Anda di halaman 1dari 15

BAB II

ASPEK HUKUM MENGENAI LEASING

A. Pengertian Leasing dan Dasar Hukum Leasing


Berdasarkan KEPMENKEU No. 1169/ 1991 tentang kegiatan usaha
leasing, yang dimaksud leasing atau sewa guna usaha adalah kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha
dan hak opsi (finance lease) atau hak guna usaha tanpa opsi ( operating lease)
untuk digunakan oleh leasing selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara berkala ( Pasal 1 huruf a KEPMENKEU Nomor 1169 /
1991).4
Berdasarkan pada Pasal 1 surat keputusan bersama Tiga Menteri; Menteri
Keuangan,

Menteri

Perdagangan,

Menteri

Perindustrian

No

KEP.122/MK/IV/2/1974, No. 32/M/SK/2/1974 dan No. 30/Kpb/1974 tanggal 7


Februari 1974, menyebutkan bahwa leasing itu adalah : Setiap kegiatan
pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk
digunakan oleh suatu perusahaan tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran
secara berkala disertai dengan Hak Plih (opsi) bagi perusahaan tersebut untuk
memberi barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka
waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama .
Equipment Leasing Association di London yang merupakan Asosiasi
perusahaan-perusahaan leasing di Inggris memberikan definisi sebagai berikut :

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 1169 tahun 1991

Universitas Sumatera Utara

Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa suatu jenis
barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak kepemilikan atas
barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lesse hanya menggunakan
barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan
dalam suatu jangka waktu tertentu. 5
Didalam perjanjian leasing pada dasarnya ada tiga pihak yaitu Lessor
(perusahaan leasing), Lesse (perusahaan/nasabah) dan supplier (penjual
barang).
Selanjutnya didefinisikan oleh Frank Tiara Supit sebagai: Company
financing in the form of providding Capital Goods wish the user making
periodical payments. User would have options to buy the Capital Goods or to
prolog the leasing period of the remainding value.
Dapat diartikan bahwa leasing adalah:
Pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal
dengan pembayaran secara berkala oleh perusahaan yang menggunakan barangbarang modal tersebut dan dapat dinilai atau memperpanjang jangka waktu
berdasarkan nilai sisa. 6
Selanjutnya menurut keputusan Menteri Keuangan RI Nomor.1169/KMK
01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha (leasing), yang dimaksud dengan
leasing adalah:

Herwastoeti, Aspek Yuridis Dalam Perjanjian Leasing dan Akibat Hukumnya Dalam
Hal Terjadinya Wanprestasi, Malang: Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Maklang.
Hal 5
6
Amin Widjaja Tunggal & Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis Leasing, Jakarta :
Penerbit PT. Rineka Cipta. Hal 7-8

Universitas Sumatera Utara

Suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik


dengan cara sewa guna usaha dengan Hak Opsi (Finance Lease) maupun sewa
guna usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease) untuk dipergunakan Lesse selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembiayaan secara berkala. 7
Menurut Financial Accounting Standard Board ( FASB 13) leasing adalah
suatu perjanjian penyediaan barang modal yang digunakan untuk jangka waktu
tertentu. 8
Dasar Hukum Leasing
Seperti yang kita ketahui pengaturan leasing dalam hal ini masih sangat
sederhana,dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan kepada kebijaksanaan yang
tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada.
Surat Keputusan Tiga Menteri Tahun 1974 mengenai leasing. Adalah
peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan
lain-lain peraturan yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal
perjanjian-perjanjian dan kegiatan leasing di Indonesia, terutama bersifat
administratif dan obligatory atau bersifat memaksa. Sumber hukum yang lebih
luas dan mendalam yang melandasi dan mendasari kegiatan leasing dewasa ini di
Indonesia antara lain :

Munir Fuadi Hukum Tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek, (Bandung:penerbit
PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal 9
8
Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru, A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya (Jakarta: Penerbit Salemba empat,1999) hal 129

Universitas Sumatera Utara

1. Umum (General)
a. Asas concordantie hukum berdasarkan pasal II aturan peralihan UndangUndang Dasar 1945 pasca amandemen atas hukum perdata

yang berlaku

bagi penduduk eropa


b. Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak serta asasasas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam bab I Buku
III KUHPerdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak
untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal ini tidak
betentangan dengan Undang-Undang,kepentingan atau kebijaksanaan
umum.
c. Pasal 1548 sampai 1580 KUHPerdata(Buku III sampai dengan Buku IV),
yang berisikan ketentuan mengenai sewa-menyewa sepanjang tidak ada
dilakukan penyimpangan oleh para pihak. Pasal ini membahas hak dan
kewajiban lessee.
2.

Khusus
a. Surat

Keputusan

Perindustrian

Bersama(SKB)
dan

Menteri

Menteri

Keuangan,

Perdagangan

RI

Menteri
No.

KEP.122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan No.30/KPB/1974


tertanggal 7 Pebruari 1974 tentang perizinan usaha leasing.
b. Surat

Keputusan

(SK)

Menteri

Keuangan

RI

No.KEP/649/MK/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang perizinan


usaha leasing

Universitas Sumatera Utara

c. Surat

Keputusan

(SK)

Menteri

Keuangan

RI

No.KEP/649/MK/IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan


ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materi terhadap usaha
leasing.
d. Surat Edaran Direktorat Jendral Moneter No. PENG-307/DJM/IIL
7/7/1974 tertanggal 8 Juli 1974, tentang:
1. Tata cara perizinan
2. Pembatasan usaha
3. Pembukaan
4. Tingkat suku bunga
5. Perpajakan
6. Pengawasan dan Pembinaan
e. Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.34/KP/II/B1980 tertanggal
1 Februari 1980, mengenai lisensi/perizinan untuk kegiatan usaha
sewa-beli (hire purchase), jual-beli dengan angsuran atau cicilan dan
sewa-menyewa
f. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal
31 Agustus 1983 tentang ketentuan perpanjangan izin usaha
perusahaan leasing dan perpanjangan penggunaan tenaga warga negara
asing pada perusahaan leasing.
g. Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 1
September 1983 tentang tata cara dan prosedur pendirian kantor
cabang dan kantor perwakilan perusahaan leasing

Universitas Sumatera Utara

h. Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.S.742/MK.011/1984


tanggal 12 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial
leasing.
i. Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No.SE.28/PJ.22/1984 tanggal 26
Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing.
j. Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang
kegiatan sewa guna usaha
Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang harus
mengatur hak kewajiban dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang
bersangkutan, selain dari peraturan-peraturan dan pedoman -pedoman tersebut
diatas, kita harus berpegang pada asas-asas dan ketentuan-ketentuan hukum yang
terdapat dalam Undang-Undang negara kita, dalam hal ini Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata , yurisprudensi- yurisprudensi yang ada dan atau yang dituruti di
Indonesia serta praktek-praktek bisnis yang telah berkembang dan lazim menjadi
kebiasaan di negeri ini.

B. Ketentuan Mengenai Penyelesaian Hutang / Tunggakan dalam Perjanjian


Fidusia
Dalam pengertian eksekusi menurut pendapat M. Yahya Harahap dalam
bukunya Ruang Lingkup permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, memberikan
pengertian sebagai berikut : Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan
oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, merupakan aturan

Universitas Sumatera Utara

dan tata lanjutan dalam proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu eksekusi
tiada berkesinambungan dari seluruh proses hukum acara perdata.
Secara umum eksekusi merupakan pelaksanaan atau keputusan pengadilan
atau akta, maka pengambilan pelunasan kewajiban kreditur melalui hasil
penjualan benda-benda tertentu milik debitur.
Sedangkan yang dimaksud perjanjian fidusia adalah perjanjian utang
piutang kreditur kepada debitur yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut
kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.
Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditur maka dibuat akta
yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti
kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, memiliki kekuatan
hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian
fidusia kepada kreditur (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia. 9
Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai
pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau
di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan
pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya
harus diotentikkan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah,
misalnya di Pengadilan. Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan
bukti hukum suatu akta di bawah tangan. Menurut pendapat penulis, adalah syah

Undang-undang No. 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Universitas Sumatera Utara

asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya,
di desa-desa atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum
dikuatkan lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang
piutang. Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada
pejabat yang berwenang.
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia
menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditur bisa
melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan
kesewenang-wenangan dari kreditur. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas
barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur
sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga
dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitur
dan sebagian milik kreditur. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan
penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat
dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dapat digugat ganti
kerugian. 10
Lembaga

pembiayaan

yang

tidak

mendaftarkan

jaminan

fidusia

sebenarnya dapat merugikan lembaga itu sendiri, karena tidak punya hak
eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan
customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada.
Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat

10

Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Universitas Sumatera Utara

perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat di hadapan


notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi
fidusia di lapangan dalam waktu yang relatif cepat.
Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek
barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama
remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa
tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena
masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditur sebagai pemilik dana.
Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini
termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga
pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di
bawah tangan.
Dalam proses eksekusi kita mengetahui bahwa asas perjanjian pacta sun
servanda yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang
bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya (diatur dalam Pasal 1338
KUHPerdata), tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian.
Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah
tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan
cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum
acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang
memenuhi prosedur hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan
terhadap hukum materil yang dikandungnya.

Universitas Sumatera Utara

Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak
menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan
pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin
besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang
umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan
transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum
adalah penting.

C. Pengertian Debt collector dan Ketentuan Hukumnya Sesuai Hukum di


Indonesia
Korporasi paling dominan yang menggunakan jasa debt collector adalah
perusahaan leasing. Saat ini sangat mudah untuk membeli benda bergerak,
misalnya, mobil dan sepeda motor baik dengan cara kredit maupun secara cash/
tunai. Tetapi pada saat ini semua leasing pasti akan menggiring konsumennya
untuk membeli kendaraan secara kredit. Di samping keuntungan akan bertambah,
tentu dengan strategi ini leasing tidak akan menemui banyak masalah.
Hukum fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda yang
dapat difidusiakan tersebut berdasarkan kepercayaan yang penguasaannya tetap
dilakukan oleh si pemilik benda tersebut. Biasanya hal itu terjadi karena pemilik
benda tersebut (debitur) membutuhkan sejumlah uang dan sebagai jaminan atas
pelunasan utangnya tersebut si debitur menyerahkan secara kepercayaan hak
kepemilikannya atas suatu benda bergerak atau benda yang tidak termasuk dalam

Universitas Sumatera Utara

lingkup Undang-undang No 4 tahun 1996 kepada krediturnya, dan hak tersebut


juga dapat dialihkan kepada pihak lain.
Pemberian jaminan fidusia ini merupakan perjanjian yang bersifat accesoir
dari suatu peminjaman pokok sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 6huruf B UU No 42 tahun 1999 dan harus dibuat dengan suatu akta notaris yang
disebut sebagai akta Jaminan Fidusia.
Secara umum definisi Debt collector adalah pihak ketiga yang
menghubungkan antara kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit,
Penagihan tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit
dimaksud telah termasuk dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet
berdasarkan kolektibilitas yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia.
Hal ini tercantum dalam Surat Edaran Bank Indonesia no.7/60/DASP Tahun 2005
Bab IV angka 1 dan 2 yang isinya berbunyi sebagai berikut :
1. Apabila dalam menyelenggarakan kegiatan penyaluran kredit Penerbit
dan/atau Financial Acquirer melakukan kerjasama dengan pihak lain di luar
Penerbit dan/atau Financial Acquirer tersebut, seperti kerjasama dalam
kegiatan marketing, penagihan, dan/atau pengoperasian sistem, Penerbit
dan/atau Financial Acquirer tersebut wajib memastikan bahwa tata cara,
mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain
tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas apabila
kegiatan tersebut dilakukan oleh Penerbit dan/atau Financial Acquirer itu
sendiri. Debt collector adalah pihak ketiga yang menghubungkan antara
kreditur dan debitur dalam hal penagihan kredit, Penagihan tersebut hanya

Universitas Sumatera Utara

dapat dilakukan apabila kualitas tagihan kartu kredit dimaksud telah termasuk
dalam kategori kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kolektibilitas
yang digunakan oleh industri kartu kredit di Indonesia.
2. Dalam hal Penerbit menggunakan jasa pihak lain dalam melakukan penagihan
transaksi Kartu Kredit, maka
a. Penagihan oleh pihak lain tersebut hanya dapat dilakukan apabila kualitas
tagihan

Kartu

Kredit

dimaksud

telah

termasuk

dalam

kategori

kolektibilitas diragukan atau macet berdasarkan kriteria kolektibilitas yang


digunakan oleh industri Kartu Kredit di Indonesia, dan
b. Penerbit wajib menjamin bahwa penagihan oleh pihak lain tersebut, selain
wajib dilakukan dengan memperhatikan ketentuan pada angka 1, juga
wajib dilakukan dengan cara-cara yang tidak melanggar hukum.
Jika penunggak ini tetap tidak mampu melunasi tagihan kartunya, debt
collector yang diperintah oleh bank penerbit kartu kredit akan mengambil
sejumlah barang baik bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan. Jika
penunggak telah melunasinya, maka jaminan itu akan dikembalikan. Jika tidak,
tentu saja barang itu lenyap nilai barang yang diambil setara dengan jumlah
tunggakan.
1. Mengarah ke Pidana
Perilaku debt collector saat ini masih menjadi masalah serius yang belum
ada penanganannya. Di satu sisi konsumen merasa terganggu dengan ulah penagih
utang tersebut. Di sisi lain debt collector sebagai utusan bank dan lembaga-

Universitas Sumatera Utara

lembaga pembiayaan bertanggung jawab atas tunggakan-tunggakan hutang yang


bisa merugikan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan lain.
Masalahnya, belum ada batasan dan aturan yang jelas tentang tata cara
penagihan oleh seorang debt collector . Saat ini yang ada hanya sebatas pada
aturan bank dan lembaga-lembaga pembiayaan masing-masing.
Yang terjadi di lapangan, debt collector melakukan hal-hal di luar
kesepakatan antara bank dan agen. Perlakuan debt collector sudah pada tahap
yang memperihatinkan. Beberapa tindakan debt collector bahkan sudah mengarah
pada tindakan pidana. Misalnya, membuat onar, meneror baik secara langsung
maupun telepon, bahkan sampai mengancam akan membunuh si nasabah. Secara
hukum, cara penagihan oleh debt collector yang disertai dengan ancaman, cacian,
serta teror tidak dapat dibenarkan. Hal tersebut bertentangan dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal
4E, yang menyebutkan bahwa: "konsumen berhak mendapatkan advokasi,
perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut".
Ancaman, cacian, serta teror bukan merupakan upaya penyelesaian
sengketa yang patut. Yang lebih ironis, ketika konsumen meminta penyelesaian
langsung lewat manajemen bank dan lembaga-lembaga pembiayaan yang
bersangkutan, justru ditolak dengan alasan persoalan tersebut telah dilimpahkan
kepada pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah debt collector. 11

11

Undang-Undang Nomor 8 Tahun1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Universitas Sumatera Utara

2. Penyelesaian secara patut


Filosofi yang menyatakan bahwa "utang akan dibawa mati" tetap berlaku
dalam penyelesaian kredit macet, yang berarti tanggung jawab debitur untuk
menyelesaikan pembayaran tunggakan harus tetap dipenuhi.
Penyelesaian kredit macet seharusnya lebih terfokus pada pihak bank dan
lembaga pembiayaan seperti leasing beserta konsumen yang bersangkutan secara
langsung karena pada waktu aplikasi kedua pihak tersebut yang bertindak sebagai
subyek hukum.
Terkait
7/7/PBI/2005

dengan
12

hal

tersebut,

Peraturan

Bank

Indonesia

Nomor

tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah menyatakan bahwa

bank berkewajiban menetapkan kebijakan dan memiliki prosedur tertulis


mengenai penerimaan pengaduan, penanganan dan penyelesaian pengaduan, serta
pemantauan penyelesaian pengaduan. Bank juga berkewajiban melaporkan
penanganan dan penyelesaian pengaduan secara triwulan kepada Bank Indonesia.
Bentuk penyelesaian yang dapat ditawarkan misalnya penjadwalan ulang
pembayaran sesuai dengan batas kemampuan bank dan konsumen. Selama proses
pembayaran, hendaknya praktek bunga berbunga dihentikan. Sebab, kalau bunga
dipaksakan tetap berlaku, beban konsumen justru semakin berat dan kemampuan
membayar pun semakin rendah, sehingga pokok permasalahan tidak akan
terjawab.
Apabila penyelesaian secara mufakat di antara kedua belah pihak tidak
tercapai, perlu dipikirkan gagasan tentang perlu adanya lembaga atau biro

12

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005

Universitas Sumatera Utara

penyelesaian sengketa perbankan. Lembaga ini dimaksudkan sebagai alternatif


penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan yang punya keputusan
mengikat, mengingat penyelesaian lewat pengadilan sering terasa tidak efektif.
Selain itu, dari sisi konsumen, terkadang konsumen merasa tidak berdaya ketika
harus menghadapi ancaman dari debt collector dan tak jarang pula berakibat pula
kepada kematian seperti kasus kematian Irjen Okta di Jakarta baru-baru ini.
Bank Indonesia selaku regulator tentunya punya kendali yang cukup untuk
merealisasi gagasan tentang pembentukan biro penyelesaian sengketa perbankan
tersebut. Dari sisi upaya preventif, amanat Pasal 16 Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/30/PBI/2005, yang mengatur soal kewajiban penerapan manajemen
risiko kredit yang mencakup beberapa hal yang wajib diterapkan sebelum
persetujuan aplikasi kartu kredit, seharusnya dilakukan secara konsisten oleh bank
penyelenggara. Harapan yang muncul adalah agar persetujuan permohonan
aplikasi tidak mudah terjual. 13
Peraturan dari Bank Indonesia ini diharapkan juga dapat diberlakukan
secara konsisten kepada lembaga-lembaga pembiayaan lain, dalam hal ini juga
termasuk tidak mudah mengeluarkan perjanjian leasing tanpa melakukan
peninjauan (survey) yang mendalam terhadap calon debitur.

13

Ibid

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai