 Pasal 21
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3952) dinyatakan masih
tetap

berlaku

sepanjang

belum

diganti

dan

tidak

bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 22
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000

tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai


Daerah
Tahun

Otonom
2000

(Lembaran

Nomor

54,

Negara

Tambahan

Republik

Indonesia

Lembaran

Negara

Republik Indonesia Nomor 3952) dan semua peraturan


perundang-undangan yang berkaitan dengan pembagian
urusan pemerintahan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

Agar . . .

- 20 Agar

setiap

pengundangan

orang

mengetahuinya,

Peraturan

Pemerintah

memerintahkan
ini

dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juli 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 82

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,

Wisnu Setiawan

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 2007
TENTANG
PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN
ANTARA PEMERINTAH, PEMERINTAHAN DAERAH PROVINSI, DAN
PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA
I. UMUM
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang
Pemerintahan
Daerah,
pemerintahan
daerah
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan
pemerintahan antara Pemerintah dengan pemerintahan daerah.
Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan
susunan pemerintahan atau konkuren. Urusan pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah urusan dalam
bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal
nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat
dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan
atau konkuren adalah urusan-urusan pemerintahan selain urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah.
Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang
bersifat konkuren senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi
kewenangan Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Untuk . . .

-2Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat


konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah,
pemerintahan
daerah
provinsi
dan
pemerintahan
daerah
kabupaten/kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan secara kumulatif
sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan
keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan.
Kriteria eksternalitas didasarkan atas pemikiran bahwa tingkat
pemerintahan yang berwenang atas suatu urusan pemerintahan
ditentukan oleh jangkauan dampak yang diakibatkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Untuk mencegah
terjadinya tumpang tindih pengakuan atau klaim atas dampak
tersebut, maka ditentukan kriteria akuntabilitas yaitu tingkat
pemerintahan yang paling dekat dengan dampak yang timbul adalah
yang
paling
berwenang
untuk
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan tersebut.
Hal ini adalah sesuai dengan prinsip demokrasi yaitu mendorong
akuntabilitas Pemerintah kepada rakyat. Kriteria efisiensi didasarkan
pada pemikiran bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan
sedapat mungkin mencapai skala ekonomis. Hal ini dimaksudkan
agar seluruh tingkat pemerintahan wajib mengedepankan pencapaian
efisiensi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya yang sangat diperlukan dalam menghadapi
persaingan di era global. Dengan penerapan ketiga kriteria tersebut,
semangat demokrasi yang diterapkan melalui kriteria eksternalitas
dan akuntabilitas, serta semangat ekonomis yang diwujudkan
melalui kriteria efisiensi dapat disinergikan dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan demokratisasi sebagai
esensi dasar dari kebijakan desentralisasi.
Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib
dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan
pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat,
seperti
pendidikan
dasar,
kesehatan,
lingkungan
hidup,
perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan
yang
bersifat
pilihan
adalah
urusan
pemerintahan
yang
diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang
terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core
competence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan pemerintahan di
luar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang

bersangkutan . . .

-3bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh pemerintahan daerah


yang bersangkutan.
Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang
dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan
pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan
yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan
masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan
daerah yang bersangkutan.
Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan
sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini,
setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan
pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar
prinsip penyelenggaraan urusan sisa.
Untuk itu pemberdayaan dari Pemerintah kepada pemerintahan
daerah menjadi sangat penting untuk meningkatkan kapasitas
daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan
kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangannya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan
dan/atau susunan pemerintahan, yang disebut juga dengan
urusan pemerintahan yang bersifat konkuren adalah
urusan pemerintahan di luar urusan pemerintahan yang
menjadi
kewenangan
sepenuhnya
Pemerintah,
yang
diselenggarakan bersama oleh Pemerintah, pemerintahan
daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Ayat (4) . . .

-4Ayat (4)
Ketigapuluh satu bidang urusan pemerintahan sebagaimana
diatur dalam pasal ini berkaitan langsung dengan otonomi
daerah.
Ayat (5)
Cukup Jelas.
Ayat (6)
Cukup Jelas.
Pasal 3
Cukup Jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Eksternalitas
adalah
kriteria
pembagian
urusan
pemerintahan dengan memperhatikan dampak yang timbul
sebagai akibat dari penyelenggaraan suatu urusan
pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat
lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi
kewenangan
pemerintahan
daerah
kabupaten/kota.
Sedangkan
apabila
dampaknya
bersifat
lintas
kabupaten/kota
dan/atau
regional
maka
urusan
pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintahan
provinsi; dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi
dan/atau nasional, maka urusan itu menjadi kewenangan
Pemerintah.
Akuntabilitas
adalah
kriteria
pembagian
urusan
Pemerintahan dengan memperhatikan pertanggungjawaban
Pemerintah,
pemerintahan
daerah
Provinsi,
dan
pemerintahan
daerah
kabupaten/kota
dalam
penyelenggaraan urusan Pemerintahan tertentu kepada
masyarakat. Apabila dampak penyelenggaraan bagian urusan
pemerintahan secara langsung hanya dialami secara lokal
(satu
kabupaten/kota),
maka
pemerintahan
daerah
kabupaten/kota bertanggungjawab mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan tersebut. Sedangkan apabila dampak
penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan secara
langsung dialami oleh lebih dari satu kabupaten/kota dalam
satu provinsi, maka pemerintahan daerah provinsi yang

bersangkutan . . .

-5bersangkutan bertanggung jawab mengatur dan mengurus


urusan pemerintahan tersebut; dan apabila dampak
penyelenggaraan urusan pemerintahan dialami lebih dari satu
provinsi dan/atau bersifat nasional maka Pemerintah
bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dimaksud.
Efisiensi adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan
dengan memperhatikan daya guna tertinggi yang dapat
diperoleh dari penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan.
Apabila urusan pemerintahan lebih berdayaguna ditangani
pemerintahan daerah kabupaten/kota, maka diserahkan
kepada pemerintahan daerah kabupaten/kota, sedangkan
apabila akan lebih berdayaguna bila ditangani pemerintahan
daerah provinsi, maka diserahkan kepada pemerintahan
daerah
provinsi.
Sebaliknya
apabila
suatu
urusan
pemerintahan akan berdayaguna bila ditangani Pemerintah
maka akan tetap menjadi kewenangan Pemerintah.
Ayat (2)
Rincian setiap bidang urusan pemerintahan dalam Peraturan
Pemerintah ini mencakup bidang, sub bidang sampai dengan
sub sub bidang. Rincian lebih lanjut dari sub bidang
dan/atau sub sub bidang diatur lebih lanjut dengan
peraturan
menteri/kepala
lembaga
pemerintah
non
departemen setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam
Negeri guna dilakukan pembahasan bersama unsur-unsur
pemangku kepentingan terkait.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah adalah urusan pemerintahan di luar
urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan
Pemerintah dan berdasarkan kriteria pembagian urusan
pemerintahan menjadi kewenangan Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 6 . . .

-6Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penentuan potensi unggulan mengacu pada produk domestik
regional bruto (PDRB), mata pencaharian penduduk, dan
pemanfaatan lahan yang ada di daerah.
Ayat (4)
Penentuan urusan pilihan sesuai dengan skala prioritas yang
ditetapkan pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah tetap
harus memberikan pelayanan publik yang dibutuhkan
masyarakat meskipun pelayanan tersebut bukan berasal dari
urusan pilihan yang diprioritaskan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Mengingat kemampuan anggaran yang masih terbatas, maka
penetapan dan pelaksanaan standar pelayanan minimal pada
bidang yang menjadi urusan wajib pemerintahan daerah
dilaksanakan secara bertahap dengan mendahulukan sub
sub bidang urusan wajib yang bersifat prioritas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4) . . .

-7Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai
tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Prosedur
adalah
metode
atau
tata
penyelenggaraan pemerintahan daerah.

cara

untuk

Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar


dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keserasian hubungan adalah
pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh
tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling
berhubungan
(interkoneksi),
saling
tergantung
(interdependensi), dan saling mendukung sebagai satu
kesatuan
sistem
dengan
memperhatikan
cakupan
kemanfaatan.
Ayat (3)
Pemangku
kepentingan
terdiri
dari
unsur
departemen/lembaga pemerintah non departemen terkait,
pemerintahan daerah, asosiasi profesi, dan perwakilan
masyarakat.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13 . . .

-8Pasal 13
Ayat (1)
Pengelolaan bersama dapat dilembagakan dalam bentuk
kerjasama antar daerah yang difasilitasi oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Urusan pemerintahan sisa yang berskala nasional atau lintas
provinsi menjadi kewenangan Pemerintah, yang berskala
provinsi atau lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan
pemerintahan
daerah
provinsi,
dan
yang
berskala
kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintahan daerah
kabupaten/kota.
Ayat (2)
Penetapan dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya
saling
gugat
antar
tingkatan
dan/atau
susunan
pemerintahan.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Pembinaan yang dilakukan Pemerintah dapat berbentuk
pemberian bimbingan, supervisi, konsultasi, monitoring dan
evaluasi, pendidikan dan latihan dan kegiatan pemberdayaan
lainnya yang diarahkan agar pemerintahan daerah mampu
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya.

Ayat (2) . . .

-9Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4737

LAMPIRAN

- 763 BB. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
SUB BIDANG
1. Mineral, Batu Bara,
Panas Bumi, dan Air
Tanah

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH
1.

Penetapan kebijakan
pengelolaan mineral,
batubara, panas bumi
dan air tanah nasional.

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

1.

1.

2. Pembuatan peraturan
perundang-undangan di
bidang mineral,
batubara, panas bumi,
dan air tanah.

2.

Pembuatan peraturan
perundang-undangan
daerah provinsi di bidang
mineral, batubara, panas
bumi, dan air tanah.

2.

Pembuatan peraturan
perundang-undangan
daerah kabupaten/kota
di bidang mineral,
batubara, panas bumi,
dan air tanah.

3. Pembuatan dan
penetapan standar
nasional, pedoman, dan
kriteria di bidang
pengelolaan
pertambangan mineral,
batubara, panas bumi
dan air tanah serta
kompetensi kerja
pertambangan.

3.

3.

- 764 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

4. Penetapan kriteria
kawasan pertambangan
dan wilayah kerja usaha
pertambangan mineral
dan batubara serta
panas bumi setelah
mendapat pertimbangan
dan/atau rekomendasi
provinsi dan
kabupaten/kota.

4.

Penyusunan data dan


informasi usaha
pertambangan mineral
dan batubara serta
panas bumi lintas
kabupaten/kota.

4.

Penyusunan data dan


informasi wilayah kerja
usaha pertambangan
mineral dan batubara
serta panas bumi skala
kabupaten/kota.

5. Penetapan cekungan air


tanah setelah mendapat
pertimbangan provinsi
dan kabupaten/kota.

5.

Penyusunan data dan


informasi cekungan air
tanah lintas
kabupaten/kota.

5.

Penyusunan data dan


informasi cekungan air
tanah skala
kabupaten/kota.

6. Pemberian rekomendasi
teknis untuk izin
pengeboran, izin
penggalian dan izin
penurapan mata air
pada cekungan air tanah
lintas provinsi.

6.

Pemberian rekomendasi
teknis untuk izin
pengeboran, izin
penggalian dan izin
penurapan mata air pada
cekungan air tanah
lintas kabupaten/kota.

6.

Pemberian rekomendasi
teknis untuk izin
pengeboran, izin
penggalian dan izin
penurapan mata air pada
cekungan air tanah pada
wilayah kabupaten/kota.

- 765 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

7. Pemberian izin usaha


pertambangan mineral
dan batubara, panas
bumi, pada wilayah
lintas provinsi dan di
wilayah laut dan di luar
12 (dua belas) mil.

7.

Pemberian izin usaha


pertambangan mineral,
batubara dan panas
bumi pada wilayah lintas
kabupaten/kota dan
paling jauh 12 (dua
belas) mil laut diukur
dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau ke
arah perairan
kepulauan.

7.

Pemberian izin usaha


pertambangan mineral,
batubara dan panas
bumi pada wilayah
kabupaten/kota dan 1/3
(sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi.

8. Pemberian izin usaha


pertambangan mineral,
dan batubara untuk
operasi produksi, yang
berdampak lingkungan
langsung lintas provinsi
dan/atau dalam wilayah
laut dan di luar 12 (dua
belas) mil laut.

8.

Pemberian izin usaha


pertambangan mineral,
dan batubara untuk
operasi produksi, yang
berdampak lingkungan
langsung lintas
kabupaten/kota dan
paling jauh 12 (dua
belas) mil laut diukur
dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau ke
arah perairan
kepulauan.

8.

Pemberian izin usaha


pertambangan mineral,
dan batubara untuk
operasi produksi, yang
berdampak lingkungan
langsung pada wilayah
kabupaten/kota dan 1/3
(sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi.

- 766 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

9. Pembinaan dan
pengawasan
pelaksanaan izin usaha
pertambangan mineral,
batubara, dan panas
bumi pada wilayah lintas
provinsi dan di wilayah
laut dan di luar 12 (dua
belas) mil.

9.

10. Pembuatan dan


penetapan klasifikasi,
kualifikasi serta
pedoman usaha jasa
pertambangan mineral,
batubara, panas bumi
dan air tanah.

10.

Pembinaan dan
pengawasan pelaksanaan
izin usaha pertambangan
mineral, batubara dan
panas bumi pada
wilayah lintas
kabupaten/kota dan
paling jauh 12 (dua
belas) mil laut diukur
dari garis pantai ke arah
laut lepas dan/atau ke
arah perairan
kepulauan.

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA
9.

Pembinaan dan
pengawasan pelaksanaan
izin usaha pertambangan
mineral, batubara dan
panas bumi, pada
wilayah kabupaten/kota
dan 1/3 (sepertiga) dari
wilayah kewenangan
provinsi.

10.

- 767 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

11. Pemberian izin badan


usaha jasa
pertambangan mineral,
batubara, dan panas
bumi dalam rangka
Penanaman Modal Asing
(PMA) dan Penanaman
Modal Dalam Negeri
(PMDN) serta yang
mempunyai wilayah
kerja lintas provinsi.

11. Pemberian izin badan


usaha jasa
pertambangan mineral,
batubara, dan panas
bumi dalam rangka PMA
dan PMDN lintas
kabupaten/kota.

11. Pemberian izin badan


usaha jasa
pertambangan mineral,
batubara, dan panas
bumi dalam rangka PMA
dan PMDN di wilayah
kabupaten/kota.

12. Pengelolaan, pembinaan


dan pengawasan
pelaksanaan izin usaha
jasa pertambangan
mineral, batubara, dan
panas bumi dalam
rangka penanaman
modal.

12. Pengelolaan, pembinaan


dan pengawasan
pelaksanaan izin usaha
jasa pertambangan
mineral, batubara, dan
panas bumi dalam
rangka penanaman
modal lintas
kabupaten/kota.

12. Pengelolaan, pembinaan


dan pengawasan
pelaksanaan izin usaha
jasa pertambangan
mineral, batubara, dan
panas bumi dalam
rangka penanaman
modal di wilayah
kabupaten/kota.

PEMERINTAH

- 768 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH
13. Pembinaan dan
pengawasan
keselamatan dan
kesehatan kerja,
lingkungan
pertambangan termasuk
reklamasi lahan pasca
tambang, konservasi dan
peningkatan nilai
tambah terhadap usaha
pertambangan mineral,
batubara, dan panas
bumi, pada wilayah
lintas provinsi atau yang
berdampak nasional dan
di wilayah laut.

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

13. Pembinaan dan


pengawasan keselamatan
dan kesehatan kerja,
lingkungan
pertambangan termasuk
reklamasi lahan pasca
tambang, konservasi dan
peningkatan nilai
tambah terhadap usaha
pertambangan mineral,
batubara dan panas
bumi, pada wilayah
lintas kabupaten/kota
atau yang berdampak
regional.

13. Pembinaan dan


pengawasan keselamatan
dan kesehatan kerja,
lingkungan
pertambangan termasuk
reklamasi lahan pasca
tambang, konservasi dan
peningkatan nilai
tambah terhadap usaha
pertambangan mineral,
batubara dan panas
bumi, pada wilayah
kabupaten/kota.

- 769 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

14. Pembinaan dan


pengawasan
pengusahaan Kuasa
Pertambangan (KP) lintas
provinsi, Kontrak Karya
(KK) dan Perjanjian
Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara
(PKP2B) yang diterbitkan
berdasarkan UndangUndang tentang
Ketentuan Pokok-Pokok
Pertambangan.

14. Pembinaan dan


pengawasan
pengusahaan KP lintas
kabupaten/kota.

14. Pembinaan dan


pengawasan
pengusahaan KP dalam
wilayah kabupaten/kota.

15. Pembinaan dan


pengawasan
keselamatan dan
kesehatan kerja,
lingkungan
pertambangan termasuk
reklamasi lahan pasca
tambang, konservasi dan
peningkatan nilai
tambah terhadap KK dan
PKP2B yang telah

15. Pembinaan dan


pengawasan keselamatan
dan kesehatan kerja,
lingkungan
pertambangan termasuk
reklamasi lahan pasca
tambang, konservasi dan
peningkatan nilai
tambah terhadap KP
lintas kabupaten/kota.

15. Pembinaan dan


pengawasan
Keselamatan dan
Kesehatan Kerja,
lingkungan
pertambangan termasuk
reklamasi lahan pasca
tambang, konservasi dan
peningkatan nilai
tambah terhadap KP
dalam wilayah

- 770 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

dikeluarkan berdasarkan
Undang-Undang tentang
Ketentuan Pokok-Pokok
Pertambangan.

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA
kabupaten/kota.

16. Penetapan wilayah


konservasi dan
pencadangan sumber
daya mineral, batubara
dan panas bumi
nasional serta air tanah.

16. Penetapan wilayah


konservasi air tanah
lintas kabupaten/kota.

16. Penetapan wilayah


konservasi air tanah
dalam wilayah
kabupaten/kota.

17. Pembinaan dan


pengawasan
pelaksanaan izin usaha
pertambangan mineral,
dan batubara untuk
operasi produksi, serta
panas bumi yang
berdampak lingkungan
langsung lintas provinsi
dan/atau dalam wilayah
laut.

17. Pembinaan dan


pengawasan pelaksanaan
izin usaha pertambangan
mineral, dan batubara
untuk operasi produksi,
serta panas bumi yang
berdampak lingkungan
langsung lintas
kabupaten/kota.

17. Pembinaan dan


pengawasan pelaksanaan
izin usaha pertambangan
mineral, dan batubara
untuk operasi produksi,
serta panas bumi yang
berdampak lingkungan
langsung dalam wilayah
kabupaten/kota.

- 771 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

18. Pengelolaan, pembinaan,


dan pengawasan wilayah
kerja KP dan kontrak
kerja sama pengusahaan
pertambangan panas
bumi yang dikeluarkan
sebelum diterbitkannya
Undang-Undang Nomor
27 Tahun 2003 tentang
Panas Bumi yang
berdampak nasional.

18.

18.

19. Penetapan kebijakan


batasan produksi
mineral, batubara dan
panas bumi.

19.

19.

20. Penetapan kebijakan


batasan pemasaran dan
pemanfaatan mineral,
batubara dan panas
bumi.

20.

20.

- 772 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

21. Penetapan kebijakan


kemitraan dan
kerjasama serta
pengembangan
masyarakat dalam
pengelolaan mineral,
batubara dan panas
bumi.

21.

21.

22. Perumusan dan


penetapan tarif iuran
tetap dan iuran produksi
mineral, batubara dan
panas bumi.

22.

22.

23. Penetapan kebijakan


pemanfaatan dan
penggunaan dana
pengembangan batubara
dari Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP).

23.

23.

- 773 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

24. Penetapan pedoman nilai


perolehan air tanah pada
cekungan air tanah
lintas provinsi dan lintas
negara.

24. Penetapan nilai


perolehan air tanah pada
cekungan air tanah
lintas kabupaten/kota.

24. Penetapan nilai


perolehan air tanah pada
cekungan air tanah
dalam wilayah
kabupaten/ kota.

25. Pengelolaan data dan


informasi mineral,
batubara, panas bumi
dan air tanah serta
pengusahaan dan Sistem
Informasi Geografis (SIG)
wilayah kerja
pertambangan nasional.

25. Pengelolaan data dan


informasi mineral,
batubara, panas bumi
dan air tanah serta
pengusahaan dan SIG
wilayah kerja
pertambangan di wilayah
provinsi.

25. Pengelolaan data dan


informasi mineral,
batubara, panas bumi
dan air tanah serta
pengusahaan dan SIG
wilayah kerja
pertambangan di wilayah
kabupaten/kota.

26. Penetapan potensi panas


bumi dan air tanah serta
neraca sumber daya dan
cadangan mineral dan
batubara nasional.

26. Penetapan potensi panas


bumi dan air tanah serta
neraca sumber daya dan
cadangan mineral dan
batubara di wilayah
provinsi.

26. Penetapan potensi panas


bumi dan air tanah serta
neraca sumber daya dan
cadangan mineral dan
batubara di wilayah
kabupaten/kota.

PEMERINTAH

- 774 SUB BIDANG

2. Geologi

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

27. Pengangkatan dan


pembinaan inspektur
tambang serta
pembinaan jabatan
fungsional.

27. Pengangkatan dan


pembinaan inspektur
tambang serta
pembinaan jabatan
fungsional provinsi.

27. Pengangkatan dan


pembinaan inspektur
tambang serta
pembinaan jabatan
fungsional
kabupaten/kota.

1.

Penetapan kebijakan
nasional bidang geologi.

1.

1.

2.

Pelaksanaan pemetaan
geologi dan peta tematik,
inventarisasi geologi dan
sumber daya mineral,
panas bumi, migas, air
tanah nasional dan
kawasan pengembangan
yang bersifat strategis
serta pelaksanaan
eksplorasi panas bumi.

2.

Pelaksanaan
inventarisasi geologi dan
sumber daya mineral,
batubara, panas bumi,
migas dan air tanah
pada wilayah provinsi.

2.

Pelaksanaan
inventarisasi geologi dan
sumber daya mineral,
batubara, panas bumi,
migas dan air tanah pada
wilayah kabupaten/kota.

3.

Penetapan kawasan
karst dan kawasan
lindung geologi nasional.

3.

Pelaksanaan
inventarisasi kawasan
karst dan kawasan
lindung geologi pada
wilayah provinsi.

3.

Pelaksanaan
inventarisasi kawasan
karst dan kawasan
lindung geologi pada
wilayah kabupaten/kota.

- 775 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

4.

Penetapan kriteria
pemanfaatan kawasan
karst dan kawasan
lindung geologi.

4.

Penetapan zonasi
pemanfaatan kawasan
karst dan kawasan
lindung geologi pada
wilayah lintas
kabupaten/kota.

4.

Penetapan zonasi
pemanfaatan kawasan
karst dan kawasan
lindung geologi pada
wilayah kabupaten/kota.

5.

Penetapan pedoman,
kriteria norma, standar,
prosedur geologi,
lingkungan geologi,
geologi teknik,
kebencanaan dan
kawasan lingkungan
geologi.

5.

Penetapan pengelolaan
lingkungan geologi,
geologi teknik, kawasan
rawan bencana dan
kawasan lingkungan
geologi di wilayah lintas
kabupaten/kota.

5.

Penetapan pengelolaan
lingkungan geologi,
geologi teknik, kawasan
rawan bencana dan
kawasan lingkungan
geologi di wilayah
kabupaten/kota.

6.

Pelaksanaan
inventarisasi geologi,
lingkungan geologi,
geologi teknik,
kebencanaan dan
kawasan lingkungan
geologi secara nasional
dan kawasan
pengembangan strategis.

6.

Pelaksanaan
inventarisasi lingkungan
geologi, geologi teknik,
kawasan rawan bencana
dan kawasan lingkungan
geologi pada wilayah
provinsi.

6.

Pelaksanaan
inventarisasi lingkungan
geologi, geologi teknik,
kawasan rawan bencana
dan kawasan lingkungan
geologi pada wilayah
kabupaten/kota.

- 776 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

7.

Penetapan kebijakan dan


pengaturan mitigasi
bencana geologi serta
pedoman pengelolaan
kawasan lindung geologi
dan kawasan rawan
bencana.

7.

Pelaksanaan kebijakan
mitigasi bencana geologi
pada wilayah lintas
kabupaten/kota.

7.

Pelaksanaan kebijakan
mitigasi bencana geologi
pada wilayah
kabupaten/kota.

8.

Inventarisasi, pemetaan,
pemeriksaan,
pemantauan,
penyelidikan dan
penelitian, dan kawasan
rawan bencana geologi
daerah vital serta
strategis dan/atau
memiliki dampak
nasional.

8.

Inventarisasi dan
pengelolaan, kawasan
rawan bencana geologi
pada wilayah provinsi
dan/atau memiliki
dampak lintas
kabupaten/kota.

8.

Inventarisasi dan
pengelolaan, kawasan
rawan bencana geologi,
pada wilayah
kabupaten/kota.

9.

Pemberian peringatan
dini bencana gunung api
dan gempa
bumi/tsunami dan
penetapan langkahlangkah mitigasi untuk
bencana geologi.

9.

Pelaksanaan koordinasi
mitigasi bencana geologi
pada wilayah lintas
kabupaten/kota.

9.

Pelaksanaan koordinasi
mitigasi bencana geologi
pada wilayah
kabupaten/kota.

- 777 SUB BIDANG

3. Ketenagalistrikan

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

10. Pengelolaan data dan


informasi bencana
geologi.

10. Pengelolaan informasi


bencana geologi pada
wilayah lintas
kabupaten/kota.

10. Pengelolaan informasi


bencana geologi pada
wilayah kabupaten/kota.

11. Pembinaan tenaga


fungsional penyelidik
bumi nasional dan
pengamat gunung api.

11. Pelaksanaan pembinaan


fungsional penyelidik
bumi nasional pada
wilayah provinsi.

11. Pelaksanaan pembinaan


fungsional penyelidik
bumi nasional pada
wilayah kabupaten/kota.

12. Pengelolaan data dan


informasi geologi
nasional.

12. Pengelolaan data dan


informasi geologi pada
wilayah provinsi.

12. Pengelolaan data dan


informasi geologi pada
wilayah kabupaten/kota.

1.

Penetapan kebijakan
pengelolaan energi dan
ketenagalistrikan
nasional.

1.

1.

2.

Penetapan peraturan
perundang-undangan di
bidang energi dan
ketenagalistrikan.

2.

Penetapan peraturan
daerah provinsi di bidang
energi dan
ketenagalistrikan.

2. Penetapan peraturan
daerah kabupaten/kota
di bidang energi dan
ketenagalistrikan.

- 778 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

3.

Penetapan pedoman,
standar dan kriteria
pengelolaan energi dan
ketenagalistrikan.

3.

3.

4.

Penetapan Rencana
Umum Ketenagalistrikan
Nasional (RUKN), dan
Jaringan Transmisi
Nasional (JTN).

4.

Penetapan Rencana
Umum Ketenagalistrikan
Daerah (RUKD) regional.

4. Penetapan Rencana
Umum Ketenagalistrikan
Daerah (RUKD)
kabupaten/kota.

5.

Pemberian izin usaha


ketenagalistrikan yang
dilakukan Pemegang
Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan
(PKUK).

5.

5.

- 779 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

6.

Pemberian Izin Usaha


Ketenagalistrikan untuk
Kepentingan Umum
(IUKU) yang sarana
maupun energi listriknya
lintas provinsi dan usaha
penyediaan tenaga listrik
yang terhubung ke
dalam JTN.

6.

Pemberian IUKU yang


sarana maupun energi
listriknya lintas
kabupaten/kota.

6.

7.

Pengaturan harga jual


tenaga listrik untuk
konsumen PKUK dan
pemegang IUKU yang izin
usahanya dikeluarkan
oleh pemerintah.

7.

Pengaturan harga jual


tenaga listrik untuk
konsumen pemegang
IUKU yang izin usahanya
dikeluarkan oleh
provinsi.

7. Pengaturan harga jual


tenaga listrik untuk
konsumen pemegang
IUKU yang izin usahanya
dikeluarkan oleh
kabupaten/kota.

8.

Pengaturan harga jual


tenaga listrik kepada
PKUK dan pemegang
IUKU yang izinnya
dikeluarkan oleh
pemerintah.

8.

Pengaturan harga jual


tenaga listrik kepada
pemegang IUKU yang
izinnya dikeluarkan oleh
provinsi.

8.

Pemberian IUKU yang


sarana maupun energi
listriknya dalam
kabupaten/kota.

Pengaturan harga jual


tenaga listrik kepada
pemegang IUKU yang
izinnya dikeluarkan oleh
kabupaten/kota.

- 780 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH
9.

Pemberian Izin Usaha


penyediaan tenaga listrik
untuk Kepentingan
Sendiri (IUKS) yang
sarana instalasinya
mencakup lintas
provinsi.

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI
9.

Pemberian IUKS yang


sarana instalasinya
mencakup lintas
kabupaten/kota.

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA
9.

Pemberian IUKS yang


sarana instalasinya
dalam kabupaten/kota.

10. Pemberian persetujuan


penjualan kelebihan
tenaga listrik oleh
pemegang IUKS kepada
PKUK dan pemegang
IUKU yang izinnya
dikeluarkan oleh
pemerintah.

10. Pemberian persetujuan


penjualan kelebihan
tenaga listrik oleh
pemegang IUKS kepada
pemegang IUKU yang
izinnya dikeluarkan oleh
provinsi.

10. Pemberian persetujuan


penjualan kelebihan
tenaga listrik oleh
pemegang IUKS kepada
pemegang IUKU yang
izinnya dikeluarkan oleh
kabupaten/kota.

11. Pemberian izin usaha


jasa penunjang tenaga
listrik bagi badan usaha
asing/mayoritas
sahamnya dimiliki oleh
penanam modal asing.

11.

11. Pemberian izin usaha


jasa penunjang tenaga
listrik bagi badan usaha
dalam negeri/mayoritas
sahamnya dimiliki oleh
penanam modal dalam
negeri.

- 781 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

12. Pembinaaan dan


pengawasan pelaksanaan
sertifikasi bidang
ketenagalistrikan dan
pelaksanaan usaha
ketenagalistrikan yang
izinnya dikeluarkan oleh
pemerintah.

12. Pembinaaan dan


pengawasan pelaksanaan
usaha ketenagalistrikan
yang izinnya diberikan
oleh provinsi.

12. Pembinaaan dan


pengawasan pelaksanaan
usaha ketenagalistrikan
yang izinnya diberikan
oleh kabupaten/kota.

13. Penetapan kebijakan dan


penyediaan listrik
pedesaan secara
nasional.

13. Koordinasi dan


penyediaan listrik
pedesaan pada wilayah
regional.

13. Penyediaan listrik


pedesaan
di wilayah
kabupaten/kota.

14. Pengangkatan dan


pembinaan inspektur
ketenagalistrikan serta
pembinaan jabatan
fungsional.

14. Pengangkatan dan


pembinaan inspektur
ketenagalistrikan serta
pembinaan jabatan
fungsional provinsi.

14. Pengangkatan dan


pembinaan inspektur
ketenagalistrikan serta
pembinaan jabatan
fungsional
kabupaten/kota.

15. Penetapan pedoman,


standar dan kriteria
penerangan jalan umum.

15.

15.

PEMERINTAH

- 782 SUB BIDANG


4. Minyak dan Gas Bumi

SUB SUB
BIDANG
1. Kegiatan
Usaha Hulu
Minyak dan
Gas Bumi
(Migas)

2. Kegiatan
Usaha Hilir
Minyak dan
Gas Bumi

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

1.

Penetapan mekanisme
penyampaian laporan
produksi penghitungan
(lifting) bagian daerah.

1.

Penghitungan produksi
dan realisasi lifting
minyak bumi dan gas
bumi bersama
pemerintah.

1.

Penghitungan produksi
dan realisasi lifting
minyak bumi dan gas
bumi bersama
pemerintah.

2.

Penetapan wilayah kerja


kontrak kerja sama
bidang minyak dan gas
bumi.

2.

Pemberian rekomendasi
penggunaan wilayah
kerja kontrak kerja sama
untuk kegiatan lain di
luar kegiatan migas pada
lintas kabupaten/kota.

2.

Pemberian rekomendasi
penggunaan wilayah
kerja kontrak kerja sama
untuk kegiatan lain di
luar kegiatan migas pada
wilayah kabupaten/kota.

3.

Penetapan standar dan


norma untuk izin
pembukaan kantor
perwakilan perusahaan.

3.

3.

Pemberian izin
pembukaan kantor
perwakilan perusahaan
di sub sektor migas.

1.

Pemberian izin usaha


pada kegiatan usaha hilir
minyak dan gas bumi,
yang terdiri dari kegiatan
usaha pengolahan,
pengangkutan,
penyimpanan dan niaga.

1.

Pengawasan jumlah
armada pengangkut
Bahan Bakar Minyak
(BBM) di daerah provinsi
yang meliputi jumlah
armada dan kapasitas
pengangkutan BBM.

1.

- 783 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

2.

2.

Inventarisasi jumlah
badan usaha kegiatan
hilir yang beroperasi di
daerah provinsi.

2.

3.

3.

Penetapan harga bahan


bakar minyak jenis
minyak tanah pada
tingkat konsumen rumah
tangga dan usaha kecil.

3.

4.

4.

Pengawasan
pencantuman Nomor
Pelumas Terdaftar (NPT)
pada pelumas yang
beredar di pasaran
sesuai peraturan
perundang-undangan.

4.

- 784 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

5.

5.

6.a. Pengaturan dan


pelaksanaan penyediaan
dan pendistribusian
BBM di wilayah Negara
Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).

6.a. Pemantauan dan


inventarisasi penyediaan,
penyaluran dan kualitas
harga BBM serta
melakukan analisa dan
evaluasi terhadap
kebutuhan/penyediaan
BBM lintas
kabupaten/kota.

b.

Koordinasi pengawasan
pengendalian
pendistribusian dan tata
niaga bahan bakar
minyak dari agen dan
pangkalan dan sampai
konsumen di wilayah
provinsi.

b.

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA
5.

Pengawasan
pengendalian
pendistribusian dan tata
niaga bahan bakar
minyak dari agen dan
pangkalan dan sampai
konsumen akhir di
wilayah kabupaten/kota.

6.a. Pemantauan dan


inventarisasi penyediaan,
penyaluran dan kualitas
harga BBM serta
melakukan analisa dan
evaluasi terhadap
kebutuhan/penyediaan
BBM di wilayah
kabupaten/kota.
b. Pemberian rekomendasi
lokasi pendirian kilang
dan tempat penyimpanan
migas.

- 785 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH
c.

3. Kegiatan
Usaha Jasa
Penunjang
Minyak dan
Gas Bumi

1.

Pemberian rekomendasi
Pembelian dan
Penggunaan (P2) dan
Pemilikan Penguasaan
dan Penyimpanan (P3)
bahan peledak untuk
kegiatan migas.

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI
c.

1. Pemberian rekomendasi
pendirian gudang bahan
peledak dalam rangka
kegiatan usaha migas di
daerah operasi daratan
dan di daerah operasi
paling jauh 12 (dua belas)
mil laut diukur dari garis
pantai ke arah laut lepas
dan/atau ke arah
perairan kepulauan.

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA
c. Pemberian izin lokasi
pendirian Stasiun
Pengisian Bahan Bakar
untuk Umum (SPBU).
1. Pemberian rekomendasi
pendirian gudang bahan
peledak dalam rangka
kegiatan usaha migas di
daerah operasi daratan
dan di daerah operasi
pada wilayah
kabupaten/kota dan 1/3
(sepertiga) dari wilayah
kewenangan provinsi.

- 786 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

2.

Pembinaan dan
pengawasan
pelaksanaan izin usaha
penunjang migas.

2. Pengawasan terhadap
kegiatan usaha
perusahaan jasa
penunjang minyak dan
gas bumi untuk bidang
usaha jasa penyediaan
komoditi dan jasa boga
dan bidang usaha jasa
penyediaan material dan
peralatan termasuk
pelayanan purna jual
yang berdomisili di
provinsi yang
bersangkutan.

2.

3.

Pengangkatan dan
pembinaan inspektur
migas serta pembinaan
jabatan fungsional.

3. Pengangkatan dan
pembinaan inspektur
migas serta pembinaan
jabatan fungsional
provinsi.

3.

Pengangkatan dan
pembinaan inspektur
migas serta pembinaan
jabatan fungsional
kabupaten/kota.

- 787 SUB BIDANG


5. Pendidikan dan
Pelatihan (Diklat)

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

1. Penetapan pedoman dan


standar penyelenggaraan
pendidikan dan
pelatihan teknis dan
fungsional tertentu
sektor energi dan
sumber daya mineral.

1.

1.

2. Penetapan pedoman
akreditasi bagi lembaga
diklat penyelenggara
diklat teknis dan
fungsional tertentu
sektor energi dan
sumber daya mineral.

2. Pengusulan lembaga
diklat provinsi agar
terakreditasi sebagai
penyelenggara
pendidikan dan
pelatihan teknis dan
fungsional tertentu
sektor energi dan
sumber daya mineral.

2.

3. Penetapan standar
kurikulum berbasis
kompetensi diklat teknis
dan fungsional tertentu
sektor energi dan
sumber daya mineral.

3.

3.

- 788 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

4. Fasilitasi
penyelenggaraan
assessment melalui
lembaga assessment
Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral
(DESDM) bagi Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dinas
daerah
provinsi/kabupaten/
kota.

4. Penyertaan dan atau


memfasilitasi
penyelenggaraan
assessment bekerjasama
dengan lembaga
assessment DESDM.

4. Penyertaan dan atau


memfasilitasi
penyelenggaraan
assessment bekerjasama
dengan lembaga
assessment DESDM.

5. Penyelenggaraan
pendidikan dan
pelatihan teknis untuk
kepala dinas provinsi
dan kabupaten/kota
yang mengelola sektor
energi dan sumber daya
mineral.

5. Penyelenggaraan
pendidikan dan
pelatihan teknis untuk
kepala sub dinas
kabupaten/kota dan
kepala seksi dinas
kabupaten/kota yang
mengelola sektor energi
dan sumber daya
mineral setelah lembaga
diklat terakreditasi.

5.

PEMERINTAH

- 789 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH
6. Penyelenggaraan
pendidikan dan
pelatihan teknis sektor
energi dan sumber daya
mineral bagi perangkat
daerah yang mengelola
sektor energi dan
sumber daya mineral.

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI
6. Penyelenggaraan
pendidikan dan
pelatihan teknis sektor
energi dan sumber daya
mineral bagi perangkat
daerah yang mengelola
sektor energi dan
sumber daya mineral
berdasarkan pedoman
dan standar
penyelenggaraan,
kurikulum/silabus dan
lembaga diklat
terakreditasi.

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA
6.

- 790 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

7. Penyelenggaraan
pendidikan dan
pelatihan fungsional
tertentu untuk
pengangkatan pertama
kali dan jenjang madya
inspektur tambang/
minyak dan gas bumi/
ketenagalistrikan/
penyelidik bumi.

7. Penyelenggaraan
pendidikan dan
pelatihan fungsional
tertentu untuk
pengangkatan pertama
kali dan jenjang muda
inspektur tambang/
minyak dan gas bumi/
ketenagalistrikan/
penyelidik bumi
berdasarkan pedoman
dan standar
penyelenggaraan,
kurikulum/silabus dan
lembaga pendidikan dan
pelatihan (diklat)
terakreditasi.

7.

8. Pemberian bimbingan
dan konsultasi diklat
teknis dan fungsional
tertentu di sektor energi
dan sumber daya
mineral lingkup
nasional, provinsi dan
kabupaten/kota.

8. Pemberian bimbingan
dan konsultasi diklat
teknis dan fungsional
tertentu di sektor energi
dan sumber daya
mineral lingkup provinsi
dan kabupaten/kota.

8.

- 791 SUB BIDANG

SUB SUB
BIDANG

PEMERINTAH

PEMERINTAHAN DAERAH
PROVINSI

PEMERINTAHAN DAERAH
KABUPATEN/KOTA

9. Koordinasi penyusunan
kebutuhan dan
penyelenggaraan diklat
teknis dan fungsional
tertentu sektor energi
dan sumber daya
mineral dalam skala
nasional.

9. Koordinasi penyusunan
kebutuhan dan
penyelenggaraan diklat
teknis dan fungsional
tertentu sektor energi
dan sumber daya
mineral dalam skala
provinsi.

9. Penyusunan kebutuhan
dan penyelenggaraan
diklat teknis dan
fungsional tertentu
sektor energi dan sumber
daya mineral dalam skala
kabupaten/kota.

10. Pembinaan dan


pemantauan dan
evaluasi lembaga diklat
daerah dalam
penyelenggaraan diklat
sektor ESDM.

10.

10.

Anda mungkin juga menyukai