KELOMPOK 1 :
1. YUNITA VALENTINA, K
(No. BP : 15158013)
2. POPPY VEONE HELSYA
(No. BP : 15158008)
I. PENDAHULUAN
Perubahan Peraturan perundang-undangan perpajakan khususnya Undang-Undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dimaksudkan untuk lebih
memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan
kepastian dan penegakan hukum serta mengantisipasi kemajuan dibidang
perpajakan. Undang-Undang KUP ini terus disempurnakan dalam rangka seiring
dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi, sosial dan politik. Dengan
berpegang teguh pada prinsio kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah
dan tujuan perubahan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut :
1. Meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka
mendukung
penerimaan negara.
2. Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum, dan keadilan bagi masyarakat guna
meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap
mendukung pengembangan usaha kecil dan menengah.
3. Menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta
4.
5.
6.
7.
Dalam topik ini membahas tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan yang
berlaku di Indonesia. Hal ini meliputi tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban
perpajakan, ketetapan pajak, kewajiban pembukuan/pencatatan dan pemeriksaan
pajak, sengketa pajak dan penagihan pajak dengan surat paksa.
II. PEMBAHASAN
1. Hak dan kewajiban wajib pajak
A. Kewajiban Wajib Pajak
mengisi
Surat
Pemberitahuan
dalam
bahasa
Indonesia
serta
Setiap Pengusaha Kena pajak wajib membuat faktur pajak untuk setiap
penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak. Faktur pajak yang dibuat
merupakan bukti adanya pemungutan pajak yang dilakukan oleh PKP.
B. Hak wajib pajak
Hak-hak wajib pajak yang diatur dalam undang-undang perpajakan adalah :
a. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pengarahan dari fiskus
Hak ini merupakan konsekuensi logis dari self assessment system yang
mewajibkan wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan dan
membayar pajaknya sendiri. Untuk dapat melaksanakan sistem tersebut, hak
diatas merupakan prioritas dari seluruh hak wajib pajak yang ada.
b. Hak untuk membetulkan surat pemberitahuan (SPT)
Wajib pajak dapat melakukan pembetulan SPT apabila terdapat kesalahan
atau kekeliruan dengan syarat belum melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun
sesudah berakhirnya masa pajak bagian tahun pajak atau tahun pajak, dan
fiskus belum melakukan tindakan pemeriksaan.
c. Hak untuk memperpanjang waktu penyampaian SPT
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT
ke Dirjen Pajak dengan menyampaikan alasan-alasan secara tertulis sebelum
tanggal jatuh tempo.
d. Hak untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran
pembayaran pajak kepada Dirjen Pajak secara tertulis disertai alasanalasannya. Penundaan ini tidak menghilangkan sanksi bunga.
e. Hak memperoleh kembali kelebihan pembayaran pajak
Wajib pajak yang mempunyai kelebihan pembayaran pajak dapat
mengajukan permohonan pengembalian atau restitusi. Setelah melalui
proses pemeriksaan akan diterbitkan surat ketetapan pajak lebih bayar
(SKPLB)
f. Hak mengajukan keberatan dan banding
Wajib pajak yang merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang telah
diterbitkan, dapat mengajukan keberatan kepada kepala kantor pelayanan
pajak (KPP) dimana WP terdaftar. Jika wajib pajak tidak puas dengan
keputusan keberatan wajib pajak dapat mengajukan banding ke pengadilan
pajak.
2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
(PPKP)
A. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Pasal 2 ayat (1) UU KUP adalah sebagai berikut :
Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal atau tempat kedudukan wajib pajak dan kepadanya diberi Nomor Pokok
Wajib Pajak.
Wajib pajak terdaftar adalah wajib pajak yang telah terdaftar dalam tata usaha
kantor pelayanan pajak dan telah diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
Fungsi NPWP, adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
instansi
yang
mewajibkan
mencantumkan NPWP, seperti kantor imigrasi, Kantor Bea dan Cukai, kantor
KPKN, kantor PLN, kantor TELKOM, dan sebagainya.
Manfaat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah sebagai berikut :
1. Untuk dapat menjadi rekanan pemerintah dalam mendaftarkan /memperoleh
tender proyek pemerintah.
2. Untuk memperoleh pembayaran dari KPKN dan sebagainya.
Nomor
Kode
Kode
Pokok Pengecekan KPP Pusat
Kantor Cabang/
Wajib Pajak diwajibkan untuk mengangsur pajak yang akan terutang pada
teraan.
2. Pemotongan/Pemungutan
Selain pembayaran bulanan yang dilakukan sendiri, ada pembayaran bulanan yang
dilakukan dengan mekanisme pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak
ketiga. Berikut adalah pajak yang pembayarannya melalui pemotongan/pemungutan :
a. PPh Pasal 21 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga atas
penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak.
b. PPh Pasal 22 adalah pemungutan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga
sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang, impor barang dan
kegiatan usaha di bidang-bidang tertentu.
c. PPh Pasal 23 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga
sehubungan dengan penghasilan tertentu seperti deviden, bunga, royalti, sewa
dan jasa yang diterima oleh Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha
Tetap (BUT).
d. PPh Pasal 26 adalah pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga
sehubungan dengan penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri.
e. PPh Pasal 4 ayat (2) merupakan pajak yang sifat pemungutannya final. Pajak ini
dapat dipotong, dipungut oleh pihak ketiga atau dibayar sendiri yang tidak dapat
dikreditkan pada akhir tahun.
f. PPh Pasal 15 adalah pemotongan pajak penghasilan yang dilakukan oleh Wajib
Pajak tertentu yang menggunakan norma penghitungan khusus antara lain
perusahaan pelayaran atau penerbangan internasional.
g. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas nilai tambahan
suatu barang dan jasa.
h. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah pajak khusus untuk
barang-barang mewah.
3. Pelaporan
Surat Pemberitahuan (SPT) merupakan sarana bagi Wajib Pajak untuk melaporkan
hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban perjakan. SPT harus diisi dengan benar,
lengkap dan jelas dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan bahasa latin dan
angka arab serta mata uang rupiah dan menandatangani serta menyapaikannya ke
Kantor Palayanan Pajak (KPP) atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak. Fungsi SPT sebagai saran pelaporan tentang :
Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak
Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak hanya terbatas kepada Wajib Pajak
tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam proses pengisian SPT atau karena
ditemukannya data fisik yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak.
Fungsi Ketetapan Pajak
Ketetapan Pajak berfungsi sebagai :
1.
2.
3.
4.
5.
10
Sanksi Adminsitrasi
1. Terhadap wajib pajak yang pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau
kurang dibayar dan wajib pajak yang berdasarkan hasil penelitian terdapat
kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung.
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak ditambah
dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % per bulan untuk paling
lama 24 bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya Surat
Tagihan Pajak
2. Terhadap Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat
waktu, tidak mengisi faktur pajak secara lengkap, dan pengusaha kena pajak
melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak
dikenai sanksi administrasi berupa denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak.
3. Terhadap Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian Pajak Masukan dikenai sanksi adminitrasi berupa bunga sebesar 2
% per bulan dari jumlah pajak yang ditagih kembali,dihitung dari tanggal
penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sampai
dengan tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak, dan bagian dari bulan dihitung 1
bulan.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
Dalam jangka waktu 5 tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa
Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun pajak. Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang
tidak atau kurang dibayar.
b. Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
sebagaimana ditentukan dalam surat teguran
11
12
jumlah kekurangan pajak tersebut. Kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan
pajak tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu
diterbitkan berdasarkan Keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri,
dengan syarat Direktu Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksanaan
dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Apabila
jangka waktu 5 tahun telah lewat, Surat Ketetapan Kurang Bayar Tambahan tetap dapat
diterbitkan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar dalam hal wajib pajak setelah jangka waktu 5 tahun tersebut
dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan atau tindakan lainnya
yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat ketetapan pajak yang menentukan
jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang. Direktur Jenderal Pajak setelah
melakukan pemeriksaan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila
jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang. Berdasarkan permohonan Wajib pajak Direktur Jenderal Pajak setelah
meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya
diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih bisa diterbitkan lagi apabila
berdasarkan hasil pemeriksaaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih bayar
jumlahnya lebih besar dari pada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
1. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dari wajib pajak, harus menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak paling lama 12 bulan sejak surat permohonan diterima
13
secara lengkap. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap wajib pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan tindak pidana di bidang perpajakan.
2. Apabila setelah melampaui jangka waktu 12 bulan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dianggap dikabulkan dan paling lama 1 bulan setelah jangka waktu
tersebut berakhir.
Imbalan Bunga
1. Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan, kepada wajb
pajak diberi imbalan bunga sebesar 2 % per bulan dihitung sejak berakhirnya
jangka waktu 1 bulan setelah berakhirnya jangka waktu 12 bulan sampai dengan
saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
2. Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan tidak
dilanjutkan dengan penyelidikan ; dilanjutkan dengan penyelidikan tetapi tidak
dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan atau
dilanjutkan dengan penyelidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang
perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,
dan dalam hal kepada wajib pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar, kepada wajib pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2 % per bulan untuk
paling lama 24 bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 bulan sampai
dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan bagian dari
bulan dihitung penuh 1 bulan.
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
1. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari wajib pajak dengan kriteria
tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pajak paling lama 3 bulam sejak permohonan diterima secara lengkap untuk
pajak penghasilan, dan paling lama 1 bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.
2. Kriteria tertentu yang dimaksud meliputi :
a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan
14
15
16
2. Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan,Putusan
Banding
atau
Putusan
Peninjauan
kembali
yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh
tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar atas jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % per
bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai
dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak dan
bagian dari bulan dihitung 1 bulan.
3. Dalam hal wajib pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran
pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % per bulan dari
jumlah pajak yang masih harus dibayar dan bagian dari bulan dihitung 1 bulan.
4. Dalam hal wajib pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan dan ternyata perhitungan sementara pajak yang terutang
kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran
pajak tersebut, dikenai bunga sebesar 2% per bulan yang dihitung dari saat
berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan sampai dengan
tanggal dibayarnya kekuarangan pembayaran tersebut dan bagian dari bulan
dihitung penuh 1 bulan.
5. Atas jumlah Pajak yang masih harus dibayar yang berdasarkan Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding serta Putusan Peninjauan kembali yang menyebabkan jumlah
pajak yang masih harus dibayar bertambah yang tidak dibayar oleh Penanggung
Pajak dalam jangka waktu 1 bulan sejak diterbitkan atau bagi pajak usaha kecil
dan wajib pajak di daerah tertentu yang mendapat perpanjangan paling lama
menjadi 2 bulan akan dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
6. Dikecualikan dari ketentuan di atas No. 5 adalah penagihan seketika dan
sekaligus yang dilakukan apabila :
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau
berniat untuk itu.
17
18
PENAGIHAN PAJAK
Penagihan pajak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penagihan pasif dan
penagihan aktif. Penagihan pasif dilakukan melalui Surat Tagihan Pajak atau Surat
Ketetapan Pajak. Penagihan Pajak aktif atau penagihan dengan Surat Paksa diatur dalam
Undang-undang No.19 Tahun 2000. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar
penanggung pajak melalui utang pajak dan biaya penagihan penagihan pajak dengan
menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,
melaksanakan penyanderaan, menjual barang-barang yang telah disita.
Penagihan Pajak Pasif
Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
19
20
1. Apabila Penanggung Pajak (PP) tidak melunasi utang pajak sampai dengan
Tanggal jatuh tempo dan telah diterbitkan Surat Teguran atau surat peringatan
atau surat lain yang sejenis;
2. Bahwa terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penagihan seketika dan
sekaligus;
3. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan dalam keputusan persetujuan
angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Dalam UU Penagihan telah ditegaskan bahwa Surat Paksa yang diterbitkan oleh
pejabat (pejabat adalah kepala Kantor Pelayanan Pajak/kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan
hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap. Hal ini dapat dilihat dari Surat Paksa dengan adanya kata-kata "Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." Kata-kata ini juga terdapat pada putusan
pengadilan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan.
Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan
hukum yang tetap, maka pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak oleh
jurusita pajak harus dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua
belah pihak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Surat Paksa sebagai pernyataan
bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.
Surat Paksa yang akan disampaikan kepada Penanggung Pajak dilakukan paling
lambat setelah lampau waktu 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat Teguran atau Surat
Peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan. Apabila Surat Paksa diterbitkan
kurang dari 21 (dua puluh satu) hari setelah Surat teguran diterbitkan, maka Surat Paksa
menjadi batal demi hukum.
Penyitaan
Penyitaan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh jurusita pajak untuk menguasai
barang penanggung pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyitaan merupakan tindakan penaghian lebih lanjut setelah Surat Paksa yang
hanya dapat dilakukan setela waktu 2 x 24jam sebagaiman dimaksud dalam Surat Paksa
dilewati. Artinya apabila penanggung pajak / Wajib Pajak tetap tidak melunasi utang
pajak sebagaimana yang tercantum dalam Surat Paksa barulah penyitaan dapat
21
22
1. Memindahkan
hak,
memindahtangankan,
menyewakan,
meminjamkan,
23
lelang
dilaksanakan
dan
sekaligus
memberi
perlindungan
hukum
24
25
bayar (Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar-SKPLB) ataupun nihil (Surat Ketetapan
Pajak Nihil-SKPN). Dari ketiga kondisi ketetapan pajak tersebut yang paling tidak
disukai oleh Wajib Pajak adalah kondisi kurang bayar, karena apa? Karena Wajib Pajak
harus membayar kekurangan pembayaran pajak yang seharusnya terutang berdasarkan
hasil pemeriksaan yang dilakukan, padahal Wajib Pajak sudah merasa benar ketika
menyampaikan laporan perpajakannya setiap bulan atau setiap tahun ke Kantor
Palayanan Pajak (KPP). Surat ketetapan pajak yang kurang bayar inilah yang sering kali
menimbulkan sengketa atau perselisihan antara Wajib Pajak dengan fiskus (aparatur
pajak/pemeriksa pajak).
Namun, tidak tertutup kemungkinan terbitnya SKPLB atau SKPN juga bisa
menimbulkan sengketa Wajib Pajak dengan fiskus. Hal ini bisa terjadiapabila fiskus
menerbitkan SKPLB dengan nilai lebih kecil dari nilai SKPLB yang diharapkan Wajib
Pajak. Misalnya, fiskus menerbitkan SKPLB sebesar Rp 2 Milyar sementara menurut
perhitungan Wajib Pajak SKPLB seharusnya sebesar Rp 3 Milyar. Perbedaan ini pun
bisa menimbulkan sengketa antara para pihak. Demikian pula halnya apabila terhadap
Wajib Pajak diterbitkan SKPN padahal menurut perhitungan Wajib Pajak seharusnya
diterbitkan SKPLB. Untuk hal demikian, tentu akan menimbulkan sengketa yang harus
diselesaikan sesuai aturan UU.
Kalau begitu, apa yang dimaksud dengan sengketa pajak? Menurut ketentuan
Pasal 1 ayat 5 UU No.14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak (UU Pangadilan Pajak),
yang dimaksud dengan sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang
perpajakan antara Wajib Pajak atau Penanggung Pajak dengan jabatan yang berwenang
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan
kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-perundangan perpajakan,
termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan UU penagihan pajak dengan
Surat Paksa.
Dengan kata lain, sengketa pajak terjadi karena adanya ketidaksamaan persepsi
atau perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan petugas pajak mengenai penetapan
pajak terutang yang diterbitkan atau adanya tindakan penagihan yang dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Pajak. Pengertian sengketa pajak umumnya diawali dari
diterbitkannya surat ketetapan pajak atau diterbitkan surat tindakan penagihan pajak.
Surat ketetapan pajak atau diterbitkannya surat tindakan penagihan pajak. Surat
26
ketetapan pajak dimaksud adalah SKPKB, SKPKBT, SKPLB dan SKPN. Selain itu,
sengketa pajak dimaksud adalah SKPKB, SKPBT, SKPLB dan SKPN. Selain itu,
sengketa juga bisa timbul karena adanya pemotongan atau pemungutan yang dilakukan
oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan UU.
Mengacu pada pengertian tersebut, maka upaya hukum untuk menyelesaikan
sengketa pajak yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah keberatan, banding,
peninjauan kembali, dan gugatan. Upaya hukum keberatan atas ketetapan pajak
diajukan ke Direktorat Jenderal Pajak. Sementara itu, upaya hukum banding dan
gugatan diajukan ke pengadilan pajak. Khusus untuk upaya hukum peninjauan kembali
(PK) diajukan ke Mahkamah Agung. Namun demikian, ada upaya hukum dengan nama
peninjauan kembali (huruf kecil) yang juga duajukan ke Direktorat Jenderal Pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU KUP. Uraian selengkapannya masing-masing
upaya hukum tersebut adalah seperti dibawah ini.
Upaya Hukum Keberatan
Ketika Wajib Pajak memperoleh suatu Surat Ketetapan Pajak dan merasa tidak puas atas
ketetapan pajak dimaksud, maka Wajib Pajak dapat mengajukan upaya hukum dengan
nama keberatan. Sesuai ketentuan Pasal 25 UU KUP, upaya hukum keberatan diajukan
ke Direktorat Jenderal Pajak, yaitu ke Kantor Pelayanan Pajak/ Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan (KPP/KPPBB) tempat di mana WP terdaftar. Selengkapnya
ketentuan Pasal 25 UU KUP menyatakan sebagai berikut :
Ayat (1)
Ayat (2)
27
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (6)
Ayat (7)
28
Uraian mengenai keberatan akan lebih banyak didasarkan pada ketentuan UU KUP oleh
karena pada prinsipnya pola aturan yang diatur dalam ketentuan ini yang juga dipakai
oleh UU lainnya. Berbicara soal upaya hukum keberatan Wajib Pajak, bahwa upaya
hukum yang dilakukan masih berada dalam lingkungan lembaga yang sama yaitu
Direktorat Jenderal Pajak. Oleh karena lembaga yang menyelesaikan sengketa antara
Wajib Pajak dengan fiskus masih dilakukan oleh lembaga yang sama, menurut Prof.
Rochmat Soemitro, penyelesaian sengketa demikian disebut sebagai peradilan
administrasi tidak murni atau peradilan doleansi.
Untuk dapat mengajukan upaya hukum keberatan, maka Wajib Pajak harus
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan yaitu :
1. Diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia
2. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal
pemotongan atau pemungutan, kecuali Wajib Pajak dapat mengajukan bahwa
jangka waktu itu tidak dapat dipenugi karena di luar kekuasaannya (force
majeur)
3. Mengemukakan jumlah pajak terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak disertai alasanalasan yang jelas.
4. Untuk satu surat keberatan diajukan terhadap satu ketetapan pajak atau
pemotongan/pemungutan pajak.
Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, maka surat keberatan
tersebut tidak dianggap sebagai surat keberatan, sehingga surat keberatan tersebut tidak
dapat dipertimbangankan atau tidak dicatat dalam buku register penerimaan surat
keberatan. Namun demikian, sekalipun surat keberatan tidak memenuhi persyaratan
tersebut, akan tetapi surat permohonan keberatan masih dalam jangka waktu yang
ditentukan oleh UU, maka kantor pajak dapat meminta kepada Wajib Pajak agar
melengkapi persyaratan. Ini dilakukan tentukannya dalam rangka memberikan
pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak, karena bisa saja Wajib Pajak tidak memahami
betul ketentuan UU Pajak.
Proses Penyelesaian Keberatan
Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sesuai Pasal 26A ayat (1) UU KUP
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Dimana tata cara
29
pengajuan dan penyelesaian keberatan sesuai Pasal 26 A ayat (2) UU KUP antara lain,
mengatur tentang pemberian hak kepada wajib pajak untuk hadir memberikan
keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya, dan apabila WP tidak
menggunakan haknya maka sesuai Pasal 26A ayat (3) UU KUP proses keberatan tetap
dapat dilaksanakan.
Tata cara proses penyelesaian keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak adalah dengan
cara seperti berikut ini :
Yang dimaksud dengan alasan yang menjadi dasar penghitung adalah alasan-alasan
yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau
bukti pemotongan.
Batas Waktu Pengajuan Keberatan
30
Sesuai Pasal 25 ayat (3) UU KUP, batas waktu pengajuan surat keberatan adalah 3 bulan
sejak diterbitkannya SKP, dengan maksud agar supaya WP mempunyai waktu yang
cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya.
Apabila bahwa waktu 3 bulan tidak dapat dipenuhi oleh WP karena keadaan diluar
kekuasaan wajib pajak (force mayeur), tenggang waktu selama 3 bulan tersebut masih
dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang.
Keputusan Keberatan
Setelah kantor pajak melakukan proses pemeriksaan, sesuai Pasl 26 ayat (3) UU KUP,
ada 4 (empat) kemungkinan keputusan yang dapat diterbitkan atau dikeluarkan oleh
Direktur Jenderal Pajak. Keempat keputusan tersebut adalah :
Ditolak
Diterima sebagian
Diterima seluruh
Menambah Ketetapan Pajak
Apabila dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak
diketahui tidak terdapat cukup alasan dan bukti, maka Direktur Jenderal Pajak akan
mengeluarkan keputusan Wajib Pajak. Jika terjadi keputusan demikian, konsekuensinya
hanya ada dua yaitu pertama, Wajib Pajak harus tetap melunasi utang pajak sebesar
yang tercantum dalam keputusan keberatan. Kedua, Wajib Pajak dapat mengajukan
upaya hukum lebih lanjut, yaitu banding ke pengadilan pajak.
Upaya Hukum Banding
Dalam pelaksanaan UU Perpajakan dimungkinkan adanya upaya hukum dengan
nama banding apabila Wajab Pajak tetap merasa tidak puas atas keputusan keberatan
yang telah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Artinya, terhadap surat keputusan
keberatan yang diterbitkan akan menjadi dasar untuk mengajukan upaya hukum banding
ke pengadilan pajak sesuai sesuai UU No. 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak.
Lembaga peradilan pajak pada awalnya bernama Majelis Pertimbangan Pajak
(MPP) sebagaimana diatur dalam Staatsblaad No. 29 Tahun 1927 tentang Peraturan
Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep In Belastingzaken). Selanjutnya
31
berdasarkan UU No. 17 Tahun 1997, lembaga ini diubah menjadi lembaga bernama
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Lalu dengan diundangkannya UU No.14
Tahun 2002, BPSP diubah namanya menjadi pengadilan pajak.
Digantikannya lembaga BPSP menjadi pengadilan pajak dilakukan karena dalam
pelaksanaan penyelesaian sengketa pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian
hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan. Hal ini terkait dengan status BPSP
yang masih dianggap kurang sejalan dengan sistem peradilan yang berlaku menurut UU
No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman sebagaimana telah di
ubah dengan UU No.35 Tahun 1999 (saat ini UU No. 35 tahun 1999 telah di cabut dan
diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman). Selain itu dengan
adanya UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negeri (PTUN) yang
mengkualifikasikan putusan MPP hanya sebagai keputusan banding administratif,
memungkinkan WP yang tidak puas atas putusan MPP, dapat mengajukan gugatan ke
PTUN dan selanjutnya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Dengan diberlakukannya UU Pengadilan pajak, maka kepastian hukum yang
diharapkan Wajib Pajak menjadi jelas. Pasal 77 menegaskan bahwa putusan pengadilan
pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Penegasan
lainnya juga disebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) UU KUP bahwa putusan badan
peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara. Artinya, tidak
dimungkinkan lagi Wajib Pajak mengajukan gugutan atas keputusan keberatan maupun
putusan pengadilan pajak ke PTUN. Meskipun demikian sistem peradilan yang
berpuncak pada Mahkamah Agung tetap berjalan, yaitu sesuai ketentuan Pasal 91 UU
Pengadilan Pajak dengan dimungkinkannya Wajib Pajak mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Dalam ketentuan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak yang dimaksus dengan banding
adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak
terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Apabila Wajib Pajak tetap mersa belum
puas atas keputusan keberatan yang dikeluarkan fiskus, maka upaya hukum berikutnya
adalah dengan mengajukan banding.
Persyaratan Banding
32
Seperti halnya upaya hukum keberatan, apabila Wajib Pajak akan mengajukan upaya
hukum banding, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Permohonan diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia.
2. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan
Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatan perpajakan yang diajukan banding,
atau 60 hari sejak tanggal diterimnya Keputusan Direktur Jenderal Bea dan
Cukai mengenai keberatan kepabeaan dan Cukai. Pengajuan banding 3 bulan
tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena
keadaan diluar kekuasaan pemohon banding.
3. Terhadap 1 keputusan diajukan 1 surat banding
4. Mencantumkan alasan-alasan yang jelas dan tanggal diterima surat keputusan
yang dibanding
5. Melampirkan salinan keputusan yang dibanding dan bukti-bukti pendukung
lainnya, termasuk melampirkan Surat Setoran Pajak (SSP).
6. Melunasi 50% dari jumlah yang terutang atas keputusan yang dibanding.
Ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU pengadilan pajak yang mensyaratkan harus
dilunasinya utang pajak sebesar 50% agar banding dapat diproses sering kali menjadi
pertanyaan Wajib Pajak, mengapa syarat ini harus ada dan bagaimana apabila Wajib
Pajak tidak mempunyai dana sebesar yang ditentukan atau mengalami kesulitan
likuiditas. Apakah hal ini bisa dikatakan adil?
UU Pengadilan Pajak tidak menjelaskan alasan disyaratkannya pembayaran 50%
dari utang pajak. Oleh karenanya, Wajib Pajak merasa diperlukan tidak adil. Seharusnya
UU memberikan penjelasan agar Wajib Pajak merasa jelas atas ketentuan dimaksud, dan
tidak hanya menyebutkan cukup jelas. Apakah ini hanya keinginan pemerintah semata
kerana membutuhkan uang, sehingga tidak melihat pada aspek keadilan dan kepastikan
hukum terlebih dahulu.
Dari sisi politik hukum perundang-undang dapat dikatakan bahwa hukum (UU)
merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi
dari kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Artinya, UU
Pengadilan Pajak yang saat ini merupakan kritalisasi dari kehendak politik yang saling
berinteraksi pada saat dibutnya UU yang dimaksud. Pertanyaan lainnya, mengapa suatu
permasalahan yang belum mempunyai ketentuan hukum tetap (in kracht) WP
diwajibkan melunasi sebagian dari utang pajak. Kiranya hal ini perlu dilakukan
penelitian dan perubahan atas UU yang dimaksud.
33
Persyaratan lain dalam hal waktu yang diatur, maka sepanjang masih dalam
jangka waktu yang ditentukan tersebut, pemohon banding masih dapat melengkapi surat
bandingnya dengan menunjukkan surat atau dokumen berkaitan dengan pemenuhan
kelengkapan susulan. Setelah pemenuhan kekuranganlengkapan dipenuhi, pemohon
banding akan mendapat pemberitahuan sidang paling lambat 14 hari sebelum
persidangan dimulai.
Upaya Hukum Gugutan
Selain upaya hukum yang dapat diajukan kep pengadilan pajak, Wajib Pajak juga dapat
mengajukan upaya hukum gugatan. Yang dimaksud dengan gugatan adalah upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Gugatan wajib pajak atau Penanggung Pajak terhadap hal-hal berikut hanya dapat
diajukan kepada badan peradilan pajak :
a. Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau
pengumuman lelang
b. Keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak
c. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain
putusan keberatan
d. Penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam
penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Syarat Gugatan
Untuk dapat mengajukan gugatan, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
2. Jangka waktu untuk gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 14
(empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan, sedangkan untuk
gugatan terhadap keputusan adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima
Keputusan yang digugat. Jangka waktu ini tidak mengikat apabila jangka waktu
dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat.
Perpanjangan jangka waktu dapat dilakukan adalah 14 (empat belas) hari
terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat.
34
35
berjalan sampai ada putusan pengadilan pajak. Permohonan Wajib Pajak dapat diajukan
sekaligus dalam gugatan dan hakim dapat memutus terlebih dahulu dari pokok
sengketanya. Permohonan ini tentu dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan
yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan
jika pelaksanaan penagihan pajak yang digugat itu dilaksanakan.
Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Satu lagi upaya hukum yang dapat dilakukan Wajib Pajak adalah upaya hukum
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (MA). Upaya hukum ini merupakan upaya
hukum luar biasa setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap atau ada hal
lain yang ditentukan UU. Sesuai ketentuan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak, permohonan
peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan 5 (lima) alasan, yaitu :
a. Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang
apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan pajak akan
menghasilkan putusan yang berbeda.
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat 1 huruf b dan c
d. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntunan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya ; atau
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketetntuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permohonan peninjauan kembali dengan alasan seperti dimaksud Pasal 91 huruf
a tersebut, dilakukan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pengadilan
pidana memperoleh kekuatan hukum tetap. Sementara itu, untuk permohonan
peninjauan dengan alasan seperti dimaksud pasal 91 huruf b tersebut, dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti
yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan
oleh pejabat yang berwenang. Dan untuk permohonan peninjauan kembali berdasarkan
alasan seperti dimaksud untuk permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
seperti dimaksud pasal 91 huruf c, huruf d dan huruf e tersebut dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.
36
PENUTUP
37
38