Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI

INVENTORI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI


BANJARAN

Kelompok

: 17

Lokasi

: Kodim

Waktu

: 07:00 09:00 WIB

Pendamping

: Erry Kolya, MSc

Nama

NIM

Arin Herkilini
Senja Rahayu Kinanti

B1J012076
B1J012078

Rahayu Dwi Nurhidayati


Anita Khoirunisa

B1J012080
B1J012082

Rachman Dimas Ardani

B1J012084

FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
I. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu


hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung
bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara serta
mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet).
Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan
wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan yang pada
dasarnya merupakan usaha-usaha penggunaan sumberdaya alam disuatu DAS
secara rasional untuk mencapai tujuan produksi pertanian yang optimum dalam
waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan upaya untuk menekan
kerusakan seminimum mungkin sehingga distribusi aliran merata sepanjang tahun
(Marwah, 2008)
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen yang saling berintegrasi membenntuk satu kesatuan. Sistem tersebut
mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang
menyusunnya. Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan
batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapat
dianggap suatu ekosistem (Asdak, 1995).
Ekosistem DAS merupakan bagian terpenting karena mempunyai fungsi
perlindungan terhadap DAS. Aktivitas DAS yang menyebabkan perubahan
ekosistem misalnya perubahan tataguna lahan khususnya di daerah hulu, dapat
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen- komponen
yang saling berintegrasi membenntuk satu kesatuan. Sistem tersebut mempunyai
sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang menyusunnya.
Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan batas yang
diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapat dianggap suatu
ekosistem (Asdak, 1995). Ekosistem DAS merupakan bagian terpenting karena
mempunyai

fungsi

perlindungan

terhadap

DAS.

Aktivitas

DAS

yang

menyebabkan perubahan ekosistem misalnya perubahan tataguna lahan khususnya


di daerah hulu, dapat memberikan dampak pada daerah hilir berupa perubahan
fluktuasi debit air dan kandungan sediment serta material terlarut lainnya. Adanya
keterkaitan antara masukan dan keluaran pada suatu DAS ini dapat dijadikan

sebagai dasar untuk menganalisis dampak suatu tindakan atau aktivitas


pembangunan di dalam DAS terhadap lingkungaanya (Stuart and Angela, 2002)
Daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah hilir dan
hilir berdasarkan ekosistemnya. Daerah hulu merupakan daerah konservasi yang
mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi dan memiliki kemiringanlahan yang
besar. Derah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua
bagian DAS yang berbeda tersebut. Sementara daerah hilir merupakan daerah
pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil dan memiliki kemiringan lahan yang
kecil sampai dengan sangat kecil. Ekosistem DAS hulu merupakan bagian
penting, karena mempunyai perlindungan yang penting terhadap seluruh bagian
DAS. Pelindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air. Perencanaan DAS,
daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi
(Asdak, 1995).
Komponen-komponen utama ekosistem DAS, terdiri dari :manusia,
hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing-masing komponen tersebut
memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri-sendiri, namun
berhubungan dengan komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis
(ekosistem). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam
mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen
ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang
berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal
balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal. Kualitas interaksi antar
komponen ekosistem terlihat dari kualitas output ekosistem tersebut. Di dalam
DAS kualitas ekosistemnya secara fisik terlihat dari besarnya erosi, aliran
permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit, dan produktifitas lahan. Berikut interaksi
antar komponen dalam DAS (Daerah Aliran Sungai).

( Sumber: Asdak, 1995)


Pertumbuhan organisme baik organisme akuatik maupun terestrial
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungannya. Faktor lingkungan
yang

dapat berpengar uh diantaranya yaitu

temperatur, pH, substrat tempat

organisme tersebut hidup, kualitas air, dan kecepatan arus. Kualitas air
dalam

hal

ini

mencakup keadaan fisik, kimia, dan biologi yang dapat

mempengaruhi ketersediaan air untuk kehidupan manusia, pertanian, industri,


rekreasi dan pemanfaatan air lainnya. Karakteristik fisik terpenting yang
dapat mempengaruhi kualitas air, dan dengan demikian, berpengaruh terhadap
ketersediaan air untuk berbagai pemanfaatan adalah konsentrasi sedimen dan
suhu air. Tinjauan kualitas air akan menempatkan faktor sedimen dan suhu air
(yang terlalu tinggi untuk kehidupan biota akuatis) sebagai unsur-unsur
pencemar.

II. MATERI DAN METODE


A. Materi
Alat yang digunakan pada prakikum ini adalah thermometer 2 buah (udara
dan air), patok 2 set (moluska dan bambu), botol kosong 2 buah (untuk kecepatan
arus dan sampel air), tali raffia 3 utas ( untuk kecepatan arus, kuadrat 0,5 x 0,5 m
dan 10 x 10 m), kantong plastic untuk sampel moluska, bambu dan tanah, kertas
pH dan soil tester, penggaris, timbangan dan kamera.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah sampel moluska,
sampel bambu, sampel air, dan sampel tanah.
B. Metode
1. Ekosistem

Diamati tipe pemanfaatan lahan dan aktivitas di daerah sekitar sungai.

Dibuat model interaksi factor abiotik dan biotik ( diperlukan data tentang
benda abiotik dan biotik yang dapat ditemukan di lokasi pengamatan)

Dibuat skema hubungan antara komponen biotik dan abiotik.

Data yang diperoleh, ditentukan peranan (fungsi ekologis) dari organism


tersebut.

2. Komunitas

Pengambilan sampel moluska dan air


1. sampel diambil dengan metode kuadrat
2. dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 0,5 x 0,5 m
3. diplih lokasi yang menjadi habitat moluska dengan meletakan kuadrat
tersebut.
4. Dikumpulkan moluska yang ada dalam kuadrat, dimasukan dalam
kantong plastic.
5. Diamati bentuk cangkang, warna, arah lingkarannya, dan diberi kode
6. Diidentifikasi dan dihitung di Laboratorium.

Pengambilan sampel bambu sebagai tumbuhan tepian atau riparian


1. Sampel diambil dengan metode kuadrat
2. dibuat kuadrat dengan menggunakan 4 patok dengan jarak 10 x 10 m

3. diplih lokasi yang menjadi habitat bambu, dibentangkan pada kawasan


bambu tersebut.
4. Diamati daun pelepah. warna buluh, buliran, perbungaan, percabangan,
dan durinya.
5. Diambil foto pada masing-masing bagian tersebut dan beberapa contoh
bagian bambu untuk diidentifikasi di Laboratorium
6. Dihitung jumlah batang bambu yang terdapat pada kuadrat.
3. Populasi

Populasi moluska dan bambu dideskripsikan dengan membuat piramida


ukuran dari spesies yang dominan.

Individu dari setiap spesies yang dominan pada lokasi tersebut dilakukan
pengukuran pada sampel moluska (panjang dan bobotnya), pada sampel
bambu (tinggi dan diameter).

Pengukuran moluska dilakukan di Laboratorium, sedangkan pengukuran


bambu dilakukan di lapangan.

Dikelompokan moluska dan bambu berdasarkan ukurannya.

Dibuat empat piramida populasi berdasrkan ukuran (panjang, bobot, tinggi


dan diameter) dari data diatas.

4. Faktor Lingkungan

Mengukur kondisi lingkungan dengan parameter lingkungan seperti :


temperatur udara, air, kecepatan arus, tipe substrat, dan pH air pada
ekosistem perairan, temperatur udara dan pH tanah pada ekosistem
daratan.

Diambil sampel air sungai sebanyak 250 ml dan tanah sebanyak 250 gr
yang kemudian diukur pH nya di laboratorium.

5. Distribusi organism dan Faktor Lingkungannya

Dibuat table kehadiran spesies yang ditemukan di sungai (sungai kranji


1,2,3 dan 4).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. HASIL
a. Pemodelan Interaksi Antara Abiotik dan Biotik
Tabel 1. Tipe Pemanfaatan Lahan
Lokasi
Tipe pemanfaatan lahan (landuse)
Hulu Sungai
Irigasi
Banjaran
(Beji)
Pemukiman
Persawah
Tengah
Sungai
Irigasi
Banjaran
Jalan Raya
(Kodim)
Hilir Sungai
Banjaran
(Kedung
Wringin)

Pemukiman
Persawahan

Aktivitas masyarakat
Petani
Memancing
(Mandi, cuci, dan kakus)
MCK
Tempat pembuangan
sampah
Memancing
Mandi, cuci, dan kakus
(MCK)
Tempat pembuangan
sampah

Tabel 2.1. Komponen Abiotik dan Biotik Ekosistem Daratan


No.
Abiotik (benda mati)
Biotik (benda hidup)
1
Batu
Pohon bambu
2
Kayu
Pohon pisang
3
Tanah
Tanaman padi
4
Serasah
Ulat
5
Sampah
Kelapa
6
Kertas
Rumput-rumputan
7
Udara
Kupu-kupu
8
Ranting
Burung
9
Lalat
10
Capung
11
Nyamuk
12
Belalang
13
Kadal
14
Pohon nangka
15
Jamur
16
Semut
17
Dekomposer
18
Ayam
19
Cicak
20
Tanaman mangga

21
22
23
24
25
26
27
28
29
30

Tanaman Pepaya
Manusia
Laba-laba
Tanaman jambu biji
Tanaman Cabai
Tanaman teh-tehan
Tanaman mengkudu
Tanaman bayam
Jamur
Tanaman iler

Tabel 2.2. Komponen Abiotik dan Biotik Ekosistem Sungai


No.
Abiotik (benda mati)
Biotik (benda hidup)
1
Udara
Manusia
2
Air
Tumbuhan
3
Batu
Ikan
4
Kerikil
Moluska
5
Tanah
Cacing
6
Plastik
Burung
7
Pasir
Katak
8
Botol
Crustacea
9
Sampah
Serangga air
Gambar 1 Model Interaksi dalam Ekosistem Daratan
Kupu-kupu
bayam
T. Pisang

Jamur

Belalang

rumput

Burung

padi

Manusia

ayam

T. Mangga
Tanah

kelapa
Nyamuk

cicak
T. Nangka

Kadal
Sampah

semut

Teh-tehaan

T. Jambu
biji
T. Mengkudu

Jaring Makanan Ekosistem Sungai


Air

Manusia

Tumbuhan

Udara
Moluska

Serangga air

Tanah
Pasir

Ikan

Crustacea

Batu
Burung
Kerikil

Kupu-kupu

Plastik

Capung

katak

Botol
Alat pancing

Cacing

Jaring ikan
Keterangan: ------ : menggambarkan hubungan dalam bentuk lainnya.
: menggambarkan hubungan makan memakan.
b. Komponen Penyusun Ekosistem
Tabel 3. Komponen Penyusun Ekosistem
No
Komponen penyusun

1.

Produser

2.

Makro konsumer tingkat I

3.

Makro konsumer tingkat II

Makro konsumer tingkat III

5.
6.
7.

Makro konsumer tingkat IV


Makro konsumer tingkat V
Dekomposer

Organisme
Padi
Rumput rumputan
Tanaman bayam
Tanaman mangga
Tanaman pepaya
Tanaman nangka
Tanaman jambu biji
Tanaman teh-tehan
Tanaman pisang
Tanaman Mengkudu
Tanaman kelapa
Belalang
Ayam
Manusia
Burung
Kupu-kupu
Capung
Manusia
Burung
Nyamuk
Kadal
Nyamuk
Kadal
Manusia
Nyamuk
Kadal
Semut
Mikroorganisme
Jamur

Tabel 4. Kekayaan spesies dan kelimpahan moluska atau kekayaan spesies


dan kepadatan bambu.
No
Nama spesies
Jumlah Individu
1. Moluska:
1. Brotia insolita
2

2.

2. Faunus ater
3. Hemisinus aduardsi
4. Pachycilus indiorum
5. Melanoides granifera
Bambu
1. Gigantolochloa apus
2. Bambusa vulgaris

23
5
30
32
4
86

Tabel 5. Populasi yang Dominan


Lokasi
Spesies yang dominan
Hulu Sungai Banjaran
Moluska : Melanoides maculata 6 individu/250 cm
Bambu : Gigantolochoa atter 22 individu/100 m
(Kebumen)
Tengah Sungai Banjaran Moluska : Pachycilus indiorum 14 individu/250 cm
Bambu : Thyrsostachys siamensis 48 individu/100 m
(Pasirmuncang)
Hilir Sungai Banjaran
Moluska : Melanoides granifera 4 individu/250 cm
Bambu : Bambusa vulgaris 86 individu/100 m
(Sidabowa)

Tabel 6. Ukuran Moluska dan Bambu


Moluska
Bambu
No individu
Panjang (cm) Bobot (gram) Tinggi (cm) Diameter (cm)
1.
2,5
1,58
1248
33
2.
2,63
2,27
900
30
3.
2,4
1,31
950
30
4.
1,7
0,95
875
30
5.
2,1
1,15
875
30
6.
1,7
0,97
975
30
7.
2,0
1,15
299
25
8.
1,9
0,31
598
25
9.
1,95
0,27
644
25
10.
1,83
0,32
345
25
11.
1,68
0,38
750
25
12.
1,33
0,33
625
23

13.

1,00

0,15

650

23

14.

1,91

0,58

350

23

15.

1,4

0,28

775

23

16.

1,43

0,27

575

23

17.

1,5

0,32

725

23

18.

1,38

0,26

750

23

19.

1,38

0,26

700

23

20.

1,13

0,17

500

23

21.
22.
23.
24.

1,00
1,2
1
1,17

0,11
0,29
0,11
0,11

775
621
725
675

23
23
23
23

25.

1,22

0,17

815

23

26.

0,11

850

23

27.

0,12

775

23

28.

1,1

0,21

825

23

29.

0,11

800

23

30.

1,64

0,72

600

23

31.

1,64

0,75

650

23

32.

1,77

0,86

825

23

33.

1,46

0,52

725

23

34.

1,75

0,79

750

23

35.

1,14

0,31

725

23

36.

1,46

0,54

625

18

37.

1,51

0,59

500

18

38.

1,7

0,80

650

18

39.

1,25

0,38

600

15

40.

1,6

0,70

525

15

41.

1,44

0,46

675

15

42.

1,41

0,50

575

15

43.

1,25

0,38

625

15

44.

1,45

0,55

700

15

45.

0,22

725

13

46.

1,2

0,41

550

13

47.

1,14

0,36

800

13

48.

1,45

0,42

760

13

49.

1,22

0,52

450

13

50.

1,31

0,50

700

13

51.

1,12

0,37

725

12

52.

1,35

0,45

815

12

53.

0,80

0,20

700

12

54.

0,8

0,18

700

12

55.

0,97

0,28

900

12

56.

0.8

0,16

720

12

57.

0,29

875

12

58.

0,25

810

12

59.

1,03

0,29

550

12

60.

0,93

0,21

625

12

61.

2,93

2,19

594

12

62.

2,2

1,2

630

12

63.

1,52

0,49

522

12

64.

2,5

1,65

648

12

65.

2,61

2,2

540

12

66.

2,33

1,42

450

12

67.

0,85

666

12

68.

1,22

1,39

612

12

69.

2,33

1,15

720

12

70.

1,95

0,80

684

12

71.

1,53

0,46

756

17

72.

1,84

0,76

360

17

73.

1,85

0,67

432

17

74.

1,73

0,64

522

17

75.

1,81

0,69

702

17

76.

2,31

1,41

792

17

77.

1,81

0,84

846

17

78.

2,13

0,91

738

17

79.

2,0

0,97

342

17

80.

2,11

0,94

270

17

81.

1,61

0,45

360

17

82.

1,81

0,71

882

17

83.

1,63

0,58

756

17

84.

1,9

0,75

510

17

85.

1,54

0,50

720

17

86.

1,84

0,71

420

17

87.

1,64

0,49

56

11

88.

1,44

0,46

60

12

89.

1,54

0,48

42

17

90.

1,53

0,52

60

16

Tabel 7.1. Struktur Populasi


Ukuran Panjang Moluska

Jumlah individu

1,00 cm sampai dengan 1,50 cm

14

1,51 cm sampai dengan 2,00 cm

28

2,01 cm sampai dengan 2,50 cm

35

2,51 cm sampai dengan 3,00 cm

Piramida Populasi Panjang Moluska


0
(2,51-3,00)
1
(1,00-1,50)
2
(1,51-2,00)

3
(2,01-2,50)
Tabel 7.2. Struktur populasi
Ukuran Bobot Moluska

Jumlah individu

0,0 gram sampai dengan 0,5 gram

44

0,5 gram sampai dengan 1,0 gram

33

1,0 gram sampai dengan 1,5 gram

1,5 gram sampai dengan 2,0 gram

2,0 gram sampai dengan 2,5 gram

Piramida Populasi Bobot Moluska


1
(1,5-2,0)
2
(2,0 2,5)
3
(1,0 1,5)
4
(0,5 1,0)
5
(0,0 0,5)

Tabel 7.3. Struktur Populasi


Ukuran Tinggi Bambu

Jumlah individu

40 cm sampai dengan 300 cm

301 cm sampai dengan 561 cm

18

562 cm sampai dengan 822 cm

53

823 cm sampai dengan 1083 cm

12

1084 cm sampai dengan 1344 cm

Piramida Populasi Tinggi Bambu


1
(1084-1344)
2
(40 - 300)
3
(823 - 1083)
4
(301 - 561)
5
(562 - 822)

Ukuran Diameter Bambu

Jumlah individu

10 cm sampai dengan 20 cm

21 cm sampai dengan 30 cm

18

31 cm sampai dengan 40 cm

53

41 cm sampai dengan 50 cm

12

Tabel 7.3. Struktur Populasi

Piramida populasi diameter bambu


1
(10 20)

2
(41 - 50)
3
(21 30)
4
(31 - 40)

Tabel 8. Kondisi Lingkungan


No.
1
2
3
4
5

Parameter
Temperatur udara
Temperatur Air
Arus
Substrat yang dominan
pH

Hasil Pengamatan
270 C
220 C
10m/28s
Tanah berpasir dan berbatu
7

Tabel 9. Distribusi Moluska


Spesies
Hulu
Brotia insolita
Faunus ater
Hemisinus aduardsi
Pachycilus indiorum
Melanoides granifera
+
Melanoides bavayi
Melanoides denisoniensis
Melanoides anomula
Melanoides liebrechtsi
Esperiana esperi
Daryssa cachoeicea
Stagnicola reflexa
+
Melanoides maculate
+
Fosaria decampi
+
Keterangan : (+) Spesies ditemukan
( - ) Spesies tidak ditemukan
Tabel 10. Kondisi Perairan
Parameter Lingkungan
Hulu
Temperatur udara
270C
Temperatur air
240C
Arus
10m/22s
Substrat yang dominan

Batu berpasir

Tengah
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

Tengah
270C
250C
0,6 m/s
Pasir

Hilir
+
+
+
+
+
-

Hilir
270C
220C
10m/28s
Tanah berpasir dan
berbatu

pH

Tabel 11. Distribusi Bambu


Spesies
Hulu
Gigantochloa apus
Gigantochloa atter
+
Bambusa vulgaris
+
Thyrsostachys siamensis
-

Tengah
+

Hilir
+
+
-

Tengah
270C
Serasah
5,6

Hilir
27 0C
Serasah
6,8

Tabel 12. Kondisi Daratan


Parameter lingkungan
Temperatur udara
Tipe tanah
pH

Hulu
270C
Batu berpasir
6,9

B. PEMBAHASAN
Sungai adalah suatu badan air yang mengalir ke satu arah dan termasuk
dalam ekosistem perairan tawar yang memiliki ciri-ciri antara lain variasi suhu
tidak menyolok, penetrasi cahaya kurang, dan terpengaruh oleh iklim dan cuaca.
Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh bahwa komponen ekosistem yang
diamati di Daerah Aliran Sungai Sidabowa terdiri dari ekosistem daratan dan
ekosistem perairan. Komponen abiotik pembentuk ekosistem daratan DAS
Sidabowa terdiri dari batu, tanah, udara, kayu, ranting, serasah, kertas, plastik dan
sampah. Komponen biotik pembentuk ekosistem daratan DAS Sungai Sidabowa
antara lain bambu, pisang, singkong, kelapa, rerumputan, kupu-kupu, burung,
katak, semut, capung, nyamuk, belalang, kadal, cacing tanah, jamur dan
mikroorganisme. Adapun komponen abiotik pembentuk ekositem perairan DAS

Sidabowa terdiri dari batu, tanah, plastik, air, kayu, pasir, jarring ikan, alat
pancing dan botol, sedangkan komponen biotiknya terdiri dari moluska, serangga
air, crustacea, tumbuhan,katak, ikan, burung, kupu-kupu, capung dan cacing
tanah.
Interaksi antarkomponen biotik dengan komponen abiotik yaitu hubungan
antara organisme dengan lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi
dalam sistem itu. Selain aliran energi, di dalam ekosistem juga terdapat struktur
atau tingkat trofik, keanekaragaman biotik, serta siklus materi. Semua organisme
merupakan bagian dari komunitas dan antara komponennya saling berhubungan
melalui keragaman interaksinya. Jenis-jenis interaksi dalam ekosistem antara lain:
(a). Interaksi antar organisme.
Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain.
Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau
lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari
populasi lain. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Netral, yaitu hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam
habitat yang sama yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan
kedua belah pihak. Contohnya adalah antara capung dan sapi.
b. Parasitisme, yaitu hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, dan jika
salah satu organisme hidup mengambil makanan dari hospes/inangnya
sehingga bersifat merugikan inangnya. Contohnya adalah benalu dengan
pohon inang.
c. Komensalisme, merupakan hubungan antara dua organisme yang berbeda
spesies dalam bentuk kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan,
yaitu salah satu spesies diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan.
Contohnya, Anggrek dengan pohon yang ditumpanginya.
d. Mutualisme, adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies
yang saling menguntungkan diantara keduanya. Contohnya bakteri
Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan.
(b). Interaksi antarpopulasi, yaitu antara populasi yang satu dengan populasi lain
selalu terjadi interaksi secara langsung atau tidak langsung dalam komunitasnya.
Contoh interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut:

o Alelopati merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu


menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain.
Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain
karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik
o Kompetisi merupakan interaksi antarpopulasi, bila antarpopulasi terdapat
kepentingan yang sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa
yang diperlukan. Contoh, persaingan antara populasi kambing dengan populasi
sapi di padang rumput.
(c). Interaksi antarkomunitas, yaitu kumpulan populasi yang berbeda di suatu
daerah yang sama dan saling berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya
komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacammacam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma.
Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan
dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam
bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran organisme
hidup dari kedua komunitas tersebut. Interaksi antarkomunitas cukup
kompleks karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga terjadi aliran
energi.
Perbedaan antara ekosistem darat dan air terletak pada ukuran tumbuhan
hijau, di mana autotrof daratan cenderung lebih sedikit, akan tetapi ukurannya
lebih besar. Perbedaan antara habitat daratan dan air adalah sebagai berikut:
1. Habitat daratan, kelembaban merupakan faktor pembatas, organisme daratan
selalu dihadapkan pada masalah kekeringan. Evaporasi dan transpirasi
merupakan proses yang unik dari kehilangan energi pada ingkungan daratan.
2. Variasi suhu dan suhu ekstrem lebih banyak di udara daripada media air.
3. Sirkulasi udara yang cepat di permukaan bumi akan menghasilkan isicampuran O2 dan CO2 yang tetap.
4. Meskipun tanah sebagai penyangga yang padat bukan udara, kerangka yang
kuat telah berkembang di tanah yaitu tanaman dan binatang yang akhir-akhir
ini mempunyai arti khusus bagi perkembangan.
5. Tanah tidak seperti lautan yang selalu berhubungan dimana tanah sebagai
barier geografi terpenting dala gerak bebasnya.

6. Sebagai substrat alam, meskipun yang terpenting adalah di air. Namun, yang
paling khusus adalah dalam lingkngan daratan. Tanah adalah sumber terbesar
dari bermacam-macam nutrisi 9 nitrit, fosfor, dan sebagainya) yang merupakan
perkembangan besar dari subsistem ekologi (Heddy, 1989).
Hasil pengamatan distribusi bambu di Sungai Banjaran pada daerah hulu,
tengah, dan hilir diperoleh data bahwa pada daerah hulu, spesies bambu yang
dominan adalah Gigantolochoa atter sebanyak 22 individu/100m. Daerah tengah
sungai Banjaran spesies bambu yang dominan adalah Thyrsostachys siamensis 48
individu/100m. Adapun pada daerah hilir, diperoleh bahwa jenis spesies bambu
yang dominan adalah Bambusa vulgaris sebanyak 90 individu/100 meter.
Pengaruh ketinggian tempat terhadap pertumbuhan pohon bersifat tidak langsung
(Soedomo 1984). Artinya perbedaan ketinggian ternpat akan mempengaruhi
keadaan lingkungan tumbuh pohon, terutama suhu, kelembapan, O2 di udara dan
keadaan tanah. Keadaan lingkungan tumbuh ini akhirnya mempengaruhi
pertumbuhan pohon.
Bambu merupakan salah satu tumbuhan dengan daya tumbuh yang pesat
membentuk rumpun yang besar dan tinggi (Heyne 1987). Pada umulanya
tumbuhan lain akan sulit tumbuh menjadi besar pada daerah yang didominasi oleh
bambu. Pratiwi (2006) yang melakukan penelitian di Gunung Gede Pangrango
menemukan bahwa jumlah maupun jenis vegetasi selain banibu pada tegakan
yang didominasi oleh spesies bambu terbilang rendah sehingga dapat dikatakan
keberadaan spesies ini memiliki tingkat asosiasi yang rendah dengan spesies
tumbuhan lain. Bambu merupakan spesies tumbuhan dengan tingkat adaptasi yang
tinggi pada berbagai kondisi lingkungan. Hal ini terlihat dari penyebaran bambu
baik secara alami maupun sengaja ditanam yang dapat ditemui di daerah datar,
lembah, perbukitan, dan pegunungan berbukit. Sutiyono et al. (1992) juga
menyatakan bahwa, banibu dapat tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi
tanah, mulai dari tanah berat sampai ringan, tanah kering, tanah becek, tanah
subur, dan tanah tidak subur.
Spesies bambu yang berada di Sungai Sidabowa yaitu bambu apus
(Gigantochloa apus) dan bambu ampel. Klasifikasi bambu ampel (Bambusa
vulgaris) yaitu:

Kingdom : Plantae
Divisi

: Magnoliophyta

Klas

: Liliopsida

Ordo

: Poales

Famili

: Poaceae

Genus

: Bambusa

Spesies

: Bambusa vulgaris
Gambar 3.1. Morfologi Bambu
Ampel (Bambusa vulgaris)

a.

b.

c.

d.

Gambar 3.2. Karakteristik a. Percabangan b. Rebung c. Daun d.Pelepah


Bambu Ampel (Bambusa vulgaris)
Buluh

: Buluh muda hijau mengkilat atau kuning bergaris hijau. Panjang


buluh mencapai 25-45

cm, diameter 5-10 cm, tebal 7 -15 mm.

Percabangan : Percabangan 1,5 diatas permukaan tanah setiap ruas terdiri 2 5


cabang, termasuk Un equal

Daun

: Permukaan bawah daun agak berbulu, kuping pelepah daun kecil


dan membulat, gundul, ligula rata dan gundul.

Pelepah buluh : Tidak mudah luruh, tertutup bulu coklat, kuping pelepah buluh
seperti bingkai, daun pelepah buluh berketuk balik menyegi tiga
dengan ujung sempit.
Rebung

: Berwarna kuning atau hijau tertutup bulu coklat hingga hitam

Klasifikasi bambu Apus atau Tali (Gigantolochloa apus Kurz) sebagai


berikut:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Magnoliophyta

Kelas

: Liliopsida

Ordo

: Poales

Famili

: Poaceae

Genus

: Gigantochloa

Spesies

: Gigantochloa apus Kurz.

Deskripsi:
Habitus : Pohon, berumpun, tinggi 10-15 m.
Batang :Berkayu, bulat, berlubang, beruas-ruas, tunas atau rebung berbulu, putih
kehitaman, hijau.
Daun

: Tunggal, berseling, berpelepah, lanset, ujung runcing, tepi rata, pangkal


membulat, panjang 20-30 cm, lebar 4-6 cm, pertulangan sejajar, hijau.

Bunga : Majemuk, bentuk malai, ungu kehitaman.


Bambu biasanya digunakan sebagai tanaman pagar penghias. Batangnya
juga dapat dipakai sebagai alat pembuatan pegangan payung, peralatan
memancing, kerajinan tangan (rak buku), industri pulp dan kertas dan penghalau
angin kencang (wind-break) (Gunawan, 2008). Pengaruh ketinggian tempat
terhadap pertumbuhan pohon bersifat tidak langsung (Soedomo 1984). Artinya
perbedaan ketinggian ternpat akan mempengaruhi keadaan lingkungan tumbuh
pohon, terutama suhu, kelembapan, O2 di udara dan keadaan tanah. Keadaan
lingkungan tumbuh ini akhirnya mempengaruhi pertumbuhan pohon.
Berdasarkan hasil pengamatan, kondisi daratan di daerah aliran sungai
Banjaran banyak ditumbuhi pepohonan dan tanah

yang

ada

dimanfaatkan

sebagai lahan pemukiman dan lahan perkebunan. Pada daerah hulu sungai
Banjaran memiliki temperatur udara 270C, tipe tanahnya batu berpasir dan pH
tanah 6,9. Daerah tengah sungai Banjaran memiliki temperatur udara 27 0C, tipe
tanahnya berpasir dan pH tanah 5,6. Daerah hilir sungai Banjaran memiliki
temperatur udara 270C, tipe tanahnya serasah dan pH tanah 6,8. Kondisi ini masih
dalam batas normal untuk pertumbuhan organisme yang ada di dalamnya
(Dwidjoseputro, 1991).
Distribusi bambu sangat dipengaruhi oleh faktor iklim antara lain suhu,
curah hujan, kelembaban yang berkaitan satu dengan yang lain (Sutiyono, et al.,
1992). Menurut Koesbiono (1979), daerah yang memiliki curah hujan tahunanan
minimal 1020 mm dan kelembaban udara minimal 80% dengan suhu optimum
antara 8,8-360C merupakan daerah yang cocok untuk pertumbuhan bambu.
Bambu dapat tumbuh baik di berbagai jenis tanah, kecuali tanah yang berada di
dekat pantai. Pada tanah tersebut, bambu dapat tumbuh tetapi pertumbuhannya
lambat dan buluh kecil. Umumnya bambu dapat tumbuh di tempat dengan
ketinggian 1-1200 m dpl dengan keadaan pH tanah antara 5,0-6,5 (Agusnar,
2007). Verhoef (1957) menyatakan bahwa berbagai keadaan tanah dapat
ditumbuhi oleh bambu mulai dari tanah ringan sampai tanah berat, tanah kering
sampai tanah becek dan dari tanah yang subur sampai ke tanah yang kurang subur.
Hasil pengamatan distribusi moluska di Sungai Banjaran pada daerah hulu,
tengah, dan hilir diperoleh bahwa spesies moluska yang dominan pada daerah
hulu adalah Melanoides maculate sebanyak 6 individu/250 cm. Daerah tengah
sungai Banjaran memiliki spesies moluska yang dominan adalah Pachycilus
indiorum sebanyak 14 individu/250 cm. Daerah hilir sungai Banjaran memiliki
spesies moluska yang dominan adalah Melanoides granifera 4 individu/250 cm.
Perbedaan distribusi moluska dapat
pengaruh

bahan

organik

dan

disebabkan
adanya

karena

perubahan

adanya
kondisi

perbedaan
lingkungan,

khususnya substrat sebagai akibat dari kegiatan antropogenik dan industri


yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis moluska tertentu.
Komposisi taksa pada tingkat genus yang hanya ber kisar antara 5 - 6 jenis,
menandakan bahwa tingkat keanekaragaman taksa ini tergolong rendah.
Sedikitnya jumlah taksa yang ditemukan juga tidak dapat menunjukkan

bahwa perairan tersebut tercemar. Ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi


kondisi suatu lingkungan, misalnya fungsi aliran energi. Menurut Odum
(1971), penilaian tercemar atau tidaknya suatu ekosistem tidak mudah
terdeteksi

dari hubungan

antara

keanekaragaman

dan

kestabilan

komunitasnya. Sistem yang stabil, dalam pengertian tahan terhadap gangguan


atau bahan pencemar bisa saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau
tinggi, hal ini tergantung dari fungsi aliran energi yang terdapat pada perairan
tersebut.

Gambar 3.3. Morfologi Moluska di Daerah Hilir Sungai Banjaran


Moluska berasal dari bahasa Romawi, molis yang berarti lunak yang
hidup sejak periode Cambrian,terdapat lebih dari 100 ribu spesies hidup dan
35 ribu spesies fosil, kebanyakan dijumpai di laut dangkal, beberapa pada
kedalaman 7000 m, beberapa di air payau, air tawar, dan darat (Pennak,
1978). Menurut Hyman (1967), filum moluska ditandai oleh tubuh yang
lunak, yang tidak terbagi dalam segman, segmen yang biasanya dilindungi
oleh satu atau lebih keping cangkang. Moluska merupakan organisme akuatik
yang hidup di dasar perairan dengan pergerakan relatif lambat yang sangat
dipengaruhi oleh substrat dasar serta kualitas perairan. Moluska berperan
penting dalam proses mineralisasi dan pendaur-ulangan bahan organic
maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi organisme konsumen yang
lebih tinggi. Penurunan komposisi, kelimpahan dan keanekaragaman dari
moluska biasanya merupakan indikator adanya gangguan ekologi yang terjadi
pada sungai tersebut (Mason,1981).

Beberapa moluska yang terdapat di daerah hilir Sungai Banjaran sebagai


berikut:
Deskripsi Brotia insolita
Kingdom

: Animalia

Filum

: Mollusca

Klas

: Gastropoda

Ordo

: Mesogastropoda

Famili

: Melanatriidae

Genus

: Brotia

Spesies

: Brotia insolita
Spesies yang ditemukan terutama di air mengalir, sungai cukup oksigen,

kadang-kadang juga di danau. Spesies ini bersifat gonochoristic , dan vivipar,


mengembangkan dan mempertahankan telur relatif muda dalam kantong induk
khusus
Deskrispi Faunus ater menurut Linnaeus (1758)
Kingdom

: Animalia

Filum

: Mollusca

Klas

: Gastropoda

Ordo

: Mesogastropoda

Famili

: Thiaridae

Genus

: Faunus

Spesies

:Faunus ater

Deskrispi Pachycilus indiorum


Kingdom

: Animalia

Filum

: Mollusca

Klas

: Gastropoda

Ordo

: Mesogastropoda

Famili

: Pleuroceridae

Genus

: Pachychilus

Spesies

: Pachycilus indiorum

Siput air tawar ini cukup luas di Amerika Tengah (Meksiko, Honduras, Belize,
Guatemala), dan Northern Selatan Amerika (Venezuela).
Deskrispi Hemisinus eduardsi
Kingdom

: Animalia

Filum

: Mollusca

Klas

: Gastropoda

Ordo

: Mesogastropoda

Famili

: Pleuroceridae

Genus

: Hemisinus

Spesies

: Hemisinus eduardsi

Deskrispi Melanoides granifera


Kingdom

: Animalia

Filum

: Mollusca

Klas

: Gastropoda

Ordo

: Mesogastropoda

Famili

: Thiaridae

Genus

: Melanoides

Spesies

Melanoides

granifera
Siput air tawar, spesies ini sangat toleran terhadap air payau , dan telah dicatat di
perairan dengan salinitas sebesar 32,5 ppt (1.024 salinitas gravitasi spesifik). Hal
tersebut adalah iklim yang hangat-spesies. Tampaknya lebih suka kisaran suhu 18
sampai 25C atau 18 sampai 32 C. Penelitian telah dilakukan untuk menentukan
air mematikan siput suhu tinggi, yaitu sekitar 50 C (120 derajat Fahrenheit ).
Berdasarkan relung ekologinya bambu termasuk dalam produsen dan
gastropoda termasuk dalam konsumen. Moluska dalam ekosistem perairan sering
disebut juga sebagai makrobentos. Kehidupan makrobentos pada perairan ini
sangat ditentukan oleh faktor biotik. Keberadaan moluska juga dapat digunakan
sebagai penanda kualitas air sungai. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi
moluska di Daerah Aliran Sungai Banjaran antara lain:
a. Gas terlarut

Presentase oksigen di perairan jauh lebih rendah daripada yang ada di


atmosfer yaitu sekitar sepersepuluh atau kurang. Jumlah oksigen dalam air tidak
sekonstan seperti di udara, tetapi berfluktuasi dengan nyata tergantung pada
kedalaman, suhu, angin dan banyaknya kegiatan biologis. Kenaikan suhu atau
keragaman air menyebabkan penurunan dalam kandungan oksigen. Menurut
Ambarita (2010), oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, kehadiran tumbuhan
fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya, kekeruhan air, kecepatan aliran air, dan
jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air. Karbondioksida (yang tergabung
dalam air membentuk asam karbonat.), amoniak dan hidrogen sulfida juga
merupakan gas terlarut yang berada dalam air.
b. Kejernihan
Kejernihan berpengaruh terhadap distribusi moluska pada perairan.
Kejernihan disebabkan oleh warna perairan. Curah hujan juga menyebabkan
kejernihan terganggu. Saat hujan turun maka tanah di atasnya akan larut terbawa
dan membawa humus, hal itu yang menyebabkan kejernihan air berkurang, akan
tetapi pada saat itu juga plankton banyak tersebar di sungai yang dapat
dimanfaatkan oleh moluska sebagai makanan.
c. Suhu
Suhu Sungai Banjaran di daerah hulu, tengah dan hilir adalah 27 0C, kondisi
tersebut normal. Suhu perairan di daerah tropik tentu lebih hangat daripada di
daerah tidak beriklim tropik. Suhu permukaan pada perairan tropik umumnya
250C-280C dan pada perairan yang dangkal biasanya lebih tinggi yaitu 28 0C-320C.
Suhu yang lebih tinggi menyebabkan berkurangnya kadar oksigen terutama pada
malam hari. Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi
oleh berbagai factor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air
dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan faktor kanopi (penutupan
oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi.
d. Cahaya
Cahaya sangat diperlukan pada ekosistem perairan sungai. Cahaya
dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk berfotosintesis, dan nantinya fitoplankton
tersebut mempunyai peranan produsen pada relung ekologi. Cahaya pada Sungai
Banjaran di daerah hulu, tengah dan hilir mempunyai intensitas yang cukup.

e. Arus air.
Arus air di hulu Sungai Banjaran adalah 0,45 m/s, di bagian tengah 0,6
m/s, dan dibagian hilir 0,4 m/s. Tingginya arus dapat disebabkan oleh aliran
sungai yang relatif lurus dan substrat yang sedikit, sedangkan rendahnya arus
disebabkan oleh air sungai yang dibendung dan tingginya substrat. Substrat dapat
mempengaruhi kecepatan arus, namun kecepetan arus dalam suatu ekosistem
tidak dapat ditentukan secara pasti karena arus pada suatu perairan sangat
berfluktuasi dari waktu ke waktu tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air
serta kondisi substrat yang ada (Barus, 2004). Menurut Metcalf & Eddy (1991)
kecepatan aliran air yang memiliki daya angkut dan daya gerus terhadap material
kasar adalah 1 - 3 m/dt, sedangkan kecepatan aliran air yang mampu mencegah
terjadinya endapan organik adalah 0,3m/dt. Aliran air dengan kecepatan > 0,75
m/dt diketahui mampu mencegah terjadinya endapan material sedang seperti pasir.
Fluktuasi debit air sungai dapat menjadi petunjuk tentang jenis atau tipe sungai.
Asdak (2002) menyebutkan bahwa menurut literatur geologi pola aliran (sistem)
sungai diklasifikasikan sebagai sistem aliran influent, effluent dan intermittent.
Sistem aliran sungai influent adalah aliran sungai yang memasok air tanah. Sistem
aliran sungai effluent adalah aliran sungai berasaldari air tanah. Sungai yang
masuk dalam kategori aliran effluent biasanya akan mengalir sepanjang tahun
(perennial).
f. pH
pH pada Sungai Banjaran daerah hulu, tengah dan hilir masih tergolong
normal yaitu 6-7. Menurut Kristanto (2002), nilai pH air yang normal adalah
sekitar 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air limbah, berbeda-beda
tergantung jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya
mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun menjadi
asam. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya bahan-bahan organic yang
membebaskan CO2 jika mengalami penguraian.
g. Substrat
Substrat pada Sungai Banjaran daerah hulu, tengah dan hilir umumnya
batuan berpasir. Substrat yang cocok untuk keberadaan moluska sebenarnya
adalah tanah berlumpur. Tanah berpasir tidak cocok untuk moluska, dan biasanya

pada substrat batuan berpasir tersebut moluska akan menguburkan dirinya dalamdalam pada batuan pasir tersebut (Ewusie, 1990).

KESIMPULAN
Berdasarkan

hasil

pengamatan

dan

pembahasan

dapat

diperoleh

kesimpulansebagai berikut:
1. Penyebaran distribusi bambu yang paling dominan di hilir Sungai Sidabowa
adalah bagian tengah yaitu Bambusa vulgaris, sedangkan penyebaran ditribusi
moluska yang paling dominan di daerah hilir adalah Melanoides granifera.
2. Perpindahan energi akan terjadi melalui proses makan-memakan atau disebut
rantai makanan yang kemudian bergabung membentuk jaring-jaring makanan.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi moluska dan distribusi bambu
antara lain: gas terlarut, kejernihan, arus air, suhu, penetrasi cahaya, pH, dan
substrat.

4. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ekosistem daratan yaitu cahaya,


temperatur dan air, sedangkan cahaya, temperatur dan kadar garam merupakan
faktor tiga besar untuk perairan.

DAFTAR PUSTAKA
Ambarita, R. 2010. Keanekaragaman dan Distribusi Ikan di Hulu Sungai Asahan
Porsea. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Agusnar, H. 2007. Kimia Lingkungan. USU Press. Medan.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.
Medan. USU Press.
Dwidjoseputro, D. 1991. Ekologi Manusia dengan Lingkungannya. Erlangga,
Jakarta.

Ewusie, J.Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. ITB. Bandung.


Gunawan, 2008. Kajian Sifat-sifat Finishing Anyaman Bambu Tali
(Gigantochloa apus (J.A & J. H. Schultes) Kurz). Departemen Hasil
Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Hariadi, S., Suryadiputra,INN., Widigdo, B., 1992, Limnologi, Fakultas Perikanan
Institut Pertanian Bogor.
Heddy, S. dan K. Metty. 1989 . Prinsip-Prinsip Dasar Ekologi. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia 11. Badan Litbang Departemen
Kehutanan, Jakarta.
Koesbiono. 1979. Dasar-Dasar Ekologi Umum. Bagian IV. Pasca sarjana Program
Studi Lingkungan IPB. Bogor.
Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta. Penerbit ANDI.
Mason, C.F. 1981. Biology of Freshwater Pollution.Longman Inc. New York.
Odum, E. P. 1988. Dasar-Dasar Ekologi Edisi 3. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Pennak, RW. 1978. Freshwater Invertebrates of the United States. New
York: A Willey Interscience Publications John Willey and Sons.
PONG-MASAK, P,R, Pirzan, A, M. 2006. Komunitas Makrozoobentos pada
Kawasan Budidaya Tambak di Pesisir Malakosa Parigi-Moutong, Sulawesi
Tengah (Macrozoobenthos Community at the Pond Culture Area in
Malakosa Coastal, Parigi-Moutong, Central of Sulawesi). B I O D I V E R
S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 7, Nomor 4 Oktober 2006 Halaman:
354-360. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi
Selatan 90512
Pratiwi ERT. 2006. Hubungan antara Peneyebaran Alami Bambu Betung
(Dendrocalamzrs asper) dengan Beberapa Sifat Tanah. Skripsi. Program
Studi Budidaya Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB, Bogor.
Stuart E. Bunn and Angela H. Arthington. 2002. Basic Principles and Ecological
Consequences of Altered Flow Regimes for Aquatic Biodiversity.
Springer-Verlag New York Inc. Environmental Management Vol. 30, No.
4, Pp. 492507.
Sutiyono, Hendromono, M., Wardani dan I. Sukardi. 1992. Teknik Budidaya
Bambu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. (15). 1-25

Verhoef, L. 1957. Tanaman Bambu di Jawa. Lembaga Pusat Penilitian Kehutanan.


Bogor. 25 hal.

Anda mungkin juga menyukai