Anda di halaman 1dari 23

Perdarahan pada Kehamilan Muda

Perdarahan sebenarnya dapat terjadi bukan saja pada masa kehamilan tetapi juga masa
persalinan maupun masa nifas. Penatalaksanaan dan prognosa kasus perdarahan selama
kehamilan, sangat tergantung pada umur kehamilan, banyaknya perdarahan, keadaan dari
fetus dan sebab dari perdarahan. Setiap perdarahan dalam kehamilan harus dianggap sebagai
keadaan akut berbahaya dan serius dengan resiko tinggi karena dapat menimbulkan kematian
ibu dan janin. Sebanyak 20% wanita hamil pernah mengalami perdarahan pada awal
kehamilan dan sebagian mengalami abortus. Hal ini akan menimbulkan ketidakberdayaan
dari wanita sehingga ditinjau dari suatu kesehatan akan sangat ditanggulangi untuk
meningkatkan keberdayaan seorang wanita.
Ada beberapa keadaan yang dapat menimbulkan perdarahan pada awal kehamilan
seperti imlantasi ovum, karsinoma servik, abortus, mola hidatidosa, kahamilan ekopik,
menstruasi, kehamilan normal, kelainan lokal pada vagina/servik seperti varises, perlukaan,
erosi dan polip, semua keadaan ini akan menurunkan keberdayaan seorang wanita.
Definisi
Perdarahan selama kehamilan dapat dianggap sebagai suatu keadaan akut yang dapat
membahayakan ibu dan anak, sampai dapat menimbulkan kematian.
Perdarahan pada kehamilan muda adalah perdarahan pervaginam pada kehmilan kurang dari
22 minggu.
Keadaan yang menimbulkan perdarahan
Ada beberapa keadaan yang dapat menimbulkan perdarahan pada awal kehamilan, antara
lain:
1.

Keguguran atau abortus

2.

Kehamilan Ektopik Terganggu

3.

Mola Hidatidosa

Gambaran Klinis
Perdarahan yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, akan mengakibatkan volume
darah intravaskular berkurang; untuk menjaga aliran darah ke organ-organ vital (otak,
jantung, paru), pembuluh darah ke organ usus, uterus, ginjal, otot, kulit meningkat.
Perdarahan yang berkepanjangan tanpa penanganan yang baik akan menimbulkan hipoksi
pembuluh darah organ-organ. Pembuluh darah yang mengalami hipoksi berubah dari
vasokontriksi menjadi vasodilatasi, akibatnya aliran darah intravaskular semakin lambat,

sehingga terjadi kegagalan fungsi organ-organ tubuh. Perubahan-perubahan yang terjadi


akibat pendarahan ini ditandai dari gambaran klinis berupa syok (hemorrhagic shock).
Gambaran klinis syok hemoragis dan hubungannya dengan infus cairan (darah) intravena.

I. ABORTUS
a. Epidemiologi
Insiden aborsi dipengaruhi oleh umur ibu dan riwayat obstetriknya seperti
kelahiran normal sebelumnya, riwayat abortus spontan, dan kelahiran dengan anak
memiliki kelainan genetik. Frekuensi abortus diperkirakan sekitar 10-15% dari semua
kehamilan. Namun, frekuensi angka kejadian sebenarnya dapat lebih tinggi lagi karena
banyak kejadian yang tak dilaporkan, kecuali apabila terjadi komplikasi; juga karena
abortus spontan hanya disertai gejala ringan, sehingga tidak memerlukan pertolongan
medis dan kejadian ini hanya dianggap sebagai haid yang terlambat. Delapan puluh persen
kejadian abortus terjadi pada usia kehamilan 12 minggu. Hal ini banyak disebabkan oleh
kelainan kromosom.
Dari 1.000 kejadian abortus spontan, setengahnya merupakan blighted ovum dan
50-60% dikarenakan abnormalitas kromosom. Disamping kelainan kromosom abortus
spontan juga disebabkan oleh penggunaan obat dan faktor lingkungan seperti konsumsi
kafein selama kehamilan.
b. Pengertian
Keguguran atau abortus adalah terhentinya proses kehamilan yang sedang berlangsung
sebelum mencapai umur 28 minggu atau berat janin sekitar 500 gram (Manuaba, 2007).
Abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin mencapai berat 500 gram atau
umur kehamilan kurang dari 22 minggu atau buah kehamilan belum mampu untuk hidup
di luar kandungan (Sarwono, 2008).
Abortus adalah berakhirnya kehamilan melalui cara apapun, spontan maupun buatan,
sebelum janin mampu bertahan hidup. Batasan ini berdasar umur kehamilan dan berat
badan. Dengan lain perkataan abortus adalah terminasi kehamilan sebelum 20 minggu atau
dengan berat kurang dari 500 g (Handono, 2009).
Klasifikasi Abortus (Sarwono, 2008)
1) Abortus spontan
Abortus yang terjadi tanpa tindakan mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus,
maka abortus tersebut dinamai abortus spontan. Kata lain yang luas digunakan adalah
keguguran (Miscarriage).
Abortus spontan secara klinis dapat dibedakan antara abortus imminens, abortus
insipiens, abortus inkompletus, abortus kompletus. Selanjutnya, dikenal pula missed
abortion, abortu habitualis, abortus infeksiosus dan aborrtus septik.

a) Abortus imminens (keguguran mengancam)


Peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu,
dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.
Diagnosis abortus imminens ditentukan karena pada wanita hamil terjadi perdarahan
melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak sama sekali, uterus
membesar sebesar tuanya kehamilan, serviks belum membuka, dan tes kehamilan
positif. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi perdarahan sedikit pada saat haid
yang semestinya datang jika tidak terjadi pembuahan. Hal ini disebabkan oleh
penembusan villi koreales ke dalam desidua, pada saat implantasi ovum. Perdarahan
implantasi biasanya sedikit, warnanya merah, cepat berhenti, dan tidak disertai mulesmules.

Gambar 1. Ostium uteri yang masih tertutup.


b) Abortus incipiene (keguguran berlangsung)
Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan adanya
dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus. Dalam
hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan bertambah.
c) Abortus incomplet (keguguran tidak lengkap)
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vaginal, kanalis servikalis
terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadangkadang sudah
menonjol dari ostium uteri eksternum.
d) Abortus complet (keguguran lengkap)
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi telah di keluarkan
dari kavum uteri. Seluruh buah kehamilan telah dilahirkan dengan lengkap. Pada
penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah

banyak mengecil. Diagnosis dapat di permudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa
dan dapat dinyatakan bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.
e) Abortus infeksiosa dan Abortus septic
Abortus infeksiosa adalah abortus yang disertai infeksi pada genitalia, sedangkan
abortus septik adalah abortus infeksiosa berat dengan penyebaran kuman atau
toksinnya ke dalam peredaran darah atau peritoneum. Infeksi dalam uterus atau
sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus
inkompletus dan lebih sering ditemukan pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa
memperhatikan asepsis dan antisepsis. Umumnya pada abortus infeksiosa, infeksi
terbatas pada desidua. Pada abortus septik virulensi bakteri tinggi, dan infeksi
menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan peritoneum. Apabila infeksi
menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan
diikuti oleh syok.
Diagnosis abortus infeksiosa ditentukan dengan adanya abortus yang disertai gejala
dan tanda infeksi genitalia, seperti panas, takikardi, perdarahan pervaginam berbau,
uterus yang membesar, lembek, serta nyeri tekan, dan leukositosis. Apabila terdapat
sepsis, penderita tampak sakit berat, kadang kadang menggigil, demam tinggi dan
tekanan darah menurun.
f) Missed abortion (retensi janin mati)
Kematian janin sebelum berusia 20 minggu, tetapi janin yang mati tertahan di dalam
kavum uteri tidak dikeluarkkan selama 8 minggu atau lebih. Missed abortion biasanya
didahului oleh tanda-tanda abortus imminens yang kemudian menghilang secara
spontan atau setelah pengobatan. Gejala subyektif kehamilan menghilang, mammae
agak mengendor lagi, uterus tidak membesar lagi malah mengecil, dan tes kehamilan
menjadi negatif. Dengan ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah janin sudah
mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan.
g) Abortus habitualis
Keadaan dimana penderita mengalami keguguran berturutturut tiga kali atau lebih.
Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, tetapi kehamilannya berakhir
sebelum 28 minggu. Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis pada
semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadi abortus lagi
pada seorang wanita mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya,

Warton dan Fraser dan Llwellyn-Jones member prognosis lebih baik, yaitu 25,9% dan
39% (Sarwono, 2008).
2) Abortus provokatus
Abortus terinduksi adalah terminasi kehamilan secara medis atau bedah sebelum janin
mampu hidup. Pada tahun 2000, total 857.475 abortus legal dilaporkan ke Centers for
Disease Control and Prevention (2003). Sekitar 20% dari para wanita ini berusia 19
tahun atau kurang, dan sebagian besa berumur kurang dari 25 tahun, berkulit putih, dan
belum menikah. Hampir 60% abortus terinduksi dilakukan sebelum usia gestasi 8
minggu, dan 88% sebelum minggu ke 12 kehamilan (Centers for Disease Control and
Prevention, 2000). Manuaba (2007), menambahkan abortus buatan adalah tindakan
abortus yang sengaja dilakukan untuk menghilangkan kehamilan sebelum umur 28
minggu atau berat janin 500 gram.
Abortus ini terbagi lagi menjadi:
a) Abortus therapeutic (Abortus medisinalis)
Abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat
membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat
persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.
b) Abortus kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak
berdasarkan indikasi medis.
c) Unsafe Abortion
Upaya untuk terminasi kehamilan muda dimana pelaksana tindakan tersebut tidak
mempunyai cukup keahlian dan prosedur standar yang aman sehingga dapat
membahayakan keselamatan jiwa pasien.
c. Etiologi
Penyebab abortus ada berbagai macam yang diantaranya adalah (Mochtar, 2002):
1) Faktor maternal
a) Kelainan genetalia ibu, misalnya pada ibu yang menderita:
(1) Anomali kongenital (hipoplasia uteri, uterus bikornis, dan lain-lain).
(2) Kelainan letak dari uterus seperti retrofleksi uteri fiksata.
(3)Tidak sempurnanya persiapan uterus dalam menanti nidasi dari ovum yang sudah
dibuahi, seperti kurangnya progesteron atau estrogen, endometritis, dan mioma
submukosa.

(4) Uterus terlalu cepat teregang (kehamilan ganda, mola hidatidosa).


(5) Distorsia uterus, misalnya karena terdorong oleh tumo pelvis.
b) Penyakit-penyakit ibu
Penyebab abortus belum diketahui secara pasti penyebabnya meskipun sekarang
berbagai

penyakit

medis,

kondisi lingkungan,

dan

kelainan

perkembangan

diperkirakan berperan dalam abortus. Misalnya pada:


(1)Penyakit infeksi yang menyebabkan demam tinggi seperti pneumonia, tifoid,
pielitis, rubeola, demam malta, dan sebagainya. Kematian fetus dapat disebabkan
karena toksin dari ibu atau invasi kuman atau virus pada fetus.
(2)Keracunan Pb, nikotin, gas racun, alkohol, dan lain-lain.
(3)Ibu yang asfiksia seperti pada dekompensasi kordis, penyakit paru berat, anemi
gravis.
(4)Malnutrisi, avitaminosis dan gangguan metabolisme, hipotiroid, kekurangan
vitamin A, C, atau E, diabetes melitus.
c) Antagonis rhesus
Pada antagonis rhesus, darah ibu yang melalui plasenta merusak darah fetus, sehingga
terjadi anemia pada fetus yang berakibat meninggalnya fetus.
d) Perangsangan pada ibu yang menyebabkan uterus berkontraksi Misalnya, sangat
terkejut, obat-obat uterotonika, ketakutan, laparatomi, dan lain-lain. Dapat juga karena
trauma langsung terhadap fetus: selaput janin rusak langsung karena instrument,
benda, dan obat-obatan.
e) Gangguan sirkulasi plasenta
Dijumpai pada ibu yang menderita penyakit nefritis, hipertensi, toksemia gravidarum,
anomaly plasenta, dan endarteritis oleh karena lues.
f) Usia ibu
Usia juga dapat mempengaruhi kejadian abortus karena pada usia kurang dari 20 tahun
belum matangnya alat reproduksi untuk hamil sehingga dapat merugikan kesehatan ibu
maupun pertumbuhan dan perkembangan janin, sedangkan abortus yang terjadi pada
usia lebih dari 35 tahun disebabkan berkurangnya fungsi alat reproduksi, kelainan pada
kromosom, dan penyakit kronis (Manuaba, 1998).
2) Faktor janin
Menurut Hertig dkk, pertumbuhan abnormal dari fetus sering menyebabkan abortus
spontan. Menurut penyelidikan mereka, dari 1000 abortus spontan, maka 48,9%

disebabkan karena ovum yang patologis; 3,2% disebabkan oleh kelainan letak embrio;
dan 9,6% disebabkan karena plasenta yang abnormal. Pada ovum abnormal 6%
diantaranya terdapat degeneras hidatid vili. Abortus spontan yang disebabkan oleh karena
kelainan dari ovum berkurang kemungkinannya kalau kehamilan sudah lebih dari satu
bulan, artinya makin muda kehamilan saat terjadinya abortus makin besar kemungkinan
disebabkan oleh kelainan ovum (50-80%).
3) Faktor paternal
Tidak banyak yang diketahui tentang faktor ayah dalam terjadinya abortus. Yang jelas,
translokasi kromosom pada sperma dapat menyebabkan abortus. Saat ini abnormalitas
kromosom pada sperma berhubungan dengan abortus (Carrel, 2003). Penyakit ayah: umur
lanjut, penyakit kronis seperti TBC, anemi, dekompensasi kordis, malnutrisi, nefritis,
sifilis, keracunan (alcohol, nikotin, Pb, dan lain-lain), sinar rontgen, avitaminosis
(Muchtar, 2002).
d. Patologi
Pada awal abortus terjadi perdarahan dalam decidua basalis, diikuti oleh nekrosis
jaringan di sekitarnya. Hal tersebut menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau
seluruhnya, sehingga merupakan benda asing didalam uterus. Keadaan ini menyebabkan
uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu,
hasil konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya, karena vili koreales belum menembus
desidua terlalu dalam, sedangkan pada kehamilan 8 sampai 14 minggu, telah masuk agak
tinggi, karena plasenta tidak dikeluarkan secara utuh sehingga banyak terjadi perdarahan.
Pada kehamilan 14 minggu keatas, yang umumnya bila kantong ketuban pecah
maka disusul dengan pengeluaran janin dan plasenta yang telah lengkap terbentuk.
Perdarahan tidak banyak terjadi jika plasenta terlepas dengan lengkap. Hasil konsepsi pada
abortus dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Ada kalanya janin tidak tampak didalam
kantong ketuban yang disebut blighted ovum, mungkin pula janin telah mati lama disebut
missed abortion. Apabila mudigah yang mati tidak dikeluarkan dalam waktu singkat, maka
ovum akan dikelilingi oleh kapsul gumpalan darah, isi uterus dinamakan mola kruenta.
Bentuk ini menjadi mola karneosa apabila pigmen darah diserap sehingga semuanya
tampak seperti daging.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat terjadi proses
mumifikasi: janin mengering dan menjadi agak gepeng atau fetus compressus karena
cairan amnion yang diserap. Dalam tingkat lebih lanjut janin menjadi tipis seperti kertas

perkamen atau fetus papiraseus. Kemungkinan lain yang terjadi apabila janin yang
meninggal tidak dikeluarkan dari uterus yaitu terjadinya maserasi, kulit terkupas,
tengkorak menjadi lembek, dan seluruh janin berwarna kemerahmerahan (Sarwono, 2008).
e. Komplikasi abortus
Komplikasi yang berbahaya pada abortus adalah perdarahan, perforasi, infeksi, syok, dan
gagal ginjal akut.
1) Perdarahan
Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisasisa hasil konsepsi dan
jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila
pertolongan tidak diberikan pada waktunya.
2) Perforasi
Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita pelu diamati dengan teliti. Jika ada
tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparotomi, dan tergantung dari luas dan bentuk
perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi. Perforasi uterus pada
abortus yang dikerjakan oleh orang awam menimbulkan persolan gawat karena
perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi perlukaan pada kandung kemih
atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparotomi harus
segera dilakukan untuk menentukan luasnya cedera, untuk selanjutnya mengambil
tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi.
3) Infeksi
Infeksi dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi biasanya
ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada abortus buatan yang
dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis. Apabila infeksi menyebar lebih
jauh, terjadilah peritonitis umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.
4) Syok
Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan infeksi berat
(syok endoseptik).
5) Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut yang persisten pada kasus abortus biasanya berasal dari efek infeksi
dan hipovolemik yang lebih dari satu. Bentuk syok bakterial yang sangat berat sering
disertai dengan kerusakan ginjal intensif. Setiap kali terjadi infeksi klostridium yang
disertai dengan komplikasi hemoglobenimia intensif, maka gagal ginjal pasti terjadi.

Pada keadaan ini, harus sudah menyusun rencana untuk memulai dialysis yang efektif
secara dini sebelum gangguan metabolik menjadi berat (Cunningham, 2005).
f. Tatalaksana
Jika perdarahan (pervaginam) sudah sampai menimbulkan gejala klinis syok, tindakan
pertama ditujukan untuk perbaikan keadaan umum. Tindakan selanjutnya adalah untuk
menghentikan sumber perdarahan.
Tujuan dari penanganan tahap pertama adalah, agar penderita tidak jatuh ke tingkat
syok yang lebih berat, dan keadaan umumnya ditingkatkan menuju keadaan yang lebih balk.
Dengan keadaan umum yang lebih baik (stabil), tindakan tahap ke dua umumnya akan
berjalan dengan baik pula.
Pada penanganan tahap pertama dilakukan berbagai kegiatan, berupa :
a. Memantau tanda-tanda vital (mengukur tekanan darah, frekuensi denyut nadi, frekuensi
pernafasan, dan suhu badan).
b. Pengawasan pernafasan (Jika ada tanda-tanda gangguan pernafasan seperti adanya takipnu,
sianosis, saluran nafas harus bebas dari hambatan. Dan diberi oksigen melalui kateter
nasal).
c. Selama beberapa menit pertama, penderita dibaringkan dengan posisi Trendelenburg.
d. Pemberian infus cairan (darah) intravena (campuran Dekstrose 5% dengan NaCl 0,9%,
Ringer laktat).
e. Pengawasan jantung (Fungsi jantung dapat dipantau dengan elektrokardiografi dan dengan
pengukuran tekanan vena sentral).
f. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, golongan darah, jenis Rhesus, Tes
kesesuaian darah penderita dengan darah donor, pemeriksaan pH darah, pO2, pCO2 darah
arterial. Jika dari pemeriksaan ini dijumpai tanda-tanda anemia sedang sampai berat, infus
cairan diganti dengan transfusi darah atau infus cairan bersamaan dengan transfusi darah.
Darah yang diberikan dapat berupa eritrosit, jika sudah timbul gangguan pembekuan
darah, sebaiknya diberi darah segar. Jika sudah timbul tanda-tanda asidosis harus segera
dikoreksi.
g. Prognosis
Macam dan lamanya perdarahan menentukan prognosis kelangsungan kehamilan.
Prognosisnya menjadi kurang baik bila perdarahan berlangsung lama, mules mules disertai
dengan perdarahan dan pembukaan serviks. Jika kehamilan terus berlanjut, maka sering
diikuti dengan persalinan preterm, plasenta previa, dan IUGR.

II. KEHAMILAN EKTOPIK


DEFINISI
Kehamilan ektopik terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar
endometrium kavum uteri. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik
karena kehamilan pada pars interstisialis tuba dan kanalis servikalis masih termasuk dalam
uterus, tetapi jelas bersifat ektopik. Sebagian besar kehamilan ektopik berlokasi di tuba.
Sangat jarang terjadi implantasi pada ovarium, rongga perut, kanalis servikalis uteri, tanduk
uterus yang rudimenter dan divertikel pada uterus. Berdasarkan implantasi hasil konsepsi
pada tuba, terdapat kehamilan pars interstisialis tuba, kehamilan pars ismika tuba, kehamilan
pars ampularis tuba dan kehamilan infundibulum tuba.
ETIOLOGI
Sebagian besar penyebabnya tidak diketahui. Faktor-faktor yang memegang peranan
dalam hal ini ialah :
1. Faktor dalam lumen tuba :
a) Endosalpingitis dapat menyebabkan perlekatan endosalping, sehingga lumen tuba
menyempit atau membentuk kantong buntu.
b) Pada hipoplasia uteri lumen tuba sempit dan berlekuk-lekeuk dan hal ini sering disertai
gangguan fungsi silia endosalping akibat infeksi dan menyebabkan implantasi di tuba.
c) Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi sebab lumen tuba
menyempit
2. Faktor pada dinding tuba :
a) Endometriosis tuba dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam tuba
b) Divertikel tuba kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur yang
dibuahi di tempat itu
3. Faktor di luar dinding tuba :
a) Perlekatan peritubal dengan distorsi atau lekukan tuba dapat menghambat perjalanan
telur
b) Tumor yang menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba
4. Faktor lain :
a) Migrasi luar ovum, yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri-atau sebaliknya
(kontralateral) dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus;
pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi prematur
b) Fertilisasi in vitro

c) Pemakaian kontrasepsi dan IUD. Kehamilan ektopik meningkat apabila ketika hamil,
masih menggunakan kontrasepsi spiral (3 4%). Pil yang mengandung hormon
progesteron juga meningkatkan kehamilan ektopik karena pil progesteron dapat
mengganggu pergerakan sel rambut silia di saluran tuba yang membawa sel telur yang
sudah dibuahi untuk berimplantasi ke dalam rahim.
d) Merokok. Kehamilan ektopik meningkat sebesar 1,6 3,5 kali dibandingkan wanita
yang tidak merokok. Hal ini disebabkan karena merokok menyebabkan penundaan
masa ovulasi (keluarnya telur dari indung telur), gangguan pergerakan sel rambut silia
di saluran tuba, dan penurunan kekebalan tubuh.

ectopic pregnancy
EPIDEMIOLOGI
Frekuensi kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar ditentukan. Gejala kehamilan
ektopik terganggu yang dini tidak selalu jelas, sehingga tidak dibuat diagnosisnya. Tidak
semua kehamilan ektopik berakhir dengan abortus dalam tuba atau ruptur tuba. Sebagian
hasil konsepsi mati dan pada umur muda kehamilan diresorbsi. Di RSCM pada tahun 1987
terdapat 153 kehamilan ektopik diantara 4007 persalinan. Dalam kepustakaan frekuensi
kehamilan ektopik dilaporkan anatara 1 : 28 sampai 1 : 329 tiap kehamilan.
Sebagian besar wanita yang mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20-40
tahun dengan umur rata-rata 30 tahun. Frekuensi kehamilan ektopik yang berulang dilaporkan
berkisar antara 0%-14,6%.
PATOLOGI
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium untuk
rposes nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan mengalami
beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya. Karena tuba bukan merupakan suatu

media yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah, maka pertumbuhan dapat
mengalami beberapa perubahan dalam bentuk ini:
1. Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi.
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena vaskularisasi
kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini penderita tidak
mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari.
2. Abortus kedalam lumen tuba.
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah oleh vili korialis
pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari dinding tersebut
bersama-sama dengan robeknya pseudocapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian
atau seluruhnya, bergantung pada derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan
menyeluruh, mudigah dan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian
didorong oleh darah ke arah ostium tuba pars abdominalis. Frekuensi abortus dalam tuba
bergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus ke lumen tuba lebih sering terjadi
pada kehamilan pars ampularis, sedangkan penembusan dinding tuba oleh vili korialis
kearah peritoneum biasanya terjadi pada kehamilan pars isthmika. Perbedaan ini
disebabkan oleh lumen pars ampularis yang lebih luas sehingga dapat mengikuti lebih
mudah pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan dengan bagian isthmus dengan
lumen sempit.
3. Ruptur dinding tuba
Ruptur tuba sering terjadi bila ovum berimplintasi pada isthmus dan biasanya pada
kehamilan muda. Sebaliknya, ruptur pada pars interstitialis terjadi pada kehamilan lebih
lanjut. Faktor utama yang menyebabkan ruptur adalah penembusan vili korialis kedalam
lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur dapat terjadi secara spontan atau
karena trauma ringan seperti koitus dan pemeriksaan vaginal. Dalam hal ini akan terjadi
perdarahan dalam rongga perut, kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak sampai
menimbulkan syok dan kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula
perdarahan dalam lumen tuba. Darah dapat mengalir kedalam rongga perut melalui ostium
tuba abdominal.
Bila pada abortus dalam tuba ostium tuba tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi.
Dalam hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas, pecah karena tekanan
darah dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi diarah ligamentum itu. Jika janin hidup
terus maka terdapat kehamilan intraligamenter.

Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan
tuba kecil, perdatahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Perdarahan dapat
berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia dan syok
oleh karena hemorrhagia. Darah tertampung pada rongga perut akan mengalir ke kavum
Douglas yang makin lama makin banyak dan akhirnya memenuhi rongga abdomen. Bila
penderita tidak dioperasi dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin bergantung
pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih kecil, dapat
diresorbsi seluruhnya; bila besar, kelak dapat diubah menjadi litopedion.
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi kantung amnion dan
plasenta yang masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga akan
terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan bagi janin,
plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ke
bagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul dan usus.
MANIFESTASI KLINIS
Wanita dengan kehamilan tuba mempunyai bermacam-macam manifestasi klinis yang
bergantung pada keadaan ruptur. Diagnosis Teknologi yang tepat dapat diidentifikasi sebelum
ruptur. Secara khas, perempuan tidak curiga akan kehamilan tuba dan berpendapat bahwa ia
memiliki kehamilan yang normal, atau merasa keguguran. Gejala dan tanda pada KET
seringkali hampir tidak kentara atau bahkan tidak ada.
Tanpa diagnosis yang cepat, dengan karakteristik kasus menstruasi yang terlambat,
perdarahan vagina yang sedikit atau titik-titik. Dengan ruptur, biasanya menyebabkan sakit
perut abdomen bagian bawah dan nyeri pelvis yang runcing, tajam dan seperti menyobek.
Gangguan vasomotor yang ikut terlibat yaitu vertigo sampai pingsan, palpasi lembek pada
abdomen, dan pada pemeriksaan pelvis, khususnya terdapat nyeri goyang (+). Demikian
pula kavum Douglas menonjol dan nyeri pada perabaan oleh karena terisi oleh darah. Gejala
pada diafragma yang teriritasi, sesuai dengan nyeri pada leher atau bahu, khususnya sewaktu
inspirasi, mungkin pengaruh dari perdarahan intrapreitoneum.
Gejala dan Tanda:
a. Nyeri.
Pelvis dan nyeri Abdomen dilaporkan sekitar 95% pada kehamilan tuba. Dengan masa
gestasi yang terus maju, Dorfman dkk (1984) melaporkan bahwa gejala GastroIntestin

(80%) dan kepusingan kepala (58%) biasanya. Dengan ruptur, nyeri tidak terlokalisir di
abdomen.
b. Perdarahan abnormal.
Amenorrhea dengan beberapa spot vagina atau perdarahan dilaporkan oleh 60%-80%
wanita dengan kehamilan tuba. Mendekati kebenaran seperti menstruasi yang benar.
Walaupun sedalam-dalamnya perdarahan vagina itu menunjukkan akan terjadi aborsi
inkomplete, seperti perdarahan berkala yang terlihat dengan masa gestasi tuba.
c. Abdomen dan kelembutan pelvis.
Pada kehamilan ektopik non ruptur, kelembutan tidak biasa terjadi. Pada ruptur, kelembutan
abdomen sangat mencolok dan pemeriksaan vagina, khususnya dnegna nyeri goyang, itu
mampu menunjukkan lebih dari kehamilan yang keempat.
d. Perubahan uterin.
Walaupun minimal didiagnosa cepat, kemudian uterus mungkin didorong ke satu sisi oleh
masa ektopik. Uterus juga akan membesar karena stimulasi hormonal. Lambat laun
endometrium akan berubah menjadi desidua yang variable. Desidua uterus tanpa trofoblas
menandakan KEHAMILAN ECTOPIC, tetapi kehadiran dari pembuluh darah desidua
bukan termasuk tanda.
e. Tanda Vital.
Umumnya normal sebelum ruptur, respon pada perdarahan yang cukup tidak mengubah
tanda vital atau hanya sedikit meningkatkan Tekanan Darah, atau vasovagal respon dengan
bradikardi dan hipotensi. Birkhahn dkk (2003) mencarar pada 25 wanita dengan ruptur
kehamilan ektopik, mayoritas memperlihatkan curah jantung yang berkurang dari 100
denyut per menit dan tekanan darah sistoliknya lebih besar 100mmHg. Tekanan Darah akan
menurun dan detak jantung akan meingkat seiring dengan lanjutan dari perdarahan dan
hipovolemia menjadi berarti.
TATALAKSANA
Tatalaksana pada kehamilan tuba seringkali dilakukan salpingectomi untuk
menghilamgkan sampai menghancurkan, perdarahan oviduct dengan atau tanpa ipsilateral
oophorectomy. Tujuan pengobatan adalah meningkatkan kualitas hidup dari wanita.
Pengobatan konservatif dilakukan dengan diagnosis yang cepat pada ektopik pregnansi
memakai USG dan penentuan serum -HCG. Dahulu dilakukan dengan pembedahan secara

radikal, kemudian diikuti dengan teknik yang modern untuk mengobatan konservatif fungsi
tuba.
i. Laparaskopi
Adalah pengobatan yang lebih disukai pada tatalaksana kehamilan ektopik kecuali jika
pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik. Sampai sekarang hanya sedikit belajar cara
melakukan bedah laparatomi. Hajenius dkk menunjukkan Cochrane Database dan
meringkasnya:
- Tidak ada tanda-tanda yang berarti secara keseluruhan operasi tuba dilakukan dengan
laparoskopi kemudian salpingostony.
- Hasil Laparoskopi lebih sedikit waktu dalam operasinya, lebih sedikit kehilangan darah,
sedikit analgesik yang diperlukan, dan hanya sebentar di rumah sakit.
- Laparoskopi bedah sangat sedikit tetapi secara significant sedikit berhasil memecahkan
kehamilan tuba
- Biayanya sangat murah, walaupun beberapa pendapat mengatakan sama dengan
laparatomy.
Melalui pengalaman yang ada, kasus sebelumnya ditangani dengan laparotomisebagai contoh kehamilan tuba atau kehamilan interstitial- dapat ditangani dengan
laparoskopi.
Pembedahan tuba dianggap konsevatif karena menyelamatkan tuba. Radical surgery
ditunjukkan oleh salpingectomy. Pembedahan konsevatif dengan tetap memelihara fungsi
trofoblas.
ii. Salpingotomy
Jarang dilakukan pada saat ini, salpingotomy mempunyai kesamaan cara dengan
salpingostomy kecuali jika terdapat penundaan jahitan absorben. Menurut Tulandi dan Saleh
(1999), tak ada perbedaan prognosis dengan atau tanpa jahitan.
iii. Salpingectomy
Reseksi tuba dilakukan untuk kehamilan ektopik ruptur dan tak ruptur. Ketika
menghilangkan oviduk, harus dipertimbangkan untuk eksisi atau menghilangkan irisan ketiga
sebelah luar pada portio tuba. Ini disebut reseksi kornu, mampu meminimalisir kekambuhan
kehamilan di ujung tuba. Walaupun dengan reseksi kornu, bagaimanapun juga, kekambuhan
kehamilan berikutnya tak dapat dicegah.
Tatalaksana dengan Methotrexate

Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis DNA
dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate reduktase. MTX ini
akan menghentikan proliferasi trofoblas.
Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im) atau injeksi lokal dengan panduan
USG atau laparoskopi. Efek sampingyang timbul tergantung dosis yang diberikan. Dosis
yang tinggi akan menyebabkan enteritis hemoragik dan perforasi usus, supresi sumsum
tulang, nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia, dermatitis, pneumonitis, dan
hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan menimbulkan dermatitis, gastritis, pleuritis,
disfungsi hepar reversibel, supresi sumsum tulang sementara. Pemberian MTX biasanya
disertai pemberian folinic acid (leucovorin calcium atau citroforum factor) yaitu zat yang
mirip asam folat namun tidak tergantung pada enzim dihydrofolat reduktase. Pemberian
folinic acid ini akan menyelamatkan sel-sel normal dan mengurangi efek MTX pada sel-sel
tersebut.
Regimen yang dipakai saat ini adalah dengan pemberian dosis tungal MTX 50 mg/m2
luas permukaan tubuh. Sebelumnya penderita diperikasa dulu kadar hCG, fungsi hepar,
kreatinin, golongan darah. Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian MTX kadar hCG
diperiksa kembali. Bila kadar hCG berkurang 15% atau lebih, dari kadar yang diperiksa pada
hari ke-4 maka mTX tidak diberikan lagi dan kadar hCG diperiksa setiap minggu sampai
hasilnya negatif atau evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan USG transvaginal setiap
minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau sebaliknya meningkat dibandingkan kadar hari
ke-4 atau menetap selama interval setiap minggunya, maka diberikan MTX 50 mg/m2 kedua.
Stoval dan Ling pada tahun 1993 melaporkan keberhasilan metoda ini sebesar 94,3%. Selain
dengan dosis tunggal, dapat juga diberikan multidosis sampai empat dosis atau kombinasi
dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB.
Kontraindikasi pemberian MTX absolut adalah ruptur tuba, adanya penyakit ginjal
atau hepar yang aktif. Sedangkan kontraindikasi relatif adalah nyeri abdomen, FHB (+).
KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi :
1. Pada pengobatan konservatif, yaitu rupture tuba telah lama berlangsung (4-6 minggu),
terjadi perdarahan berulang
2. Infeksi
3. Sub ileus karena massa pelvis
4. Sterilitas

PROGNOSIS
Kematian karena KET cenderung menurun dengan diagnosis dan fasilitas daerah yang
cukup, ada yang menyebutkan 30%. Hanya 60% dari wanita yang pernah KET hamil lagi.
Angka kehamilan ektopik berulang dilaporkan 0-14,6%. Kemungkinan melahirkan bayi
cukup bulan sekitar 50%.
III. MOLA HIDATIDOSA
DEFINISI
Mola hidatidiform diartikan sebagai suatu kehamilan yang tak berkembang wajar
dimana tidak diketemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan
berupa degenerasi hidropik. Secar amakroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu
gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi
dari beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm.

MOLA HIDATIDOSA
ETIOLOGI
Penyebab bagi mola hidatidosa sampai sekarang masih belum diketahui. Diperkirakan
bahawa faktor-faktor seperti gangguan pada telur, kekurangan gizi pada ibu dan kelainan
rahim berhubungan dengan peningkatan angka kejadian mola. Wanita dengan usia di bawah
20 tahun atau di atas 40 tahun juga berada dalam risiko tinggi. Mengkonsumsi makanan
rendah protein, asam folat dan karoten juga meningkatkan risiko terjadinya mola walaupun
patofisiologinya tidak sepenuhnya difahami.
EPIDEMIOLOGY
Frekuensi mola hidatidosa dilaporkan sangat bervariasi. Beberapa variabilitas ini
dapat dijelaskan oleh perbedaan dalam metodologi (misalnya rumah sakit vs studi populasi).
Di Amerika Serikat, mola hidatidosa terjadi dalam 1 dari 1200 kehamilan. Di Indonesia,

menurut Guru Besar Tetap Obstetri-Ginekologi FK Universitas Indonesia, Profesor DR. dr.
Andrijono SpOG (K), peristiwa hamil anggur ini terjadi berkisar 1 dari 40 sampai 400
kehamilan. Angka ini didapatkan saat melakukan penelitian mengenai Peningkatan Status
Gizi Khususnya Vitamin A, Merupakan Salah Satu Upaya Peningkatan Kesehatan
Reproduksi Melalui Upaya Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier Mola Hidatidosa yang
dijalankan selama 16 tahun mulai tahun 1990 sampai 2006
Mola ini dapat terjadi pada setiap usia selama usia subur, tetapi risikonya lebih tinggi
pada wanita hamil yang berusia belasan atau antara 40 dan 50 tahun. Karena alasan yang
belum jelas, insidennya bervariasi secara significant di berbagai belahan dunia; 1 dari 1000
kehamilan di AS, tetapi 10 dari 1000 di Indonesia.
PATOGENESIS
Kira-kira 1 diantara 10 kehamilan berakhir dengan abortus spontan dan pada separuh
abortus ini terdapat perkembangan ovum atau fetus yang patologis atau blighted.
Pada blighted ovum tampak jaringan plasenta mengalami berbagai tingkat degenerasi
hidropik dan pada pemeriksaan mikroskopik villus tersebut tidak diketemukan sirkulasi fetal
atau perkembangannya tidak sempurna.
Akibat gangguan sirkulasi tersebut, terjadi edema. Cairan yang tidak dapat diserap
mengakibatkan pembengkakakn.
Jadi vilus-vilus yang mengalami degenerasi hidropik merupakan tanda adanya
blighted ovum. Mola hydatidosa merupakan lanjutan degenerasi hidropik pada blighted
ovum. Abortus akibat blighted ovum biasanya keluar 3 bulan pertama, sedangkan
gelembung-gelembung mola baru dikeluarkan pada kehamilan 4-5 bulan. Umumnya mola
ditemukan dalam uterus, tetapi dapat juga ditemukan pada tempat ektopik. Bila diketahui,
biasanya setelah kehamilan 4-5 bulan, uterus lebih besar daripada umur kehamilan.
Uterus berisi kelompok-kelompok jaringan seperti buah anggur, kistik, berdinding
tipis dan mudah pecah dengan keluarnya cairan jernih. Kelompok jaringan seperti ini diikat
oleh jaringan fibrotik yang halus. Gambaran mikroskopik menunjukkan:

Vilus-vilus yang membesar


Stroma menunjukkan edema
Stroma yang tidak mengandung pembuluh darah atau jumlahnya berkurang
Hiperplasi dan anaplasi epitel chorion, yaitu sitotrophoblast (sel Langhans) dan
synsitiotrophoblast.4

Karena proliferasi epitel chorion ini, maka produksi HCG bertambah 10x lipat.

Gambar 2.Fotomikrograf mola hidatidiform yang memperlihatkan pembengkakan vilus dan


sedikit hiperplasia trofoblast permukaan.5
GEJALA KLINIS
Pada permulaannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan kehamilan
biasa, yaitu mual, muntah, pusing dan lain-lain, hanya saja derajat keluhannya sering hebat.
Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga pada umumnya besar uterus lebih besar dari
umur kehamilan. Ada pula kasus-kasus yang uterusnya lebih kecil atau sam besar walaupun
jaringannya belum dikeluarkan. Dalam hal ini perkembangan jaringan trofoblas tidak begitu
aktif sehingga perlu dipikirkan adanya jenis dying mole.
Perdarahan merupakan gejala utama mola. Biasanya keluhan perdarahan inilah yang
menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara
bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan bisas
intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau kematian.
Karena perdarahan ini umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia.
Seperti juga pada kehamilan biasa, mola hidatidosa bisa disertai dengan preeklampsia
(eklampsia), hanya perbedaannya ialah bahwa preeklampsia pada mola terjadinya lebih muda
daripada kehmilan biasan. Penyulit lain yang akhir akhir ini banyak dipermasalahkan adalah
tirotoksikosis. Maka, Martadisoebrata menganjurkan agar stiap kasus mola hidatidosa dicari
tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif seperti kita selalu mencari tanda tanda preeklampsia
pada kehamilan biasa. Biasanya penderita meninggal karena krisis tiroid.
TATALAKSANA
Tatalaksana Mola hidatidiform terdiri dari 4 tahap berikut:
1. Perbaikan Keadaan Umum

Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfusi darah untuk memperbaiki
syok atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsia atau
tirotoksikosis.
2. Pengeluaran Jaringan Mola
Ada 2 cara, yaitu:
a) Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa pembiusan. Untuk
memperbaiki kontraksi diberikan pula uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan
kuretase dengan menggunakan sendok kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret cukup
dilakukan 1 kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya dilakukan bila ada indikasi.
b) Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada perempuany ang telah cukup umur dan cukup
mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua dan paritas
tinggi merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai
adalah umur 35 tahun dnegan anak hidup tiga.
c) Pemeriksaan tindak lanjut
Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah mola
hidatidosa. Tes hCG harus mencapai nilai NORMAL setelah 8 minggu evakuasi. Lama
pengawasan berkisar satu tahun. Selama periode 8 minggu dianjurkan tidak menggunakan
kondom, diafragma, dll.
KOMPLIKASI
Choriocarcinoma gestational
Merupakan neoplasma ganas epitel sel trophoblastik yang berasal dari segala bentuk
kehamilan normal atau abnormal sebelumnya. Biasa didapatkan mola komplet yang
memperlihatkan pembengkakan hidropik sebagian besar villus korion sementara
vaskularisasi vilus hampir tidak ada sama sekali atau kurang adekuat. Mola komplet yang
lanjut memperlihatkan spektrum klasik pembengkakan villus difus dan ekstravillus yang
konsentrik dan ekstensif yang dapat menyebabkan Choriocarcinoma.
PROGNOSIS
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah jantung
atau tirotoksikosis. Dinegara maju kematian karena mola hampir tidak ada lagi. Di negara
berkembang, masih cukup tinggi, berkisar antara 2,2% dan 5,7%. Sebagian besar pasien mola

akan segera sehat setelah jaringannya dikeluarkan, tetapi ada juga yang menderita akibat
keganasan menjadi koriokarsinoma. Presentasi keganasan berkisat antara 55,6%.
KESIMPULAN
Perdarahan pada kehamilan muda pada kasus tidak dapat didiagnosa kerja karena
mempunyai manifestasi klinis yang hampir sama, yaitu perdarahan yang keluar dari vagina.
Maka, dari itu dapat digunakan diagnosis banding yang mungkin pada kasus. Dalam hal ini,
diagnosis juga ditetapkan dengan pemeriksaan lebih lanjut/ pemeriksaan penunjang yang
memadai.

DAFTAR PUSTAKA
1. Endjun JJ. Ultrasonografi Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
UI. 2007. H 70-8.
2. Saiffuddin BA. Perdarahan pada kehamilan muda. Dalam: Ilmu Kebidanan. Ed 4.
Jakarta: Penerbit PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011.h 460-7.
3.

Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Ectopic Pregnancy. In William Obstetric

20th Ed. Appleton Lange, 1997, p 511-26.


4. Mangunkusumo RR. Alat Kelamin Wanita dan Payudara. Dalam : Staf Pengajar FK
UI. Patologi Umum. Edisi Revisi. 1990. h 324-8.
5. Robbins & Contran. Dasar Patologis Penyakit. Ed 7. Jakarta: EGC Kedokteran. 2009.
h. 1134.

Anda mungkin juga menyukai