VOLUME 10 NOMOR 1
Daftar Isi
Kata Pengantar
Bagian I
Bagian II
Perekonomian Sumatera
13
Bagian III
Perekonomian Jawa
49
Bagian IV
Perekonomian Kalimantan
99
Bagian V
Bagian V
139
139
144
147
150
|1
Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai aspek dalam proses perumusan kebijakan, termasuk berbagai
dinamika ekonomi dan isu terkini dalam perspektif kedaerahan. Pembahasan menyeluruh mengenai
perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara
periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah
1
di seluruh Indonesia dan/atau Kepala Kantor Perwakilan BI di daerah. Hasil dari pembahasan dimaksud
menjadi bagian penting dalam melengkapi pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi
dengan berbagai aspek risiko yang berkembang.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia pada triwulan IV 2014 menunjukkan tandatanda pemulihan dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,01%, meningkat dari 4,92% pada triwulan III
2014. Perbaikan kinerja ekonomi di Jawa yang didukung oleh membaiknya aktivitas di sektor industri
pengolahan merupakan pendorong utama perbaikan perekonomian nasional. Selain itu, membaiknya
perekonomian nasional juga ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Kalimantan dan stabilnya perekonomian
Sumatera. Sementara di KTI, pertumbuhan perekonomian masih tertahan karena kontraksi kinerja
pertambangan yang terjadi di beberapa daerah, kecuali beberapa provinsi di Sulawesi yang tumbuh cukup
tinggi didukung oleh kinerja sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi. Secara keseluruhan tahun 2014,
perekonomian nasional tumbuh melambat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,03%, lebih rendah
dibandingkan tahun 2013 yang tumbuh 5,58%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi
akibat ketidakpastian dinamika perekonomian global serta ketergantungan yang tinggi sebagian besar wilayah
di Indonesia terhadap ekspor komoditas primer yang kinerjanya pada 2014 masih belum membaik.
Memasuki triwulan I 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan
kinerja perekonomian masih akan berlanjut meskipun masih dibayangi berbagai risiko, baik dari sisi global
maupun domestik. Perbaikan ekonomi diperkirakan terutama terjadi di KTI dan Sumatera yang ditopang oleh
masih kuatnya pertumbuhan ekonomi Jawa. Perekonomian di KTI akan didorong oleh perbaikan aktivitas
pertambangan seiring dengan ekspor mineral yang dapat dilakukan kembali. Sementara itu, perekonomian
Jawa masih didukung oleh perbaikan sektor industri pengolahan seiring dengan perbaikan permintaan ekspor
manufaktur. Di sisi lain, perekonomian di Kalimantan diperkirakan cenderung melambat karena terbatasnya
ekspor batubara. Untuk keseluruhan tahun 2015, perbaikan ekonomi nasional diperkirakan terus berlanjut
sebagaimana tercermin pada agregasi prakiraan pertumbuhan ekonomi daerah yang tumbuh dikisaran 5,45,8%, lebih tinggi dibanding tahun 2014. Optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi daerah juga bersumber
dari langkah strategis pemerintah untuk menempuh beberapa agenda pembangunan infrastruktur yang
diperkirakan akan mampu mengakselerasi investasi dan belanja pemerintah pada tahun 2015.
Di sisi inflasi, laju inflasi pada triwulan IV-2014 meningkat signifikan yakni tercatat sebesar 8,36% (yoy) pada
Desember 2014, dibanding periode September 2014 yang sebesar 4,53% (yoy). Peningkatan inflasi merupakan
dampak dari implementasi kebijakan reformasi energi pada November 2014 dan berkurangnya pasokan
komoditas cabai merah dan beras. Kendala pasokan akibat pergeseran masa panen dan faktor cuaca yang
menghambat produksi dan distribusi mengakibatkan kenaikan harga cabai merah dan beras di sejumlah
daerah melebihi rata-rata tiga tahun terakhir. Peningkatan inflasi terbesar terjadi di wilayah Sumatera, Jakarta
dan Jawa yang melebihi 8%. Namun, perkembangan inflasi sepanjang 2014 secara umum relatif terkendali
dibandingkan tahun 2013. Hal ini tercermin dari sedikit lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 2014
dibanding tahun 2013 yang sebesar 8,38%.
Memasuki tahun 2015, tekanan inflasi tercatat mulai kembali menurun ditandai deflasi yang terjadi di sebagian
besar daerah. Tekanan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 2015 diperkirakan masih cenderung rendah
1
Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
Kawasan Timur Indonesia (KTI mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).
Laporan Nusantara|1
seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan mekanisme subsidi BBM disertai prospek
berlanjutnya penurunan harga minyak di pasar internasional dan mulai masuknya masa panen di berbagai
daerah sentra produksi pangan. Hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat
masih sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%1%. Kondisi ini didukung oleh prospek
produksi pangan yang diperkirakan mampu mencatat surplus, kondisi curah hujan yang relatif stabil serta tren
penurunan harga BBM. Meski demikian perlu tetap diwaspadai beberapa risiko yang dapat memberikan
tekanan inflasi di 2015 khususnya terkait dengan kesinambungan jumlah pasokan bahan pangan antar waktu
di tengah estimasi surplus pangan secara tahunan. Mempertimbangkan risiko tersebut, ke depan upaya
pengendalian inflasi di daerah perlu difokuskan untuk meminimalkan dampak dari kebijakan administered
prices, pengelolaan pasokan pangan serta berbagai langkah kebijakan yang perlu ditempuh untuk menjaga
ekspektasi masyarakat agar tetap positif.
Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam
buku Laporan Nusantara ini. Laporan Nusantara edisi kali ini juga mengangkat isu khusus terkait dengan
agenda pembangunan infrastruktur nasional dan agenda kemaritiman yang menjadi prioritas agenda
pembangunan di era Kabinet Kerja.
Penyusunan buku Laporan Nusantara dilakukan bersama oleh beberapa satuan kerja di Bank Indonesia, yaitu
Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter, Departemen Regional I (Sumatera), Departemen Regional II (Jawa),
Departemen Regional III (Kalimantan), dan Departemen Regional IV (Sulampua-Bali-Nustra). Akhir kata, kami
berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati
ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.
Juda Agung
Direktur Eksekutif
Laporan Nusantara|2
Secara keseluruhan, pada tahun 2014 perekonomian nasional tumbuh melambat dibandingkan tahun
sebelumnya. Perekonomian Indonesia pada tahun 2014 tumbuh sebesar 5,03%, lebih rendah dibandingkan
tahun 2013 yang tumbuh 5,58%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi dari dinamika
perekonomian global yang masih diwarnai ketidakpastian yang tinggi. Selain itu, penyesuaian terhadap
1
Badan Pusat Statistik (BPS) mulai menggunakan tahun dasar 2010 dalam menghitung pertumbuhan ekonomi terhitung sejak rilis
pertumbuhan ekonomi Triwulan IV 2014 pada tanggal 5 Februari 2015.
Laporan Nusantara|3
penerapan kebijakan pengendalian ekspor mineral yang diterapkan pada awal tahun 2015 memerlukan proses
konsolidasi perekonomian daerah-daerah yang menjadi basis produksi tambang mineral. Melambatnya
perekonomian di berbagai daerah juga terkait dengan masih tingginya ketergantungan Sumatera, Kalimantan,
dan beberapa daerah di KTI terhadap ekspor komoditas primer yang kinerjanya masih menurun. Beberapa
daerah yang menunjukkan perlambatan ekonomi akibat terbatasnya kinerja sektor berbasis sumber daya alam
(SDA) antara lain Provinsi Aceh, Kalimantan Timur, Riau, dan Papua. Di tengah melambatnya kinerja ekonomi
di daerah-daerah basis produksi SDA, kinerja daerah yang mengandalkan kinerja manufaktur seperti Jawa dan
Jakarta, serta beberapa daerah di Sulawesi masih relatif tumbuh kuat sehingga dapat menahan perlambatan
ekonomi lebih lanjut.
Sejalan dengan perekonomian nasional yang mulai pulih, laju perlambatan kredit di wilayah Jawa, Jakarta,
dan Sumatera pada triwulan IV-2014 tidak setajam triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit di berbagai
daerah di Kalimantan secara agregat bahkan terindikasi mulai meningkat. Pertumbuhan penyaluran kredit di
Jawa sebesar 14,73%, tergolong cukup tinggi dibandingkan wilayah lain, mengkonfirmasi kondisi
perekonomian Jawa yang relatif masih terjaga. Sementara itu, penyaluran kredit di Jakarta dan Sumatera pada
2014 masing-masing tumbuh sebesar 9,39%, dan 9,43%. Penyaluran kredit di Kalimantan tumbuh 9,69%, lebih
tinggi dari triwulan III-2014 yang tumbuh 6,85% (yoy). Secara keseluruhan 2014 laju pertumbuhan kredit di
semua wilayah masih melambat, namun disertai dengan tingkat non performing loans (NPL) yang relatif
rendah pada kisaran 1,6% - 3,0%. Secara triwulanan, terdapat indikasi perbaikan risiko kredit, terlihat dari
menurunnya persentase NPL di berbagai daerah dibandingkan dengan kondisi di triwulan III-2014. Namun,
perkembangan harga komoditas di pasar global yang masih cenderung turun perlu diwaspadai sebagai sumber
kerentanan kredit di daerah, khususnya bagi daerah yang perekonomiannya ditopang oleh kinerja komoditas
sumber daya alam (SDA).
Arah perbaikan kinerja perekonomian juga tercermin dari transaksi keuangan melalui sistem pembayaran
non tunai. Sepanjang triwulan IV 2014, transaksi pembayaran yang dilakukan melalui sistem Real Time Gross
Settlement (RTGS) rata-rata sebesar Rp10,42 ribu triliun per bulan, lebih tinggi dibandingkan rata-rata transaksi
RTGS pada periode triwulan sebelumnya yang sebesar Rp8,75 ribu triliun per bulan. Peningkatan aktivitas
transaksi keuangan ini diperkirakan berasal dari perbaikan kinerja sektor manufaktur dan pertanian yang
sedang berlangsung secara gradual.
Laporan Nusantara|4
Di sisi inflasi, setelah cenderung menurun hingga akhir triwulan III 2014, laju inflasi pada triwulan IV-2014
2
meningkat signifikan sebagai dampak implementasi kebijakan kenaikan harga BBM pada November 2014 .
Pada akhir tahun 2014, inflasi tercatat sebesar 8,36% (yoy) naik dibanding periode September 2014 yang
tercatat sebesar 4,53% (yoy). Tekanan kenaikan inflasi paling tinggi tercatat dialami oleh beberapa daerah di
Sumatera - Sumatera Barat bahkan merupakan daerah dengan inflasi tertinggi secara nasional - dan wilayah
Sulampua-Balnustra seperti di Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Dampak kenaikan harga BBM terhadap
kenaikan tarif angkutan, harga komponen kendaraan dan biaya jasa pemeliharaan kendaraan di Sulawesi Utara
dan Maluku Utara lebih besar daripada di daerah-daerah lain. Selain itu, kenaikan inflasi dipicu oleh tekanan
kenaikan harga beberapa komoditas pangan strategis dan sejumlah komoditas pada kelompok inti. Tekanan
kenaikan harga cabai dan beras di sejumlah daerah bahkan cenderung melebihi rata-rata tiga tahun terakhir.
Kondisi ini timbul sebagai dampak rambatan dari kenaikan harga BBM, kendala pasokan karena pergeseran
masa panen, dan faktor cuaca yang menghambat produksi dan distribusi.
Namun, perkembangan inflasi sepanjang 2014 secara umum relatif terkendali dibandingkan tahun 2013. Hal
ini tercermin dari sedikit lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 2014 (8,36%) dibanding tahun 2013 (8,38%).
Relatif lebih terkendalinya inflasi tidak terlepas dari bauran kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia,
disertai intensifnya koordinasi kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam memitigasi risiko inflasi
yang timbul sepanjang 2014. Peran aktif daerah semakin kuat dalam mengendalikan harga-harga kebutuhan
masyarakat khususnya melalui upaya memperkuat sisi produksi pangan dan menjaga kelancaran distribusi.
Berbagai rekomendasi kebijakan yang dihasilkan oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) mulai menyentuh
persoalan struktural yang perlu diatasi segera untuk lebih menjaminnya stabilitas harga seperti masalah tata
niaga produk pangan dan upaya memperluas akses pasar melalui penguatan kerjasama perdagangan antara
daerah.
Keputusan Menteri ESDM No. 34.PM/11/MEM/2014 tanggal 17 November 2014 tentang Penyesuaian Harga Jual Eceran BBM Bersubsidi,
dengan rincian harga bensin premium dari Rp6.500 per liter menjadi Rp8.500 per liter dan minyak solar dari Rp5.500 per liter menjadi
Rp7.500 per liter.
Laporan Nusantara|5
Memasuki tahun 2015, tekanan inflasi tercatat mulai kembali menurun ditandai deflasi yang terjadi di
sebagian besar daerah. Koreksi harga terjadi sebagai dampak dari kembali dilakukannya penyesuaian
3
kebijakan subsidi BBM yang diikuti dengan penurunan harga jual BBM . Kebijakan ini selanjutnya diikuti
4
adanya penurunan tarif angkutan di berbagai daerah - meski belum seluruh daerah menerapkan penurunan
tarif angkutan. Selain itu, beberapa daerah sentra produksi mulai memasuki masa panen, khususnya untuk
komoditas aneka bumbu, sehingga berdampak pada relatif minimalnya tekanan inflasi pangan. Meski
demikian, beberapa daerah di Kalimantan, Maluku, NTT dan Kepulauan Bangka Belitung mencatat inflasi yang
lebih tinggi dibanding daerah lainnya.
Asesmen
Asesmen
KALIMANTAN
Tendensi
Kawasan
Asesmen
TIMUR INDONESIA
Tendensi
Kawasan
Asesmen
Pertumbuhan
Ekonomi
Konsumsi RT
Konsumsi
Pemerintah
Investasi (PMTB)
Impor meningkat.
Ekspor LN
Impor LN
Peraturan Menteri ESDM No.4 Tahun 2015 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Kementerian Perhubungan menerbitkan Surat Edaran No.1 Tahun 2015 kepada seluruh Kepala Daerah tentang Penyesuaian Tarif
Angkutan Umum Kelas Ekonomi.
Laporan Nusantara|6
Indikasi pemulihan ekonomi di berbagai daerah pada awal tahun 2015 diperkirakan terus berlanjut sehingga
perekonomian daerah untuk keseluruhan tahun 2015 secara agregat diprakirakan tumbuh di kisaran 5,458%, lebih tinggi dibanding tahun 2014. Semakin solidnya prospek pemulihan ekonomi di AS diperkirakan
memberi dampak yang positif bagi kinerja ekspor manufaktur, terutama dari Jawa. Meski perlu tetap dicermati
imbas dari perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Selain itu, meningkatnya kinerja sektor manufaktur Jawa juga didukung oleh kembali menggeliatnya
perdagangan antardaerah, seiring dengan membaiknya perekonomian berbagai daerah di timur Indonesia.
Prakiraan meningkatnya kinerja perekonomian Kalimantan dan berbagai daerah di wilayah timur Indonesia
lebih banyak ditopang oleh kembali dapat dilakukannya ekspor mineral dan mulai beroperasinya beberapa
smelter. Meski demikian, prospek harga komoditas di pasar global yang masih cenderung rendah sebagai
imbas dari melambatnya ekonomi Tiongkok merupakan risiko bagi masih terbatasnya peningkatan ekonomi
Kalimantan dan wilayah timur Indonesia.
Optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi daerah juga bersumber dari langkah strategis pemerintah
untuk menempuh beberapa agenda pembangunan. Pada awal tahun 2015, pemerintah telah menetapkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 sebagai tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan
Jangka Panjang 2005-2025. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, prioritas
pembangunan diarahkan antara lain pada kedaulatan pangan, kedaulatan energi, penguatan konektivitas,
serta pengembangan maritim dan kelautan. Dalam kerangka agenda pembangunan tersebut, pemerintah akan
mempercepat pembangunan infrastruktur di berbagai daerah yang akan mulai diinisiasi pada tahun 2015.
Untuk mendukung hal tersebut, sebagai langkah awal, pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian
alokasi anggaran belanja negara dalam APBN-P 2015 yang sebagian besar ditujukan bagi pelaksanaan program
prioritas melalui peningkatan belanja infrastruktur serta peningkatan transfer daerah.
Dari sisi inflasi, tekanan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 2015 diperkirakan masih cenderung
rendah. Gambaran rendahnya inflasi yang terjadi di awal tahun 2015 berpotensi akan berlanjut sepanjang
triwulan I 2015. Kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan mekanisme subsidi dan penerapan harga BBM
pada awal Januari disertai prospek berlanjutnya penurunan harga minyak merupakan faktor utama yang akan
menyebabkan minimalnya tekanan inflasi. Rendahnya inflasi juga dipengaruhi oleh penurunan tarif angkutan
meski penurunan tarif yang terjadi terindikasi cenderung lebih rendah dibanding pada saat terjadinya kenaikan
5
November 2014 (downward rigidity) . Selain itu, mulai masuknya masa panen di berbagai daerah sentra
produksi diperkirakan turut berdampak bagi minimalnya tekanan inflasi pangan di triwulan I 2015.
Hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat masih sejalan dengan kisaran
sasaran inflasi nasional sebesar 4%1%. Prospek pertumbuhan ekonomi nasional yang secara umum masih
berada di bawah tingkat potensialnya mengindikasikan tekanan dari sisi permintaan diprakirakan masih
moderat. Prospek produksi pangan, khususnya beras, secara tahunan diprakirakan akan mencatat surplus.
Kondisi curah hujan yang relatif stabil dan merata sepanjang tahun, didukung dengan intensifnya kebijakan
pemerintah untuk mengamankan capaian produksi pangan di 2015 diyakini dapat meminimalkan tekanan
inflasi pangan. Potensi kenaikan produksi beras di tahun 2015 terutama dikontribusi oleh kenaikan produksi di
Jawa dan Sumatera. Selain itu, minimalnya tekanan inflasi didukung prakiraan masih cukup rendahnya harga
komoditas di pasar global, khususnya tren penurunan harga BBM.
Meski demikian perlu tetap diwaspadai beberapa risiko yang dapat memberikan tekanan inflasi di 2015.
Kesinambungan pasokan beberapa komoditas pangan seperti daging sapi dan bawang putih masih akan
terbatas, serta pengaruh pola musiman pada sistem pertanian nasional sehingga mengganggu kestabilan
pasokan antar waktu. Prognosa sementara mengindikasikan defisit beras dapat terjadi pada Januari, Mei,
5
Besaran rata-rata penurunan tarif angkutan yang telah ditetapkan hingga akhir Januari 2015, tercatat penurunan yang terjadi secara
rata-rata tertimbang lebih lebih rendah (7,8%) dibanding kenaikannya pada bulan November 2014 lalu (29,1%).
Laporan Nusantara|7
September dan triwulan IV 2015 sebagaimana periode yang sama tahun 2014. Mundurnya panen raya karena
musim kemarau yang terjadi pada akhir 2014 diperkirakan masih akan memengaruhi perkembangan harga
beras setidaknya sampai April 2015. Sama halnya dengan beras, meski produksi aneka cabai dan bawang
merah secara tahunan memadai, namun kestabilan pasokan setiap periode masih sangat rentan. Selain itu,
permasalahan struktur pasar yang terjadi pada perdagangan komoditas pertanian mengakibatkan kebijakan
penetapan harga referensi sebagai acuan pembentukan harga di tingkat konsumen relatif belum efektif,
khususnya pada komoditas cabai dan daging sapi. Beberapa risiko di atas akan memberikan dampak yang
semakin besar apabila tidak ditunjang dengan kelancaran distribusi pangan terutama untuk Kawasan Timur
Indonesia yang sangat mengandalkan konektivitas jalur pelayaran.
Mempertimbangkan berbagai risiko tersebut, Bank Indonesia bersama pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun daerah, melalui TPI dan TPID akan meningkatkan koordinasi pengendalian inflasi yang difokuskan
pada upaya meminimalkan dampak kebijakan administered prices, pengelolaan pasokan pangan serta
menjaga ekspektasi masyarakat agar tetap positif. Di tingkat daerah, TPID diarahkan untuk memperkuat
sinergi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan perwakilan instansi vertikal, untuk mendukung
agenda pemerintah dalam membangun ketahanan dan kemandirian pangan melalui penguatan infrastruktur
pertanian. Oleh karena itu, program pengendalian inflasi daerah pada 2015 secara umum di seluruh wilayah
ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pertanian, pengelolaan stok pangan di setiap daerah, serta
percepatan implementasi kerja sama perdagangan antar daerah dalam rangka mendorong peningkatan
efisiensi struktur tata niaga pangan didukung dengan ketersediaan data dan informasi pangan secara
terintegrasi.
Laporan Nusantara|8
pengembangan kemaritiman antara lain melalui optimalisasi sumber daya yang terkandung didalam wilayah
kelautan Indonesia guna mendongkrak kinerja ekonomi nasional sekaligus mengurangi kesenjangan antar
7
wilayah .
Dalam rangka memberikan dukungan yang konstruktif khususnya bagi implementasi pembangunan
infrastruktur dan pengembangan ekonomi daerah secara umum, Bank Indonesia akan berupaya meningkatkan
perannya yang difokuskan pada: (a) mendorong dilakukannya reformasi struktural di daerah melalui
pembenahan enabling factors dan memantau implementasi agenda pembangunan ekonomi daerah sesuai
RPJMN 2015-2019; (b) mendorong transaksi non-tunai dan layanan keuangan digital (LKD) yang lebih luas
sebagai upaya untuk memperkuat efisiensi perekonomian nasional dan daerah, serta inklusi keuangan; (c)
mengupayakan keterkaitan antara program pengembangan UMKM dan layanan keuangan digital (LKD) Bank
Indonesia dengan upaya mendukung stabilisasi harga pangan dan agenda pembangunan sektor unggulan;
serta (d) melakukan applied research (kajian strategis) untuk mengidentifikasi lebih dalam permasalahan
pembangunan di daerah.
Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala
Departemen Regional pada 13 Februari 2015 di Jakarta. Pertemuan tersebut dilakukan secara periodik
untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah
sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia
Laporan Nusantara|9
Laporan Nusantara
PERTUMBUHAN EKONOMI
1
Perekonomian Sumatera secara agregat terindikasi tumbuh membaik pada triwulan IV 2014 sebesar 4,37%
(yoy), terutama ditopang oleh konsumsi swasta maupun pemerintah yang tumbuh cukup tinggi. Di sisi lain,
kinerja ekspor dan investasi masih terbatas. Laju perekonomian tertinggi tercatat di Provinsi Kepulauan Riau,
Jambi, dan Sumatera Selatan masing-masing sebesar 7,77%, 7,52%, dan 5,96%. Secara sektoral, pertumbuhan
ekonomi terutama didukung oleh sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Di sektor tersebut optimisme
mulai muncul di perkebunan sawit, yang tercermin dari perbaikan harga minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO)
dan di pertanian tanaman bahan pangan, yang tercermin dari peningkatan produksi pada periode triwulan IV
2014.
Secara keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Sumatera melambat dibandingkan dengan tahun
2013. Perekonomian Sumatera tercatat tumbuh sebesar 4,66 %, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang
sebesar 5,01%. Perlambatan ini terutama bersumber dari menurunnya kinerja ekspor, terutama ekspor yang
berbasis komoditas perkebunan, karena rendahnya harga di pasar global. Hal ini berdampak pada melemahnya
pendapatan ekspor sehingga menekan konsumsi secara keseluruhan. Selain itu, melambatnya ekonomi
Sumatera juga dipengaruhi oleh produksi minyak dan gas (migas) yang terus mengalami penurunan, seperti
gas di Aceh dan minyak bumi di Riau. Perlambatan ekonomi terjadi hampir di seluruh provinsi wilayah
Sumatera, kecuali Kepulauan Riau dan Jambi.
Perekonomian Sumatera pada triwulan I 2015 diperkirakan mengalami perbaikan. Pada periode tersebut,
pertumbuhan ekonomi Sumatera diperkirakan mencapai 4,2-4,7% (yoy). Pertumbuhan perekonomian
Sumatera tersebut akan didukung oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera. Peningkatan diperkirakan akan
didorong oleh perbaikan kinerja sektor utama Sumatera, yaitu sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan.
Perbaikan di sektor tersebut akan memberikan dampak positif bagi industri yang mengolah hasil-hasil dari
sektor tersebut, terutama industri pengolahan komoditas perkebunan, seperti industri CPO. Selain itu,
penggunaan teknologi injeksi kimia di sektor pertambangan diperkirakan dapat menahan laju penurunan
lifting minyak, terutama di Provinsi Riau. Untuk keseluruhan tahun 2015, ekonomi Sumatera diperkirakan akan
tumbuh lebih optimis dibandingkan dengan tahun 2014, yaitu diperkirakan akan tumbuh di kisaran 4,6-5,1%,
didorong oleh peningkatan kinerja sektor industri pengolahan dan masih tingginya pertumbuhan sektor
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor.
Konsumsi
Konsumsi Swasta
Konsumsi swasta Sumatera tumbuh terbatas pada triwulan IV 2014, namun masih pada level yang tinggi.
Secara keseluruhan tahun 2014, konsumsi swasta mengalami perlambatan akibat harga komoditas yang belum
membaik, seperti yang terjadi pada komoditas karet. Adanya berbagai kebijakan administered prices, terutama
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjelang akhir tahun, menekan daya beli masyarakat.
Menurunnya daya beli masyarakat tercermin dari melambatnya penghimpunan dana masyarakat di
perbankan, yang mengindikasikan bahwa masyarakat mulai menggunakan simpanan untuk memenuhi
Data pertumbuhan menggunakan tahun dasar 2010, berbasis SNA 2008, yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 5 Februari
2015.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 11
kebutuhan. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Lampung
mengindikasi level keyakinan masyarakat terhadap perekonomian pada akhir tahun 2014 mengalami
penurunan.
Perlambatan konsumsi swasta diperkirakan masih akan berlanjut hingga triwulan I 2015. Pola musiman
menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat relatif melambat pascaperayaan keagamaan dan akhir tahun.
Selain itu, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya aktivitas belanja masyarakat pada
triwulan I 2015 juga diperkirakan lebih rendah. Hal ini disebabkan karena berbagai kegiatan masyarakat terkait
dengan Pemilu, tidak lagi terjadi pada periode ini. Beberapa indikator hasil survei juga mengonfirmasi
4
pelemahan konsumsi swasta. Survei Penjualan Eceran menunjukkan Indeks Penjualan Eceran yang masih
mengalami kontraksi hingga Januari 2015 (Grafik II.1). Hal tersebut menunjukkan menurunnya kegiatan
belanja masyarakat. Selain itu, survei konsumen di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, dan Lampung menunjukkan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang lebih
rendah, yaitu dari 123,09 pada triwulan IV 2014, menjadi 122,31 pada Januari 2015 (Grafik II.2).
Indeks
250
Indeks SPE
70
60
200
IKK
140
IKE
IEK
130
50
40
150
120
30
20
100
10
0
50
-10
0
110
100
90
-20
I
II
III
IV
2012
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
Jan
III
IV
2012
2015
II
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
I*
2015
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi Pemerintah pada triwulan IV 2014 mengalami pertumbuhan positif dan membuat capaian
keseluruhan tahun 2014 mengalami peningkatan. Posisi simpanan pemda di bank pada triwulan IV 2014 yang
lebih rendah dari triwulan sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan belanja pemda pada periode
tersebut (Grafik II.3). Meski demikian, pertumbuhan konsumsi pemerintah tersebut relatif masih terbatas,
ditandai dengan posisi simpanan pada akhir tahun 2014 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2013
lalu, yang mengalami kontraksi sebesar 14,3% (yoy). Lebih tingginya simpanan tahun ini dibandingkan dengan
tahun sebelumnya mengindikasikan bahwa persentase realisasi belanja pemerintah daerah pada tahun ini
lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan akan mengalami perbaikan pada triwulan I 2015. Perbaikan
tersebut akan ditopang oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera. Komitmen beberapa pemerintah
kota/kabupaten untuk mempercepat proses pelelangan, seperti yang terjadi di provinsi Riau, Sumatera Barat,
dan Sumatera Selatan, menjadi faktor pendukung meningkatnya konsumsi pemerintah. Pada tahun
sebelumnya proses pelelangan baru dilaksanakan setelah bulan Maret, sehingga pelaksanaan proyek banyak
yang baru dimulai setelah memasuki triwulan II. Percepatan proses lelang tersebut akan mendorong capaian
3
4
Hasil Survei Konsumen (SK) yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan BI di wilayah Sumatera.
Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilakukan di Sumatera Utara.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 12
konsumsi Pemerintah pada triwulan I 2015 yang lebih baik dari periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan
kondisi tersebut, pertumbuhan konsumsi pemerintah akan menjadi salah satu sumber pendorong ekonomi
Sumatera.
Rp Triliun
300 %yoy
%yoy
Simpanan Pemda
70
60
50
40
30
20
10
0
I
II
III
IV
II
2011
III
IV
II
2012
III
IV
2013
II
III
250
200
150
Tabungan
Deposito
100
50
0
I
-50
II
IV
II
2011
-100
2014
III IV
III IV
II
2012
III IV
Giro
II
2013
III IV
2014
Grafik II.3. Perkembangan Posisi Simpanan Pemda Sumatera Grafik II.4. Perkembangan Jenis Simpanan Pemda Sumatera di
di Bank Umum
Bank Umum
Investasi
Perbaikan investasi pada triwulan IV 2014 pasca-Pemilihan Umum diperkirakan masih minimal. Kondisi
tersebut menyebabkan investasi Sumatera selama tahun 2014 melambat dibandingkan dengan tahun 2013.
Dari sisi pembiayaan, dorongan terhadap investasi juga terbatas, sebagaimana tercermin dari rendahnya
pertumbuhan kredit investasi di Sumatera. Pertumbuhan kredit investasi di Sumatera tercatat sebesar 5,39%
(yoy), jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 8,81% (yoy), dan dari periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar 37,80% (yoy). Melambatnya investasi juga ditunjukkan oleh lebih rendahnya realisasi
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 2014 dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (Grafik II.6). Investasi yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Pemda)
diperkirakan juga masih terbatas, yang ditandai dengan tingginya simpanan Pemda di bank umum pada
triwulan IV 2014. Adanya kenaikan harga BBM bersubsidi pada November 2014 telah menyebabkan pelaku
usaha bersikap wait and see (menunggu) atas kebijakan energi lanjutan yang akan dilakukan.
Juta Ton
Konsumsi Semen
%yoy
1400
%yoy
50
%yoy
1200
45
Kredit Investasi
4.0
12
3.5
10
1000
3.0
800
30
2.5
600
25
2.0
20
1.5
400
1.0
200
0.5
-2
-4
I
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
IV
40
35
PMDN
PMA
-200
I
II
III
IV
II
III
IV
II
III
IV
II
III
15
10
5
0
IV
2014
2011
2012
2013
2014
Pada triwulan I 2015, investasi diperkirakan akan sedikit mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil liaison,
beberapa perusahaan swasta berencana melakukan peningkatan kapasitas seperti perluasan pabrik,
penambahan mesin baru dan peningkatan kapasitas pelabuhan di Lampung, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka
Belitung. Dari sisi investasi bangunan, perbaikan investasi tercermin dari masih meningkatnya konsumsi
L a p o r a n N u s a n t a r a | 13
semen di Sumatera (Grafik II.5). Selain itu, komitmen pemerintah daerah untuk memperbaiki iklim investasi,
memberikan optimisme bagi kegiatan investasi.
USD Juta
16,000
Nilai Impor
gImpor (Skala Kanan)
%yoy
70
14,000
200
%yoy
80
60
12,000
50
10,000
40
Karet
CPO
Batubara
150
100
30
8,000
20
6,000
10
4,000
0
-10
2,000
50
-20
-30
I
II
III
2011
IV
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
-50
IV
2014
II III IV I
II III IV I
II III IV I
II III IV
2011
2012
2013
2014
-100
Impor
Sementara itu, impor Sumatera juga mengalami penurunan pada triwulan IV 2014 (Grafik II.10). Penurunan
terutama terjadi pada komoditas barang modal dan bahan baku (Grafik II.9). Di sisi lain, pertumbuhan impor
barang konsumsi terus mengalami peningkatan, seiring dengan kinerja konsumsi rumah tangga yang masih
tumbuh tinggi, diikuti dengan masih meningkatnya kredit konsumsi. Dengan capaian tersebut, pertumbuhan
impor keseluruhan tahun 2014 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013.
Pada triwulan I 2015, impor Sumatera diperkirakan tumbuh meningkat, sejalan dengan perkiraan peningkatan
investasi, terutama investasi nonbangunan. Kegiatan penambahan/perluasan kapasitas pabrik dan
penambahan mesin baru akan mendorong impor barang modal di Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan
Sumatera Barat. Selain itu, konsumsi pupuk di sektor perkebunan diperkirakan bertambah, sehingga
mendorong kebutuhan impor pupuk, terutama di Provinsi Sumatera Barat dan Riau.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 14
25
%yoy
20
Total
Barang Konsumsi
Barang Modal
Bahan Baku
%yoy
70
15
60
10
50
40
30
0
I
II
-5
III
IV
II
2012
III
IV
II
III
2013
IV
20
10
2014
-10
-15
(10)
-20
(20)
II
III IV
2011
II
III IV
II
2012
III IV
2013
II
III IV
2014
(30)
-25
(40)
-30
Grafik II.9. Perkembangan Nilai Impor Sumatera Berdasarkan Grafik II.10. Perkembangan Nilai dan Volume Impor Sumatera
Jenis
Harga TBS
%yoy
60
Produksi Karet
Ribu Ton
300
2,000
40
30
1,500
250
200
20
1,000
10
150
100
-10
500
-20
0
-30
I
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
2014
%yoy
50
IV
I
2015
50
I
II III IV
2011
II III IV
2012
II III IV
2013
30
25
20
15
10
5
0
-5
-10
-15
-20
II III IV
2014
Sumber : Gapkindo
Grafik II.12. Produksi Karet Sumatera Selatan
Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh seluruh Kantor Perwakilan BI di wilayah Sumatera.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 15
Indeks
30
20
10
0
I
-10
II
III
2012
IV
II
III
2013
-20
-30
-40
IV
II
III
2014
IV
Produksi Batubara
kt
Pertambangan
I
2015
2000
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
%yoy
80
60
40
20
0
-20
-40
-60
-80
1
7
2012
9 11 1
7
2013
9 11 1
9 11
2014
Sumber : McCloskey
Sumber : McCloskey
Grafik II.13. Indeks Perkiraan Kegiatan Usaha Sektor Pertanian Grafik II.14. Perkiraan Produksi Batubara Sumatera Selatan
dan Pertambangan Sumatera
Peraturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2015 Tentang Ketentuan Penggunaan Letter of Credit untuk Ekspor
Barang Tertentu untuk mendorong optimalisasi dan akurasi perolehan devisa hasil ekspor khususnya hasil ekspor komoditas Sumber Daya
Alam.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 16
Hal ini terkonfirmasi dari hasil liaison, yang menunjukkan bahwa kapasitas utilisasi perusahaan penghasil CPO
hanya berkisar 50% -54%, lebih rendah dari kapasitas periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai
55% 80%.
Kinerja industri pengolahan diperkirakan akan mengalami peningkatan pada triwulan I 2015. Perbaikan kinerja
sektor industri pengolahan diperkirakan akan terjadi di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung,
Sumatera Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung. Walaupun masih dalam tren yang menurun, laju penurunan
harga karet tidak sedalam periode sebelumnya, sehingga terdapat optimisme perbaikan harga di masa
mendatang bagi industri pengolahan karet di Jambi. Adanya potensi perbaikan harga terlihat dari Indeks Harga
Jual Komoditas industri pengolahan pada triwulan mendatang yang meningkat dari 1,65% menjadi 3,80%.
Meski demikian, lemahnya pengelolaan perkebunan karet dan adanya masalah mendasar pada tata niaga dan
hulu karet, membuat pertumbuhan karet diperkirakan masih akan terbatas. Industri pengolahan makanan dan
minuman, khususnya kopi di Lampung dan Sumatera Utara, diperkirakan akan mengalami peningkatan, seiring
dengan perbaikan permintaan dari negara mitra dagang Amerika, India dan Eropa. Industri pengolahan gula di
Sumatera Utara juga diperkirakan meningkat pascadibukanya keran impor gula rafinasi pada akhir tahun 2014.
Sementara itu, volume ekspor CPO diperkirakan masih akan terus mengalami pertumbuhan positif dan
mendorong industri pengolahan kelapa sawit di Sumatera Barat dan Riau.
Sumber : Bloomberg
Grafik II.15. Perkembangan Harga CPO Internasional
Sumber : Bloomberg
Grafik II.16. Perkembangan Harga Karet Internasional
LAJU INFLASI
Inflasi Sumatera pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar 8,62% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan sebelumnya
(4,64%; yoy). Realisasi inflasi tersebut berada di atas realisasi inflasi nasional (8,36%,yoy) (Grafik II.17).
Berdasarkan disagegrasi inflasi, peningkatan inflasi tertinggi dialami oleh komoditas yang tergabung dalam
kelompok administered prices diikuti dengan volatile foods (Grafik II.18). Meningkatnya inflasi administered
prices disebabkan oleh kenaikan harga BBM bersubsidi yakni bensin dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 serta solar
dari Rp5.500 menjadi Rp7.500. Kondisi ini kemudian diikuti dengan meningkatnya tarif angkutan dalam kota
dan antarkota dengan rata-rata Sumatera mencapai masing-masing 28% dan 20%. Sementara itu, peningkatan
inflasi volatile food disebabkan oleh meningkatnya harga bumbu-bumbuan terutama cabai merah sebesar
137%. Turunnya produksi cabai merah, di tengah tingginya permintaan, terkait banyaknya kegiatan pada akhir
tahun, menjadi penyebab meningkatnya harga komoditas ini.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 17
IHK Umum
Volatile Foods
10
Inflasi Nasional
%yoy
Core
Adm. Prices
20.00
Inflasi Sumatera
15.00
10.00
4
3
5.00
0.00
1
0
I
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
Jan
2015
II
III IV
II
III IV
II
III IV
2012
2013
2014
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.18. Disagregasi inflasi Sumatera
2015
Berdasarkan provinsi, inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Sumatera Barat (11,57%; yoy) diikuti dengan Provinsi
Bengkulu (10,85%; yoy), sementara inflasi terendah terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (7,59%; yoy) (Grafik
II.19). Tingginya inflasi di Sumatera Barat disebabkan oleh meningkatnya harga komoditas bumbu-bumbuan,
terutama cabai merah. Dalam empat bulan terakhir tahun 2014, harga cabai merah meningkat hampir
mencapai tiga kali lipat. Meskipun Sumatera Barat merupakan salah satu sentra produksi cabai merah di
Sumatera, tingginya konsumsi komoditas ini, baik untuk rumah tangga maupun hotel dan restoran serta
tingginya permintaan dari luar provinsi, menyebabkan harga di dalam provinsi turut meningkat. Kondisi yang
sama juga terjadi di Bengkulu, yaitu sumbangan inflasi terbesar berasal dari meningkatnya harga komoditas
cabai merah yang mencapai 225% dalam empat bulan terakhir. Di sisi lain, inflasi di Kepulauan Riau relatif
terjaga. Hal ini disebabkan oleh relatif stabilnya harga kelompok bahan makanan di provinsi ini, yang didukung
oleh memadainya pasokan.
Tekanan inflasi pada triwulan I 2015 menurun, sejalan dengan menurunnya harga komoditas yang tergabung
dalam kelompok administered prices dan volatile food. Kondisi tersebut tercermin dari menurunnya laju inflasi
pada Januari 2015 menjadi sebesar 6,63% (yoy) dari akhir tahun 2014 sebesar 8,62% (yoy). Turunnya harga
minyak dunia, yang diikuti dengan kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM bersubsidi dalam dua
tahap yakni pada tanggal 1 dan 19 Januari 2015, menyebabkan turunnya inflasi kekompok administered prices.
Sampai dengan bulan Februari 2015, harga bensin terjaga di level Rp6.600 dan solar di level Rp6.400.
Penurunan harga BBM bersubsidi kemudian diikuti dengan keputusan pemerintah untuk mewajibkan
penurunan harga tarif angkutan minimum sebesar 5% 15% oleh Organda. Namun, dari 23 kota yang menjadi
basis penghitungan inflasi di Sumatera, belum semua kota melakukan penyesuaian penurunan tarif secara
langsung pada bulan Januari. Beberapa kota yang sudah melakukan penyesuaian, baik untuk tarif angkutan
dalam kota maupun luar kota pada bulan Januari 2015 adalah Meulaboh, Banda Aceh, Lhoksumawe, Medan,
Padang Sidempuan, Palembang, Lubuk Linggau, dan Bandar Lampung. Penurunan Tarif angkutan tersebut ratarata 3% 10% untuk tarif angkutan dalam kota dan 5% - 15% untuk tarif angkutan luar kota (Grafik II.20).
Penurunan tersebut, masih lebih rendah dari kenaikan pada saat terjadi peningkatan harga BBM bersubsidi
tahun lalu, yang secara rata-rata lebih dari 20%. Berdasarkan quick survey yang dilakukan, kondisi ini
disebabkan oleh adanya biaya pembelian spare part yang juga cenderung meningkat. Dengan perilaku ini
masih terdapat selisih perubahan tarif angkutan sebesar 0,30% akibat perubahan kebijakan tersebut.
Menurunnya harga BBM juga memicu optimisme ekspektasi masyarakat terhadap penurunan harga barang.
Dengan harga BBM yang lebih rendah, diharapkan akan menurunan biaya produksi, yang selanjutnya
ditransmisikan ke harga barang akhir.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 18
14.00
%yoy
Tw III-2014
Tw IV-2014
Tw I-2015
%yoy
12.00
14.00
10.00
8.00
6.00
10.00
9.12
6.00
7.33
5.31
6.04
4.42
9.40
8.21
8.00
4.00
12.50
12.00
3.86
4.00
2.00
0.00
Lhoksumawe
Medan
P. Sidempuan Palembang
Lubuk
Linggau
Bandar
Lampung
Faktor risiko yang perlu menjadi perhatian selanjutnya adalah dampak penyesuaian harga yang asimetris
8
terhadap perubahan harga BBM. Berdasarkan quick survey yang dilakukan kepada 88 perusahaan di
Sumatera mengenai perilaku apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga BBM, 35% pengusaha
menyatakan akan meningkatkan harga ketika terjadi kenaikan BBM dengan rata-rata kenaikan 6%. Sementara
itu, jika terjadi penurunan harga BBM, hanya 16% pengusaha yang akan menurunkan harga jual dengan ratarata penurunan hanya 3,5%. Namun, mayoritas pengusaha masih tidak melakukan penyesuaian harga secara
langsung ketika terjadi perubahan harga BBM. Sebagian besar pengusaha lebih memilih untuk efisiensi,
meningkatkan pemasaran dan pengalihan energi terlebih dahulu ketika terjadi perubahan harga BBM.
Faktor risiko inflasi lain muncul sebagai dampak dari penerapan Peraturan Gubernur No. 59 tahun 2014
Provinsi Lampung, tentang Pengendalian Distribusi Produk Impor mulai awal Januari 2015. Peraturan tersebut
dikenakan pada komoditas gula, beras, kopi, jagung dan daging sapi, yang merupakan komoditas utama yang
dihasilkan Lampung. Berdasarkan peraturan tersebut, memasukkan komoditas-komoditas tersebut dari luar
Lampung harus mendapat izin dari Gubernur. Dengan adanya peraturan tersebut pasokan gula, beras, kopi,
jagung dan daging sapi di Lampung sangat bergantung pada kemampuan produksi lokal. Peraturan ini, di sisi
lain, bertujuan untuk melindungi produk komoditas lokal, di sisi lain bila kemampuan lokal tidak memadai,
berpotensi memicu inflasi pangan.
Transparansi harga melalui pembentukan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis)
Sampai dengan tahun 2014, provinsi yang telah memiliki PIHPS berupa papan harga elektronik adalah
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Aceh dan Jambi. Sementara itu,
Perusahaan yang menjadi responden adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan industri pengolahan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 19
pengembangan PIHPS berupa website, yang memuat harga komoditas utama, telah dibentuk di Sumatera
Utara, Sumatera Selatan dan Jambi. Pada tahun 2015, PIHPS provinsi akan diintegrasikan dengan PIHPS
nasional. Dengan integrasi tersebut, nantinya, masyarakat dapat memperoleh informasi harga pangan di
provinsi-provinsi lainnya di luar Sumatera.
2.
3.
Kerjasama antardaerah
Program TPID kerjasama antardaerah telah dilaksanakan oleh Provinsi Lampung melalui kerjasama dengan
DKI Jakarta untuk komoditas beras, daging ayam, daging sapi, dan pisang. Pada tahun 2015, kerjasama
antardaerah akan lebih ditingkatkan dengan menambah komoditas strategis lainnya.
Menghadapi berbagai risiko inflasi ke depan, TPID di Sumatera akan lebih memfokuskan kegiatan
pengendalian inflasi pada beberapa hal berikut :
1.
2.
Mendorong terjaganya keseimbangan kapasitas produksi, khususnya untuk komoditas pangan dengan
permintaan produk-produk pertanian melalui :
a. pembangunan sistem pola, waktu dan lokasi penanaman produk-produk pertanian.
b. pembangunan sentra-sentra produksi pertanian (termasuk perikanan).
c. pelipatgandaan jumlah petani pakar dan klaster ketahanan pangan.
d. pengembangan terminal agribisnis untuk penjualan produk pertanian bersama.
e. penyempurnaan neraca pangan Sumatera.
f. pengembangan industri agribisnis di dekat sentra-sentra produksi bahan pangan untuk menjamin
keberlanjutan absorpsi produk bahan pangan, khususnya pada saat surplus produksi
g. peningkatan produktivitas pangan melalui penelitian, pendampingan dan pelatihan
3.
Memberi subsidi kepada sektor transportasi publik oleh pemerintah daerah untuk mengendalikan
dampak inflasi dari kenaikan biaya transpotasi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 20
seperti CPO dan karet meningkatkan risiko pelaku usaha di sektor pertanian, perdagangan dan industri
pengolahan yang terkait dengan komoditas-komoditas tersebut.
Berdasarkan provinsi, pertumbuhan kredit korporasi terendah dialami oleh Aceh dan Kepulauan Riau. Kredit di
kedua provinsi tersebut tumbuh negatif masing-masing 1,53% (yoy) dan 0,25% (yoy) (Grafik II.23).
Menurunnya penyaluran kredit industri pengolahan di Aceh dan kredit konstruksi di Kepulauan Riau menjadi
penyebab utama penurunan tersebut. Sementara itu, beberapa provinsi yang masih menunjukkan peningkatan
pertumbuhan kredit korporasi yaitu Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau.
Rp Triliun
Kredit Sektoral
%yoy
%yoy
gPertanian
gIndustri Pengolahan
gPHR
400
35
60
350
30
50
25
40
300
250
20
200
15
150
10.91
30
20
10
100
8.73
50
0
0
I
II
III
IV
2012
II
III
IV
2013
II
III
10
0
I
IV
II
III
IV
II
2012
2014
III
IV
II
2013
III
IV
2014
Dari sisi kualitas kredit, kinerja kredit kepada korporasi relatif masih cukup baik. Hal ini terlihat dari tingkat non
performing loan (NPL) yang masih dalam batas aman (di bawah 5%). NPL kredit korporasi menunjukkan tren
penurunan yakni dari 2,84% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 2,59% (yoy) (Grafik II.3.23). Nilai NPL tersebut
juga lebih rendah dari rata-rata tiga tahun terakhir sebesar 2,94% (yoy). Sejalan dengan hal tersebut, kualitas
kredit kepada tiga sektor utama relatif masih terjaga, (NPL di bawah 5%), bahkan pada triwulan IV 2014 NPL
lebih rendah dibandingkan dengan triwulan lalu, di tengah menurunnya penyaluran kredit pada sektor-sektor
tersebut (Grafik II.24). Demikian halnya dengan NPL disektor perdagangan yang cenderung lebih tinggi
dibanding dengan kredit pada sektor lainnya, namun pada akhir triwulan IV 2014 telah menunjukkan adanya
perbaikan.
50.00
%yoy
Tw I-2014
Tw II-2014
Tw III-2014
Tw IV-2014
40.00
5.00
4.50
3.00
2.50
20.00
2.00
4.08
PHR
4.00
3.50
30.00
Industri Pengolahan
3.05
Sektoral
1.76
1.50
10.00
0.00
-10.00
1.00
Pertanian
0.00
I
II
III
2012
1.24
0.50
IV
II
III
2013
IV
II
III
IV
2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 21
rukan (26,91%) serta kredit kendaraan bermotor (13,03%) (Grafik II. 25). Dibandingkan dengan pertumbuhan
pada triwulan III 2014, penyaluran kredit multiguna dan kendaraan bermotor masih menunjukkan percepatan
pertumbuhan yakni masing-masing 31,47% dan 24,82%. Di sisi lain, kredit kepemilikan rumah cenderung
melambat, yaitu tumbuh 7,31%, lebih rendah dari triwulan sebelumnya 7,94% (Grafik II.26). Berdasarkan
provinsi, penyaluran kredit rumah tangga di sebagian besar provinsi masih menunjukkan peningkatan
pertumbuhan, dengan pertumbuhan tertinggi di provinsi Bengkulu (Grafik II.27). Adapun penyaluran kredit
rumah tangga terbesar di provinsi Sumatera Utara yang mencapai 23,11% dari total kredi rumah tangga
Sumatera.
140
Lainnya
16%
%yoy
120
KPR KPA
Rukan
27%
100
60
40
KKB
13%
Multiguna
44%
g. Multiguna
80
g. KKB
g. Kredit RT
20
0
-20
II
IV
II
2012
-40
III
III
IV
II
2013
III
IV
2014
Kualitas kredit sektor rumah tangga masih terjaga, dengan angka NPL yang relatif rendah dan menurun. NPL
kredit rumah tangga pada triwulan IV 2014 tercatat 1,62%, lebih rendah dari 1,81% pada triwulan III 2014.
Berdasarkan jenisnya, NPL yang tertinggi berasal dari peyaluran kredit untuk perumahan atau apartemen yakni
sebesar 3,40%. NPL tersebut lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 3,82%. Sementara itu, NPL
penyaluran kredit kepada kendaraan bermotor dan multiguna relatif rendah yakni masing-masing 1,18% dan
0,94% (Grafik II.28).
20.00
18.00
%yoy
Tw I-2014
Tw II-2014
Tw III-2014
Tw IV-2014
16.00
14.00
12.00
10.00
4.5
3
2.5
8.00
6.00
1.5
4.00
2.00
0.5
0.00
4
3.5
NPL Kredit RT
NPL KKB
NPL Multiguna
0
I
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
IV
2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 22
sektor industri pengolahan sebesar 6,6%. Perlambatan penyaluran kredit terutama terjadi di sektor pertanian
dan industri pengolahan, sementara sektor perdagangan masih relatif stabil, yaitu tumbuh sebesar 9,9% (yoy).
Berdasarkan provinsi, penyaluran kredit UMKM terbesar ditujukan ke provinsi Sumatera Barat dengan pangsa
sebesar 33,83%, diikuti dengan Bengkulu sebesar 32,02%
Berdasarkan kualitasnya, penyaluran kredit UMKM cenderung memiliki NPL yang relatif tinggi yakni mencapai
5,27%, meski membaik dari triwulan sebelumnya sebesar 5,63%. Dari sisi lapangan usaha, NPL kredit kepada
UMKM yang tercatat tinggi yaitu sektor konstruksi dan perdagangan. Berdasarkan provinsi, kualitas kredit
UMKM terbaik dialami oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan NPL sebesar 3,74%, sementara
terburuk dialami oleh Provinsi Aceh dengan NPL mencapai 11,56%.
Kredit UMKM
Rp Triliun
160
g. Kredit UMKM
30
NPL Kredit UMKM
140
25
120
Laiinnya
16.03%
Pertanian
20.41%
20
100
80
Industri
6.57%
15
60
10
Konstruksi
5.67%
40
5
20
0
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
PHR
51.32%
IV
2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 23
Transaksi pembayaran melalui kliring pada triwulan IV 2014 mengalami peningkatan baik volume maupun nilai
transaksi. Secara nilai, transaksi kliring tumbuh sebesar 9,72% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan
III yang hanya 6,51% (yoy), dengan total transaksi kliring mencapai Rp.72,1 Triliun. Sementara itu, volume
kliring meningkat signifikan sebesar 23,67% (yoy) pada triwulan IV 2014 dibandingkan dengan triwulan III 2014
yang hanya tumbuh sebesar 5,79%. Peningkatan ini merupakan akibat dari diberlakukannya ketentuan Bank
Indonesia yang mengharuskan transaksi keuangan di bawah 100 juta menggunakan SKNBI dan meningkatnya
transaksi masyarakat pada masa liburan akhir tahun.
Rp Triliun
Inflow
Outflow
3500
20
3000
15
2500
10
2000
1500
1000
-5
500
lembar
-10
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Kepri
Jambi
Sumsel
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2013
2014
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan mengalami perbaikan. Ekonomi
Sumatera diperkirakan tumbuh 4,6% - 5,1% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2014.
Peningkatan diperkirakan terjadi hampir di seluruh provinsi di Sumatera kecuali Riau dan Jambi. Hal tersebut
didukung oleh berbagai rencana infrastruktur yang akan dilaksanakan pada tahun 2015, sehingga investasi
diperkirakan akan meningkat. Adanya pengalihan subsidi BBM ke berbagai proyek seperti bangun desa, irigasi,
dan waduk juga diperkirakan akan mendorong kegiatan investasi dan konsumsi Pemerintah. Optimisme
perbaikan ekonomi negara mitra dagang dan harga komoditas internasional diperkirakan juga akan
mendorong kegiatan ekspor Sumatera.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 24
Dari sisi sektoral, perbaikan ekonomi diperkirakan akan didorong oleh sektor industri pengolahan; dan sektor
perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor yang masih tumbuh tinggi. Berbagai
pengembangan infrastruktur jalan maupun pelabuhan diperkirakan akan mendorong aktivitas sektor industri
pengolahan lebih tinggi. Selain itu, kegiatan perdagangan di kawasan Sumatera juga diperkirakan akan terus
mengalami pertumbuhan akibat konsumsi rumah tangga yang masih relatif tinggi,
Prospek Inflasi
Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan akan mendukung pencapaian target sasaran inflasi
nasional 41%. Inflasi Sumatera diperkirakan berada pada kisaran 3,9% - 4,4% (yoy), sejalan dengan
menurunnya harga minyak dunia. Tren penurunan harga minyak dunia akan menurunkan tekanan harga pada
kelompok Administered Prices seperti harga bahan bakar rumah tangga dan tarif transportasi.
Menurunnya biaya produksi, akan menurunkan tekanan harga secara umum. Dengan harga minyak dunia yang
cenderung turun, dan kenaikan UMP yang tidak setinggi tahun sebelumnya, memengaruhi biaya produksi yang
menjadi relatif lebih rendah. Biaya produksi yang rendah akan menurunkan harga jual barang atau jasa. Selain
itu, sentimen penurunan harga jual barang dan jasa akan menjaga ekspektasi masyarakat. Di sisi lain, harga
komoditas yang masih cenderung rendah, akan menahan tingkat konsumsi masyarakat. Hal ini akan menekan
inflasi khususnya kelompok inti (core).
Faktor lain yang diperkirakan mampu menahan laju inflasi pada tahun 2015 adalah faktor iklim, yang
diperkirakan oleh BMKG lebih kondusif dibandingkan dengan tahun 2014. Sehingga produksi bahan pangan di
Sumatera seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara diperkirakan meningkat dari
tahun sebelumnya. Dengan kondisi ini supply pasokan, terutama, bahan pangan akan lebih terjamin.
Selanjutnya, ketersediaan pasokan pangan yang lebih baik diperkirakan akan cukup menahan laju inflasi pada
kelompok volatile food.
Beberapa faktor yang dapat memperbesar inflasi pada tahun 2015 adalah, penyesuaian tarif Listrik, dan
kenaikan tarif pembuatan SIM. Selain itu, potensi risiko dari kenaikan imported inflation masih perlu dicermati
dampaknya pada prospek inflasi Sumatera secara keseluruhan. Menghadapi risiko ini, seluruh TPID di seluruh
provinsi Sumatera telah merancang roadmap jangka pendek dan jangka panjang terkait penanganan inflasi
daerah yang diharapkan dapat menekan risiko peningkatan inflasi di Sumatera.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 25
Indeks Vw
0 - 0,05
0,05 - 0,15
> 0,15
Sumber: WorldBank-diolah
Grafik II.33. Wlliamson Index berdasarkan PDRB Per Kapita
Indeks Vw
0 - 0,05
0,05 - 0,15
> 0,15
Sumber: WorldBank-diolah
Grafik II.34. Wlliamson Index berdasarkan APBD Per Kapita
Angka Williamson Index berdasarkan PDRB per kapita mengonfirmasi hipotesis awal bahwa pertumbuhan
ekonomi di Sumatera hanya terpusat pada daerah-daerah yang selama ini telah dikenal sebagai pusat
pertumbuhan, baik karena kondisi infrastrukturnya yang memadai maupun karena kandungan sumber daya
alamnya. Berdasarkan hasil pemetaan, Kabupaten Bengkalis, Rokan dan Siak serta Batam, Medan dan Padang
tercatat sebagai Kabupaten/Kota dengan PDRB perkapita jauh di atas rata-rata PDRB Sumatera (warna hijau
tua). Seluruh Kabupaten/Kota tersebut berlokasi di pantai timur Sumatera, kecuali Kota Padang. Sementara
9
Williamson Index digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan perekonomian (pendapatan per kapita, fiskal) suatu wilayah pada
waktu tertentu. Perhitungan indeks ini adalah jika mendekati 1 mengindikasikan keadaan ekonomi suatu wilayah sangat timpang dengan
wilayah lainnya sebaliknya jika mendekati 0 mengindikasikan keadaan ekonomi suatu wilayah relatif merata dibandingkan wilayah lainnya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 26
Kabupaten/Kota lainnya yang juga memiliki PDRB per kapita sedikit di atas rata-rata PDRB Sumatera (warna
hijau muda) juga berlokasi di pantai timur Sumatera.
Dari pemetaan sisi kapasitas fiskal Kabupaten/Kota dalam mendukung perekonomian juga terkonfirmasi
bahwa perekonomian Kabupaten/Kota di pantai timur Sumatera jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
perekonomian Kabupaten/Kota di pantai barat Sumatera. Hal ini tercermin dari banyaknya Kabupaten/Kota di
pantai timur Sumatera yang memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata kapasitas fiskal kabupaten/Kota di
Sumatera. Selain itu, variabel ini juga dapat menunjukkan indikasi pengelolaan anggaran Kabupaten/kota.
Sebagai contoh pada beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan
memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata (warna hijau tua), namun memiliki PDRB per kapita di bawah ratarata. Begitu pun sebaliknya, beberapa Kabupaten/Kota yang memiliki kapasitas fiskal di bawah rata-rata
namun memiliki PDRB per kapita di atas rata-rata seperti misalnya Kota Banda Aceh di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Sama halnya dengan Williamson index berdasarkan APBD, Williamson index berdasarkan PAD juga
mengonfirmasi lebih tingginya kapasitas fiskal asli Kabupaten/Kota di pantai timur Sumatera. Perbandingan
Williamson index berdasarkan PDRB per kapita dan PAD semakin menunjukkan banyaknya Kabupaten/Kota
dengan PAD di atas rata-rata PAD Sumatera, namun kurang optimal dalam mengelola kapasitas fiskal.
Meskipun demikian, jika dilihat dari sebaran tingkat kemiskinannya, sebagaimana Grafik II.36, hanya
Kabupaten/Kota di propinsi NAD dan sebagian Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung
yang memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata (warna kuning pastel) tingkat kemiskinan Kabupaten/Kota
se-Sumatera.
Indeks Vw
0 - 0,05
0,05 - 0,20
> 0,20
Tingkat Kemiskinan
0 - 12%
12 - 15%
> 15%
Sumber: WorldBank-diolah
Sumber: WorldBank-diolah
Grafik II.35. Wlliamson Index berdasarkan PAD Per Kapita
Grafik II.36. Sebaran tingkat kemiskinan
Mengingat pola pertumbuhan di regional Sumatera terpusat di beberapa lokasi di pantai timur, maka perlu
untuk mempertimbangkan penciptaan pusat pertumbuhan baru atau pemanfaatan pusat pertumbuhan
existing di pantai Barat Sumatera seperti halnya Kota Padang untuk dapat lebih mengurangi kesenjangan
perekonomian antar Kabupaten/Kota di Sumatera.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 27
L a p o r a n N u s a n t a r a | 28
B
agianII
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian berbagai daerah di Jawa secara agregat tumbuh meningkat pada triwulan IV 2014 sebesar 6,0%
(yoy). Kinerja perekonomian Jawa yang lebih tinggi ini didorong oleh konsumsi rumah tangga, serta realisasi
belanja pemerintah yang mencapai puncaknya di akhir tahun. Dari sisi eksternal, perbaikan ekonomi AS turut
memengaruhi meningkatnya ekspor produk manufaktur Jawa, khususnya tekstil dan furnitur. Sementara itu
kinerja investasi sektor swasta belum sepenuhnya pulih, sebagaimana terlihat dari masih rendahnya realisasi
Penanaman Modal Asing (PMA). Meningkatnya kinerja ekspor manufaktur berimbas pada aktivitas industri
manufaktur Jawa yang terus mengalami perbaikan. Selain itu, kinerja sektor perdagangan juga tercatat
tumbuh membaik, didorong oleh meningkatnya transaksi perdagangan ritel di akhir tahun. Sebaliknya, sektor
pertanian mengalami perlambatan, sejalan dengan minimnya panen akhir tahun dan komoditas tanaman
bahan makanan yang tengah memasuki masa tanam. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa pada
triwulan IV 2014 ini didukung oleh peningkatan pertumbuhan di hampir seluruh provinsi, kecuali Yogyakarta.
Laju pertumbuhan ekonomi tertinggi, tercatat di Jakarta dan Banten yang masing-masing tercatat tumbuh
sebesar 6,2%, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat masing-masing sebesar 6,2%,
6,0%, dan 5,5%.
Untuk keseluruhan tahun 2014, perekonomian Jawa secara keseluruhan tercatat tumbuh melambat pada level
5,5%. Perlambatan ini didorong oleh belum stabilnya pemulihan ekonomi global yang berpengaruh pada
tertahannya kinerja ekspor produk manufaktur Jawa. Dari sisi investasi, sejumlah pelaku usaha cenderung
menunda realisasi investasi sembari menunggu hasil Pemilu dan arah kebijakan pemerintah baru. Kinerja
konsumsi pemerintah juga tumbuh terbatas seiring adanya kebijakan pengetatan anggaran yang diinisiasi
pemerintah pusat. Meskipun demikian, perlambatan ini sedikit tertahan dengan terjaganya daya beli
masyarakat seiring inflasi yang terkendali dan kenaikan Upah Minimum Kab/Kota (UMK) di awal tahun.
Tercatat kenaikan rata-rata upah di Jawa lebih tinggi dibanding 2013, kecuali Provinsi DKI Jakarta. Dari sisi
sektoral, meskipun tumbuh melambat, kinerja sektor industri pengolahan masih mampu menopang
perekonomian Jawa secara keseluruhan. Adapun perlambatan ekonomi didorong melemahnya sektor
pertanian, terkait dengan relatif minimnya pembangunan irigasi dan gangguan cuaca. Selain itu, sektor
perdagangan besar juga melambat sebagai akibat dari peningkatan biaya produksi baik dari upah pekerja
maupun bahan baku impor.
Memasuki awal tahun 2015, ekonomi Jawa diperkirakan tumbuh stabil pada level 5,9%. Tertahannya
pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 bersumber dari belum pulihnya kinerja investasi sektor swasta
dan permintaan ekspor luar negeri. Kinerja kedua sektor ini diperkirakan baru pulih pada semester II 2015,
seiring dengan prospek perbaikan ekonomi Amerika Serikat dan Jepang, serta optimisme pada akselerasi
ekonomi Wilayah Timur Indonesia. Sumber pertumbuhan masih berasal dari sektor rumah tangga, yang
didorong oleh kenaikan pendapatan tenaga kerja formal dengan meningkatnya UMK. Dari sisi sektoral,
tingginya curah hujan di beberapa sentra produksi tanaman bahan makanan dan belum pulihnya permintaan
domestik menyebabkan perlambatan di sektor pertanian dan industri pengolahan. Kendati demikian,
perbaikan ekonomi wilayah timur Indonesia diperkirakan dapat mendorong kinerja sektor perdagangan besar
di Jawa. Secara keseluruhan ekonomi Jawa pada tahun 2015 diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,9% - 6,2%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 29
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan IV 2014 tumbuh melambat sebagaimana terkonfirmasi dari hasil
Survei Konsumen pada Indikator Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE). Kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir
2014 memberikan tekanan pada daya beli masyarakat dan berpengaruh pada kinerja konsumsi rumah tangga.
Indikasi perlambatan konsumsi rumah tangga tercermin dari hasil survei yang menunjukkan bahwa 88%
responden cenderung menilai relatif signifikannya dampak kenaikan BBM, sehingga terdapat rencana
mengurangi pengeluaran khususnya pada barang tahan lama. Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit
konsumsi dalam tren peningkatan yang didominasi Kredit Multiguna dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
200
INDEX
190
180
170
160
150
140
130
120
110
100
90
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2012
2013
2014
Untuk keseluruhan tahun 2014, konsumsi rumah tangga masih tumbuh kuat sebesar 5,9%. Hal ini juga
didukung oleh Survei Konsumen yang mengindikasikan adanya kenaikan tingkat penghasilan yang
mempersepsikan di tahun 2014.
Pada triwulan I 2015, konsumsi rumah tangga diperkirakan cenderung meningkat seiring dengan membaiknya
daya beli masyarakat, disertai prospek minimalnya tekanan inflasi karena penurunan harga BBM dengan
melemahnya harga minyak dunia. Peningkatan daya beli juga didorong kenaikan gaji tenaga kerja formal di
awal tahun sebagai pengaruh dari peningkatan UMK.
140
INDEX
IKK
IKE
INDEX
150
IEK
130
IKE
Penghasilan Konsumen
140
130
120
120
110
110
100
100
90
90
80
2 3 4 5
6 7 8
9 10 11 12 1 2 3
2013
4 5 6
8 9 10 11 12
2014
80
1
2013
9 10 11 12 1
9 10 11 12
2014
Konsumsi Pemerintah
Pada triwulan IV 2014, belanja sektor pemerintah masih tumbuh terbatas di level 3,9% (yoy), seiring minimnya
ruang belanja fiskal pemerintah. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh berbagai langkah penghematan yang
dilakukan oleh pemerintah sehingga turut memengaruhi kinerja konsumsi pemerintah. Pada triwulan ini, porsi
belanja lebih didominasi belanja bantuan sosial dan hibah mengikuti pola umumnya menjelang akhir tahun.
Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah di tahun 2014 yang merupakan inisiatif nasional memengaruhi
perlambatan konsumsi pemerintah di Jawa ke level 2,9%. Di tingkat kab/kota dan provinsi, belanja pemerintah
L a p o r a n N u s a n t a r a | 30
yang tumbuh terbatas juga dipengaruhi oleh menurunnya Dana Bagi Hasil (DBH) di beberapa provinsi. Hal ini
dipengaruhi oleh lesunya aktivitas sektor riil, sejalan dengan melambatnya perekonomian. Sebagai contoh,
perlambatan industri tembakau yang berpengaruh pada menurunnya pendapatan DBH khususnya di Provinsi
Jawa Timur. Menurunnya kinerja sektor riil juga berdampak pada lebih rendahnya Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang terutama bersumber dari pendapatan retribusi.
Realisasi belanja pemerintah pada triwulan I 2015 diperkirakan masih tumbuh terbatas. Upaya pemerintah
untuk melakukan efisiensi belanja untuk keperluan rapat, perjalanan dinas dan sejumlah belanja terkait
pegawai, diharapkan berdampak positif pada peningkatan pangsa belanja modal pemerintah. Namun,
kebijakan ini juga diperkirakan menekan kinerja jasa perhotelan khususnya di Provinsi Jawa Barat dan Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Investasi
Realisasi belanja investasi swasta pada triwulan IV 2014 terjaga stabil, sebagaimana tercermin dari angka
realisasi investasi PMA dan PMDN di kisaran Rp300 Triliun. Meski demikian, terdapat indikasi melemahnya
belanja investasi bangunan dan peningkatan komponen investasi non bangunan (mesin industri). Selain itu,
capaian belanja infrastruktur skala besar juga masih tergolong rendah. Kendala terbesar masih bersumber dari
sulitnya negosiasi pembebasan lahan proyek dan proses birokrasi terkait penentuan kewenangan pemerintah
pusat dan daerah.
20,000
Jumlah Proyek
gJumlah (yoy)
gNilai (yoy)
140
100,000
120
Jumlah Proyek
gJumlah (yoy)
gNilai (yoy)
80
70
80,000
16,000
60
100
80
12,000
50
60,000
40
60
8,000
40
40,000
30
20
20
20,000
4,000
10
0
-
-20
2010
2011
2012
2013
2014
0
2010
2011
2012
2013
2014
Pelemahan belanja investasi swasta pada 2014, disebabkan oleh lebih rendahnya realisasi investasi asing
dibandingkan dengan 2013. Tercatat belanja investasi di Jawa tumbuh sebesar 4,4%. Berdasarkan hasil survei
dan liaison, kenaikan komponen biaya produksi yang meliputi upah tenaga kerja, tarif energi dan pajak turut
memberikan sentimen negatif pada iklim investasi Jawa. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), realisasi investasi tercatat menurun dibandingkan tahun sebelumnya, dari USD17.326 juta
menjadi USD15.437 juta atau secara pertumbuhan melambat menjadi 37% (yoy). Namun, kinerja investasi
PMDN masih mampu tumbuh lebih tinggi yaitu dari Rp66 Triliun menjadi Rp97 Triliun atau tumbuh meningkat
46% (yoy).
Pada triwulan I 2015, kinerja investasi baik yang berasal dari sumber swasta maupun pemerintah diprediksi
membaik. Berdasarkan hasil liaison, sebagian besar pelaku usaha akan melakukan investasi untuk
meningkatkan efisiensi lini produksi menuju semi otomasi. Oleh karena itu, belanja investasi pada triwulan
berjalan cenderung lebih didominasi kelompok non bangunan. Beberapa sektor usaha yang terindikasi akan
memulai ekspansi usaha adalah industri tekstil, khususnya yang memiliki tujuan ekspor. Di sisi lain, belanja
infratruktur pemerintah terindikasi masih belum optimal, meskipun Pemerintah Pusat telah menambah alokasi
anggaran belanja modal dari penghematan subsidi BBM. Meski demikian, masih terdapat kendala dalam
proses birokrasi perencanaan program kerja daerah yang dituangkan pada Rencana Program Kerja Daerah
(RPKD). Hingga Februari 2015, sebagian daerah masih belum menyelesaikan RKPD. Selain itu, rancangan APBD
L a p o r a n N u s a n t a r a | 31
juga masih belum disahkan di beberapa daerah, sehingga capaian realisasi belanja infrastruktur pada triwulan I
2015 diprakirakan masih di bawah 10%, jauh lebih rendah dari target sebelumnya di kisaran 20%.
Impor
Pada triwulan akhir 2014, kinerja impor Jawa didorong oleh meningkatnya permintaan impor barang modal
untuk kebutuhan sektor industri, seiring meningkatnya kebutuhan otomatisasi guna meningkatkan daya saing
produk. Demikian pula impor bahan baku tercatat meningkat tipis yang didominasi kelompok barang rumah
tangga dan tekstil. Pola ini terbentuk dari kecenderungan meningkatnya permintaan masyarakat pada
momentum Natal dan Tahun Baru di akhir tahun. Di sisi lain, impor bahan baku tumbuh melambat.
Kinerja impor luar negeri secara umum mengalami perlambatan menjadi 1,3% di tahun 2014. Sebagai sentra
produksi barang industri, impor barang Jawa didominasi untuk kebutuhan bahan baku industri. Oleh karena
itu, pertumbuhannya pun cenderung diikuti kinerja ekspor dengan lag 1 2 bulan. Menurunnya permintaan
ekspor dan penjualan domestik turut memengaruhi impor komoditas utama seperti bahan kimia dan besi
baja. Selain itu, penurunan impor barang modal terkait dengan melambatnya aktivitas pada industri tambang
di Wilayah Timur Indonesia. Hal ini mengingat sebagian besar impor barang modal yang tercatat di Jawa
ditujukan ke Wilayah Indonesia Timur. Tercatat mesin industri serta kendaraan berat untuk industri tambang
diimpor melalui Jawa. Adapun penurunan impor barang modal secara drastis merupakan dampak dari
pemberlakuan UU Minerba pada awal 2014.
Pada triwulan I 2015, impor luar negeri diperkirakan meningkat seiring membaiknya ekspor. Peningkatan
impor lebih didorong oleh kelompok impor barang modal dan bahan baku. Sementara itu, impor barang
konsumsi diperkirakan tumbuh stabil seiring masih terjaganya belanja konsumsi rumah tangga.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 32
(Indeks)
300,000
Ribu Unit
53.00
Produksi Mobil
250,000
52.00
51.00
Penjualan Mobil
Ekspor Mobil
200,000
50.00
150,000
49.00
48.00
100,000
47.00
46.00
50,000
45.00
44.00
II
III IV
2010
II
III IV
2011
II
III IV
2012
II
III IV
2013
II
III IV I*
2014
2015
2012
11
2013
11
11
2014
Pertumbuhan sektor industri pengolahan tercatat melambat pada level 5,9% (yoy) pada keseluruhan 2014.
Melemahnya nilai marjin yang diperoleh pelaku usaha turut menyebabkan perlambatan kinerja sektor industri
pengolahan tahun ini. Kenaikan biaya energi dan tenaga kerja terindikasi memicu terjadinya pengalihan dari
industri padat karya menuju industri semi otomasi atau padat modal. Sejumlah industri juga berencana
melakukan relokasi ke daerah lain yang dengan tingkat UMK lebih rendah seperti di Provinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Strategi ini dilakukan pelaku usaha mengingat keterbatasan dalam menaikkan
harga jual di tengah ketatnya persaingan yang harus dihadapi industri domestik dari barang impor asal
Tiongkok. Di sisi lain, juga terdapat upaya untuk mempertahankan marjin usaha dengan menekan biaya
produksi terutama dari komponen upah. Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) juga mengindikasikan rendahnya
tingkat kapasitas produksi sektor industri sebagai pengaruh dari terbatasnya nilai transaksi ekspor pada 2014.
Penurunan terbesar disumbang oleh subsektor Industri Logam Dasar seperti besi dan baja yang salah satunya
merupakan dampak dari menurunnya aktivitas sektor pertambangan. Sementara itu penurunan kinerja pada
subsektor makanan minuman dan tembakau disebabkan oleh beralihnya preferensi konsumen dari sigaret
kretek tangan ke rokok filter/mesin.
Pada triwulan I 2015, industri pengolahan diprakirakan tumbuh membaik seiring dengan optimisme pelaku
usaha atas perbaikan ekonomi domestik dan meningkatnya permintaan ekspor luar negeri. Upaya otomatisasi
lini produksi diharapkan mendorong peningkatan marjin sektor industri. Namun, industri makanan pengolahan
produk laut menghadapi tantangan dari terbatasnya bahan baku karena adanya pemberlakuan morotarium
perizinan kapal penangkap ikan dan pembatasan impor beberapa komoditas ikan laut. Dalam jangka pendek,
kebijakan ini berpotensi memengaruhi kinerja industri pengolahan seiring berkurangnya pasokan dari berbagai
daerah di wilayah timur Indonesia.
Sektor industri pengolahan di Jawa memiliki pangsa terbesar dengan porsi mencapai 35%, dengan sumbangan tertinggi berasal dari
Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 33
Sektor Konstruksi
Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan sektor konstruksi di berbagai daerah di Jawa secara agregat tumbuh
sebesar 5,5% (yoy). Data penjualan semen di Jawa mengindikasikan bahwa tingkat pertumbuhan konstruksi
tersebut cenderung melambat dibanding periode triwulan sebelumnya. Perlambatan ini disebabkan
melemahnya transaksi penjualan properti di tengah pelemahan ekonomi domestik. Selain itu, perlambatan
konstruksi di Jawa terindikasi turut dipengaruhi oleh aktivitas perekonomian di berbagai daerah di Sumatera
dan wilayah Timur Indonesia yang cenderung melambat. Hal ini mengingat sebagian transaksi properti di Jawa
juga dilakukan oleh pembeli dari daerah-daerah di luar Jawa, khususnya daerah yang menjadi basis produksi
tambang dan perkebunan.
Beberapa faktor penahan pertumbuhan laju sektor konstruksi lainnya meliputi kenaikan suku bunga kredit
konstruksi, dampak kebijakan KPR indent rumah kedua, serta kenaikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) di 2014
juga menjadi kendala bagi sejumlah pengembang/kontraktor untuk memulai pembangunan. Meskipun
pemulihan penjualan properti residensial mulai terindikasi pada triwulan IV 2014 (Grafik III.10), namun masih
belum mampu menahan lemahnya pertumbuhan penjualan properti komersial. Demikian pula dengan
beberapa proyek infrastruktur besar masih belum memenuhi target penyelesaian di akhir tahun antar lain
realisasi konstruksi infrastruktur skala besar masih cenderung minim, yang terkendala faktor
pembebasan lahan. Kondisi ini juga dikonfirmasi dari rendahnya pertumbuhan penjualan semen seluruh
Provinsi di Jawa (kecuali Banten) pada tahun 2014 (Grafik III.9). Berbagai perkembangan ini menyebabkan
pertumbuhan sektor konstruksi tumbuh lebih rendah di kisaran 5,2% untuk keseluruhan tahun 2014.
40
18
gSemen '13
gSemen '14
16
30
Kecil
(%, yoy)
Menengah
Besar
Total
14
12
20
10
8
10
6
4
0
D. K. I.
Jakarta
Banten
Jabar
Jateng
D. I. Y.
Jatim
(10)
Jawa
2
I
(20)
II
III
2013
IV
II
III
IV
2014
Pada triwulan I 2015, kinerja sektor konstruksi dipersepsikan membaik oleh para pelaku usaha. Hal ini
terutama didukung oleh akselerasi investasi proyek infrastruktur pemerintah di sejumlah daerah, diantaranya
infrastruktur jalan dan irigasi. Meski demikian, peningkatan pertumbuhan diperkirakan masih belum signifikan,
seiring masih terbatasnya pemulihan konsumsi domestik.
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian tercatat melambat pada triwulan IV 2014, seiring masuknya musim pancaroba yang
menyebabkan ketidakpastian produksi pada subsektor tabama. Indikator luas tanam padi juga menunjukan
penurunan yang signifikan sehingga total produksi pertanian pada akhir tahun 2014 relatif terbatas. Secara
keseluruhan, kinerja sektor pertanian di tahun 2014 tercatat tumbuh melambat. Tingginya tingkat curah hujan
yang mengakibatkan terjadinya bencana banjir terbesar di beberapa sentra produksi tabama menjadi faktor
penyebab penurunan ini.
Pada triwulan I 2015, kinerja sektor pertanian diprediksi mengalami peningkatan, seiring minimnya potensi
banjir bila dibandingkan 2014. Panen kelompok tanaman bahan makanan (tabama) pada bulan Maret
berpotensi mendorong pertumbuhan sektor pertanian. Aksi agresif pemerintah dalam mendorong produksi
tabama di tahun 2015 berpotensi mendorong kinerja sektor ini. Pemerintah juga menjamin ketersediaan
pupuk dan benih di sepanjang tahun guna mendorong program swasembada pangan. Selain itu, penggiatan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 34
program penanaman tanaman hortikultura pada off season guna menjamin ketersediaan supply kelompok
bumbu-bumbuan, juga akan mendukung peningkatan produksi.
50
(%, yoy)
gKredit Pertanian
(%)
NPL (%)
45
7,000
6,000
40
3
35
30
25
20
15
10
5,000
4,000
3,000
(ribu ha)
(%, yoy)
5
4
3
2
1
0
2,000
-1
1,000
-2
0
1
2012
11
7
2013
11
2014
11
-3
2011
2012
2013
2014
LAJU INFLASI
Inflasi di Jawa pada akhir tahun tercatat mencapai 8,35% (yoy), atau lebih tinggi bila dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya (4,44 yoy). Tekanan inflasi terbesar berasal dari Provinsi Banten (10,20% yoy) dan juga
DKI Jakarta yang mencapai 8,95% (yoy). Tekanan terbesar pada triwulan IV 2014 disumbang oleh kelompok
administered prices, terutama karena dampak lanjutan kenaikan harga BBM bersubsidi, kenaikan TTL untuk
konsumen pascabayar serta penyesuaian harga LPG oleh pemerintah. Peningkatan dari kelompok administered
prices diikuti oleh kelompok volatile food, yang mengalami kenaikan akibat menurunnya pasokan beberapa
komoditas seperti cabe merah, beras dan ayam. Faktor cuaca yang kurang baik berdampak pada bergesernya
musim panen dari beras dan cabe merah di tahun 2014, khususnya di Provinsi Jawa Timur. Faktor cuaca juga
mengganggu produksi daging serta telur ayam dari Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur yang memberikan
tekanan cukup besar kepada kelompok volatile food.
Pada triwulan I 2015, inflasi Jawa diperkirakan mereda yang juga terlihat pada inflasi Januari yang turun
menjadi 6,93% (yoy). Penurunan tersebut sejalan dengan kebijakan penurunan harga BBM oleh pemerintah di
awal tahun 2015 yang diikuti oleh penurunan tarif angkutan di berbagai daerah di Jawa. Selain itu, prakiraan
realisasi panen yang sempat tertunda pada triwulan sebelumnya akan menambah pasokan pangan yang cukup
besar. Namun, penurunan inflasi dari kelompok administered prices tertahan oleh kenaikan tarif kereta api per
1 Januari 2015. Beberapa risiko yang masih membayangi prospek inflasi Jawa antara lain terkait dengan
tingginya curah hujan di awal tahun dan dampak dari terjadinya banjir di sejumlah daerah. Kondisi ini
dikhawatirkan dapat menggangu produksi pangan. Kebijakan terkait kenaikan Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) beras sebesar 10% turut memberikan tekanan kepada kelompok volatile food. Meski demikia, downside
risk dari inflasi diperkirakan bersumber dari kecenderungan menurunnya harga emas akan mengurangi
tekanan terhadap inflasi terutama di Jakarta.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 35
Secara kelembagaan, seluruh TPID Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Jawa telah terbentuk.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 36
L a p o r a n N u s a n t a r a | 37
jumlah nominal transaksi SKNBI cukup rendah bila dibandingkan dengan jumlah nominal transaksi dengan
menggunakan BI RTGS.
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Jawa diproyeksikan berada di kisaran 5,9%-6,2% pada tahun 2015, dengan dukungan
terutama dari menguatnya konsumsi rumah tangga serta potensi perbaikan perdagangan antar pulau dan
ekspor luar negeri. Sementara, kinerja investasi swasta diperkirakan masih rendah sebagai pengaruh dari terus
meningkatnya biaya produksi pada sektor industri pengolahan. Berdasarkan hasil liaison, para pelaku usaha
mengeluhkan rendahnya daya saing investasi di Jawa dibandingkan negara ASEAN (Vietnam, Malaysia dan
Thailand). Hal ini berdampak pada rendahnya rencana investasi perusahaan PMA dibandingkan PMDN. Dari sisi
sektoral, ketiga sektor utama diperkirakan tumbuh membaik. Kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 38
mengalami peningkatan kapasitas produksi pasca beroperasinya beberapa industri semi otomatis (tekstil dan
tembakau), diiringi dengan meningkatnya permintaan domestik dan luar negeri. Sementara itu, sektor
pertanian juga berpotensi tumbuh meningkat seiring moderatnya dampak el nino dan jaminan dukungan
pemerintah dalam mendorong produksi tabama Jawa. Di sisi lain, kinerja sektor perdagangan besar didukung
oleh potensi membaiknya kinerja sektor perdagangan antar pulau dan ekspor ke AS serta Jepang.
Prospek Inflasi
Inflasi Jawa diproyeksikan berada dalam kisaran target inflasi nasional 4%1% (yoy) pada tahun 2015.
Meredanya inflasi dari kelompok administered prices cukup berpengaruh dalam menurunkan tekanan inflasi di
Jawa secara keseluruhan. Kecenderungan menurunnya harga minyak dunia menjadi faktor utama penurunan
tingkat inflasi ke depan. Di sisi lain, inflasi dari kelompok volatile food dan core inflation diproyeksikan relatif
stabil. Berbagai rencana program peningkatan produksi pangan daerah dan peningkatan kerjasama antar
daerah untuk pemenuhan pasokan pangan serta program kerja lain dari TPID diprediksi dapat menahan laju
inflasi volatile food di 2015. Risiko tekanan dari volatile food dan inflasi inti di tahun 2015 diperkirakan
bersumber dari faktor cuaca (curah hujan tinggi) di awal tahun, faktor seasonal hari raya (Imlek dan Idul Fitri)
dan faktor kenaikan UMP yang akan berdampak pada peningkatan konsumsi masyarakat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 39
Laporan Nusantara
PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan IV 2014 secara agregat mengalami perbaikan
meski masih terbatas, terutama ditopang oleh adanya perbaikan kinerja investasi di beberapa daerah.
Perbaikan kinerja investasi terutama terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat seiring dengan
investasi pembangunan smelter. Sementara itu, kinerja konsumsi rumah tangga masih tumbuh melambat
terkait dengan masih terbatasnya kinerja ekspor, khususnya batubara. Melambatnya konsumsi dipengaruhi
terutama oleh melemahnya pendapatan ekspor batubara terkait masih rendahnya harga di pasar ekspor.
Kinerja ekspor batubara lebih banyak ditopang oleh permintaan India di tengah masih lemahnya permintaan
dari Tiongkok yang merupakan pasar tujuan ekspor terbesar untuk batubara Kalimantan. Secara umum, masih
terbatasnya kinerja ekonomi Kalimantan terlihat dari capaian realisasi pertumbuhan ekonomi yang cenderung
masih rendah, seperti Kalimantan Timur (3,8%) dan Kalimantan Barat (3,9%), serta Kalimantan Selatan (4,0%).
Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Kalimantan secara agregat tercatat
sebesar 3,2% atau lebih rendah dibandingkan capaian di tahun 2013 (3,5%). Kondisi ini tidak terlepas dari
dinamika pemulihan ekonomi global yang berjalan lambat sehingga berdampak pada harga-harga komoditas
di pasar global. Hal ini pada giliannya berimbas pada kinerja ekspor Kalimantan yang didominasi oleh barang
tambang primer, khususnya batubara, sehingga turut menekan konsumsi rumah tangga yang banyak
mengandalkan pendapatan hasil ekspor batubara. Selain itu, masih terbatasnya kinerja produksi migas di
Kalimantan Timur turut berpengaruh pada lebih lambatnya kinerja ekonomi Kalimantan.
Memasuki triwulan I 2015, berbagai indikator ekonomi di berbagai daerah Kalimantan belum mengindikasikan
berlanjutnya perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan secara keseluruhan. Harga komoditas batubara di pasar
global yang masih rendah dan perlambatan ekonomi Tiongkok yang diduga bersifat struktural berpengaruh
pada perbaikan aktivitas ekonomi Kalimantan yang cenderung terbatas. Meski demikian, kinerja ekonomi
Kalimantan mulai didorong oleh beroperasinya smelter alumina dan bijih besi serta pabrik pupuk di Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Hal ini diprakirakan juga akan menopang perbaikan ekonomi
Kalimantan untuk keseluruhan tahun 2015.
Konsumsi
Konsumsi Swasta
Konsumsi swasta (konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga swasta nirlaba) berbagai daerah di
Kalimantan tumbuh melambat pada triwulan IV 2014. Melambatnya konsumsi swasta sejalan dengan masih
masih terbatasnya perbaikan kinerja sektor-sektor utama di Kalimantan, terutama pertambangan dan
perkebunan. Harga komoditas ekspor yang masih rendah berdampak pada pendapatan ekspor masyarakat
yang cenderung melemah. Indikator Nilai Tukar Petani (NTP) juga menunjukkan kecenderungan yang juga
melambat (Grafik IV.1). Demikian halnya dengan penyaluran kredit konsumsi yang melambat. Untuk
keseluruhan tahun 2014, kinerja konsumsi swasta cenderung tumbuh melambat karena melemahnya
pendapatan ekspor. Meski demikian, penyelenggaraan Pemilu 2014 dapat sedikit menahan laju pelemahan
konsumsi Kalimantan lebih lanjut.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 41
Memasuki triwulan I 2015, berbagai indikator konsumsi rumah tangga belum menunjukkan perbaikan yang
berarti di semua provinsi, sejalan dengan masih lesunya sektor pertambangan khususnya di Kalimantan Timur
dan Kalimantan Selatan. Perlambatan yang terjadi pada sektor tambang akan berimplikasi pada sektor-sektor
pendukungnya sehingga secara agregat akan memiliki dampak yang cukup dalam. Di sisi lain, perbaikan
investasi pemerintah diperkirakan belum dapat mendorong perbaikan konsumsi masyarakat secara
keseluruhan. Indikator keyakinan masyarakat juga mengindikasikan kecenderungan yang menurun di awal
tahun (Grafik IV.2).
110
Banjarmasin
Samarinda
Kalimantan (weighted)
170
NTP
indeks
160
105
Pontianak
Palangkaraya
150
100
140
95
130
90
120
110
85
Kalimantan (Weighted)
2013
KalBar
2014
KalTeng
KalSel
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
KalTim
2013
2014
2015
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah pada triwulan IV 2014 masih tumbuh pada level yang rendah, sehingga secara
keseluruhan tahun 2014 tumbuh melambat. Secara spasial, konsumsi pemerintah di sebagian besar provinsi di
Kalimantan tumbuh melambat, kecuali di Kalimantan Barat yang meningkat. Menurunnya Dana Bagi Hasil
(DBH) karena faktor rendahnnya harga tambang menjadi penyebab terhambatnya konsumsi pemerintah.
Selain itu, kendala temporer produksi mineral selama proses konstruksi smelter juga menjadi salah satu
penyebab menurunnya DBH yang berasal dari SDA. Dari sisi belanja daerah, pertumbuhan pada 2014 tidak
sebesar tahun 2013. Faktor penahan penurunan lebih lanjut adalah adanya penyerapan anggaran pemerintah
pusat di daerah terkait pelaksanaan Pemilu pada triwulan kedua dan ketiga.
Memasuki triwulan I 2015, konsumsi pemerintah diperkirakan cenderung meningkat didukung realisasi DBH
yang tidak terlambat seperti tahun 2014. Perhitungan royalti batubara sudah tersedia sehingga proses realisasi
DBH sudah dapat dilakukan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terus meningkat selama beberapa tahun
terakhir juga menjadi sumber optimisme perbaikan pengeluaran pemerintah. Namun terdapat risiko yang
menahan konsumsi pemerintah, yakni tidak disalurkannya Dana Alokasi Umum (DAU) ke Provinsi Kalimantan
Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara karena kedua provinsi ini sudah memiliki celah fiskal yang positif.
Investasi
Investasi di berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan IV 2014 secara agregat mengalami sedikit perbaikan
meski masih cukup terbatas. Hal ini terindikasi dari penyaluran kredit ke sektor pertambangan yang mengalami
sedikit peningkatan pada akhir tahun 2014. Masih terbatasnya perbaikan investasi tersebut belum dapat
meningkatkan kinerja investasi Kalimantan secara keseluruhan tahun 2014. Kinerja investasi di Kalimantan
relatif lebih ditopang oleh perbaikan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah seiring dengan adanya
investasi pembangunan smelter. Sementara itu, melemahnya aktivitas produksi batubara, khususnya di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, karena faktor rendahnya insentif harga komoditas ekspor
berdampak pada melambatnya kinerja investasi di tahun 2014.
Melemahnya aktivitas produksi batubara ini pada gilirannya berimbas pada kinerja sektor pendukung kegiatan
produksi batubara seperti transportasi dan jasa. Hasil liaison menunjukkan bahwa rendahnya permintaan dan
harga merupakan faktor utama bagi pelaku usaha untuk menunda investasi peralatan berat seperti dump
L a p o r a n N u s a n t a r a | 42
truck, excavator dan tongkang serta sparepart-nya. Pelaku usaha cenderung memilih untuk mengoptimalkan
barang modal yang telah dimiliki, meski sudah melewati umur ekonomisnya.
Perkembangan investasi di Kalimantan pada 2014 lebih banyak ditopang oleh beberapa proyek pembangunan
infrastruktur berskala besar seperti flyover Banjarmasin, Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan
dan Pelabuhan Kariangau di Balikpapan, Pelabuhan Palaran di Samarinda, perluasan dermaga Pelabuhan
Trisakti di Banjarmasin, PLTG Senipah di Kalimantan Timur. Meski demikian, perkembangan beberapa proyek
pembangunan infrastruktur berskala besar lainnya seperti pembangunan jalan tol Samarinda-Balikpapan dan
Bandara Samarinda Baru masih mengalami kendala terutama terkait lahan.
Memasuki triwulan I 2015, perbaikan kinerja investasi diperkirakan berlanjut terutama ditopang oleh proyek
infrastruktur pemerintah. Perbaikan realisasi DBH dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu menjadi faktor
pendorong bagi pemerintah untuk melakukan proses lelang lebih awal sehingga pengerjaan proyek dapat
dilakukan lebih dini. Proyek-proyek yang masih akan terus dipercepat selama tahun 2015 antara lain KIPI
Maloy di Kalimantan Timur, rel kereta api di Kalimantan Tengah dan pembangunan pembangkit listrik di
berbagai lokasi di Kalimantan. Dari sisi investasi swasta, pelaku usaha bidang pertambangan mineral juga
masih meneruskan proses konstruksi smelter. Sampai akhir tahun 2014, terdapat enam smelter alumina di
Kalimantan Barat dan tiga smelter besi di Kalimantan Selatan yang berada dalam proses pembangunan.
Impor
Impor dari luar negeri ke berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan IV 2014 tercatat mengalami penurunan
terutama untuk impor barang modal pendukung kegiatan pertambangan. Berdasarkan liaison, pelaku usaha di
bidang pertambangan dan pengangkutan batubara cenderung menahan pembelian barang modal karena
faktor harga jual di pasar internasional yang masih rendah. Selain itu, impor untuk barang investasi untuk
keseluruhan tahun 2014 juga melambat sejalan dengan perlambatan investasi.
Untuk triwulan I 2015, impor luar negeri diperkirakan masih akan tumbuh melambat seiring dengan relatif
terbatasnya aktivitas pertambangan. Penurunan produksi sektor tambang akan berdampak langsung pada
turunnya impor barang modal dan penolong untuk sektor tersebut. Potensi kebutuhan impor diperkirakan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 43
bersumber dari kebutuhan terhadap pupuk terkait dengan membaiknya prospek perkebunan kelapa sawit di
Kalimantan.
(juta ton)
(% yoy)
35
30
70,000
25
60,000
20
50,000
15
40,000
10
30,000
5
0
20,000
-5
10,000
-10
-15
I
II
III
2012
IV
II
III
IV
2013
II
III
2014
IV
25
g. Eskpor Batubara
(% yoy)
(% yoy)
20
400
350
300
15
250
10
200
150
100
0
I
(5)
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
I*
50
2015
I*
(10)
(50)
2015
(15)
(100)
Pada triwulan I 2015, kinerja sektor pertambangan diperkirakan masih tumbuh cenderung melambat
utamanya karena belum membaiknya kinerja pertambangan batubara dan migas. Lesunya perekonomian
Tiongkok dan sudah mencukupinya stok batubara Korea Selatan sampai dengan triwulan I tahun 2015 menjadi
faktor penahan kinerja produksi batubara. Pada pertambangan migas, penurunan lifting juga masih akan terus
terjadi karena umur sumur-sumur migas di Kalimantan yang sudah tua. Meski demikian, kinerja sektor
pertambangan diperkirakan dapat ditopang oleh beroperasinya smelter alumina dan besi masing-masing
dengan kapasitas sebesar 300.000 ton alumina dan 315.000 ton besi spons per tahun.
Dengan aturan ini, harga batubara Kalimantan (dengan kandungan 4.900 Kilo Calori) sebesar $89,69/ton (termasuk pajak) tidak jauh
berbeda dibandingkan dengan harga Batubara Australia dengan kandungan 5.500 Kilo Calori sebesar $90,36/ton dan kalori 6.000 Kilo
Calori sebesar $95,40/ton.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 44
mulai beroperasinya smelter pasir zircon pada tahun 2014. Selain itu, industri olahan Crude Palm Oil (CPO) juga
mengalami peningkatan terkonfirmasi dari produksi CPO yang naik menjadi 16,6% (yoy) dari sebelumnya turun
6,3% (yoy) pada 2013. Tingginya pertumbuhan produksi ini merupakan dampak langsung dari ekspansifnya
pembukaan lahan perkebunan di berbagai daerah di Kalimantan. Di sisi lain, faktor penahan laju pertumbuhan
di sektor ini berasal dari penurunan lifting gas alam yang memberikan dampak langsung pada penurunan
kinerja industri gas alam cair (LNG).
Produksi CPO Kalimantan
600
ribu ton
500
50
800
40
700
30
400
20
300
10
200
20
300
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
I
2015
(20)
200
(20)
IV
60
40
III
80
400
100
2011
100
500
(10)
II
120
%,yoy
600
100
ribu ton
(40)
(60)
(80)
I
II
III
2011
IV
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
I
2015
Pada triwulan I 2015, perkembangan industri diperkirakan sedikit meningkat, terutama didorong oleh industri
mineral pasca mulai beroperasinya smelter alumina di Kalimantan Barat dan bijih besi di Kalimantan Selatan.
Perbaikan pertumbuhan juga diprakirakan bersumber dari ekspansi pabrik pupuk. Di sisi lain, industri hasil
perkebunan yang didominasi oleh CPO terindikasi masih akan tertahan, tercermin dari perlambatan produksi
(Grafik IV.5) dan ekspor (Grafik IV.6). Tertahannya hasil produksi terkait dengan adanya peraturan daerah yang
melarang ekspansi menggunakan lahan gambut. Meskipun tertahan, kinerja produksi CPO pada triwulan I 2015
diperkirakan masih akan cukup tinggi karena relatif kuatnya permintaan domestik, khususnya untuk biodiesel.
Secara spasial, kinerja industri pengolahan di semua provinsi di Kalimantan mengalami perbaikan. Perbaikan
di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan terjadi sejalan dengan mulai beroperasinya smelter. Di Kalimantan
Timur, diprakirakan naik didorong oleh beroperasinya pabrik pupuk.
Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian Kalimantan pada triwulan IV 2014 tumbuh membaik, didorong oleh kinerja subsektor
perkebunan yang tumbuh meningkat. Ekspansi perkebunan sawit yang dilakukan sejak tahun 2009 sudah mulai
menunjukkan hasilnya. Meskipun demikian, perbaikan di akhir tahun tersebut belum mampu mendorong
kinerja sektor pertanian untuk keseluruhan tahun 2014 yang tumbuh melambat, terutama di Kalimantan Barat
dan Kalimantan Timur. Produksi tanaman bahan makanan (tabama) mengalami penurunan karena adanya
gagal panen di beberapa lokasi di Kalimantan. Di sisi lain, pada subsektor perkebunan produksi tandan buah
sawit (TBS) sawit masih dalam tren positif.
Perkembangan berbagai indikator di sektor pertanian Kalimantan mengindikasikan pada triwulan I 2015
diperkirakan cenderung tumbuh melambat. Perlambatan ini terutama bersumber dari produksi tabama dan
perkebunan. Banjir yang terjadi karena tingginya curah hujan mejadi faktor penyumbang perlambatan di
sektor pertanian. Perlambatan sektor pertanian yang lebih dalam diperkirakan terjadi di Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur. Di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, luas sawah yang terendam dan diperkirakan
gagal panen mencapai 1.347 ha, dan di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, luas wilayah yang terkena banjir
seluas 200 ha sawah dan 600 ha kebun sawit.
LAJU INFLASI
Inflasi berbagai daerah di Kalimantan pada tahun 2014 secara agregat tercatat turun dibandingkan tahun
2013, dari 8,56% (yoy) menjadi 7,87% (yoy). Capaian inflasi ini lebih rendah dibandingkan nasional dan
merupakan yang pertama kalinya dalam delapan tahun terakhir. Lebih rendahnya inflasi tercatat terjadi di
L a p o r a n N u s a n t a r a | 45
hampir seluruh provinsi di Kalimantan, kecuali di Kalimantan Barat yang tercatat meningkat. Hal ini bersumber
dari terkendalinya tekanan kenaikan harga komoditas pangan didukung perbaikan pasokan kelompok bumbubumbuan. Demikian halnya dengan inflasi berbagai komoditas pada kelompok inti yang cenderung lebih
rendah karena minimalnya tekanan permintaan. Sementara itu, tekanan kenaikan inflasi administered prices
meski tidak setinggi tahun sebelumnya namun masih mencatat angka dua digit yang didorong oleh kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di bulan November.
Berbeda dengan daerah lainnya, meningkatnya inflasi di Kalimantan Barat justru bersumber dari kenaikan
harga komoditas pangan, khususnya komoditas sayur-sayuran yang produksinya terganggu akibat intensitas
hujan yang meningkat. Komoditas lain yang memberikan sumbangan yang cukup tinggi adalah daging dan telur
ayam ras. Tekanan kenaikan inflasi kelompok administered prices di Kalimantan Barat, selain bersumber dari
kenaikan harga BBM bersubsidi, juga didorong oleh terjadinya kelangkaan elpiji 3 kg.
16
12
VF - Indonesia
VF - Kalimantan
Umum - Indonesia
Umum - Kalimantan
%, yoy
14
%, yoy
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Indonesia
Kalimantan
10
12
8
10
6
8
6
4
2
2
0
0
I
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
IV
2014
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
Jan
2015
Memasuki awal tahun 2015, tekanan inflasi di berbagai daerah di Kalimantan masih cenderung minimal. Masih
rendahnya tekanan inflasi terutama bersumber dari menurunnya administered prices seiring dengan
penurunan harga BBM yang berlaku pada Januari 2015 yang diikuti oleh penurunan tarif angkutan di beberapa
daerah di Kalimantan. Tekanan inflasi lebih banyak bersumber dari kenaikan harga komoditas pangan yang
cenderung lebih tinggi dibanding daerah-daerah lainnya yang justru tengah mengalami koreksi harga. Kondisi
ini diperkirakan terkait dengan berkurangnya pasokan sayur-sayuran, telur dan ayam ras, ikan segar serta
beras karena beberapa kendala distribusi yang terjadi akibat faktor cuaca.
Tekanan inflasi di Kalimantan terutama terjadi di Kalimantan Barat. Selain dari kenaikan harga komoditas
pangan, tekanan inflasi di Kalimantan Barat juga dipicu oleh kenaikan tekanan harga pada kelompok
administered prices. Hal ini dipengaruhi kelangkaan elpiji 3 kg di awal tahun serta adanya penetapan tarif batas
bawah angkutan udara, mengingat bobotnya yang cukup besar dalam inflasi Kalimantan Barat.
Pilot project dikembangkan bersama oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat bersama dengan Pemerintah
Provinsi Kalimantan Barat. Metode tanam hazton menggunakan jumlah bibit yang yang lebih banyak dalam satu lubang yakni mencapai
20-30 bibit dari umumnya hanya 3 atau 5 bibit. Pada tahun 2014 hasil pengujian metode hazton yang diterapkan di beberapa lokasi di
Kalimantan Barat menunjukkan adanya peningkatan produktivitas padi hingga 2 kali lipat. Pada tahun 2015 akan dilakukan penanaman
L a p o r a n N u s a n t a r a | 46
Pengembangan akses informasi harga bagi konsumen juga merupakan bagian penting yang menjadi perhatian
TPID. Beberapa daerah di Kalimantan telah terbentuk Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) seperti di
Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak, dan Samarinda. Ke depan, keberadaan pusat informasi harga ini akan
diintegrasikan diantara Kabupaten/Kota dengan Provinsi dan Nasional serta dari hulu ke hilir. Nantinya
diharapkan dengan terbentuknya PIHPS, informasi yang tidak simetris akan hilang. Selain itu terdapat rintisan
perdagangan antar daerah di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah
telah menandatangani kerja sama perdagangan bidang pertanian, khususnya pasokan bawang merah Brebes
ke Kalimantan Tengah. Sementara di Kalimantan Selatan terdapat program sinergi pasar sapi dan peternakan
sapi antar daerah. Dimana kabupaten yang surplus sapi akan mensuplai kepada kabupaten yang kekurangan.
Saat ini kerjasama dilakukan antara Kabupaten Barito Kuala sebagai penghasil sapi dengan Kabupaten Tanah
Bambu yang defisit daging sapi.
10
Konstruksi
9
8
7
6
Pengangkutan
5
3
2
-5
Pertambangan
Pertanian
2
1
Industri pengolahan
Perdagangan
Pertanian
Konstruksi
Pertambangan
% NPL
10
15
% gKredit
20
25
Industri pengolahan
% gkredit
0
-12 -10 -8 -6 -4 -2
8 10 12 14 16
Peningkatan kinerja kredit sektor perdagangan dan pertanian, yang merupakan dua sektor penerima kredit
utama, disertai terjaganya kualitas kredit. Hal ini tercermin dari adanya penurunan rasio non performing loans
(NPL). Pada sektor perdagangan, rasio NPL mengalami penurunan dari 3,4% menjadi 2,9%. Demikian pula pada
sektor pertanian yang rasio NPL-nya membaik menjadi 2,0% dari sebelumnya 2,1%. Perbaikan kualitas kredit
pada kedua sektor tersebut menjadi sumber penopang ketahanan sektor korporasi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 47
multiguna yang pada triwulan IV masing-masing tumbuh positif. Perbaikan pertumbuhan kredit RT didorong
oleh membaiknya subsektor perkebunan khususnya dari kelapa sawit dengan mayoritas penguasaan lahan
yang merupakan perkebunan swasta dan rakyat berkontribusi bagi perbaikan konsumsi RT.
Multiguna
gMultiguna
gKredit Total
% pangsa
100
Kendaraan
gKendaraan
Rumah Tinggal
gRumah Tinggal
% yoy
100%
90
80%
80
70
60%
60
50
40%
40
20%
30
20
0%
10
0
-20%
II
III
IV
II
2012
III
IV
II
2013
III
% yoy
gKredit Multiguna
0.70
0.60
0.50
0.40
0.30
0.20
0.10
0.00
IV
II
III
IV
II
2012
2014
100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
III
IV
2013
II
III
IV
2014
Secara keseluruhan, penyaluran kredit ke sektor rumah tangga masih terjaga tercemin dari non performing
loans (NPL) yang masih rendah baik pada jenis kredit multiguna, kredit pemilikan rumah, maupun kredit
kendaraan bermotor. Meski masih berada pada level NPL yang rendah, namun terdapat indikasi kenaikan NPL
pada ketiga jenis kredit di sektor rumah tangga tersebut (Grafik IV.12, IV.13, dan IV.14). Indikasi kenaikan NPL
terutama pada jenis kredit kendaraan bermotor dan kredit multiguna. Kondisi ini diperkirakan terkait dengan
tekanan pendapatan dari hasil ekspor tambang yang belum sepenuhnya pulih karena masih rendahnya harga
di pasar global.
% yoy
gKPR
NPL KPR
% NPL
45.00
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
I
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
2014
% yoy
3.00
15.00
2.50
10.00
2.00
5.00
1.50
0.00
1.00
-5.00
0.50
-10.00
0.00
-15.00
gKredit Kendaraan
2.00
1.50
I
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
1.00
0.50
IV
-20.00
0.00
Sebanyak masing-masing 67,60%, 33,57% dan 65,73% pembiayaan perbankan kepada sektor perdagangan, sektor pertanian dan sektor
konstruksi pada triwulan IV 2014 diberikan melalui lini kredit UMKM
L a p o r a n N u s a n t a r a | 48
% Pangsa Sektor
40
80
(% yoy)
Pertanian
Konstruksi
PHR
JDU
30
Perdagangan
70
20
60
10
50
40
(10)
II
III
IV
II
2012
III
IV
II
2013
III
IV
Pertanian
30
2014
(20)
20
(30)
10
(40)
Pengangkutan
Pertambangan
% gkredit
-5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65
Kredit UMKM dari sektor konstruksi terus mengalami pertumbuhan yang positif terhitung sejak triwulan I dan
pada triwulan II hingga IV dengan kisaran pertumbuhan 3-11% (yoy). Namun, alokasi kredit UMKM kepada
total pembiayaan sektor industri pengolahan masih tumbuh melambat selama 2014 sehingga pada triwulan IV
2014 hanya 14%, turun 20% dari triwulan I 2014.
Ke depan, pembiayaan sektor UMKM di berbagai daerah di Kalimantan diperkirakan dapat terus tumbuh
positif didorong oleh mulai beroperasinya Perusahaan Penjamin Kredit Daerah (PPKD) di Kalimantan Timur
pada tanggal 8 Januari 2015, menyusul PPKD di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yang telah
beroperasi sebelumnya. Kebijakan terbaru terkait PRONA-Proyek Operasi Nasional Agraria, yang dikeluarkan
oleh BPN dan telah direalisasikan di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah akan semakin
meningkatkan akses masyarakat kepada intermediasi perbankan. Dasar penggunaan hak komunal untuk
melegalisasi lahan tanah bagi masyarakat adat di Kalimantan akan meningkatkan potensi pembiayaan seiring
dengan sudah dimilikinya sertifikat aset yang dapat dijadikan agunan untuk mengajukan pinjaman ke bank
tanpa harus terlebih dahulu menjalankan usaha/bisnis.
% yoy
Triliun Rp
20
300
15
20
10
5
15
0
-5
10
(% yoy)
Triliun Rp
50
250
40
200
30
20
150
10
-10
-15
-20
-25
-30
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
Q2
2012
Q3
Q4
Q1
2013
Nominal
Q2
Q3
Q4
2014
yoy
qtq
60
100
0
-10
50
-20
-30
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
2012
Q2
Q3
Q4
Q1
2013
Nominal
Q2
Q3
Q4
2014
yoy
qtq
L a p o r a n N u s a n t a r a | 49
(5)
(10)
(15)
Q1
Q2
Q3
Q4
Q1
2012
Q2
Q3
Q4
Q1
2013
Outflow
Inflow
Q2
Q3
Q4
2014
Netflow
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, pemulihan kinerja perekonomian berbagai daerah di Kalimantan pada tahun 2015 diperkirakan
mengalami perbaikan meski masih terbatas. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diprakirakan masih berada
pada kisaran yang cukup rendah yakni 3,1% - 3,6% (yoy), meski sedikit lebih baik dibandingkan tahun 2014.
Kinerja perekonomian Kalimantan pada 2015 terutama ditopang oleh prospek perbaikan kinerja
perekonomian di daerah penghasil tambang mineral, yakni Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Sementara itu, perekonomian Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan masih menghadapi risiko dari
melemahnya kinerja ekspor batubara.
Dari sisi penggunaan, perbaikan diperkirakan terjadi pada kinerja konsumsi, investasi dan ekspor; namun
dalam level yang terbatas. Peningkatan konsumsi rumah tangga sejalan dengan mulai membaiknya kinerja
sektor pertanian dan cukup baiknya kinerja sektor pertambangan. Investasi diperkirakan tumbuh membaik,
didukung oleh investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara kinerja ekspor diperkirakan ditopang
terutama oleh prospek kinerja ekspor CPO dan karet yang diperkirakan mengalami perbaikan. Berdasarkan
4
Karakteristik aliran uang tunai yang masuk (inflow) dan atau keluar (outflow) di Kantor Perwakilan Bank Indonesia se-Kalimantan
cenderung outflow. Hal ini dipengaruhi pola preferensi masyarakat yang cenderung memegang uang tunai. Lebih besarnya outflow di
Kalimantan dapat mengindikasikan potensi aktivitas kebutuhan transaksi masyarakat yang meningkat, demikian pula sebaliknya.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 50
hasil liaison, ekspor karet akan meningkat secara kuantitas untuk menutupi harga yang semakin menurun. Di
sisi lain, impor diperkirakan melambat karena masih belum membaiknya sektor pertambangan sehingga
menurunkan impor barang modal.
Dari sisi sektoral, sektor pertanian dan industri pengolahan merupakan pendorong utama perbaikan di tahun
2015. Pada sektor pertanian, diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi sejalan dengan semakin tingginya
produktivitas sawit yang memasuki usia produktif. Kinerja subsektor tanaman bahan makanan juga
diperkirakan meningkat didukung oleh program swasembada pangan secara Nasional. Pada sektor industri
pengolahan, mulai beroperasinya smelter alumina dan besi diproyeksi akan mendorong kinerja sektor industri.
Selain itu meningkatnya produksi sawit, juga akan mendorong kinerja industri CPO.
Kinerja sektor pertambangan masih akan menjadi penahan laju perekonomian Kalimantan lebih lanjut.
Prospek pemulihan perekonomian Tiongkok dan Jepang yang berjalan lambat berdampak pada pemulihan
kinerja ekspor batubara Kalimantan. Meskipun terdapat potensi peningkatan ekspor batubara ke India, namun
persaingan batubara Indonesia dengan Australia dan Afrika Selatan berisiko menahan peningkatan ini. Hal ini
sebagaimana tercermin pada pangsa impor batubara dari Kalimantan menurun pada 2014, sementara
Australia dan Afrika Selatan meningkat. Dari sisi domestik, risiko lainnya berasal dari potensi terhambatnya
proyek infrastruktur listrik sehingga serapan batubara domestik menjadi tidak maksimal.
Prospek Inflasi
Tekanan inflasi Kalimantan pada tahun 2015 diprakirakan terkendali pada kisaran 4,6%-5,0% (yoy), terutama
dipengaruhi oleh minimalnya tekanan inflasi kelompok volatile food dan administered price. Pada kelompok
volatile food, minimalnya tekanan inflasi pada tahun 2015 didukung oleh peningkatan produksi pangan di Jawa
dan Sulawesi Selatan yang merupakan dua daerah pemasok bahan makanan Kalimantan. Selain itu, sudah
tersedianya cold storage untuk komoditas ikan laut juga diperkirakan memberikan dampak positif pada lebih
terkendalinya volatilitas harga ikan segar. Pada komoditas administered price, terkendalinya inflasi
diperkirakan berasal dari harga BBM bersubsidi yang berpotensi turun di tengah tren penurunan harga minyak
dunia.
Beberapa risiko ke depan diperkirakan masih akan membayangi prospek inflasi Kalimantan bersumber dari
peningkatan ekspektasi inflasi masyarakat khususnya menjelang berbagai kegiatan/perayaan hari besar
keagamaan. Selain itu, faktor cuaca yang sulit diprediksi berpotensi menimbulkan gangguan distribusi dan
produksi bahan makanan. Oleh karena itu menjaga ketersediaan pangan antar waktu akan dijadikan salah satu
fokus program TPID dalam upaya stabilisasi harga. Berbagai upaya penguatan ketahanan pangan di daerah,
seperti penerapan metode tanam padi cara hazton dan pemberian bantuan sarana produksi diharapkan dapat
membantu produksi pangan sehingga gejolak inflasi bahan makanan dapat lebih terkendali.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 51
Sepanjang sepuluh tahun terakhir, ketergantungan perekonomian Kalimantan pada pertambangan serta
minyak dan gas (migas) sangat tinggi. Hal ini sebagaimana tercermin dari tingginya pangsa pertambangan dan
industri migas pada PDRB Kalimantan, yaitu sekitar 48%. Selain itu dilihat dari sisi penggunaan, pangsa net
ekspor tercatat tinggi yaitu sebesar 45%. Lebih jauh lagi dilihat dari komoditas ekspor unggulan, batubara
menyumbang ekspor Kalimantan sebesar 80%.
Struktur perekonomian ini sangat rentan terhadap kondisi eksternal yang saat ini belum membaik dengan
risiko yang semakin besar. Dari sisi eksternal, terdapat risiko penurunan harga komoditas yang lebih dalam di
tengah perlambatan perekonomian negara utama dagang Kalimantan, yaitu Tiongkok. Sementara dari sisi
domestik, di era pemerintahan baru ini terdapat kebijakan untuk mengendalikan produksi serta meningkatkan
pemanfaatan batubara di dalam negeri.
Kondisi listrik Kalimantan belum dapat mendukung industrialisasi Kalimantan. Saat ini penjualan listrik per
kapita di Kalimantan pada tahun 2013 rata-rata sebesar 468 Kwh/kapita, cukup rendah dibandingkan dengan
Jawa Timur dan Banten masing-masing sebesar 748 kwh/kapita dan 794 kwh/kapita. Namun, dilihat dari
sumber energinya, listrik di Kalimantan berasal dari bahan baku yang mahal yaitu sebanyak 66% dari diesel,
sementara di Jawa Timur dan Banten berasal dari energi yang lebih murah yaitu PLTU masing-masing sebesar
70% dan 88%. Ke depan akan dibangun 1.900 MW listrik di Kalimantan dari total proyek Nasional sebesar
35.000 MW. Namun, penambahan ini belum memperhitungkan kebutuhan industri yang dibutuhkan untuk
transformasi di Kalimantan.
Dukungan ketersediaan pasokan listrik yang memadai akan mendorong terwujudnya transformasi Kalimantan
dari comparative advantage menjadi competitive advantage (Gambar IV.3). Kekayaan sumber daya alam,
khususnya tambang yang dimiliki Kalimantan perlu diarahkan untuk dapat diolah lebih lanjut sehingga dapat
memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi perekonomian Kalimantan. Sebagai gambaran, untuk
komoditas bauksit, berdasarkan pohon industri dari Kementerian Perindustrian, dapat diolah lebih lanjut
menjadi alumina. Namun, industri pengolahan alumina tersebut belum ada di Kalimantan. Selama ini bauksit
dari Kalimantan diekspor ke luar negeri dalam bentuk bahan mentah, sementara industri di dalam negeri
mengimpor alumina hasil olahan bauksit. Berdasarkan simulasi perhitungan Kementerian ESDM, dengan
adanya industri alumina akan memberikan nilai tambah 21 kali lipat dibandingkan bila hanya dijual dalam
bentuk mentah. Pada gilirannya akan mendorong kenaikan penerimaan negara hingga 14 kali. Gambaran
lainnya adalah pada komoditas biji besi yang saat ini belum didukung adanya industri sponge iron yang cukup
besar. Kebutuhan sponge iron domestic selama ini diimpor dari luar negeri. Di sisi lain, biji besi di Kalimantan
langsung di ekspor dalam bahan mentah. Padahal akan terdapat nilai tambah 8 kali lipat jika dilakukan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 52
pengolahan sponge iron di Kalimantan. Lebih lanjut lagi jika terdapat produk lanjutannya akan meningkatkan
nilai tambah hingga 14 kali lipat.
Mencermati hal ini, untuk mendukung pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi Kalimantan sebagaimana
tertuang di dalam RPJM, maka upaya untuk melakukan transformasi perekonomian perlu dilakukan. Prioritas
perlu diberikan pada pembenahan enabling factors, khususnya terkait daya dukung energi yang memadai.
Pada gilirannya, transformasi ekonomi yang dilakukan akan mendorong kenaikan nilai tambah perekonomian.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 53
Laporan Nusantara
PERTUMBUHAN EKONOMI
1
Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan IV 2014 kembali tumbuh melambat dan
2
cenderung lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata historisnya . Perlambatan ekonomi KTI pada triwulan
IV 2014 terutama disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor nonmigas KTI sejalan dengan proses penyesuaian
yang masih berlangsung di kalangan para pelaku usaha terhadap penerapan kebijakan ekspor mineral dan
adanya permasalahan aspek ketenagakerjaan yang menghambat aktivitas produksi tambang di Papua. Kondisi
tersebut mengakibatkan sektor pertambangan di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua
mengalami penurunan sehingga mengakibatkan kinerja pertambangan KTI secara keseluruhan mengalami
kontraksi. Selain itu, masih terbatasnya pendapatan ekspor karena faktor harga komoditas rendah disertai
meningkatnya tekanan harga sebagai dampak dari kenaikan harga BBM menyebabkan pertumbuhan konsumsi
rumah tangga yang melambat. Namun, perlambatan ekonomi KTI lebih lanjut dapat ditahan oleh kinerja positif
beberapa sektor lainnya, khususnya sektor pertanian, sektor konstruksi, dan sektor perdagangan, seperti di
Bali dan Nusa Tenggara.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi KTI untuk keseluruhan 2014 tercatat sebesar
6,0% (yoy) atau lebih rendah dari tahun sebelumnya (7,2%, yoy). Melambatnya kinerja ekspor pada triwulan IV
2014, semakin menekan kinerja ekspor luar negeri untuk keseluruhan tahun 2014. Selain itu, penerapan
kebijakan pengendalian ekspor mineral berimplikasi pada terjadinya kontraksi sektor pertambangan dan
penggalian sepanjang 2014. Kondisi ini terutama terjadi di Sulawesi Tenggara (nikel), Sulawesi Tengah (nikel),
Maluku Utara (nikel), Papua (tembaga), dan NTB (tembaga). Dampak penurunan kinerja ekspor diikuti oleh
melambatnya aktivitas sektor-sektor pendukung seperti sektor perdagangan. Meski pada akhir triwulan III
2014, eksportir utama tembaga di Papua dan NTB kembali mendapatkan ijin ekspor terbatas, namun hal
tersebut tidak dapat mendorong kinerja produksi dan ekspor melebihi capaian di tahun sebelumnya.
Memasuki periode triwulan I 2015, perkembangan beberapa indikator ekonomi di berbagai daerah
mengindikasikan pertumbuhan ekonomi KTI akan cenderung meningkat. Hal ini terutama dipengaruhi oleh
ekspor tembaga yang dapat dilakukan kembali oleh pelaku usaha tambang utama di Papua dan NTB setelah
penyelesaian komitmen dengan pemerintah. Dari sisi sektoral, sejalan dengan perkiraan pertumbuhan ekspor
tembaga, produksi sektor pertambangan akan kembali meningkat setelah turun cukup tajam selama semester
I 2014. Optimisme tersebut diperkirakan mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi KTI untuk
keseluruhan 2015 kembali membaik di kisaran 7,6%-8,1%.
Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan konsumsi rumah tangga (termasuk konsumsi lembaga nonprofit rumah
tangga) tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Melambatnya pertumbuhan konsumsi
rumah tangga terutama disebabkan oleh tekanan harga yang meningkat signifikan pada November dan
Desember, di tengah indikasi pelemahan tingkat pendapatan masyarakat akibat perlambatan kinerja ekonomi
KTI sebagaimana tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di KTI yang cenderung menurun pada
periode triwulan IV 2014 (Grafik V.1).
1
Terdiri dari 13 provinsi di wilayah Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara, yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, Papua, Bali, NTB, dan NTT.
2
Rata-rata pertumbuhan ekonomi triwulan IV tahun 2009 - 2013 adalah 7,1% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 55
Untuk keseluruhan tahun 2014, kinerja konsumsi rumah tangga berbagai daerah di KTI secara agregat masih
dapat tumbuh lebih baik dibanding periode tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari volume perdagangan di
pelabuhan laut utama KTI (Makassar, Sulawesi Selatan) yang menunjukan peningkatan. Pertumbuhan
konsumsi rumah tangga sepanjang 2014 dipengaruhi oleh aktivitas beberapa sektor utama daerah, yaitu
sektor pertanian, sektor perdagangan, dan sektor penyediaan akomodasi (hotel), sehingga diindikasikan
3
mampu menopang pendapatan sebagian masyarakat di tengah kontraksi aktivitas pertambangan . Demikian
pula dengan perkembangan pariwisata selama 2014 yang tetap tumbuh positif, terutama dilihat dari jumlah
wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk melalui Denpasar, Bali (Grafik V.2).
Perkembangan indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga akan tumbuh lebih baik pada
triwulan I 2015. Hal ini salah satunya tercermin dari kondisi penjualan eceran pada tiga kota besar di KTI yang
cenderung meningkat (Grafik V.3). Penurunan harga BBM pada bulan Januari 2015 diperkirakan memberi
insentif dalam mendorong konsumsi masyarakat karena peningkatan daya beli. Selain itu, potensi
pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga bersumber dari optimisme kegiatan perekonomian secara
keseluruhan seiring pemulihan sektor pertambangan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Bank Indonesia,
keyakinan konsumen di beberapa kota di KTI juga cenderung meningkat di awal periode triwulan I 2015,
seperti di Manado (Sulawesi Utara), Jayapura (Papua), Mataram (NTB), dan Kupang (NTT). Hal tersebut
didorong oleh keyakinan bahwa kondisi penghasilan saat ini lebih baik dibandingkan enam bulan yang lalu.
Kendari
160
Mataram
Ambon
Jayapura
Denpasar
400
Indeks
Ribu Orang
%, yoy
350
150
300
140
250
130
200
120
150
110
100
50
100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
0
1
2
I
II
2013
9 10 11 12 1
III
IV
II
8
III
30
25
20
15
10
5
0
(5)
(10)
(15)
9 10 11 12
IV
2014
Konsumsi Pemerintah
Pertumbuhan konsumsi pemerintah di KTI secara agregat mengalami perlambatan pada triwulan IV 2014.
Perlambatan tersebut diperkirakan terjadi akibat upaya efisiensi yang dilakukan pemerintah di akhir tahun. Hal
ini tercermin dari giro Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengalami peningkatan pertumbuhan (Grafik V.4).
Pada tahun 2014, secara keseluruhan konsumsi pemerintah di KTI tumbuh moderat dan cenderung stabil
dibandingkan dengan tahun 2013. Kondisi tersebut tercermin dari estimasi realisasi belanja operasional daerah
tahun 2014 (APBD Provinsi) yang tidak mencapai 80% dari anggaran yang tersedia.
Pada triwulan I 2015, kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan
triwulan IV 2014. Peningkatan pertumbuhan konsumsi pemerintah terlihat dari percepatan kegiatan
pelelangan proyek-proyek Pemda yang diproyeksikan akan mendorong penyerapan anggaran sejak awal
tahun. Selain itu, ada upaya untuk mendorong realisasi proyek Pemda sejak awal tahun, khususnya pada
alokasi belanja rutin (operasional) dalam rangka mendukung kegiatan pekerjaan umum. Faktor lain yang juga
akan ikut mendorong akselerasi pertumbuhan konsumsi pemerintah adalah rangkaian kegiatan Pilkada di
tahun 2015 yang dimulai sejak Februari 2015, diawali dengan proses persiapan serta pendaftaran dan menjadi
beban biaya dari APBD.
Pangsa tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian dan perdagangan di KTI bervariasi antara satu provinsi dengan provinsi yang lain
dengan kisaran pangsanya adalah dari 52% sampai dengan 69%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 56
Makassar
60
50
40
30
20
10
0
(10)
(20)
Manado
%, yoy
%, yoy
300
250
200
150
100
50
0
(50)
40
35
30
25
20
15
10
5
0
II
III
IV
II
2013
III
IV
30
10
0
(10)
(20)
(30)
II
III
IV
II
2013
2015
40
20
2014
%, yoy
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1* 2p
I
Rp Triliun
III
IV
2014
Investasi
Investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) mengalami peningkatan pertumbuhan selama triwulan IV
2014. Pelaksanaan beberapa proyek multiyears dan realisasi proyek baru seperti perbaikan jalan di Sulawesi
Utara, pembangunan bandara di Papua, pembangunan pembangkit listrik di beberapa daerah, pabrik semen
(Manokwari, Papua Barat), infrastruktur jalan lingkar pulau-pulau (Maluku dan Maluku Utara), pusat
perbelanjaan (Manado, Sulawesi Utara), serta pembangunan beberapa hotel (Sulawesi Selatan dan Bali) dapat
mendorong pertumbuhan investasi yang lebih tinggi di triwulan IV 2014. Secara keseluruhan pada tahun 2014,
perkembangan investasi sedikit lebih lambat dari tahun 2013. Kondisi ini lebih dominan dipengaruhi oleh
turunnya kegiatan investasi nonbangunan di sektor pertambangan seiring dengan konsolidasi yang dilakukan
oleh para pelaku usaha tambang terkait implementasi kebijakan pengendalian ekspor mineral. Perlambatan
investasi dikonfirmasi oleh perkembangan penyaluran kredit investasi, realisasi penanaman modal asing (PMA)
maupun dalam negeri (PMDN) yang tumbuh tidak sebaik tahun sebelumnya (Grafik V.5 dan Grafik V.6).
Pertumbuhan investasi pada triwulan I 2015 diperkirakan kembali cenderung melambat dibandingkan triwulan
IV 2014. Beberapa proyek hilirisasi mineral (smelter), khususnya di Sulawesi Tenggara, yang memproduksi
nickel pig iron (NPI) telah selesai dan memasuki tahap optimalisasi produksi. Selain itu, berdasarkan hasil
liaison para pelaku usaha cenderung untuk mengoptimalkan kapasitas produksi terpasang (existing) sehingga
investasi nonbangunan diperkirakan cenderung minimal. Faktor lain yang berpotensi ikut mendorong
perlambatan investasi dari sisi pembiayaan adalah kondisi suku bunga kredit investasi yang relatif tinggi,
terutama di Maluku. Namun demikian, beberapa proyek besar masih akan berlangsung di KTI, sehingga
menjadi penopang agar perlambatan pertumbuhan investasi tidak semakin dalam. Proyek-proyek tersebut
antara lain adalah pembangunan Train III pabrik LNG (Papua Barat), smelter (Maluku Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara), PLTS Kupang (NTT), serta pembangunan Makassar New Port (Sulawesi Selatan).
Kredit Investasi
70
60
Unit
%, yoy
Rp Triliun
60
50
50
40
40
30
30
20
20
10
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
4,500
4,000
3,500
3,000
2,500
2,000
1,500
1,000
500
0
%, yoy
150
100
50
0
(50)
(100)
(150)
I
II
III
2013
IV
II
III
IV
2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 57
1,200
gPertanian
gIndustri
gPertambangan
%, yoy
Juta US$
1,000
150
100
800
50
600
400
(50)
200
(100)
(150)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I
II
III
2013
IV
II
III
IV
2014
400
350
300
250
200
150
100
50
0
gBarang Modal
gBahan Baku
gBarang Konsumsi
Juta US$
%, yoy
300
250
200
150
100
50
0
(50)
(100)
(150)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I
II
III
2013
IV
II
III
IV
2014
Impor
Pada triwulan IV 2014, impor luar negeri nonmigas mengalami penurunan jika dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Impor luar negeri nonmigas tercatat mengalami kontraksi sebesar -1,1% (yoy) setelah mampu
bertumbuh hingga 21,6% (yoy) pada triwulan III 2014. Penurunan kinerja impor luar negeri terjadi pada
kelompok barang modal dan bahan baku (Grafik V.8), termasuk di dalamnya komponen perlengkapan alat
L a p o r a n N u s a n t a r a | 58
transportasi (aksesoris dan suku cadang). Hal ini sejalan dengan melemahnya kegiatan ekspor pertambangan
sehingga kebutuhan barang pendukung kegiatan ekspor ikut mengalami perlambatan. Selain itu, bahan baku
industri khususnya makanan dan minuman setengah jadi, juga mengalami perlambatan pertumbuhan seiring
permintaan yang tidak setinggi triwulan sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut, ekspor luar negeri
nonmigas juga mengalami penurunan kinerja untuk keseluruhan tahun 2014 sebesar -4,1% (yoy) setelah
tumbuh mencapai 11,6% (yoy) pada tahun sebelumnya. Turunnya kinerja impor luar negeri terutama
disebabkan oleh penurunan kategori bahan baku dan secara khusus pada perlengkapan alat transportasi. Hal
ini terkait dengan kegiatan produksi dan ekspor tambang di KTI yang mengalami penurunan dibandingkan
capaian tahun sebelumnya.
Pada triwulan I 2015, impor luar negeri diperkirakan akan tumbuh meningkat dibandingkan dengan triwulan IV
2014. Sejalan dengan pemulihan kegiatan produksi dan ekspor tambang, aktivitas pertambangan diperkirakan
akan mengalami perbaikan pada triwulan I 2015, sehingga kebutuhan akan barang modal dan bahan baku,
termasuk komponen perlengkapan alat transportasi pendukung kegiatan produksi tambang juga akan
meningkat. Sementara untuk industri lainnya, berdasarkan pengalaman sebelumnya, pelaku usaha industri
makanan olahan dan hasil olahan tambang di KTI akan cenderung menjaga ketersediaan stok bahan baku pada
level tertentu sejak periode awal tahun sehingga impor bahan baku berpotensi meningkat pada awal tahun.
Selanjutnya, optimisme konsumsi rumah tangga dan pemerintah akan diikuti oleh meningkatnya kebutuhan
kelompok barang konsumsi.
%, yoy
80
150
120
40
100
50
(40)
(80)
(50)
(120)
(100)
I
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
IV
2014
II
III
2012
IV
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
Ip
2015
L a p o r a n N u s a n t a r a | 59
Pada triwulan I 2015, produksi sektor pertambangan KTI diperkirakan akan cenderung meningkat, terutama
karena operasional produksi tembaga yang kembali normal. Eksportir tembaga di Papua telah memperoleh ijin
ekspor sampai enam bulan ke depan setelah menyelesaikan komitmen terkait rencana pembangunan smelter.
Demikian juga dengan eksportir tembaga di NTB yang dapat melakukan kegiatan ekspor hingga April 2015
setelah memenuhi komitmen terkait agenda pengembangan hilirisasi. Selanjutnya, produksi bijih nikel dinilai
akan tumbuh meningkat untuk mendukung kebutuhan industri feronikel dan nickel pig iron (Sulawesi
Tenggara). Eksplorasi dan produksi bahan galian C (pasir) yang relatif stabil akan mendorong kinerja tambang
di Sulawesi Tengah tumbuh positif. Selain itu, terdapat penambahan site tambang emas (Sulawesi Utara) serta
kontinuitas peningkatan target produksi nikel matte (Sulawesi Selatan) yang akan ikut mendukung kinerja
sektor pertambangan KTI.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 60
%, yoy
50
40
Bali
150
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Maluku Utara
Indeks
140
30
20
130
10
120
110
(10)
100
(20)
90
(30)
(40)
80
I
II
III
IV
II
2012
III
IV
II
2013
III
IVp
2014
Ip
2015
II
III
IV
2012
II
III
IV
2013
II
III
IV
2014
Ribu Ton
25
20
15
10
5
0
1
2
I
II
9 10 11 12 1
III
IV
2013
Padi
350
300
250
200
150
100
50
0
(50)
(100)
PPS Bitung
PPS Kendari + PPN Pengambengan
PPN Ambon
gProduksi - Skala Kanan
II
2014
14
%, yoy
Juta Ton
14
12
10
8
6
4
9 10 11 12 1
IV
10
2015
12
III
Jagung
(2)
(4)
(6)
2010
2011
2012
2013
2014
Sektor Konstruksi
Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan sektor konstruksi di KTI mengalami peningkatan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Berbagai proyek pembangunan infrastruktur, smelter, dan hotel menjadi sumber utama
L a p o r a n N u s a n t a r a | 61
penopang pertumbuhan sektor konstruksi di triwulan ini, seperti pembangunan Gorontalo Outer Ring Road
4
(GORR), pengembangan fasilitas pelabuhan laut , jalan tol Manado-Bitung (Sulawesi Utara), ruas jalan
antarkota di Sulawesi Selatan, serta proyek-proyek hilirisasi mineral dan gas alam. Proyek pembangunan
tersebut juga mendorong pertumbuhan sektor konstruksi secara keseluruhan tahun 2014. Hal ini dikonfirmasi
dengan pertumbuhan kredit perbankan yang disalurkan untuk sektor konstruksi pada tahun 2014 yang tumbuh
lebih tinggi dari tahun 2013 (Grafik V.15).
Pada triwulan I 2015, pertumbuhan sektor konstruksi cenderung stabil namun ada kecenderungan potensi
perlambatan sejalan dengan kinerja investasi yang relatif melambat. Beberapa proyek yang akan menjadi
penopang pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan I 2015, antara lain di Papua (pembangunan,
perbaikan, dan pengembangan fasilitas transportasi), Papua Barat (konstruksi dua ruas jalan besar dari
Manokwari), Sulawesi Selatan (pembangunan sektor riil), serta Sulawesi Tengah (pengembangan kawasan
ekonomi). Berdasarkan hasil survei, risiko perlambatan terindikasi dari kondisi perkiraan harga jual di sektor
bangunan yang cenderung melemah pada triwulan I 2015 berdasarkan hasil survei (Grafik V.16).
Konstruksi
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Rp Triliun
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I
II
III
2013
IV
II
III
IV
2014
40
35
30
25
20
15
10
5
0
16
14
12
Saldo Bersih
Tertimbang
10
8
6
4
2
0
(2)
I
II
III
2013
IV
II
III
2014
IV
IP
2015
LAJU INFLASI
Laju inflasi KTI pada triwulan IV 2014 tercatat mengalami peningkatan signifikan dibandingkan triwulan
sebelumnya yaitu dari 4,09% (yoy) menjadi 8,31% (yoy). Peningkatan inflasi tersebut terjadi di seluruh provinsi
dengan inflasi tertinggi terjadi di Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua. Sumber utama tekanan inflasi pada
triwulan IV 2014 berasal dari peningkatan inflasi pada kelompok administered prices dan volatile food.
Kenaikan harga BBM bersubsidi yang diikuti dengan kenaikan tarif angkutan yang berkisar antara 10%-15% di
KTI menjadi sumber utama kenaikan inflasi administered prices.
Selanjutnya, kenaikan inflasi pada volatile food disebabkan oleh berbagai permasalahan di sisi pasokan dan
distribusi. Kendala pasokan beras dan cabai lebih disebabkan oleh permasalah produksi yang sempat
terganggu karena faktor cuaca. Khusus komoditas cabai merah, tekanan harga disebabkan permintaan yang
tinggi di Sulawesi Utara. Hal ini mendorong pasokan dari Gorontalo sebagai daerah sentra produksi cabai
sebagian besar didistribusikan ke daerah tersebut dengan kompensasi harga yang lebih mahal. Sementara itu,
kondisi gelombang laut dan curah hujan yang tinggi juga mengakibatkan penurunan produksi komoditas
perikanan (Maluku, Sulawesi Selatan, Bali) dan gangguan distribusi di sebagian wilayah KTI. Hasil Survei
Pemantauan Harga (SPH) menunjukkan bahwa harga komoditas utama aneka bumbu dan ikan mengalami
peningkatan signifikan di tahun 2014 yaitu cabe merah, bawang putih, dan ikan layang. Sementara untuk
kelompok inti, meski tren penurunan harga emas berlanjut namun tekanan inflasi masih cukup kuat sejalan
dengan permintaan terhadap kelompok sandang yang masih tinggi karena adanya perayaan hari besar
keagamaan.
Pelabuhan Anggrek (Gorontalo), Pelabuhan Tenau (NTT), Pelabuhan Bitung (Sulawesi Utara), Pelabuhan Tahuna (Sulawesi Utara),
Pelabuhan Lirung (Sulawesi Utara)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 62
Pada triwulan I 2015, laju inflasi diperkirakan akan cenderung menurun dibandingkan dengan triwulan IV 2014.
Indikasi penurunan tersebut terlihat sejak Januari 2015, meskipun deflasi yang terjadi pada periode ini masih
relatif kecil yaitu sebesar 0,05% (mtm), sehingga inflasi tahunan tercatat sebesar 7,19% (yoy). Hal ini sejalan
dengan hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) yang menunjukkan adanya perlambatan pertumbuhan harga
bumbu-bumbuan dan ikan yaitu cabe merah, bawang merah, dan ikan layang (Grafik V.17). Tren penurunan
inflasi terutama disebabkan oleh keputusan Pemerintah menurunkan harga BBM (dua kali) selama bulan
Januari 2015. Kemudian penurunan intensitas curah hujan dan gelombang laut pada akhir triwulan I 2015
diperkirakan akan memperlancar arus distribusi dan turut menurunkan inflasi volatile food. Perlu dicermati,
risiko tekanan inflasi di KTI selama triwulan I 2015 masih akan bersumber dari gangguan cuaca yang dapat
mempengaruhi pasokan ikan dan berkurangnya pasokan pangan karena periode masa tanam, khususnya
untuk komoditas beras (panen diperkirakan April-Mei). Kondisi ini sejalan dengan ekspektasi konsumen
terhadap kenaikan harga barang dan jasa untuk periode tiga bulan ke depan yang masih cenderung tinggi
sebagaimana hasil Survei Konsumen (Grafik V.18).
Cabe Merah
Emas Perhiasan
150
Layang
Bawang Merah - Skala Kanan
%, yoy
%, yoy
100
50
500
400
200
300
195
200
0
100
-50
Indeks
190
185
0
180
-100
-100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2*
2013
2014
(2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
2013
2014
2015
2015
Rata-rata inflasi pada saat Lebaran tahun 2010 s.d. 2012 tercatat sebesar 1,16% (mtm). Inflasi pada saat Lebaran di tahun 2013 tidak
dihitung karena adanya kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 63
Sulawesi
Inspeksi lapangan
Pasca kenaikan harga BBM, Pemerintah Daerah di KTI melakukan penerapan batas kenaikan tarif angkutan
umum maksimal 10%-15%. Sementara itu, dalam rangka pengendalian dampak lanjutan dari kenaikan tarif
angkutan tersebut, TPID di masing-masing provinsi melakukan beberapa langkah yaitu kegiatan inspeksi
langsung dalam rangka memitigasi upaya spekulasi penimbunan BBM, melakukan komunikasi dengan
distributor untuk mengelola timing dan besaran kenaikan harga beberapa komoditas (Papua), berkoordinasi
dengan Bulog untuk memastikan ketersediaan pasokan beras, serta mendorong efisiensi proses bongkar muat
di pelabuhan khususnya untuk komoditas pangan. Selain itu, TPID juga merekomendasikan penambahan SPBU
di sepanjang jalur transportasi darat untuk wilayah Bali, Nusa Tenggara, dan Papua. Selanjutnya dalam rangka
meminimalkan inflasi pada akhir triwulan IV 2014, di tengah tekanan kenaikan harga BBM dan kondisi cuaca
yang mengganggu jalur pelayaran, TPID secara rutin memonitor perkembangan harga dan stok di masingmasing daerah.
Ke depan, upaya pengendalian inflasi 2015 akan difokuskan pada langkah-langkah strategis untuk menjamin
ketersediaan pasokan, mengingat sebagian besar barang kebutuhan KTI sangat bergantung pada pasokan dari
daerah lain melalui perdagangan antarpulau. Beberapa daerah mulai melakukan penjajagan dalam rangka
memperkuat kerja sama perdagangan antardaerah untuk komoditas pangan, seperti yang dilakukan oleh
Provinsi NTT dan DKI Jakarta. Dalam kaitan tersebut, kelancaran distribusi dan pengelolaan ekspektasi
masyarakat menjadi sangat penting (Tabel V.1).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 64
keseluruhan (tanpa subsektor perikanan), justru mengalami perlambatan pada triwulan IV 2014 yang sejalan
dengan tren kinerja sektor pertanian yang cenderung melemah.
gKorporasi Produktif
gPerdagangan
70
60
gPertanian
gPertambangan - Skala Kanan
%, yoy
%, yoy
50
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I
II
III
IV
2013
II
III
IV
2014
%
250
12
200
10
150
100
50
(50)
Total Produktif
Pertanian
Perdagangan
Pertambangan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
II
III
2013
IV
II
III
IV
2014
Secara keseluruhan, NPL di KTI masih relatif stabil pada level yang rendah pada triwulan III 2014, yakni 3,0%.
Tekanan pada kinerja sektor pertambangan juga berpengaruh terhadap kualitas pembiayaan perbankan di
sektor tersebut. Relaksasi ijin ekspor yang diberikan kepada eksportir tembaga di triwulan III 2014, masih
belum mampu memperbaiki NPL sektor pertambangan yang cenderung meningkat dibandingkan tahun 2013.
Hal ini tidak terlepas dari dampak pemberlakuan UU Minerba sejak tahun 2014 yang mengakibatkan sebagian
usaha pertambangan di KTI berhenti beroperasi. Peningkatan NPL pada sektor pertambangan juga diikuti
beberapa korporasi di sektor pertanian dan konstruksi (Grafik V.20). Pelemahan Nilai Tukar Petani
mengindikasikan adanya penurunan tingkat pendapatan petani sehingga mengganggu repayment capacity dan
menyebabkan peningkatan risiko instabilitas. Selanjutnya tren peningkatan suku bunga kredit diindikasikan
juga mempengaruhi peningkatan NPL sektor korporasi di KTI, terutama pada sektor konstruksi.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 65
gTotal RT
%, yoy
gKPR
gKKB
350
300
250
200
150
100
50
0
(50)
3.0
50
40
30
20
10
0
(10)
(20)
II
III
IV
II
2013
III
KPR
KKB
Multiguna
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Total RT
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
IV
II
2014
III
IV
II
2013
III
IV
2014
gTotal UMKM
gPerdagangan UMKM
40
35
30
25
20
15
10
5
0
gKonstruksi UMKM
%
12
Total UMKM
Perdagangan UMKM
Konstruksi UMKM
10
8
6
4
2
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I
II
III
IV
2013
II
III
2014
IV
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I
II
III
2013
IV
II
III
IV
2014
L a p o r a n N u s a n t a r a | 66
tersebut. Sementara itu, di sisi lain, pertumbuhan nilai transaksi melalui kliring tercatat mengalami
peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik V.26), terutama untuk kebutuhan konsumsi
dan transaksi bisnis dengan skala kecil. Namun demikian, total transaksi nontunai tetap melambat mengingat
pangsa transaksi nontunai dengan menggunakan kliring tidak lebih dari 10% dari total transaksi nontunai.
Secara keseluruhan tahun 2014, kegiatan sistem pembayaran nontunai KTI tumbuh 4,9% (yoy) melambat
dibandingkan dengan tahun 2013 yang tercatat sebesar 11,2% (yoy). Sama halnya dengan kondisi triwulan IV
2014, perlambatan ini disebabkan oleh penurunan perlambatan pada transaksi RTGS yang juga merupakan
dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi KTI untuk keseluruhan tahun 2014.
Total Transaksi
Rp Triliun
%, yoy
120
100
100
80
60
40
20
0
1
2
I
II
2013
9 10 11 12 1
III
IV
II
8
III
9 10 11 12
IV
2014
Rp Triliun
Total Transaksi
%, yoy
14
80
12
60
10
40
20
(20)
(40)
25
20
15
10
5
0
(5)
(10)
(15)
(20)
(25)
1
2
I
II
2013
9 10 11 12 1
III
IV
II
8
III
9 10 11
IV
2014
Jumlah kantor cabang bank di KTI berdasarkan lokasi bank adalah sebanyak 632 kantor sedangkan total di Indonsia adalah 3.625 kantor.
(Statistik Perbankan Indonesia, November 2014, OJK)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 67
PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian KTI pada tahun 2015 diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan 2014 (6,0%, yoy), yaitu
pada kisaran 7,6% - 8,1% (yoy). Setelah mengalami kontraksi cukup dalam pada 2014 paska implementasi
kebijakan pengendalian ekspor mineral, kinerja sektor pertambangan akan membaik setelah dua eksportir
utama tembaga di Papua dan NTB mendapatkan ijin ekspor. Hal ini otomatis memberikan dampak langsung
terhadap peningkatan ekspor di KTI, khususnya komoditas pertambangan (tembaga). Pemulihan ekspor
komoditas pertambangan sepanjang tahun 2015, akan mendorong peningkatan pertumbuhan perekonomian
KTI secara keseluruhan. Pemulihan pada sektor pertambangan tidak hanya akan mendorong kinerja ekspor
namun secara tidak langsung juga akan menjadi tulang punggung bagi aktivitas konsumsi rumah tangga.
Demikian pula dengan tren penurunan inflasi yang juga diperkirakan akan memberikan insentif bagi konsumsi
rumah tangga. Sementara itu, kinerja industri pariwisata di KTI, khususnya Bali pada tahun 2015 diperkirakan
akan meningkat, seiring dengan upaya pemerintah untuk mencapai target kunjungan wisatawan hingga 12 juta
7
orang pada 2015 . Hal ini juga didukung oleh berbagai pembenahan sarana dan prasarana infrastruktur
pariwisata seperti peningkatan kapasitas terminal baru di Bandara Internasional Ngurah Rai yang telah
meningkat menjadi 25 juta orang per tahun (sebelumnya 16 juta orang per tahun).
Namun, perlu diwaspadai risiko tekanan yang akan dihadapi pertumbuhan ekonomi KTI pada 2015 baik dari
sisi internal maupun eksternal. Pada sisi eksternal, prospek harga komoditas ekspor utama KTI di tahun 2015
masih relatif mengalami kontraksi dibandingkan dengan tahun 2014. Hal ini dapat menjadi disinsentif yang
menghambat akselerasi kinerja sektor tradable, khususnya komoditas CPO, kakao, nikel, dan tembaga. Selain
itu, kondisi perekonomian tahun 2015 negara tujuan ekspor utama belum sepenuhnya pulih, yakni Tiongkok
yang diperkirakan mengalami perlambatan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi Jepang yang relatif
8
terbatas . Hal ini menunjukan masih ada risiko tekanan permintaan LNG oleh Tiongkok, maupun makanan
olahan, nikel, atau perikanan oleh Jepang. Pada sisi internal, proses pengembangan hilirisasi mineral dalam hal
ini pembangunan smelter masih membawa tantangan tersendiri, yaitu: komitmen investor dan stakeholder;
proses perijinan perlu dioptimalkan, serta dukungan infrastruktur dan ketersediaan faktor produksi lainnya.
Selain risiko pada sektor pertambangan, potensi risiko juga membayangi industri pariwisata meskipun relatif
terbatas. Keputusan Menteri Perhubungan yang menetapkan tarif normal (tarif terendah-tarif tertinggi)
serendah-rendahnya 40% dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan yang diberikan (sebelumnya 30%),
berpotensi mengakibat kenaikan biaya angkutan udara untuk kategori LCC (low cost carrier) atau budget
9
airlines yang merupakan salah satu alternatif sarana transportasi para wisatawan . Dalam kaitannya dengan
kegiatan investasi, risiko yang berpotensi menjadi penghambat adalah ketersediaan infrastruktur di KTI yang
10
relatif minim. Beberapa provinsi di KTI bahkan memiliki rasio elektrifikasi yang masih rendah . Pada sektor
pertanian, wacana penetapan bea keluar biji kakao dalam jangka pendek dapat menjadi faktor disinsentif
untuk memproduksi kakao, meski dalam jangka menengah-panjang akan mendorong industri olahan kakao di
tanah air.
7
8
Peraturan Meteri Perhubungan No. PM-91 tahun 2014 tentang Mekanisme Formulasi Penghitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas
Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri (Perubahan kedua atas Peraturan Menteri
Perhubungan No. PM-51 tahun 2014.
10
Rasio elektrifikasi tahun 2013 yang berada di bawah 70% antara lain di NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan
Papua Barat (Statistik Ketenagalistrikan 2014, Kemeterian ESDM)
L a p o r a n N u s a n t a r a | 68
Prospek Inflasi
Inflasi pada tahun 2015 diproyeksikan akan lebih rendah dari tahun 2014 (8,31%, yoy) dan berada di kisaran
4,60% - 5,10% (yoy). Dengan demikian, inflasi pada akhir 2015 akan berada dalam rentang sasaran inflasi
nasional sebesar 4% 1% (yoy). Penurunan tingkat inflasi dipengaruhi oleh membaiknya ketersediaan pangan
seiring dengan pertumbuhan produksi yang diperkirakan lebih baik dibandingkan dengan tahun 2014. Selain
itu, tekanan inflasi administered prices diperkirakan relatif terbatas pasca penurunan harga BBM di Januari
2015. Hal tersebut diperkirakan akan ikut memberikan dampak lanjutan pada penurunan harga barang di akhir
triwulan I 2015 sebagaimana hasil survei ekspektasi pedagang yang cenderung mengalami penurunan. Pada
komponen inflasi inti, laju inflasi diperkirakan akan relatif terkendali sepanjang tidak ada gejolak kenaikan
harga emas yang signifikan. Secara spasial, tren penurunan laju inflasi akan terjadi merata di seluruh KTI.
Dalam rangka mendorong pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, program kerja TPID pada tahun 2015 akan
difokuskan untuk mendorong kegiatan produksi sebagaimana agenda Pemerintah untuk menjadikan Indonesia
swasembada pangan, serta perbaikan distribusi pangan termasuk mendorong efisiensi tata niaga melalui
penguatan kerja sama perdagangan antardaerah.
Indeks
Ekspektasi Penghasilan
Indeks
155
150
202
200
198
196
194
192
190
188
186
184
182
145
140
135
130
125
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
2013
2014
2015
100.15
100.10
100.05
100.00
99.95
99.90
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
2013
2014
2015
Namun, beberapa risiko tetap perlu diwaspadai khususnya dalam rangka upaya pengendalian inflasi di daerah.
Pada awal 2015, risiko harga pangan khususnya beras diperkirakan masih akan membayangi sampai dengan
periode panen raya yang diperkirakan puncaknya pada bulan April-Mei 2015. Hal ini tercermin dari pergerakan
harga beras yang masih terus meningkat sampai dengan Januari 2015. Selanjutnya masih terkait harga beras,
keputusan Pemerintah untuk menaikan harga pokok penjualan (HPP) beras sebesar 10% berpotensi
mendorong kenaikan harga di tingkat petani yang pada akhirnya akan ditransmisikan sampai dengan level
konsumen. Peningkatan harga beras perlu mendapat perhatian khusus mengingat bobot komoditas tersebut
cukup dominan dalam struktur nilai konsumsi. Selain itu, potensi gangguan distribusi melalui jalur laut
11
diperkirakan masih akan terjadi di sebagian wilayah KTI sampai dengan bulan Februari 2015 . Dengan tingkat
ketergantungan yang tinggi dari pasokan dari wilayah di luar KTI, maka fluktuasi harga sangat rentan terjadi,
tidak hanya karena permasalahan distribusi serta pengelolaan stok, namun juga dimungkinkan adanya motif
spekulasi oleh distributor atau pedagang. Faktor risiko yang lain bersumber dari kelompok administered prices
meskipun relatif terbatas seperti kenaikan tarif angkutan, tarif dasar listrik (TDL), maupun harga LPG 12 kg.
11
Prakiraan tinggi gelombang maksimum di KTI pada bulan Februari pada kisaran 1,5 - 3,5 meter (BMKG).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 69
Laporan Nusantara
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, tertuang bahwa salah satu fokus
pemerintah adalah upaya mempercepat pembangunan infrastruktur guna mendorong pencapaian sasaran
pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas. Untuk mendukung hal tersebut, sebagai langkah awal,
pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian alokasi anggaran belanja negara dalam APBN-P 2015,
yang diperoleh dari pengalihan anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan berbagai upaya
penghematan anggaran belanja kementerian/lembaga. Strategi yang ditempuh oleh pemerintah untuk
mempercepat pembangunan infrastruktur ini memberikan optimisme bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi
nasional di tengah belum menguntungkannya dinamika pemulihan ekonomi global yang masih berjalan
lambat. Namun, agar langkah pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur dapat terlaksana
dengan optimal maka perlu disertai upaya konkrit untuk memitigasi beberapa tantangan kritikal, termasuk
diantaranya penguatan peran daerah dalam implementasi pembangunan infrastruktur dan pemenuhan
kebutuhan pembiayaan.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkualitas
adalah persoalan ketersediaan infrastruktur yang belum cukup memadai. Masih terbatasnya daya dukung
infrastruktur ini merupakan penghambat utama bagi investasi dan menyebabkan inefisiensi perekonomian
karena tingginya biaya logistik. Selain itu, ketimpangan yang masih terjadi antar wilayah tidak terlepas dari
faktor dukungan ketersediaan infrastruktur yang masih belum seimbang. Pada gilirannya ketimpangan ini
menyebabkan perekonomian nasional terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, khususnya di Kawasan
Barat Indonesia.
Dalam berbagai publikasi peringkat daya saing yang dirilis oleh lembaga internasional, daya dukung
infrastruktur Indonesia merupakan salah satu persoalan utama yang disoroti oleh para pelaku usaha global
dalam berinvestasi di Indonesia. Pada publikasi Global Competitiveness Index (GCI) 2014-2015 menunjukkan
peringkat daya saing infrastruktur Indonesia berada pada posisi 56, masih berada di bawah negara-negara
1
kawasan seperti Malaysia (peringkat 29), Thailand (peringkat 25), dan Singapura (peringkat 2) . Hal senada
juga tercermin dari peringkat logistik (Logistic Performance Index, LPI) yang dirilis oleh World Bank pada 2014
yang menempatkan Indonesia berada pada posisi 53 atau hanya sedikit lebih baik dibandingkan posisi Filipina
(peringkat 57), namun tertinggal cukup jauh bila dibandingkan dengan Vietnam (peringkat 48), Thailand
2
(peringkat 35), dan Malaysia (peringkat 25) . Masih terbatasnya daya dukung infrastruktur ini pada gilirannya
menyebabkan inefisiensi ekonomi. Hal ini antara lain tercermin dari pangsa biaya logistik terhadap PDB yang
3
mencapai 27%, jauh berada di atas negara-negara kawasan seperti Singapura, Thailand, maupun Vietnam .
Dalam kondisi tersebut, tak pelak diperlukan langkah konkrit dalam mempercepat implementasi
pembangunan infrastruktur, jika Indonesia tidak ingin lebih tertinggal di saat implementasi masyarakat
ekonomi Asean. Sehubungan itu, kentalnya nuansa pembangunan infrastruktur pada RPJMN 2015-2019 yang
lalu dituangkan pada APBN-P dan Rencana Kerja Pemerintah tahun 2015 merupakan langkah perlu, namun
belumlah memadai. Diperlukan langkah-langkah kongkrit termasuk koordinasi berbagai institusi di Pusat1
2
3
Laporan Nusantara| 71
Daerah guna memastikan keberlanjutan agenda pembangunan infrastruktur tersebut. Pada 2015, penekanan
pengembangan infrastruktur difokuskan mendukung pertumbuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan
kewajiban dasar, serta pembangunan infrastruktur konektivitas.
Kebijakan pemerintah untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur menjadi salah satu isu pokok
yang diangkat pada Laporan Nusantara kali ini. Hal ini mengingat bahwa upaya percepatan pembangunan
infrastruktur menjadi sebuah momentum yang memberikan optimisme bagi pencapaian pertumbuhan
ekonomi nasional ditengah dinamika pemulihan perekonomian global yang berjalan lebih lambat dari yang
diprakirakan. Penguatan daya dukung infrastruktur nasional merupakan bagian penting dari reformasi
struktural yang akan memastikan terjaganya stabilitas harga untuk kesinambungan pencapaian pertumbuhan
ekonomi. Pada bagian ini akan memberikan gambaran mengenai arah prioritas percepatan pembangunan
infrastruktur dalam perspektif spasial dan tantangan yang dihadapi, termasuk langkah mitigasi yang dapat
dilakukan serta dukungan peran Bank Indonesia di daerah yang dapat dilakukan sesuai koridor kewenangan
yang dimilikinya.
Konsep "tol laut" adalah penyelenggaraan angkutan laut secara tetap dan teratur yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan hub
disertai feeder dari Sumatera hingga ke Papua.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 72
Selanjutnya, dalam pencapaian kedaulatan pangan, dukungan infrastruktur terkait ketersediaan air merupakan
faktor utama bagi peningkatan kapasitas produksi pertanian. Kebijakan ketahanan air nasional diarahkan pada
peningkatan kapasitas penyediaan air dan perlindungan ekosistem pendukungnya baik untuk pemenuhan
kebutuhan sehari-hari (kebutuhan domestik) maupun untuk mendukung pembangunan pertanian, produksi,
energi, industri dan lain-lain. Dalam kaitan ini pemerintah menargetkan peningkatan efektivitas dan
ketersambungan jaringan irigasi dan sumber air serta pembangunan jaringan baru, termasuk melalui
pembangunan waduk untuk mendukung ketersediaan air irigasi. Pada periode 2015-2019, pemerintah
menargetkan untuk membangun 1 juta hektar jaringan irigasi baru dan rehabilitasi 3 ratus ribu hektar jaringan
irigasi permukaan, air tanah, dan rawa, serta pembangunan 49 waduk dengan 21 diantaranya dimulai pada
tahun 2015 (Gambar V.2).
Sementara itu, pembangunan infrastruktur terkait energi diharapkan menjembatani kondisi belum meratanya
ketersediaan energi antar daerah. Data rasio elektrifikasi menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara di
Jakarta dengan 95% rumah tangganya telah memiliki akses sambungan listrik dengan rumah tangga di Papua
5
Barat yang baru sekitar 27% rumah tangganya telah tersambung dengan akses listrik . Kondisi belum
meratanya akses sambungan listrik ini tidak terlepas dari masih terbatasnya kapasitas pembangkit listrik. Di
Kalimantan, persoalan ketersediaan pasokan listrik semakin nyata dialami di daerah-daerah terpencil
perbatasan, seperti Entikong (Kalimantan Barat dan Sarawak). Demikian halnya dengan di Sumatera yang
menghadapi persoalan dari defisit pasokan listrik yang kerap terjadi dan konektivitas jaringan yang belum
menjangkau seluruh wilayah.
Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur diperlukan untuk memperkuat aksesibilitas dan daya dukung
ketersediaan energi. Hal ini dilakukan antara lain melalui pembangunan pembangkit listrik baru maupun
meningkatkan kapasitas pembangkit yang telah ada dan perluasan cakupan wilayah pembangunan transmisi
listrik dengan disertai upaya untuk melakukan konversi sumber energi pembangkit listrik dari BBM menjadi
non-BBM dan mendorong pemanfaatan potensi sumber daya air untuk PLTA. Hingga akhir tahun 2019,
L a p o r a n N u s a n t a r a | 73
Pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi nasional mencapai 96,6% dengan dukungan kapasitas terpasang
pembangkit listrik 86,6 GW atau meningkat 35.900 MW dari kondisi di 2014, antara lain melalui pembangunan
pembangkit listrik baru. Penambahan kapasitas listrik baru ditargetkan mulai meningkat secara bertahap mulai
tahun 2016, sementara pada tahun 2015 difokuskan pada perluasan jaringan distribusi kelistrikan dengan
target perbaikan rasio elektrifikasi menjadi sekitar 85% (dari kondisi di 2014 yang sebesar 81,6%).
URAIAN
APBN
APBNP
A. PENDAPATAN NEGARA
I. PENDAPATAN DALAM NEGERI
1. Pendapatan Perpajakan
2. Pendapatan Negara Bukan Pajak
II. PENDAPATAN HIBAH
1.793,6
1.790,3
1.380,0
410,3
3,3
1.761,6
1.759,3
1.489,3
269,1
3,3
(31,9)
(32,0)
109,3
(141,3)
0,1
B. BELANJA NEGARA
I. BELANJA PEMERINTAH PUSAT
1. Belanja KL
2. Belanja Non KL
a. Pembayaran Bunga Utang
b. Subsidi
(1) Subsidi Energi
- Subsidi BBM, LPG & BBN'
- Subsidi Listrik'
(2) Subsidi Non Energi
II. TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA
2.039,6
1.392,4
647,3
745,1
152,0
414,7
344,7
276,0
68,7
70,0
647,0
1.984,1
1.319,5
795,5
524,1
155,7
212,1
137,8
64,7
73,1
74,3
664,6
(55,3)
(72,9)
148,2
(221,1)
3,8
(202,6)
(206,9)
(211,3)
4,5
4,3
17,6
C. KESEIMBANGAN PRIMER
D. SURPLUS DEFISIT ANGGARAN
% Defisit terhadap PDB )*
E. PEMBIAYAAN (I + II)
I. PEMBIAYAAN DALAM NEGERI
II. PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (neto)
Selisih
(93,9)
(66,8)
27,2
(245,9)
(2,2)
(222,5)
(1,9)
23,4
245,9
269,7
(23,8)
222,5
242,5
(20,0)
(23,4)
(27,2)
3,8
Tambahan belanja Kementerian/Lembaga sebesar Rp148,2 triliun dialokasikan untuk program prioritas, yakni
pembangunan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan kewajiban
dasar, serta pembangunan infrastruktur konektivitas. Khusus untuk pembangunan infrastruktur, alokasi dalam
APBN-P 2015 mencapai Rp209,9 triliun, meningkat cukup besar dari sebelumnya Rp 149,4 triliun pada tahun
2014 ataupun dibandingkan dengan APBN 2015 yang sebesar Rp155,4 triliun.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 74
Anggaran transfer daerah juga mengalami kenaikan yang cukup besar dari sebelumnya sebesar Rp647 triliun
pada APBN 2015 menjadi Rp664,6 triliun pada APBN-P 2015, yang secara keseluruhan juga diarahkan untuk
pembangunan infrastruktur. Pada komponen dana perimbangan terdapat tambahan Dana Alokasi Khusus
(DAK) untuk program prioritas sebesar Rp23 triliun. Tambahan DAK tersebut difokuskan untuk pembangunan
irigasi, pertanian, perdagangan terutama rehabilitas pasar dan pembangunan sarana pasar, serta transportasi
khususnya yang terkait dengan jalan dan kesehatan. Kenaikan yang cukup besar pada transfer daerah
terutama karena tambahan alokasi dana desa yang naik Rp11,7 triliun menjadi sebesar Rp20,8 triliun. Dana
desa untuk pertamakali dianggarkan pada APBN 2015 sebagai tindaklanjut dari amanat UU No.6 Tahun 2014
6
tentang Desa . Alokasi dana desa juga diarahkan untuk pembangunan infrastruktur dasar inisiatif masyarakat
dengan prioritas pada (1) infrastruktur desa; (2) jalan desa dan prasarana kesehatan desa; (3) sarana dan
prasarana pendidikan (4) sarana dan prasarana ekonomi produktif.
Kebutuhan pendanaan infrastruktur untuk tahun 2015 diperkirakan mencapai Rp236,6 triliun dari total
keseluruhan kebutuhan untuk 2015-2019 sebesar Rp5.519 triliun. APBN diperkirakan memiliki peran kritikal
dengan potensi pendanaan hingga 40,14% dari total perkiraan kebutuhan, sementara pemerintah
menargetkan pola dukungan pembiayaan dari BUMN dan swasta yang akan menyumbang sekitar 50% dari
total kebutuhan pembiayaan infrastruktur 2015 2019. Sementara itu, pendanaan yang bersumber dari
daerah diperkirakan sebesar 9,9% yang diharapkan dialokasikan pada belanja APBD, terutama untuk dukungan
pembangunan infrastruktur jalan, penyediaan air minum, dan transportasi perkotaan.
Dana Desa diialokasikan melalui mekanisme transfer kepada kabupaten/kota. Bupati/walikota mengalokasikan Dana Desa
memperhatikan: jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, tingkat kesulitan geografis.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 75
Kedua, untuk mengatasi besarnya kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur penguatan skema
kerjasama pembiayaan swasta dan pemerintah seperti public-private partnership (PPP) perlu dioptimalkan
dengan meminimalkan permasalahan yang selama ini menjadi kendala bagi PPP seperti ketidakjelasan
pembagian risiko dan koordinasi antara pemerintah dan swasta, serta lamanya tahapan proses persiapan dari
government contracting agencies. Di samping itu, perlu ditempuh strategi yang dapat memberikan insentif
bagi daerah untuk dapat mengalokasikan pangsa belanja daerah dalam APBD yang lebih besar pada belanja
infrastruktur.
Ketiga, perkembangan penyerapan anggaran daerah yang belum menunjukkan perbaikan yang berarti pada
2014 mengindikasikan masih belum optimalnya pengelolaan belanja daerah. Di tengah belum optimalnya
penyerapan anggaran, transfer ke daerah terus meningkat. Selain itu, untuk pengelolaan dana desa perlu
disertai tata kelola yang menjamin akuntabilitas.
Keempat, birokrasi proses pengadaan atau tender yang membutuhkan proses relatif cukup panjang (antara
lain terkait proses kelengkapan dokumen dan proses perijinan bagi proyek kerjasama pihak swastapemerintah) sehingga pelaksanaan atau implementasi pembangunan proyek infrastruktur cenderung baru
optimal pada Triwulan III dan Triwulan IV. Di samping itu, masih terbatasnya daerah yang telah memiliki
aturan mengenai tata ruang turut berkontribusi terhadap implementasi pembangunan infrastruktur di daerah.
Dalam kaitan ini, perlu dilakukan penyesuaian dan atau harmonisasi pengaturan untuk memastikan
keterpaduannya dengan tetap mengedepankan prinsip tata kelola yang baik.
Untuk mendukung agenda pembangunan infrastruktur tersebut di atas dan dalam menghadapi berbagai
tantangan implementasinya, Bank Indonesia akan secara konsisten mengarahkan kebijakannya pada upaya
pencapaian stabilitas makroekonomi dan sasaran inflasi nasional. Bank Indonesia juga akan terus mendorong
dilakukannya reformasi struktural di daerah melalui pembenahan enabling factors dan memantau
implementasi agenda pembangunan ekonomi daerah sesuai RPJMN 2015-2019, serta melakukan applied
research (kajian strategis) untuk mengidentifikasi lebih dalam permasalahan pembangunan di daerah. Selain
itu, upaya untuk memperluas pemanfaatan transaksi non-tunai dan layanan keuangan digital (LKD) akan terus
dilakukan oleh Bank Indonesia untuk memperkuat efisiensi perekonomian nasional dan daerah.
ag
L a p o r a n N u s a n t a r a | 76
Revealed Competitive Advantage (RCA) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur
keunggulan komparatif disuatu wilayah. Pendekatan RCA dilakukan dengan cara mengevaluasi peranan
komoditas tertentu dalam total perdagangan internasional suatu negara. Untuk mengetahui posisi Indonesia
dalam pasar global komoditas perikanan maka dilakukan estimasi indeks RCA berdasarkan data perdagangan
internasional 10 (sepuluh) negara pengekpor komoditas perikanan dunia.
Menggunakan metode RCA tersebut di atas, diperoleh gambaran peta daya saing pasar ekspor produk
perikanan global yang secara umum menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi persaingan yang cukup besar.
Dari negara-negara se-kawasan Asia, persaingan ekspor perikanan terjadi antara Indonesia dengan Vietnam,
Thailand dan India (Grafik 3). Vietnam memiliki daya saing yang paling tinggi di antara 10 negara pengekpor
utama perikanan, kemudian diikuti Chile dan Norwegia. Dalam kurun waktu 1995 hingga 2013, daya saing
Indonesia cenderung menurun dan ditempel ketat oleh India dan Kanada. Bila dilihat berdasarkan kelompok
komoditas ekspor perikanan (Grafik 4), penurunan RCA didorong oleh penurunan daya saing ekspor
komoditas hewan laut berkulit lunak yang memiliki nilai ekspor cukup besar. Namun, untuk kelompok hewan
laut yang berkulit lunak yang diolah posisi Indonesia masih memiliki daya saing yang cenderung meningkat.
Tingginya daya saing perikanan negara se-kawasan, Vietnam, didorong oleh kualitas infrastruktur yang
mendukung kinerja industri perikanan, yaitu pelabuhan perikanan yang memiliki prasarana industri perikanan
yang memadai antara lain berupa cold storage/ice plant serta dukungan pemerintah bagi investasi swasta di
industri pendukung perikanan ditingkat hulu hingga hilir. Sementara dari sisi pemasaran, pemerintah
memfasilitasi penerapan standar baku sertifikasi produk sesuai dengan standar global serta melakukan
promosi perdagangan internasional.
1
2
Disusun oleh: MHA.Ridhwan, Yenny Fridayanti dan Rakhmat Pratama, peneliti ekonomi DKEM, Bank Indonesia
Metode perhitungan RCA merujuk pada indeks Balassa yaitu:
1 =
dengan:
L a p o r a n N u s a n t a r a | 84
Indonesia
Vietnam
Thailand
33 unit
>80 unit
136 unit
580 unit
n/a
46 unit
*)
196.550 unit
1.731 unit
29.358 unit
Jumlah Kapal Motor Terdaftar >= 50
3.190 unit
523 unit
gross ton
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Department of Fisheries, Thailand, FAO Fishery Country Profile
*) termasuk milik industri pengolahan
L a p o r a n N u s a n t a r a | 85
Pembangunan maritim menjadi salah satu agenda prioritas Pemerintah yang tertuang dalam visi
pembangunan Presiden Jokowi (Nawa Cita) dan RPJMN 2015 -2019. Latar belakang pembangunan maritim
didasari oleh tujuan untuk mendukung pencapaian cita-cita nasional, yaitu kesejahteraan seluas-luasnya yang
mengandung makna pemerataan pembangunan. Selain itu, pembangunan maritim juga dimaksudkan untuk
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dengan memanfaatkan SDA dan menjaga kedaulatan
1
negara terutama di batas luar wilayah negara yang sebagian dibatasi oleh laut. Paradigma pembangunan
yang pada beberapa dekade terakhir lebih berorientasi ke arah daratan (land-based-development), telah
menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan dengan tertinggalnya wilayah pesisir dan kepulauan dari sisi
tingkat kemajuan ekonomi. Secara spasial, disparitas tingkat ekonomi tercermin antara wilayah sisi barat
(Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) dan sisi timur Indonesia yang lebih didominasi oleh daerah kepulauan.
Dalam agenda pembangunan maritim, terdapat empat aspek pembangunan yang akan menjadi fokus utama,
yakni pembangunan kedaulatan maritim, pengelolaan SDA dan jasa, pembangunan infrastruktur, dan
penguatan SDM, Iptek, dan budaya. Dari sisi pembangunan kedaulatan maritim, penguasaan sepenuhnya atas
wilayah kelautan menjadi prioritas, yang menjadi landasan bagi pengoptimalan potensi maritim di masa
mendatang. Dalam kaitan tersebut, penegakan hukum maritim sesuai konvensi internasional dan penjagaan
keamanan menjadi arah program Pemerintah. Sementara itu, pengelolaan SDA dan jasa ditujukan untuk
mengoptimalkan keseluruhan faktor SDA baik sumber daya hayati, mineral, energi, dan kepariwisataan dengan
tetap mengutamakan kelestarian lingkungan. Adapun pembangunan infrastruktur menjadi prasyarat utama
keberhasilan pembangunan maritim yang menjadi program prioritas pada RPJMN 2015 2019. Pembangunan
infrastruktur maritim didukung dengan adanya realokasi anggaran APBN, sejalan dengan meningkatnya ruang
fiskal pemerintah pasca penghapusan subsidi BBM. Pembangunan infrastruktur maritim juga diarahkan
terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah dan sistem logistik nasional. Aspek terakhir dari agenda
pembangunan maritim adalah penguatan SDM dan Iptek sebagai faktor enablers yang penting, khususnya
dalam rangka peningkatan produktivitas.
1
Presiden Jokowi mendeklarasikan Indonesia sebagai poros maritim dunia pada ajang KTT Asia Timur di Nay Pyi Taw, Myanmar, Kamis 13
November 2014.
Laporan Nusantara| 77
Cerminan dari keseriusan dalam pembangunan maritim diwujudkan melalui penetapan target indikator
pembangunan di 2019. Dari sejumlah sasaran pembangunan maritim, pembangunan konektivitas nasional dan
pengembangan ekonomi kelautan terutama yang mendukung sektor perikanan menjadi fokus dari
2
pembahasan isu khusus ini. Pembangunan konektivitas difokuskan pada pengembangan pelabuhan, moda
3
transportasi laut yang terintegrasi dengan dukungan industri galangan kapal. Sementara pembangunan
ekonomi kelautan difokuskan pada peningkatan hasil perikanan dan pengembangan pelabuhan perikanan.
Terdapat pula target untuk meningkatkan luas kawasan konservasi laut yang diharapkan dapat mendukung
optimalisasi ekonomi kelautan di masa mendatang.
Tabel VI.2. Target Pembangunan Maritim
INDIKATOR
2014
(Baseline)
2019
--
24
210
15 unit
270
76 unit
22,4
21 unit
15,7 juta ha
40-50
23 unit
20 juta ha
Ekonomi kelautan (marine economy) adalah adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan
ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang
dibutuhkan umat manusia (Dahuri, 2003; Kildow, 2005). Sementara ekonomi maritim (maritime economy) selain dari aspek ekonomi
kelautan, juga mencakup transportasi laut, galangan kapal, konstruksi dan operasional pelabuhan, industri dan jasa terkait lainnya.
(Stopford, 2004)
3
Dari total jumlah galangan kapal yang mencapai hampir 200 industri, sebagian besar berlokasi di kawasan Sumatera dan Kalimantan
(Iperindo, 2013). Setiap tahunnya dibutuhkan sekitar Rp 21,5 T untuk pengadaan kapal dari berbagai jenis yang sebagian besar juga masih
harus dipenuhi melalui impor.
4
Berdasarkan estimasi, nilai ekonomi dari sektor perikanan termasuk industri pengolahan hasil perikanan mencapai sekitar 200 milyar
USD tiap tahunnya atau sekitar 16,7% dari total nilai ekonomi sektor maritim (IPB)
5
Hal ini mendukung pertumbuhan PDB sektor perikanan yang lebih tinggi daripada subsektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir.
Secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir, PDB sektor perikanan tumbuh sebesar 6,7% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PDB
subsektor pertanian sebesar 6,2% (yoy).
L a p o r a n N u s a n t a r a | 78
Tingkat
Pemanfaatan
(%)
73 - 82
40
10,95
16
30,17
20,95
21
19.57
18
15
11.66
13.64
12
9
6
3
7.93
15.5
13.7
9.68
6.28
5.38
5.71
5.83
5.86
2010
2011
2012
2013
Sumber: BPS
Grafik VI.2. Pangsa Produksi Ikan Tangkap
Potensi yang cukup besar juga terindikasi pada ekspor hasil perikanan yang cenderung tumbuh meningkat
6
dalam 5 tahun terakhir, sejalan dengan masih tingginya permintaan global. Saat ini, ekspor hasil perikanan
menyumbang sekitar 17% dari total gabungan ekspor produk pertanian dan perikanan. Meski sumbangan
demikian, pada saat yang bersamaan daya saing ekspor perikanan Indonesia justru mengahdapi tantangan
yang semakin besar. Estimasi yang dilakukan dengan mengunakan pendekatan Reveald Competitive Advantage
bahkan mengindikasikan adanya kecenderungan melambatnya daya saing ekspor perikanan nasional
dibanding beberapa negara kompetitor seperti Vietnam, Chile, Netherland, dan Thailand. (Lihat Boks Daya
Saing Sektor Perikanan Indonesia). Dalam kaitan ini, maka agenda pembangunan maritim dan khususnya
pengembangan sektor perikanan dengan fokus peningkatan nilai tambah, memberikan harapan bagi
peningkatan ekspor di sektor perikanan untuk menjadi sumber penghasil devisa negara ke depan.
Secara spasial, persebaran ekspor produk perikanan menunjukkan dominasi Indonesia wilayah barat,
meskipun produksi perikanan tangkap terbesar berasal dari KTI. Hal ini terkait dengan ketimpangan dari
7
persebaran unit pengolahan ikan, yang sebagian besar berada di kawasan Jawa . Lebih memadainya fasilitas
logistik dan infrastruktur pendukung di kawasan Jawa, khususnya dengan adanya pelabuhan ekspor dan
industri pengolahan hasil perikanan menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Dalam kaitan tersebut, lokasi
sentra industri pengolahan perikanan menjadi epicenter pendorong kemajuan kewilayahan dari sisi ekonomi
kelautan, yang mana perbaikan sistem logistik dan penyediaan infrastruktur menjadi prioritas.
Estimasi FAO (2011) mengindikasikan kenaikan permintaan dari China dan India, terkait dengan peningkatan konsumsi ikan sebagai
sumber protein.
7
Di kawasan Jawa sendiri juga dapat diidentifikasi kesenjangan aglomerasi ekonomi di sektor perikanan antara pantai utara dan selatan
Jawa. Hal ini merujuk pada data indikator PDRB, jumlah dan upah pekerja (Data Olah Sakernas 2012), serta program pengembangan sektor
perikanan.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 79
6.5
5.65
6.0
5.5
4.16
USD Miliar
5.0
4.5
3.93
4.0
3.52
3.5
3.0
2.86
2.5
2.0
2010
2011
Sumber: BPS
Grafik VI.4. Ekspor Produk Perikanan
4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
3.85
3.52
4.16
3.69
2.86
3.44
3.03
2.47
0.39
0.49
0.41
0.47
2010
2011
2012
2013
Nilai Impor
Surplus Perdagangan
Nilai Ekspor
Sumber : BPS
Grafik VI.5. Neraca Perdagangan Hasil Perikanan
Miliar US$
Berbagai tantangan baik dalam jangka pendek maupun struktural dalam pembangunan maritim menjadi fokus
perhatian utama ke depan. Secara umum, hasil survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia tahun 2015 kepada
para pelaku usaha di sektor perikanan mengindikasikan isu infrastruktur merupakan permasalahan terbesar
8
yang menghambat perkembangan sektor perikanan . Berikutnya adalah permasalahan perijinan dan
pembiayaan, regulasi dan ketegasan hukum (khususnya terkait illegal fishing). Sementara itu, kapasitas
produksi, SDM, dan perpajakan yang juga menjadi faktor daya saing juga dinilai pelaku usaha sebagai masalah
dengan tingkatan yang lebih rendah. Terkait dengan faktor daya saing, tantangan utama adalah pada
kemampuan utk bersaing secara global dengan meningkatkan nilai tambah dari produk ekspor sektor
perikanan. Hilirisasi sektor perikanan dengan pembangunan sentra industri pengolahan perlu menjadi fokus
perhatian ke depan. Secara spasial, tantangan atau permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan maritim
berbeda antar kawasan dengan adanya perbedaan kondisi infrastruktur, regulasi lokal, dan enablers.
Sebagian besar permasalahan infrastruktur dikaitkan dengan kondisi pelabuhan, dermaga, akses trasnportasi
(jalan), serta prasarana pendukung. Buruknya kondisi infrastruktur berdampak pada peningkatan biaya,
khususnya biaya transport yang harus ditanggung pelaku usaha perikanan tangkap. Hal ini terutama menjadi
8
Survei dilakukan ke 122 pelaku usaha yang sebagian besar perusahaan PMDN (84%) dengan profil perusahaan besar, menengah, dan
kecil masing-masing 52%, 31%, dan 17%. Adapun orientasi penjualan dari perusahaan yang disurvei adalah untuk ekspor (62%) dengan
sistem kontrak (34%). Berdasarkan lokasi, survei ke perusahaan di kawasan Jawa mewakili 48% dari total responden, disusul dengan KTI
sebesar 39%, dan kawasan Sumatera sebesar 12%.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 80
Jatim
masalah di KTI, yang mana sejumlah kapal ikan dengan ijin penangkapan di wilayah timur Indonesia harus
membawa hasil tangkapan ke pelabuhan perikanan di kawasan Jawa (khususnya Jawa Timur). Tidak
memadainya ketersediaan energi (listrik dan BBM) juga menjadi penghambat pada sektor perikanan di KTI,
termasuk dalam pengembangan sentra industri pengolahan perikanan. Hasil survei ke pelaku usaha cenderung
mengindikasikan pengoptimalan infrastruktur yang telah ada dengan perbaikan baik fisik maupun operasional
(manajemen). Selain itu, kebijakan pembangunan zona industri pengolahan perikanan berorientasi ekspor
yang selaras dengan sistem logistik nasional perlu didorong, dalam rangka efisiensi biaya logistik dan
mempercepat integrasi ke rantai suplai domestik maupun global.
Pengukuran indeks konektivitas menunjukkan bahwa saat ini konektivitas seluruh wilayah provinsi di KTI masih
berada jauh di bawah Provinsi Jawa Timur yang dijadikan basis referensi pengukuran indeks. Hal ini
berimplikasi pada tingginya tarif transportasi laut yang juga berpengaruh pada tingkat harga tinggi di KTI serta
tidak mudahnya pelaksanaan ekspor impor secara langsung dari KTI ke negara mitra dagang. Masih relatif
rendahnya skala ekonomi dengan minimnya pengembangan sentra perikanan di KTI, juga menyebabkan biaya
logistik untuk pengiriman barang ke wilayah timur Indonesia harus memperhitungkan pula keterbatasan
volume angkut balik ke kawasan Jawa yang menjadi beban biaya.
Grafik VI.8. Isu Bidang Maritim yang Dihadapi Pelaku Usaha Survei Bank Indonesia, 2015
L a p o r a n N u s a n t a r a | 81
Para pelaku usaha di sektor perikanan mengindikasikan bahwa permasalahan perijinan terutama pada
prosedural pengurusan ijin dan dokumen ekspor juga menjadi isu yang masih dihadapi pelaku usaha. Terdapat
ekspektasi pelaku usaha pada pelayanan perijinan satu pintu yang dapat mempercepat pengurusan ijin dan
dokumen ekspor-impor. Hal ini juga ditunjang dengan perbaikan operasional manajemen kepelabuhan yang
akan mempersingkat waktu bongkar muat, sehingga efisiensi biaya logistik dapat tercapai. Terkait dengan hal
tersebut, penyediaan kelengkapan pelabuhan seperti crane dan moda transport perlu menjadi perhatian.
Adapun masalah pembiayaan terkait dengan minimnya akses dan opsi skema kredit. Hal ini dipengaruhi oleh
rendahnya skala ekonomi, minimnya kemampuan pelaku usaha sektor perikanan dalam berhubungan dengan
perbankan, serta terbatasnya opsi skema kredit yang ditawarkan. Dalam kaitan tersebut, peningkatan skala
ekonomi menjadi prioritas dengan dukungan perbaikan infrastruktur, produktivitas serta kapasitas produksi.
Peningkatan kapasitas dalam manajemen pengelolaan keuangan serta penyampaian informasi terkait akses
dan skema kredit perbankan juga perlu dilakukan. Khusus untuk mendukung pembiayaan melalui akses
perbankan, dukungan melalui program penjaminan kredit dapat dilakukan oleh pemerintah.
Grafik VI.9. Ekspektasi Pelaku Usaha pada Pembangunan Maritim Survei Bank Indonesia, 2015
Terbatasnya kapasitas produksi sektor perikanan terkait dengan minimnya jumlah kapal penangkap ikan dan
faktor enablers yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi serta produktivitas. Jumlah kapal penangkap
ikan yang masih rendah, khususnya untuk kapal dengan kapasitas dan kelengkapan memadai, menjadi
tantangan pada peningkatan kapasitas produksi sektor perikanan. Saat ini harga kapal yang diproduksi dalam
9
negeri masih lebih tinggi dari impor, sehingga perkembangan galangan kapal juga belum cukup optimal.
Insentif pajak untuk memfasilitasi pengembangan galangan kapal di daerah non FTZ yang cukup dominan di
kawasan Jawa dan Sumatera, juga belum diberikan. Terkait dengan pembiayaan, isu yang dominan adalah
10
fleksibilitas ketentuan tentang penjaminan kapal ke perbankan. Adapun faktor ketersediaan stasiun
pengisian dan ketersediaan pasokan BBM juga menjadi kendala di sebagian wilayah di KTI.
Faktor enablers yang dibutuhkan sektor perikanan, khususnya kapasitas SDM dan optimalisasi Iptek menjadi
tantangan ke depan. Peningkatan kapasitas SDM dan optimalisasi Iptek khususnya untuk mendukung
peningkatan produktivitas baik pada perikanan tangkap maupun budi daya. Pelatihan dan pendampingan
menjadi kunci dari peningkatan SDM yang berkualitas dan memiliki penguasaan Iptek di bidang perikanan.
9
Komponen domestik dari pembuatan kapal dalam negeri hanya berkisar 30% yang berpengaruh pada tingginya ketergantungan impor
dan risiko dari sisi nilai tukar (Sumber : Iperindo). Selain itu, juga terdapat masalah pada kertersediaan spare-part kapal dengan harga yang
terjangkau.
10
Kontribusi kredit perbankan dalam mendukung pengembangan perkapalan masih sangat rendah (pangsa kredit hanya 0,17% dari total
kredit yang disalurkan ke sektor industri). Disparitas suku bunga kredit industri yang disalurkan ke perusahaan galangan kapal di kawasan
Jawa juga terindikasi masih cukup lebar.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 82
Adanya kebutuhan untuk menjaga mutu dan keamanan hasil perikanan melalui sertifikasi internasional, juga
menjadi alasan diperlukannya peningkatan kapabilitas SDM. Dalam rangka mengupayakan perbaikan faktor
enablers tersebut, Bank Indonesia juga turut berpartisipasi melalui pengembangan klaster, kewirausahaan,
dan program pendampingan finansial inklusi.
Meski terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi, agenda pembangunan maritim perlu terus didukung dan
dikawal dalam pelaksanaannya. Selain di tingkat pusat yang merencanakan dan mengimplementasikan
kebijakan, sebagian dukungan juga diperlukan dari daerah. Dukungan pada pembangunan infrastruktur
strategis menjadi hal yang paling krusial agar agenda pembangunan maritim dapat berhasil dijalankan dalam 5
tahun ke depan. Perbaikan kualitas layanan publik secara luas dan yang khususnya mendukung agenda
pembangunan maritim juga perlu didorong. Terkait dengan pengaturan regulasi lokal, perlu diupayakan
kebijakan yang lebih transparan dan bersifat stimulus (insentif) bagi dunia usaha di bidang maritim, khususnya
pada sektor perikanan.
Indeks provinsi di KTI < 30
Sulut = 29.43
Biaya = Rp20,9 Juta
Malut = 16.32
Biaya = Rp23,1 Juta
Sulteng = 18.04
Biaya: 18,9 Juta
Sorong = 24.14
Biaya = Rp24,1 Juta
Manokwari = 15.40
Biaya = Rp27,5 Juta
Jayapura = 16.16
Biaya = Rp24,9 Juta
Maluku = 20.35
Biaya = Rp20,5 Juta
Sulsel = 28.19**)
Biaya = Rp9,9 Juta
Sultra = 13.90
Biaya = Rp15,26 Juta
Bali = 26.35
Biaya = Rp 12 Juta
NTB = 12.10
11
*) Jawa Timur digunakan sebagaireferensipelabuhan yang sudah cukup terkoneksiyang mampu melakukan kegiatan ekspor& impor.
**) Perhitungan indeks dilakukan dengan mengadopsi indeks konektivitas World Bank. Metode perhitungan adalah dengan mengukur
gap antara daerah referensi dengan daerah perhitungan. Indeks = ((Xi/Xiref))/n)*100 ; Xi = nilai indikator i daerah yang dihitung,
Xiref : nilai indikator i daerah referensi
ag
11
Setiap provinsi diukur indeks konektivitasnya berdasarkan komponen indicator sebagai berikut : ukuran kapal yang bisa memasuki
pelabuhan, jumlah crane kapasitas 30-50 ton, jumlah perusahaan kontainer yang melayani pengiriman ke pelabuhan tersebut, kapasitas
kkapal serta waktu bongkar muat.
L a p o r a n N u s a n t a r a | 83
Laporan Nusantara
Koordinator Penyusun
Kiki Nindya Asih
Tim Penulis
Departemen Kebijakan
Ekonomi dan Moneter
Departemen Regional I
(Sumatera)
Departemen Regional II
(Jawa)
Departemen Regional III
(Kalimantan)
Departemen Regional IV
(Sulampua Bali Nusra)
:
:
Handri Adiwilaga
M. Cahyaningtyas
Neva Andina
Darius Tirtosuharto
Puput Kurniati
Maximilian T. Tutuarima
Nurul Pratiwi Andi Parenrengi
Febby Leorisa
Septine Wulandini
Komalia Rahmayani
Rizki Fitrama
Adela Putri Rizkia
Bernad Hasiholan
Anita Pratiwi (KPwDN Provinsi Kalimantan Selatan)
Evy Marya Deswita Siburian
Andree Breitner Makahinda
Laporan Nusantara
L a p o r a n N u s a n t a r a | 134