Anda di halaman 1dari 90

Februari 2015

VOLUME 10 NOMOR 1

Daftar Isi

Kata Pengantar

Bagian I

Ringkasan Perkembangan Terkini dan Prospek Ekonomi Daerah

Bagian II

Perekonomian Sumatera

13

Bagian III

Perekonomian Jawa

49

Bagian IV

Perekonomian Kalimantan

99

Bagian V

Perekonomian Kawasan Timur Indonesia

Bagian V

Isu Khusus Daerah

139

Isu Khusus 1: Strategi Pembangunan Infrastruktur Daerah


Isu Khusus 2: Agenda Pembangunan Maritim

139
144
147
150

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi:


Bank Indonesia
Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter
Grup Asesmen Ekonomi
Divisi Asesmen Ekonomi Regional
Ph. 021-29818119, 29818868
Fax. 021-3452489, 2310553
Laporan Nusantara

|1

Bank Indonesia mempertimbangkan berbagai aspek dalam proses perumusan kebijakan, termasuk berbagai
dinamika ekonomi dan isu terkini dalam perspektif kedaerahan. Pembahasan menyeluruh mengenai
perkembangan perekonomian terkini dan berbagai isu strategis yang mengemuka di daerah dilakukan secara
periodik antara Dewan Gubernur dengan para Kepala Departemen Regional yang mewakili 4 (empat) wilayah
1
di seluruh Indonesia dan/atau Kepala Kantor Perwakilan BI di daerah. Hasil dari pembahasan dimaksud
menjadi bagian penting dalam melengkapi pemahaman Bank Indonesia terhadap kondisi makroekonomi
dengan berbagai aspek risiko yang berkembang.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia pada triwulan IV 2014 menunjukkan tandatanda pemulihan dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,01%, meningkat dari 4,92% pada triwulan III
2014. Perbaikan kinerja ekonomi di Jawa yang didukung oleh membaiknya aktivitas di sektor industri
pengolahan merupakan pendorong utama perbaikan perekonomian nasional. Selain itu, membaiknya
perekonomian nasional juga ditopang oleh pertumbuhan ekonomi Kalimantan dan stabilnya perekonomian
Sumatera. Sementara di KTI, pertumbuhan perekonomian masih tertahan karena kontraksi kinerja
pertambangan yang terjadi di beberapa daerah, kecuali beberapa provinsi di Sulawesi yang tumbuh cukup
tinggi didukung oleh kinerja sektor industri pengolahan dan sektor konstruksi. Secara keseluruhan tahun 2014,
perekonomian nasional tumbuh melambat dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 5,03%, lebih rendah
dibandingkan tahun 2013 yang tumbuh 5,58%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi
akibat ketidakpastian dinamika perekonomian global serta ketergantungan yang tinggi sebagian besar wilayah
di Indonesia terhadap ekspor komoditas primer yang kinerjanya pada 2014 masih belum membaik.
Memasuki triwulan I 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan
kinerja perekonomian masih akan berlanjut meskipun masih dibayangi berbagai risiko, baik dari sisi global
maupun domestik. Perbaikan ekonomi diperkirakan terutama terjadi di KTI dan Sumatera yang ditopang oleh
masih kuatnya pertumbuhan ekonomi Jawa. Perekonomian di KTI akan didorong oleh perbaikan aktivitas
pertambangan seiring dengan ekspor mineral yang dapat dilakukan kembali. Sementara itu, perekonomian
Jawa masih didukung oleh perbaikan sektor industri pengolahan seiring dengan perbaikan permintaan ekspor
manufaktur. Di sisi lain, perekonomian di Kalimantan diperkirakan cenderung melambat karena terbatasnya
ekspor batubara. Untuk keseluruhan tahun 2015, perbaikan ekonomi nasional diperkirakan terus berlanjut
sebagaimana tercermin pada agregasi prakiraan pertumbuhan ekonomi daerah yang tumbuh dikisaran 5,45,8%, lebih tinggi dibanding tahun 2014. Optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi daerah juga bersumber
dari langkah strategis pemerintah untuk menempuh beberapa agenda pembangunan infrastruktur yang
diperkirakan akan mampu mengakselerasi investasi dan belanja pemerintah pada tahun 2015.
Di sisi inflasi, laju inflasi pada triwulan IV-2014 meningkat signifikan yakni tercatat sebesar 8,36% (yoy) pada
Desember 2014, dibanding periode September 2014 yang sebesar 4,53% (yoy). Peningkatan inflasi merupakan
dampak dari implementasi kebijakan reformasi energi pada November 2014 dan berkurangnya pasokan
komoditas cabai merah dan beras. Kendala pasokan akibat pergeseran masa panen dan faktor cuaca yang
menghambat produksi dan distribusi mengakibatkan kenaikan harga cabai merah dan beras di sejumlah
daerah melebihi rata-rata tiga tahun terakhir. Peningkatan inflasi terbesar terjadi di wilayah Sumatera, Jakarta
dan Jawa yang melebihi 8%. Namun, perkembangan inflasi sepanjang 2014 secara umum relatif terkendali
dibandingkan tahun 2013. Hal ini tercermin dari sedikit lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 2014
dibanding tahun 2013 yang sebesar 8,38%.
Memasuki tahun 2015, tekanan inflasi tercatat mulai kembali menurun ditandai deflasi yang terjadi di sebagian
besar daerah. Tekanan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 2015 diperkirakan masih cenderung rendah
1

Terhitung sejak 2015, bahasan ekonomi dan keuangan daerah dibagi menjadi 4 (empat) wilayah, yaitu Sumatera, Jawa, Kalimantan dan
Kawasan Timur Indonesia (KTI mencakup Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).

Laporan Nusantara|1

seiring dengan kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan mekanisme subsidi BBM disertai prospek
berlanjutnya penurunan harga minyak di pasar internasional dan mulai masuknya masa panen di berbagai
daerah sentra produksi pangan. Hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat
masih sejalan dengan kisaran sasaran inflasi nasional sebesar 4%1%. Kondisi ini didukung oleh prospek
produksi pangan yang diperkirakan mampu mencatat surplus, kondisi curah hujan yang relatif stabil serta tren
penurunan harga BBM. Meski demikian perlu tetap diwaspadai beberapa risiko yang dapat memberikan
tekanan inflasi di 2015 khususnya terkait dengan kesinambungan jumlah pasokan bahan pangan antar waktu
di tengah estimasi surplus pangan secara tahunan. Mempertimbangkan risiko tersebut, ke depan upaya
pengendalian inflasi di daerah perlu difokuskan untuk meminimalkan dampak dari kebijakan administered
prices, pengelolaan pasokan pangan serta berbagai langkah kebijakan yang perlu ditempuh untuk menjaga
ekspektasi masyarakat agar tetap positif.
Asesmen lengkap mengenai dinamika terkini dan prospek ekonomi daerah diuraikan secara lengkap dalam
buku Laporan Nusantara ini. Laporan Nusantara edisi kali ini juga mengangkat isu khusus terkait dengan
agenda pembangunan infrastruktur nasional dan agenda kemaritiman yang menjadi prioritas agenda
pembangunan di era Kabinet Kerja.
Penyusunan buku Laporan Nusantara dilakukan bersama oleh beberapa satuan kerja di Bank Indonesia, yaitu
Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter, Departemen Regional I (Sumatera), Departemen Regional II (Jawa),
Departemen Regional III (Kalimantan), dan Departemen Regional IV (Sulampua-Bali-Nustra). Akhir kata, kami
berharap buku Laporan Nusantara ini dapat menjadi referensi para pemangku kepentingan dan pemerhati
ekonomi daerah, serta menjadi salah satu kontribusi Bank Indonesia dalam pembangunan ekonomi daerah.

Jakarta, 20 Februari 2015


Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter

Juda Agung
Direktur Eksekutif

Laporan Nusantara|2

PERKEMBANGAN TERKINI EKONOMI DAERAH


Tanda-tanda pemulihan ekonomi nasional mulai tampak pada di triwulan IV 2014 sebagaimana terindikasi
1
dari realisasi pertumbuhan ekonomi yang sedikit meningkat dari 4,92% menjadi 5,01% , terutama didorong
oleh perbaikan kinerja ekonomi Jawa. Perbaikan kinerja ekonomi berbagai daerah di Jawa didorong oleh
membaiknya aktivitas di sektor industri pengolahan sejalan dengan membaiknya kinerja ekspor manufaktur.
Perbaikan kinerja ekonomi juga terjadi di Kalimantan seiring dengan peningkatan aktivitas di sektor
pertambangan meski masih pada level yang rendah karena harga komoditas ekspor yang masih rendah.
Sementara itu, kinerja ekonomi berbagai daerah di Sumatera secara agregat mulai tumbuh stabil ditopang oleh
kinerja perkebunan yang membaik. Sementara itu, kinerja pertumbuhan ekonomi wilayah timur Indonesia
secara agregat masih tertahan karena kontraksi kinerja pertambangan di beberapa daerah di wilayah timur
Indonesia, seperti di Papua, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Meski demikian, capaian
pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah di Sulawesi secara umum masih cukup tinggi. Sulawesi Barat
bahkan dapat mencatat angka pertumbuhan hingga 10,9%, diikuti oleh Sulawesi Tengah (9,5% dan Gorontalo
(8,2%) didukung oleh kinerja sektor pertanian yang cenderung tumbuh meningkat.

Sumber : BPS, diolah


Gambar I.1. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah Triwulan IV 2014

Secara keseluruhan, pada tahun 2014 perekonomian nasional tumbuh melambat dibandingkan tahun
sebelumnya. Perekonomian Indonesia pada tahun 2014 tumbuh sebesar 5,03%, lebih rendah dibandingkan
tahun 2013 yang tumbuh 5,58%. Kondisi ini tidak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi dari dinamika
perekonomian global yang masih diwarnai ketidakpastian yang tinggi. Selain itu, penyesuaian terhadap
1

Badan Pusat Statistik (BPS) mulai menggunakan tahun dasar 2010 dalam menghitung pertumbuhan ekonomi terhitung sejak rilis
pertumbuhan ekonomi Triwulan IV 2014 pada tanggal 5 Februari 2015.

Laporan Nusantara|3

penerapan kebijakan pengendalian ekspor mineral yang diterapkan pada awal tahun 2015 memerlukan proses
konsolidasi perekonomian daerah-daerah yang menjadi basis produksi tambang mineral. Melambatnya
perekonomian di berbagai daerah juga terkait dengan masih tingginya ketergantungan Sumatera, Kalimantan,
dan beberapa daerah di KTI terhadap ekspor komoditas primer yang kinerjanya masih menurun. Beberapa
daerah yang menunjukkan perlambatan ekonomi akibat terbatasnya kinerja sektor berbasis sumber daya alam
(SDA) antara lain Provinsi Aceh, Kalimantan Timur, Riau, dan Papua. Di tengah melambatnya kinerja ekonomi
di daerah-daerah basis produksi SDA, kinerja daerah yang mengandalkan kinerja manufaktur seperti Jawa dan
Jakarta, serta beberapa daerah di Sulawesi masih relatif tumbuh kuat sehingga dapat menahan perlambatan
ekonomi lebih lanjut.

Sumber : BPS, diolah


*Berdasarkan Tahun Dasar 2000
Gambar I.2. Peta Pertumbuhan Ekonomi Daerah 2014

Sejalan dengan perekonomian nasional yang mulai pulih, laju perlambatan kredit di wilayah Jawa, Jakarta,
dan Sumatera pada triwulan IV-2014 tidak setajam triwulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit di berbagai
daerah di Kalimantan secara agregat bahkan terindikasi mulai meningkat. Pertumbuhan penyaluran kredit di
Jawa sebesar 14,73%, tergolong cukup tinggi dibandingkan wilayah lain, mengkonfirmasi kondisi
perekonomian Jawa yang relatif masih terjaga. Sementara itu, penyaluran kredit di Jakarta dan Sumatera pada
2014 masing-masing tumbuh sebesar 9,39%, dan 9,43%. Penyaluran kredit di Kalimantan tumbuh 9,69%, lebih
tinggi dari triwulan III-2014 yang tumbuh 6,85% (yoy). Secara keseluruhan 2014 laju pertumbuhan kredit di
semua wilayah masih melambat, namun disertai dengan tingkat non performing loans (NPL) yang relatif
rendah pada kisaran 1,6% - 3,0%. Secara triwulanan, terdapat indikasi perbaikan risiko kredit, terlihat dari
menurunnya persentase NPL di berbagai daerah dibandingkan dengan kondisi di triwulan III-2014. Namun,
perkembangan harga komoditas di pasar global yang masih cenderung turun perlu diwaspadai sebagai sumber
kerentanan kredit di daerah, khususnya bagi daerah yang perekonomiannya ditopang oleh kinerja komoditas
sumber daya alam (SDA).
Arah perbaikan kinerja perekonomian juga tercermin dari transaksi keuangan melalui sistem pembayaran
non tunai. Sepanjang triwulan IV 2014, transaksi pembayaran yang dilakukan melalui sistem Real Time Gross
Settlement (RTGS) rata-rata sebesar Rp10,42 ribu triliun per bulan, lebih tinggi dibandingkan rata-rata transaksi
RTGS pada periode triwulan sebelumnya yang sebesar Rp8,75 ribu triliun per bulan. Peningkatan aktivitas
transaksi keuangan ini diperkirakan berasal dari perbaikan kinerja sektor manufaktur dan pertanian yang
sedang berlangsung secara gradual.

Laporan Nusantara|4

Di sisi inflasi, setelah cenderung menurun hingga akhir triwulan III 2014, laju inflasi pada triwulan IV-2014
2
meningkat signifikan sebagai dampak implementasi kebijakan kenaikan harga BBM pada November 2014 .
Pada akhir tahun 2014, inflasi tercatat sebesar 8,36% (yoy) naik dibanding periode September 2014 yang
tercatat sebesar 4,53% (yoy). Tekanan kenaikan inflasi paling tinggi tercatat dialami oleh beberapa daerah di
Sumatera - Sumatera Barat bahkan merupakan daerah dengan inflasi tertinggi secara nasional - dan wilayah
Sulampua-Balnustra seperti di Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Dampak kenaikan harga BBM terhadap
kenaikan tarif angkutan, harga komponen kendaraan dan biaya jasa pemeliharaan kendaraan di Sulawesi Utara
dan Maluku Utara lebih besar daripada di daerah-daerah lain. Selain itu, kenaikan inflasi dipicu oleh tekanan
kenaikan harga beberapa komoditas pangan strategis dan sejumlah komoditas pada kelompok inti. Tekanan
kenaikan harga cabai dan beras di sejumlah daerah bahkan cenderung melebihi rata-rata tiga tahun terakhir.
Kondisi ini timbul sebagai dampak rambatan dari kenaikan harga BBM, kendala pasokan karena pergeseran
masa panen, dan faktor cuaca yang menghambat produksi dan distribusi.
Namun, perkembangan inflasi sepanjang 2014 secara umum relatif terkendali dibandingkan tahun 2013. Hal
ini tercermin dari sedikit lebih rendahnya realisasi inflasi di tahun 2014 (8,36%) dibanding tahun 2013 (8,38%).
Relatif lebih terkendalinya inflasi tidak terlepas dari bauran kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia,
disertai intensifnya koordinasi kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan daerah dalam memitigasi risiko inflasi
yang timbul sepanjang 2014. Peran aktif daerah semakin kuat dalam mengendalikan harga-harga kebutuhan
masyarakat khususnya melalui upaya memperkuat sisi produksi pangan dan menjaga kelancaran distribusi.
Berbagai rekomendasi kebijakan yang dihasilkan oleh Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) mulai menyentuh
persoalan struktural yang perlu diatasi segera untuk lebih menjaminnya stabilitas harga seperti masalah tata
niaga produk pangan dan upaya memperluas akses pasar melalui penguatan kerjasama perdagangan antara
daerah.

Gambar I.3. Peta Inflasi Daerah, Januari 2015

Keputusan Menteri ESDM No. 34.PM/11/MEM/2014 tanggal 17 November 2014 tentang Penyesuaian Harga Jual Eceran BBM Bersubsidi,
dengan rincian harga bensin premium dari Rp6.500 per liter menjadi Rp8.500 per liter dan minyak solar dari Rp5.500 per liter menjadi
Rp7.500 per liter.

Laporan Nusantara|5

Memasuki tahun 2015, tekanan inflasi tercatat mulai kembali menurun ditandai deflasi yang terjadi di
sebagian besar daerah. Koreksi harga terjadi sebagai dampak dari kembali dilakukannya penyesuaian
3
kebijakan subsidi BBM yang diikuti dengan penurunan harga jual BBM . Kebijakan ini selanjutnya diikuti
4
adanya penurunan tarif angkutan di berbagai daerah - meski belum seluruh daerah menerapkan penurunan
tarif angkutan. Selain itu, beberapa daerah sentra produksi mulai memasuki masa panen, khususnya untuk
komoditas aneka bumbu, sehingga berdampak pada relatif minimalnya tekanan inflasi pangan. Meski
demikian, beberapa daerah di Kalimantan, Maluku, NTT dan Kepulauan Bangka Belitung mencatat inflasi yang
lebih tinggi dibanding daerah lainnya.

PROSPEK EKONOMI DAERAH DAN TANTANGAN KE DEPAN


Prospek Ekonomi Daerah
Pada triwulan I 2015, berbagai indikator perekonomian daerah mengindikasikan potensi perbaikan kinerja
perekonomian masih akan berlanjut. Perbaikan ekonomi diperkirakan terutama terjadi di KTI dan Sumatera,
disertai masih relatif stabilnya perekonomian Jawa. Sementara itu, perekonomian Kalimantan diperkirakan
kembali tumbuh melambat karena masih lemahnya indikasi perbaikan permintaan ekspor batubara - terutama
dari Tiongkok - serta harga jual yang masih rendah. Potensi meningkatnya kinerja ekonomi KTI didorong oleh
aktivitas pertambangan yang diperkirakan meningkat seiring dengan aktivitas ekspor mineral yang kembali
dapat dilakukan khususnya di Papua dan NTB. Sementara itu, membaiknya perekonomian Sumatera
bersumber dari meningkatnya aktivitas perkebunan didukung adanya perbaikan harga. Kinerja ekonomi Jawa
yang stabil ditopang oleh ekspor manufaktur yang masih akan meningkat seiring dengan semakin solidnya
prospek perbaikan ekonomi Amerika Serikat.
Tabel I.1. Tendensi Arah Perekonomian Daerah Triwulan I 2015*
SUMATERA
Tendensi
Kawasan

Asesmen

JAWA & JAKARTA


Tendensi
Jakarta

Asesmen

KALIMANTAN
Tendensi
Kawasan

Asesmen

TIMUR INDONESIA
Tendensi
Kawasan

Asesmen

Pertumbuhan
Ekonomi

Konsumsi RT

Konsumsi
Pemerintah

Investasi (PMTB)

Ekpektasi konsumen turun, SPE turun,


penjualan kendaraan bermotor
terbatas (liaison )

Kenaikan gaji sektor swasta dan


optimisme peningkatan lapangan
kerja pasca terbentuknya
pemerintahan baru.

Ekspektasi konsumsi menurun

Tingkat pendapatan di sektor utama


meningkat, tekanan harga berkurang,
penjualan eceran tumbuh lebih tinggi

Simpanan pada akhir 2014 masih


tinggi shg diperkirakan akan
dilakukan di awal tahun 2015

Efisiensi belanja rutin pemerintah,


mis: biaya rapat, perjalanan dinas &
belanja pegawai.

Penyaluran DBH lebih baik

Adanya indikasi percepatan proyek


pemerintah yg melalui proses
pelelangan dan proyek pekerjaan
umum, apalagi estimasi penyerapan
anggaran di akhir tahun 2014 belum
optimal

Perbaikan kegiatan usaha (SKDU),


PMDN hingga triwulan IV tumbuh
tinggi

Didominasi investasi non bangunan


(mesin), tindak lanjut transisi
industri ke semi otomatis. Investasi
bangunan didominasi belanja
infrastruktur pemerintah.

Perbaikan iklim investasi

Selesainya proyek beberapa smelter


yang sudah beroperasi serta
optimalisasi kapasitas terpasang
para pelaku usaha

Diperkirakan sejalan perbaikan


industri pengolahan.

Ditopang oleh komoditas ekspor


utama seperti produk tekstil, kimia,
dan produk makanan dan minuman

Penurunan volume ekspor hasil


tambang energi (batubara & migas),
ekspor karet dan CPO tertahan

Ijin ekspor yang telah dikantongi


mendorong ekspor tembaga tumbuh
signifikan

Impor meningkat.

Kenaikan belanja impor mesin


(swasta) & alat angkutan
(pemerintah). Impor bahan baku
meningkat seiring peningkatan
produksi sektor industri dan belanja
infrastruktur pemerintah.

Turunnya permintaan bahan


penolong tambang

Import content meningkat untuk


mendukung kegiatan ekspor dan
menguatnya konsumsi

Ekspor LN

Impor LN

* Prakiraan arah kondisi ekonomi secara tahunan (year-on-year)

Peraturan Menteri ESDM No.4 Tahun 2015 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Kementerian Perhubungan menerbitkan Surat Edaran No.1 Tahun 2015 kepada seluruh Kepala Daerah tentang Penyesuaian Tarif
Angkutan Umum Kelas Ekonomi.

Laporan Nusantara|6

Indikasi pemulihan ekonomi di berbagai daerah pada awal tahun 2015 diperkirakan terus berlanjut sehingga
perekonomian daerah untuk keseluruhan tahun 2015 secara agregat diprakirakan tumbuh di kisaran 5,458%, lebih tinggi dibanding tahun 2014. Semakin solidnya prospek pemulihan ekonomi di AS diperkirakan
memberi dampak yang positif bagi kinerja ekspor manufaktur, terutama dari Jawa. Meski perlu tetap dicermati
imbas dari perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpotensi menahan laju pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.
Selain itu, meningkatnya kinerja sektor manufaktur Jawa juga didukung oleh kembali menggeliatnya
perdagangan antardaerah, seiring dengan membaiknya perekonomian berbagai daerah di timur Indonesia.
Prakiraan meningkatnya kinerja perekonomian Kalimantan dan berbagai daerah di wilayah timur Indonesia
lebih banyak ditopang oleh kembali dapat dilakukannya ekspor mineral dan mulai beroperasinya beberapa
smelter. Meski demikian, prospek harga komoditas di pasar global yang masih cenderung rendah sebagai
imbas dari melambatnya ekonomi Tiongkok merupakan risiko bagi masih terbatasnya peningkatan ekonomi
Kalimantan dan wilayah timur Indonesia.
Optimisme perbaikan pertumbuhan ekonomi daerah juga bersumber dari langkah strategis pemerintah
untuk menempuh beberapa agenda pembangunan. Pada awal tahun 2015, pemerintah telah menetapkan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 sebagai tahapan ketiga dari Rencana Pembangunan
Jangka Panjang 2005-2025. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, prioritas
pembangunan diarahkan antara lain pada kedaulatan pangan, kedaulatan energi, penguatan konektivitas,
serta pengembangan maritim dan kelautan. Dalam kerangka agenda pembangunan tersebut, pemerintah akan
mempercepat pembangunan infrastruktur di berbagai daerah yang akan mulai diinisiasi pada tahun 2015.
Untuk mendukung hal tersebut, sebagai langkah awal, pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian
alokasi anggaran belanja negara dalam APBN-P 2015 yang sebagian besar ditujukan bagi pelaksanaan program
prioritas melalui peningkatan belanja infrastruktur serta peningkatan transfer daerah.
Dari sisi inflasi, tekanan inflasi di berbagai daerah pada triwulan I 2015 diperkirakan masih cenderung
rendah. Gambaran rendahnya inflasi yang terjadi di awal tahun 2015 berpotensi akan berlanjut sepanjang
triwulan I 2015. Kebijakan pemerintah untuk menyesuaikan mekanisme subsidi dan penerapan harga BBM
pada awal Januari disertai prospek berlanjutnya penurunan harga minyak merupakan faktor utama yang akan
menyebabkan minimalnya tekanan inflasi. Rendahnya inflasi juga dipengaruhi oleh penurunan tarif angkutan
meski penurunan tarif yang terjadi terindikasi cenderung lebih rendah dibanding pada saat terjadinya kenaikan
5
November 2014 (downward rigidity) . Selain itu, mulai masuknya masa panen di berbagai daerah sentra
produksi diperkirakan turut berdampak bagi minimalnya tekanan inflasi pangan di triwulan I 2015.
Hingga akhir tahun 2015, prakiraan inflasi di berbagai daerah secara agregat masih sejalan dengan kisaran
sasaran inflasi nasional sebesar 4%1%. Prospek pertumbuhan ekonomi nasional yang secara umum masih
berada di bawah tingkat potensialnya mengindikasikan tekanan dari sisi permintaan diprakirakan masih
moderat. Prospek produksi pangan, khususnya beras, secara tahunan diprakirakan akan mencatat surplus.
Kondisi curah hujan yang relatif stabil dan merata sepanjang tahun, didukung dengan intensifnya kebijakan
pemerintah untuk mengamankan capaian produksi pangan di 2015 diyakini dapat meminimalkan tekanan
inflasi pangan. Potensi kenaikan produksi beras di tahun 2015 terutama dikontribusi oleh kenaikan produksi di
Jawa dan Sumatera. Selain itu, minimalnya tekanan inflasi didukung prakiraan masih cukup rendahnya harga
komoditas di pasar global, khususnya tren penurunan harga BBM.
Meski demikian perlu tetap diwaspadai beberapa risiko yang dapat memberikan tekanan inflasi di 2015.
Kesinambungan pasokan beberapa komoditas pangan seperti daging sapi dan bawang putih masih akan
terbatas, serta pengaruh pola musiman pada sistem pertanian nasional sehingga mengganggu kestabilan
pasokan antar waktu. Prognosa sementara mengindikasikan defisit beras dapat terjadi pada Januari, Mei,
5

Besaran rata-rata penurunan tarif angkutan yang telah ditetapkan hingga akhir Januari 2015, tercatat penurunan yang terjadi secara
rata-rata tertimbang lebih lebih rendah (7,8%) dibanding kenaikannya pada bulan November 2014 lalu (29,1%).

Laporan Nusantara|7

September dan triwulan IV 2015 sebagaimana periode yang sama tahun 2014. Mundurnya panen raya karena
musim kemarau yang terjadi pada akhir 2014 diperkirakan masih akan memengaruhi perkembangan harga
beras setidaknya sampai April 2015. Sama halnya dengan beras, meski produksi aneka cabai dan bawang
merah secara tahunan memadai, namun kestabilan pasokan setiap periode masih sangat rentan. Selain itu,
permasalahan struktur pasar yang terjadi pada perdagangan komoditas pertanian mengakibatkan kebijakan
penetapan harga referensi sebagai acuan pembentukan harga di tingkat konsumen relatif belum efektif,
khususnya pada komoditas cabai dan daging sapi. Beberapa risiko di atas akan memberikan dampak yang
semakin besar apabila tidak ditunjang dengan kelancaran distribusi pangan terutama untuk Kawasan Timur
Indonesia yang sangat mengandalkan konektivitas jalur pelayaran.
Mempertimbangkan berbagai risiko tersebut, Bank Indonesia bersama pemerintah, baik di tingkat pusat
maupun daerah, melalui TPI dan TPID akan meningkatkan koordinasi pengendalian inflasi yang difokuskan
pada upaya meminimalkan dampak kebijakan administered prices, pengelolaan pasokan pangan serta
menjaga ekspektasi masyarakat agar tetap positif. Di tingkat daerah, TPID diarahkan untuk memperkuat
sinergi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan perwakilan instansi vertikal, untuk mendukung
agenda pemerintah dalam membangun ketahanan dan kemandirian pangan melalui penguatan infrastruktur
pertanian. Oleh karena itu, program pengendalian inflasi daerah pada 2015 secara umum di seluruh wilayah
ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pertanian, pengelolaan stok pangan di setiap daerah, serta
percepatan implementasi kerja sama perdagangan antar daerah dalam rangka mendorong peningkatan
efisiensi struktur tata niaga pangan didukung dengan ketersediaan data dan informasi pangan secara
terintegrasi.

Risiko dan Tantangan Ke Depan


Optimisme perbaikan kondisi perekonomian di tahun 2015 menghadapi beberapa risiko yang dapat
memengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi dan inflasi di daerah, yakni: (i) risiko terkait lambannya
perbaikan ekonomi global akibat risiko memburuknya perekonomian Tiongkok, Euro Area, dan Jepang masih
cukup besar; (ii) risiko penurunan harga komoditas ekspor sehingga menekan pendapatan ekspor daerah; (iii)
risiko terkait kemampuan dan kapasitas pemerintah pusat maupun daerah dalam implementasi percepatan
pembangunan infrastruktur. Sementara itu, risiko yang tekait inflasi diperkirakan lebih didominasi oleh risiko
yang bersifat downside risk, antara lain yaitu prospek harga komoditas yang diperkirakan masih rendah,
potensi daya beli masyarakat yang diperkirakan terbatas terkait masih rendahnya pendapatan ekspor karena
faktor harga komoditas yang rendah, dan implementasi berbagai program ketahanan pangan oleh pemerintah
yang bertujuan untuk meningkatkan produksi bahan pangan.
Untuk mengatasi berbagai risiko tersebut, diperlukan strategi kebijakan yang terintegrasi dan koordinasi yang
intensif, khususnya mengingat risiko yang terindentifikasi mencakup lingkup implementasi di tingkat daerah.
Urgensi percepatan implementasi pembangunan infrastruktur perlu disuarakan lebih intens agar seluruh
daerah yang terlibat didalamnya memilki prioritas dan tingkat kepentingan yang setara sehingga akselerasi
pembangunan dapat dilakukan. Di tingkat nasional, urgensi akan pentingnya pembangunan infrastruktur yang
komprehensif telah digambarkan melalui Rancangan Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. Fakta di
lapangan mengenai kondisi ekonomi berbiaya tinggi di Indonesia di tengah melimpahnya kekayaan SDA
mengindikasikan manajemen sumber daya yang belum optimal dan berujung pada rendahnya peringkat
Indonesia dalam berbagai penilai peringkat daya saing ekonomi. Maka dari itu, pembangunan infrastruktur
khususnya yang terkait dengan konektivitas menjadi tulang punggung utama bagi efisiensi kegiatan ekonomi
6
sekaligus kunci quick wins untuk memacu daya saing Indonesia . Jika dikaitkan dengan kondisi geografis
Indonesia dengan wilayah kelautan yang mendominasi, maka pembangunan konektivitas antar daerah menjadi
hal yang mendesak khususnya bila dikaitkan dengan semangat untuk meminimalisir ketimpangan ekonomi
antar wilayah. Selain konektivitas, fokus agenda pembangunan Kabinet Kerja juga diarahkan pada
6

Lihat Isu Khusus 1. Strategi Percepatan Pembangunan Infrastruktur.

Laporan Nusantara|8

pengembangan kemaritiman antara lain melalui optimalisasi sumber daya yang terkandung didalam wilayah
kelautan Indonesia guna mendongkrak kinerja ekonomi nasional sekaligus mengurangi kesenjangan antar
7
wilayah .
Dalam rangka memberikan dukungan yang konstruktif khususnya bagi implementasi pembangunan
infrastruktur dan pengembangan ekonomi daerah secara umum, Bank Indonesia akan berupaya meningkatkan
perannya yang difokuskan pada: (a) mendorong dilakukannya reformasi struktural di daerah melalui
pembenahan enabling factors dan memantau implementasi agenda pembangunan ekonomi daerah sesuai
RPJMN 2015-2019; (b) mendorong transaksi non-tunai dan layanan keuangan digital (LKD) yang lebih luas
sebagai upaya untuk memperkuat efisiensi perekonomian nasional dan daerah, serta inklusi keuangan; (c)
mengupayakan keterkaitan antara program pengembangan UMKM dan layanan keuangan digital (LKD) Bank
Indonesia dengan upaya mendukung stabilisasi harga pangan dan agenda pembangunan sektor unggulan;
serta (d) melakukan applied research (kajian strategis) untuk mengidentifikasi lebih dalam permasalahan
pembangunan di daerah.

Laporan Nusantara ini disarikan dari hasil pertemuan Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan para Kepala
Departemen Regional pada 13 Februari 2015 di Jakarta. Pertemuan tersebut dilakukan secara periodik
untuk membahas perkembangan terkini dan berbagai isu strategis yang menjadi perhatian di daerah
sebagai bahan pertimbangan penting dalam perumusan kebijakan di Bank Indonesia

Lihat Isu Khusus 2. Agenda Pembangunan Maritim.

Laporan Nusantara|9

Halaman ini sengaja dikosongkan

Laporan Nusantara

PERTUMBUHAN EKONOMI
1

Perekonomian Sumatera secara agregat terindikasi tumbuh membaik pada triwulan IV 2014 sebesar 4,37%
(yoy), terutama ditopang oleh konsumsi swasta maupun pemerintah yang tumbuh cukup tinggi. Di sisi lain,
kinerja ekspor dan investasi masih terbatas. Laju perekonomian tertinggi tercatat di Provinsi Kepulauan Riau,
Jambi, dan Sumatera Selatan masing-masing sebesar 7,77%, 7,52%, dan 5,96%. Secara sektoral, pertumbuhan
ekonomi terutama didukung oleh sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Di sektor tersebut optimisme
mulai muncul di perkebunan sawit, yang tercermin dari perbaikan harga minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO)
dan di pertanian tanaman bahan pangan, yang tercermin dari peningkatan produksi pada periode triwulan IV
2014.
Secara keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi Sumatera melambat dibandingkan dengan tahun
2013. Perekonomian Sumatera tercatat tumbuh sebesar 4,66 %, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang
sebesar 5,01%. Perlambatan ini terutama bersumber dari menurunnya kinerja ekspor, terutama ekspor yang
berbasis komoditas perkebunan, karena rendahnya harga di pasar global. Hal ini berdampak pada melemahnya
pendapatan ekspor sehingga menekan konsumsi secara keseluruhan. Selain itu, melambatnya ekonomi
Sumatera juga dipengaruhi oleh produksi minyak dan gas (migas) yang terus mengalami penurunan, seperti
gas di Aceh dan minyak bumi di Riau. Perlambatan ekonomi terjadi hampir di seluruh provinsi wilayah
Sumatera, kecuali Kepulauan Riau dan Jambi.
Perekonomian Sumatera pada triwulan I 2015 diperkirakan mengalami perbaikan. Pada periode tersebut,
pertumbuhan ekonomi Sumatera diperkirakan mencapai 4,2-4,7% (yoy). Pertumbuhan perekonomian
Sumatera tersebut akan didukung oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera. Peningkatan diperkirakan akan
didorong oleh perbaikan kinerja sektor utama Sumatera, yaitu sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan.
Perbaikan di sektor tersebut akan memberikan dampak positif bagi industri yang mengolah hasil-hasil dari
sektor tersebut, terutama industri pengolahan komoditas perkebunan, seperti industri CPO. Selain itu,
penggunaan teknologi injeksi kimia di sektor pertambangan diperkirakan dapat menahan laju penurunan
lifting minyak, terutama di Provinsi Riau. Untuk keseluruhan tahun 2015, ekonomi Sumatera diperkirakan akan
tumbuh lebih optimis dibandingkan dengan tahun 2014, yaitu diperkirakan akan tumbuh di kisaran 4,6-5,1%,
didorong oleh peningkatan kinerja sektor industri pengolahan dan masih tingginya pertumbuhan sektor
Perdagangan Besar dan Eceran, dan Reparasi Mobil dan Sepeda Motor.

Konsumsi
Konsumsi Swasta
Konsumsi swasta Sumatera tumbuh terbatas pada triwulan IV 2014, namun masih pada level yang tinggi.
Secara keseluruhan tahun 2014, konsumsi swasta mengalami perlambatan akibat harga komoditas yang belum
membaik, seperti yang terjadi pada komoditas karet. Adanya berbagai kebijakan administered prices, terutama
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjelang akhir tahun, menekan daya beli masyarakat.
Menurunnya daya beli masyarakat tercermin dari melambatnya penghimpunan dana masyarakat di
perbankan, yang mengindikasikan bahwa masyarakat mulai menggunakan simpanan untuk memenuhi

Data pertumbuhan menggunakan tahun dasar 2010, berbasis SNA 2008, yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) 5 Februari
2015.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 11

kebutuhan. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Lampung
mengindikasi level keyakinan masyarakat terhadap perekonomian pada akhir tahun 2014 mengalami
penurunan.
Perlambatan konsumsi swasta diperkirakan masih akan berlanjut hingga triwulan I 2015. Pola musiman
menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat relatif melambat pascaperayaan keagamaan dan akhir tahun.
Selain itu, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya aktivitas belanja masyarakat pada
triwulan I 2015 juga diperkirakan lebih rendah. Hal ini disebabkan karena berbagai kegiatan masyarakat terkait
dengan Pemilu, tidak lagi terjadi pada periode ini. Beberapa indikator hasil survei juga mengonfirmasi
4
pelemahan konsumsi swasta. Survei Penjualan Eceran menunjukkan Indeks Penjualan Eceran yang masih
mengalami kontraksi hingga Januari 2015 (Grafik II.1). Hal tersebut menunjukkan menurunnya kegiatan
belanja masyarakat. Selain itu, survei konsumen di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Sumatera
Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, dan Lampung menunjukkan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) yang lebih
rendah, yaitu dari 123,09 pada triwulan IV 2014, menjadi 122,31 pada Januari 2015 (Grafik II.2).
Indeks
250

Pertumbuhan (Skala Kanan) %yoy

Indeks SPE

70

60
200

IKK

140

IKE

IEK

130

50
40

150

120

30
20

100

10
0

50

-10
0

110
100
90

-20
I

II

III

IV

2012

II

III

2013

IV

II

III

2014

IV

Jan

III

IV

2012

2015

Grafik II.1. Perkembangan Survei Penjualan Eceran

II

II

III

2013

IV

II

III

2014

IV

I*
2015

Sumber : Survei Konsumen, Bank Indonesia


* hingga Januari 2015
Grafik II.2. Indeks Keyakinan Konsumen

Konsumsi Pemerintah
Konsumsi Pemerintah pada triwulan IV 2014 mengalami pertumbuhan positif dan membuat capaian
keseluruhan tahun 2014 mengalami peningkatan. Posisi simpanan pemda di bank pada triwulan IV 2014 yang
lebih rendah dari triwulan sebelumnya menunjukkan adanya peningkatan belanja pemda pada periode
tersebut (Grafik II.3). Meski demikian, pertumbuhan konsumsi pemerintah tersebut relatif masih terbatas,
ditandai dengan posisi simpanan pada akhir tahun 2014 yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2013
lalu, yang mengalami kontraksi sebesar 14,3% (yoy). Lebih tingginya simpanan tahun ini dibandingkan dengan
tahun sebelumnya mengindikasikan bahwa persentase realisasi belanja pemerintah daerah pada tahun ini
lebih kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan akan mengalami perbaikan pada triwulan I 2015. Perbaikan
tersebut akan ditopang oleh hampir seluruh provinsi di Sumatera. Komitmen beberapa pemerintah
kota/kabupaten untuk mempercepat proses pelelangan, seperti yang terjadi di provinsi Riau, Sumatera Barat,
dan Sumatera Selatan, menjadi faktor pendukung meningkatnya konsumsi pemerintah. Pada tahun
sebelumnya proses pelelangan baru dilaksanakan setelah bulan Maret, sehingga pelaksanaan proyek banyak
yang baru dimulai setelah memasuki triwulan II. Percepatan proses lelang tersebut akan mendorong capaian
3
4

Hasil Survei Konsumen (SK) yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan BI di wilayah Sumatera.
Hasil Survei Penjualan Eceran (SPE) yang dilakukan di Sumatera Utara.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 12

konsumsi Pemerintah pada triwulan I 2015 yang lebih baik dari periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan
kondisi tersebut, pertumbuhan konsumsi pemerintah akan menjadi salah satu sumber pendorong ekonomi
Sumatera.
Rp Triliun

300 %yoy

%yoy

Simpanan Pemda

70

gSimpanan Pemda (Skala Kanan) 60.00


50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
-10.00
-20.00
-30.00
-40.00
-50.00

60
50
40
30
20
10
0
I

II

III

IV

II

2011

III

IV

II

2012

III

IV

2013

II

III

250
200
150

Tabungan
Deposito

100
50
0
I

-50

II

IV

II

2011

-100

2014

III IV

III IV

II

2012

III IV

Giro

II

2013

III IV

2014

Grafik II.3. Perkembangan Posisi Simpanan Pemda Sumatera Grafik II.4. Perkembangan Jenis Simpanan Pemda Sumatera di
di Bank Umum
Bank Umum

Investasi
Perbaikan investasi pada triwulan IV 2014 pasca-Pemilihan Umum diperkirakan masih minimal. Kondisi
tersebut menyebabkan investasi Sumatera selama tahun 2014 melambat dibandingkan dengan tahun 2013.
Dari sisi pembiayaan, dorongan terhadap investasi juga terbatas, sebagaimana tercermin dari rendahnya
pertumbuhan kredit investasi di Sumatera. Pertumbuhan kredit investasi di Sumatera tercatat sebesar 5,39%
(yoy), jauh lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 8,81% (yoy), dan dari periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar 37,80% (yoy). Melambatnya investasi juga ditunjukkan oleh lebih rendahnya realisasi
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 2014 dibandingkan
dengan tahun sebelumnya (Grafik II.6). Investasi yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Pemda)
diperkirakan juga masih terbatas, yang ditandai dengan tingginya simpanan Pemda di bank umum pada
triwulan IV 2014. Adanya kenaikan harga BBM bersubsidi pada November 2014 telah menyebabkan pelaku
usaha bersikap wait and see (menunggu) atas kebijakan energi lanjutan yang akan dilakukan.
Juta Ton

Konsumsi Semen

gKonsumsi Semen (Skala Kanan)

%yoy

1400

%yoy

50

%yoy

1200

45

Kredit Investasi

4.0

12

3.5

10

1000

3.0

800

30

2.5

600

25

2.0

20

1.5

400

1.0

200

0.5

-2

-4
I

II

III
2012

IV

II

III
2013

IV

II

III

IV

40
35

PMDN
PMA

-200
I

II

III

IV

II

III

IV

II

III

IV

II

III

15
10

5
0

IV

2014

2011

Sumber : Asosiasi Semen Indonesia


Grafik II.5. Konsumsi Semen Sumatera

2012

2013

2014

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal dan BI, diolah


Grafik II.6. Perkembangan PMA dan PMDN serta Penyaluran
Kredit Investasi Perbankan Sumatera

Pada triwulan I 2015, investasi diperkirakan akan sedikit mengalami perbaikan. Berdasarkan hasil liaison,
beberapa perusahaan swasta berencana melakukan peningkatan kapasitas seperti perluasan pabrik,
penambahan mesin baru dan peningkatan kapasitas pelabuhan di Lampung, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka
Belitung. Dari sisi investasi bangunan, perbaikan investasi tercermin dari masih meningkatnya konsumsi

L a p o r a n N u s a n t a r a | 13

semen di Sumatera (Grafik II.5). Selain itu, komitmen pemerintah daerah untuk memperbaiki iklim investasi,
memberikan optimisme bagi kegiatan investasi.

Perdagangan Luar Negeri


Ekspor
Kinerja ekspor Sumatera pada triwulan IV 2014 menunjukkan perlambatan dari sisi nilai, namun sedikit
mengalami peningkatan dari sisi volume (Grafik II.7). Ekspor Sumatera pada triwulan IV 2014 tercatat senilai
USD 10,7 miliar atau mengalami kontraksi sebesar 10,1% (yoy). Kontraksi ini terjadi hampir di seluruh provinsi
di Sumatera, kecuali Aceh dan Jambi. Berdasarkan komoditasnya, penurunan ekspor terjadi di seluruh
komoditas utama seperti karet, kelapa sawit dan batubara (Grafik II.8). Untuk keseluruhan tahun 2014, ekspor
Sumatera tercatat USD 42,8 miliar, turun 3,7% (yoy) lebih dalam dibandingkan dengan tahun 2013. Penurunan
paling dalam terjadi pada komoditas karet dan kopi, sementara komoditas kelapa sawit dan CPO relatif
mengalami perbaikan dibandingkan dengan tahun 2013.
Ekspor Sumatera pada triwulan I 2015 diperkirakan akan meningkat, seiring dengan perbaikan perekonomian
negara mitra dagang yaitu Amerika Serikat (AS). Komoditas ekspor Sumatera yang ditujukan ke pasar AS
terutama karet dan kopi. Selain itu, adanya harapan perbaikan harga komoditas karet, memberikan dorongan
positif bagi kegiatan pengolahan karet (crumb rubber). Di samping itu, adanya bencana banjir di Malaysia
diperkirakan akan menciptakan peluang pemasaran komoditas perkebunan dari Sumatera Barat, Riau, dan
Jambi.
Nilai Ekspor
gEkspor (Skala Kanan)

USD Juta
16,000

Nilai Impor
gImpor (Skala Kanan)

%yoy
70

14,000

200

%yoy

80

60
12,000

50

10,000

40

Karet

CPO

Batubara

150

100

30

8,000

20

6,000

10

4,000

0
-10

2,000

50

-20

-30
I

II

III

2011

IV

II

III

2012

IV

II

III

2013

IV

II

III

-50

IV

2014

Grafik II.7. Perkembangan Ekspor Impor Sumatera

II III IV I

II III IV I

II III IV I

II III IV

2011

2012

2013

2014

-100

Grafik II.8. Perkembangan Ekspor Komoditas Utama

Impor
Sementara itu, impor Sumatera juga mengalami penurunan pada triwulan IV 2014 (Grafik II.10). Penurunan
terutama terjadi pada komoditas barang modal dan bahan baku (Grafik II.9). Di sisi lain, pertumbuhan impor
barang konsumsi terus mengalami peningkatan, seiring dengan kinerja konsumsi rumah tangga yang masih
tumbuh tinggi, diikuti dengan masih meningkatnya kredit konsumsi. Dengan capaian tersebut, pertumbuhan
impor keseluruhan tahun 2014 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013.
Pada triwulan I 2015, impor Sumatera diperkirakan tumbuh meningkat, sejalan dengan perkiraan peningkatan
investasi, terutama investasi nonbangunan. Kegiatan penambahan/perluasan kapasitas pabrik dan
penambahan mesin baru akan mendorong impor barang modal di Provinsi Riau, Sumatera Utara, dan
Sumatera Barat. Selain itu, konsumsi pupuk di sektor perkebunan diperkirakan bertambah, sehingga
mendorong kebutuhan impor pupuk, terutama di Provinsi Sumatera Barat dan Riau.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 14

25

%yoy

20

Total

Barang Konsumsi

Barang Modal

Bahan Baku

%yoy

Pertumbuhan Nilai Impor

70

Pertumbuhan Volume Impor

15

60

10

50
40

30

0
I

II

-5

III

IV

II

2012

III

IV

II

III

2013

IV

20
10

2014

-10

-15

(10)

-20

(20)

II

III IV

2011

II

III IV

II

2012

III IV

2013

II

III IV

2014

(30)

-25

(40)
-30

Grafik II.9. Perkembangan Nilai Impor Sumatera Berdasarkan Grafik II.10. Perkembangan Nilai dan Volume Impor Sumatera
Jenis

Kinerja Sektor Utama Daerah


Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan
Kinerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada triwulan IV 2014 tercatat cukup baik, sehingga secara
keseluruhan tahun 2014, sektor ini masih mengalami pertumbuhan positif. Pertumbuhan di sektor pertanian
yang cukup tinggi terjadi di Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Bangka Belitung. Dari sisi
komoditas, perbaikan kinerja terutama didorong oleh peningkatan pertumbuhan tanaman bahan makanan,
seperti yang terjadi di provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, dan Lampung. Selain itu, perbaikan juga terjadi pada
produksi kelapa sawit, yang didorong oleh harga tandan buah segar (TBS) yang lebih tinggi di Provinsi Riau
(Grafik II.11) dan Sumatera Utara. Sebaliknya, kinerja karet belum menunjukkan perbaikan, seperti tercermin
pada produksi karet yang terus turun di Sumatera Selatan (Grafik II.12), Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan I 2015 diperkirakan akan tumbuh lebih tinggi,
terutama di provinsi Sumatera Selatan, Lampung, dan Bengkulu. Hal ini terkonfirmasi dari Indeks Perkiraan
6
Kegiatan Usaha yang meningkat dari 1,76 menjadi 2,72 (Grafik II.13). Perbaikan kinerja terjadi pada komoditas
kelapa sawit, terutama di Riau, seiring dengan harga yang mengalami perbaikan, dan komoditas beras di
beberapa sentra produksi di Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Bengkulu, yang diperkirakan memasuki
masa panen.
Rp/kg
2,500

Harga TBS

%yoy
60

% Kenaikan (Sumbu Kanan)

Produksi Karet

Ribu Ton
300

2,000

40
30

1,500

250

200

20

1,000

10

150

100

-10

500

-20
0

-30
I

II

III

2012

IV

II

III

2013

IV

II

III

2014

Sumber: Dinas Perkebunan Riau


Grafik II.11. Harga TBS Riau

%yoy

gProduksi Karet (Skala Kanan)

50

IV

I
2015

50
I

II III IV
2011

II III IV
2012

II III IV
2013

30
25
20
15
10
5
0
-5
-10
-15
-20

II III IV
2014

Sumber : Gapkindo
Grafik II.12. Produksi Karet Sumatera Selatan

Hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh seluruh Kantor Perwakilan BI di wilayah Sumatera.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 15

Sektor Pertambangan dan Penggalian


Sektor pertambangan dan penggalian pada triwulan IV 2014 mengalami pertumbuhan negatif, sehingga untuk
keseluruhan tahun 2014 kinerja sektor ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2013. Kegiatan di sektor
pertambangan dan penggalian didominasi oleh produksi minyak bumi di Provinsi Riau. Berdasarkan informasi
liaison, lifting minyak bumi di Riau terus mengalami penurunan dan kondisi sumur yang ada memiliki
produktivitas yang terus menurun. Berdasarkan informasi dari kontak liaison, penurunan lifting minyak secara
normal tercatat sebesar 18%-19% per tahun. Namun, penurunan tersebut dapat ditahan dengan teknologi
injeksi kimia, sehingga penurunan selama tahun 2014 diperkirakan hanya 5%-6%. Sementara itu, data
perkiraan produksi batubara di provinsi Sumatera Selatan (Grafik II.14) serta data produksi bijih dan logam
timah di provinsi Bangka Belitung, pada akhir tahun 2014, menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan
tahun 2013, sehingga diperkirakan dapat menahan pertumbuhan laju penurunan sektor pertambangan
nonmigas di Sumatera.
Pada triwulan I 2015 sektor pertambangan diperkirakan masih mengalami kontraksi, namun tidak sedalam
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Sektor pertambangan pada periode ini diperkirakan mengalami
pertumbuhan -0,35% (yoy). Kondisi ini juga tercermin dari Indeks Perkiraan Kegiatan Usaha sektor
pertambangan, yang juga menunjukkan perbaikan walaupun masih mengalami kontraksi (Grafik II.13).
Perbaikan di sektor pertambangan ditunjukkan oleh komoditas batubara di Sumatera Selatan, yang didorong
oleh meningkatnya penjualan domestik. Namun, dari sisi ekspor, kinerja batubara menghadapi sejumlah
tantangan jangka pendek akibat pemberlakuan kewajiban menggunakan cara pembayaran Letter of Credit
7
(L/C) bagi para eksportir barang tertentu. Sementara itu, pertumbuhan negatif, yang masih berlanjut di sektor
pertambangan, tidak terlepas dari produksi lifting minyak di Riau yang terus mengalami penurunan.
Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan
Perikanan

Indeks
30
20
10

0
I
-10

II

III
2012

IV

II

III
2013

-20

-30
-40

IV

II

III
2014

IV

Produksi Batubara

kt

Pertambangan

I
2015

gProduksi Batubara (Skala Kanan)

2000
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0

%yoy
80
60
40
20

0
-20
-40
-60
-80
1

7
2012

9 11 1

7
2013

9 11 1

9 11

2014

Sumber : McCloskey
Sumber : McCloskey
Grafik II.13. Indeks Perkiraan Kegiatan Usaha Sektor Pertanian Grafik II.14. Perkiraan Produksi Batubara Sumatera Selatan
dan Pertambangan Sumatera

Sektor Industri Pengolahan


Sejalan dengan sektor pertanian, kinerja industri pengolahan, khususnya pengolahan karet dan CPO, pada
triwulan IV 2014 memberikan kontribusi positif pada perekonomian Sumatera. Namun, capaian tersebut
belum cukup mengangkat kinerja tahun 2014 secara keseluruhan setinggi perkiraan sebelumnya. Harga CPO
internasional hingga bulan Desember 2014 masih mengalami penurunan 21,17% (yoy) atau sebesar USD 624,5
USD/mt (Grafik II.15). Sementara itu, harga karet internasional turun lebih dalam yaitu hingga 29,66% (yoy)
atau sebesar USD 185,29 cent/kg (Grafik II.16). Harga kedua komoditas tersebut lebih rendah dibandingkan
dengan harga tahun 2013. Kondisi harga yang terus menurun tidak mendorong daya tarik dalam berproduksi.
7

Peraturan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/1/2015 Tentang Ketentuan Penggunaan Letter of Credit untuk Ekspor
Barang Tertentu untuk mendorong optimalisasi dan akurasi perolehan devisa hasil ekspor khususnya hasil ekspor komoditas Sumber Daya
Alam.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 16

Hal ini terkonfirmasi dari hasil liaison, yang menunjukkan bahwa kapasitas utilisasi perusahaan penghasil CPO
hanya berkisar 50% -54%, lebih rendah dari kapasitas periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai
55% 80%.
Kinerja industri pengolahan diperkirakan akan mengalami peningkatan pada triwulan I 2015. Perbaikan kinerja
sektor industri pengolahan diperkirakan akan terjadi di Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung,
Sumatera Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung. Walaupun masih dalam tren yang menurun, laju penurunan
harga karet tidak sedalam periode sebelumnya, sehingga terdapat optimisme perbaikan harga di masa
mendatang bagi industri pengolahan karet di Jambi. Adanya potensi perbaikan harga terlihat dari Indeks Harga
Jual Komoditas industri pengolahan pada triwulan mendatang yang meningkat dari 1,65% menjadi 3,80%.
Meski demikian, lemahnya pengelolaan perkebunan karet dan adanya masalah mendasar pada tata niaga dan
hulu karet, membuat pertumbuhan karet diperkirakan masih akan terbatas. Industri pengolahan makanan dan
minuman, khususnya kopi di Lampung dan Sumatera Utara, diperkirakan akan mengalami peningkatan, seiring
dengan perbaikan permintaan dari negara mitra dagang Amerika, India dan Eropa. Industri pengolahan gula di
Sumatera Utara juga diperkirakan meningkat pascadibukanya keran impor gula rafinasi pada akhir tahun 2014.
Sementara itu, volume ekspor CPO diperkirakan masih akan terus mengalami pertumbuhan positif dan
mendorong industri pengolahan kelapa sawit di Sumatera Barat dan Riau.

Sumber : Bloomberg
Grafik II.15. Perkembangan Harga CPO Internasional

Sumber : Bloomberg
Grafik II.16. Perkembangan Harga Karet Internasional

LAJU INFLASI
Inflasi Sumatera pada triwulan IV 2014 tercatat sebesar 8,62% (yoy), lebih tinggi daripada triwulan sebelumnya
(4,64%; yoy). Realisasi inflasi tersebut berada di atas realisasi inflasi nasional (8,36%,yoy) (Grafik II.17).
Berdasarkan disagegrasi inflasi, peningkatan inflasi tertinggi dialami oleh komoditas yang tergabung dalam
kelompok administered prices diikuti dengan volatile foods (Grafik II.18). Meningkatnya inflasi administered
prices disebabkan oleh kenaikan harga BBM bersubsidi yakni bensin dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 serta solar
dari Rp5.500 menjadi Rp7.500. Kondisi ini kemudian diikuti dengan meningkatnya tarif angkutan dalam kota
dan antarkota dengan rata-rata Sumatera mencapai masing-masing 28% dan 20%. Sementara itu, peningkatan
inflasi volatile food disebabkan oleh meningkatnya harga bumbu-bumbuan terutama cabai merah sebesar
137%. Turunnya produksi cabai merah, di tengah tingginya permintaan, terkait banyaknya kegiatan pada akhir
tahun, menjadi penyebab meningkatnya harga komoditas ini.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 17

IHK Umum
Volatile Foods

10

Inflasi Nasional

%yoy

Core
Adm. Prices

20.00

Inflasi Sumatera

15.00

10.00

4
3

5.00

0.00

1
0
I

II

III
2012

IV

II

III
2013

IV

II

III
2014

IV

Jan
2015

Sumber: BPS, diolah


Grafik II.17. Inflasi Nasional dan Sumatera di Sumatera

II

III IV

II

III IV

II

III IV

2012
2013
2014
Sumber: BPS, diolah
Grafik II.18. Disagregasi inflasi Sumatera

2015

Berdasarkan provinsi, inflasi tertinggi terjadi di Provinsi Sumatera Barat (11,57%; yoy) diikuti dengan Provinsi
Bengkulu (10,85%; yoy), sementara inflasi terendah terjadi di Provinsi Kepulauan Riau (7,59%; yoy) (Grafik
II.19). Tingginya inflasi di Sumatera Barat disebabkan oleh meningkatnya harga komoditas bumbu-bumbuan,
terutama cabai merah. Dalam empat bulan terakhir tahun 2014, harga cabai merah meningkat hampir
mencapai tiga kali lipat. Meskipun Sumatera Barat merupakan salah satu sentra produksi cabai merah di
Sumatera, tingginya konsumsi komoditas ini, baik untuk rumah tangga maupun hotel dan restoran serta
tingginya permintaan dari luar provinsi, menyebabkan harga di dalam provinsi turut meningkat. Kondisi yang
sama juga terjadi di Bengkulu, yaitu sumbangan inflasi terbesar berasal dari meningkatnya harga komoditas
cabai merah yang mencapai 225% dalam empat bulan terakhir. Di sisi lain, inflasi di Kepulauan Riau relatif
terjaga. Hal ini disebabkan oleh relatif stabilnya harga kelompok bahan makanan di provinsi ini, yang didukung
oleh memadainya pasokan.
Tekanan inflasi pada triwulan I 2015 menurun, sejalan dengan menurunnya harga komoditas yang tergabung
dalam kelompok administered prices dan volatile food. Kondisi tersebut tercermin dari menurunnya laju inflasi
pada Januari 2015 menjadi sebesar 6,63% (yoy) dari akhir tahun 2014 sebesar 8,62% (yoy). Turunnya harga
minyak dunia, yang diikuti dengan kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM bersubsidi dalam dua
tahap yakni pada tanggal 1 dan 19 Januari 2015, menyebabkan turunnya inflasi kekompok administered prices.
Sampai dengan bulan Februari 2015, harga bensin terjaga di level Rp6.600 dan solar di level Rp6.400.
Penurunan harga BBM bersubsidi kemudian diikuti dengan keputusan pemerintah untuk mewajibkan
penurunan harga tarif angkutan minimum sebesar 5% 15% oleh Organda. Namun, dari 23 kota yang menjadi
basis penghitungan inflasi di Sumatera, belum semua kota melakukan penyesuaian penurunan tarif secara
langsung pada bulan Januari. Beberapa kota yang sudah melakukan penyesuaian, baik untuk tarif angkutan
dalam kota maupun luar kota pada bulan Januari 2015 adalah Meulaboh, Banda Aceh, Lhoksumawe, Medan,
Padang Sidempuan, Palembang, Lubuk Linggau, dan Bandar Lampung. Penurunan Tarif angkutan tersebut ratarata 3% 10% untuk tarif angkutan dalam kota dan 5% - 15% untuk tarif angkutan luar kota (Grafik II.20).
Penurunan tersebut, masih lebih rendah dari kenaikan pada saat terjadi peningkatan harga BBM bersubsidi
tahun lalu, yang secara rata-rata lebih dari 20%. Berdasarkan quick survey yang dilakukan, kondisi ini
disebabkan oleh adanya biaya pembelian spare part yang juga cenderung meningkat. Dengan perilaku ini
masih terdapat selisih perubahan tarif angkutan sebesar 0,30% akibat perubahan kebijakan tersebut.
Menurunnya harga BBM juga memicu optimisme ekspektasi masyarakat terhadap penurunan harga barang.
Dengan harga BBM yang lebih rendah, diharapkan akan menurunan biaya produksi, yang selanjutnya
ditransmisikan ke harga barang akhir.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 18

14.00

Tarif Angkutan Dalam Kota

%yoy
Tw III-2014

Tw IV-2014

Tw I-2015

Tarif Angkutan Luar Kota

%yoy

12.00
14.00

10.00

Tw IV-2014 Sumatera 8,62%

8.00

Tw I-2015 Sumatera 6,63%

6.00

10.00

9.12

6.00

7.33
5.31

6.04
4.42

Tw III-2014 Sumatera 4,64%


2.00

9.40
8.21

8.00

4.00

12.50

12.00

3.86

4.00
2.00

0.00
Lhoksumawe

Sumber: BPS, diolah


Grafik II.19. Inflasi Provinsi di Sumatera

Medan

P. Sidempuan Palembang

Lubuk
Linggau

Bandar
Lampung

Sumber: BPS, diolah


Grafik II.20. Penuruan Tarif Angkutan Januari 2015

Faktor risiko yang perlu menjadi perhatian selanjutnya adalah dampak penyesuaian harga yang asimetris
8
terhadap perubahan harga BBM. Berdasarkan quick survey yang dilakukan kepada 88 perusahaan di
Sumatera mengenai perilaku apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga BBM, 35% pengusaha
menyatakan akan meningkatkan harga ketika terjadi kenaikan BBM dengan rata-rata kenaikan 6%. Sementara
itu, jika terjadi penurunan harga BBM, hanya 16% pengusaha yang akan menurunkan harga jual dengan ratarata penurunan hanya 3,5%. Namun, mayoritas pengusaha masih tidak melakukan penyesuaian harga secara
langsung ketika terjadi perubahan harga BBM. Sebagian besar pengusaha lebih memilih untuk efisiensi,
meningkatkan pemasaran dan pengalihan energi terlebih dahulu ketika terjadi perubahan harga BBM.
Faktor risiko inflasi lain muncul sebagai dampak dari penerapan Peraturan Gubernur No. 59 tahun 2014
Provinsi Lampung, tentang Pengendalian Distribusi Produk Impor mulai awal Januari 2015. Peraturan tersebut
dikenakan pada komoditas gula, beras, kopi, jagung dan daging sapi, yang merupakan komoditas utama yang
dihasilkan Lampung. Berdasarkan peraturan tersebut, memasukkan komoditas-komoditas tersebut dari luar
Lampung harus mendapat izin dari Gubernur. Dengan adanya peraturan tersebut pasokan gula, beras, kopi,
jagung dan daging sapi di Lampung sangat bergantung pada kemampuan produksi lokal. Peraturan ini, di sisi
lain, bertujuan untuk melindungi produk komoditas lokal, di sisi lain bila kemampuan lokal tidak memadai,
berpotensi memicu inflasi pangan.

Koordinasi Pengendalian Inflasi


Disepanjang tahun 2014, koodinasi pengendalian inflasi di Sumatera terus diperkuat sisi kelembagaannya
melalui pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Daerah di 10 provinsi serta 115 kabupaten/kota. Kegiatan
pengendalian inflasi di berbagai daerah di Sumatera difokuskan pada tiga hal utama yakni memperluas akses
informasi harga kepada masyarakat, memperkuat kapasitas produksi pangan melalui pengembangan klaster,
dan memperkuat kerjasama antar daerah. Ketiga fokus pengendalian inflasi di Sumatera tersebut dilakukan
melalui beberapa program kegiatan antara lain :
1.

Transparansi harga melalui pembentukan PIHPS (Pusat Informasi Harga Pangan Strategis)
Sampai dengan tahun 2014, provinsi yang telah memiliki PIHPS berupa papan harga elektronik adalah
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, Aceh dan Jambi. Sementara itu,

Perusahaan yang menjadi responden adalah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan dan industri pengolahan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 19

pengembangan PIHPS berupa website, yang memuat harga komoditas utama, telah dibentuk di Sumatera
Utara, Sumatera Selatan dan Jambi. Pada tahun 2015, PIHPS provinsi akan diintegrasikan dengan PIHPS
nasional. Dengan integrasi tersebut, nantinya, masyarakat dapat memperoleh informasi harga pangan di
provinsi-provinsi lainnya di luar Sumatera.
2.

Pengembangan klaster ketahanan pangan


Dalam upaya untuk mengendalikan inflasi dari sisi supply, Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah telah
mengembangkan klaster pertanian, terutama untuk komoditas penyumbang inflasi utama seperti cabai
merah, padi, daging sapi, dan perikanan. Pada tahun 2015, pengembangan klaster pertanian akan
dilanjutkan dengan penambahan lokasi baru serta peningkatan kualitas klaster melalui program inklusi
keuangan.

3.

Kerjasama antardaerah
Program TPID kerjasama antardaerah telah dilaksanakan oleh Provinsi Lampung melalui kerjasama dengan
DKI Jakarta untuk komoditas beras, daging ayam, daging sapi, dan pisang. Pada tahun 2015, kerjasama
antardaerah akan lebih ditingkatkan dengan menambah komoditas strategis lainnya.

Menghadapi berbagai risiko inflasi ke depan, TPID di Sumatera akan lebih memfokuskan kegiatan
pengendalian inflasi pada beberapa hal berikut :
1.

Melanjutkan penguatan aspek kelembagaan TPID melalui :


a. penyusunan roadmap pengendalian inflasi yang disepakati dari nasional sampai dengan
kabupaten/kota,
b. percepatan pendirian TPID di setiap Kabupaten/Kota di Sumatera.

2.

Mendorong terjaganya keseimbangan kapasitas produksi, khususnya untuk komoditas pangan dengan
permintaan produk-produk pertanian melalui :
a. pembangunan sistem pola, waktu dan lokasi penanaman produk-produk pertanian.
b. pembangunan sentra-sentra produksi pertanian (termasuk perikanan).
c. pelipatgandaan jumlah petani pakar dan klaster ketahanan pangan.
d. pengembangan terminal agribisnis untuk penjualan produk pertanian bersama.
e. penyempurnaan neraca pangan Sumatera.
f. pengembangan industri agribisnis di dekat sentra-sentra produksi bahan pangan untuk menjamin
keberlanjutan absorpsi produk bahan pangan, khususnya pada saat surplus produksi
g. peningkatan produktivitas pangan melalui penelitian, pendampingan dan pelatihan

3.

Memberi subsidi kepada sektor transportasi publik oleh pemerintah daerah untuk mengendalikan
dampak inflasi dari kenaikan biaya transpotasi.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN


Ketahanan Sektor Korporasi
Perlambatan kredit Bank Umum kepada sektor korporasi pada triwulan IV 2014 masih berlanjut, sejalan
dengan perlambatan ekonomi di wilayah Sumatera. Pada triwulan IV 2014, kredit sektor korporasi tumbuh
8,73% (yoy) lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar 10,91% (yoy) (Grafik II.21).
Penurunan laju pertumbuhan kredit korporasi terutama terjadi pada sektor utama, yaitu sektor pertanian,
sektor perdagangan dan sektor industri pengolahan (Grafik II.22). Menurunnya harga jual komoditas utama

L a p o r a n N u s a n t a r a | 20

seperti CPO dan karet meningkatkan risiko pelaku usaha di sektor pertanian, perdagangan dan industri
pengolahan yang terkait dengan komoditas-komoditas tersebut.
Berdasarkan provinsi, pertumbuhan kredit korporasi terendah dialami oleh Aceh dan Kepulauan Riau. Kredit di
kedua provinsi tersebut tumbuh negatif masing-masing 1,53% (yoy) dan 0,25% (yoy) (Grafik II.23).
Menurunnya penyaluran kredit industri pengolahan di Aceh dan kredit konstruksi di Kepulauan Riau menjadi
penyebab utama penurunan tersebut. Sementara itu, beberapa provinsi yang masih menunjukkan peningkatan
pertumbuhan kredit korporasi yaitu Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau.
Rp Triliun

Kredit Sektoral

%yoy

gKredit (Skala Kanan)

%yoy

gKredit Lapangan Usaha

gPertanian

gIndustri Pengolahan

gPHR

400

35

60

350

30

50

25

40

300
250

20

200
15

150

10.91

30
20

10

100

8.73

50
0

0
I

II

III

IV

2012

II

III

IV

2013

II

III

10
0
I

IV

II

Grafik II.21. Perkembangan Kredit Korporasi Sumatera

III

IV

II

2012

2014

III

IV

II

2013

III

IV

2014

Grafik II.22. Perkembangan Kredit Sektor Utama Sumatera

Dari sisi kualitas kredit, kinerja kredit kepada korporasi relatif masih cukup baik. Hal ini terlihat dari tingkat non
performing loan (NPL) yang masih dalam batas aman (di bawah 5%). NPL kredit korporasi menunjukkan tren
penurunan yakni dari 2,84% (yoy) pada triwulan lalu menjadi 2,59% (yoy) (Grafik II.3.23). Nilai NPL tersebut
juga lebih rendah dari rata-rata tiga tahun terakhir sebesar 2,94% (yoy). Sejalan dengan hal tersebut, kualitas
kredit kepada tiga sektor utama relatif masih terjaga, (NPL di bawah 5%), bahkan pada triwulan IV 2014 NPL
lebih rendah dibandingkan dengan triwulan lalu, di tengah menurunnya penyaluran kredit pada sektor-sektor
tersebut (Grafik II.24). Demikian halnya dengan NPL disektor perdagangan yang cenderung lebih tinggi
dibanding dengan kredit pada sektor lainnya, namun pada akhir triwulan IV 2014 telah menunjukkan adanya
perbaikan.
50.00

%yoy

Tw I-2014

Tw II-2014

Tw III-2014

Tw IV-2014

40.00

5.00
4.50

3.00

2.50
20.00

2.00

4.08

PHR

4.00
3.50

30.00

Industri Pengolahan

3.05

Sektoral

1.76

1.50
10.00
0.00

-10.00

1.00

Pertanian

0.00
I

II

III

2012

Grafik II.23. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Korporasi


Provinsi

1.24

0.50
IV

II

III

2013

IV

II

III

IV

2014

Grafik II.24. Perkembangan NPL Kredit Korporasi Sumatera

Ketahanan Sektor Rumah Tangga


Penyaluran kredit konsumsi oleh bank umum tumbuh meningkat, yakni dari 9,73% (yoy) pada triwulan III 2014
menjadi 10,87% (yoy) pada triwulan IV 2014. Berdasarkan peruntukannya, mayoritas kredit sektor rumah
tangga ditujukan untuk kredit multiguna (43,57%) diikuti dengan kredit kepemilikan rumah, apartemen dan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 21

rukan (26,91%) serta kredit kendaraan bermotor (13,03%) (Grafik II. 25). Dibandingkan dengan pertumbuhan
pada triwulan III 2014, penyaluran kredit multiguna dan kendaraan bermotor masih menunjukkan percepatan
pertumbuhan yakni masing-masing 31,47% dan 24,82%. Di sisi lain, kredit kepemilikan rumah cenderung
melambat, yaitu tumbuh 7,31%, lebih rendah dari triwulan sebelumnya 7,94% (Grafik II.26). Berdasarkan
provinsi, penyaluran kredit rumah tangga di sebagian besar provinsi masih menunjukkan peningkatan
pertumbuhan, dengan pertumbuhan tertinggi di provinsi Bengkulu (Grafik II.27). Adapun penyaluran kredit
rumah tangga terbesar di provinsi Sumatera Utara yang mencapai 23,11% dari total kredi rumah tangga
Sumatera.
140

Lainnya
16%

%yoy

120

KPR KPA
Rukan
27%

100

60
40

KKB
13%

Multiguna
44%

g. Multiguna

80

g. KKB
g. Kredit RT

g. KPR, KPA, Rukan

20
0
-20

II

IV

II

2012

-40

Grafik II.25. Pangsa Kredit Rumah Tangga

III

III

IV

II

2013

III

IV

2014

Grafik II.26. Perkembangan Kredit Rumah Tangga Sumatera

Kualitas kredit sektor rumah tangga masih terjaga, dengan angka NPL yang relatif rendah dan menurun. NPL
kredit rumah tangga pada triwulan IV 2014 tercatat 1,62%, lebih rendah dari 1,81% pada triwulan III 2014.
Berdasarkan jenisnya, NPL yang tertinggi berasal dari peyaluran kredit untuk perumahan atau apartemen yakni
sebesar 3,40%. NPL tersebut lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 3,82%. Sementara itu, NPL
penyaluran kredit kepada kendaraan bermotor dan multiguna relatif rendah yakni masing-masing 1,18% dan
0,94% (Grafik II.28).
20.00
18.00

%yoy
Tw I-2014

Tw II-2014

Tw III-2014

Tw IV-2014

16.00
14.00
12.00
10.00

4.5

3
2.5

8.00

6.00

1.5

4.00

2.00

0.5

0.00

NPL KPR, KPA, Rukan

4
3.5

NPL Kredit RT
NPL KKB

NPL Multiguna

0
I

II

III
2012

Grafik II.27. Pertumbuhan Penyaluran Kredit Rumah Tangga


Provinsi

IV

II

III
2013

IV

II

III

IV

2014

Grafik II.28. NPL Kredit Rumah Tangga

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)


Penyaluran kredit kepada UMKM di Sumatera pada triwulan IV 2014 mencapai 27,61% dari total kredit
Sumatera, dengan pertumbuhan kredit mencapai 13,49% (yoy). Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari
pertumbuhan total kredit yang sebesar 9,43%. Namun, bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang
tumbuh sebesar 15,68% (yoy), pertumbuhan tersebut melambat. Dari sisi sektoral, kredit UMKM mayoritas
disalurkan kepada sektor perdagangan sebesar 51,3%, diikuti dengan sektor pertanian sebesar 20,4%, dan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 22

sektor industri pengolahan sebesar 6,6%. Perlambatan penyaluran kredit terutama terjadi di sektor pertanian
dan industri pengolahan, sementara sektor perdagangan masih relatif stabil, yaitu tumbuh sebesar 9,9% (yoy).
Berdasarkan provinsi, penyaluran kredit UMKM terbesar ditujukan ke provinsi Sumatera Barat dengan pangsa
sebesar 33,83%, diikuti dengan Bengkulu sebesar 32,02%
Berdasarkan kualitasnya, penyaluran kredit UMKM cenderung memiliki NPL yang relatif tinggi yakni mencapai
5,27%, meski membaik dari triwulan sebelumnya sebesar 5,63%. Dari sisi lapangan usaha, NPL kredit kepada
UMKM yang tercatat tinggi yaitu sektor konstruksi dan perdagangan. Berdasarkan provinsi, kualitas kredit
UMKM terbaik dialami oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan NPL sebesar 3,74%, sementara
terburuk dialami oleh Provinsi Aceh dengan NPL mencapai 11,56%.
Kredit UMKM

Rp Triliun
160

g. Kredit UMKM

30
NPL Kredit UMKM

140

25

120

Laiinnya
16.03%

Pertanian
20.41%

20

100

80

Industri
6.57%

15

60

10

Konstruksi
5.67%

40
5

20
0

II

III

2012

IV

II

III

2013

IV

II

III

PHR
51.32%

IV

2014

Grafik II.29. Perkembangan Kredit UMKM Sumatera

Grafik II.30. Pangsa Sektor Utama Kredit UMKM Sumatera

Kinerja Sistem Pembayaran


Transaksi perbankan di wilayah Sumatera melalui Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) pada
triwulan IV 2014 mengalami peningkatan secara nilai, namun dari sisi volume transaksi mengalami penurunan.
Secara nilai, transaksi RTGS pada triwulan IV 2014 tumbuh 32,04% (yoy), menjadi Rp816 triliun, lebih besar
dibandingkan dengan triwulan III yang hanya tumbuh sebesar 13,88% (yoy). Sementara itu, volume transaksi
RTGS pada triwulan IV 2014 turun sebesar 2,84% (yoy). Penurunan transaksi RTGS tersebut terkait dengan
ketentuan Bank Indonesia yang mengharuskan transaksi bernilai di bawah 100 juta menggunakan Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).
Tabel II.1. Perkembangan Transaksi RTGS Sumatera

Tabel II.2. Perkembangan Transaksi Kliring Sumatera

L a p o r a n N u s a n t a r a | 23

Transaksi pembayaran melalui kliring pada triwulan IV 2014 mengalami peningkatan baik volume maupun nilai
transaksi. Secara nilai, transaksi kliring tumbuh sebesar 9,72% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan
III yang hanya 6,51% (yoy), dengan total transaksi kliring mencapai Rp.72,1 Triliun. Sementara itu, volume
kliring meningkat signifikan sebesar 23,67% (yoy) pada triwulan IV 2014 dibandingkan dengan triwulan III 2014
yang hanya tumbuh sebesar 5,79%. Peningkatan ini merupakan akibat dari diberlakukannya ketentuan Bank
Indonesia yang mengharuskan transaksi keuangan di bawah 100 juta menggunakan SKNBI dan meningkatnya
transaksi masyarakat pada masa liburan akhir tahun.

Kinerja Pengelolaan Uang Tunai


Perkembangan aliran uang kartal di wilayah Sumatera pada triwulan IV 2014 secara umum mengalami net
outflows. Jumlah uang yang keluar dari Bank Indonesia (outflow) selama triwulan IV 2014 mencapai Rp23,98
triliun dengan jumlah uang yang masuk (inflow) Rp14,49 triliun. Untuk tahun 2014, net outflow terjadi hampir
di seluruh provinsi Sumatera kecuali Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Lampung. Hal ini berhubungan
dengan kegiatan perdagangan yang tinggi di ketiga provinsi tersebut. Perkembangan peredaran uang palsu di
Sumatera pada tahun 2014 mengalami penurunan 20,45% (yoy) dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Total peredaran uang palsu pada tahun 2014 berjumlah 7827 lembar atau 6,41% dari total peredaran uang
palsu Nasional. Dalam menanggulangi peredaran uang palsu, Bank Indonesia senantiasa melakukan sosialisasi
ciri-ciri keaslian uang rupiah kepada masyarakat, melalui sekolah, universitas, pemerintah daerah, dan
sebagainya. Selain itu, Bank Indonesia juga secara rutin melakukan kas keliling untuk menjangkau seluruh
wilayah Indonesia, seperti yang dilakukan
25

Rp Triliun

Inflow

Outflow

Net Inflow (Outflow)

3500

20

3000

15

2500

10

2000

1500

1000

-5

500

lembar

-10

Aceh

Sumut

Sumbar

Riau

Kepri

Jambi

Sumsel

Babel Lampung Bengkulu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2013

Grafik II.31. Perkembangan Inflow dan Outflow Sumatera


(2014)

2014

Grafik II.32. Perkembangan Uang Palsu

PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan mengalami perbaikan. Ekonomi
Sumatera diperkirakan tumbuh 4,6% - 5,1% (yoy), sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2014.
Peningkatan diperkirakan terjadi hampir di seluruh provinsi di Sumatera kecuali Riau dan Jambi. Hal tersebut
didukung oleh berbagai rencana infrastruktur yang akan dilaksanakan pada tahun 2015, sehingga investasi
diperkirakan akan meningkat. Adanya pengalihan subsidi BBM ke berbagai proyek seperti bangun desa, irigasi,
dan waduk juga diperkirakan akan mendorong kegiatan investasi dan konsumsi Pemerintah. Optimisme
perbaikan ekonomi negara mitra dagang dan harga komoditas internasional diperkirakan juga akan
mendorong kegiatan ekspor Sumatera.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 24

Dari sisi sektoral, perbaikan ekonomi diperkirakan akan didorong oleh sektor industri pengolahan; dan sektor
perdagangan besar dan eceran, dan reparasi mobil dan sepeda motor yang masih tumbuh tinggi. Berbagai
pengembangan infrastruktur jalan maupun pelabuhan diperkirakan akan mendorong aktivitas sektor industri
pengolahan lebih tinggi. Selain itu, kegiatan perdagangan di kawasan Sumatera juga diperkirakan akan terus
mengalami pertumbuhan akibat konsumsi rumah tangga yang masih relatif tinggi,

Prospek Inflasi
Inflasi Sumatera pada akhir tahun 2015 diperkirakan akan mendukung pencapaian target sasaran inflasi
nasional 41%. Inflasi Sumatera diperkirakan berada pada kisaran 3,9% - 4,4% (yoy), sejalan dengan
menurunnya harga minyak dunia. Tren penurunan harga minyak dunia akan menurunkan tekanan harga pada
kelompok Administered Prices seperti harga bahan bakar rumah tangga dan tarif transportasi.
Menurunnya biaya produksi, akan menurunkan tekanan harga secara umum. Dengan harga minyak dunia yang
cenderung turun, dan kenaikan UMP yang tidak setinggi tahun sebelumnya, memengaruhi biaya produksi yang
menjadi relatif lebih rendah. Biaya produksi yang rendah akan menurunkan harga jual barang atau jasa. Selain
itu, sentimen penurunan harga jual barang dan jasa akan menjaga ekspektasi masyarakat. Di sisi lain, harga
komoditas yang masih cenderung rendah, akan menahan tingkat konsumsi masyarakat. Hal ini akan menekan
inflasi khususnya kelompok inti (core).
Faktor lain yang diperkirakan mampu menahan laju inflasi pada tahun 2015 adalah faktor iklim, yang
diperkirakan oleh BMKG lebih kondusif dibandingkan dengan tahun 2014. Sehingga produksi bahan pangan di
Sumatera seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara diperkirakan meningkat dari
tahun sebelumnya. Dengan kondisi ini supply pasokan, terutama, bahan pangan akan lebih terjamin.
Selanjutnya, ketersediaan pasokan pangan yang lebih baik diperkirakan akan cukup menahan laju inflasi pada
kelompok volatile food.
Beberapa faktor yang dapat memperbesar inflasi pada tahun 2015 adalah, penyesuaian tarif Listrik, dan
kenaikan tarif pembuatan SIM. Selain itu, potensi risiko dari kenaikan imported inflation masih perlu dicermati
dampaknya pada prospek inflasi Sumatera secara keseluruhan. Menghadapi risiko ini, seluruh TPID di seluruh
provinsi Sumatera telah merancang roadmap jangka pendek dan jangka panjang terkait penanganan inflasi
daerah yang diharapkan dapat menekan risiko peningkatan inflasi di Sumatera.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 25

Kondisi Perekonomian Kabupaten dan Kota di Sumatera


Latar belakang isu regional ini adalah adanya dugaan bahwa pertumbuhan ekonomi Sumatera selama ini lebih
banyak terkonsentrasi di pusat-pusat pertumbuhan yang sebagian besar berlokasi di pantai timur Sumatera.
Hal ini mendorong perlunya asesmen singkat untuk mengidentifikasi symptom awal terjadinya ketimpangan
perekonomian antarkabupaten dan kota di Sumatera. Pendekatan yang diambil dalam menerjemahkan
9
ketimpangan adalah dengan menggunakan angka Williamson Index setiap kabupaten atau kota se-Sumatera.
Beberapa variabel yang digunakan untuk lebih memahami ketimpangan perekonomian ini yaitu tingkat
kapasitas perekonomian, kapasitas fiskal serta tingkat kemiskinan. Kapasitas perekonomian diterjemahkan
sebagai besaran pendapatan per kapita kabupaten atau kota yang bersangkutan. Sementara kemampuan fiskal
didekati dari dua sisi yaitu dari sisi kemampuan APBD mendukung perekonomian serta sisi kemampuan PAD
mendukung perekonomian daerah. Digunakannya APBD dan PAD sebagai variabel terpisah dimaksudkan untuk
lebih mendalami kemampuan fiskal genuine suatu Kabupaten/Kota mengingat di dalam APBD masih
terkandung Dana Alokasi yang bersumber dari pemerintah pusat.

Indeks Vw
0 - 0,05
0,05 - 0,15
> 0,15
Sumber: WorldBank-diolah
Grafik II.33. Wlliamson Index berdasarkan PDRB Per Kapita

Indeks Vw
0 - 0,05
0,05 - 0,15
> 0,15
Sumber: WorldBank-diolah
Grafik II.34. Wlliamson Index berdasarkan APBD Per Kapita

Angka Williamson Index berdasarkan PDRB per kapita mengonfirmasi hipotesis awal bahwa pertumbuhan
ekonomi di Sumatera hanya terpusat pada daerah-daerah yang selama ini telah dikenal sebagai pusat
pertumbuhan, baik karena kondisi infrastrukturnya yang memadai maupun karena kandungan sumber daya
alamnya. Berdasarkan hasil pemetaan, Kabupaten Bengkalis, Rokan dan Siak serta Batam, Medan dan Padang
tercatat sebagai Kabupaten/Kota dengan PDRB perkapita jauh di atas rata-rata PDRB Sumatera (warna hijau
tua). Seluruh Kabupaten/Kota tersebut berlokasi di pantai timur Sumatera, kecuali Kota Padang. Sementara
9

Williamson Index digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan perekonomian (pendapatan per kapita, fiskal) suatu wilayah pada
waktu tertentu. Perhitungan indeks ini adalah jika mendekati 1 mengindikasikan keadaan ekonomi suatu wilayah sangat timpang dengan
wilayah lainnya sebaliknya jika mendekati 0 mengindikasikan keadaan ekonomi suatu wilayah relatif merata dibandingkan wilayah lainnya.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 26

Kabupaten/Kota lainnya yang juga memiliki PDRB per kapita sedikit di atas rata-rata PDRB Sumatera (warna
hijau muda) juga berlokasi di pantai timur Sumatera.
Dari pemetaan sisi kapasitas fiskal Kabupaten/Kota dalam mendukung perekonomian juga terkonfirmasi
bahwa perekonomian Kabupaten/Kota di pantai timur Sumatera jauh lebih berkembang dibandingkan dengan
perekonomian Kabupaten/Kota di pantai barat Sumatera. Hal ini tercermin dari banyaknya Kabupaten/Kota di
pantai timur Sumatera yang memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata kapasitas fiskal kabupaten/Kota di
Sumatera. Selain itu, variabel ini juga dapat menunjukkan indikasi pengelolaan anggaran Kabupaten/kota.
Sebagai contoh pada beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan
memiliki kapasitas fiskal di atas rata-rata (warna hijau tua), namun memiliki PDRB per kapita di bawah ratarata. Begitu pun sebaliknya, beberapa Kabupaten/Kota yang memiliki kapasitas fiskal di bawah rata-rata
namun memiliki PDRB per kapita di atas rata-rata seperti misalnya Kota Banda Aceh di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Sama halnya dengan Williamson index berdasarkan APBD, Williamson index berdasarkan PAD juga
mengonfirmasi lebih tingginya kapasitas fiskal asli Kabupaten/Kota di pantai timur Sumatera. Perbandingan
Williamson index berdasarkan PDRB per kapita dan PAD semakin menunjukkan banyaknya Kabupaten/Kota
dengan PAD di atas rata-rata PAD Sumatera, namun kurang optimal dalam mengelola kapasitas fiskal.
Meskipun demikian, jika dilihat dari sebaran tingkat kemiskinannya, sebagaimana Grafik II.36, hanya
Kabupaten/Kota di propinsi NAD dan sebagian Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung
yang memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata (warna kuning pastel) tingkat kemiskinan Kabupaten/Kota
se-Sumatera.

Indeks Vw
0 - 0,05
0,05 - 0,20
> 0,20

Tingkat Kemiskinan

0 - 12%
12 - 15%
> 15%

Sumber: WorldBank-diolah
Sumber: WorldBank-diolah
Grafik II.35. Wlliamson Index berdasarkan PAD Per Kapita
Grafik II.36. Sebaran tingkat kemiskinan

Mengingat pola pertumbuhan di regional Sumatera terpusat di beberapa lokasi di pantai timur, maka perlu
untuk mempertimbangkan penciptaan pusat pertumbuhan baru atau pemanfaatan pusat pertumbuhan
existing di pantai Barat Sumatera seperti halnya Kota Padang untuk dapat lebih mengurangi kesenjangan
perekonomian antar Kabupaten/Kota di Sumatera.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 27

Potensi Pengembangan Perekonomian Pantai Barat Sumatera


Implikasi dari ketimpangan perekonomian di Sumatera adalah diperlukannya pusat-pusat pertumbuhan baru
di Sumatera, khususnya di wilayah pantai barat Sumatera. Berdasarkan identifikasi terkini pada Desember
2014, 24% dari total nilai ekspor Sumatera bertujuan ke negara-negara di tepi Samudera Hindia dan 20,70%
dari total ekspor ke negara-negara anggota IORA (Indian Ocean Rim Association). Adapun produk ekspor
Sumatera ke negara tersebut antara lain karet remah (crumb rubber), CPO, dan kelompok kopi, teh, dan
bumbu-bumbuan.
Saat ini mitra dagang utama Sumatera adalah Jepang, USA dan Korea. Data World Trade Organization
menunjukkan bahwa negara-negara tersebut saat ini sedang mengalami stagnasi ataupun perlambatan dalam
perdagangan mereka. Sementara itu, perdagangan negara lainnya seperti India, Turki dan United Arab
Emirates terus tumbuh. Kondisi ini melahirkan peluang bagi Sumatera untuk mendiversifikasi pasar ekspornya.
Dengan keunggulan posisi geografis Sumatera, khususnya pantai barat yang berbatasan langsung dengan
Samudera Hindia, potensi diversifikasi ke negara-negara di tepi Samudera Hindia dapat menjadi salah satu
peluang. Saat ini 50% lalu lintas kargo curah serta dua pertiga pengapalan minyak dunia melalui Samudera
Hindia. Selain itu, posisi Indonesia yang mendapat giliran sebagai ketua IORA pada akhir tahun 2015 juga dapat
mendorong implementasi penguatan transportasi kelautan, perikanan dan Preferential Tariff Aggreement
(PTA) yang merupakan fokus utama organisasi ini. Potensi infrastruktur yang telah dimiliki, yaitu pelabuhan
Teluk Bayur dan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bungus di Sumatera Barat juga dapat dioptimalkan.
Pelabuhan Teluk Bayur saat ini masih under capacity. Kondisi fishing ground di sebelah barat pantai barat
Sumatera yang tidak terpengaruh musim dapat dimanfaatkan melalui PPS Bungus yang memiliki klasifikasi
tertinggi pelabuhan perikanan dengan kapasitas sebesar 6000 Gross Weight Tons.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 28

B
agianII

PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian berbagai daerah di Jawa secara agregat tumbuh meningkat pada triwulan IV 2014 sebesar 6,0%
(yoy). Kinerja perekonomian Jawa yang lebih tinggi ini didorong oleh konsumsi rumah tangga, serta realisasi
belanja pemerintah yang mencapai puncaknya di akhir tahun. Dari sisi eksternal, perbaikan ekonomi AS turut
memengaruhi meningkatnya ekspor produk manufaktur Jawa, khususnya tekstil dan furnitur. Sementara itu
kinerja investasi sektor swasta belum sepenuhnya pulih, sebagaimana terlihat dari masih rendahnya realisasi
Penanaman Modal Asing (PMA). Meningkatnya kinerja ekspor manufaktur berimbas pada aktivitas industri
manufaktur Jawa yang terus mengalami perbaikan. Selain itu, kinerja sektor perdagangan juga tercatat
tumbuh membaik, didorong oleh meningkatnya transaksi perdagangan ritel di akhir tahun. Sebaliknya, sektor
pertanian mengalami perlambatan, sejalan dengan minimnya panen akhir tahun dan komoditas tanaman
bahan makanan yang tengah memasuki masa tanam. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Jawa pada
triwulan IV 2014 ini didukung oleh peningkatan pertumbuhan di hampir seluruh provinsi, kecuali Yogyakarta.
Laju pertumbuhan ekonomi tertinggi, tercatat di Jakarta dan Banten yang masing-masing tercatat tumbuh
sebesar 6,2%, diikuti oleh Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat masing-masing sebesar 6,2%,
6,0%, dan 5,5%.
Untuk keseluruhan tahun 2014, perekonomian Jawa secara keseluruhan tercatat tumbuh melambat pada level
5,5%. Perlambatan ini didorong oleh belum stabilnya pemulihan ekonomi global yang berpengaruh pada
tertahannya kinerja ekspor produk manufaktur Jawa. Dari sisi investasi, sejumlah pelaku usaha cenderung
menunda realisasi investasi sembari menunggu hasil Pemilu dan arah kebijakan pemerintah baru. Kinerja
konsumsi pemerintah juga tumbuh terbatas seiring adanya kebijakan pengetatan anggaran yang diinisiasi
pemerintah pusat. Meskipun demikian, perlambatan ini sedikit tertahan dengan terjaganya daya beli
masyarakat seiring inflasi yang terkendali dan kenaikan Upah Minimum Kab/Kota (UMK) di awal tahun.
Tercatat kenaikan rata-rata upah di Jawa lebih tinggi dibanding 2013, kecuali Provinsi DKI Jakarta. Dari sisi
sektoral, meskipun tumbuh melambat, kinerja sektor industri pengolahan masih mampu menopang
perekonomian Jawa secara keseluruhan. Adapun perlambatan ekonomi didorong melemahnya sektor
pertanian, terkait dengan relatif minimnya pembangunan irigasi dan gangguan cuaca. Selain itu, sektor
perdagangan besar juga melambat sebagai akibat dari peningkatan biaya produksi baik dari upah pekerja
maupun bahan baku impor.
Memasuki awal tahun 2015, ekonomi Jawa diperkirakan tumbuh stabil pada level 5,9%. Tertahannya
pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 bersumber dari belum pulihnya kinerja investasi sektor swasta
dan permintaan ekspor luar negeri. Kinerja kedua sektor ini diperkirakan baru pulih pada semester II 2015,
seiring dengan prospek perbaikan ekonomi Amerika Serikat dan Jepang, serta optimisme pada akselerasi
ekonomi Wilayah Timur Indonesia. Sumber pertumbuhan masih berasal dari sektor rumah tangga, yang
didorong oleh kenaikan pendapatan tenaga kerja formal dengan meningkatnya UMK. Dari sisi sektoral,
tingginya curah hujan di beberapa sentra produksi tanaman bahan makanan dan belum pulihnya permintaan
domestik menyebabkan perlambatan di sektor pertanian dan industri pengolahan. Kendati demikian,
perbaikan ekonomi wilayah timur Indonesia diperkirakan dapat mendorong kinerja sektor perdagangan besar
di Jawa. Secara keseluruhan ekonomi Jawa pada tahun 2015 diperkirakan tumbuh pada kisaran 5,9% - 6,2%.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 29

Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Kinerja konsumsi rumah tangga pada triwulan IV 2014 tumbuh melambat sebagaimana terkonfirmasi dari hasil
Survei Konsumen pada Indikator Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE). Kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir
2014 memberikan tekanan pada daya beli masyarakat dan berpengaruh pada kinerja konsumsi rumah tangga.
Indikasi perlambatan konsumsi rumah tangga tercermin dari hasil survei yang menunjukkan bahwa 88%
responden cenderung menilai relatif signifikannya dampak kenaikan BBM, sehingga terdapat rencana
mengurangi pengeluaran khususnya pada barang tahan lama. Dari sisi pembiayaan, penyaluran kredit
konsumsi dalam tren peningkatan yang didominasi Kredit Multiguna dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
200

INDEX

190
180
170
160
150
140
130
120
110
100
90
80
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
2012

2013

2014

Grafik III.1.1. Indeks Penjualan Eceran

Grafik III.1.2. Kinerja Kredit Konsumsi

Untuk keseluruhan tahun 2014, konsumsi rumah tangga masih tumbuh kuat sebesar 5,9%. Hal ini juga
didukung oleh Survei Konsumen yang mengindikasikan adanya kenaikan tingkat penghasilan yang
mempersepsikan di tahun 2014.
Pada triwulan I 2015, konsumsi rumah tangga diperkirakan cenderung meningkat seiring dengan membaiknya
daya beli masyarakat, disertai prospek minimalnya tekanan inflasi karena penurunan harga BBM dengan
melemahnya harga minyak dunia. Peningkatan daya beli juga didorong kenaikan gaji tenaga kerja formal di
awal tahun sebagai pengaruh dari peningkatan UMK.
140

INDEX

IKK

IKE

INDEX
150

IEK

130

IKE

Penghasilan Konsumen

Ketersediaan Lapangan Kerja

140

130

120

120

110

110

100
100

90
90

80

2 3 4 5

6 7 8

9 10 11 12 1 2 3

2013

4 5 6

8 9 10 11 12

2014

Grafik III.3. Indeks Keyakinan Konsumen

80
1

2013

9 10 11 12 1

9 10 11 12

2014

Grafik III.4. Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini

Konsumsi Pemerintah
Pada triwulan IV 2014, belanja sektor pemerintah masih tumbuh terbatas di level 3,9% (yoy), seiring minimnya
ruang belanja fiskal pemerintah. Hal ini dipengaruhi antara lain oleh berbagai langkah penghematan yang
dilakukan oleh pemerintah sehingga turut memengaruhi kinerja konsumsi pemerintah. Pada triwulan ini, porsi
belanja lebih didominasi belanja bantuan sosial dan hibah mengikuti pola umumnya menjelang akhir tahun.
Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah di tahun 2014 yang merupakan inisiatif nasional memengaruhi
perlambatan konsumsi pemerintah di Jawa ke level 2,9%. Di tingkat kab/kota dan provinsi, belanja pemerintah

L a p o r a n N u s a n t a r a | 30

yang tumbuh terbatas juga dipengaruhi oleh menurunnya Dana Bagi Hasil (DBH) di beberapa provinsi. Hal ini
dipengaruhi oleh lesunya aktivitas sektor riil, sejalan dengan melambatnya perekonomian. Sebagai contoh,
perlambatan industri tembakau yang berpengaruh pada menurunnya pendapatan DBH khususnya di Provinsi
Jawa Timur. Menurunnya kinerja sektor riil juga berdampak pada lebih rendahnya Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang terutama bersumber dari pendapatan retribusi.
Realisasi belanja pemerintah pada triwulan I 2015 diperkirakan masih tumbuh terbatas. Upaya pemerintah
untuk melakukan efisiensi belanja untuk keperluan rapat, perjalanan dinas dan sejumlah belanja terkait
pegawai, diharapkan berdampak positif pada peningkatan pangsa belanja modal pemerintah. Namun,
kebijakan ini juga diperkirakan menekan kinerja jasa perhotelan khususnya di Provinsi Jawa Barat dan Daerah
Istimewa Yogyakarta.

Investasi
Realisasi belanja investasi swasta pada triwulan IV 2014 terjaga stabil, sebagaimana tercermin dari angka
realisasi investasi PMA dan PMDN di kisaran Rp300 Triliun. Meski demikian, terdapat indikasi melemahnya
belanja investasi bangunan dan peningkatan komponen investasi non bangunan (mesin industri). Selain itu,
capaian belanja infrastruktur skala besar juga masih tergolong rendah. Kendala terbesar masih bersumber dari
sulitnya negosiasi pembebasan lahan proyek dan proses birokrasi terkait penentuan kewenangan pemerintah
pusat dan daerah.
20,000

Jumlah Proyek

Nilai Proyek (US Juta)

gJumlah (yoy)

gNilai (yoy)

140

100,000

120

Jumlah Proyek

Nilai Proyek (Rp Milyar)

gJumlah (yoy)

gNilai (yoy)

80

70

80,000

16,000

60

100
80

12,000

50

60,000

40

60
8,000

40

40,000

30
20

20
20,000

4,000

10

0
-

-20
2010

2011

2012

2013

Grafik III.5. Kinerja Investasi PMA

2014

0
2010

2011

2012

2013

2014

Grafik III.6. Kinerja Investasi PMDN

Pelemahan belanja investasi swasta pada 2014, disebabkan oleh lebih rendahnya realisasi investasi asing
dibandingkan dengan 2013. Tercatat belanja investasi di Jawa tumbuh sebesar 4,4%. Berdasarkan hasil survei
dan liaison, kenaikan komponen biaya produksi yang meliputi upah tenaga kerja, tarif energi dan pajak turut
memberikan sentimen negatif pada iklim investasi Jawa. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), realisasi investasi tercatat menurun dibandingkan tahun sebelumnya, dari USD17.326 juta
menjadi USD15.437 juta atau secara pertumbuhan melambat menjadi 37% (yoy). Namun, kinerja investasi
PMDN masih mampu tumbuh lebih tinggi yaitu dari Rp66 Triliun menjadi Rp97 Triliun atau tumbuh meningkat
46% (yoy).
Pada triwulan I 2015, kinerja investasi baik yang berasal dari sumber swasta maupun pemerintah diprediksi
membaik. Berdasarkan hasil liaison, sebagian besar pelaku usaha akan melakukan investasi untuk
meningkatkan efisiensi lini produksi menuju semi otomasi. Oleh karena itu, belanja investasi pada triwulan
berjalan cenderung lebih didominasi kelompok non bangunan. Beberapa sektor usaha yang terindikasi akan
memulai ekspansi usaha adalah industri tekstil, khususnya yang memiliki tujuan ekspor. Di sisi lain, belanja
infratruktur pemerintah terindikasi masih belum optimal, meskipun Pemerintah Pusat telah menambah alokasi
anggaran belanja modal dari penghematan subsidi BBM. Meski demikian, masih terdapat kendala dalam
proses birokrasi perencanaan program kerja daerah yang dituangkan pada Rencana Program Kerja Daerah
(RPKD). Hingga Februari 2015, sebagian daerah masih belum menyelesaikan RKPD. Selain itu, rancangan APBD

L a p o r a n N u s a n t a r a | 31

juga masih belum disahkan di beberapa daerah, sehingga capaian realisasi belanja infrastruktur pada triwulan I
2015 diprakirakan masih di bawah 10%, jauh lebih rendah dari target sebelumnya di kisaran 20%.

Perdagangan Luar Negeri


Ekspor
Pada triwulan akhir 2014, ekspor ke Amerika Serikat dan Jepang mengalami peningkatan seiring membaiknya
prospek perekonomian di kedua negara tersebut dan momentum Natal di akhir tahun. Tercatat permintaan
ekspor komoditas tekstil dan furnitur ke Amerika Serikat mengalami peningkatan, sementara peningkatan
permintaan ke Jepang lebih didominasi komoditas bahan kimia organik dan hasil laut.
Kinerja ekspor luar negeri Jawa tumbuh melambat menjadi 4,9% pada 2014. Masih belum stabilnya pemulihan
ekonomi negara maju (AS dan Jepang), serta melambatnya pertumbuhan negara berkembang (Tiongkok dan
ASEAN), menyebabkan terbatasnya perbaikan ekspor. Selain itu, pemberlakuan UU Minerba pada 1 Januari
2014 turut menekan kinerja ekspor hasil tambang yang sebagian besar dikirim melalui Pelabuhan Tanjung
Perak, seperti komoditas tembaga dan nikel. Di sisi lain, tren penurunan harga internasional dari komoditas
industri manufaktur seperti bahan kimia dan tekstil turut memengaruhi kinerja ekspor kawasan Jawa.
Meskipun dalam satuan volume, kinerja kedua komoditas tersebut masih relatif stabil.
Pada triwulan I 2015, ekspor luar negeri diperkirakan tumbuh relatif stabil, didorong optimisme pelaku usaha
di Provinsi DKI Jakarta dan Banten. Stabiltnya ekspor ditopang oleh komoditas ekspor utama seperti produk
tekstil, kimia, dan produk makanan dan minuman. Untuk jenis komoditas tersebut, daya saing ekspor Jawa
relatif baik, meski terdapat potensi kenaikan biaya produksi baik dari bahan baku maupun upah buruh.
Namun, bagi industri yang memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor dan berorientasi pada pasar
domestik, masih terdapat risiko nilai tukar yang berpotensi meningkatkan biaya produksi dan menekan marjin
usaha.

Impor
Pada triwulan akhir 2014, kinerja impor Jawa didorong oleh meningkatnya permintaan impor barang modal
untuk kebutuhan sektor industri, seiring meningkatnya kebutuhan otomatisasi guna meningkatkan daya saing
produk. Demikian pula impor bahan baku tercatat meningkat tipis yang didominasi kelompok barang rumah
tangga dan tekstil. Pola ini terbentuk dari kecenderungan meningkatnya permintaan masyarakat pada
momentum Natal dan Tahun Baru di akhir tahun. Di sisi lain, impor bahan baku tumbuh melambat.
Kinerja impor luar negeri secara umum mengalami perlambatan menjadi 1,3% di tahun 2014. Sebagai sentra
produksi barang industri, impor barang Jawa didominasi untuk kebutuhan bahan baku industri. Oleh karena
itu, pertumbuhannya pun cenderung diikuti kinerja ekspor dengan lag 1 2 bulan. Menurunnya permintaan
ekspor dan penjualan domestik turut memengaruhi impor komoditas utama seperti bahan kimia dan besi
baja. Selain itu, penurunan impor barang modal terkait dengan melambatnya aktivitas pada industri tambang
di Wilayah Timur Indonesia. Hal ini mengingat sebagian besar impor barang modal yang tercatat di Jawa
ditujukan ke Wilayah Indonesia Timur. Tercatat mesin industri serta kendaraan berat untuk industri tambang
diimpor melalui Jawa. Adapun penurunan impor barang modal secara drastis merupakan dampak dari
pemberlakuan UU Minerba pada awal 2014.
Pada triwulan I 2015, impor luar negeri diperkirakan meningkat seiring membaiknya ekspor. Peningkatan
impor lebih didorong oleh kelompok impor barang modal dan bahan baku. Sementara itu, impor barang
konsumsi diperkirakan tumbuh stabil seiring masih terjaganya belanja konsumsi rumah tangga.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 32

Kinerja Sektor Utama Daerah


Sektor Industri Pengolahan
Pada triwulan akhir 2014, kinerja sektor industri tumbuh membaik seiring meningkatnya produksi untuk
memenuhi peningkatan permintaan domestik dan ekspor luar negeri. Kenaikan permintaan didominasi barang
kebutuhan pokok dan rumah tangga yang digunakan untuk menyambut Natal dan Tahun Baru. Namun,
pelemahan harga global komoditas industri sedikit menekan marjin sektor produksi, khususnya komoditas
bahan kimia dan tekstil yang terutama melemah menjelang akhir tahun.
54.00

(Indeks)

300,000

Ribu Unit

53.00

Produksi Mobil

250,000

52.00
51.00

Penjualan Mobil

Ekspor Mobil

200,000

50.00

150,000

49.00
48.00

100,000

47.00

46.00

50,000

45.00

44.00

II

III IV

2010

II

III IV

2011

II

III IV

2012

II

III IV

2013

II

III IV I*

2014

Grafik III.7. Indeks Produksi dan Kapasitas Industri

2015

2012

11

2013

11

11

2014

Grafik III.8. Produksi Industri Kendaraan

Pertumbuhan sektor industri pengolahan tercatat melambat pada level 5,9% (yoy) pada keseluruhan 2014.
Melemahnya nilai marjin yang diperoleh pelaku usaha turut menyebabkan perlambatan kinerja sektor industri
pengolahan tahun ini. Kenaikan biaya energi dan tenaga kerja terindikasi memicu terjadinya pengalihan dari
industri padat karya menuju industri semi otomasi atau padat modal. Sejumlah industri juga berencana
melakukan relokasi ke daerah lain yang dengan tingkat UMK lebih rendah seperti di Provinsi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Yogyakarta. Strategi ini dilakukan pelaku usaha mengingat keterbatasan dalam menaikkan
harga jual di tengah ketatnya persaingan yang harus dihadapi industri domestik dari barang impor asal
Tiongkok. Di sisi lain, juga terdapat upaya untuk mempertahankan marjin usaha dengan menekan biaya
produksi terutama dari komponen upah. Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) juga mengindikasikan rendahnya
tingkat kapasitas produksi sektor industri sebagai pengaruh dari terbatasnya nilai transaksi ekspor pada 2014.
Penurunan terbesar disumbang oleh subsektor Industri Logam Dasar seperti besi dan baja yang salah satunya
merupakan dampak dari menurunnya aktivitas sektor pertambangan. Sementara itu penurunan kinerja pada
subsektor makanan minuman dan tembakau disebabkan oleh beralihnya preferensi konsumen dari sigaret
kretek tangan ke rokok filter/mesin.
Pada triwulan I 2015, industri pengolahan diprakirakan tumbuh membaik seiring dengan optimisme pelaku
usaha atas perbaikan ekonomi domestik dan meningkatnya permintaan ekspor luar negeri. Upaya otomatisasi
lini produksi diharapkan mendorong peningkatan marjin sektor industri. Namun, industri makanan pengolahan
produk laut menghadapi tantangan dari terbatasnya bahan baku karena adanya pemberlakuan morotarium
perizinan kapal penangkap ikan dan pembatasan impor beberapa komoditas ikan laut. Dalam jangka pendek,
kebijakan ini berpotensi memengaruhi kinerja industri pengolahan seiring berkurangnya pasokan dari berbagai
daerah di wilayah timur Indonesia.

Sektor industri pengolahan di Jawa memiliki pangsa terbesar dengan porsi mencapai 35%, dengan sumbangan tertinggi berasal dari
Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 33

Sektor Konstruksi
Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan sektor konstruksi di berbagai daerah di Jawa secara agregat tumbuh
sebesar 5,5% (yoy). Data penjualan semen di Jawa mengindikasikan bahwa tingkat pertumbuhan konstruksi
tersebut cenderung melambat dibanding periode triwulan sebelumnya. Perlambatan ini disebabkan
melemahnya transaksi penjualan properti di tengah pelemahan ekonomi domestik. Selain itu, perlambatan
konstruksi di Jawa terindikasi turut dipengaruhi oleh aktivitas perekonomian di berbagai daerah di Sumatera
dan wilayah Timur Indonesia yang cenderung melambat. Hal ini mengingat sebagian transaksi properti di Jawa
juga dilakukan oleh pembeli dari daerah-daerah di luar Jawa, khususnya daerah yang menjadi basis produksi
tambang dan perkebunan.
Beberapa faktor penahan pertumbuhan laju sektor konstruksi lainnya meliputi kenaikan suku bunga kredit
konstruksi, dampak kebijakan KPR indent rumah kedua, serta kenaikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) di 2014
juga menjadi kendala bagi sejumlah pengembang/kontraktor untuk memulai pembangunan. Meskipun
pemulihan penjualan properti residensial mulai terindikasi pada triwulan IV 2014 (Grafik III.10), namun masih
belum mampu menahan lemahnya pertumbuhan penjualan properti komersial. Demikian pula dengan
beberapa proyek infrastruktur besar masih belum memenuhi target penyelesaian di akhir tahun antar lain
realisasi konstruksi infrastruktur skala besar masih cenderung minim, yang terkendala faktor
pembebasan lahan. Kondisi ini juga dikonfirmasi dari rendahnya pertumbuhan penjualan semen seluruh
Provinsi di Jawa (kecuali Banten) pada tahun 2014 (Grafik III.9). Berbagai perkembangan ini menyebabkan
pertumbuhan sektor konstruksi tumbuh lebih rendah di kisaran 5,2% untuk keseluruhan tahun 2014.
40

Volume Semen '13

Volume Semen '14

18

gSemen '13

gSemen '14

16

30

Kecil

(%, yoy)

Menengah

Besar

Total

14
12

20
10
8

10

6
4

0
D. K. I.
Jakarta

Banten

Jabar

Jateng

D. I. Y.

Jatim

(10)

Jawa

2
I

(20)

II

III

2013

Grafik III.9. Konsumsi Semen Pulau Jawa

IV

II

III

IV

2014

Grafik III.10. Kinerja Penjualan Properti Residensial

Pada triwulan I 2015, kinerja sektor konstruksi dipersepsikan membaik oleh para pelaku usaha. Hal ini
terutama didukung oleh akselerasi investasi proyek infrastruktur pemerintah di sejumlah daerah, diantaranya
infrastruktur jalan dan irigasi. Meski demikian, peningkatan pertumbuhan diperkirakan masih belum signifikan,
seiring masih terbatasnya pemulihan konsumsi domestik.

Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian tercatat melambat pada triwulan IV 2014, seiring masuknya musim pancaroba yang
menyebabkan ketidakpastian produksi pada subsektor tabama. Indikator luas tanam padi juga menunjukan
penurunan yang signifikan sehingga total produksi pertanian pada akhir tahun 2014 relatif terbatas. Secara
keseluruhan, kinerja sektor pertanian di tahun 2014 tercatat tumbuh melambat. Tingginya tingkat curah hujan
yang mengakibatkan terjadinya bencana banjir terbesar di beberapa sentra produksi tabama menjadi faktor
penyebab penurunan ini.
Pada triwulan I 2015, kinerja sektor pertanian diprediksi mengalami peningkatan, seiring minimnya potensi
banjir bila dibandingkan 2014. Panen kelompok tanaman bahan makanan (tabama) pada bulan Maret
berpotensi mendorong pertumbuhan sektor pertanian. Aksi agresif pemerintah dalam mendorong produksi
tabama di tahun 2015 berpotensi mendorong kinerja sektor ini. Pemerintah juga menjamin ketersediaan
pupuk dan benih di sepanjang tahun guna mendorong program swasembada pangan. Selain itu, penggiatan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 34

program penanaman tanaman hortikultura pada off season guna menjamin ketersediaan supply kelompok
bumbu-bumbuan, juga akan mendukung peningkatan produksi.
50

(%, yoy)

gKredit Pertanian

(%)

NPL (%)

45

7,000

6,000

40
3

35
30

25

20
15

10

5,000
4,000

3,000

(ribu ha)

(%, yoy)

5
4
3

Luas Lahan Padi


Luas Lahan Jagung
gLuas Padi
gLuas Jagung

2
1
0

2,000

-1

1,000

-2

0
1

2012

11

7
2013

11

2014

Grafik III.11. Perkembangan Kinerja Pertanian

11

-3

2011

2012

2013

2014

Grafik III.12. Luas Lahan Tanam dan Panen Padi

LAJU INFLASI
Inflasi di Jawa pada akhir tahun tercatat mencapai 8,35% (yoy), atau lebih tinggi bila dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya (4,44 yoy). Tekanan inflasi terbesar berasal dari Provinsi Banten (10,20% yoy) dan juga
DKI Jakarta yang mencapai 8,95% (yoy). Tekanan terbesar pada triwulan IV 2014 disumbang oleh kelompok
administered prices, terutama karena dampak lanjutan kenaikan harga BBM bersubsidi, kenaikan TTL untuk
konsumen pascabayar serta penyesuaian harga LPG oleh pemerintah. Peningkatan dari kelompok administered
prices diikuti oleh kelompok volatile food, yang mengalami kenaikan akibat menurunnya pasokan beberapa
komoditas seperti cabe merah, beras dan ayam. Faktor cuaca yang kurang baik berdampak pada bergesernya
musim panen dari beras dan cabe merah di tahun 2014, khususnya di Provinsi Jawa Timur. Faktor cuaca juga
mengganggu produksi daging serta telur ayam dari Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur yang memberikan
tekanan cukup besar kepada kelompok volatile food.
Pada triwulan I 2015, inflasi Jawa diperkirakan mereda yang juga terlihat pada inflasi Januari yang turun
menjadi 6,93% (yoy). Penurunan tersebut sejalan dengan kebijakan penurunan harga BBM oleh pemerintah di
awal tahun 2015 yang diikuti oleh penurunan tarif angkutan di berbagai daerah di Jawa. Selain itu, prakiraan
realisasi panen yang sempat tertunda pada triwulan sebelumnya akan menambah pasokan pangan yang cukup
besar. Namun, penurunan inflasi dari kelompok administered prices tertahan oleh kenaikan tarif kereta api per
1 Januari 2015. Beberapa risiko yang masih membayangi prospek inflasi Jawa antara lain terkait dengan
tingginya curah hujan di awal tahun dan dampak dari terjadinya banjir di sejumlah daerah. Kondisi ini
dikhawatirkan dapat menggangu produksi pangan. Kebijakan terkait kenaikan Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) beras sebesar 10% turut memberikan tekanan kepada kelompok volatile food. Meski demikia, downside
risk dari inflasi diperkirakan bersumber dari kecenderungan menurunnya harga emas akan mengurangi
tekanan terhadap inflasi terutama di Jakarta.

Grafik III.13. Perkembangan Inflasi

Grafik III.14. Disagregasi Inflasi

L a p o r a n N u s a n t a r a | 35

Koordinasi Pengendalian Inflasi


Koordinasi pengendalian inflasi di 2014 dilakukan melalui Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) khususnya
2
dalam penguatan aspek produksi dan distribusi. Secara keseluruhan, produksi pangan pada tahun 2014 yang
lebih rendah bila dibandingkan dengan tahun 2013, tidak mengganggu pemenuhan permintaan di Jawa.
Keberhasilan pemenuhan pasokan pangan tersebut dipengaruhi oleh koordinasi TPID pada beberapa aspek
meliputi tindak lanjut kebijakan subsidi ongkos angkut khusus pada momen lebaran dan natal (TPID Provinsi
Jawa Timur) serta pemasangan Papan Harga Informasi Harga Strategis (PIHPS) di beberapa pasar tradisional
(TPID Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur).
Untuk mengatasi berbagai risiko inflasi ke depan, TPID di berbagai daerah di Jawa secara umum akan
menempuh beberapa langkah kebijakan antara lain:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Penyusunan roadmap TPID di wilayah Jawa guna mengoptimalkan peran TPID.


Pengembangan pusat informasi harga pangan strategis untuk memperluas akses informasi bagi
masyarakat luas dengan menyertakan data harga produsen dan ketersediaan stok antar wilayah.
Pemetaan permasalahan stok dan distribusi pangan antar provinsi.
Penetapan indikator early warning system dan pengoptimalisasian sistem resi gudang.
Kerjasama dengan Pemerintah Daerah guna mendorong peningkatan hasil produksi bagi komoditas
penyumbang inflasi.
Penambahan jumlah komoditas operasi pasar seperti telur ayam ras, daging ayam ras dan cabai.
Penyelenggaraan kegiatan capacity building bagi anggota TPID.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN


Ketahanan Sektor Korporasi
Penyaluran kredit korporasi dilihat dari sisi sektoral, masih didominasi oleh tiga sektor ekonomi utama di Jawa,
yaitu sektor iIndustri pengolahan (manufaktur), sektor perdagangan besar dan sektor konstruksi. Penyaluran
kredit sektor utama pada triwulan IV 2014 mengalami perlambatan, kecuali pada sektor konstruksi dengan
kualitas kredit untuk seluruh sektor utama yang membaik. Sementara itu, kredit pada sektor pertanian
mengalami peningkatan meskipun pangsanya relatif kecil (2,9%).
Sepanjang tahun 2014, kredit sektor industri pengolahan, sektor perdagangan besar dan sektor konstruksi
tercatat masih dalam tren melambat, sejalan dengan menurunnya kinerja sektoral di Jawa. Adapun
pertumbuhan kredit sektor pertanian dan sektor industri pengolahan masih cukup kuat pada 2014, yakni
masih berada di kisaran 30% - 40%. Kualitas kredit sektor utama di Jawa pun masih terjaga rendah
sebagaimana tercermin dari besaran non performing loans (NPLs) di bawah 5%.

Grafik III.15. Penyaluran Kredit (Lokasi Proyek)

Grafik III.16. Penyaluran Kredit Sektor Utama

Secara kelembagaan, seluruh TPID Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayah Jawa telah terbentuk.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 36

Ketahanan Sektor Rumah Tangga


Secara umum, tren perlambatan ekonomi nasional tidak berpengaruh kepada penyaluran kredit sektor rumah
tangga (RT). Meskipun Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan juga Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) mengalami
perlambatan, kredit sektor RT masih dapat terus tumbuh yang didorong oleh meningkatnya penyaluran Kredit
Kendaraan Bermotor (KKB) dan pinjaman multiguna. Penyaluran KPR hanya tumbuh sebesar 13,91% (yoy) atau
jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan pada tahun 2013 yang mencapai 24,21%.
Perlambatan kredit KPR juga diikuti dengan perlambatan harga properti, yang tercermin dari Indeks Harga
Properti Residensial (IHPR) di sebagian kota besar di Jawa. Kualitas kredit RT masih cukup aman pada level
1,41% atau stabil bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Namun, kualitas
kredit KPA/ruko mengalami kenaikan dalam dua tahun terakhir, sementara kualitas kredit KPM sedikit
memburuk pada tahun 2014.

Grafik III.17. Penyaluran Kredit RT

Grafik III.18. Kualitas Kredit RT

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)


Upaya pengembangan UMKM pada tahun 2014 memberikan hasil yang positif, dimana pertumbuhan kredit
UMKM mencapai 16,87% (yoy) atau lebih tinggi dari tahun 2013 yang hanya sebesar 13,82% (yoy). Meskipun
demikian, share UMKM terhadap total kredit belum banyak mengalami perubahan yang saat ini mencapai
16,53%. Di tengah pelemahan ekonomi domestik, penyaluran kredit UMKM masih disertai dengan terjaganya
kualitas di bawah 5%. Ke depan, penyaluran kredit pada sektor ini perlu digiatkan dengan tetap mencermati
tingkat kualitas kredit.

Grafik III.19. Penyaluran Kredit UMKM

Grafik III.20. NPL Kredit UMKM

Pengelolaan Sistem Pembayaran


Sejalan dengan indikasi perbaikan aktivitas perekonomian di Jawa, pada triwulan IV 2014 terdapat peningkatan
transaksi non-tunai dari yang dilakukan melalui fasilitas BI RTGS. Kenaikan aktivitas transaksi keuangan
terutama didorong oleh Provinsi DKI Jakarta yang memiliki porsi transaksi sebesar 86,90% dari total wilayah
Jawa. Sementara itu, kegiatan transaksi yang menggunakan SKNBI menunjukkan pertumbuhan walaupun

L a p o r a n N u s a n t a r a | 37

jumlah nominal transaksi SKNBI cukup rendah bila dibandingkan dengan jumlah nominal transaksi dengan
menggunakan BI RTGS.

Grafik III.21. Transaksi RTGS

Grafik III.22. Transaksi Kliring

Pengelolaan Uang Tunai Rupiah


Berdasarkan data pengelolaan uang tunai yang diperoleh hingga triwulan IV 2014, wilayah Jawa lebih banyak
menerima uang masuk (cash inflow) dibandingkan dengan uang yang keluar (cash outflow). Selama tahun
2014, seluruh provinsi di wilayah Jawa kecuali DKI Jakarta, mengalami net inflow yang cukup besar. Bagi
perekonomian di wilayah ini, cash inflow menunjukkan adanya kegiatan ekonomi yang cukup besar, dimana
sebagian besar daerah di Jawa merupakan produsen. Secara keseluruhan, wilayah Jawa mengalami net inflow
sebesar Rp 15,8 triliun atau berbalik dari kondisi di tahun 2013 yang mengalami net outflow sebesar Rp 1,6
triliun. Perubahan kondisi tersebut sejalan dengan melambatnya konsumsi rumah tangga dan cenderung untuk
mendorong tingkat simpanannya. Hal ini dikonfirmasi dari meningkatnya Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan
khususnya jenis deposito. Dari sisi, penemuan Uang Palsu (UPAL), di tahun 2014 jumlah UPAL yang berhasil
ditemukan mengalami penurunan sekitar 19,3% yang memberikan indikasi terdapatnya upaya perbaikan
dalam sistem pembayaran oleh Bank Indonesia serta pihak-pihak terkait lainnya.

Grafik III.23. Temuan UPAL

Grafik III.24. Perkembangan Netflow

PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi Jawa diproyeksikan berada di kisaran 5,9%-6,2% pada tahun 2015, dengan dukungan
terutama dari menguatnya konsumsi rumah tangga serta potensi perbaikan perdagangan antar pulau dan
ekspor luar negeri. Sementara, kinerja investasi swasta diperkirakan masih rendah sebagai pengaruh dari terus
meningkatnya biaya produksi pada sektor industri pengolahan. Berdasarkan hasil liaison, para pelaku usaha
mengeluhkan rendahnya daya saing investasi di Jawa dibandingkan negara ASEAN (Vietnam, Malaysia dan
Thailand). Hal ini berdampak pada rendahnya rencana investasi perusahaan PMA dibandingkan PMDN. Dari sisi
sektoral, ketiga sektor utama diperkirakan tumbuh membaik. Kinerja sektor industri pengolahan diperkirakan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 38

mengalami peningkatan kapasitas produksi pasca beroperasinya beberapa industri semi otomatis (tekstil dan
tembakau), diiringi dengan meningkatnya permintaan domestik dan luar negeri. Sementara itu, sektor
pertanian juga berpotensi tumbuh meningkat seiring moderatnya dampak el nino dan jaminan dukungan
pemerintah dalam mendorong produksi tabama Jawa. Di sisi lain, kinerja sektor perdagangan besar didukung
oleh potensi membaiknya kinerja sektor perdagangan antar pulau dan ekspor ke AS serta Jepang.

Prospek Inflasi
Inflasi Jawa diproyeksikan berada dalam kisaran target inflasi nasional 4%1% (yoy) pada tahun 2015.
Meredanya inflasi dari kelompok administered prices cukup berpengaruh dalam menurunkan tekanan inflasi di
Jawa secara keseluruhan. Kecenderungan menurunnya harga minyak dunia menjadi faktor utama penurunan
tingkat inflasi ke depan. Di sisi lain, inflasi dari kelompok volatile food dan core inflation diproyeksikan relatif
stabil. Berbagai rencana program peningkatan produksi pangan daerah dan peningkatan kerjasama antar
daerah untuk pemenuhan pasokan pangan serta program kerja lain dari TPID diprediksi dapat menahan laju
inflasi volatile food di 2015. Risiko tekanan dari volatile food dan inflasi inti di tahun 2015 diperkirakan
bersumber dari faktor cuaca (curah hujan tinggi) di awal tahun, faktor seasonal hari raya (Imlek dan Idul Fitri)
dan faktor kenaikan UMP yang akan berdampak pada peningkatan konsumsi masyarakat.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 39

Halaman ini sengaja dikosongkan

Laporan Nusantara

PERTUMBUHAN EKONOMI
Perekonomian berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan IV 2014 secara agregat mengalami perbaikan
meski masih terbatas, terutama ditopang oleh adanya perbaikan kinerja investasi di beberapa daerah.
Perbaikan kinerja investasi terutama terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat seiring dengan
investasi pembangunan smelter. Sementara itu, kinerja konsumsi rumah tangga masih tumbuh melambat
terkait dengan masih terbatasnya kinerja ekspor, khususnya batubara. Melambatnya konsumsi dipengaruhi
terutama oleh melemahnya pendapatan ekspor batubara terkait masih rendahnya harga di pasar ekspor.
Kinerja ekspor batubara lebih banyak ditopang oleh permintaan India di tengah masih lemahnya permintaan
dari Tiongkok yang merupakan pasar tujuan ekspor terbesar untuk batubara Kalimantan. Secara umum, masih
terbatasnya kinerja ekonomi Kalimantan terlihat dari capaian realisasi pertumbuhan ekonomi yang cenderung
masih rendah, seperti Kalimantan Timur (3,8%) dan Kalimantan Barat (3,9%), serta Kalimantan Selatan (4,0%).
Untuk keseluruhan tahun 2014, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Kalimantan secara agregat tercatat
sebesar 3,2% atau lebih rendah dibandingkan capaian di tahun 2013 (3,5%). Kondisi ini tidak terlepas dari
dinamika pemulihan ekonomi global yang berjalan lambat sehingga berdampak pada harga-harga komoditas
di pasar global. Hal ini pada giliannya berimbas pada kinerja ekspor Kalimantan yang didominasi oleh barang
tambang primer, khususnya batubara, sehingga turut menekan konsumsi rumah tangga yang banyak
mengandalkan pendapatan hasil ekspor batubara. Selain itu, masih terbatasnya kinerja produksi migas di
Kalimantan Timur turut berpengaruh pada lebih lambatnya kinerja ekonomi Kalimantan.
Memasuki triwulan I 2015, berbagai indikator ekonomi di berbagai daerah Kalimantan belum mengindikasikan
berlanjutnya perbaikan kinerja ekonomi Kalimantan secara keseluruhan. Harga komoditas batubara di pasar
global yang masih rendah dan perlambatan ekonomi Tiongkok yang diduga bersifat struktural berpengaruh
pada perbaikan aktivitas ekonomi Kalimantan yang cenderung terbatas. Meski demikian, kinerja ekonomi
Kalimantan mulai didorong oleh beroperasinya smelter alumina dan bijih besi serta pabrik pupuk di Kalimantan
Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Hal ini diprakirakan juga akan menopang perbaikan ekonomi
Kalimantan untuk keseluruhan tahun 2015.

Konsumsi
Konsumsi Swasta
Konsumsi swasta (konsumsi rumah tangga dan konsumsi lembaga swasta nirlaba) berbagai daerah di
Kalimantan tumbuh melambat pada triwulan IV 2014. Melambatnya konsumsi swasta sejalan dengan masih
masih terbatasnya perbaikan kinerja sektor-sektor utama di Kalimantan, terutama pertambangan dan
perkebunan. Harga komoditas ekspor yang masih rendah berdampak pada pendapatan ekspor masyarakat
yang cenderung melemah. Indikator Nilai Tukar Petani (NTP) juga menunjukkan kecenderungan yang juga
melambat (Grafik IV.1). Demikian halnya dengan penyaluran kredit konsumsi yang melambat. Untuk
keseluruhan tahun 2014, kinerja konsumsi swasta cenderung tumbuh melambat karena melemahnya
pendapatan ekspor. Meski demikian, penyelenggaraan Pemilu 2014 dapat sedikit menahan laju pelemahan
konsumsi Kalimantan lebih lanjut.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 41

Memasuki triwulan I 2015, berbagai indikator konsumsi rumah tangga belum menunjukkan perbaikan yang
berarti di semua provinsi, sejalan dengan masih lesunya sektor pertambangan khususnya di Kalimantan Timur
dan Kalimantan Selatan. Perlambatan yang terjadi pada sektor tambang akan berimplikasi pada sektor-sektor
pendukungnya sehingga secara agregat akan memiliki dampak yang cukup dalam. Di sisi lain, perbaikan
investasi pemerintah diperkirakan belum dapat mendorong perbaikan konsumsi masyarakat secara
keseluruhan. Indikator keyakinan masyarakat juga mengindikasikan kecenderungan yang menurun di awal
tahun (Grafik IV.2).
110

Banjarmasin
Samarinda
Kalimantan (weighted)

170

NTP

indeks
160

105

Pontianak
Palangkaraya

150

100
140

95

130

90

120
110

85

3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112


2012

Kalimantan (Weighted)

2013

KalBar

2014

KalTeng

KalSel

100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

KalTim

2013

2014

2015

Sumber: BPS, diolah


Grafik IV.1. Perkembangan Nilai Tukar Petani

Grafik IV.2. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK)

Konsumsi Pemerintah
Konsumsi pemerintah pada triwulan IV 2014 masih tumbuh pada level yang rendah, sehingga secara
keseluruhan tahun 2014 tumbuh melambat. Secara spasial, konsumsi pemerintah di sebagian besar provinsi di
Kalimantan tumbuh melambat, kecuali di Kalimantan Barat yang meningkat. Menurunnya Dana Bagi Hasil
(DBH) karena faktor rendahnnya harga tambang menjadi penyebab terhambatnya konsumsi pemerintah.
Selain itu, kendala temporer produksi mineral selama proses konstruksi smelter juga menjadi salah satu
penyebab menurunnya DBH yang berasal dari SDA. Dari sisi belanja daerah, pertumbuhan pada 2014 tidak
sebesar tahun 2013. Faktor penahan penurunan lebih lanjut adalah adanya penyerapan anggaran pemerintah
pusat di daerah terkait pelaksanaan Pemilu pada triwulan kedua dan ketiga.
Memasuki triwulan I 2015, konsumsi pemerintah diperkirakan cenderung meningkat didukung realisasi DBH
yang tidak terlambat seperti tahun 2014. Perhitungan royalti batubara sudah tersedia sehingga proses realisasi
DBH sudah dapat dilakukan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terus meningkat selama beberapa tahun
terakhir juga menjadi sumber optimisme perbaikan pengeluaran pemerintah. Namun terdapat risiko yang
menahan konsumsi pemerintah, yakni tidak disalurkannya Dana Alokasi Umum (DAU) ke Provinsi Kalimantan
Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara karena kedua provinsi ini sudah memiliki celah fiskal yang positif.

Investasi
Investasi di berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan IV 2014 secara agregat mengalami sedikit perbaikan
meski masih cukup terbatas. Hal ini terindikasi dari penyaluran kredit ke sektor pertambangan yang mengalami
sedikit peningkatan pada akhir tahun 2014. Masih terbatasnya perbaikan investasi tersebut belum dapat
meningkatkan kinerja investasi Kalimantan secara keseluruhan tahun 2014. Kinerja investasi di Kalimantan
relatif lebih ditopang oleh perbaikan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah seiring dengan adanya
investasi pembangunan smelter. Sementara itu, melemahnya aktivitas produksi batubara, khususnya di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, karena faktor rendahnya insentif harga komoditas ekspor
berdampak pada melambatnya kinerja investasi di tahun 2014.
Melemahnya aktivitas produksi batubara ini pada gilirannya berimbas pada kinerja sektor pendukung kegiatan
produksi batubara seperti transportasi dan jasa. Hasil liaison menunjukkan bahwa rendahnya permintaan dan
harga merupakan faktor utama bagi pelaku usaha untuk menunda investasi peralatan berat seperti dump

L a p o r a n N u s a n t a r a | 42

truck, excavator dan tongkang serta sparepart-nya. Pelaku usaha cenderung memilih untuk mengoptimalkan
barang modal yang telah dimiliki, meski sudah melewati umur ekonomisnya.
Perkembangan investasi di Kalimantan pada 2014 lebih banyak ditopang oleh beberapa proyek pembangunan
infrastruktur berskala besar seperti flyover Banjarmasin, Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan
dan Pelabuhan Kariangau di Balikpapan, Pelabuhan Palaran di Samarinda, perluasan dermaga Pelabuhan
Trisakti di Banjarmasin, PLTG Senipah di Kalimantan Timur. Meski demikian, perkembangan beberapa proyek
pembangunan infrastruktur berskala besar lainnya seperti pembangunan jalan tol Samarinda-Balikpapan dan
Bandara Samarinda Baru masih mengalami kendala terutama terkait lahan.
Memasuki triwulan I 2015, perbaikan kinerja investasi diperkirakan berlanjut terutama ditopang oleh proyek
infrastruktur pemerintah. Perbaikan realisasi DBH dibandingkan triwulan yang sama tahun lalu menjadi faktor
pendorong bagi pemerintah untuk melakukan proses lelang lebih awal sehingga pengerjaan proyek dapat
dilakukan lebih dini. Proyek-proyek yang masih akan terus dipercepat selama tahun 2015 antara lain KIPI
Maloy di Kalimantan Timur, rel kereta api di Kalimantan Tengah dan pembangunan pembangkit listrik di
berbagai lokasi di Kalimantan. Dari sisi investasi swasta, pelaku usaha bidang pertambangan mineral juga
masih meneruskan proses konstruksi smelter. Sampai akhir tahun 2014, terdapat enam smelter alumina di
Kalimantan Barat dan tiga smelter besi di Kalimantan Selatan yang berada dalam proses pembangunan.

Perdagangan Luar Negeri


Ekspor
Kinerja ekspor luar negeri Kalimantan pada triwulan IV 2014 masih meneruskan tren pelemahannya. Dilihat
dari negara tujuannya, ekspor ke Tiongkok masih melemah namun ekspor ke India menunjukkan peningkatan.
Membaiknya permintaan ekspor batubara dari India ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan untuk
pengembangan program ekspansi listrik yang tengah dikembangkan oleh pemerintah India. Meski demikian,
untuk keseluruhan tahun 2014, kinerja ekspor Kalimantan tumbuh melambat yang terutama dipengaruhi
rendahnya harga komoditas dipasar global dan melemahnya permintaan batubara dari Tiongkok yang hingga
kuartal pertama 2014 masih merupakan negara tujuan ekspor batubara terbesar Kalimantan. Di samping itu,
penyesuaian pelaku usaha terhadap kebijakan pengendalian ekspor batubara dan penerapan kebijakan
pengendalian ekspor mineral turut memengaruhi kinerja ekspor Kalimantan.
Memasuki triwulan I 2015, berbagai indikator kinerja ekspor luar negeri Kalimantan belum menunjukkan
perbaikan yang berarti. Masih akan melambatnya perekonomian Tiongkok pada tahun 2015 menjadi faktor
penahan kinerja ekspor batubara, selain rendahnya permintaan Korea Selatan karena sudah mencukupinya
stok batubara sampai dengan triwulan pertama. Demikian pula pada ekspor migas diperkirakan masih akan
terus terkontraksi karena belum ditemukannya sumur migas baru. Di sisi lain, terdapat potensi kenaikan
ekspor batubara ke India meneruskan trennya di tahun 2014. Lebih lanjut, ekspor mineral juga diproyeksi akan
mulai mengalami perbaikan pasca mulai beroperasinya smelter bauksit dan bijih besi.

Impor
Impor dari luar negeri ke berbagai daerah di Kalimantan pada triwulan IV 2014 tercatat mengalami penurunan
terutama untuk impor barang modal pendukung kegiatan pertambangan. Berdasarkan liaison, pelaku usaha di
bidang pertambangan dan pengangkutan batubara cenderung menahan pembelian barang modal karena
faktor harga jual di pasar internasional yang masih rendah. Selain itu, impor untuk barang investasi untuk
keseluruhan tahun 2014 juga melambat sejalan dengan perlambatan investasi.
Untuk triwulan I 2015, impor luar negeri diperkirakan masih akan tumbuh melambat seiring dengan relatif
terbatasnya aktivitas pertambangan. Penurunan produksi sektor tambang akan berdampak langsung pada
turunnya impor barang modal dan penolong untuk sektor tersebut. Potensi kebutuhan impor diperkirakan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 43

bersumber dari kebutuhan terhadap pupuk terkait dengan membaiknya prospek perkebunan kelapa sawit di
Kalimantan.

Kinerja Sektor Utama Daerah


Sektor Pertambangan
Pada triwulan IV 2014 sektor pertambangan di Kalimantan mengalami sedikit perbaikan yang didorong oleh
kinerja produksi batubara di Kalimantan Timur. Hal ini terindikasi dari indikator produksi perusahaan dengan
izin Perjanjian Karya Pengusaha Batubara (PKP2B) yang mengalami perbaikan (Grafik IV.3), meski masih dalam
level yang sangat terbatas. Secara keseluruhan tahun 2014, perbaikan kinerja pada akhir triwulan ini belum
dapat memberi pengaruh besar pada kinerja sektor pertambangan yang tumbuh melambat cukup dalam.
Kinerja sektor tambang di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur bahkan tercatat mengalami kontraksi
pertumbuhan masing-masing sebesar 2,9% dan 0,1% (yoy) pada 2014.
Perlambatan di sektor ini tidak terlepas dari melemahnya permintaan global terutama dari Tiongkok yang
merupakan salah satu pasar tujuan ekspor batubara terbesar dari Kalimantan, serta penerapan kebijakan
1
penerapan pajak impor batubara berkalori rendah seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan . Dari sisi
domestik, penerapan kebijakan pengendalian ekpor mineral dan batubara turut memengaruhi aktivitas
produksi di sektor pertambangan beberapa daerah di Kalimantan, terutama Kalimantan Tengah dan
Kalimantan Bara (Grafik IV.4). Selain itu, melemahnya kinerja pertambangan berumber dari penurunan kinerja
lifting gas alam dan minyak bumi di Kalimantan Timur.
80,000

Produksi batubara PKP2B


g. Produksi batubara (Skala kanan)

(juta ton)

(% yoy)

35

30

70,000

25

60,000

20

50,000

15

40,000

10

30,000

5
0

20,000

-5

10,000

-10

-15
I

II

III

2012

IV

II

III

IV

2013

II

III

2014

IV

25

g. Eskpor Batubara

(% yoy)

(% yoy)

g. Ekspor Mineral (Skala kanan)

20

400
350

300

15

250

10

200

150
100

0
I
(5)

II

III

2012

IV

II

III

2013

IV

II

III

2014

IV

I*

50

2015

I*

(10)

(50)

2015

(15)

(100)

Sumber : Kementerian ESDM, diolah


Grafik IV.3. Produksi Batubara Kalimantan

Sumber: KPPBC, diolah


Grafik IV.4. Ekspor Tambang Non Migas Kalimantan

Pada triwulan I 2015, kinerja sektor pertambangan diperkirakan masih tumbuh cenderung melambat
utamanya karena belum membaiknya kinerja pertambangan batubara dan migas. Lesunya perekonomian
Tiongkok dan sudah mencukupinya stok batubara Korea Selatan sampai dengan triwulan I tahun 2015 menjadi
faktor penahan kinerja produksi batubara. Pada pertambangan migas, penurunan lifting juga masih akan terus
terjadi karena umur sumur-sumur migas di Kalimantan yang sudah tua. Meski demikian, kinerja sektor
pertambangan diperkirakan dapat ditopang oleh beroperasinya smelter alumina dan besi masing-masing
dengan kapasitas sebesar 300.000 ton alumina dan 315.000 ton besi spons per tahun.

Sektor Industri Pengolahan


Industri pengolahan Kalimantan pada triwulan IV 2014 tumbuh melambat disebabkan oleh menurunnya
kinerja industri pengolahan migas. Secara keseluruhan tahun 2014, kinerja sektor industri pengolahan
mengalami perbaikan yang didorong oleh kenaikan tingkat efisiensi pengilangan minyak dan kenaikan hasil
pengolahan mineral Zircon seperti di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Perbaikan juga didorong oleh
1

Dengan aturan ini, harga batubara Kalimantan (dengan kandungan 4.900 Kilo Calori) sebesar $89,69/ton (termasuk pajak) tidak jauh
berbeda dibandingkan dengan harga Batubara Australia dengan kandungan 5.500 Kilo Calori sebesar $90,36/ton dan kalori 6.000 Kilo
Calori sebesar $95,40/ton.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 44

mulai beroperasinya smelter pasir zircon pada tahun 2014. Selain itu, industri olahan Crude Palm Oil (CPO) juga
mengalami peningkatan terkonfirmasi dari produksi CPO yang naik menjadi 16,6% (yoy) dari sebelumnya turun
6,3% (yoy) pada 2013. Tingginya pertumbuhan produksi ini merupakan dampak langsung dari ekspansifnya
pembukaan lahan perkebunan di berbagai daerah di Kalimantan. Di sisi lain, faktor penahan laju pertumbuhan
di sektor ini berasal dari penurunan lifting gas alam yang memberikan dampak langsung pada penurunan
kinerja industri gas alam cair (LNG).
Produksi CPO Kalimantan
600

Ekspor CPO Kalimantan

gProduksi CPO (skala kanan)


%,yoy

ribu ton

500

50

800

40

700

30

400

20
300

10
200

20

300

II

III

2012

IV

II

III

2013

IV

II

III

2014

IV

I
2015

Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi di Kalimantan, diolah


Grafik IV.5. Produksi CPO Kalimantan

(20)

200

(20)
IV

60

40

III

80

400

100

2011

100

500

(10)

II

120

%,yoy

600

100

gEkspor CPO (skala kanan)

ribu ton

(40)

(60)
(80)
I

II

III

2011

IV

II

III

2012

IV

II

III

2013

IV

II

III

2014

IV

I
2015

Sumber: KPPBC, diolah


Grafik IV.6. Ekspor CPO Kalimantan

Pada triwulan I 2015, perkembangan industri diperkirakan sedikit meningkat, terutama didorong oleh industri
mineral pasca mulai beroperasinya smelter alumina di Kalimantan Barat dan bijih besi di Kalimantan Selatan.
Perbaikan pertumbuhan juga diprakirakan bersumber dari ekspansi pabrik pupuk. Di sisi lain, industri hasil
perkebunan yang didominasi oleh CPO terindikasi masih akan tertahan, tercermin dari perlambatan produksi
(Grafik IV.5) dan ekspor (Grafik IV.6). Tertahannya hasil produksi terkait dengan adanya peraturan daerah yang
melarang ekspansi menggunakan lahan gambut. Meskipun tertahan, kinerja produksi CPO pada triwulan I 2015
diperkirakan masih akan cukup tinggi karena relatif kuatnya permintaan domestik, khususnya untuk biodiesel.
Secara spasial, kinerja industri pengolahan di semua provinsi di Kalimantan mengalami perbaikan. Perbaikan
di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan terjadi sejalan dengan mulai beroperasinya smelter. Di Kalimantan
Timur, diprakirakan naik didorong oleh beroperasinya pabrik pupuk.

Sektor Pertanian
Kinerja sektor pertanian Kalimantan pada triwulan IV 2014 tumbuh membaik, didorong oleh kinerja subsektor
perkebunan yang tumbuh meningkat. Ekspansi perkebunan sawit yang dilakukan sejak tahun 2009 sudah mulai
menunjukkan hasilnya. Meskipun demikian, perbaikan di akhir tahun tersebut belum mampu mendorong
kinerja sektor pertanian untuk keseluruhan tahun 2014 yang tumbuh melambat, terutama di Kalimantan Barat
dan Kalimantan Timur. Produksi tanaman bahan makanan (tabama) mengalami penurunan karena adanya
gagal panen di beberapa lokasi di Kalimantan. Di sisi lain, pada subsektor perkebunan produksi tandan buah
sawit (TBS) sawit masih dalam tren positif.
Perkembangan berbagai indikator di sektor pertanian Kalimantan mengindikasikan pada triwulan I 2015
diperkirakan cenderung tumbuh melambat. Perlambatan ini terutama bersumber dari produksi tabama dan
perkebunan. Banjir yang terjadi karena tingginya curah hujan mejadi faktor penyumbang perlambatan di
sektor pertanian. Perlambatan sektor pertanian yang lebih dalam diperkirakan terjadi di Kalimantan Barat dan
Kalimantan Timur. Di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, luas sawah yang terendam dan diperkirakan
gagal panen mencapai 1.347 ha, dan di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, luas wilayah yang terkena banjir
seluas 200 ha sawah dan 600 ha kebun sawit.

LAJU INFLASI
Inflasi berbagai daerah di Kalimantan pada tahun 2014 secara agregat tercatat turun dibandingkan tahun
2013, dari 8,56% (yoy) menjadi 7,87% (yoy). Capaian inflasi ini lebih rendah dibandingkan nasional dan
merupakan yang pertama kalinya dalam delapan tahun terakhir. Lebih rendahnya inflasi tercatat terjadi di

L a p o r a n N u s a n t a r a | 45

hampir seluruh provinsi di Kalimantan, kecuali di Kalimantan Barat yang tercatat meningkat. Hal ini bersumber
dari terkendalinya tekanan kenaikan harga komoditas pangan didukung perbaikan pasokan kelompok bumbubumbuan. Demikian halnya dengan inflasi berbagai komoditas pada kelompok inti yang cenderung lebih
rendah karena minimalnya tekanan permintaan. Sementara itu, tekanan kenaikan inflasi administered prices
meski tidak setinggi tahun sebelumnya namun masih mencatat angka dua digit yang didorong oleh kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi di bulan November.
Berbeda dengan daerah lainnya, meningkatnya inflasi di Kalimantan Barat justru bersumber dari kenaikan
harga komoditas pangan, khususnya komoditas sayur-sayuran yang produksinya terganggu akibat intensitas
hujan yang meningkat. Komoditas lain yang memberikan sumbangan yang cukup tinggi adalah daging dan telur
ayam ras. Tekanan kenaikan inflasi kelompok administered prices di Kalimantan Barat, selain bersumber dari
kenaikan harga BBM bersubsidi, juga didorong oleh terjadinya kelangkaan elpiji 3 kg.
16

12

VF - Indonesia
VF - Kalimantan
Umum - Indonesia
Umum - Kalimantan

%, yoy

14

%, yoy
Kalbar

Kalteng

Kalsel

Kaltim

Indonesia

Kalimantan

10

12
8
10
6

8
6

4
2

2
0

0
I

II

III
2012

IV

II

III
2013

IV

II

III

IV

2014

Sumber: BPS, diolah


Grafik IV.7. Perkembangan Kalimantan dan Indonesia, 20122014

II

III
2013

IV

II

III
2014

IV

Jan
2015

Sumber: BPS, diolah


Grafik IV.8. Perkembangan Inflasi Provinsi di Kalimantan,
2012-2014

Memasuki awal tahun 2015, tekanan inflasi di berbagai daerah di Kalimantan masih cenderung minimal. Masih
rendahnya tekanan inflasi terutama bersumber dari menurunnya administered prices seiring dengan
penurunan harga BBM yang berlaku pada Januari 2015 yang diikuti oleh penurunan tarif angkutan di beberapa
daerah di Kalimantan. Tekanan inflasi lebih banyak bersumber dari kenaikan harga komoditas pangan yang
cenderung lebih tinggi dibanding daerah-daerah lainnya yang justru tengah mengalami koreksi harga. Kondisi
ini diperkirakan terkait dengan berkurangnya pasokan sayur-sayuran, telur dan ayam ras, ikan segar serta
beras karena beberapa kendala distribusi yang terjadi akibat faktor cuaca.
Tekanan inflasi di Kalimantan terutama terjadi di Kalimantan Barat. Selain dari kenaikan harga komoditas
pangan, tekanan inflasi di Kalimantan Barat juga dipicu oleh kenaikan tekanan harga pada kelompok
administered prices. Hal ini dipengaruhi kelangkaan elpiji 3 kg di awal tahun serta adanya penetapan tarif batas
bawah angkutan udara, mengingat bobotnya yang cukup besar dalam inflasi Kalimantan Barat.

Koordinasi Pengendalian Inflasi


Dalam rangka pengendalian inflasi di Kalimantan, berbagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pasokan
dari luar Kalimantan menjadi fokus utama koordinasi pengendalian inflasi melalui TPID. Secara konkrit, upaya
tersebut ditandai dengan munculnya klaster ketahanan pangan khususnya untuk komoditi beras, cabai dan
bawang merah di wilayah Kalimantan. Upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas produksi pertanian
merupakan salah satu fokus perhatian dari TPID di berbagai daerah di Kalimantan. Hal ini dilakukan antara lain
dengan mendorong penerapan pola metode pertanaman tanaman pangan yang lebih dapat memperkuat
2
kapasitas produksi, seperti penerapan pilot project penerapan metode tanam hazton di Kalimantan Barat .
2

Pilot project dikembangkan bersama oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat bersama dengan Pemerintah
Provinsi Kalimantan Barat. Metode tanam hazton menggunakan jumlah bibit yang yang lebih banyak dalam satu lubang yakni mencapai
20-30 bibit dari umumnya hanya 3 atau 5 bibit. Pada tahun 2014 hasil pengujian metode hazton yang diterapkan di beberapa lokasi di
Kalimantan Barat menunjukkan adanya peningkatan produktivitas padi hingga 2 kali lipat. Pada tahun 2015 akan dilakukan penanaman

L a p o r a n N u s a n t a r a | 46

Pengembangan akses informasi harga bagi konsumen juga merupakan bagian penting yang menjadi perhatian
TPID. Beberapa daerah di Kalimantan telah terbentuk Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) seperti di
Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak, dan Samarinda. Ke depan, keberadaan pusat informasi harga ini akan
diintegrasikan diantara Kabupaten/Kota dengan Provinsi dan Nasional serta dari hulu ke hilir. Nantinya
diharapkan dengan terbentuknya PIHPS, informasi yang tidak simetris akan hilang. Selain itu terdapat rintisan
perdagangan antar daerah di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Kalimantan Tengah dan Jawa Tengah
telah menandatangani kerja sama perdagangan bidang pertanian, khususnya pasokan bawang merah Brebes
ke Kalimantan Tengah. Sementara di Kalimantan Selatan terdapat program sinergi pasar sapi dan peternakan
sapi antar daerah. Dimana kabupaten yang surplus sapi akan mensuplai kepada kabupaten yang kekurangan.
Saat ini kerjasama dilakukan antara Kabupaten Barito Kuala sebagai penghasil sapi dengan Kabupaten Tanah
Bambu yang defisit daging sapi.

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN


Ketahanan Sektor Korporasi
Kredit sektor perdagangan dan sektor pertanian, yang merupakan kredit dengan pangsa terbesar di
Kalimantan, cenderung tumbuh meningkat. Pada triwulan IV 2014, kredit sektor perdagangan tumbuh sebesar
13,7% (yoy) setelah pada triwulan III 2014 tumbuh 13,0% (yoy). Sementara itu, kredit di sektor pertanian
tumbuh sebesar 8,9% (yoy), sedikit lebih baik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar
8,3% (yoy). Di sisi lain, meskipun masih tumbuh tinggi, kinerja kredit sektor industri tumbuh melambat menjadi
dari 15,50% (yoy) pada triwulan III 2014 menjadi 17,84% (yoy).
% NPL
10

10
Konstruksi

9
8
7
6

Pengangkutan

Listrik,Gas dan Air


Jasa Sosial Masyarakat
Jasa Dunia Usaha

5
3
2

-5

Pertambangan

Jasa Sosial Masyarakat


Pengangkutan
Perdagangan

Jasa Dunia Usaha

Pertanian

2
1

Industri pengolahan

-30 -25 -20 -15 -10

Listrik,Gas dan Air

Perdagangan

Pertanian

Konstruksi

Pertambangan

% NPL

10

15

% gKredit

20

25

Industri pengolahan
% gkredit

0
-12 -10 -8 -6 -4 -2

8 10 12 14 16

Grafik IV.9. Profil Risiko Kredit Sektoral TW III


Grafik IV.10. Profil Risiko Kredit Sektoral TW IV
*luas bubble menunjukkan pangsa penyerapan kredit korporasi, daerah berwarna merah menunjukkan sektor dengan
perlambatan pertumbuhan kredit

Peningkatan kinerja kredit sektor perdagangan dan pertanian, yang merupakan dua sektor penerima kredit
utama, disertai terjaganya kualitas kredit. Hal ini tercermin dari adanya penurunan rasio non performing loans
(NPL). Pada sektor perdagangan, rasio NPL mengalami penurunan dari 3,4% menjadi 2,9%. Demikian pula pada
sektor pertanian yang rasio NPL-nya membaik menjadi 2,0% dari sebelumnya 2,1%. Perbaikan kualitas kredit
pada kedua sektor tersebut menjadi sumber penopang ketahanan sektor korporasi.

Ketahanan Sektor Rumah Tangga


Kredit rumah tangga di wilayah Kalimantan pada triwulan IV 2014 tumbuh sebesar 11,1% (yoy), meningkat
dibandingkan dengan triwulan III yang tumbuh sebesar 9,0% (yoy) dengan volume kredit yang meningkat dari
Rp54,5 triliun pada triwulan III menjadi Rp57,1 triliun pada triwulan IV 2014. Pertumbuhan kredit terjadi pada
tiga jenis kredit utama yakni Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) dan kredit
1.000 hektar lahan di perbatasan yang bertujuan untuk mengendalikan inflasi juga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah
tersebut.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 47

multiguna yang pada triwulan IV masing-masing tumbuh positif. Perbaikan pertumbuhan kredit RT didorong
oleh membaiknya subsektor perkebunan khususnya dari kelapa sawit dengan mayoritas penguasaan lahan
yang merupakan perkebunan swasta dan rakyat berkontribusi bagi perbaikan konsumsi RT.
Multiguna
gMultiguna
gKredit Total

% pangsa
100

Kendaraan
gKendaraan

Rumah Tinggal
gRumah Tinggal

% yoy
100%

90
80%

80
70

60%

60
50

40%

40
20%

30
20

0%

10
0

-20%

II

III

IV

II

2012

III

IV

II

2013

III

% yoy

gKredit Multiguna

0.70
0.60

0.50
0.40
0.30
0.20

0.10
0.00

IV

II

III

IV

II

2012

2014

Grafik IV.11. Pangsa dan Pertumbuhan Kredit RT

NPL Kredit Multiguna % NPL


0.80

100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
III

IV

2013

II

III

IV

2014

Grafik IV.12. Pertumbuhan dan NPL Kredit Multiguna

Secara keseluruhan, penyaluran kredit ke sektor rumah tangga masih terjaga tercemin dari non performing
loans (NPL) yang masih rendah baik pada jenis kredit multiguna, kredit pemilikan rumah, maupun kredit
kendaraan bermotor. Meski masih berada pada level NPL yang rendah, namun terdapat indikasi kenaikan NPL
pada ketiga jenis kredit di sektor rumah tangga tersebut (Grafik IV.12, IV.13, dan IV.14). Indikasi kenaikan NPL
terutama pada jenis kredit kendaraan bermotor dan kredit multiguna. Kondisi ini diperkirakan terkait dengan
tekanan pendapatan dari hasil ekspor tambang yang belum sepenuhnya pulih karena masih rendahnya harga
di pasar global.
% yoy

gKPR

NPL KPR

% NPL

45.00
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
I

II

III

2012

IV

II

III

2013

IV

II

III

2014

Grafik IV.13. Pertumbuhan dan NPL KPR

% yoy

3.00

15.00

2.50

10.00

2.00

5.00

1.50

0.00

1.00

-5.00

0.50

-10.00

0.00

-15.00

NPL Kredit Kendaraan% NPL


2.50

gKredit Kendaraan

2.00
1.50
I

II

III

2012

IV

II

III

2013

IV

II

III

2014

IV
1.00

0.50

IV
-20.00

0.00

Grafik IV.14. Pertumbuhan dan NPL KKB

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)


Penyaluran kredit untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) pada triwulan IV dan sepanjang tahun
2014 menunjukan pertumbuhan yang cenderung meningkat. Kredit UMKM tercatat tumbuh sebesar 4,6%
(yoy), lebih tinggi bila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang tumbuh sebesar 3,4% (yoy). Pada
3
triwulan IV 2014 dan selama 2014 sektor perdagangan sebagai penyerap kredit UMKM terbesar di
Kalimantan, disusul oleh sektor pertanian dan konstruksi. Kredit UMKM dari sektor perdagangan selama 2014
sempat menurun pada triwulan II dan III namun kembali membaik pada triwulan akhir meski masih lebih
rendah bila dibandingkan dengan triwulan IV pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan kredit UMKM bagi sektor
pertanian terus tumbuh sejak triwulan I dan pada triwulan II hingga IV tumbuh tinggi pada kisaran 13-19%
(yoy) seiring dengan perbaikan subsektor perkebunan kelapa sawit yang mampu menahan tekanan eksternal
dan tetap ditopang oleh terjaganya permintaan domestik.
3

Sebanyak masing-masing 67,60%, 33,57% dan 65,73% pembiayaan perbankan kepada sektor perdagangan, sektor pertanian dan sektor
konstruksi pada triwulan IV 2014 diberikan melalui lini kredit UMKM

L a p o r a n N u s a n t a r a | 48

% Pangsa Sektor
40

80

(% yoy)

Pertanian

Konstruksi

PHR

JDU

30

Perdagangan

70

20

60

10

50

Jasa Sosial Masyarakat


Konstruksi

40

(10)

II

III

IV

II

2012

III

IV

II

2013

III

IV

Pertanian

Jasa Dunia Usaha

30

2014

(20)

20

(30)

10

(40)

Listrik,Gas dan Air

Pengangkutan
Pertambangan

Industri pengolahan Lain-lain

% gkredit

-5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65

Grafik IV.17. Perkembangan Kredit UMKM

Grafik IV.18. Pangsa dan Pertumbuhan Kredit UMKM TW IV


*luas bubble menunjukkan pangsa penyerapan sektoral dalam kredit UMKM secara keseluruhan sedangkan pangsa sektor
menunjukkan porsi kredit UMKM dalam pembiayaan usaha pada sektor tertentu

Kredit UMKM dari sektor konstruksi terus mengalami pertumbuhan yang positif terhitung sejak triwulan I dan
pada triwulan II hingga IV dengan kisaran pertumbuhan 3-11% (yoy). Namun, alokasi kredit UMKM kepada
total pembiayaan sektor industri pengolahan masih tumbuh melambat selama 2014 sehingga pada triwulan IV
2014 hanya 14%, turun 20% dari triwulan I 2014.
Ke depan, pembiayaan sektor UMKM di berbagai daerah di Kalimantan diperkirakan dapat terus tumbuh
positif didorong oleh mulai beroperasinya Perusahaan Penjamin Kredit Daerah (PPKD) di Kalimantan Timur
pada tanggal 8 Januari 2015, menyusul PPKD di wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yang telah
beroperasi sebelumnya. Kebijakan terbaru terkait PRONA-Proyek Operasi Nasional Agraria, yang dikeluarkan
oleh BPN dan telah direalisasikan di Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah akan semakin
meningkatkan akses masyarakat kepada intermediasi perbankan. Dasar penggunaan hak komunal untuk
melegalisasi lahan tanah bagi masyarakat adat di Kalimantan akan meningkatkan potensi pembiayaan seiring
dengan sudah dimilikinya sertifikat aset yang dapat dijadikan agunan untuk mengajukan pinjaman ke bank
tanpa harus terlebih dahulu menjalankan usaha/bisnis.

Pengelolaan Sistem Pembayaran


Perkembangan sistem pembayaran nontunai (Kliring dan RTGS) Kalimantan pada triwulan IV 2014 meningkat,
sejalan aktivitas ekonomi Kalimantan yang sedikit membaik. Sistem pembayaran nontunai tumbuh membaik,
dari sebelumnya -10,4% (yoy) menjadi 7,34% (yoy). Perbaikan ini bersumber dari meningkatnya transaksi
RTGS, sementara transasi melalui sistem kliring cenderung tumbuh terbatas.
Secara keseluruhan tahun 2014 pertumbuhan sistem pembayaran nontunai mengalami penurunan, sejalan
dengan perlambatan ekonomi Kalimantan pada tahun 2014. Baik RTGS maupun kliring tumbuh menurun
dibandingkan dengan tahun 2013. Pada tahun 2014, RTGS turun 1,01 % (yoy) dan kliring turun 7,89% (yoy).
25

% yoy

Triliun Rp

20

300

15
20

10
5

15

0
-5

10

(% yoy)

Triliun Rp

50

250

40

200

30
20

150

10

-10
-15

-20
-25

-30
Q1

Q2

Q3

Q4

Q1

Q2

2012

Q3

Q4

Q1

2013
Nominal

Q2

Q3

Q4

2014
yoy

qtq

Grafik IV.19. Perkembangan Volume Kliring di Kalimantan

60

100

0
-10

50

-20

-30
Q1

Q2

Q3

Q4

Q1

2012

Q2

Q3

Q4

Q1

2013
Nominal

Q2

Q3

Q4

2014
yoy

qtq

Grafik IV.20. Perkembangan Nominal RTGS di Kalimantan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 49

Pengelolaan Uang Tunai Rupiah


Masih belum pulihnya sektor utama Kalimantan juga terindikasi dari kebutuhan uang tunai di Kalimantan. Pada
triwulan IV 2014 kebutuhan uang tunai mengalami penurunan yang tercermin dari penurunan pertumbuhan
4
outflow, sementara di sisi inflow mengalami kenaikan . Outflow Kalimantan mencatatkan penurunan kinerja
dari -0,28% (yoy) menjadi -6,08% (yoy) dengan nominal Rp13,5 triliun. Sementara inflow mengalami
peningkatan dari 16,49% (yoy) menjadi 33,38% (yoy) dengan nominal Rp4,9 triliun. Secara total, Kalimantan
masih mengalami posisi net flow negatif (net outflow) senilai Rp8,7 triliun pada triwulan IV 2014.
Sepanjang triwulan IV 2014 terdapat kecenderungan adanya peningkatan temuan uang palsu di beberapa
daerah di Kalimantan. Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan pemahaman masyarakat terhadap keaslian uang
rupiah yang semakin baik diserta semakin ketatnya pengawasan terhadap peredaran uang palsu. Untuk terus
mamastikan keamanan dan keaslian uang rupiah, Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan pihak
Kepolisian Republik Indonesia disertai peningkatan edukasi ciri-ciri keaslian uan rupiah kepada masyarakat
luas. Beberapa Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Kalimantan akan memperkuat kerjasama dengan Polri
melalui Memorandum of Understanding (MoU) yang dititikberatkan pada penegakan hukum di bidang sistem
pembayaran.
10

(5)

(10)

(15)
Q1

Q2

Q3

Q4

Q1

2012

Q2

Q3

Q4

Q1

2013
Outflow

Inflow

Q2

Q3

Q4

2014
Netflow

Grafik IV.21. Perkembangan inflow outflow

PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Secara umum, pemulihan kinerja perekonomian berbagai daerah di Kalimantan pada tahun 2015 diperkirakan
mengalami perbaikan meski masih terbatas. Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diprakirakan masih berada
pada kisaran yang cukup rendah yakni 3,1% - 3,6% (yoy), meski sedikit lebih baik dibandingkan tahun 2014.
Kinerja perekonomian Kalimantan pada 2015 terutama ditopang oleh prospek perbaikan kinerja
perekonomian di daerah penghasil tambang mineral, yakni Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Sementara itu, perekonomian Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan masih menghadapi risiko dari
melemahnya kinerja ekspor batubara.
Dari sisi penggunaan, perbaikan diperkirakan terjadi pada kinerja konsumsi, investasi dan ekspor; namun
dalam level yang terbatas. Peningkatan konsumsi rumah tangga sejalan dengan mulai membaiknya kinerja
sektor pertanian dan cukup baiknya kinerja sektor pertambangan. Investasi diperkirakan tumbuh membaik,
didukung oleh investasi yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara kinerja ekspor diperkirakan ditopang
terutama oleh prospek kinerja ekspor CPO dan karet yang diperkirakan mengalami perbaikan. Berdasarkan
4

Karakteristik aliran uang tunai yang masuk (inflow) dan atau keluar (outflow) di Kantor Perwakilan Bank Indonesia se-Kalimantan
cenderung outflow. Hal ini dipengaruhi pola preferensi masyarakat yang cenderung memegang uang tunai. Lebih besarnya outflow di
Kalimantan dapat mengindikasikan potensi aktivitas kebutuhan transaksi masyarakat yang meningkat, demikian pula sebaliknya.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 50

hasil liaison, ekspor karet akan meningkat secara kuantitas untuk menutupi harga yang semakin menurun. Di
sisi lain, impor diperkirakan melambat karena masih belum membaiknya sektor pertambangan sehingga
menurunkan impor barang modal.
Dari sisi sektoral, sektor pertanian dan industri pengolahan merupakan pendorong utama perbaikan di tahun
2015. Pada sektor pertanian, diperkirakan akan terjadi peningkatan produksi sejalan dengan semakin tingginya
produktivitas sawit yang memasuki usia produktif. Kinerja subsektor tanaman bahan makanan juga
diperkirakan meningkat didukung oleh program swasembada pangan secara Nasional. Pada sektor industri
pengolahan, mulai beroperasinya smelter alumina dan besi diproyeksi akan mendorong kinerja sektor industri.
Selain itu meningkatnya produksi sawit, juga akan mendorong kinerja industri CPO.
Kinerja sektor pertambangan masih akan menjadi penahan laju perekonomian Kalimantan lebih lanjut.
Prospek pemulihan perekonomian Tiongkok dan Jepang yang berjalan lambat berdampak pada pemulihan
kinerja ekspor batubara Kalimantan. Meskipun terdapat potensi peningkatan ekspor batubara ke India, namun
persaingan batubara Indonesia dengan Australia dan Afrika Selatan berisiko menahan peningkatan ini. Hal ini
sebagaimana tercermin pada pangsa impor batubara dari Kalimantan menurun pada 2014, sementara
Australia dan Afrika Selatan meningkat. Dari sisi domestik, risiko lainnya berasal dari potensi terhambatnya
proyek infrastruktur listrik sehingga serapan batubara domestik menjadi tidak maksimal.

Prospek Inflasi
Tekanan inflasi Kalimantan pada tahun 2015 diprakirakan terkendali pada kisaran 4,6%-5,0% (yoy), terutama
dipengaruhi oleh minimalnya tekanan inflasi kelompok volatile food dan administered price. Pada kelompok
volatile food, minimalnya tekanan inflasi pada tahun 2015 didukung oleh peningkatan produksi pangan di Jawa
dan Sulawesi Selatan yang merupakan dua daerah pemasok bahan makanan Kalimantan. Selain itu, sudah
tersedianya cold storage untuk komoditas ikan laut juga diperkirakan memberikan dampak positif pada lebih
terkendalinya volatilitas harga ikan segar. Pada komoditas administered price, terkendalinya inflasi
diperkirakan berasal dari harga BBM bersubsidi yang berpotensi turun di tengah tren penurunan harga minyak
dunia.
Beberapa risiko ke depan diperkirakan masih akan membayangi prospek inflasi Kalimantan bersumber dari
peningkatan ekspektasi inflasi masyarakat khususnya menjelang berbagai kegiatan/perayaan hari besar
keagamaan. Selain itu, faktor cuaca yang sulit diprediksi berpotensi menimbulkan gangguan distribusi dan
produksi bahan makanan. Oleh karena itu menjaga ketersediaan pangan antar waktu akan dijadikan salah satu
fokus program TPID dalam upaya stabilisasi harga. Berbagai upaya penguatan ketahanan pangan di daerah,
seperti penerapan metode tanam padi cara hazton dan pemberian bantuan sarana produksi diharapkan dapat
membantu produksi pangan sehingga gejolak inflasi bahan makanan dapat lebih terkendali.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 51

Sepanjang sepuluh tahun terakhir, ketergantungan perekonomian Kalimantan pada pertambangan serta
minyak dan gas (migas) sangat tinggi. Hal ini sebagaimana tercermin dari tingginya pangsa pertambangan dan
industri migas pada PDRB Kalimantan, yaitu sekitar 48%. Selain itu dilihat dari sisi penggunaan, pangsa net
ekspor tercatat tinggi yaitu sebesar 45%. Lebih jauh lagi dilihat dari komoditas ekspor unggulan, batubara
menyumbang ekspor Kalimantan sebesar 80%.
Struktur perekonomian ini sangat rentan terhadap kondisi eksternal yang saat ini belum membaik dengan
risiko yang semakin besar. Dari sisi eksternal, terdapat risiko penurunan harga komoditas yang lebih dalam di
tengah perlambatan perekonomian negara utama dagang Kalimantan, yaitu Tiongkok. Sementara dari sisi
domestik, di era pemerintahan baru ini terdapat kebijakan untuk mengendalikan produksi serta meningkatkan
pemanfaatan batubara di dalam negeri.
Kondisi listrik Kalimantan belum dapat mendukung industrialisasi Kalimantan. Saat ini penjualan listrik per
kapita di Kalimantan pada tahun 2013 rata-rata sebesar 468 Kwh/kapita, cukup rendah dibandingkan dengan
Jawa Timur dan Banten masing-masing sebesar 748 kwh/kapita dan 794 kwh/kapita. Namun, dilihat dari
sumber energinya, listrik di Kalimantan berasal dari bahan baku yang mahal yaitu sebanyak 66% dari diesel,
sementara di Jawa Timur dan Banten berasal dari energi yang lebih murah yaitu PLTU masing-masing sebesar
70% dan 88%. Ke depan akan dibangun 1.900 MW listrik di Kalimantan dari total proyek Nasional sebesar
35.000 MW. Namun, penambahan ini belum memperhitungkan kebutuhan industri yang dibutuhkan untuk
transformasi di Kalimantan.

Gambar IV.1. Skema Transformasi Kalimantan

Dukungan ketersediaan pasokan listrik yang memadai akan mendorong terwujudnya transformasi Kalimantan
dari comparative advantage menjadi competitive advantage (Gambar IV.3). Kekayaan sumber daya alam,
khususnya tambang yang dimiliki Kalimantan perlu diarahkan untuk dapat diolah lebih lanjut sehingga dapat
memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi perekonomian Kalimantan. Sebagai gambaran, untuk
komoditas bauksit, berdasarkan pohon industri dari Kementerian Perindustrian, dapat diolah lebih lanjut
menjadi alumina. Namun, industri pengolahan alumina tersebut belum ada di Kalimantan. Selama ini bauksit
dari Kalimantan diekspor ke luar negeri dalam bentuk bahan mentah, sementara industri di dalam negeri
mengimpor alumina hasil olahan bauksit. Berdasarkan simulasi perhitungan Kementerian ESDM, dengan
adanya industri alumina akan memberikan nilai tambah 21 kali lipat dibandingkan bila hanya dijual dalam
bentuk mentah. Pada gilirannya akan mendorong kenaikan penerimaan negara hingga 14 kali. Gambaran
lainnya adalah pada komoditas biji besi yang saat ini belum didukung adanya industri sponge iron yang cukup
besar. Kebutuhan sponge iron domestic selama ini diimpor dari luar negeri. Di sisi lain, biji besi di Kalimantan
langsung di ekspor dalam bahan mentah. Padahal akan terdapat nilai tambah 8 kali lipat jika dilakukan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 52

pengolahan sponge iron di Kalimantan. Lebih lanjut lagi jika terdapat produk lanjutannya akan meningkatkan
nilai tambah hingga 14 kali lipat.
Mencermati hal ini, untuk mendukung pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi Kalimantan sebagaimana
tertuang di dalam RPJM, maka upaya untuk melakukan transformasi perekonomian perlu dilakukan. Prioritas
perlu diberikan pada pembenahan enabling factors, khususnya terkait daya dukung energi yang memadai.
Pada gilirannya, transformasi ekonomi yang dilakukan akan mendorong kenaikan nilai tambah perekonomian.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 53

Halaman ini sengaja dikosongkan

Laporan Nusantara

PERTUMBUHAN EKONOMI
1

Perekonomian Kawasan Timur Indonesia (KTI) pada triwulan IV 2014 kembali tumbuh melambat dan
2
cenderung lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata historisnya . Perlambatan ekonomi KTI pada triwulan
IV 2014 terutama disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor nonmigas KTI sejalan dengan proses penyesuaian
yang masih berlangsung di kalangan para pelaku usaha terhadap penerapan kebijakan ekspor mineral dan
adanya permasalahan aspek ketenagakerjaan yang menghambat aktivitas produksi tambang di Papua. Kondisi
tersebut mengakibatkan sektor pertambangan di Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua
mengalami penurunan sehingga mengakibatkan kinerja pertambangan KTI secara keseluruhan mengalami
kontraksi. Selain itu, masih terbatasnya pendapatan ekspor karena faktor harga komoditas rendah disertai
meningkatnya tekanan harga sebagai dampak dari kenaikan harga BBM menyebabkan pertumbuhan konsumsi
rumah tangga yang melambat. Namun, perlambatan ekonomi KTI lebih lanjut dapat ditahan oleh kinerja positif
beberapa sektor lainnya, khususnya sektor pertanian, sektor konstruksi, dan sektor perdagangan, seperti di
Bali dan Nusa Tenggara.
Sejalan dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan ekonomi KTI untuk keseluruhan 2014 tercatat sebesar
6,0% (yoy) atau lebih rendah dari tahun sebelumnya (7,2%, yoy). Melambatnya kinerja ekspor pada triwulan IV
2014, semakin menekan kinerja ekspor luar negeri untuk keseluruhan tahun 2014. Selain itu, penerapan
kebijakan pengendalian ekspor mineral berimplikasi pada terjadinya kontraksi sektor pertambangan dan
penggalian sepanjang 2014. Kondisi ini terutama terjadi di Sulawesi Tenggara (nikel), Sulawesi Tengah (nikel),
Maluku Utara (nikel), Papua (tembaga), dan NTB (tembaga). Dampak penurunan kinerja ekspor diikuti oleh
melambatnya aktivitas sektor-sektor pendukung seperti sektor perdagangan. Meski pada akhir triwulan III
2014, eksportir utama tembaga di Papua dan NTB kembali mendapatkan ijin ekspor terbatas, namun hal
tersebut tidak dapat mendorong kinerja produksi dan ekspor melebihi capaian di tahun sebelumnya.
Memasuki periode triwulan I 2015, perkembangan beberapa indikator ekonomi di berbagai daerah
mengindikasikan pertumbuhan ekonomi KTI akan cenderung meningkat. Hal ini terutama dipengaruhi oleh
ekspor tembaga yang dapat dilakukan kembali oleh pelaku usaha tambang utama di Papua dan NTB setelah
penyelesaian komitmen dengan pemerintah. Dari sisi sektoral, sejalan dengan perkiraan pertumbuhan ekspor
tembaga, produksi sektor pertambangan akan kembali meningkat setelah turun cukup tajam selama semester
I 2014. Optimisme tersebut diperkirakan mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi KTI untuk
keseluruhan 2015 kembali membaik di kisaran 7,6%-8,1%.

Konsumsi
Konsumsi Rumah Tangga
Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan konsumsi rumah tangga (termasuk konsumsi lembaga nonprofit rumah
tangga) tumbuh melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Melambatnya pertumbuhan konsumsi
rumah tangga terutama disebabkan oleh tekanan harga yang meningkat signifikan pada November dan
Desember, di tengah indikasi pelemahan tingkat pendapatan masyarakat akibat perlambatan kinerja ekonomi
KTI sebagaimana tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) di KTI yang cenderung menurun pada
periode triwulan IV 2014 (Grafik V.1).
1

Terdiri dari 13 provinsi di wilayah Sulawesi, Maluku, Papua, Bali, dan Nusa Tenggara, yaitu: Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, Papua, Bali, NTB, dan NTT.
2

Rata-rata pertumbuhan ekonomi triwulan IV tahun 2009 - 2013 adalah 7,1% (yoy).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 55

Untuk keseluruhan tahun 2014, kinerja konsumsi rumah tangga berbagai daerah di KTI secara agregat masih
dapat tumbuh lebih baik dibanding periode tahun sebelumnya. Hal ini tercermin dari volume perdagangan di
pelabuhan laut utama KTI (Makassar, Sulawesi Selatan) yang menunjukan peningkatan. Pertumbuhan
konsumsi rumah tangga sepanjang 2014 dipengaruhi oleh aktivitas beberapa sektor utama daerah, yaitu
sektor pertanian, sektor perdagangan, dan sektor penyediaan akomodasi (hotel), sehingga diindikasikan
3
mampu menopang pendapatan sebagian masyarakat di tengah kontraksi aktivitas pertambangan . Demikian
pula dengan perkembangan pariwisata selama 2014 yang tetap tumbuh positif, terutama dilihat dari jumlah
wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk melalui Denpasar, Bali (Grafik V.2).
Perkembangan indikator terkini mengindikasikan konsumsi rumah tangga akan tumbuh lebih baik pada
triwulan I 2015. Hal ini salah satunya tercermin dari kondisi penjualan eceran pada tiga kota besar di KTI yang
cenderung meningkat (Grafik V.3). Penurunan harga BBM pada bulan Januari 2015 diperkirakan memberi
insentif dalam mendorong konsumsi masyarakat karena peningkatan daya beli. Selain itu, potensi
pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga bersumber dari optimisme kegiatan perekonomian secara
keseluruhan seiring pemulihan sektor pertambangan. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Bank Indonesia,
keyakinan konsumen di beberapa kota di KTI juga cenderung meningkat di awal periode triwulan I 2015,
seperti di Manado (Sulawesi Utara), Jayapura (Papua), Mataram (NTB), dan Kupang (NTT). Hal tersebut
didorong oleh keyakinan bahwa kondisi penghasilan saat ini lebih baik dibandingkan enam bulan yang lalu.
Kendari
160

Mataram

Ambon

Jayapura

Denpasar
400

Indeks

Manado + Makassar + Lombok

gWisman - Skala Kanan

Ribu Orang

%, yoy

350

150

300

140

250

130

200

120

150

110

100
50

100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I

II

III
2013

IV

II

III
2014

Grafik V.1. Indeks Keyakinan Konsumen,


Survei Konsumen Bank Indonesia

IV

0
1

2
I

II
2013

9 10 11 12 1

III

IV

II

8
III

30
25
20
15
10
5
0
(5)
(10)
(15)

9 10 11 12
IV

2014

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah


Grafik V.2. Jumlah Wisatawan Mancanegara

Konsumsi Pemerintah
Pertumbuhan konsumsi pemerintah di KTI secara agregat mengalami perlambatan pada triwulan IV 2014.
Perlambatan tersebut diperkirakan terjadi akibat upaya efisiensi yang dilakukan pemerintah di akhir tahun. Hal
ini tercermin dari giro Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengalami peningkatan pertumbuhan (Grafik V.4).
Pada tahun 2014, secara keseluruhan konsumsi pemerintah di KTI tumbuh moderat dan cenderung stabil
dibandingkan dengan tahun 2013. Kondisi tersebut tercermin dari estimasi realisasi belanja operasional daerah
tahun 2014 (APBD Provinsi) yang tidak mencapai 80% dari anggaran yang tersedia.
Pada triwulan I 2015, kinerja konsumsi pemerintah diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan
triwulan IV 2014. Peningkatan pertumbuhan konsumsi pemerintah terlihat dari percepatan kegiatan
pelelangan proyek-proyek Pemda yang diproyeksikan akan mendorong penyerapan anggaran sejak awal
tahun. Selain itu, ada upaya untuk mendorong realisasi proyek Pemda sejak awal tahun, khususnya pada
alokasi belanja rutin (operasional) dalam rangka mendukung kegiatan pekerjaan umum. Faktor lain yang juga
akan ikut mendorong akselerasi pertumbuhan konsumsi pemerintah adalah rangkaian kegiatan Pilkada di
tahun 2015 yang dimulai sejak Februari 2015, diawali dengan proses persiapan serta pendaftaran dan menjadi
beban biaya dari APBD.

Pangsa tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian dan perdagangan di KTI bervariasi antara satu provinsi dengan provinsi yang lain
dengan kisaran pangsanya adalah dari 52% sampai dengan 69%.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 56

Makassar

60
50
40
30
20
10
0
(10)
(20)

Manado

Giro Pemerintah Daerah

Denpasar - Skala Kanan

%, yoy

%, yoy

300
250
200
150
100
50
0
(50)

40
35
30
25
20
15
10
5
0

II

III

IV

II

2013

III

IV

30
10
0
(10)
(20)
(30)
II

III

IV

II

2013

2015

Grafik V.3. Pertumbuhan Nominal Penjualan Eceran, Survei


Penjualan Eceran Bank Indonesia

40
20

2014

%, yoy

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1* 2p
I

gGiro Pemda - Skala Kanan

Rp Triliun

III

IV

2014

Grafik V.4. Perkembangan Giro Pemerintah Daerah

Investasi
Investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB) mengalami peningkatan pertumbuhan selama triwulan IV
2014. Pelaksanaan beberapa proyek multiyears dan realisasi proyek baru seperti perbaikan jalan di Sulawesi
Utara, pembangunan bandara di Papua, pembangunan pembangkit listrik di beberapa daerah, pabrik semen
(Manokwari, Papua Barat), infrastruktur jalan lingkar pulau-pulau (Maluku dan Maluku Utara), pusat
perbelanjaan (Manado, Sulawesi Utara), serta pembangunan beberapa hotel (Sulawesi Selatan dan Bali) dapat
mendorong pertumbuhan investasi yang lebih tinggi di triwulan IV 2014. Secara keseluruhan pada tahun 2014,
perkembangan investasi sedikit lebih lambat dari tahun 2013. Kondisi ini lebih dominan dipengaruhi oleh
turunnya kegiatan investasi nonbangunan di sektor pertambangan seiring dengan konsolidasi yang dilakukan
oleh para pelaku usaha tambang terkait implementasi kebijakan pengendalian ekspor mineral. Perlambatan
investasi dikonfirmasi oleh perkembangan penyaluran kredit investasi, realisasi penanaman modal asing (PMA)
maupun dalam negeri (PMDN) yang tumbuh tidak sebaik tahun sebelumnya (Grafik V.5 dan Grafik V.6).
Pertumbuhan investasi pada triwulan I 2015 diperkirakan kembali cenderung melambat dibandingkan triwulan
IV 2014. Beberapa proyek hilirisasi mineral (smelter), khususnya di Sulawesi Tenggara, yang memproduksi
nickel pig iron (NPI) telah selesai dan memasuki tahap optimalisasi produksi. Selain itu, berdasarkan hasil
liaison para pelaku usaha cenderung untuk mengoptimalkan kapasitas produksi terpasang (existing) sehingga
investasi nonbangunan diperkirakan cenderung minimal. Faktor lain yang berpotensi ikut mendorong
perlambatan investasi dari sisi pembiayaan adalah kondisi suku bunga kredit investasi yang relatif tinggi,
terutama di Maluku. Namun demikian, beberapa proyek besar masih akan berlangsung di KTI, sehingga
menjadi penopang agar perlambatan pertumbuhan investasi tidak semakin dalam. Proyek-proyek tersebut
antara lain adalah pembangunan Train III pabrik LNG (Papua Barat), smelter (Maluku Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara), PLTS Kupang (NTT), serta pembangunan Makassar New Port (Sulawesi Selatan).
Kredit Investasi
70
60

gKredit Investasi - Skala Kanan

Unit

%, yoy

Rp Triliun

60
50

50

40

40

30

30

20

20
10

10

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I

II

III
2013

IV

II

III
2014

Grafik V.5. Penyaluran Kredit Investasi

IV

4,500
4,000
3,500
3,000
2,500
2,000
1,500
1,000
500
0

PMA (Juta US$)

PMDN (Rp Miliar)

gPMA - Skala Kanan

gPMDN - Skala Kanan

%, yoy
150
100
50
0
(50)

(100)
(150)
I

II

III
2013

IV

II

III

IV

2014

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal


Grafik V.6. Realisasi Investasi Asing dan Dalam Negeri

L a p o r a n N u s a n t a r a | 57

Perdagangan Luar Negeri


Ekspor
Tekanan pada kinerja ekspor luar negeri nonmigas KTI masih berlanjut akibat penurunan ekspor pertambangan
pada triwulan IV 2014 (Grafik V.7). Penurunan ekspor komoditas pertambangan terutama disebabkan oleh
berkurangnya ekspor tembaga dari Papua akibat kendala produksi di triwulan IV 2014. Selain itu, ekspor
tembaga telah dipacu sebelumnya secara maksimal pada akhir tahun 2013 sebelum pemberlakuan kebijakan
pengendalian ekspor mineral.
Perkembangan pada triwulan IV 2014 tersebut pada akhirnya juga semakin menekan kinerja ekspor luar negeri
untuk keseluruhan tahun 2014. Ekspor luar negeri nonmigas tercatat turun hingga mencapai -25,5% (yoy)
setelah pada tahun 2013 mampu tumbuh sebesar 4,3% (yoy). Sebagaimana penjelasan sebelumnya,
implementasi UU Minerba membuat pelaku usaha tambang nikel skala menengah ke bawah di Sulawesi
Tenggara dan Sulawesi Tengah berhenti beroperasi. Bahkan eksportir bijih nikel terbesar di Sulawesi Tenggara
telah menghentikan penjualan ke luar negeri. Selain komoditas pertambangan yang menjadi sumber utama
kontraksi ekspor, melemahnya permintaan dari negara mitra dagang utama seperti Jepang mengakibatkan
penurunan harga komoditas perikanan tangkap maupun budidaya. Demikian pula dengan ekspor LNG yang
melemah karena penurunan permintaan dari Tiongkok. Pelemahan ekonomi Jepang menjadi disinsentif bagi
subsektor perikanan di Maluku dan Papua, serta sebagian Sulawesi. Sedangkan terkait dengan kinerja ekspor
pada komoditas perkebunan, permasalahan pengelolaan terkait umur tanaman yang sudah tua sehingga
produktivitasnya cenderung menurun, serta hama penyakit menjadi penyebab perlambatan ekspor biji kakao
di KTI.
Pada triwulan I 2015, kinerja ekspor luar negeri KTI diperkirakan mengalami peningkatan dibandingkan dengan
triwulan IV 2014 terutama akan didorong oleh ekspor pertambangan (konsentrat tembaga). Kegiatan produksi
dan ekspor tembaga di Papua dan NTB diperkirakan akan normal kembali seiring ijin ekspor yang telah
dikeluarkan Pemerintah bagi produsen utama di kedua provinsi dimaksud. Selain dari komoditas
pertambangan, sumber peningkatan ekspor berasal dari ekspor kayu olahan dari Sulawesi Selatan, mengingat
harga jual komoditas kayu yang masih terus mengalami peningkatan. Selanjutnya permintaan eksternal
terhadap produk industri kreatif mikro dan kecil maupun pakaian jadi, khususnya di Bali, diperkirakan masih
cukup baik, sehingga berpotensi semakin mendorong perbaikan kinerja ekspor.
Total Ekspor - Skala Kiri

1,200

gPertanian

gIndustri

gPertambangan
%, yoy

Juta US$

1,000

150
100

800

50

600

400

(50)

200

(100)

(150)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I

II

III

2013

IV

II

III

IV

2014

Sumber: Bea Cukai, diolah


Grafik V.7. Ekspor Luar Negeri Menurut Komoditas

400
350
300
250
200
150
100
50
0

Total Impor - Skala Kiri

gBarang Modal

gBahan Baku

gBarang Konsumsi

Juta US$

%, yoy

300
250
200
150
100
50
0
(50)
(100)
(150)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I

II

III
2013

IV

II

III

IV

2014

Grafik V.8. Impor Luar Negeri Menurut Kategori Barang

Impor
Pada triwulan IV 2014, impor luar negeri nonmigas mengalami penurunan jika dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya. Impor luar negeri nonmigas tercatat mengalami kontraksi sebesar -1,1% (yoy) setelah mampu
bertumbuh hingga 21,6% (yoy) pada triwulan III 2014. Penurunan kinerja impor luar negeri terjadi pada
kelompok barang modal dan bahan baku (Grafik V.8), termasuk di dalamnya komponen perlengkapan alat

L a p o r a n N u s a n t a r a | 58

transportasi (aksesoris dan suku cadang). Hal ini sejalan dengan melemahnya kegiatan ekspor pertambangan
sehingga kebutuhan barang pendukung kegiatan ekspor ikut mengalami perlambatan. Selain itu, bahan baku
industri khususnya makanan dan minuman setengah jadi, juga mengalami perlambatan pertumbuhan seiring
permintaan yang tidak setinggi triwulan sebelumnya. Dengan perkembangan tersebut, ekspor luar negeri
nonmigas juga mengalami penurunan kinerja untuk keseluruhan tahun 2014 sebesar -4,1% (yoy) setelah
tumbuh mencapai 11,6% (yoy) pada tahun sebelumnya. Turunnya kinerja impor luar negeri terutama
disebabkan oleh penurunan kategori bahan baku dan secara khusus pada perlengkapan alat transportasi. Hal
ini terkait dengan kegiatan produksi dan ekspor tambang di KTI yang mengalami penurunan dibandingkan
capaian tahun sebelumnya.
Pada triwulan I 2015, impor luar negeri diperkirakan akan tumbuh meningkat dibandingkan dengan triwulan IV
2014. Sejalan dengan pemulihan kegiatan produksi dan ekspor tambang, aktivitas pertambangan diperkirakan
akan mengalami perbaikan pada triwulan I 2015, sehingga kebutuhan akan barang modal dan bahan baku,
termasuk komponen perlengkapan alat transportasi pendukung kegiatan produksi tambang juga akan
meningkat. Sementara untuk industri lainnya, berdasarkan pengalaman sebelumnya, pelaku usaha industri
makanan olahan dan hasil olahan tambang di KTI akan cenderung menjaga ketersediaan stok bahan baku pada
level tertentu sejak periode awal tahun sehingga impor bahan baku berpotensi meningkat pada awal tahun.
Selanjutnya, optimisme konsumsi rumah tangga dan pemerintah akan diikuti oleh meningkatnya kebutuhan
kelompok barang konsumsi.

Kinerja Sektor Utama Daerah


Sektor Pertambangan dan Penggalian
Sektor pertambangan dan penggalian KTI mengalami kontraksi pada triwulan IV 2014 sebesar -9,4% (yoy).
Kontraksi ini dipengaruhi terutama karena penurunan produksi pertambangan bijih nikel di Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Selain itu, produsen utama tembaga di KTI (Papua) juga mengalami
permasalahan ketenagakerjaan sehingga menghambat aktivitas produksi. Sejak triwulan III 2014, kegiatan
produksi dan ekspor tembaga dari Papua dan NTB pada dasarnya sudah berlangsung normal setelah tercapai
kesepakatan antara pemerintah dan produsen. Namun, masalah keselamatan kerja di Papua yang muncul
pada akhir tahun 2014 di salah satu site penambangan membuat aktivitas kegiatan penambangan terkendala
selama beberapa waktu.
Secara keseluruhan tahun 2014, sektor pertambangan mengalami kontraksi sebesar -3,0% (yoy) dan menjadi
sumber utama perlambatan kinerja perekonomian KTI. Hal ini tercermin dari penurunan produksi mineral KTI
(Grafik V.9 dan Grafik V.10). Belum siapnya smelter untuk bijih nikel di KTI juga membuat beberapa
perusahaan tambang maupun kegiatan tambang rakyat terhenti, khususnya di Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Tenggara. Kondisi kapasitas smelter tembaga di Jawa Timur yang terbatas menyebabkan produksi tembaga
dari Papua dan NTB tidak bisa diserap 100% pasca penerapan UU Minerba. Berbagai faktor tersebut membuat
produksi di tahun 2014 tidak bisa melebihi produksi pada 2013.
250
200

gProduksi Tembaga (Papua)


%, yoy

%, yoy

gProduksi Nikel Matte (Sulawesi Selatan)

80

gProduksi Konsentrat (NTB)

150

gProduksi Bijih Nikel (Sulawesi Tenggara)

120

gProduksi Emas (Papua)

40

100

50

(40)

(80)

(50)

(120)

(100)
I

II

III
2012

IV

II

III
2013

IV

II

III

IV

2014

Sumber: Produsen, diolah


Grafik V.9. Pertumbuhan Produksi Tembaga dan Emas

II

III

2012

IV

II

III

2013

IV

II

III

2014

IV

Ip

2015

Sumber: Produsen, diolah


p) Proyeksi Bank Indonesia
Grafik V.10. Pertumbuhan Produksi Nikel

L a p o r a n N u s a n t a r a | 59

Pada triwulan I 2015, produksi sektor pertambangan KTI diperkirakan akan cenderung meningkat, terutama
karena operasional produksi tembaga yang kembali normal. Eksportir tembaga di Papua telah memperoleh ijin
ekspor sampai enam bulan ke depan setelah menyelesaikan komitmen terkait rencana pembangunan smelter.
Demikian juga dengan eksportir tembaga di NTB yang dapat melakukan kegiatan ekspor hingga April 2015
setelah memenuhi komitmen terkait agenda pengembangan hilirisasi. Selanjutnya, produksi bijih nikel dinilai
akan tumbuh meningkat untuk mendukung kebutuhan industri feronikel dan nickel pig iron (Sulawesi
Tenggara). Eksplorasi dan produksi bahan galian C (pasir) yang relatif stabil akan mendorong kinerja tambang
di Sulawesi Tengah tumbuh positif. Selain itu, terdapat penambahan site tambang emas (Sulawesi Utara) serta
kontinuitas peningkatan target produksi nikel matte (Sulawesi Selatan) yang akan ikut mendukung kinerja
sektor pertambangan KTI.

Sektor Industri Pengolahan


Pada triwulan IV 2014, sektor industri pengolahan mampu tumbuh cukup tinggi sebesar 9,8% (yoy). Hal ini
terutama didukung oleh industri semen, makanan olahan (terigu dan crude palm oil/CPO), serta feronikel
(Grafik V.11). Peningkatan produksi pada industri semen didorong oleh kegiatan investasi fisik yang membaik
pada triwulan IV 2014. Selanjutnya, peningkatan kinerja pada industri makanan olahan dan feronikel didorong
oleh peningkatan permintaan meskipun tidak setinggi triwulan sebelumnya. Di sisi lain, subsektor industri
pengolahan ikan dan gas alam (LNG) cenderung menekan tumbuhnya sektor industri secara keseluruhan
karena pelemahan permintaan, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan industri relatif tidak signifikan.
Tekanan pada industri pengolahan ikan disebabkan oleh minimnya pasokan bahan baku karena harga
komoditas tersebut cenderung turun serta kendala cuaca yang menghambat produksi perikanan. Adapun
kinerja industri LNG yang cenderung melemah disebabkan oleh permintaan LNG dari mitra dagang yang
menurun karena belum pulihnya perekonomian global.
Secara keseluruhan tahun 2014, sektor industri pengolahan masih tumbuh stabil pada level sebesar 8,0% (yoy).
Hal ini didukung oleh menguatnya permintaan komoditas feronikel (Sulawesi Tenggara) dari importir di Eropa
dan Asia Timur. Sementara itu, peningkatan industri terigu (Sulawesi Selatan) didorong oleh pemenuhan target
produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan domestik. Selanjutnya, untuk industri kreatif khususnya di skala
menengah ke bawah (Bali), terjadi akselerasi yang didorong oleh peningkatan permintaan yang cukup kuat dari
pasar dalam negeri maupun luar negeri, yang tercermin dari peningkatan indeks produksi (Grafik V.12).
Adapun beroperasinya pabrik olahan CPO baru di Sulawesi Barat turut memberikan dampak positif bagi
perkembangan sektor industri pengolahan. Di sisi lain, proses renegosiasi harga jual dengan importir dari
Tiongkok hingga akhir triwulan III 2014 menghambat kinerja industri LNG (Papua Barat) selama tahun 2014.
Memasuki triwulan I 2015, sektor industri pengolahan KTI diperkirakan mengalami perlambatan sejalan
dengan pola historis siklus permintaan yang cenderung termoderasi di awal tahun. Beberapa proyek
pembangunan fisik diperkirakan sudah akan selesai pada awal 2015 sehingga pertumbuhan industri semen
diperkirakan tidak akan setinggi triwulan IV 2014. Demikian pula dengan industri pengolahan gas (LNG) yang
diperkirakan masih menurun di awal tahun akibat perlambatan ekonomi Tiongkok yang berpengaruh pada
permintaan bahan baku produksi. Hal ini tercermin dari target produksi yang tidak setinggi tahun 2014.
Industri makanan olahan dan hasil olahan tambang juga diperkirakan tidak mengalami akselerasi meski tetap
bertumbuh dengan cukup baik seiring kondisi permintaan yang masih normal.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 60

gProduksi Feronikel (Sulawesi Tenggara)

%, yoy
50

gProduksi Semen (KTI)

40

gProduksi Terigu (Sulawesi Selatan)

Bali
150

Sulawesi Tengah

Gorontalo

Maluku Utara

Indeks

140

30
20

130

10

120

110

(10)

100

(20)

90

(30)
(40)

80
I

II

III

IV

II

2012

III

IV

II

2013

III

IVp

2014

Ip

2015

Sumber: Produsen, diolah


p) Proyeksi Bank Indonesia
Grafik V.11. Pertumbuhan Produksi Komoditas Industri

II

III

IV

2012

II

III

IV

2013

II

III

IV

2014

Sumber: Badan Pusat Statistik


Grafik V.12. Indeks Produksi Industri Mikro dan Kecil

Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan


Laju pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pada triwulan IV 2014 masih tumbuh positif
namun cenderung melambat. Musim kemarau yang relatif lebih panjang mengganggu panen subsektor
tabama (padi) dan perkebunan (kakao). Khusus untuk komoditas kakao, tren harga kakao masih terus
mengalami perlambatan sehingga ikut memberikan pengaruh terhadap produksi komoditas tersebut di tengah
permasalahan produktivitas. Sementara itu, curah hujan dengan intensitas yang tinggi pada akhir tahun
menekan produksi subsektor perikanan tangkap. Sentra produksi perikanan mencatat penurunan produksi
seiring gelombang laut yang tinggi yang dapat mencapai ketinggian empat meter (Grafik V.13). Meski
mengalami perlambatan di triwulan IV 2014, pertumbuhan sektor pertanian di tahun 2014 menunjukkan
percepatan dibandingkan dengan 2013. Hal ini didukung produksi tabama yang tumbuh lebih baik dari tahun
sebelumnya (Grafik V.14). Program peningkatan produksi tabama melalui penguatan infrastruktur pertanian
dasar (irigrasi dan peralatan tani) serta kegiatan asistensi penyuluhan di desa kabupaten/kota sentra produksi
menjadi salah satu faktor pendukung akselerasi produksi pertanian di tahun 2014.
Pada triwulan I 2015, nilai tambah sektor pertanian diperkirakan masih mengalami perlambatan pertumbuhan.
Penyebaran masa panen yang belum merata di sentra penghasil komoditas pertanian utama (tabama) menjadi
faktor penyebab melambatnya sektor ini. Bahkan ada kecenderungan panen padi baru akan terjadi antara
April-Mei 2015 akibat mundurnya periode masa tanam. Selain itu, prospek kakao di awal tahun masih belum
menunjukkan optimisme yang kuat sejalan dengan masalah produktivitas tanaman yang belum terselesaikan.
Terkait produksi ikan, meski ada potensi perbaikan, namun hasil tangkapan belum akan meningkat dengan
signifikan karena masih adanya risiko angin muson yang menghambat nelayan untuk melaut, khususnya di
Maluku.
%, yoy

Ribu Ton
25
20
15
10
5
0
1

2
I

II

9 10 11 12 1

III

IV

2013

Padi
350
300
250
200
150
100
50
0
(50)
(100)

PPS Bitung
PPS Kendari + PPN Pengambengan
PPN Ambon
gProduksi - Skala Kanan

II
2014

14

%, yoy

Juta Ton

14
12
10
8

6
4

9 10 11 12 1

IV

Sumber: Pusat Informasi Pelabuhan Perikanan, diolah


Grafik V.13. Produksi Ikan Tangkap

gJagung - Skala Kanan

10

2015

gPadi - Skala Kanan

12

III

Jagung

(2)
(4)
(6)
2010

2011

2012

2013

2014

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah


Grafik V.14. Produksi Padi dan Jagung

Sektor Konstruksi
Pada triwulan IV 2014, pertumbuhan sektor konstruksi di KTI mengalami peningkatan dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Berbagai proyek pembangunan infrastruktur, smelter, dan hotel menjadi sumber utama

L a p o r a n N u s a n t a r a | 61

penopang pertumbuhan sektor konstruksi di triwulan ini, seperti pembangunan Gorontalo Outer Ring Road
4
(GORR), pengembangan fasilitas pelabuhan laut , jalan tol Manado-Bitung (Sulawesi Utara), ruas jalan
antarkota di Sulawesi Selatan, serta proyek-proyek hilirisasi mineral dan gas alam. Proyek pembangunan
tersebut juga mendorong pertumbuhan sektor konstruksi secara keseluruhan tahun 2014. Hal ini dikonfirmasi
dengan pertumbuhan kredit perbankan yang disalurkan untuk sektor konstruksi pada tahun 2014 yang tumbuh
lebih tinggi dari tahun 2013 (Grafik V.15).
Pada triwulan I 2015, pertumbuhan sektor konstruksi cenderung stabil namun ada kecenderungan potensi
perlambatan sejalan dengan kinerja investasi yang relatif melambat. Beberapa proyek yang akan menjadi
penopang pertumbuhan sektor konstruksi pada triwulan I 2015, antara lain di Papua (pembangunan,
perbaikan, dan pengembangan fasilitas transportasi), Papua Barat (konstruksi dua ruas jalan besar dari
Manokwari), Sulawesi Selatan (pembangunan sektor riil), serta Sulawesi Tengah (pengembangan kawasan
ekonomi). Berdasarkan hasil survei, risiko perlambatan terindikasi dari kondisi perkiraan harga jual di sektor
bangunan yang cenderung melemah pada triwulan I 2015 berdasarkan hasil survei (Grafik V.16).
Konstruksi
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

gKredit Konstruksi - Skala Kanan

Kegiatan Dunia Usaha


%, yoy

Rp Triliun

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I

II

III
2013

IV

II

III

IV

2014

Grafik V.15. Penyaluran Kredit Konstruksi

40
35
30
25
20
15
10
5
0

Perkembangan Harga Jual

16
14
12

Saldo Bersih
Tertimbang

10
8
6
4
2
0
(2)
I

II

III

2013

IV

II

III

2014

IV

IP

2015

Grafik V.16. Kegiatan Usaha dan Harga Jual Sektor Konstruksi,


Survei Kegiatan Dunia Usaha Bank Indonesia

LAJU INFLASI
Laju inflasi KTI pada triwulan IV 2014 tercatat mengalami peningkatan signifikan dibandingkan triwulan
sebelumnya yaitu dari 4,09% (yoy) menjadi 8,31% (yoy). Peningkatan inflasi tersebut terjadi di seluruh provinsi
dengan inflasi tertinggi terjadi di Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua. Sumber utama tekanan inflasi pada
triwulan IV 2014 berasal dari peningkatan inflasi pada kelompok administered prices dan volatile food.
Kenaikan harga BBM bersubsidi yang diikuti dengan kenaikan tarif angkutan yang berkisar antara 10%-15% di
KTI menjadi sumber utama kenaikan inflasi administered prices.
Selanjutnya, kenaikan inflasi pada volatile food disebabkan oleh berbagai permasalahan di sisi pasokan dan
distribusi. Kendala pasokan beras dan cabai lebih disebabkan oleh permasalah produksi yang sempat
terganggu karena faktor cuaca. Khusus komoditas cabai merah, tekanan harga disebabkan permintaan yang
tinggi di Sulawesi Utara. Hal ini mendorong pasokan dari Gorontalo sebagai daerah sentra produksi cabai
sebagian besar didistribusikan ke daerah tersebut dengan kompensasi harga yang lebih mahal. Sementara itu,
kondisi gelombang laut dan curah hujan yang tinggi juga mengakibatkan penurunan produksi komoditas
perikanan (Maluku, Sulawesi Selatan, Bali) dan gangguan distribusi di sebagian wilayah KTI. Hasil Survei
Pemantauan Harga (SPH) menunjukkan bahwa harga komoditas utama aneka bumbu dan ikan mengalami
peningkatan signifikan di tahun 2014 yaitu cabe merah, bawang putih, dan ikan layang. Sementara untuk
kelompok inti, meski tren penurunan harga emas berlanjut namun tekanan inflasi masih cukup kuat sejalan
dengan permintaan terhadap kelompok sandang yang masih tinggi karena adanya perayaan hari besar
keagamaan.

Pelabuhan Anggrek (Gorontalo), Pelabuhan Tenau (NTT), Pelabuhan Bitung (Sulawesi Utara), Pelabuhan Tahuna (Sulawesi Utara),
Pelabuhan Lirung (Sulawesi Utara)

L a p o r a n N u s a n t a r a | 62

Pada triwulan I 2015, laju inflasi diperkirakan akan cenderung menurun dibandingkan dengan triwulan IV 2014.
Indikasi penurunan tersebut terlihat sejak Januari 2015, meskipun deflasi yang terjadi pada periode ini masih
relatif kecil yaitu sebesar 0,05% (mtm), sehingga inflasi tahunan tercatat sebesar 7,19% (yoy). Hal ini sejalan
dengan hasil Survei Pemantauan Harga (SPH) yang menunjukkan adanya perlambatan pertumbuhan harga
bumbu-bumbuan dan ikan yaitu cabe merah, bawang merah, dan ikan layang (Grafik V.17). Tren penurunan
inflasi terutama disebabkan oleh keputusan Pemerintah menurunkan harga BBM (dua kali) selama bulan
Januari 2015. Kemudian penurunan intensitas curah hujan dan gelombang laut pada akhir triwulan I 2015
diperkirakan akan memperlancar arus distribusi dan turut menurunkan inflasi volatile food. Perlu dicermati,
risiko tekanan inflasi di KTI selama triwulan I 2015 masih akan bersumber dari gangguan cuaca yang dapat
mempengaruhi pasokan ikan dan berkurangnya pasokan pangan karena periode masa tanam, khususnya
untuk komoditas beras (panen diperkirakan April-Mei). Kondisi ini sejalan dengan ekspektasi konsumen
terhadap kenaikan harga barang dan jasa untuk periode tiga bulan ke depan yang masih cenderung tinggi
sebagaimana hasil Survei Konsumen (Grafik V.18).

Cabe Merah
Emas Perhiasan
150

Ekspektasi Harga Konsumen Makassar


Inflasi Sulsel (mtm) Kumulatif 6 Bulan - Skala Kanan
Inflasi KTI (mtm) Kumulatif 6 Bulan - Skala Kanan

Layang
Bawang Merah - Skala Kanan

%, yoy

%, yoy

100
50

500
400

200

300

195

200
0

100

-50

Indeks

190

185

0
180

-100

-100
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2*
2013

2014

(2)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3

2013

2014

2015

2015

Grafik V.17. Perkembangan Harga Komoditas, Survei


Pemantauan Harga

Grafik V.18. Ekspektasi Harga Jangka Pendek,


Survei Konsumen Bank Indonesia

Koordinasi Pengendalian Inflasi


Meskipun mengalami kenaikan signifikan pada triwulan IV 2014, namun inflasi di KTI masih relatif lebih rendah
dari inflasi nasional. Hal ini tidak lepas dari peran koordinasi antara Bank Indonesia dan Pemerintah Daerah
dalam Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang semakin efektif, khususnya dalam mengatasi berbagai
permasalahan struktural di daerah. Sebelum Pemerintah menaikkan harga BBM pada November 2014, inflasi
KTI terus mengalami penurunan, bahkan hingga Oktober 2014, inflasi KTI masih berada di level 4,04% (ytd). Hal
ini menunjukan komitmen dan kontribusi yang semakin baik dari TPID, terutama dalam mengendalian inflasi
menjelang hari raya keagamaan, sehingga pada periode tersebut inflasi tercatat cukup rendah (1,01%, mtm)
5
dibandingkan inflasi historisnya . Beberapa upaya yang dilakukan dalam rangka pengendalian inflasi di KTI
antara lain adalah pasar murah yang secara bersamaan dilakukan di beberapa daerah utama di masing-masing
provinsi serta penguatan koordinasi dengan distributor dalam rangka manajemen stok.

Rata-rata inflasi pada saat Lebaran tahun 2010 s.d. 2012 tercatat sebesar 1,16% (mtm). Inflasi pada saat Lebaran di tahun 2013 tidak
dihitung karena adanya kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 63

Tabel V.1. Rekomendasi dan Langkah Strategis Pengendalian Inflasi 2014

Sulawesi

Maluku dan Maluku Utara

Papua dan Papua Barat

Bali dan Nusa Tenggara

Penyusunan informasi produksi,


konsumsi dan stok barang

Melakukan inisiasi pembuatan


asosiasi pedagang, petani dan
papalele sayuran

Memastikan ketersediaan bahan


pokok

Penghimpunan data surplus


defisit komoditas pangan

Penetapan batas kenaikan tarif


angkutan kota maksimal 10%-15%

Pelaksanaan pasar murah dan


inspeksi mendadak

Memastikan kelancaran distribusi


barang

Pembentukan TPID tingkat


kabupaten/kota yang belum
terbentuk

Pelaksanaan kegiatan operasi


pasar komoditas bahan pokok,
LPG dan BBM

Pembentukan TPID tingkat


kabupaten/kota yang belum
terbentuk

Inspeksi lapangan

Peningkatan jumlah SPBU di jalur


logistik Bali dan Nusra

Perbaikan infrastruktur distribusi

Penetapan batas kenaikan tarif


angkutan kota maksimal

Pelaksanaan kegiatan operasi


pasar

Penetapan batas kenaikan tarif


angkutan kota sebesar maksimal
10%-15%

Menghimbau distributor untuk


menunda kenaikan harga

Melaksanakan kegiatan operasi


pasar

Pengendalian ekspektasi melalui Pengendalian ekspektasi melalui


media informasi
media informasi
Intensifikasi program kawasan
rumah pangan lestari

Pengendalian ekspektasi melalui Pelaksanaan kegiatan kunjungan


media informasi
lapangan
Prioritas pembongkaran bahan
pokok di pelabuhan
Pengendalian ekspektasi
masyarakat melalui media
informasi

Pasca kenaikan harga BBM, Pemerintah Daerah di KTI melakukan penerapan batas kenaikan tarif angkutan
umum maksimal 10%-15%. Sementara itu, dalam rangka pengendalian dampak lanjutan dari kenaikan tarif
angkutan tersebut, TPID di masing-masing provinsi melakukan beberapa langkah yaitu kegiatan inspeksi
langsung dalam rangka memitigasi upaya spekulasi penimbunan BBM, melakukan komunikasi dengan
distributor untuk mengelola timing dan besaran kenaikan harga beberapa komoditas (Papua), berkoordinasi
dengan Bulog untuk memastikan ketersediaan pasokan beras, serta mendorong efisiensi proses bongkar muat
di pelabuhan khususnya untuk komoditas pangan. Selain itu, TPID juga merekomendasikan penambahan SPBU
di sepanjang jalur transportasi darat untuk wilayah Bali, Nusa Tenggara, dan Papua. Selanjutnya dalam rangka
meminimalkan inflasi pada akhir triwulan IV 2014, di tengah tekanan kenaikan harga BBM dan kondisi cuaca
yang mengganggu jalur pelayaran, TPID secara rutin memonitor perkembangan harga dan stok di masingmasing daerah.
Ke depan, upaya pengendalian inflasi 2015 akan difokuskan pada langkah-langkah strategis untuk menjamin
ketersediaan pasokan, mengingat sebagian besar barang kebutuhan KTI sangat bergantung pada pasokan dari
daerah lain melalui perdagangan antarpulau. Beberapa daerah mulai melakukan penjajagan dalam rangka
memperkuat kerja sama perdagangan antardaerah untuk komoditas pangan, seperti yang dilakukan oleh
Provinsi NTT dan DKI Jakarta. Dalam kaitan tersebut, kelancaran distribusi dan pengelolaan ekspektasi
masyarakat menjadi sangat penting (Tabel V.1).

STABILITAS SISTEM KEUANGAN DAN PENGELOLAAN SISTEM PEMBAYARAN


Ketahanan Korporasi
Pertumbuhan kredit korporasi (non-UMKM) pada sektor utama di KTI cenderung mengalami peningkatan di
triwulan IV 2014. Pada akhir tahun 2014, kredit korporasi (total = Rp72,2 triliun) tumbuh sebesar 13,5% (yoy),
lebih tinggi dari triwulan III 2014 yang tumbuh sebesar 11,5% (yoy). Peningkatan tersebut didorong oleh kredit
pada sektor perdagangan, perikanan, penyediaan akomodasi, konstruksi, dan industri pengolahan (Grafik
V.19). Namun demikian, kredit bagi sektor pertanian dengan pangsa 2,7% terhadap total kredit secara

L a p o r a n N u s a n t a r a | 64

keseluruhan (tanpa subsektor perikanan), justru mengalami perlambatan pada triwulan IV 2014 yang sejalan
dengan tren kinerja sektor pertanian yang cenderung melemah.
gKorporasi Produktif
gPerdagangan
70
60

gPertanian
gPertambangan - Skala Kanan

%, yoy

%, yoy

50

40
30
20
10
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I

II

III

IV

2013

II

III

IV

2014

Grafik V.19. Pertumbuhan Kredit Sektor Utama

%
250

12

200

10

150

100

50

(50)

Total Produktif

Pertanian

Perdagangan

Pertambangan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

II

III
2013

IV

II

III

IV

2014

Grafik V.20. Perkembangan NPL Kredit Sektor Utama

Secara keseluruhan, NPL di KTI masih relatif stabil pada level yang rendah pada triwulan III 2014, yakni 3,0%.
Tekanan pada kinerja sektor pertambangan juga berpengaruh terhadap kualitas pembiayaan perbankan di
sektor tersebut. Relaksasi ijin ekspor yang diberikan kepada eksportir tembaga di triwulan III 2014, masih
belum mampu memperbaiki NPL sektor pertambangan yang cenderung meningkat dibandingkan tahun 2013.
Hal ini tidak terlepas dari dampak pemberlakuan UU Minerba sejak tahun 2014 yang mengakibatkan sebagian
usaha pertambangan di KTI berhenti beroperasi. Peningkatan NPL pada sektor pertambangan juga diikuti
beberapa korporasi di sektor pertanian dan konstruksi (Grafik V.20). Pelemahan Nilai Tukar Petani
mengindikasikan adanya penurunan tingkat pendapatan petani sehingga mengganggu repayment capacity dan
menyebabkan peningkatan risiko instabilitas. Selanjutnya tren peningkatan suku bunga kredit diindikasikan
juga mempengaruhi peningkatan NPL sektor korporasi di KTI, terutama pada sektor konstruksi.

Ketahanan Rumah Tangga


Pertumbuhan penyaluran kredit rumah tangga (total = Rp154,8 triliun) di KTI menunjukkan sedikit peningkatan
pada triwulan IV 2014. Total kredit rumah tangga yang disalurkan tumbuh sebesar 13,6% (yoy), lebih tinggi dari
triwulan III 2014 sebesar 12,4% (yoy). Dari aspek struktur kredit, pangsa terbesar masih dimiliki kredit rumah
tangga multiguna (46,4%), diikuti kredit pemilikan rumah/KPR (26,3%), kredit rumah tangga lainnya (18,4%),
kredit kendaraan bermotor/KKB (8,7%), dan perlengkapan rumah tangga (0,4%). Peningkatan laju
pertumbuhan kredit didorong oleh seluruh jenis kredit rumah tangga, kecuali kredit rumah tangga lainnya
yang mengalami kontraksi yang cukup dalam (Grafik V.21). Peningkatan kredit rumah tangga diindikasikan
merupakan dampak meningkatnya kebutuhan rumah tangga di akhir tahun seiring dengan meningkatnya
kebutuhan konsumsi.
Di tengah tren meningkatnya pertumbuhan kredit, kualitas kredit yang disalurkan untuk rumah tangga relatif
stabil pada level yang rendah (1,3%). Pada triwulan IV penurunan NPL terjadi pada kredit jenis KPR, KKB, dan
kredit multiguna (Grafik V.22), sedangkan NPL kredit jenis perlengkapan rumah tangga dan jenis lainnya masih
meningkat. Kemampuan sektor rumah tangga dalam melakukan pelunasan kredit (pembayaran cicilan) yang
membaik di akhir tahun merupakan dampak dari respon perbankan yang semakin selektif dan prudent. Kondisi
pertumbuhan ekonomi KTI yang cenderung melemah, membuat bank lebih berhati-hati dalam menyalurkan
kredit tidak hanya kepada sektor korporasi namun juga kepada sektor rumah tangga. Sehingga perbankan
dapat menjaga rasio NPL di bawah batas aman.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 65

gTotal RT

%, yoy

gKPR

gKKB

gMultiguna - Skala Kanan

350
300
250
200
150
100
50
0
(50)

3.0

50
40
30
20
10

0
(10)
(20)

II

III

IV

II

2013

III

KPR

KKB

Multiguna

2.5
2.0
1.5
1.0

0.5
0.0

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Total RT

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

IV

II

2014

III

IV

II

2013

Grafik V.21. Pertumbuhan Kredit Rumah Tangga

III

IV

2014

Grafik V.22. Perkembangan NPL Kredit Rumah Tangga

Pembiayaan Sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)


Tren melambatnya pertumbuhan kredit UMKM berlanjut pada triwulan IV 2014. Faktor perlambatan kredit
UMKM dinilai salah satunya adalah peningkatan suku bunga yang memberikan tekanan pada permintaan
kredit sehingga menghambat laju pertumbuhan ke arah ekspansi. Jika dilihat dari pergerakan kredit UMKM
secara sektoral (Grafik V.23), perlambatan terjadi hampir di seluruh sektor utama khususnya perdagangan dan
penyediaan akomodasi (sektor perdagangan, hotel, dan restoran). Perlambatan pertumbuhan kredit UMKM
diindikasikan juga karena keterbatasan akses UMKM dalam memperoleh pembiayaan. Sementara itu, rasio
NPL tercatat membaik dari 4,2% pada triwulan III 2014 menjadi 4,0% pada triwulan IV 2014. Penurunan NPL
terjadi di semua sektor utama (Grafik V.24).
Dalam rangka mendorong pengembangan kinerja UMKM dan peningkatan akses UMKM terhadap lembaga
keuangan di KTI, Bank Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dalam mengembangkan berbagai
klaster komoditas yang menjadi unggulan di setiap daerah. Upaya peningkatan kinerja klaster secara tidak
langsung diharapkan juga mendukung kegiatan perekonomian secara keseluruhan, serta meningkatkan
kelayakan UMKM untuk memperoleh akses kepada jasa keuangan. Selanjutnya, bagi UMKM yang telah
mendapatkan layanan jasa keuangan, khususnya perbankan, program Bank Indonesia diarahkan untuk
memperbesar repayment capacity. Program-program selama triwulan IV 2014 tersebut antara lain pemasaran
pupuk olahan limbah klaster sapi bali (Sulawesi Selatan), pemasaran produk kakao (Sulawesi Tengah), dan
pengembangan agrowisata berbasis kopi dan hortikultura (Bali).
%, yoy

gTotal UMKM

gPerdagangan UMKM

40
35
30
25
20
15
10
5
0

gPenyediaan Akomodasi UMKM

gKonstruksi UMKM

%
12

Total UMKM

Perdagangan UMKM

Penyediaan Akomodasi UMKM

Konstruksi UMKM

10
8
6
4
2

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I

II

III

IV

2013

II

III
2014

Grafik V.23. Pertumbuhan Kredit UMKM

IV

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I

II

III
2013

IV

II

III

IV

2014

Grafik V.24. Perkembangan NPL UMKM

Pengelolaan Sistem Pembayaran


Sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di KTI, pertumbuhan kegiatan sistem pembayaran
nontunai juga menunjukkan perlambatan pada triwulan IV 2014. Perlambatan tersebut terutama terjadi pada
transaksi melalui Real Time Gross Settlement (RTGS) yang nilainya tumbuh 4,3% (yoy) atau lebih rendah
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (14,2%, yoy) (Grafik V.25). Secara spasial, perlambatan
pertumbuhan tersebut disebabkan oleh kontraksi transaksi RTGS yang terjadi di Gorontalo, Maluku Utara, dan
Papua Barat. Kontraksi tersebut sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi di ketiga provinsi

L a p o r a n N u s a n t a r a | 66

tersebut. Sementara itu, di sisi lain, pertumbuhan nilai transaksi melalui kliring tercatat mengalami
peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (Grafik V.26), terutama untuk kebutuhan konsumsi
dan transaksi bisnis dengan skala kecil. Namun demikian, total transaksi nontunai tetap melambat mengingat
pangsa transaksi nontunai dengan menggunakan kliring tidak lebih dari 10% dari total transaksi nontunai.
Secara keseluruhan tahun 2014, kegiatan sistem pembayaran nontunai KTI tumbuh 4,9% (yoy) melambat
dibandingkan dengan tahun 2013 yang tercatat sebesar 11,2% (yoy). Sama halnya dengan kondisi triwulan IV
2014, perlambatan ini disebabkan oleh penurunan perlambatan pada transaksi RTGS yang juga merupakan
dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi KTI untuk keseluruhan tahun 2014.
Total Transaksi

Rp Triliun

gTransaksi - Skala Kanan

%, yoy

120

100

100
80
60
40
20
0
1

2
I

II
2013

9 10 11 12 1

III

IV

II

8
III

9 10 11 12
IV

2014

Grafik V.25. Perkembangan Total Transaksi RTGS

Rp Triliun

Total Transaksi

gTransaksi - Skala Kanan

%, yoy

14

80

12

60

10

40

20

(20)

(40)

25
20
15
10
5
0
(5)
(10)
(15)
(20)
(25)
1

2
I

II
2013

9 10 11 12 1

III

IV

II

8
III

9 10 11
IV

2014

Grafik V.26. Perkembangan Total Transaksi Kliring Debet

Pengelolaan Pengedaran Uang Tunai Rupiah


Pengedaran uang kartal di KTI tercatat mengalami peningkatan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya
baik dari sisi outflow maupun inflow. Outflow tercatat tumbuh 42,7% (yoy) atau meningkat dari pertumbuhan
triwulan sebelumnya yang tercatat sebesar 12,3% (yoy). Peningkatan sisi outflow didorong oleh tingginya
permintaan uang kartal di triwulan akhir yang bertepatan dengan perayaan beberapa hari besar keagamaan,
yaitu Idul Adha dan Hari Raya Natal, serta periode akhir tahun anggaran untuk realisasi proyek. Secara historis,
peningkatan outflow pada triwulan IV 2014 tersebut akan diikuti oleh peningkatan inflow triwulan I 2015 yang
cukup signifikan sejak Januari 2015.
Sejalan dengan kondisi outflow, maka pada triwulan IV 2014 secara otomatis aliran uang inflow tumbuh lebih
rendah yaitu 10,73% (yoy) dan relatif sama dengan pertumbuhan pada triwulan III 2014. Adapun pangsa inflow
terhadap outflow berkisar kurang dari 50% yang sehingga transaksi uang tunai di Bank Indonesia KTI pada
triwulan IV 2014 mengalami net outflow. Tingginya arus uang yang keluar dari Bank Indonesia di KTI ke wilayah
lainnya disebabkan oleh ketergantungan yang tinggi terhadap pasokan barang yang diproduksi di luar KTI.
Selain itu, dengan perbandingan KTI yang sangat luas (didominasi provinsi kepulauan) dengan ketersediaan
jumlah lembaga keuangan, khususnya perbankan, yang relatif minim mengakibatkan masa perputaran uang
6
akan relatif lebih lama di KTI .
Sementara itu, jumlah kasus temuan uang palsu mengalami sedikit peningkatan sepanjang triwulan IV 2014.
Hal ini terutama terjadi di daerah-daerah dengan tingkat transaksi tunai yang cukup tinggi dan bertepatan
dengan liburan perayaan Natal dan Tahun Baru. Dalam rangka upaya mencegah penyebaran uang palsu, Bank
Indonesia aktif melakukan koordinasi dengan Polri dan meningkatkan kegiatan sosialisasi keaslian uang rupiah
lebih dengan cakupan yang lebih luas baik kepada pelajar, pelaku UMKM, maupun kepada nelayan dan petani
di KTI.

Jumlah kantor cabang bank di KTI berdasarkan lokasi bank adalah sebanyak 632 kantor sedangkan total di Indonsia adalah 3.625 kantor.
(Statistik Perbankan Indonesia, November 2014, OJK)

L a p o r a n N u s a n t a r a | 67

PROSPEK PEREKONOMIAN
Prospek Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian KTI pada tahun 2015 diperkirakan tumbuh lebih tinggi dibandingkan 2014 (6,0%, yoy), yaitu
pada kisaran 7,6% - 8,1% (yoy). Setelah mengalami kontraksi cukup dalam pada 2014 paska implementasi
kebijakan pengendalian ekspor mineral, kinerja sektor pertambangan akan membaik setelah dua eksportir
utama tembaga di Papua dan NTB mendapatkan ijin ekspor. Hal ini otomatis memberikan dampak langsung
terhadap peningkatan ekspor di KTI, khususnya komoditas pertambangan (tembaga). Pemulihan ekspor
komoditas pertambangan sepanjang tahun 2015, akan mendorong peningkatan pertumbuhan perekonomian
KTI secara keseluruhan. Pemulihan pada sektor pertambangan tidak hanya akan mendorong kinerja ekspor
namun secara tidak langsung juga akan menjadi tulang punggung bagi aktivitas konsumsi rumah tangga.
Demikian pula dengan tren penurunan inflasi yang juga diperkirakan akan memberikan insentif bagi konsumsi
rumah tangga. Sementara itu, kinerja industri pariwisata di KTI, khususnya Bali pada tahun 2015 diperkirakan
akan meningkat, seiring dengan upaya pemerintah untuk mencapai target kunjungan wisatawan hingga 12 juta
7
orang pada 2015 . Hal ini juga didukung oleh berbagai pembenahan sarana dan prasarana infrastruktur
pariwisata seperti peningkatan kapasitas terminal baru di Bandara Internasional Ngurah Rai yang telah
meningkat menjadi 25 juta orang per tahun (sebelumnya 16 juta orang per tahun).
Namun, perlu diwaspadai risiko tekanan yang akan dihadapi pertumbuhan ekonomi KTI pada 2015 baik dari
sisi internal maupun eksternal. Pada sisi eksternal, prospek harga komoditas ekspor utama KTI di tahun 2015
masih relatif mengalami kontraksi dibandingkan dengan tahun 2014. Hal ini dapat menjadi disinsentif yang
menghambat akselerasi kinerja sektor tradable, khususnya komoditas CPO, kakao, nikel, dan tembaga. Selain
itu, kondisi perekonomian tahun 2015 negara tujuan ekspor utama belum sepenuhnya pulih, yakni Tiongkok
yang diperkirakan mengalami perlambatan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi Jepang yang relatif
8
terbatas . Hal ini menunjukan masih ada risiko tekanan permintaan LNG oleh Tiongkok, maupun makanan
olahan, nikel, atau perikanan oleh Jepang. Pada sisi internal, proses pengembangan hilirisasi mineral dalam hal
ini pembangunan smelter masih membawa tantangan tersendiri, yaitu: komitmen investor dan stakeholder;
proses perijinan perlu dioptimalkan, serta dukungan infrastruktur dan ketersediaan faktor produksi lainnya.
Selain risiko pada sektor pertambangan, potensi risiko juga membayangi industri pariwisata meskipun relatif
terbatas. Keputusan Menteri Perhubungan yang menetapkan tarif normal (tarif terendah-tarif tertinggi)
serendah-rendahnya 40% dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan yang diberikan (sebelumnya 30%),
berpotensi mengakibat kenaikan biaya angkutan udara untuk kategori LCC (low cost carrier) atau budget
9
airlines yang merupakan salah satu alternatif sarana transportasi para wisatawan . Dalam kaitannya dengan
kegiatan investasi, risiko yang berpotensi menjadi penghambat adalah ketersediaan infrastruktur di KTI yang
10
relatif minim. Beberapa provinsi di KTI bahkan memiliki rasio elektrifikasi yang masih rendah . Pada sektor
pertanian, wacana penetapan bea keluar biji kakao dalam jangka pendek dapat menjadi faktor disinsentif
untuk memproduksi kakao, meski dalam jangka menengah-panjang akan mendorong industri olahan kakao di
tanah air.

7
8

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.


Jepang diperkirakan tumbuh 0,6% dan Tiongkok diperkirakan tumbuh 6,8% (World Economic Outlook, Januari 2015).

Peraturan Meteri Perhubungan No. PM-91 tahun 2014 tentang Mekanisme Formulasi Penghitungan dan Penetapan Tarif Batas Atas
Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri (Perubahan kedua atas Peraturan Menteri
Perhubungan No. PM-51 tahun 2014.
10

Rasio elektrifikasi tahun 2013 yang berada di bawah 70% antara lain di NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan
Papua Barat (Statistik Ketenagalistrikan 2014, Kemeterian ESDM)

L a p o r a n N u s a n t a r a | 68

Prospek Inflasi
Inflasi pada tahun 2015 diproyeksikan akan lebih rendah dari tahun 2014 (8,31%, yoy) dan berada di kisaran
4,60% - 5,10% (yoy). Dengan demikian, inflasi pada akhir 2015 akan berada dalam rentang sasaran inflasi
nasional sebesar 4% 1% (yoy). Penurunan tingkat inflasi dipengaruhi oleh membaiknya ketersediaan pangan
seiring dengan pertumbuhan produksi yang diperkirakan lebih baik dibandingkan dengan tahun 2014. Selain
itu, tekanan inflasi administered prices diperkirakan relatif terbatas pasca penurunan harga BBM di Januari
2015. Hal tersebut diperkirakan akan ikut memberikan dampak lanjutan pada penurunan harga barang di akhir
triwulan I 2015 sebagaimana hasil survei ekspektasi pedagang yang cenderung mengalami penurunan. Pada
komponen inflasi inti, laju inflasi diperkirakan akan relatif terkendali sepanjang tidak ada gejolak kenaikan
harga emas yang signifikan. Secara spasial, tren penurunan laju inflasi akan terjadi merata di seluruh KTI.
Dalam rangka mendorong pencapaian inflasi yang rendah dan stabil, program kerja TPID pada tahun 2015 akan
difokuskan untuk mendorong kegiatan produksi sebagaimana agenda Pemerintah untuk menjadikan Indonesia
swasembada pangan, serta perbaikan distribusi pangan termasuk mendorong efisiensi tata niaga melalui
penguatan kerja sama perdagangan antardaerah.
Indeks

Ekspektasi Penghasilan

Indeks

Ekspektasi Harga Konsumen Makassar

155

Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja

Ekspektasi Harga Pedagang Makassar - Skala Kanan

150

Ekspektasi Kondisi Ekonomi

202
200
198
196
194
192
190
188
186
184
182

145
140
135

130
125
120
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
2013

2014

2015

Grafik V.27. Ekspektasi Kondisi Ekonomi, Survei Konsumen


Bank Indonesia

100.15
100.10
100.05

100.00
99.95

99.90
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7
2013

2014

2015

Grafik V.28. Ekspektasi Harga Jangka Panjang,


Survei dari Bank Indonesia

Namun, beberapa risiko tetap perlu diwaspadai khususnya dalam rangka upaya pengendalian inflasi di daerah.
Pada awal 2015, risiko harga pangan khususnya beras diperkirakan masih akan membayangi sampai dengan
periode panen raya yang diperkirakan puncaknya pada bulan April-Mei 2015. Hal ini tercermin dari pergerakan
harga beras yang masih terus meningkat sampai dengan Januari 2015. Selanjutnya masih terkait harga beras,
keputusan Pemerintah untuk menaikan harga pokok penjualan (HPP) beras sebesar 10% berpotensi
mendorong kenaikan harga di tingkat petani yang pada akhirnya akan ditransmisikan sampai dengan level
konsumen. Peningkatan harga beras perlu mendapat perhatian khusus mengingat bobot komoditas tersebut
cukup dominan dalam struktur nilai konsumsi. Selain itu, potensi gangguan distribusi melalui jalur laut
11
diperkirakan masih akan terjadi di sebagian wilayah KTI sampai dengan bulan Februari 2015 . Dengan tingkat
ketergantungan yang tinggi dari pasokan dari wilayah di luar KTI, maka fluktuasi harga sangat rentan terjadi,
tidak hanya karena permasalahan distribusi serta pengelolaan stok, namun juga dimungkinkan adanya motif
spekulasi oleh distributor atau pedagang. Faktor risiko yang lain bersumber dari kelompok administered prices
meskipun relatif terbatas seperti kenaikan tarif angkutan, tarif dasar listrik (TDL), maupun harga LPG 12 kg.

11

Prakiraan tinggi gelombang maksimum di KTI pada bulan Februari pada kisaran 1,5 - 3,5 meter (BMKG).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 69

Halaman ini sengaja dikosongkan

Laporan Nusantara

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019, tertuang bahwa salah satu fokus
pemerintah adalah upaya mempercepat pembangunan infrastruktur guna mendorong pencapaian sasaran
pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas. Untuk mendukung hal tersebut, sebagai langkah awal,
pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian alokasi anggaran belanja negara dalam APBN-P 2015,
yang diperoleh dari pengalihan anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan berbagai upaya
penghematan anggaran belanja kementerian/lembaga. Strategi yang ditempuh oleh pemerintah untuk
mempercepat pembangunan infrastruktur ini memberikan optimisme bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi
nasional di tengah belum menguntungkannya dinamika pemulihan ekonomi global yang masih berjalan
lambat. Namun, agar langkah pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur dapat terlaksana
dengan optimal maka perlu disertai upaya konkrit untuk memitigasi beberapa tantangan kritikal, termasuk
diantaranya penguatan peran daerah dalam implementasi pembangunan infrastruktur dan pemenuhan
kebutuhan pembiayaan.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi dalam pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi yang berkualitas
adalah persoalan ketersediaan infrastruktur yang belum cukup memadai. Masih terbatasnya daya dukung
infrastruktur ini merupakan penghambat utama bagi investasi dan menyebabkan inefisiensi perekonomian
karena tingginya biaya logistik. Selain itu, ketimpangan yang masih terjadi antar wilayah tidak terlepas dari
faktor dukungan ketersediaan infrastruktur yang masih belum seimbang. Pada gilirannya ketimpangan ini
menyebabkan perekonomian nasional terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, khususnya di Kawasan
Barat Indonesia.
Dalam berbagai publikasi peringkat daya saing yang dirilis oleh lembaga internasional, daya dukung
infrastruktur Indonesia merupakan salah satu persoalan utama yang disoroti oleh para pelaku usaha global
dalam berinvestasi di Indonesia. Pada publikasi Global Competitiveness Index (GCI) 2014-2015 menunjukkan
peringkat daya saing infrastruktur Indonesia berada pada posisi 56, masih berada di bawah negara-negara
1
kawasan seperti Malaysia (peringkat 29), Thailand (peringkat 25), dan Singapura (peringkat 2) . Hal senada
juga tercermin dari peringkat logistik (Logistic Performance Index, LPI) yang dirilis oleh World Bank pada 2014
yang menempatkan Indonesia berada pada posisi 53 atau hanya sedikit lebih baik dibandingkan posisi Filipina
(peringkat 57), namun tertinggal cukup jauh bila dibandingkan dengan Vietnam (peringkat 48), Thailand
2
(peringkat 35), dan Malaysia (peringkat 25) . Masih terbatasnya daya dukung infrastruktur ini pada gilirannya
menyebabkan inefisiensi ekonomi. Hal ini antara lain tercermin dari pangsa biaya logistik terhadap PDB yang
3
mencapai 27%, jauh berada di atas negara-negara kawasan seperti Singapura, Thailand, maupun Vietnam .
Dalam kondisi tersebut, tak pelak diperlukan langkah konkrit dalam mempercepat implementasi
pembangunan infrastruktur, jika Indonesia tidak ingin lebih tertinggal di saat implementasi masyarakat
ekonomi Asean. Sehubungan itu, kentalnya nuansa pembangunan infrastruktur pada RPJMN 2015-2019 yang
lalu dituangkan pada APBN-P dan Rencana Kerja Pemerintah tahun 2015 merupakan langkah perlu, namun
belumlah memadai. Diperlukan langkah-langkah kongkrit termasuk koordinasi berbagai institusi di Pusat1
2
3

Global Competitiveness Report 2014-2015, World Economic Forum, 2014.


Connecting to Compete, World Bank, 2014.
State Logistics Indonesia, World Bank, 2014.

Laporan Nusantara| 71

Daerah guna memastikan keberlanjutan agenda pembangunan infrastruktur tersebut. Pada 2015, penekanan
pengembangan infrastruktur difokuskan mendukung pertumbuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan
kewajiban dasar, serta pembangunan infrastruktur konektivitas.
Kebijakan pemerintah untuk mendorong percepatan pembangunan infrastruktur menjadi salah satu isu pokok
yang diangkat pada Laporan Nusantara kali ini. Hal ini mengingat bahwa upaya percepatan pembangunan
infrastruktur menjadi sebuah momentum yang memberikan optimisme bagi pencapaian pertumbuhan
ekonomi nasional ditengah dinamika pemulihan perekonomian global yang berjalan lebih lambat dari yang
diprakirakan. Penguatan daya dukung infrastruktur nasional merupakan bagian penting dari reformasi
struktural yang akan memastikan terjaganya stabilitas harga untuk kesinambungan pencapaian pertumbuhan
ekonomi. Pada bagian ini akan memberikan gambaran mengenai arah prioritas percepatan pembangunan
infrastruktur dalam perspektif spasial dan tantangan yang dihadapi, termasuk langkah mitigasi yang dapat
dilakukan serta dukungan peran Bank Indonesia di daerah yang dapat dilakukan sesuai koridor kewenangan
yang dimilikinya.

Prioritas Pembangunan Infrastruktur 2015-2019


Untuk periode 2015 2019, pengembangan konektivitas nasional dititikberatkan pada penguatan transportasi
laut sebagai basis bagi sistem logistik nasional. Pengembangan transportasi laut dilakukan melalui
pengembangan kapasitas pelabuhan dengan ditunjang fasilitas pelabuhan yang memadai, serta membanguna
short sea shipping pada jalur logistik nasional yang diintegrasikan dengan moda kereta api dan jalan raya.
Sepanjang periode 2015-2019, Pemerintah menargetkan pengembangan 24 pelabuhan untuk mendukung
4
pengembangan konsep "tol laut" yang terdiri dari 5 pelabuhan hub dan 19 pelabuhan feeder . Pelabuhan hub
tersebut mencakup Pelabuhan Belawan/Kuala Tanjung, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Makassar, dan Bitung.
Sementara pelabuhan feeder terdiri dari Pelabuhan Malahayati, Batam, Jambi, Palembang, Panjang, Teluk
Bayur, Tanjung Emas, Pontianak, Banjarmasin, Sampit, Balikpapan/Kariangau, Samarinda/Palaran,
Tenau/Kupang, Pantoloan, Ternate, Kendari, Sorong, Ambon,dan Jayapura (Gambar V.1.).

Sumber: Kementerian PPN/Bappenas


Gambar VI.1. Rencana Pengembangan "Tol Laut"

Konsep "tol laut" adalah penyelenggaraan angkutan laut secara tetap dan teratur yang menghubungkan pelabuhan-pelabuhan hub
disertai feeder dari Sumatera hingga ke Papua.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 72

Selanjutnya, dalam pencapaian kedaulatan pangan, dukungan infrastruktur terkait ketersediaan air merupakan
faktor utama bagi peningkatan kapasitas produksi pertanian. Kebijakan ketahanan air nasional diarahkan pada
peningkatan kapasitas penyediaan air dan perlindungan ekosistem pendukungnya baik untuk pemenuhan
kebutuhan sehari-hari (kebutuhan domestik) maupun untuk mendukung pembangunan pertanian, produksi,
energi, industri dan lain-lain. Dalam kaitan ini pemerintah menargetkan peningkatan efektivitas dan
ketersambungan jaringan irigasi dan sumber air serta pembangunan jaringan baru, termasuk melalui
pembangunan waduk untuk mendukung ketersediaan air irigasi. Pada periode 2015-2019, pemerintah
menargetkan untuk membangun 1 juta hektar jaringan irigasi baru dan rehabilitasi 3 ratus ribu hektar jaringan
irigasi permukaan, air tanah, dan rawa, serta pembangunan 49 waduk dengan 21 diantaranya dimulai pada
tahun 2015 (Gambar V.2).

Sumber: Kementerian PPN/Bappenas


Gambar VI.2. Rencana Pembangunan Waduk

Sementara itu, pembangunan infrastruktur terkait energi diharapkan menjembatani kondisi belum meratanya
ketersediaan energi antar daerah. Data rasio elektrifikasi menunjukkan kesenjangan yang signifikan antara di
Jakarta dengan 95% rumah tangganya telah memiliki akses sambungan listrik dengan rumah tangga di Papua
5
Barat yang baru sekitar 27% rumah tangganya telah tersambung dengan akses listrik . Kondisi belum
meratanya akses sambungan listrik ini tidak terlepas dari masih terbatasnya kapasitas pembangkit listrik. Di
Kalimantan, persoalan ketersediaan pasokan listrik semakin nyata dialami di daerah-daerah terpencil
perbatasan, seperti Entikong (Kalimantan Barat dan Sarawak). Demikian halnya dengan di Sumatera yang
menghadapi persoalan dari defisit pasokan listrik yang kerap terjadi dan konektivitas jaringan yang belum
menjangkau seluruh wilayah.
Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur diperlukan untuk memperkuat aksesibilitas dan daya dukung
ketersediaan energi. Hal ini dilakukan antara lain melalui pembangunan pembangkit listrik baru maupun
meningkatkan kapasitas pembangkit yang telah ada dan perluasan cakupan wilayah pembangunan transmisi
listrik dengan disertai upaya untuk melakukan konversi sumber energi pembangkit listrik dari BBM menjadi
non-BBM dan mendorong pemanfaatan potensi sumber daya air untuk PLTA. Hingga akhir tahun 2019,

Statistik PLN 2013, PLN.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 73

Pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi nasional mencapai 96,6% dengan dukungan kapasitas terpasang
pembangkit listrik 86,6 GW atau meningkat 35.900 MW dari kondisi di 2014, antara lain melalui pembangunan
pembangkit listrik baru. Penambahan kapasitas listrik baru ditargetkan mulai meningkat secara bertahap mulai
tahun 2016, sementara pada tahun 2015 difokuskan pada perluasan jaringan distribusi kelistrikan dengan
target perbaikan rasio elektrifikasi menjadi sekitar 85% (dari kondisi di 2014 yang sebesar 81,6%).

Prioritas Pembiayaan Infrastruktur dalam APBN-P 2015


Sebagai langkah awal implementasi pembangunan infrastruktur, pemerintah telah melakukan penyesuaian
alokasi anggaran belanja negara dalam APBN-P 2015. Reformasi belanja subsidi, khususnya terkait subsidi
energi, yang telah dimulai oleh pemerintah pada November 2014 dapat memberikan ruang fiskal yang cukup
memadai untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur. Selain itu, tambahan alokasi anggaran bersumber
dari berbagai langkah kebijakan untuk penghematan anggaran belanja kementerian/lembaga. Secara
keseluruhan, postur belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dalam APBN-P 2015 naik dari Rp647,3 menjadi
Rp795,5 triliun, sedangkan belanja non K/L - yang didominasi oleh belanja subsidi - mengalami penurunan dari
Rp745,1 triliun menjadi Rp524,1 triliun.
Tabel VI.1. APBN-P 2015

URAIAN

APBN

APBNP

A. PENDAPATAN NEGARA
I. PENDAPATAN DALAM NEGERI
1. Pendapatan Perpajakan
2. Pendapatan Negara Bukan Pajak
II. PENDAPATAN HIBAH

1.793,6
1.790,3
1.380,0
410,3
3,3

1.761,6
1.759,3
1.489,3
269,1
3,3

(31,9)
(32,0)
109,3
(141,3)
0,1

B. BELANJA NEGARA
I. BELANJA PEMERINTAH PUSAT
1. Belanja KL
2. Belanja Non KL
a. Pembayaran Bunga Utang
b. Subsidi
(1) Subsidi Energi
- Subsidi BBM, LPG & BBN'
- Subsidi Listrik'
(2) Subsidi Non Energi
II. TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

2.039,6
1.392,4
647,3
745,1
152,0
414,7
344,7
276,0
68,7
70,0
647,0

1.984,1
1.319,5
795,5
524,1
155,7
212,1
137,8
64,7
73,1
74,3
664,6

(55,3)
(72,9)
148,2
(221,1)
3,8
(202,6)
(206,9)
(211,3)
4,5
4,3
17,6

C. KESEIMBANGAN PRIMER
D. SURPLUS DEFISIT ANGGARAN
% Defisit terhadap PDB )*
E. PEMBIAYAAN (I + II)
I. PEMBIAYAAN DALAM NEGERI
II. PEMBIAYAAN LUAR NEGERI (neto)

Selisih

(93,9)

(66,8)

27,2

(245,9)
(2,2)

(222,5)
(1,9)

23,4

245,9
269,7
(23,8)

222,5
242,5
(20,0)

(23,4)
(27,2)
3,8

Sumber: Kementerian Keuangan, Pokok-Pokok Perubahan APBN Tahun Anggaran 2015

Tambahan belanja Kementerian/Lembaga sebesar Rp148,2 triliun dialokasikan untuk program prioritas, yakni
pembangunan infrastruktur yang mendukung pertumbuhan ekonomi, pemenuhan kebutuhan kewajiban
dasar, serta pembangunan infrastruktur konektivitas. Khusus untuk pembangunan infrastruktur, alokasi dalam
APBN-P 2015 mencapai Rp209,9 triliun, meningkat cukup besar dari sebelumnya Rp 149,4 triliun pada tahun
2014 ataupun dibandingkan dengan APBN 2015 yang sebesar Rp155,4 triliun.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 74

Anggaran transfer daerah juga mengalami kenaikan yang cukup besar dari sebelumnya sebesar Rp647 triliun
pada APBN 2015 menjadi Rp664,6 triliun pada APBN-P 2015, yang secara keseluruhan juga diarahkan untuk
pembangunan infrastruktur. Pada komponen dana perimbangan terdapat tambahan Dana Alokasi Khusus
(DAK) untuk program prioritas sebesar Rp23 triliun. Tambahan DAK tersebut difokuskan untuk pembangunan
irigasi, pertanian, perdagangan terutama rehabilitas pasar dan pembangunan sarana pasar, serta transportasi
khususnya yang terkait dengan jalan dan kesehatan. Kenaikan yang cukup besar pada transfer daerah
terutama karena tambahan alokasi dana desa yang naik Rp11,7 triliun menjadi sebesar Rp20,8 triliun. Dana
desa untuk pertamakali dianggarkan pada APBN 2015 sebagai tindaklanjut dari amanat UU No.6 Tahun 2014
6
tentang Desa . Alokasi dana desa juga diarahkan untuk pembangunan infrastruktur dasar inisiatif masyarakat
dengan prioritas pada (1) infrastruktur desa; (2) jalan desa dan prasarana kesehatan desa; (3) sarana dan
prasarana pendidikan (4) sarana dan prasarana ekonomi produktif.
Kebutuhan pendanaan infrastruktur untuk tahun 2015 diperkirakan mencapai Rp236,6 triliun dari total
keseluruhan kebutuhan untuk 2015-2019 sebesar Rp5.519 triliun. APBN diperkirakan memiliki peran kritikal
dengan potensi pendanaan hingga 40,14% dari total perkiraan kebutuhan, sementara pemerintah
menargetkan pola dukungan pembiayaan dari BUMN dan swasta yang akan menyumbang sekitar 50% dari
total kebutuhan pembiayaan infrastruktur 2015 2019. Sementara itu, pendanaan yang bersumber dari
daerah diperkirakan sebesar 9,9% yang diharapkan dialokasikan pada belanja APBD, terutama untuk dukungan
pembangunan infrastruktur jalan, penyediaan air minum, dan transportasi perkotaan.

Sumber: Kementerian PPN/Bappenas, diolah


Grafik VI.1. Grafik Kebutuhan dan Potensi Sumber Pembiayaan Infrastruktur 2015-2019

Tantangan dan Langkah Percepatan Pembangunan Infrastruktur


Upaya untuk mempercepat pembangunan infrastruktur perlu disertai langkah kebijakan terkoordinasi dalam
mengatasi tantangan yang dapat menghambat pencapaian agenda pembangunan sebagaimana tertuang
dalam RPJMN 2015-2019. Secara umum, setidaknya terdapat empat tantangan utama yang perlu diatasi untuk
memastikan implementasi percepatan pembangunan infrastruktur berjalan sebagaiama diharapkan.
Pertama, terbatasnya kapasitas pemenuhan barang modal dari produksi domestik untuk pembangunan
infrastruktur, seperti untuk kebutuhan besi dan baja, sehingga dapat memicu kenaikan kebutuhan impor yang
pada gilirannya akan memberi risiko bagi defisit neraca perdagangan. Untuk memitigasi hal ini, pemerintah
perlu menempuh kebijakan yang dapat mendorong atau memberikan insentif bagi pihak swasta untuk
peningkatan kapasitas produksi domestik.
6

Dana Desa diialokasikan melalui mekanisme transfer kepada kabupaten/kota. Bupati/walikota mengalokasikan Dana Desa
memperhatikan: jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, tingkat kesulitan geografis.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 75

Kedua, untuk mengatasi besarnya kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur penguatan skema
kerjasama pembiayaan swasta dan pemerintah seperti public-private partnership (PPP) perlu dioptimalkan
dengan meminimalkan permasalahan yang selama ini menjadi kendala bagi PPP seperti ketidakjelasan
pembagian risiko dan koordinasi antara pemerintah dan swasta, serta lamanya tahapan proses persiapan dari
government contracting agencies. Di samping itu, perlu ditempuh strategi yang dapat memberikan insentif
bagi daerah untuk dapat mengalokasikan pangsa belanja daerah dalam APBD yang lebih besar pada belanja
infrastruktur.
Ketiga, perkembangan penyerapan anggaran daerah yang belum menunjukkan perbaikan yang berarti pada
2014 mengindikasikan masih belum optimalnya pengelolaan belanja daerah. Di tengah belum optimalnya
penyerapan anggaran, transfer ke daerah terus meningkat. Selain itu, untuk pengelolaan dana desa perlu
disertai tata kelola yang menjamin akuntabilitas.
Keempat, birokrasi proses pengadaan atau tender yang membutuhkan proses relatif cukup panjang (antara
lain terkait proses kelengkapan dokumen dan proses perijinan bagi proyek kerjasama pihak swastapemerintah) sehingga pelaksanaan atau implementasi pembangunan proyek infrastruktur cenderung baru
optimal pada Triwulan III dan Triwulan IV. Di samping itu, masih terbatasnya daerah yang telah memiliki
aturan mengenai tata ruang turut berkontribusi terhadap implementasi pembangunan infrastruktur di daerah.
Dalam kaitan ini, perlu dilakukan penyesuaian dan atau harmonisasi pengaturan untuk memastikan
keterpaduannya dengan tetap mengedepankan prinsip tata kelola yang baik.
Untuk mendukung agenda pembangunan infrastruktur tersebut di atas dan dalam menghadapi berbagai
tantangan implementasinya, Bank Indonesia akan secara konsisten mengarahkan kebijakannya pada upaya
pencapaian stabilitas makroekonomi dan sasaran inflasi nasional. Bank Indonesia juga akan terus mendorong
dilakukannya reformasi struktural di daerah melalui pembenahan enabling factors dan memantau
implementasi agenda pembangunan ekonomi daerah sesuai RPJMN 2015-2019, serta melakukan applied
research (kajian strategis) untuk mengidentifikasi lebih dalam permasalahan pembangunan di daerah. Selain
itu, upaya untuk memperluas pemanfaatan transaksi non-tunai dan layanan keuangan digital (LKD) akan terus
dilakukan oleh Bank Indonesia untuk memperkuat efisiensi perekonomian nasional dan daerah.

ag

L a p o r a n N u s a n t a r a | 76

Revealed Competitive Advantage (RCA) merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur
keunggulan komparatif disuatu wilayah. Pendekatan RCA dilakukan dengan cara mengevaluasi peranan
komoditas tertentu dalam total perdagangan internasional suatu negara. Untuk mengetahui posisi Indonesia
dalam pasar global komoditas perikanan maka dilakukan estimasi indeks RCA berdasarkan data perdagangan
internasional 10 (sepuluh) negara pengekpor komoditas perikanan dunia.
Menggunakan metode RCA tersebut di atas, diperoleh gambaran peta daya saing pasar ekspor produk
perikanan global yang secara umum menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi persaingan yang cukup besar.
Dari negara-negara se-kawasan Asia, persaingan ekspor perikanan terjadi antara Indonesia dengan Vietnam,
Thailand dan India (Grafik 3). Vietnam memiliki daya saing yang paling tinggi di antara 10 negara pengekpor
utama perikanan, kemudian diikuti Chile dan Norwegia. Dalam kurun waktu 1995 hingga 2013, daya saing
Indonesia cenderung menurun dan ditempel ketat oleh India dan Kanada. Bila dilihat berdasarkan kelompok
komoditas ekspor perikanan (Grafik 4), penurunan RCA didorong oleh penurunan daya saing ekspor
komoditas hewan laut berkulit lunak yang memiliki nilai ekspor cukup besar. Namun, untuk kelompok hewan
laut yang berkulit lunak yang diolah posisi Indonesia masih memiliki daya saing yang cenderung meningkat.

Grafik 1. RCA Produk Perikanan 10 Negara dengan Pangsa Ekspor


Terbesar (1995-2013)

Grafik 2. RCA Indonesia

Tingginya daya saing perikanan negara se-kawasan, Vietnam, didorong oleh kualitas infrastruktur yang
mendukung kinerja industri perikanan, yaitu pelabuhan perikanan yang memiliki prasarana industri perikanan
yang memadai antara lain berupa cold storage/ice plant serta dukungan pemerintah bagi investasi swasta di
industri pendukung perikanan ditingkat hulu hingga hilir. Sementara dari sisi pemasaran, pemerintah
memfasilitasi penerapan standar baku sertifikasi produk sesuai dengan standar global serta melakukan
promosi perdagangan internasional.

1
2

Disusun oleh: MHA.Ridhwan, Yenny Fridayanti dan Rakhmat Pratama, peneliti ekonomi DKEM, Bank Indonesia
Metode perhitungan RCA merujuk pada indeks Balassa yaitu:

1 =

dengan:

: Nilai Ekspor Negara i untuk komoditas j

Berdasarkan rumus diatas, ketika nilai


, maka dapat diindikasikan bahwa negara i memiliki comparative advantage (keunggulan
komparatif) untuk komoditas j. Semakin besar nilai indeks, semakin kuat tingkat keunggulan komparatifnya. Sebaliknya, apabila nilai
, maka dapat diindikasikan bahwa negara i tidak memiliki comparative advantage untuk komoditas j. Sehingga semakin kecil nilai
indeks, maka dapat dikatakan bahwa semakin tidak unggul suatu komoditas tersebut.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 84

Tabel 1. Perbandingan Infrastruktur Perikanan antara Indonesia, Vietnam, dan Thailand


Indikator

Indonesia

Vietnam

Thailand

Jumlah Pelabuhan Perikanan

33 unit

>80 unit

136 unit

Jumlah Cold Storage/Ice Plant

580 unit

n/a

46 unit

Jumlah Kapal Motor Terdaftar <50


gross ton

*)

196.550 unit

1.731 unit

29.358 unit
Jumlah Kapal Motor Terdaftar >= 50
3.190 unit
523 unit
gross ton
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Department of Fisheries, Thailand, FAO Fishery Country Profile
*) termasuk milik industri pengolahan

L a p o r a n N u s a n t a r a | 85

Pembangunan maritim menjadi salah satu agenda prioritas Pemerintah yang tertuang dalam visi
pembangunan Presiden Jokowi (Nawa Cita) dan RPJMN 2015 -2019. Latar belakang pembangunan maritim
didasari oleh tujuan untuk mendukung pencapaian cita-cita nasional, yaitu kesejahteraan seluas-luasnya yang
mengandung makna pemerataan pembangunan. Selain itu, pembangunan maritim juga dimaksudkan untuk
menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dengan memanfaatkan SDA dan menjaga kedaulatan
1
negara terutama di batas luar wilayah negara yang sebagian dibatasi oleh laut. Paradigma pembangunan
yang pada beberapa dekade terakhir lebih berorientasi ke arah daratan (land-based-development), telah
menyebabkan terjadinya disparitas pembangunan dengan tertinggalnya wilayah pesisir dan kepulauan dari sisi
tingkat kemajuan ekonomi. Secara spasial, disparitas tingkat ekonomi tercermin antara wilayah sisi barat
(Jawa, Sumatera, dan Kalimantan) dan sisi timur Indonesia yang lebih didominasi oleh daerah kepulauan.

Sumber : Kementerian Koordinator Bidang Maritiom, diolah


Gambar VI.3. Agenda Pembangunan Maritim 2015 - 2019

Dalam agenda pembangunan maritim, terdapat empat aspek pembangunan yang akan menjadi fokus utama,
yakni pembangunan kedaulatan maritim, pengelolaan SDA dan jasa, pembangunan infrastruktur, dan
penguatan SDM, Iptek, dan budaya. Dari sisi pembangunan kedaulatan maritim, penguasaan sepenuhnya atas
wilayah kelautan menjadi prioritas, yang menjadi landasan bagi pengoptimalan potensi maritim di masa
mendatang. Dalam kaitan tersebut, penegakan hukum maritim sesuai konvensi internasional dan penjagaan
keamanan menjadi arah program Pemerintah. Sementara itu, pengelolaan SDA dan jasa ditujukan untuk
mengoptimalkan keseluruhan faktor SDA baik sumber daya hayati, mineral, energi, dan kepariwisataan dengan
tetap mengutamakan kelestarian lingkungan. Adapun pembangunan infrastruktur menjadi prasyarat utama
keberhasilan pembangunan maritim yang menjadi program prioritas pada RPJMN 2015 2019. Pembangunan
infrastruktur maritim didukung dengan adanya realokasi anggaran APBN, sejalan dengan meningkatnya ruang
fiskal pemerintah pasca penghapusan subsidi BBM. Pembangunan infrastruktur maritim juga diarahkan
terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah dan sistem logistik nasional. Aspek terakhir dari agenda
pembangunan maritim adalah penguatan SDM dan Iptek sebagai faktor enablers yang penting, khususnya
dalam rangka peningkatan produktivitas.
1

Presiden Jokowi mendeklarasikan Indonesia sebagai poros maritim dunia pada ajang KTT Asia Timur di Nay Pyi Taw, Myanmar, Kamis 13
November 2014.

Laporan Nusantara| 77

Cerminan dari keseriusan dalam pembangunan maritim diwujudkan melalui penetapan target indikator
pembangunan di 2019. Dari sejumlah sasaran pembangunan maritim, pembangunan konektivitas nasional dan
pengembangan ekonomi kelautan terutama yang mendukung sektor perikanan menjadi fokus dari
2
pembahasan isu khusus ini. Pembangunan konektivitas difokuskan pada pengembangan pelabuhan, moda
3
transportasi laut yang terintegrasi dengan dukungan industri galangan kapal. Sementara pembangunan
ekonomi kelautan difokuskan pada peningkatan hasil perikanan dan pengembangan pelabuhan perikanan.
Terdapat pula target untuk meningkatkan luas kawasan konservasi laut yang diharapkan dapat mendukung
optimalisasi ekonomi kelautan di masa mendatang.
Tabel VI.2. Target Pembangunan Maritim

INDIKATOR

2014
(Baseline)

2019

Pembangunan Konektivitas Nasional

Pengembangan pelabuhan untuk menunjang tol laut


Pengembangan pelabuhan penyeberangan
Pembangunan kapal perintis
Pengembangan Ekonomi Kelautan
Produksi hasil perikanan (juta ton )
Pengembangan pelabuhan perikanan
Peningkatan luas kawasan konservasi laut
Sumber : RPJMN 2015 - 2019

--

24

210
15 unit

270
76 unit

22,4
21 unit
15,7 juta ha

40-50
23 unit
20 juta ha

Potensi Sektor Perikanan


Sektor perikanan menjadi tulang punggung pengembangan ekonomi kelautan yang diharapkan dapat
mengakselerasi perekonomian wilayah kepulauan dan mendukung pertumbuhan ekonomi dalam 5 tahun ke
depan. Hal ini terindikasi dari produksi hasil perikanan yang ditargetkan naik lebih dari dua kali lipat pada 2019.
Peningkatan produksi hasil perikanan dimungkinkan dengan besarnya potensi yang dikandung dari kondisi
geografis Indonesia sebagai negara dengan luas laut yang mencapai sekitar 70% dari keseluruhan luas teritorial
4
dan garis pantai kedua terpanjang di dunia. Saat ini pemanfaatan dari potensi perikanan masih sangat minim
(sekitar 20%) yang khususnya pada perikanan budi daya.
Berdasarkan data terkini, pemanfaatan perikanan tangkap di perairan umum yang baru mencapai sekitar 40%,
masih sangat berpotensi dioptimalkan. Secara spasial, pangsa produksi hasil perikanan tangkap terbesar di
Kawasan Indonesia Timur (KTI) terutama di wilayah Maluku, Sulawesi Selatan, dan Papua. Sementara itu, unit
pengolahan perikanan terbesar di KTI terdapat di wilayah Sulawesi Utara. Adapun pemanfaatan perikanan budi
daya jauh lebih rendah dibandingkan dengan perikanan tangkap, khususnya untuk budi daya di laut dan
tambak. Meski demikian, pertumbuhan produksi di perikanan budi daya jauh lebih cepat dibandingkan
5
dengan perikanan tangkap dalam 5 tahun terakhir.

Ekonomi kelautan (marine economy) adalah adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan
ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang
dibutuhkan umat manusia (Dahuri, 2003; Kildow, 2005). Sementara ekonomi maritim (maritime economy) selain dari aspek ekonomi
kelautan, juga mencakup transportasi laut, galangan kapal, konstruksi dan operasional pelabuhan, industri dan jasa terkait lainnya.
(Stopford, 2004)
3
Dari total jumlah galangan kapal yang mencapai hampir 200 industri, sebagian besar berlokasi di kawasan Sumatera dan Kalimantan
(Iperindo, 2013). Setiap tahunnya dibutuhkan sekitar Rp 21,5 T untuk pengadaan kapal dari berbagai jenis yang sebagian besar juga masih
harus dipenuhi melalui impor.
4
Berdasarkan estimasi, nilai ekonomi dari sektor perikanan termasuk industri pengolahan hasil perikanan mencapai sekitar 200 milyar
USD tiap tahunnya atau sekitar 16,7% dari total nilai ekonomi sektor maritim (IPB)
5
Hal ini mendukung pertumbuhan PDB sektor perikanan yang lebih tinggi daripada subsektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir.
Secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir, PDB sektor perikanan tumbuh sebesar 6,7% (yoy), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan PDB
subsektor pertanian sebesar 6,2% (yoy).

L a p o r a n N u s a n t a r a | 78

Tabel VI.3. Produksi dan Pemanfaatan Hasil Perikanan


Luas Perairan
Produksi 2013
MSY (juta
Jenis Kegiatan Perikanan
2
(juta ton)
(juta km )
ton/tahun)
A. Perikanan Tangkap
5,8
6,5 7,3
5,34
1. Laut
0,54
0,9
0,36
2. Perairan Umum
B. Perikanan Budidaya
0,24
42
4,6
1. Laut
0,01
10
1,6
2. Tambak (Payau)
0,14
5,7
1,72
3. Perairan Umum dan Tawar
6,73
65
13,62
TOTAL
Sumber : Statistik Kelautan dan Perikanan 2013

Tingkat
Pemanfaatan
(%)
73 - 82
40
10,95
16
30,17
20,95

21

19.57

18
15

11.66

13.64

12

9
6
3

7.93

15.5

13.7
9.68

6.28

5.38

5.71

5.83

5.86

2010

2011

Total Produksi Perikanan

2012

2013

Produksi Perik. Tangkap

Produksi Perik. Budidaya

Sumber: BPS
Grafik VI.2. Pangsa Produksi Ikan Tangkap

Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan


Grafik VI.3. Pertumbuhan Produksi Perikanan

Potensi yang cukup besar juga terindikasi pada ekspor hasil perikanan yang cenderung tumbuh meningkat
6
dalam 5 tahun terakhir, sejalan dengan masih tingginya permintaan global. Saat ini, ekspor hasil perikanan
menyumbang sekitar 17% dari total gabungan ekspor produk pertanian dan perikanan. Meski sumbangan
demikian, pada saat yang bersamaan daya saing ekspor perikanan Indonesia justru mengahdapi tantangan
yang semakin besar. Estimasi yang dilakukan dengan mengunakan pendekatan Reveald Competitive Advantage
bahkan mengindikasikan adanya kecenderungan melambatnya daya saing ekspor perikanan nasional
dibanding beberapa negara kompetitor seperti Vietnam, Chile, Netherland, dan Thailand. (Lihat Boks Daya
Saing Sektor Perikanan Indonesia). Dalam kaitan ini, maka agenda pembangunan maritim dan khususnya
pengembangan sektor perikanan dengan fokus peningkatan nilai tambah, memberikan harapan bagi
peningkatan ekspor di sektor perikanan untuk menjadi sumber penghasil devisa negara ke depan.
Secara spasial, persebaran ekspor produk perikanan menunjukkan dominasi Indonesia wilayah barat,
meskipun produksi perikanan tangkap terbesar berasal dari KTI. Hal ini terkait dengan ketimpangan dari
7
persebaran unit pengolahan ikan, yang sebagian besar berada di kawasan Jawa . Lebih memadainya fasilitas
logistik dan infrastruktur pendukung di kawasan Jawa, khususnya dengan adanya pelabuhan ekspor dan
industri pengolahan hasil perikanan menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Dalam kaitan tersebut, lokasi
sentra industri pengolahan perikanan menjadi epicenter pendorong kemajuan kewilayahan dari sisi ekonomi
kelautan, yang mana perbaikan sistem logistik dan penyediaan infrastruktur menjadi prioritas.

Estimasi FAO (2011) mengindikasikan kenaikan permintaan dari China dan India, terkait dengan peningkatan konsumsi ikan sebagai
sumber protein.
7
Di kawasan Jawa sendiri juga dapat diidentifikasi kesenjangan aglomerasi ekonomi di sektor perikanan antara pantai utara dan selatan
Jawa. Hal ini merujuk pada data indikator PDRB, jumlah dan upah pekerja (Data Olah Sakernas 2012), serta program pengembangan sektor
perikanan.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 79

6.5
5.65

6.0

5.5

4.16

USD Miliar

5.0
4.5
3.93

4.0

3.52

3.5
3.0

2.86

2.5

2.0
2010

2011

2012 2013 * 2014 *

Sumber: BPS
Grafik VI.4. Ekspor Produk Perikanan

4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0

3.85

3.52

4.16
3.69

2.86

3.44
3.03

2.47
0.39

0.49

0.41

0.47

2010

2011

2012

2013

Nilai Impor

Surplus Perdagangan

Nilai Ekspor

Sumber : BPS
Grafik VI.5. Neraca Perdagangan Hasil Perikanan

Miliar US$

Grafik VI.6. Persebaran Ekspor Produk Perikanan

Berbagai tantangan baik dalam jangka pendek maupun struktural dalam pembangunan maritim menjadi fokus
perhatian utama ke depan. Secara umum, hasil survei yang dilakukan oleh Bank Indonesia tahun 2015 kepada
para pelaku usaha di sektor perikanan mengindikasikan isu infrastruktur merupakan permasalahan terbesar
8
yang menghambat perkembangan sektor perikanan . Berikutnya adalah permasalahan perijinan dan
pembiayaan, regulasi dan ketegasan hukum (khususnya terkait illegal fishing). Sementara itu, kapasitas
produksi, SDM, dan perpajakan yang juga menjadi faktor daya saing juga dinilai pelaku usaha sebagai masalah
dengan tingkatan yang lebih rendah. Terkait dengan faktor daya saing, tantangan utama adalah pada
kemampuan utk bersaing secara global dengan meningkatkan nilai tambah dari produk ekspor sektor
perikanan. Hilirisasi sektor perikanan dengan pembangunan sentra industri pengolahan perlu menjadi fokus
perhatian ke depan. Secara spasial, tantangan atau permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan maritim
berbeda antar kawasan dengan adanya perbedaan kondisi infrastruktur, regulasi lokal, dan enablers.
Sebagian besar permasalahan infrastruktur dikaitkan dengan kondisi pelabuhan, dermaga, akses trasnportasi
(jalan), serta prasarana pendukung. Buruknya kondisi infrastruktur berdampak pada peningkatan biaya,
khususnya biaya transport yang harus ditanggung pelaku usaha perikanan tangkap. Hal ini terutama menjadi
8

Survei dilakukan ke 122 pelaku usaha yang sebagian besar perusahaan PMDN (84%) dengan profil perusahaan besar, menengah, dan
kecil masing-masing 52%, 31%, dan 17%. Adapun orientasi penjualan dari perusahaan yang disurvei adalah untuk ekspor (62%) dengan
sistem kontrak (34%). Berdasarkan lokasi, survei ke perusahaan di kawasan Jawa mewakili 48% dari total responden, disusul dengan KTI
sebesar 39%, dan kawasan Sumatera sebesar 12%.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 80

Jatim

masalah di KTI, yang mana sejumlah kapal ikan dengan ijin penangkapan di wilayah timur Indonesia harus
membawa hasil tangkapan ke pelabuhan perikanan di kawasan Jawa (khususnya Jawa Timur). Tidak
memadainya ketersediaan energi (listrik dan BBM) juga menjadi penghambat pada sektor perikanan di KTI,
termasuk dalam pengembangan sentra industri pengolahan perikanan. Hasil survei ke pelaku usaha cenderung
mengindikasikan pengoptimalan infrastruktur yang telah ada dengan perbaikan baik fisik maupun operasional
(manajemen). Selain itu, kebijakan pembangunan zona industri pengolahan perikanan berorientasi ekspor
yang selaras dengan sistem logistik nasional perlu didorong, dalam rangka efisiensi biaya logistik dan
mempercepat integrasi ke rantai suplai domestik maupun global.

Grafik VI.7. Persebaran Unit Pengolahan Ikan Tangkap

Pengukuran indeks konektivitas menunjukkan bahwa saat ini konektivitas seluruh wilayah provinsi di KTI masih
berada jauh di bawah Provinsi Jawa Timur yang dijadikan basis referensi pengukuran indeks. Hal ini
berimplikasi pada tingginya tarif transportasi laut yang juga berpengaruh pada tingkat harga tinggi di KTI serta
tidak mudahnya pelaksanaan ekspor impor secara langsung dari KTI ke negara mitra dagang. Masih relatif
rendahnya skala ekonomi dengan minimnya pengembangan sentra perikanan di KTI, juga menyebabkan biaya
logistik untuk pengiriman barang ke wilayah timur Indonesia harus memperhitungkan pula keterbatasan
volume angkut balik ke kawasan Jawa yang menjadi beban biaya.

Grafik VI.8. Isu Bidang Maritim yang Dihadapi Pelaku Usaha Survei Bank Indonesia, 2015

L a p o r a n N u s a n t a r a | 81

Para pelaku usaha di sektor perikanan mengindikasikan bahwa permasalahan perijinan terutama pada
prosedural pengurusan ijin dan dokumen ekspor juga menjadi isu yang masih dihadapi pelaku usaha. Terdapat
ekspektasi pelaku usaha pada pelayanan perijinan satu pintu yang dapat mempercepat pengurusan ijin dan
dokumen ekspor-impor. Hal ini juga ditunjang dengan perbaikan operasional manajemen kepelabuhan yang
akan mempersingkat waktu bongkar muat, sehingga efisiensi biaya logistik dapat tercapai. Terkait dengan hal
tersebut, penyediaan kelengkapan pelabuhan seperti crane dan moda transport perlu menjadi perhatian.
Adapun masalah pembiayaan terkait dengan minimnya akses dan opsi skema kredit. Hal ini dipengaruhi oleh
rendahnya skala ekonomi, minimnya kemampuan pelaku usaha sektor perikanan dalam berhubungan dengan
perbankan, serta terbatasnya opsi skema kredit yang ditawarkan. Dalam kaitan tersebut, peningkatan skala
ekonomi menjadi prioritas dengan dukungan perbaikan infrastruktur, produktivitas serta kapasitas produksi.
Peningkatan kapasitas dalam manajemen pengelolaan keuangan serta penyampaian informasi terkait akses
dan skema kredit perbankan juga perlu dilakukan. Khusus untuk mendukung pembiayaan melalui akses
perbankan, dukungan melalui program penjaminan kredit dapat dilakukan oleh pemerintah.

Grafik VI.9. Ekspektasi Pelaku Usaha pada Pembangunan Maritim Survei Bank Indonesia, 2015

Terbatasnya kapasitas produksi sektor perikanan terkait dengan minimnya jumlah kapal penangkap ikan dan
faktor enablers yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi serta produktivitas. Jumlah kapal penangkap
ikan yang masih rendah, khususnya untuk kapal dengan kapasitas dan kelengkapan memadai, menjadi
tantangan pada peningkatan kapasitas produksi sektor perikanan. Saat ini harga kapal yang diproduksi dalam
9
negeri masih lebih tinggi dari impor, sehingga perkembangan galangan kapal juga belum cukup optimal.
Insentif pajak untuk memfasilitasi pengembangan galangan kapal di daerah non FTZ yang cukup dominan di
kawasan Jawa dan Sumatera, juga belum diberikan. Terkait dengan pembiayaan, isu yang dominan adalah
10
fleksibilitas ketentuan tentang penjaminan kapal ke perbankan. Adapun faktor ketersediaan stasiun
pengisian dan ketersediaan pasokan BBM juga menjadi kendala di sebagian wilayah di KTI.
Faktor enablers yang dibutuhkan sektor perikanan, khususnya kapasitas SDM dan optimalisasi Iptek menjadi
tantangan ke depan. Peningkatan kapasitas SDM dan optimalisasi Iptek khususnya untuk mendukung
peningkatan produktivitas baik pada perikanan tangkap maupun budi daya. Pelatihan dan pendampingan
menjadi kunci dari peningkatan SDM yang berkualitas dan memiliki penguasaan Iptek di bidang perikanan.
9

Komponen domestik dari pembuatan kapal dalam negeri hanya berkisar 30% yang berpengaruh pada tingginya ketergantungan impor
dan risiko dari sisi nilai tukar (Sumber : Iperindo). Selain itu, juga terdapat masalah pada kertersediaan spare-part kapal dengan harga yang
terjangkau.
10
Kontribusi kredit perbankan dalam mendukung pengembangan perkapalan masih sangat rendah (pangsa kredit hanya 0,17% dari total
kredit yang disalurkan ke sektor industri). Disparitas suku bunga kredit industri yang disalurkan ke perusahaan galangan kapal di kawasan
Jawa juga terindikasi masih cukup lebar.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 82

Adanya kebutuhan untuk menjaga mutu dan keamanan hasil perikanan melalui sertifikasi internasional, juga
menjadi alasan diperlukannya peningkatan kapabilitas SDM. Dalam rangka mengupayakan perbaikan faktor
enablers tersebut, Bank Indonesia juga turut berpartisipasi melalui pengembangan klaster, kewirausahaan,
dan program pendampingan finansial inklusi.
Meski terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi, agenda pembangunan maritim perlu terus didukung dan
dikawal dalam pelaksanaannya. Selain di tingkat pusat yang merencanakan dan mengimplementasikan
kebijakan, sebagian dukungan juga diperlukan dari daerah. Dukungan pada pembangunan infrastruktur
strategis menjadi hal yang paling krusial agar agenda pembangunan maritim dapat berhasil dijalankan dalam 5
tahun ke depan. Perbaikan kualitas layanan publik secara luas dan yang khususnya mendukung agenda
pembangunan maritim juga perlu didorong. Terkait dengan pengaturan regulasi lokal, perlu diupayakan
kebijakan yang lebih transparan dan bersifat stimulus (insentif) bagi dunia usaha di bidang maritim, khususnya
pada sektor perikanan.
Indeks provinsi di KTI < 30

Jawa Timur *) = 100


Cost = Rp6 Juta

Kualitas layanan dan kapasitas


pelabuhan KTI < 30% pelabuhan
Jawa Timur.

Sulut = 29.43
Biaya = Rp20,9 Juta
Malut = 16.32
Biaya = Rp23,1 Juta

Sulteng = 18.04
Biaya: 18,9 Juta

Sorong = 24.14
Biaya = Rp24,1 Juta

Manokwari = 15.40
Biaya = Rp27,5 Juta

Jayapura = 16.16
Biaya = Rp24,9 Juta

Maluku = 20.35
Biaya = Rp20,5 Juta

Sulsel = 28.19**)
Biaya = Rp9,9 Juta
Sultra = 13.90
Biaya = Rp15,26 Juta
Bali = 26.35
Biaya = Rp 12 Juta

NTB = 12.10

Indikator indeks Konektivitas


NTT = 7.55
Biaya = Rp27,3 Juta

Ukuran Kapal yg dapat sandar (X1)


Jumlah Crane 30-50 ton (X2)
Jumlah Perusahaan Kontainer (X3)

Gap indeks tertinggi :


NTT, NTB, Sultra, Sulteng
Gap indeks terendah :
Sulut, Sulsel, Bali

Kapasitas Kapal (X4)


1/Waktu antri bongkar/muat (X5)

11

Grafik VI.10. Indeks Konektivitas KTI

*) Jawa Timur digunakan sebagaireferensipelabuhan yang sudah cukup terkoneksiyang mampu melakukan kegiatan ekspor& impor.
**) Perhitungan indeks dilakukan dengan mengadopsi indeks konektivitas World Bank. Metode perhitungan adalah dengan mengukur
gap antara daerah referensi dengan daerah perhitungan. Indeks = ((Xi/Xiref))/n)*100 ; Xi = nilai indikator i daerah yang dihitung,
Xiref : nilai indikator i daerah referensi

ag

11

Setiap provinsi diukur indeks konektivitasnya berdasarkan komponen indicator sebagai berikut : ukuran kapal yang bisa memasuki
pelabuhan, jumlah crane kapasitas 30-50 ton, jumlah perusahaan kontainer yang melayani pengiriman ke pelabuhan tersebut, kapasitas
kkapal serta waktu bongkar muat.

L a p o r a n N u s a n t a r a | 83

Halaman ini sengaja dikosongkan

Laporan Nusantara

Penanggung Jawab dan Editor


Doddy Zulverdi

Koordinator Penyusun
Kiki Nindya Asih

Tim Penulis
Departemen Kebijakan
Ekonomi dan Moneter

Departemen Regional I
(Sumatera)
Departemen Regional II
(Jawa)
Departemen Regional III
(Kalimantan)

Departemen Regional IV
(Sulampua Bali Nusra)

:
:

Handri Adiwilaga
M. Cahyaningtyas
Neva Andina
Darius Tirtosuharto
Puput Kurniati
Maximilian T. Tutuarima
Nurul Pratiwi Andi Parenrengi
Febby Leorisa
Septine Wulandini
Komalia Rahmayani
Rizki Fitrama
Adela Putri Rizkia
Bernad Hasiholan
Anita Pratiwi (KPwDN Provinsi Kalimantan Selatan)
Evy Marya Deswita Siburian
Andree Breitner Makahinda

Laporan Nusantara

L a p o r a n N u s a n t a r a | 134

Anda mungkin juga menyukai