NAMA
: NURUL FAUZI
NPM
: 1406609431
No. Absen
: 93
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
Lembaga ekonomi yang berupa peternakan milik habibah mempunyai tujuan menghasilkan
keuntungan. Lembaga ini akan menghalangi siapa saja yang akan melakukan tindakan yang dapat
merugikannya. Peternakan habibah menganggap pencurian ayam merupakan tindakan yang dapat merugikan
peternakan tersebut sehingga mereka melaporkan perbuatan tersebut kepada yang berwenang. Adapun
Keluarga kedua bocah meiliki tujuan anggotanya dapat hidup dengan tenang sehingga mereka meminta
perdamaian terhadap peternakan habibah. Lembaga hukum memiliki kepentingan menegakkan setiap norma
hukum yang berlaku agar tetap berjalannya roda sosial kemasyarakatan dengan lancar. Polisi sebagai salah
satu lembaga hukum memroses kasus pencurian ayam yang disangkakan kepada kedua bocah tersebut. Dalam
hal ini, terlihat bahwa semua lembaga tersebut melakukan interaksi satu sama lain sebagai wujud proses sosial
di dalam masyarakat.
HUKUM DAN MASYARAKAT
Hukum merupakan norma yang terdapat dalam setiap lembaga kemasyarakatan. Selain menjadi norma
yang hidup dalam lembaga-lembaga tersebut, hukum juga merupakan lembaga kemasyarakatan tersendiri.
Lembaga kemasyarakatan hukum memiliki kebutuhan untuk menegakkan hukum yang ada. Lembaga
kemasyarakatan hukum terdiri dari polisi, jaksa, hakim, pengacara dan semua orang yang memiliki
kepentingan dan kewajiban menegakkan hukum. Jadi, dalam proses sosial di masyarakat,terdapat dwi fungsi
hukum, yaitu hukum sebagai sesuatu yang hidup dalam lembaga-lembaga masyarakat, dan hukum yang
merupakan lembaga kemasyarakatan.
Dalam kasus pencurian yang menjerat kedua bocah tersebut, terdapat tiga anggota lembaga hukum
yaitu: kepolisian, jaksa penuntut umum dan hakim. Kepolisian merupakan lembaga yang bertugas menjaga
keamanan serta ketentraman dalam masyarakat. Kepolisian menjaga agar tidak terjadi suatu perbuatan yang
bersifat deviasi dalam masyarakat. Deviasi merupakan penyimpangan terhadap norma dan kaidah hukum
yang ada. Ketika terjadi tindakan deviasi yang dilakukan oleh anggota masyarakat, kepolisian akan melakukan
tindakan yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Dalam kasus di atas, kepolisian merupakan pihak yang
berwenang memroses tindakan pencurian yang dilakukan oleh kedua bocah tersebut. Setelah polisi
menetapkan tersangka kepada kedua bocah tersebut, Kasus tersebut kemudian diberikan kepada kejaksaan.
Jaksa penuntut umum bertugas membuktikan kebenaran perbuatan yang disangkakan kepada pelaku.
Dalam hal ini, seolah-olah bagi jaksa berlaku motto semua tindakan pelaku adalah salah dan harus
dihukum. Jaksa diberikan tugas oleh negara sebagai wakil dari negara dalam menuntut perbuatan yang
dilakukan oleh pelaku. Dalam hal ini, negara sebagai pihak penuntut memiliki kepentingan agar kehidupan
dalam masyarakat berjalan dengan lancar dan tidak terjadi kerusuhan.
Dalam proses persidangan, hakim menjadi ujung tombak dari penegakan hukum agar keadilann dan hukum
dapat ditegakkan. Hakim bertugas menjalankan ketentuan hukum yang ada yang dengan memberikan
keputusan akan kasus tersebut dengan mengindahkan nilai-nilai di luar hukum sehingga dapat ditampungnya
rasa keadilan masyarakat dalam putusnnya.
Peran dan fungsi yang dimiliki oleh kejaksaan dan kepolisisan serta hakim dalam kasus ini menunjukkan
bahwa lembaga hukum memiliki tugas yang sangat penting dalam proses sosial. Hal ini karena hukum berada
di tengah-tengan roda interaksi sosial yang terjadi di antara semua lembaga kemasyarakatan. Hukum
mengatur bagaimana salah satu lembaga kemasyarakatan melakukan interaksi dengan lembaga yang lainnya.
Denagn demikian, hukum dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat. Tanpa hukum, roda
kehidupan sosial kemasyarakatan akan berjalan dengan pincang karena tiada ketentuan yang mengatur
bagaimana satu sama lain seharusnya melakukan interaksi.
Kasus yang menimpa kedua bocah berumur 13 tahun tersebut menunjukkan bahwasanya hukum
merupakan alat yang digunakan untuk melakukan pengendalian sosial. Pada dasarnya, semua lembaga
kemasyarakatan memiliki fungsi pengendalian sosial terhadap anggota-anggotanya. Namun, pengendalian
sosial yang dimiliki oleh lembaga hukum memiliki porsi yang lebih banyak karena semua lembaga telah
memberikan persetujuannya terhadap hukum sebagai sesuatu yang mengatur mereka semua.
Pengendalian sosial yang dimiliki oleh hukum ini bertujuan agar tidak terjadi suatu deviasi yang dapat
mengakibatkan masalah sosial dalam masyarakat serta berfungsi sebagai penyembuh terhadap masalah sosial
yang ada agar tetap tercapainya kehidupan yang rukun dan lancar dalam masyarakat. Dalam kasus ini,
pencurian yang disangkakan terhadap kedua anak tersebut merupakan suatu perbuatan yang melenceng dari
aturan yang ada dalam masyarakat. Dalam masyarakat, seseorang tidaklah boleh mengambil barang yang
bukan milik dan haknya. Ketika ia mengambil barang bukan haknya, maka ia telah melakukan suatu deviasi
terhadap norma yang ada. Perbuatan yang melenceng dari norma yang ada tersebut akan dikenakan sanksi
oleh ketentuan hukum yang ada. Ketika ketentuan hukum dijalankan untuk menyelesaikan suatu perbuatan
yang meruapakan penyimpangan sosial, maka hukum telah berfungsi sebagai social control dan social
engineering.
Social engineering serta social control yang diemban oleh hukum berfungsi sebagai mekanisme
penyelesaian persengketaan atau sebagai lambang agar tercapai keadaan damai (Soekanto, 1978:83). Fungsi
hukum sebagai mekanisme penyeesaian persengketaan atau lambang agar terjadi keadaan damai merupakan
fungsi akomodasi yang dimiliki oleh hukum. Adanya fungsi akomodasi yang dimiliki oleh hukum inilah yang
membuat hukum memiliki kedudukan istimewa serta hubungan yang sangat erat dengan lembaga
kemasyarakatan yang lain.
Walaupun hukum memiliki hubungan yang sangat erat dengan lembaga kemasyarakatan yang lain,
Hubungan masyarakat dengan hukum ternyata tidak selalu berjalan dengan baik. Dalam kasus di atas,
Ketentuan hukum mengatakan bahwasanya setiap orang yang mencuri haruslah dikenakan pidana tertentu.
Undang-undang menghendaki setiap orang yang melakukan ketentuan yang dianggap dan dirumuskan sebagai
kejahatan haruslah dihukum tanpa memerhatikan status ataupun kedudukan pelaku. Menurut undang-undang,
kedua bocah tersebut haruslah dikenakan pidana karena telah berusaha melakukan perbuatan pencurian ayam.
Undang-undang tidaklah mengindahkan bahwasanya pelaku yang didakwakan tindak pidana kepadanya
merupakan anak-anak kecil yang masih di bawah umur. Undang-undang juga tidak mengindahkan
bahwasanya telah terjadi perdamaian antara kedua belah pihak, namun karena menurut undang-undang
pencurian adalah delik biasa dan bukan merupakan delik aduan maka proses hukum tidaklah dapat berhenti
walaupun sudah terdapat pemaafan dari pihak yang dirugikan.
Semua hal tersebut dapat terjadi karena undang-undang adalah teks normatif yang bersifat kaku. Kekakuan
ini memang sengaja dibuat agar undang-undang dapat berlaku secara umum dari mulai waktu diundangundangkannya peraturan tersebut. Yang bertugas untuk menghidupkan teks mati tersebut adalah penegak
hukum. Penegak hukum harus menghidupkan teks mati tersebut agar dapat dijalankan dalam dan sesuai rasa
keadilan masyarakat. Jika para penegak hukum tidaklah dapat menghidupkan undang-undang sesuai dengan
rasa keadilan masyarakat maka undang-undang hanya akan berupa aturan prosedural yang tidak dapat
memberi kenyamanan dan tidak dapat mendapat respon baik dari masyarakat yang diwajibkan mengikuti
aturan tersebut.
Para penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim tidak boleh hanya bersikap sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam undang-undang semata. Jaksa penuntut misalnya, dalam kasus ini memang harus
melakukan tuntutan terhadap terdakwa karena memang itulah tugas jaksa penuntut. Namun, dalam melakukan
tuntutan, jaksa seharusnya melihat keadaan pelaku yang masih di bawah umur. Tuntutan 3,5 tahun sebagai
pidana yang dikenakan terhadap percobaan pencurian beberapa ekor ayam yang dilakukan oleh anak di bawah
umur tidaklah sesuai dengan keadilan masyarakat. Beberapa ayam yang harganya tidaklah seberapa dihargai
dengan 3,5 tahun penjara sangatlah tidak masuk akal. Jika pelaku secara terbukti melakukan percobaan tindak
pidana maka pelaku memang harus dikenakan hukuman. Namun, hukuman yang dituntutkan kepada pelaku
bukanlah hukum yang bersifat pembalasan (retributif) tetapi seharusnya hukuman yang bersifat restoratif
karena melihat kondisi para pelaku yang masih berusia 13 tahun.
Tuntutan 3.5 tahun penjara kepada pelaku tidak dapat diterima oleh rasa keadilan masyarakat. Dugaan
percobaan pencurian ayam ternyata berbalas sama dengan perbuatan mencuri uang negara. Pencurian uang
negara / korupsi bahkan dapat dihukum dengan penjara yang lebih pendek. Hal ini akan menimbulkan kesan
bahwa hukum dapat dibeli oleh orang yang berduit sehingga masyhurlah hukum tajam ke bawah tumpul ke
atas, bahkan prof. soerjono soekanto dalam hipotesanya mengatakan bahwa semakin tinggi kedudukan
seseorang dalam startifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya, dan semakin rendah kedudukan
seseorang dalam stratifikasi, semakin banyak hukum yang mengaturnya (Soekanto, 2012:94).
Pembedaan kelas sosial di depan hukum sama sekali tidak dapat dibenarkan dan dibiarkan begitu saja.
Hukum mengenal akan asas equality before the law yang berarti semua orang harus disetarakan di depan
hukum. Pembedaan status seseorang dalam hukum mungkin dapat terjadi namun bukan karena faktor
kedudukan sosialnya, tetapi karena faktor kewajiban yang diberikan kepadanya. Misalnya seorang yang diberi
tanggung jawab oleh undang-undang sebagai kepala pemerintahan atau pegawai negari sipil, baginya berlaku
ketentuan hukum yang berbeda dari masyarakat umum karena faktor tanggung jawab yang diembannya.
Dalam hukum adat misalnya, terjadi pembedaan sanksi hukum antara penguasa dan anggota masyarakat
biasa. Pembedaan tersebut disebabkan adanya orientasi hukum adat terhadap kedudukan, yang berarti lebih
tinggi kedudukan seseorang, lebih berat hukuman yang diterapkan padanya .
Jika jaksa tetap ingin menuntut pelaku , hal tersebut tidak disalahkan sepanjang jaksa dapat membuktikan
bahwa para pelaku telah melakukan tindakan-tindakan yang dirumuskan dalam undang-undang. Namun,
hukuman yang diberikan kepada kedua pelaku seharusnya adalah hukuman yang dapat membangun.
Hukuman yang dengan tujuan membangun ini merupakan hukum yang bersifat restoratif, bukan hukum yang
bersifar retributif, yaitu hukuman yang ditujukan sebagai sebuah hukuman sebagai ganti rugi maupun hukum
yang bersifat pembalasan. Jaksa seharusnya melihat bahwasanya sebaiknya anak-anak mendapat hukuman
yang bertujuan membangun jiwa mereka kembali agar bisa menjadi orang yang bermoral bukan dengan malah
menuntut pidana penjara yang merupakan hukuman yang bersifat sebagai pembalasan. Jika anak-anak
dimasukkan dalam penjara, hukuman tersebut tidak akan mengubah sikap mereka kepada yang lebih baik.
Tugas menjalankan teks mati undang-undang agar sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat berada
pada tangan hakim. Dalam persidangan, hakim bertugas memberi keputusan tentang kasus yang sedang di
proses dalam persidangan tersebut. Hakim sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari undang-undang.
Hakim bertugas menjalankan undang-undang tersebut. Namun, dalam tugasnya sebgai seorang kaki-tangan
undang-undang, hakim diberikan kewenangan melakukan penafsiran terhadap suatu undang-undang.
Kewenangan yang dimiliki oleh hakim tersebut diberikan agar hakim dapat menerapkan undang-undang
sesuai dengan rasa keadilan. Jika hakim tidak diberikan kewenagangan interpretasi, undang-undang akan
dijalankan sebagai sesuatu yang absolut dan tidak melihat unsur-unsur selain ketentuan hukum yang ada,
sehingga menyebabkan undang-undang tidak dapat mengakomodir rasa keadilan masyarakat. Hal seperti ini
akan membuat hubungan masyarakat dengan hukum tidak berjalan dengan baik sehingga dapat terjadi
ketidakpercayaan terhadap aturan atau hukum yang berlaku. Ketidakpercayaan ini berimbas hukum tidak akan
benar-benar dijalankan oleh masyarakat. Ketika undang-undang sebagai produk hukum tidak dijalankan oleh
masyarakat dan hanya dianggap sebagai tulisan hitam di atas putih semata, hal tersebut menunjukkan bahwa
undang-undang secara filosofis sudah tidak berlaku lagi dalam masyarakat.
Sebenarnya, Para penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan serta hakim dapat mempertimbangan
penggunaan asas diskresi agar hukum dapat berjalan bersama-sama dengan keadilan masyarakat. Diskresi
pada pihak kepolisian dapat terjadi ketika polisi mengetahui kasus pencurian yang dilakukan oleh kedua
pelaku dengan adanya laporan dari keponakan korban. Laporan yang sudah berada di tangan kepolisian
tersebut dapat dihentikan jika kedua belah pihak telah melakukan perdamian, walaupun kasus yang dilaporkan
kepada polisis tersebut merupakan delik biasa dan bukan delik aduan yang dapat dihentikan jika pengadu
mencabut aduannya.Alasan yang dapat digunakan oleh polisi dalam menghentikan kasus ini adalah alasan
kemanfatan. Kasus tersebut jika terus diproses akan memakan waktu yang lama serta biaya yang tidak
sedikit pula. Maka berdasarkan akan alasan manfaat atau tidaknya pemrosesan tersebut, polisi dapat
menghentikan kasus tersebut.
Jika kasus tersebut sudah diberikan kepada kejaksaan, dan kejaksaan sudah memrosesnya, kejaksaan juga
dapat membuat jalan alternatif yang memberikan rasa keadilan. Caranya adalah dengan tidak menuntut kedua
terdakwa karena adanya unsur perdamaian yang terjadi di antara kedua belah pihak atau menuntut terdakwa
bukan dengan hukuman yang bersifar retributif melainkan hukuman yang bersifat restoratif. Jika para pelaku
dijerat dengan hukuman yang bersifat restoratif, hal tersebut akan membuat sikap pelaku dapat diperbaiki
sehingga mereka dapat menjadi manusia yang baik kembali. Dalam ilmu kriminologi, tidak ada manusia yang
terlahir sebagai orang jahat, namun manusia dapat menjadi orang jahat karena didikan lingkungan sekitarnya.
Didikan yang salah inilah yang harus diganti dengan didikan yang baik, sehingga manusia tersebut dapat
menjadi pribadi yan baik kembali.
Jika jaksa telah menuntut pelaku dengan hukuman yang bersifat retributif, peran untuk menegakkan
keadilan berada pada tangan hakim. Hakim harus membuat keputusan yang adil. Dalam membuat keputusan,
hakim tidak boleh berkacamata kuda kepada ketentuan undang-undang semata, tetapi juga harus
memerhatikan aspek-aspek lainnya. Jika hakim memutus hanya berdasarkan atas apa yang ada dalam undangundang, putusan tersebut tidak akan memuat rasa keadilan masyarakat karena undang-undang yang dijadikan
patokan olehnya merupakan teks yang bersifat kaku dan tidak dapat begitu saja mengakomodir keadilan
masyarakat. Keadilan masyarakat baru dapat diakomodir oleh undang-undang jika hakim menggunakan
interpretasinya maupun pertimbangan-pertimbangannya sesuai rasa keadilan yang dimilikinya. Dengan
demikian, undang-undang membutuhkan peran aktif hakim dalam mewujudkan keadilan masyarakat tersebut.
Selain itu, dalam menentukan putusan hakim juga dapat mempertimbangkan akan adanya perdamaian yang
terjadi antara pelaku dengan korban, sehingga hakim dapat membuat keputusan yang berisi tiadanya
hukuman karena adanya perdamaian. Hal ini dapat berlaku jika hakim mempertimbangkan bahwa hukum
pidana merupakan ultimum remidium / senjata pamungkas bukan premium remidium. Dalam sifatnya sebagai
ultimum remidium, hukum pidana baru akan bekerja ketika terjadi deadlock antara para pihak yang terkait.
SARAN
Pertimbangn-pertimbangan di luar ketentuan hukum tersebut seharusnya dpat diindahkan oleh hakim,
jaksa serta polisi. Mereka semua tidak boleh hanya melihat ketentuan yang terdapat dalam undang-undang
semata karena jika hal tersebut terjadi, mereka tak ubahnya orang-orang kaku seperti undang-undang yang
mereka jadikan pedoman. Mereka harus bersifat terbuka dan lebih melihat keadaan sosiologis masyarakat,
agar dapat terciptanya penegakan hukum yang berjalan bersama keadilan. Jika keadilan masyarakat dapat
berjalan bersama-sama dengan hukum, masyarakat akan menerima hukum dengan tulus dan menganggap
hukum sebagai aturan yang merupakan bagian dari kehidupan mereka yang harus dijunjung, dihormati, dan
dilaksanakan.
Selain itu, diantara lembaga kemasyarakat tersendiri juga harus menciptakan kondisi yang harmonis di
dalam masyarakat. Mereka harus melakukan interaksi serta komunikasi yang baik antara satu sama lain agar
kehidupan mereka bersama sebagai suatu proses sosial dapat berjalan dengan lancar dan tentram. Jika
interaksi serta komunikasi yang baik terjadi antar anggota masyarakat, perbuatan yang bersifat deviasi sulit
terjadi karena setiap orang dalam masyarakat menyadari akan pentingnya mematuhi aturan-aturan hidup
bersama dalam masyarakat sehingga kasus-kasus pencurian tidak terjadi lagi. Selain itu, dengan adanya
komunikasi yang baik pula, mereka tidak akan menaruh curiga berlebihan terhadap anggota masyarakat yang
lain karena dengan komunikasi tersebut, mereka satu sama lain menganggap diri mereka sebagai sebuah
keluarga yang harus saling jaga-menjaga, hormat-menghormati dan bantu-membantu, sehingga kasus
pencurian yang disangkakan tidak akan dilaporkan kepada kepolisian tetapi penyelesaiannya lebih bersifat
kekeluargaan antara kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soekanto, soerjono. Kegunaan sosiologi hukum bagai kalangan hukum. Penerbit Alumni .Jakarta :
1978
2. Soekanto, soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta : 2012. Cet.
Ke XXI
3. Soekanto, soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Universitas Indonesia. Jakarta :1977. Cet. Ke V
4. Gurvitch,georges. Sosiologi Hukum. Bharatara. Jakarta : 1961
5. Sutherland,E.H and D.R. Cressey. Principles of criminology. Halaman 74 - 81
6. www.hukumonline.com
7. www.indosiar.com