Anda di halaman 1dari 38

TUGAS MANAJEMEN PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN


DI INDONESIA

KELOMPOK 1 :
1. YUNITA VALENTINA, K
(No. BP : 15158013)
2. POPPY VEONE HELSYA
(No. BP : 15158008)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG 2015

KETENTUAN UMUM DAN


TATA CARA PERPAJAKAN DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN
Perubahan Peraturan perundang-undangan perpajakan khususnya Undang-Undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dimaksudkan untuk lebih
memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan
kepastian dan penegakan hukum serta mengantisipasi kemajuan dibidang
perpajakan. Undang-Undang KUP ini terus disempurnakan dalam rangka seiring
dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial dan politik. Dengan
berpegang teguh pada prinsio kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah
dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut :
1. Meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka

mendukung

penerimaan negara.
2. Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum, dan keadilan bagi masyarakat guna
meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap
mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah.
3. Menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta
4.
5.
6.
7.

perkembangan dibidang teknologi informasi.


Meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan.
Meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabeldan konsisten.
Mendukung iklim usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.

Dalam topik ini membahas tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang
berlaku di Indonesia. Hal ini meliputi tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban
perpajakan, ketetapan pajak, kewajiban pembukuan/pencatatan dan pemeriksaan
pajak, sengketa pajak dan penagihan pajak dengan surat paksa.

II. PEMBAHASAN
1. Hak dan kewajiban wajib pajak
A. Kewajiban Wajib Pajak

Kewajiban wajib pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah :


a. Kewajiban untuk mendftarkan diri
Pasal 2 Undang-undang KUP menegaskan bahwa setiap wajib pajak
mendaftarkan diri pada Dirjen Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberikan NPWP
khusus terhadap Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
b. Kewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
Pasal 3 ayat (1) undang-undang KUP menegasakan bahwa setiap wajib pajak
wajib

mengisi

Surat

Pemberitahuan

dalam

bahasa

Indonesia

serta

menyampaikan ke kantor pajak setempat.


c. Kewajiban membayar atau menyetor pajak
Kewajiban membayar atau menyetor pajak dilakukan di kas melalui kantor pos
atau bank BUMN /BUMD atau tempat pembayaran lainnya yang ditetapkan
Menteri Keuangan .
d. Kewajiban membuat pembukuan dan/atau pencatatan
Bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas dan wajib pajak badan di Indonesia diwajibkan membuat pembukuan
(pasal 28 ayat 1). Sedangkan pencatatan dilakukan oleh wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usahanya atau pekerjaan bebas yang
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma
penghitungan penghasilan neto dan wajib pajak orang pribadi yang tidak
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
e. Kewajiban menaati pemeriksaan pajak
Terhadap wajib pajak yang diperiksa harus mentaati dalam rangka pemeriksaan
pajak, misalnya wajib pajak memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau
catatan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang
diperoleh, memberi kesempatan untuk memasuki tempat ruangan yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan serta
memberikan keterangan yang diperlukan oleh pemeriksa pajak.
f. Kewajiban melakukan pemotongan atau pemungutan pajak
Wajib pajak yang bertindak sebagai pemberi kerja atau penyelengga kegiatan
wajib memungut pajak atas pembayaran yang dilakukan dan menyetorkan ke
kas negara. Hal ini sesuai dengan prinsip withholding system
g. Kewajiban membuat faktur pajak

Setiap Pengusaha Kena pajak wajib membuat faktur pajak untuk setiap
penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Faktur pajak yang dibuat
merupakan bukti adanya pemungutan pajak yang dilakukan oleh PKP.
B. Hak wajib pajak
Hak-hak wajib pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah :
a. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus
Hak ini merupakan konsekuensi logis dari self assessment system yang
mewajibkan wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan
membayar pajaknya sendiri. Untuk dapat melaksanakan sistem tersebut, hak
diatas merupakan prioritas dari seluruh hak wajib pajak yang ada.
b. Hak untuk membetulkan surat pemberitahuan (SPT)
Wajib pajak dapat melakukan pembetulan SPT apabila terdapat kesalahan
atau kekeliruan dengan syarat belum melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun
sesudah berakhirnya masa pajak bagian tahun pajak atau tahun pajak, dan
fiskus belum melakukan tindakan pemeriksaan.
c. Hak untuk memperpanjang waktu penyampaian SPT
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT
ke Dirjen Pajak dengan menyampaikan alasan-alasan secara tertulis sebelum
tanggal jatuh tempo.
d. Hak untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran
pembayaran pajak kepada Dirjen Pajak secara tertulis disertai alasanalasannya. Penundaan ini tidak menghilangkan sanksi bunga.
e. Hak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak
Wajib pajak yang mempunyai kelebihan pembayaran pajak dapat
mengajukan permohonan pengembalian atau restitusi. Setelah melalui
proses pemeriksaan akan diterbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar
(SKPLB)
f. Hak mengajukan keberatan dan banding
Wajib pajak yang merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang telah
diterbitkan, dapat mengajukan keberatan kepada kepala kantor pelayanan
pajak (KPP) dimana WP terdaftar. Jika wajib pajak tidak puas dengan
keputusan keberatan wajib pajak dapat mengajukan banding ke pengadilan
pajak.

2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
(PPKP)
A. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Pasal 2 ayat (1) UU KUP adalah sebagai berikut :
Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberi Nomor Pokok
Wajib Pajak.
Wajib pajak terdaftar adalah wajib pajak yang telah terdaftar dalam tata usaha
kantor pelayanan pajak dan telah diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Fungsi NPWP, adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.

Sarana dalam administrasi perpajakan


Identitas Wajib Pajak
Menjaga ketertiban pembayaran pajak
Dicantum dalam setiap dokumen perpajakan

Setiap wajib pajak hanya diberikan satu NPWP


Fungsi Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, adalah sebagai berikut:
1. Dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang
sebesarnya
2. Untuk melaksanaka hak dan kewajiban di bidang pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi
perpajakan.
Manfaat Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Manfaat Nomor Pokok wajib Pajak adalah sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh pinjaman modal dari bank
2. Untuk memudahkan berhubungan dengan

instansi

yang

mewajibkan

mencantumkan NPWP, seperti kantor imigrasi, Kantor Bea dan Cukai, kantor
KPKN, kantor PLN, kantor TELKOM, dan sebagainya.
Manfaat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah sebagai berikut :
1. Untuk dapat menjadi rekanan pemerintah dalam mendaftarkan /memperoleh
tender proyek pemerintah.
2. Untuk memperoleh pembayaran dari KPKN dan sebagainya.

Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP


Semua wajib pajak berdasarkan sistem self assessment wajib mendaftarkan dari pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai wajib pajak sekaligus untuk
mendapatkan NPWP. Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap
wanita kawin yang dikenal pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan
keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan
penghasilan dan harta.
Wajib Pajak yang wajib mendaftarkan dan Mendaftarkan NPWP
Wajib Pajak yang wajib mendaftarkan dan mendapatkan NPWP adalah sebagai berikut :
1. Badan
2. Orang Pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP.
3. Pengurus, Komisaris, dan Pemegang Saham Perusahaan.
Pola NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak / Pengukuhan Pengusaha Kena Pajaka terdiri atas 15 yaitu 9
digit pertama adalah Kode wajib pajak dan 6 digit berikutnya adalah Kode Administrasi
perpajakan.
60 . 810 . 616 . 1 104 . 450
Kode
WP

Nomor
Kode
Kode
Pokok Pengecekan KPP Pusat

Kantor Cabang/

B. Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak


Dalam Pasal 2 ayat 92) UU KUP disebutkan seperti berikut ini :
Setiap Wajib Pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada
kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau
tempat kedudukan pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan
menjadi pengusaha kena pajak.
Pengusaha Kena Pajak Terdaftar adalah pengusaha yang telah dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak yang telah tercatat dalam tata usaha Kantor Pelayanan
Pajak dan telah diberikan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

PKP Wajib Melaporkan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai PKP


Setiap pengusaha yang dikenakan PPN berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai PKP dan kepadanya diberikan Pengukuhan PKP.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporakan usahanya pada kantor
Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerja meliputi tempat tinggal pengusaha
(apabila pada tempat tersebut ada kegiatan usaha) dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
Sedangkan bagi Pengusaha Badan, kewajiban melaporkan usahanya tersebut adalah
pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
kedudukan pengusaha dengan tempat kegiatan usaha dilakukan.
NPWP atau Pengukuhan secara Jabatan
Terhadap wajib pajak atau Pengusahan Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban
untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok
Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Penegusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat
dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat
Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau pengusaha tersebut telah
memenuhi syarat memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak.
Sanksi
Terhadap wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok
Wajib Pajak dan Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak
tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dikarenakan sanksi sesuai peraturan-undangan perpajakan.
PEMBAYARAN, PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DAN PELAPORAN
1. Pembayaran
Pembayaran pajak dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut :
a. Membayar sendiri pajak yang terutang
Pembayaran angsuran setiap bulan (PPh Pasal 25) yaitu pembayaran pajak
penghasilan secara angsuran. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban
Wajib Pajak dalam melunasi pajak yang terutang dalam 1 (satu) tahun pajak.

Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada

akhir tahun dengan membayar sendiri angsuran pajak setiap bulan.


Pembayaran PPh Pasal 29 setelah akhir tahun, yaitu pelunasan pajak
penghasilan yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak pada akhir tahun pajak
apabila pajak terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar dari total pajak
yang dibayar sendiri dan pajak yang dipotong atau dipungut pihak lain

sebagai kredit pajak.


b. Melalui pemotongan dan pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 4 ayat (2), PPh
Pasal 15, PPh Pasal 21, 22 dan 23 serta PPh Pasal 26). Pihak lain yang dimaksud
adalah pemberi penghasilan, pemberi kerja dan pihak lain yang ditunjuk atau
ditetapkan oleh pemerintah.
c. Melalui pembayaran pajak diluar negeri (PPh Pasal 24)
d. Pemungutan PPN oleh pihak penjual atau pihak yang ditunjuk pemerintah
(misalnya bendaharawan pemerintah)
e. Pembayaran pajak-pajak lainnya.
Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu pelunasan berdasarkan

Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).


Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yaitu

pelunasan pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan.


Pembayaran Bea Materai yaitu pelunasan pajak atas dokumen yang dapat
dilakukan dengan cara menggunakan benda materai berupa meterai tempel
atau kerta bermaterai atau dengan cara lain seperti menggunakan mesin

teraan.
2. Pemotongan/Pemungutan
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang
dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak
ketiga. Berikut adalah pajak yang pembayarannya melalui pemotongan/pemungutan :
a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga atas
penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga
sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang dan
kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu.
c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga
sehubungan dengan penghasilan tertentu seperti deviden, bunga, royalti, sewa

dan jasa yang diterima oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap (BUT).
d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga
sehubungan dengan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri.
e. PPh Pasal 4 ayat (2) merupakan pajak yang sifat pemungutannya final. Pajak ini
dapat dipotong, dipungut oleh pihak ketiga atau dibayar sendiri yang tidak dapat
dikreditkan pada akhir tahun.
f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus antara lain
perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional.
g. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas nilai tambahan
suatu barang dan jasa.
h. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak khusus untuk
barang-barang mewah.
3. Pelaporan
Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan
hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban perjakan. SPT harus diisi dengan benar,
lengkap dan jelas dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa latin dan
angka arab serta mata uang rupiah dan menandatangani serta menyapaikannya ke
Kantor Palayanan Pajak (KPP) atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Fungsi SPT sebagai saran pelaporan tentang :
Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak

bagian tahun pajak.


Penghasilan yang merupakan Objek Pajak dan/atau bukan objek pajak
Harta dan kewajiban
Pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK


Prinsip dalam sistem self assessment adalah bahwa wajib pajak diwajibkan
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri dan melaporkan pajak yang
terutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga
penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan pada wajib pajak sendiri melalui
Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikannya.

Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak hanya terbatas kepada Wajib Pajak
tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam proses pengisian SPT atau karena
ditemukannya data fisik yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak.
Fungsi Ketetapan Pajak
Ketetapan Pajak berfungsi sebagai :
1.
2.
3.
4.
5.

Koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT WP


Sarana untuk mengenakan sanksi
Sarana untuk menagih pajak
Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar
Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang

Macam-macam ketetapan pajak


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Surat Tagihan Pajak (STP)


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)

Surat Tagihan Pajak (STP)


Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan
hukum yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak.
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila :
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak kurang atau kurang dibayar
b. Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah
tulis dan/atau salah hitung
c. Wajb Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga
d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu
e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha Kena Pajak yang tidak
mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
5 undang-undang pajak pertambahan nilai 1984 dan perubahannya selain :
f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa
penerbitan faktur pajak
g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 6a
undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

10

Sanksi Adminsitrasi
1. Terhadap wajib pajak yang pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau
kurang dibayar dan wajib pajak yang berdasarkan hasil penelitian terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % per bulan untuk paling
lama 24 bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Tagihan Pajak
2. Terhadap Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat
waktu, tidak mengisi faktur pajak secara lengkap, dan pengusaha kena pajak
melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak
dikenai sanksi administrasi berupa denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak.
3. Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian Pajak Masukan dikenai sanksi adminitrasi berupa bunga sebesar 2
% per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali,dihitung dari tanggal
penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai
dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung 1
bulan.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar.
b. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam surat teguran

11

c. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan


Pajak Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan
selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0 %.
d. Apabila kewajiban pembukuan dan pemeriksaan (pasal 28 dan Pasal 29 UU
KUP) tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang
terutang
e. Apabila kepada WP diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai PKP secara
jabatan
Sanksi Administrasi
Sanksi Administrasi berupa denda bunga 2 % per bulan maksimal 12 bulan, kenaikan 50
% untuk PPh yang tidak/kurang dibayar dan 100% untuk PPh yang dipotong oleh orang
atau badan lain serta PPn dan PPnBM. SKPKB dapat diterbitkan setelah lebih dari 5
tahun ditambah sanksi bunga 48% jika WP terbukti melakukan tindakan pidana di
bidang perpajakan.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah Surat Ketetapan Pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan. Direktur Jenderal Pajak
dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu
5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak
atau tahun pajak apabila ditemukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan
Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
SKPKBT diterbitkan karena :
a. SKPKB yang telah ditetapkan lebih rendah dari yang sebenarnya
b. Proses pengembalian SKPLB yang seharusnya tidak dilakukan
c. Pajak terutang dalam SKPN yang ditetapkan lebih rendah
SKPKBT merupakan koreksi terhadap SKPKB dapat diterbitkan jika sudah pernah
diterbitkan SKPKB, SKPLB dan SKPN. Diterbitkan jika ada data baru dan dapat
diterbitkan lebih dari satu kali.
Sanksi Administrasi
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari

12

jumlah kekurangan pajak tersebut. Kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan
pajak tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu
diterbitkan berdasarkan Keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri,
dengan syarat Direktu Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksanaan
dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Apabila
jangka waktu 5 tahun telah lewat, Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan tetap dapat
diterbitkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar dalam hal wajib pajak setelah jangka waktu 5 tahun tersebut
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindakan lainnya
yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila
jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang. Berdasarkan permohonan Wajib pajak Direktur Jenderal Pajak setelah
meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih bisa diterbitkan lagi apabila
berdasarkan hasil pemeriksaaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih bayar
jumlahnya lebih besar dari pada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
1. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dari wajib pajak, harus menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak paling lama 12 bulan sejak surat permohonan diterima

13

secara lengkap. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap wajib pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan tindak pidana di bidang perpajakan.
2. Apabila setelah melampaui jangka waktu 12 bulan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan dan paling lama 1 bulan setelah jangka waktu
tersebut berakhir.
Imbalan Bunga
1. Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan, kepada wajb
pajak diberi imbalan bunga sebesar 2 % per bulan dihitung sejak berakhirnya
jangka waktu 1 bulan setelah berakhirnya jangka waktu 12 bulan sampai dengan
saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
2. Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan tidak
dilanjutkan dengan penyelidikan ; dilanjutkan dengan penyelidikan tetapi tidak
dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan atau
dilanjutkan dengan penyelidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang
perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
dan dalam hal kepada wajib pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar, kepada wajib pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2 % per bulan untuk
paling lama 24 bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 bulan sampai
dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 bulan.
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
1. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari wajib pajak dengan kriteria
tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak paling lama 3 bulam sejak permohonan diterima secara lengkap untuk
pajak penghasilan, dan paling lama 1 bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
2. Kriteria tertentu yang dimaksud meliputi :
a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan

14

b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali


tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak
c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan
keuangan pemerintah dengan mendapat wajar tanpa pengecualian selama 3
tahun berturut-turut
d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam jangka waktu 5 terakhir
e. Wajib pajak dengan kreteria tertentu ditetapkan dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak
3. Wajib pajak yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak adalah :
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan
jumlah tertentu.
c. Wajib pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar
sampai dengan jumlah tertentu
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan masa
Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar
sampai dengan jumlah tertentu
e. Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan atau berdasarkan peraturan
Menteri keuangan
4. Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak
dengan kreteria tertentu dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah
melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
5. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah
dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah
kekurangan pembayaran pajak.
6. Wajib Pajak dengan kriteria tertentu tidak dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila :
a. Terhadap wajib pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindakan
pidana di bidang perpajakan.

15

b. Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak


tertentu 2 masa pajak berturut-turut
c. Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak
tertentu 3 masa pajak dalam 1 kelender
d. Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak. Ketentuan mengenai SKPN dalam Pasal 17A UU KUP, SKPN
dapat diterbitkan untuk :
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang
atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak
yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat
pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak
yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan
pajak yang dipugut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut.
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama
dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada
pembayaran pajak.
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT)
Yaitu surat keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan mengenai
pajak terutang yang harus dibayar dalam satu tahun pajak. SPPT diterbitkan berdasarkan
SPOP. Pelunasannya paling lambat 6 bulan sejak diterimannya SPPT oleh WP. Jika
terlambat dikenakan sanksi 2% per bulan, maksimal 24 bulan.
Pelunasan Pajak
1. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambahan merupakan
dasar penagihan pajak.

16

2. Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan,Putusan

Banding

atau

Putusan

Peninjauan

kembali

yang

menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh
tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar atas jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % per
bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai
dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak dan
bagian dari bulan dihitung 1 bulan.
3. Dalam hal wajib pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran
pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % per bulan dari
jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 bulan.
4. Dalam hal wajib pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan dan ternyata perhitungan sementara pajak yang terutang
kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran
pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung dari saat
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan sampai dengan
tanggal dibayarnya kekuarangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 bulan.
5. Atas jumlah Pajak yang masih harus dibayar yang berdasarkan Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding serta Putusan Peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah
pajak yang masih harus dibayar bertambah yang tidak dibayar oleh Penanggung
Pajak dalam jangka waktu 1 bulan sejak diterbitkan atau bagi pajak usaha kecil
dan wajib pajak di daerah tertentu yang mendapat perpanjangan paling lama
menjadi 2 bulan akan dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
6. Dikecualikan dari ketentuan di atas No. 5 adalah penagihan seketika dan
sekaligus yang dilakukan apabila :
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu.

17

b. Penanggung Pajak memindah tangankan barang yang dimiliki atau yang


dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan
atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia.
c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan
usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahkan
perusahaan yang dilimiki atau yang dikuasainya atau melakukan perubahan
bentuk lainnya.
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh negara
e. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau
terdapat tanda-tanda kepailitan
7. Penagihan pajak dengan Surat Pajak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan
Hak Mendahulu
1. Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik
penanggung pajak
2. Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi
berupa bunga, denda, kenaikkan dan biaya penagihan pajak
3. Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya
kecuali terhadap :
4. Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator,
likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan,
dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi
kepada pemegang saham atau ktreditur lainnya sebelum menggunakan harta
tersebut untuk membayar utang wajib pajak tersebut.
5. Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 tahun sejak tanggal
diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.
6. Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut :
a. Dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secar resmi maka
jangka waktu 5 tahun sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dihitung sejak
pemberitahuan Surat Paksa

18

b. Dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran


pembayaran maka jangka waktu 5 tahun tersebut dihitung sejak batas akhir
penundaan diberikan.
Daluwarsa
1. Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan dan
biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 tahuan terhitung
sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding serta Putusan
Peninjauan Kembali.
2. Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tertangguh
apabila :
a. Diterbitkan Surat Paksa
b. Ada Pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung maupun tidak
langsung
c. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan
d. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

PENAGIHAN PAJAK
Penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penagihan pasif dan
penagihan aktif. Penagihan pasif dilakukan melalui Surat Tagihan Pajak atau Surat
Ketetapan Pajak. Penagihan Pajak aktif atau penagihan dengan Surat Paksa diatur dalam
Undang-undang No.19 Tahun 2000. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar
penanggung pajak melalui utang pajak dan biaya penagihan penagihan pajak dengan
menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,
melaksanakan penyanderaan, menjual barang-barang yang telah disita.
Penagihan Pajak Pasif
Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

19

Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan pajak terutang


menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari belum dilunasi, maka tujuh hari
sebelum jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai
dengan menerbitkan Surat Teguran.
Penagihan Pajak Aktif
Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana dalam
upaya penagihan ini fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya mengiirim surat
tagihan atau surat ketetapan pajak tetapi akan diikuti dengan tindakan sita, dan
dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.
Surat Teguran
Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar penagihan pajak adalah adanya Surat
Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan, serta Surat
Keputusan Keberatan dan Putusan banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang
harus dibayar ditambah. Setelah dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal
diterbitkannya surat ketetapan sebagaimana dimaksud tersebut Wajib Pajak tetap tidak
melunasinya, barulah dilakukan suatu tindakan penagihan aktif dengan nama Surat
Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain sejenis yang dimaksudkan untuk menegur
atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
Penerbitan Surat Teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis
merupakan tindakan awal dari pelaksanaan penagihan pajak dan pelaksanaanya harus
dilakukan sebelum dilanjutkan dengan penerbitan Surat Paksa. Apabila terhadap Wajib
Pajak tidak pernah diberikan surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang
sejenis namun langsung diterbitkan dan diberikan Surat Paksa, maka secara yuridis
Surat Paksa tersebut dianggap tidak ada karena tidak didahului dengan pengeluaran
Surat Teguran atau Surat Peringatan atau Surat lain yang sejenis.
Surat Paksa
Surat Paksa adalah surat perintah untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan
pajak. Ada tiga hal yang menyebabkan diterbitkannya Surat Paksa yaitu:

20

1. Apabila Penanggung Pajak (PP) tidak melunasi utang pajak sampai dengan
Tanggal jatuh tempo dan telah diterbitkan Surat Teguran atau surat peringatan
atau surat lain yang sejenis;
2. Bahwa terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penagihan seketika dan
sekaligus;
3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan
angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Dalam UU Penagihan telah ditegaskan bahwa Surat Paksa yang diterbitkan oleh
pejabat (pejabat adalah kepala Kantor Pelayanan Pajak/kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan
hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Hal ini dapat dilihat dari Surat Paksa dengan adanya kata-kata "Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Kata-kata ini juga terdapat pada putusan
pengadilan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan.
Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan
hukum yang tetap, maka pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak oleh
jurusita pajak harus dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua
belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa sebagai pernyataan
bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.
Surat Paksa yang akan disampaikan kepada Penanggung Pajak dilakukan paling
lambat setelah lampau waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran atau Surat
Peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan. Apabila Surat Paksa diterbitkan
kurang dari 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat teguran diterbitkan, maka Surat Paksa
menjadi batal demi hukum.
Penyitaan
Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh jurusita pajak untuk menguasai
barang penanggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyitaan merupakan tindakan penaghian lebih lanjut setelah Surat Paksa yang
hanya dapat dilakukan setela waktu 2 x 24jam sebagaiman dimaksud dalam Surat Paksa
dilewati. Artinya apabila penanggung pajak / Wajib Pajak tetap tidak melunasi utang
pajak sebagaimana yang tercantum dalam Surat Paksa barulah penyitaan dapat

21

dilaksanakan. Pada prinsipnya tujuan penyitaan adalah untuk memperoleh jaminan


pelunasan utang pajak dari penanggung pajak. Oleh karena itu penyitaan dapat
dilaksanakan terhadap barang milik penanggung pajak yang berada di tempat tinggal,
tempat usaha, tempat kedudukan atau tempat lain termasuk yang penguasaannya berada
di tangan pihak lain atau dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu.
Ada enam jenis barang yang dikecualikan dari penyitaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 UU No. 19 Tahun 1997,yaitu :
1. Pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh
Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
2. Persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan
memasak yang ada di rumah;
3. Perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas;
4. Buku-buku yang berkaitan dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan
alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan;
5. Peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan
pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari
Rp20.000.000 (dua puluh juta rupiah);
6. Peralatan penyandang cacatyang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga
yang menjadi tanggungannya.
Pada prinsipnya penyitaan dalam hukum pajak tidak mengubah status
kepemilikan atas suatu barang, bahkan barang yang telah disita dititipkan kepada
Penanggung Pajak atau dapat disimpan di tempat lain. Pemilik barang pada dasarnya
masih tetap dapat mempergunakan barang yang telah disita sepanjang atas barang yang
telah disita tersebut tidak dialihkan hukumnya kepada pihak Iain atau merusak barang,
atau menghilangkan barang yang merupakan tindakan pidana sesuai Pasal 231 KUHP.
Dalam hal penyitaan tambahan (Pasal 21), jurusita pajak tetap dapat melakukan
penyitaan apabila terjadi hal-hal berikut:
1. Nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi utang pajak dan
biaya penagihan pajak; atau
2. Hasil dari lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi utang
pajak dan biaya penagihan pajak.
Terhadap barang yang sudah disita, Penanggung Pajak dilarang untuk melakukan halhal berikut:

22

1. Memindahkan

hak,

memindahtangankan,

menyewakan,

meminjamkan,

menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;


2. Membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan
untuk pelunasan utang tertentu;
3. Membebani barang bergerakyang telah disita dengan fidusia atau diagunkan
untuk pelunasan utang tertentu; dan/atau
4. Merusak, mencabut atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara
Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.
Terhadap barang yang sudah disita, dapat dicabut apabila terjadi salah satu dari
tiga hal seperti berikut ini:
1. Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak
2. Ada putusan pengadilan atau ada putusan badan peradilan pajak; atau
3. Ada ketentuan lain yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan atau
Keputusan Kepala Daerah. Misalnya, adanya objek sita terbakar, objek sita
hilang atau objek sita musnah.
Pelelangan
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum yang dipimpin oleh pejabat
lelang dengan cara penawaran harga secara terbuka/lisan dan/atau tertutup/tertulis yang
didahului dengan pengumuman lelang.
Pelelangan merupakan tindakan hukum penagihan berikutnya untuk melunasi
utang pajak Wajib Pajak/Penanggung Pajak. Dasar hukum pelaksanaan lelang saat ini
diatur dalam Vendu Reglement (peraturan Lelang, stbl. 1908-190) sebagai dan vendu
Instructie (Instruksi Lelang, stbl. 1909 - 190) sebagai landasan penyelenggaraan lelang
di Indonesia. Ketentuan yang sudah cukup lama ini masih saja berlaku, oleh karena itu
pemerintah perlu segera melakukan perubahan yang disesuaikan dengan kondisi
perkembangan bisnis di masyarakat.
Lelang dalam hal sita pajak merupakan salah satu bagian dari berbagai jenis
lelang untuk melaksanakan eksekusi atas barang-barang milik penanggung pajak dalam
rangka penagihan piutang pajak. sesuai aturan yang telah ditentukan, pelaksanaan
penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita dilakukan sekurang-kurangnya
14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Pengumuman lelang itu sendiri
dilakukan dalam waktu sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah pelaksanaan
penyitaan.

23

Pengumuman lelang tersebut mempunyai tujuan dalam rangka memberikan


perlindungan kepada pihak ketiga yang berkepentingan dan juga dimaksudkan untuk
memberi kesempatan kepada Penanggung Pajak untuk melunasi utang pajaknya
sebelum

lelang

dilaksanakan

dan

sekaligus

memberi

perlindungan

hukum

kepadapembeli atas objekbarangyang dilelang dari kemungkinan adanya gugatan dari


pihak-pihak lain di kemudian hari.
pelaksanaan lelang dalam rangka eksekusi pajak merupakan upaya hukum
terakhir dalam rangka mencairkan tunggakan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal25
UU Penagihan Pajak. Pasal25 ayat (1) menyatakan "apabila utang pajak dan/atau biaya
penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, pejabat berwenang
melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui kantor
lelang."
Dipilihnya lelang sebagai sarana penjualan barang tentunya didasari oleh adanya
kebaikan-kebaikan yang dapat diperoleh dari proses lelang tersebut, antara lain sifat
penjualannya yang transparan/terbuka, cepat, aman, efisien dengan mekanisme harga
yang kompetitif dan dapat dipertanggungjawabkan. Sarana lelang yang digunakan
dalam rangka tindakan penagihan pajak tidak lain merupakan upaya terakhir apabila
Wajib Pajak tetap tidak melunasi utang pajaknya. Dengan adanya praktik lelang
menunjukkan adanya fungsi publik dari lelang tersebut dalam rangka penegakan hukum
yang lebih mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.
Sebelum pelaksanaan lelang, pejabat pemohon lelang bersama-sama dengan
pejabat lelang akan memberikan penjelasan lelang (aanwijzing) agar lelang benar-benar
transparan dan calon peserta lelang tahu permasalahannya. Dalam penjelasan lelang,
peminat lelang dapat melihat barang yang akan dilelang dan penjelasan mengenai
kondisi terakhir atas barang yang akan dilelang seperti adanya gugatan atau verzet,
surat-surat/dokumen yang tidakbisa dikuasai, dan lain-lainnya.
Namun demikian, tidak semua objek yang telah disita oleh jurusita pajak dapat
dilakukan lelang. Pasal 2 Peraturaan Pemerintah No. 136 Tahun 2000 dengan tegas
menyebutkan adanya objek sita yang dikecualikan dari lelang, yaitu berupa:
1. Uang tunai;
2. Surat-surat berharga berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran,
obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada
perusahaan lain;

24

3. Barang yang mudah rusak atau cepat busuk.


Karena atas barang-barang tersebut tidak dilakukan pelelangan, maka tindakan
penagihan yang dilakukan adalah dengan cara sebagai berikut bila uang tunai, akan
disetor ke kas negara. Atas deposito, tabungan, saldo rekening koran, akan
dipindahbukukan ke kas negara. Atas obligasi, saham, atau surat berharga lainnya akan
dijual di bursa efek. Atas piutang, akan dialihkan hak menagihnya, dan atas penyertaan
modal akan dibuatkan akta persetujuan pengalihan hak menjual dari wP kepada pejabat
(Kepara Kantor pelayanan pajak/Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan BangunanKpp/KppBB).
Lelang eksekusi pajak yang penyelenggaraannya dilakukan melalui Kantor
Lelang Negara (KLN), mempunyai nilai kekhususan lain, yaitu bahwa tindakan Ielang
tetap dapat dilaksanakan meskipun tidak ada dokumen-dokumen bukti kepemilikan
sepanjang dalam Berita Acara pelaksanaan sita disebutkan bahwa dokumen tidak dapat
disita dan adanya pernyataan tertulis dari pejabat selaku pemohon lelang bahwa
memang dokumennya tidak dapat disita. Namun demikian, khusus untuk lelang dengan
objek berupa tanah dan/atau bangunan, meskipun tidak ada dokumennya, tetap harus
ada dokumen lain berupa Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dapat diperoleh dari
instansi yang berwenang (Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal pajak dan Kepala
Badan urusan piutang dan Lelang Negara No. SE-214/PJ/1999; SE-17/PN/1999
tanggal25 Agustus 1999).
PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK
Dalam menjalankan kegiatan usaha (bisnis) sehari-hari, para pengusaha tentu
tidak terlepas dari pengawasan aparatur pemerintah sesuai bidang usaha atau
pekerjaannya masing-masing. Demikian pula, aparatur pajak (fiskus) tentu akan
mengawasi semua pengusaha (termasuk orang pribadi), khususnya pengawasan dalam
rangka pemeriksaan pajak guna menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya atau untuk tujuan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat
(1) Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Sebagai produk akhir dari pemeriksaan tersebut, tentu akan diterbitkan surat
ketepatan pajak yang bisa berupa kondisi kurang bayar (Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar-SKPKB-atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan-SKPKBT), lebih

25

bayar (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar-SKPLB) ataupun nihil (Surat Ketetapan
Pajak Nihil-SKPN). Dari ketiga kondisi ketetapan pajak tersebut yang paling tidak
disukai oleh Wajib Pajak adalah kondisi kurang bayar, karena apa? Karena Wajib Pajak
harus membayar kekurangan pembayaran pajak yang seharusnya terutang berdasarkan
hasil pemeriksaan yang dilakukan, padahal Wajib Pajak sudah merasa benar ketika
menyampaikan laporan perpajakannya setiap bulan atau setiap tahun ke Kantor
Palayanan Pajak (KPP). Surat ketetapan pajak yang kurang bayar inilah yang sering kali
menimbulkan sengketa atau perselisihan antara Wajib Pajak dengan fiskus (aparatur
pajak/pemeriksa pajak).
Namun, tidak tertutup kemungkinan terbitnya SKPLB atau SKPN juga bisa
menimbulkan sengketa Wajib Pajak dengan fiskus. Hal ini bisa terjadiapabila fiskus
menerbitkan SKPLB dengan nilai lebih kecil dari nilai SKPLB yang diharapkan Wajib
Pajak. Misalnya, fiskus menerbitkan SKPLB sebesar Rp 2 Milyar sementara menurut
perhitungan Wajib Pajak SKPLB seharusnya sebesar Rp 3 Milyar. Perbedaan ini pun
bisa menimbulkan sengketa antara para pihak. Demikian pula halnya apabila terhadap
Wajib Pajak diterbitkan SKPN padahal menurut perhitungan Wajib Pajak seharusnya
diterbitkan SKPLB. Untuk hal demikian, tentu akan menimbulkan sengketa yang harus
diselesaikan sesuai aturan UU.
Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan sengketa pajak? Menurut ketentuan
Pasal 1 ayat 5 UU No.14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak (UU Pangadilan Pajak),
yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang
perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan jabatan yang berwenang
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan
kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-perundangan perpajakan,
termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan UU penagihan pajak dengan
Surat Paksa.
Dengan kata lain, sengketa pajak terjadi karena adanya ketidaksamaan persepsi
atau perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan petugas pajak mengenai penetapan
pajak terutang yang diterbitkan atau adanya tindakan penagihan yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak. Pengertian sengketa pajak umumnya diawali dari
diterbitkannya surat ketetapan pajak atau diterbitkan surat tindakan penagihan pajak.
Surat ketetapan pajak atau diterbitkannya surat tindakan penagihan pajak. Surat

26

ketetapan pajak dimaksud adalah SKPKB, SKPKBT, SKPLB dan SKPN. Selain itu,
sengketa pajak dimaksud adalah SKPKB, SKPBT, SKPLB dan SKPN. Selain itu,
sengketa juga bisa timbul karena adanya pemotongan atau pemungutan yang dilakukan
oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan UU.
Mengacu pada pengertian tersebut, maka upaya hukum untuk menyelesaikan
sengketa pajak yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah keberatan, banding,
peninjauan kembali, dan gugatan. Upaya hukum keberatan atas ketetapan pajak
diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak. Sementara itu, upaya hukum banding dan
gugatan diajukan ke pengadilan pajak. Khusus untuk upaya hukum peninjauan kembali
(PK) diajukan ke Mahkamah Agung. Namun demikian, ada upaya hukum dengan nama
peninjauan kembali (huruf kecil) yang juga duajukan ke Direktorat Jenderal Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP. Uraian selengkapannya masing-masing
upaya hukum tersebut adalah seperti dibawah ini.
Upaya Hukum Keberatan
Ketika Wajib Pajak memperoleh suatu Surat Ketetapan Pajak dan merasa tidak puas atas
ketetapan pajak dimaksud, maka Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum dengan
nama keberatan. Sesuai ketentuan Pasal 25 UU KUP, upaya hukum keberatan diajukan
ke Direktorat Jenderal Pajak, yaitu ke Kantor Pelayanan Pajak/ Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) tempat di mana WP terdaftar. Selengkapnya
ketentuan Pasal 25 UU KUP menyatakan sebagai berikut :
Ayat (1)

: Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur


Jenderal Pajak atas suatu :
a.
b.
c.
d.
e.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar


Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayara Tambahan
Surat Ketatapan Pajak Lebih Bayar
Surat Ketetapan Pajak Nihil
Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ayat (2)

: Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan


mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang
dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib
pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

27

Ayat (3)

: Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak


tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemutungan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), kecuali apabila wajib pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktuitu tidak dapat dipenuhi karena
keadaan diluar kekuasaannya.

Ayat (4)

: Keberatan yang tidak dipenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud


dalam ayat (1), (2), dan ayat (3) tidak dianggap sebagai surat keberatan
sehingga tidak dipertimbangankan.

Ayat (5)

: Tanda penerima surat keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat


Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman surat
keberatan pos tercatat menjadi bukti penerimaan surat keberatan.

Ayat (6)

: Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan


keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara
tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi,
pemotongan atau pemungutan pajak

Ayat (7)

: Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan


pelaksanaan penagihan pajak.

Sementara itu, untuk kepabeanan, dengan UU No. 10 Tahun 1995 tentang


Kepabeanan, diatur bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum keberatan atas
tarif dan/atau nilai kepabean untuk penghitungan Bea Masuk kepada Direktur Jendral
Bea dan Cukai dalam 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan
jaminan sebesar Bea Masuk yang harus dibayar, sesuai Pasal 93 dan juga terhadap
pengenaan saksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 94 ayat (1) UU tersebut.
Begitu pun dengan jenis pajak daerah yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 1997
tentang Pajak Derah dan Retrebusi Daerah sebagimana diubah dengan UU No.34 Tahun
2000, bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau
jabatan yang ditunjuk yang telah menerbitkan pajak yang berupa :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Surat Ketetapan Pajak Daerah


Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang BayarTambahan
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil
Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan daerah yang berlaku.

28

Uraian mengenai keberatan akan lebih banyak didasarkan pada ketentuan UU KUP oleh
karena pada prinsipnya pola aturan yang diatur dalam ketentuan ini yang juga dipakai
oleh UU lainnya. Berbicara soal upaya hukum keberatan Wajib Pajak, bahwa upaya
hukum yang dilakukan masih berada dalam lingkungan lembaga yang sama yaitu
Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena lembaga yang menyelesaikan sengketa antara
Wajib Pajak dengan fiskus masih dilakukan oleh lembaga yang sama, menurut Prof.
Rochmat Soemitro, penyelesaian sengketa demikian disebut sebagai peradilan
administrasi tidak murni atau peradilan doleansi.
Untuk dapat mengajukan upaya hukum keberatan, maka Wajib Pajak harus
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan yaitu :
1. Diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia
2. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan, kecuali Wajib Pajak dapat mengajukan bahwa
jangka waktu itu tidak dapat dipenugi karena di luar kekuasaannya (force
majeur)
3. Mengemukakan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak disertai alasanalasan yang jelas.
4. Untuk satu surat keberatan diajukan terhadap satu ketetapan pajak atau
pemotongan/pemungutan pajak.
Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka surat keberatan
tersebut tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga surat keberatan tersebut tidak
dapat dipertimbangankan atau tidak dicatat dalam buku register penerimaan surat
keberatan. Namun demikian, sekalipun surat keberatan tidak memenuhi persyaratan
tersebut, akan tetapi surat permohonan keberatan masih dalam jangka waktu yang
ditentukan oleh UU, maka kantor pajak dapat meminta kepada Wajib Pajak agar
melengkapi persyaratan. Ini dilakukan tentukannya dalam rangka memberikan
pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak, karena bisa saja Wajib Pajak tidak memahami
betul ketentuan UU Pajak.
Proses Penyelesaian Keberatan
Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sesuai Pasal 26A ayat (1) UU KUP
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Dimana tata cara

29

pengajuan dan penyelesaian keberatan sesuai Pasal 26 A ayat (2) UU KUP antara lain,
mengatur tentang pemberian hak kepada wajib pajak untuk hadir memberikan
keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya, dan apabila WP tidak
menggunakan haknya maka sesuai Pasal 26A ayat (3) UU KUP proses keberatan tetap
dapat dilaksanakan.
Tata cara proses penyelesaian keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak adalah dengan
cara seperti berikut ini :

Permohonan Uraian Koreksi Pajak


Pengajuan keberatan
Melunasi Pajak yang disetujui
Permintaan buku, dokumen
Penelitian keberatan
Penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

Permohonan Uraian Koreksi Pajak


Agar wajib dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajin Pajak
berdasarkan Pasal 25 ayat (6) UU KUP diberi hak untuk meminta dasar pengenaan
pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah
ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Pajak berkewajiban untuk memenuhi
permitaan tersebut.
Pengajuan Keberatan
Permohonan keberatan Sesuai Pasal 25 ayat (2) UU KUP diajukan oleh Wajib Pajak
dengan cara seperti berikut ini :

Tertulis dalam bahasa Indonesia


Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong

atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak


Alasan-alasan yang jelas

Yang dimaksud dengan alasan yang menjadi dasar penghitung adalah alasan-alasan
yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau
bukti pemotongan.
Batas Waktu Pengajuan Keberatan

30

Sesuai Pasal 25 ayat (3) UU KUP, batas waktu pengajuan surat keberatan adalah 3 bulan
sejak diterbitkannya SKP, dengan maksud agar supaya WP mempunyai waktu yang
cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya.
Apabila bahwa waktu 3 bulan tidak dapat dipenuhi oleh WP karena keadaan diluar
kekuasaan wajib pajak (force mayeur), tenggang waktu selama 3 bulan tersebut masih
dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang.

Keputusan Keberatan
Setelah kantor pajak melakukan proses pemeriksaan, sesuai Pasl 26 ayat (3) UU KUP,
ada 4 (empat) kemungkinan keputusan yang dapat diterbitkan atau dikeluarkan oleh
Direktur Jenderal Pajak. Keempat keputusan tersebut adalah :

Ditolak
Diterima sebagian
Diterima seluruh
Menambah Ketetapan Pajak

Apabila dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak
diketahui tidak terdapat cukup alasan dan bukti, maka Direktur Jenderal Pajak akan
mengeluarkan keputusan Wajib Pajak. Jika terjadi keputusan demikian, konsekuensinya
hanya ada dua yaitu pertama, Wajib Pajak harus tetap melunasi utang pajak sebesar
yang tercantum dalam keputusan keberatan. Kedua, Wajib Pajak dapat mengajukan
upaya hukum lebih lanjut, yaitu banding ke pengadilan pajak.
Upaya Hukum Banding
Dalam pelaksanaan UU Perpajakan dimungkinkan adanya upaya hukum dengan
nama banding apabila Wajab Pajak tetap merasa tidak puas atas keputusan keberatan
yang telah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Artinya, terhadap surat keputusan
keberatan yang diterbitkan akan menjadi dasar untuk mengajukan upaya hukum banding
ke pengadilan pajak sesuai sesuai UU No. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak.
Lembaga peradilan pajak pada awalnya bernama Majelis Pertimbangan Pajak
(MPP) sebagaimana diatur dalam Staatsblaad No. 29 Tahun 1927 tentang Peraturan
Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep In Belastingzaken). Selanjutnya

31

berdasarkan UU No. 17 Tahun 1997, lembaga ini diubah menjadi lembaga bernama
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Lalu dengan diundangkannya UU No.14
Tahun 2002, BPSP diubah namanya menjadi pengadilan pajak.
Digantikannya lembaga BPSP menjadi pengadilan pajak dilakukan karena dalam
pelaksanaan penyelesaian sengketa pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian
hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Hal ini terkait dengan status BPSP
yang masih dianggap kurang sejalan dengan sistem peradilan yang berlaku menurut UU
No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman sebagaimana telah di
ubah dengan UU No.35 Tahun 1999 (saat ini UU No. 35 tahun 1999 telah di cabut dan
diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman). Selain itu dengan
adanya UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negeri (PTUN) yang
mengkualifikasikan putusan MPP hanya sebagai keputusan banding administratif,
memungkinkan WP yang tidak puas atas putusan MPP, dapat mengajukan gugatan ke
PTUN dan selanjutnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Dengan diberlakukannya UU Pengadilan pajak, maka kepastian hukum yang
diharapkan Wajib Pajak menjadi jelas. Pasal 77 menegaskan bahwa putusan pengadilan
pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Penegasan
lainnya juga disebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) UU KUP bahwa putusan badan
peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara. Artinya, tidak
dimungkinkan lagi Wajib Pajak mengajukan gugutan atas keputusan keberatan maupun
putusan pengadilan pajak ke PTUN. Meskipun demikian sistem peradilan yang
berpuncak pada Mahkamah Agung tetap berjalan, yaitu sesuai ketentuan Pasal 91 UU
Pengadilan Pajak dengan dimungkinkannya Wajib Pajak mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Dalam ketentuan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak yang dimaksus dengan banding
adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak
terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Apabila Wajib Pajak tetap mersa belum
puas atas keputusan keberatan yang dikeluarkan fiskus, maka upaya hukum berikutnya
adalah dengan mengajukan banding.
Persyaratan Banding

32

Seperti halnya upaya hukum keberatan, apabila Wajib Pajak akan mengajukan upaya
hukum banding, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Permohonan diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia.
2. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan
Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatan perpajakan yang diajukan banding,
atau 60 hari sejak tanggal diterimnya Keputusan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai mengenai keberatan kepabeaan dan Cukai. Pengajuan banding 3 bulan
tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena
keadaan diluar kekuasaan pemohon banding.
3. Terhadap 1 keputusan diajukan 1 surat banding
4. Mencantumkan alasan-alasan yang jelas dan tanggal diterima surat keputusan
yang dibanding
5. Melampirkan salinan keputusan yang dibanding dan bukti-bukti pendukung
lainnya, termasuk melampirkan Surat Setoran Pajak (SSP).
6. Melunasi 50% dari jumlah yang terutang atas keputusan yang dibanding.
Ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU pengadilan pajak yang mensyaratkan harus
dilunasinya utang pajak sebesar 50% agar banding dapat diproses sering kali menjadi
pertanyaan Wajib Pajak, mengapa syarat ini harus ada dan bagaimana apabila Wajib
Pajak tidak mempunyai dana sebesar yang ditentukan atau mengalami kesulitan
likuiditas. Apakah hal ini bisa dikatakan adil?
UU Pengadilan Pajak tidak menjelaskan alasan disyaratkannya pembayaran 50%
dari utang pajak. Oleh karenanya, Wajib Pajak merasa diperlukan tidak adil. Seharusnya
UU memberikan penjelasan agar Wajib Pajak merasa jelas atas ketentuan dimaksud, dan
tidak hanya menyebutkan cukup jelas. Apakah ini hanya keinginan pemerintah semata
kerana membutuhkan uang, sehingga tidak melihat pada aspek keadilan dan kepastikan
hukum terlebih dahulu.
Dari sisi politik hukum perundang-undang dapat dikatakan bahwa hukum (UU)
merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi
dari kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Artinya, UU
Pengadilan Pajak yang saat ini merupakan kritalisasi dari kehendak politik yang saling
berinteraksi pada saat dibutnya UU yang dimaksud. Pertanyaan lainnya, mengapa suatu
permasalahan yang belum mempunyai ketentuan hukum tetap (in kracht) WP
diwajibkan melunasi sebagian dari utang pajak. Kiranya hal ini perlu dilakukan
penelitian dan perubahan atas UU yang dimaksud.

33

Persyaratan lain dalam hal waktu yang diatur, maka sepanjang masih dalam
jangka waktu yang ditentukan tersebut, pemohon banding masih dapat melengkapi surat
bandingnya dengan menunjukkan surat atau dokumen berkaitan dengan pemenuhan
kelengkapan susulan. Setelah pemenuhan kekuranganlengkapan dipenuhi, pemohon
banding akan mendapat pemberitahuan sidang paling lambat 14 hari sebelum
persidangan dimulai.
Upaya Hukum Gugutan
Selain upaya hukum yang dapat diajukan kep pengadilan pajak, Wajib Pajak juga dapat
mengajukan upaya hukum gugatan. Yang dimaksud dengan gugatan adalah upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Gugatan wajib pajak atau Penanggung Pajak terhadap hal-hal berikut hanya dapat
diajukan kepada badan peradilan pajak :
a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau
pengumuman lelang
b. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak
c. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain
putusan keberatan
d. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Syarat Gugatan
Untuk dapat mengajukan gugatan, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
2. Jangka waktu untuk gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 14
(empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan, sedangkan untuk
gugatan terhadap keputusan adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima
Keputusan yang digugat. Jangka waktu ini tidak mengikat apabila jangka waktu
dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat.
Perpanjangan jangka waktu dapat dilakukan adalah 14 (empat belas) hari
terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat.

34

3. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) keputusan diajukan 1


(satu) Surat Gugatan.
Gugatan diajukan oleh penggugat, ahli waris, seorang pengurus atau kuasa
hukumnya dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima,
pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat, penggugat meninggal dunia,
gugatan dapat diajukan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya atau
pengampunya dalam hal penggugat pailit.
Apabila diperhatikan persyaratan dalam gugatan tidak diwajibkan adanya
pembayaran sebesar 50% dari utang pajak yang timbul. Sehingga surat gugatan atas
keputusan Direktur Jenderal Pajak atas Surat Tagihan Pajak (STP) berdasarkan Pasal 16
UU KUP dan Pasal 36 UU KUP dapat diajukan Wajib Pajak meskipun pajak yang
terutang belum dibayar. Ini berarti Wajib Pajak tetap dapat mengajukan gugatan tanpa
harus membayar sebesar 50% terlebih dahulu dari pajak yang terutang sebagaimana
tercantum dalam STP.
Terhadap gugatan yang telah diajukan, pemohon dapat mengajukan surat
pernyataan pencabutan gugatan kepada pengadilan pajak, dan selanjutnya gugatan yang
dicabut, dihapus dari daftar sengketa melalui penetapan ketua pengadilan pajak dalam
hal surat persyaratan pencabutan diajukan sebelum sidang, atau melalui Putusan
Majelis/ Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan
diajukan setelah sidang atas persetujuan tergugat. Atas gugatan yang telah dicabut baik
melalui penetapan maupun putusan, pemohon gugatan tidak dapat mengajukan gugatan
kembali.
Penagihan Pajak Atas Gugatan
Pasal 43 ayat (1) UU pengadilan pajak menegaskan bahwa gugatan tidak menunda atau
menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak atau kewajiban perpajakan. Dengan
demikian, sekalipun Wajib Pajak sedang mengajukan gugatan, misalnya atas gugatan
pelakasanaan Surat Paksa maka WP tetap berkewajiban melunasi utang pajak yang ada
dalam ketetapan pajak. Di lain pihak, jurusita pajak bisa terus melaksanakan tindakan
penagihan sesuai ketentuan UU Penagihan Pajak.
Namun demikian, Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut
pelaksanaan penagihan pajak di tunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang

35

berjalan sampai ada putusan pengadilan pajak. Permohonan Wajib Pajak dapat diajukan
sekaligus dalam gugatan dan hakim dapat memutus terlebih dahulu dari pokok
sengketanya. Permohonan ini tentu dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan
yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan
jika pelaksanaan penagihan pajak yang digugat itu dilaksanakan.
Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Satu lagi upaya hukum yang dapat dilakukan Wajib Pajak adalah upaya hukum
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA). Upaya hukum ini merupakan upaya
hukum luar biasa setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atau ada hal
lain yang ditentukan UU. Sesuai ketentuan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak, permohonan
peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan 5 (lima) alasan, yaitu :
a. Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang
apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan pajak akan
menghasilkan putusan yang berbeda.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat 1 huruf b dan c
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntunan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya ; atau
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketetntuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permohonan peninjauan kembali dengan alasan seperti dimaksud Pasal 91 huruf
a tersebut, dilakukan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan
pidana memperoleh kekuatan hukum tetap. Sementara itu, untuk permohonan
peninjauan dengan alasan seperti dimaksud pasal 91 huruf b tersebut, dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti
yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan
oleh pejabat yang berwenang. Dan untuk permohonan peninjauan kembali berdasarkan
alasan seperti dimaksud untuk permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
seperti dimaksud pasal 91 huruf c, huruf d dan huruf e tersebut dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.

36

Selanjutnya, Mahkamah Agung akan memeriksa dan memutuskan permohonan


peninjauan kembali dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan peninjauan
kembali diterima oleh Mahkamah Agung yaitu dalam hal pengadilan pajak mengambil
putusan melalui pemeriksanaan acara cepat, putusan diambil dalam jangka waktu 1
(satu) bulan sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Agung. Permohonan
peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali ke Mahkamah Agung melalui
pengadilan pajak. Apabila di tempat tinggal atas tempat kedudukan pemohon belum ada
pengadilan pajak, permohonan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
tempat tinggal atau tempat kedudukan pemohon. Apabila PTUN juga belum ada,
permohonan dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat tinggal atau tempat kedudukan
pemohon.
Permohonan peninjauan kembali tersebut dapat dicabut sebelum diputus. Dalam
hal permohonan sudah dicabut, permohonan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah
Agung akan menggunakan hukum acara pemeriksaannya berdasarkan UU No.14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung. Seperti halnya keberatan dan banding, apabila Wajib
Pajak mengajukan upaya hukum peninjauan kembali, tindakan penagihan yang
dilakukan jurusita pajak tetap bisa dilaksanakan, seperti ditegaskan Pasal 89 ayat 2 UU
Pengadilan Pajak bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menagguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan pajak.
III.

PENUTUP

Wajib Pajak memiliki kewajiban dari mendaftarkan diri untuk mendapatkan


NPWP/NPPKP sampai dengan menaati pemeriksaan yang dilakukan oleh Fiskus atau
petugas pajak. Penagihan pajak terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu secara pasif dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak dan penagihan pajak
secara aktif yang dimulai dari Surat Teguran sampai dengan penyitaan. Dalam hal Wajib
Pajak mengalami sengketa pajak atau adanya perbedaan pendapatan mengenai jumlah
pajak yang terutang maka Wajib Pajak dapat menyelesaikannya dengan menggunakan
upaya hukum yang dimulai dari upaya hukum keberatan sampai dengan upaya hukum
peninjauan kembali.
DAFTAR PUSTAKA

37

Fitriandi, Primandita , dkk, 2014, Kompilasi Undang-Undang Perpajakan, Penerbit


Salemba Empat, Jakarta.
Ilyas, Wirawan B & R. Burton, 2013, Hukum Pajak : Teori, Analisis dan
Perkembangannya, Edisi 6, Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Printara Diaz, 2012, Perpajakan Indonesia, Penerbit Mitra Wacana Media, Jakarta
Resmi, Siti 2014, Perpajakan Teori dan Kasus, Buku 1, Edisi 8, Penerbit Salemba
Empat, Jakarta.
Suandy, Erly, 2014, Hukum Pajak, Edisi 6, Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Suteji, Adrian, 2013, Hukum Pajak , Penerbit Sinar Grafika, Jakarta
Waluyo, 2011, Perpajakan Indonesia, Buku 1, Edisi 10, Penerbit Salemba Empat,
Jakarta

38

Anda mungkin juga menyukai