Latar Belakang
Anyelir atau carnation (Dianthus sp.) merupakan salah satu tanaman hias
penting (Leshem 1990; Fisher et al. 1993). Menurut Plasmeijer & Yanai (2006)
dalam laporan Market News Service di Asia dan Eropa, pasar anyelir menduduki
ranking ke 4 setelah mawar, krisan dan garbera. Sementara di Indonesia menurut
data Biro Pusat Statistik 2012 produksi tanaman anyelir di Indonesia masih sangat
rendah, menempati urutan ke enam setelah krisan, mawar, sedap malam, gladiol
dan gerbera.
Salah satu kendala dalam sistem usaha tani anyelir domestik adalah
ketergantungan benih dari luar negeri. Benih sangat penting dalam budidaya
anyelir, karena 30-35% biaya produksi digunakan untuk pembelian benih (BI
2004). Benih anyelir didatangkan dari Belanda, Spanyol dan Vietnam (Satsijati et
al. 2004). Untuk mengatasi masalah ketergantungan penggunaan benih impor,
maka perlu upaya untuk merakit kultivar unggul yang memiliki nilai kompetisi
yang tinggi di pasaran. Hal ini penting untuk mengoptimalkan keuntungan yang
diterima petani. Optimasi keuntungan dapat diperoleh melalui peningkatan
efisiensi produksi. Situasi ini akan menjadi tantangan serius bagi para pemulia
untuk saling berlomba mendapatkan kultivar unggul baru, agar industri tanaman
hias menjadi tangguh (Marwoto et al. 1995).
Tanaman haploid menarik perhatian utama para ahli genetika dan pemulia
tanaman, karena melalui penggandaan kromosom akan diperoleh tanaman haploid
ganda yang homosigot. Tanaman homosigot dapat diperoleh secara konvensional,
tetapi diperlukan prosedur lebih dari enam kali generasi inbreeding, sedangkan
melalui teknologi haploid dapat dicapai dalam satu kali generasi.
Haploid merupakan istilah umum untuk tanaman
yang mengandung
jumlah kromosom gamet (n). Pada tanaman diploid (2n), haploid dapat disebut
dengan monoploid (x) karena hanya memiliki satu set kromosom. Pada tanaman
poliploid, haploid (n) yang memiliki lebih dari satu set kromosom disebut dengan
polihaploid. Tanaman haploid dari autotetraploid (2n=4x) memiliki empat set dari
satu genom yang disebut dengan dihaploid (karena n = 2x). Jika jumlah
kromosom haploid (n=x) digandakan, disebut dengan double haploid atau haploid
ganda dan bukan dihaploid. Dihaploid bukan homosigus karena mewakili dua set
2
kromosom terseleksi dari empat set dalam autotetraploid, sedangkan haploid
ganda dari monoploid atau suatu allohaploid pasti homosigus lengkap (Kasha
2005).
Tanaman haploid ganda memiliki beberapa kegunaan dalam program
pemuliaan, yaitu digunakan sebagai tetua dalam pembentukan varietas hibrida F1
dan untuk studi pewarisan karakter. Haploid ganda juga bermanfaat dalam proses
seleksi, terutama untuk karakter-karakter poligenik, karena rasio genetiknya
menjadi lebih sederhana. Kegunaan lain yaitu untuk
mendapatkan genotipe
tertentu dan jumlah tanaman yang ditapis lebih sedikit. Selain itu tanaman haploid
ganda berguna untuk studi yang terkait dengan karakter resesif, karena sifat
resesif dapat terekspresi pada fenotipe tanaman. Menurut Reinert et al. (1975)
tanaman haploid berguna untuk studi mutasi dan seleksi.
Proses untuk mendapatkan tanaman haploid yang biasanya berasal dari sel
diploid (2n) dikenal dengan nama haploidisasi. Beberapa upaya telah dilakukan
untuk memproduksi tanaman haploid, diantaranya ialah persilangan tanaman
kerabat jauh, perlakuan fisik dan kimiawi, penggunaan serbuk sari yang diiradiasi
dan
penundaan
penyerbukan.
Dengan
makin
banyaknya
teknik
yang
3
melainkan membentuk embrio. Induksi perkembangan sel sporofitik hanya
mungkin dilakukan pada tahap awal perkembangan serbuk sari, pada saat serbuk
sari memperlihatkan totipotensi (Toraev et al. 2001).
Aplikasi kultur antera atau serbuk sari pada tanaman hias sampai saat ini
masih terbatas. Beberapa tanaman yang telah dilaporkan menggunakan teknik ini,
di antaranya Lilium sp. (van den Bulk et al. 1992; Han et al. 1997), Tulipa sp.
(van den Bulk et al. 1994), Helianthus sp. (Coumans & Zhon, 1995), Petunia
(Mohan & Bhalla-Shari, 1997), dan Camelia japonica (Pedroso & Pai, 1997).
Meskipun kultur antera di beberapa spesies telah dilakukan untuk induksi
embriogenesis somatik (Achar 2002; German 2003; Kikkert et al. 2005;
Rimberia et al. 2005), tetapi hanya sedikit laporan hasil penelitian mengenai
kultur antera anyelir (Dolcet-Sanjuan et al. 2001).
Upaya untuk mendapatkan tanaman haploid pada tanaman anyelir sudah
dilakukan oleh Fu et al. (2008) melalui kultur antera. Namun tidak diperoleh
tanaman haploid maupun haploid ganda. Hasil analisis histologi menunjukkan
bahwa tanaman berasal dari dinding sel antera, dengan konstitusi genetik diploid
dan tetraploid. Ketidakberhasilan induksi tanaman haploid dari antera ini
kemungkinan disebabkan oleh belum tepatnya stadia mikrospora, belum tepatnya
media yang digunakan, praperlakuan dan kombinasinya yang belum sesuai atau
kemungkinan penggunaan metode androgenesis tidak tepat. Untuk mendapatkan
tanaman haploid, metode lain seperti ginogenesis dan penggunaan serbuk sari
yang diiradiasi untuk pseudofertilisasi perlu dipelajari.
Pada beberapa penelitian, ginogenesis merupakan metode alternatif lain
untuk memperoleh tanaman haploid. Ginogenesis mirip dengan partenogenesis
apomiktik, sehingga pemahaman proses yang mengatur embriogenesis spontan
(terjadi tanpa fertilisasi),
4
et al. 1982), Hordeum vulgare (Huang et al. 1982), Melandrium album (Mol
1992) dan Nicotiana tabacum (Wu & Chen 1982).
Partenogenesis yang diinduksi dengan serbuk sari yang diiradiasi juga
dapat menghasilkan tanaman haploid. Pseudofertilisasi dengan memanfaatkan
serbuk sari yang diradiasi diikuti dengan penyelamatan embrio
yang
meningkatkan variasi pada anyelir. Banyak pola pewarisan karakter pada anyelir
yang belum terungkap karena bersifat resesif, sehingga dengan teknologi haploid
ini akan diperoleh karakter-karakter lain yang selama ini tertutupi oleh karakter
yang dominan.
Mengingat aplikasi teknologi ini pada tanaman anyelir masih jarang,
maka pengembangan penelitian ini akan dimulai dari studi tanaman donor, kajian
khusus mengenai biologi bunga dan perkembangannya (morfologi, histologi
maupun mikroskopi), perkembangan serbuk sari dan ovul, metode isolasi;
pengembangan media inisiasi, regenerasi dan pemasakan embrio; perkecambahan
embrio; analisis ploidi akan menjadi hal penting yang akan dikaji dan dipelajari
dalam pengembangan teknologi haploid pada anyelir. Dari berbagai kajian
mendasar tersebut diharapkan pada akhir studi dapat ditemukan teknologi haploid
anyelir yang efektif, efisien, dapat diulang dengan hasil yang sama (reproducible)
dan mudah diulang (repeatable).
5
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ialah mendapatkan teknologi haploidisasi yang
sesuai untuk pembentukan tanaman haploid
Hipotesis
1. Stadia kuncup bunga dengan serbuk sari pada stadia late uninukleat dan ovul
pada stadia
6
1. Protokol
kultur
ovul
dan
pseudofertilisasi
dapat
digunakan
untuk
7
Bagan alir penelitian