Anda di halaman 1dari 41

1

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Epilepsi adalah kelainan neurologis kronik yang insidensinya di
seluruh dunia cukup tinggi. Saat ini, insiden epilepsi di dunia diperkirakan
33-198 tiap 100.000 penduduk setiap tahunnya. Insiden ini tinggi pada
negara-negara berkembang karena tingginya faktor resiko untuk terkena
kondisi maupun penyakit yang akan mengarahkan pada cedera otak seperti
stroke (WHO, 2006).
Di Indonesia, saat ini sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta penduduk
mengidap penyakit epilepsi. Prevalensi epilepsi di Indonesia berkisar
antara 0,5-2%, yang berarti jauh lebih tinggi dari angka insidensi epilepsi
dunia. Penanganan penderita epilepsi masih menghadapi kendala, karena
sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa epilepsi yang
lebih dikenal masyarakat dengan berbagai nama, diantaranya ayan dan
sawan, disebabkan atau dipengaruhi oleh kekuatan supranatural, dan tiap
jenis serangan dikaitkan dengan nama roh atau setan (Depkes RI, 2006).
Epilepsi dapat menyerang baik laki-laki maupun perempuan pada
berbagai usia. Pada usia lanjut, kejadian epilepsi meningkat seiring dengan
meningkatnya faktor risiko epilepsi pada usia lanjut, yaitu stroke. Hiyoshi
dan Yagi ( dalam Husam, 2008) menyatakan bahwa stroke merupakan
faktor penyebab epilepsy yang penting pada usia lanjut. Penelitian yang
dilakukan oleh Hiyoshi dan Yagi pada 190 pasien epilepsi kelompok usia
lanjut menunjukan bahwa resiko terkena dan mengalami kembali epilepsi
pada kelompok usia lanjut ini meningkat seiring bertambahnya usia dan

penyakit vaskuler (Husam, 2008). Penelitian Khealani pada tahun 2008


membuktikan bahwa epilepsi pada usia lanjut berkaitan dengan penyakit
stroke. Tingkat keparahan stroke dan letak lesi pada area kortikal
merupakan prediktor independen epilepsi pasca stroke (Khealani, 2008).
International league against epilepsy (ILAE) menyebutkan bahwa epilepsi
pasca stroke terjadi sekitar 7-14 hari setelah serangan stroke.
Penelititan Olsen (2004) menunjukan bahwa lebih dari 50%
kejadian epilepsi pada usia lanjut terjadi setelah serangan stroke. Epilepsi
pasca stroke ini terjadi pada sekitar 1,8-6,1% pasien yang mengalami
stroke (Olsen, 2004). Oxfordshie Stroke Community, berdasarkan hasil
penelitiannya, mengatakan bahwa risiko komulatif pasien stroke terkena
epilepsi sebesar 4,2% dan meningkat menjadi 9,7% setelah 5 tahun paska
serangan stroke (Olsen, 2004).
Jenis stroke sangat menentukan apakah seseorang akan mengalami
epilepsi setelah serangan stroke. Penderita stroke non hemoragik memiliki
risiko lebih besar untuk mengalami epilepsi paska stroke. Panitchote
(2010) membandingkan angka kejadian epilepsi pasca stroke berdasarkan
tipe stroke yaitu stroke hemoragik dan non hemoragik. Angka kejadian
epilepsi pasca stroke pada stroke non hemoragik sebesar 72,8%, hampir 3
kali lebih tinggi dibandingkan dengan angka kejadian epilepsi paska
stroke hemoragik sebesar 26.3% (Panitchote, 2010). Epilepsi yang terjadi
pasca stroke hemoragik paling sering diakibatkan oleh hematoma subdural
dan infark cerebral (Claassen, 2007). Penelitian Myint mengungkapkan
untuk mendiagnosis epilepsi pasca stroke ini sangat sulit di lakukan tetapi,

ada beberapa faktor resiko yang di ketahui meningkatkan insidensi


epilepsi

pasca stroke yaitu stroke non hemoragik, keparahan defisit

neurologis awal, kecacatan persisten setelah stroke, keterlibatan lesi yang


besar, kerusakan korteks dan hipocampus (Myint, 2005).
Di Indonesia sendiri penelitian mengenai angka kejadian epilepsi
paska stroke belum diketahui dengan pasti. Mengingat di Indonesia angka
kejadian stroke sebagai faktor risiko epilepsi pada usia lanjut cukup tinggi,
yaitu mencapai 500.000 kasus tiap tahun (Purwanti, 2008) maka risiko
terjadinya epilepsi paska stroke juga cukup tinggi. Berdasarkan latar
belakang tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk meneliti perbandingan
angka kejadian epilepsi pasca stroke antara stroke hemoragik dan non
hemoragik di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas
permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Apakah ada perbandingan angka kejadian epilepsi pasca stroke antara
stroke hemoragik dan non hemoragik di RSUD Margono Soekarjo
Purwokerto ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui adanya perbedaan angka kejadian epilepsi pasca
stroke antara stroke hemoragik dan non hemoragik di RS Margono
Soekarjo
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui angka kejadian epilepsi pasca stroke pada stroke
hemoragik

b) Mengetahui angka kejadian epilepsi pasca stroke pada stroke non


hemoragik.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi gambaran
mengenai perbedaan angka kejadian epilepsi pasca stroke antara
stroke hemoragik dan non hemoragik .
2. Manfaat Praktis
a) Manfaat bagi mahasiswa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai perbedaan angka kejadian epilepsi pasca stroke antara
stroke hemoragik dan non hemoragik dan untuk penelitian
selanjutnya dapat diteliti faktor lain apa yang menyebabkan
perbedaan angka kejadian epilepsi pasca stroke.
b) Manfaat bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian di harapkan dapat menambah kepustakaan dan
informasi di bidang ilmu saraf , mengenai angka epilepsi pasca
stroke sehingga dapat dijadikan acuan dalam deteksi dini
,penanganan, dan pencegahan kejadian epilepsi pada pasien stroke.
3. Manfaat bagi masyarakat
a) Memberi informasi dan pengetahuan pada masyarakat tentang
penyakit epilepsi dan stroke sehingga dapat digunakan untuk
pencegahan deteksi dini pasien stroke.
b) Memberi informasi dan pengetahuan pada masyarakat tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian epilepsi pasca serangan
stroke.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Epilepsi
1. Definisi
Epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia
grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat
(Ginsberg, 2008). Definisi lain epilepsi adalah manifestasi gangguan
pada otak dengan berbagai etiologi namun mempunyai gejala tunggal
yang khas yaitu serangan secara berkala yang disebabkan oleh
pelepasan muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan (Mardjono
dan Sidharta, 2008).
2. Etiologi
Penyebab epilepsi ini dibagi menjadi 3 yaitu epilepsi idiopatik,
epilepsi simtomatik dan kriptogenik oleh International League Against
Epilepsy atau ILAE (Banerjee, 2009). Penjelasan tentang etiologi
epilepsi adalah :
a. Idiopatik

Penyebab epilepsi ini tidak diketahui meliputi kurang lebih 50%


dari penderita epilepsi pada masa anak-anak, awitan yang terjadi
biasanya pada umur 3 tahun (Harsono, 2006).
b. Simtomatik
Etiologi simtomatik penyebabnya sangat bervariasi, bergantung
pada usia menderita epilepsi, penyebab epilepsi dari berbagai
gangguan simtomatik (Harsono, 2006) adalah :
1) Infeksi virus,bakteri,parasit, dan abses
Infeksi ini disebabkan oleh toksoplasma, sitomegalo virus,
rubela, dan herpes atau yang sering disebut TORCH yang akan
mengakibatkan

kromosom

abnormal,

radiasi,

infeksi

intrapartum, meningitis, ensafalitis, dan hidrosefalus. Selain itu


infeksi juga bisa terjadi karena tindakan operasi yang kurang
higine
2) Cedera kepala
Sering terjadi pada usia muda biasanya terjadi kerusakan atau
trauma pada bagian kepala yang mempengaruhi epilepsi.
3) Pembuluh darah
Salah satu gangguan pembuluh darah yang sering
menyebabkan adalah stroke dan sering terjadi pada usia tua.
4) Kelainan selama persalinan
Ini berhubungan dengan asfiksia dan perdarahan intrakranial,
biasanya disebabkan oleh kelainan maternal seperti hipotensi,
eklamsia, disproporsi sefalopelvik, kelainan plasenta, tali pusat
menumbung atau belitan leher.
5) Gangguan saraf
Akibat meningitis, ensafalitis, atau timbul kemudian sebagai
akibat dari pembentukan jaringan parut dan hidrosefalus pasca
infeksi.
6) Kromosom abnormal

Penyebab epilepsi yang disebabkan oleh kromosom abrnormal


dihubungkan terhadap lokus terhadap kromosom tertentu, dan
lokus itu disebut lokus BFNC(benign familian neonatal
convulsions) ditemukan kromosom 20q, dan di lokus lain juga
ditemukan terdapat kromosom 8q. Neuronal nicotonic
acethylcholine receptor aplha-4 subunit (CHRNA4) menjadi
kromosom yang dianggap akan menjadi kromosom 20 yang
bermutasi pada BFNC (Ottman, 2010).
c. Kriptogenik
Etilogi ini biasanya tidak dapat diketahui secara langsung tetapi
dengan penyelidikan dan identifikasi dengan baik dapat di ketahui
penyebabnya (Banarjee, 2009).
3. Klasifikasi
Klasifikasi epilepsi menurut American Society Epilepsy adalah
sebagai berikut:
a. Epilepsi parsial
1) Epilepsi parsial sederhana
Epilepsi ini ditandai dengan kesadaran yang tetap baik atau
berupa :
i.
Motorik fokal yang menjalar atau tanpa menjalar (gerakan
klonik dari jari tangan, lalu menjalar ke lengan bawah dan
ii.

atas atau seluruh tubuh)


Gerakan versif, dengan kepala dan leher menengok ke

iii.

suatu sisi
Dapat pula sebagai gejala sensorik fokal menjalar atau
sensorik khusus berupa halusinasi sederhana (visual,

auditorik, gustatorik).
Terkadang ditemukan defisit neurologik fokal pasca sawan
berupa kelumpuhan ekstremitas yang sering disebut dengan

paralisis Todd (Harsono, 2006), gejala motorik (gerakan


abnormalunilateral),

sensorik

(merasakan,

membau,

mendengar), otonom (wajah, kemerahan, pucat, berkeringatan


dan rasa tidak enak di bagian epigastric) dan gangguan psikis
berupa ilusi dan halusinasi (Price dan Wilson, 2006).
2) Epilepsi parsial kompleks
Pada epilepsi ini terjadi gangguan kesadaran dan gejala psikis
seperti deja-vu, jamais-vu, dreamy state, ilusi, halusinasi
sederhana atau kompleks dan otomatisme. Sering terjadi
bingung, disorientasi, selama beberapa menit pasca epilepsi
parsial kompleks (Harsono, 2006).
3) Epilepsi sekunder umum
Ini adalah epilepsi yang terjadi secara bertahap yang ada
perubahan dari epilepsi parsial sederhana menjadi epilepsi
sekunder umum atau dari parsial sederhana menjadi parsial
kompleks setelah itu menjadi sekunder umum. Epilepsi
sekunder umum sering dikenal dengan epilepsi psikomotor
(Harsono, 2006).
b. Epilepsi umum
1) Epilepsi absence
Seorang penderita epilepsi ini biasanya mempunyai gejala
melamun selama beberapa detik, terkadang seperti tidak
mendengar jika dipanggil. Matanya sering berkedip dengan
cepat dan bola matanya memandang sedikit ke atas. Ketika
serangannya pendek, penderita terlihat seperti hanya menatap
kosong, dan kembali melakukan aktivitasnya kembali tanpa
menyadari apa yang telah terjadi (American Society Epilepsy,
2010).

2) Epilepsi mioklonik
Epilepsi ini mempunyai ciri-ciri seperti serangan yang
mendadak seperti tersentak saat pagi hari bangun dan tiba-tiba
tangan terangkat sesaat dan penderita menjatuhkan apa yang
dia pegang (Epilepsy Foundation, 2010).
3) Epilepsi klonik
Mempunyai ciri-ciri seperti menyetakan tangannya atau kaki
dengan ritme tertentu, terkadang terjadi pada kedua sisi tubuh
(Epilepsy Foundation, 2010).
4) Epilepsi tonik
Epilepsi ini sering memperlihatkan gejala seperti tiba-tiba
mengeras pada tubuh, kedua tangan terangkat di atas kepala
dan muka penderita meringis seperti ditarik. Epilepsi ini
menyebabkan pasien merasa lelah dan inilah juga yang
membedakan dengan serangan epilepsi klonik (Epilepsy
Foundation, 2010).
5) Epilespi atonik
Kejadian epilepsi ini sering menyebabkan pasien jatuh ini
terjadi karena kehilangan tonus otot postural (American
Society Epilepsy, 2010).
c. Epilepsi yang tidak terklasifikasikan
4. Patofisiologi
Dasar serangan epilepsi adalah gangguan fungsi neuron-neuron
otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni
neurotransmitter
melepaskan

eksitasi

yang

memudahkan

depolarisasi

atau

muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang

menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak


mudah melepaskan listrik. Neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi

10

diantaranya glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan


neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid
(GABA) dan glisin. Dalam keadaan istirahat, membran neuron
mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran
neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik (Price dan Wilson,
2006).
Keadaan patologik dapat merubah atau mengganggu fungsi
membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan
Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan
letupan

depolarisasi membran dan melepaskan

muatan

listrik

berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepasnya muatan listrik oleh


sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan
epilepsi. Sifat khas serangan epilepsi adalah saat serangan berhenti
akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh
neuron-neuron sekitar sarang epilepsi. Selain itu sistem-sistem inhibisi
pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terusmenerus berlepas muatan juga memegang peranan. Keadaan lain yang
dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan
neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak
(Price dan Wilson, 2006).
5. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis

11

Langkah awal adalah dengan melakukan wawancara baik dengan


pasien, orangtua atau orang yang merawat. Pertanyaan yang perlu
ditanyakan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum, selama
dan sesudah serangan kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui
riwayat

kejadian serangan

kejang tersebut biasanya

dapat

memberikan informasi yang lengkap karena dokter tidak melihat


sendiri serangan kejang yang dialami oleh pasien, adapun beberapa
pertanyaan yang diajukan kepada pasien atau keluarganya yaitu
(Sunaryo, 2007) :
1) Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali
selama ini?
2) Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan
tidak enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang
terjadi?
3) Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung?
4) Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang
berlangsung?
5) Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?
6) Apakah ada faktor pencetus ?
7) Bagaimana frekwensi serangan kejang ?
8) Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ?
9) Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan
serangan kejang?
10) Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat
darurat?

12

11) Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?
Riwayat penyakit dahulu
Setelah itu pasien pun harus ditanyakan tentang RPD (riwayat
penyakit dahulu). Riwayat medik yang dahulu dapat memberikan
informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi
yang berkaitan dengan serangan kejang dan pengetahuan tentang
lesi

yang

mendasari

dapat

membantu

untuk

pengobatan

selanjutnya. Beberapa pertanyaan yang penting saat melakukan


anamnesis tentang RPD yaitu (Sunaryo, 2007) :
1) Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan
maupun proses persalinannya?
2) Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau
respiratory distress?
3) Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4) Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya
epilepsi sesudah serangan kejang demam sederhana sekitar
2% dan serangan kejang demam kompleks 13%.
5) Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti
meningitis, ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti
sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang. Dibeberapa
negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.
6) Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi
kepala, perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan
amnesia yang lama?
7) Apakah ada riwayat tumor otak?

13

8) Apakah ada riwayat stroke?


Riwayat keluarga.
Mengetahui penyakit riwayat keluarga sangat penting untuk
menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau
kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik
dengan manifestasi serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile
myoclonic epilepsy (JME), familial neonatal convulsion, benign
rolandic epilepsy dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik
disertai kejang demam plus (Sunaryo, 2007).
Riwayat pengobatan.
Riwayat pengobatan merupakan aspek yang harus ditanyakan
kepada pasien sebelumnya apakah sudah minum obat-obatan
antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana

kemanjuran obat

tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah


diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek
sampingnya (Sunaryo, 2007).

Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.


Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan
pemeriksaan penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan
(Computed Tomography Scan)

kepala atau MRI (Magnetic

Resonance Imaging) (Sunaryo, 2007).


b. Pemeriksaan Fisik

14

Pemeriksaan fisik penting karena pemeriksaan ini harus dapat


membedakan penyakit epilepsi dengan gejala-gejala yang serupa
yang didapatkan dari penyakit lain (Sunaryo, 2007).
c. Pemeriksaan EEG
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah
pemeriksaan elektro ensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin
sebaiknya dilakukan pada keadaan sadar dalam keadaan istirahat,
pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi
(Sunaryo, 2007).
d. Pemeriksaan radiologi
CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau
tidaknya kelainan struktural di otak. Indikasi CT Scan kepala
adalah:
1) Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan
dugaan ada kelainan struktural di otak.
2) Perubahan serangan kejang.
3) Ada defisit neurologis fokal.
4) Serangan kejang parsial.
5) Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
6) Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi.
Pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak
pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik

15

dibanding dengan CT Scan, karena dapat mendeteksi lesi kecil di


otak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan
hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat
mungkin dilakukan terapi pembedahan.
6. Penatalaksanaan
Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien, terapi yang digunakan adalah (Mardjono dan Sidharta, 2008) :
a. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi
sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam
setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu
diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping
dari pengobatan tersebut.
b. Terapi dimulai dengan monoterapi
c. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan secara
bertahap sampai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek
samping obat.
d. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat
mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua. Bila sudah
mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan
secara perlahan.
e. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti
bangkitan tidak terkontor dengan pemberian OAE pertama dan
kedua.
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme
kerjanya (Mardjono dan Sidharta, 2008) :

16

a. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron,


bekerja juga pada reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate),
monoamine dan asetilkolin.
b. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan
kalsium dan klorida dan neurotransmitter yang voltage dependen
c. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA,
menurunkan eksitabilitas glutamate, menurunkan konduktan
natrium, kalium dan kalsium.
d. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan
ambang konduktan kalsium (T) dan kalium.
e. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N.
f. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent.
g. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan
kalium, modulasi aktivitas chanel.
h. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABAMediated chloride, modulasi efek reseptor GABA.
i. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel, inhibisi
eksitasi glutamate.
B. Stroke
1. Definisi
Stroke adalah gangguan fungsional otak yang terjadi secara
mendadak dengan tanda dan gejala klinis baik fokal maupun global
yang disebabkan gangguan perdarahan otak seperti lesi pada pembuluh
darah di regio otak, daerah subkortikal dan batang otak. Aliran darah
yang rusak tidak bisa membawa nutrisi dan oksigen kepada otak
sehingga dapat terjadi kematian sel otak dan otak tidak dapat berfungsi
dengan baik (Mardjono dan Sidharta, 2008).
2. Klasifikasi Stroke
a. Stroke Iskemik

17

Stroke ini disebabkan adanya hambatan atau sumbatan pada


pembuluh darah yang menyebabkan kurangnya pasokan oksigen dan
nutrisi pada otak. Berdasarkan manifestasi klinik, stroke iskemik
dikelompokkan menjadi (Mardjono dan Sidharta, 2008) :
1) Serangan Iskemik Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
2) Defisit Neurologik Iskemik Sepintas/Reversible Ischemic
Neurological Deficit (RIND)
3) Stroke Progresif (Progressive Stroke/Stroke In Evaluation)
4) Stroke Komplit (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Berdasarkan

proses

patologik

(kausal),

stroke

iskemik

dikelompokkan menjadi (Price dan Wilson, 2006):


1) Stroke Trombotik
2) Stroke Emboli/Non Trombotik
b. Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20%
dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang
subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan otak (Purwanti,
2008).
3. Faktor Resiko
Faktor resiko stroke diklasifikasikan menjadi faktor yang tidak
dapat dimodifikasi dan faktor resiko yang dapat dimodifikasikan.
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah faktor yang sudah mutlak
dan tidak dapat di intervensi, meliputi usia, jenis kelamin, herediter,
ras/etnik. Faktor yang dapat dimodifikasi adalah faktor yang dapat
diubah dengan gaya hidup dan menjadi pola kesehatan dengan baik,

18

meliputi riwayat stroke, hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus,


Transient Ischemic Attack (TIA), hiperkolesterol, obesitas, merokok,
alkoholik, hiperurisemia, peninggian hematokrit (Fox, 2010).

4. Patofisiologi
Kejadian stroke terjadi karena adanya gangguan pasokan aliran
darah otak yang dapat terjadi dimana saja dalam arteri yang membentuk
sirkulus willisi, dan bila aliran darah terhenti ke otak selama 15 sampai
20 menit ini akan menyebabkan infark dan kematian jaringan. Proses
patologis yang mendasari mungkin salah satu proses yang terjadi di
dalam pembuluh darah yang mendarahi otak. Patologinya dapat berupa
(Price dan Wilson, 2006) :
a. Keadaan penyakit pada pembuluh darah seperti aterosklerosis.
b. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah seperti
syok atau hiperventilasi darah.
c. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau infeksi pada pembuluh
darah yang berasal dari jantung atau pembuluh darah ekstra kranium.
d. Ruptur vaskuler di dalam jaringan otak atau ruang subarakhnoid.

5. Penegakan Diagnosis
Untuk mengetahui diagnosis dan penentuan jenis patologi stroke
bisa didapatkan dengan skor stroke yaitu Algoritma Gadjah Mada dan

19

pemeriksaan penunjang berupa CT-scan. CT-scan ini untuk mengetahui


jenis stroke iskemik dengan pendarahan. Pada stroke hemoragik akan
terlihat gambaran hiperdens, sedangkan pada stroke iskemik akan
terlihat gambaran hipodens.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat memegang peranan
besar dalam menentukan hasil akhir pengobatan. Betapa pentingnya
pengobatan stroke sedini mungkin, karena jendela terapi dari stroke
hanya 3-6 jam. Hal yang harus dilakukan adalah (Mansjoer, 2000) :
a. Stabilitas pasien dengan tindakan ABC (Airway, breathing,
Circulation)
b. Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal
napas
c. Pasang jalur infus intravena dengan larutan salin normal 0,9%
dengan kecepatan 20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis
seperti dekstrosa 5% dalam air dan salin 0,45%, karena dapat
memperhebat edema otak
d. Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung
e. Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut
f. Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto rontgen
toraks
g. Ambil sampel untuk pemeriksaan darah: pemeriksaan darah perifer
lengkap dan trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit, ureum, dan
kreatinin), masa protrombin, dan masa tromboplastin parsial

20

h. Jika ada indikasi, lakukan tes-tes berikut: kadar alkohol, fungsi


hati, gas darah arteri, dan skrining toksikologi
i. Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
j. CT Scan atau resonansi magnetik bila alat tersedia
C. Klasifikasi Epilepsi pasca Stroke
Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai kejang dengan onset
cepat atau lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia serebral,
sehingga dapat disamakan dengan kejadian epilepsi pasca trauma. Periode
terjadinya kejang pasca stroke diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu
2 minggu dapat membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang.
Pada onset cepat terjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan
lebih 2 minggu pada onset lambat. Perbedaan karakteristik dan mekanisme
kejang pasca stroke dapat sesuai dengan terjadinya iskemia serebral, tetapi
tidak ada dasar yang jelas tentang patofisiologi terjadinya kejang pasca
stroke dalam kurun waktu 2 minggu (Lossius, 2005).
D. Patofisiologi epilepsi pasca stroke
Epilepsi pasca stroke ini disebabkan oleh kejadian iskemik pada
otak yang diakibatkan kurangnya perfusi jaringan otak itu sendiri. Perfusi
jaringan yang kurang pada otak bisa mengakibatkan kerusakan jaringan
pada otak. Lokasi kerusakan jaringan dan luasnya kerusakan jaringan
merupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan epilepsi pasca
stroke (Rhoney, 2002). Pecahnya pembuluh darah pada otak atau sumbatan
pada pembuluh darah otak yang disebabkan oleh jenis stroke itu sendiri

21

disini epilepsi pasca stroke..akan dibahas menjadi epilepsi yang


disebabkan oleh :
1. Stroke hemoragik
Epilepsi paska stroke pada stroke hemoragik diakibatkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak dimana mengakibatkan perfusi pada
jaringan otak berkurang, keadaan ini membuat otak iskemi dan
menghasilkan metabolime anaerob yang berimbas pada penumpukan
asam laktat. Kejadian ini akan membuat otak dalam keadaan edem.
Cedera pada otak inilah yang akan mengakibatkan perubahan lanjut
pada struktur mekanisme regulasi fungsi otak seperti perubahan
neurotransmitter atau pada ion intraseluler (Ferro, 2004). Struktur
neuron yang menyebabkan pembentukan jaringan parut gliotik yang
akan membuat hilangnya jalur penghambat yang dimediasi oleh
GABA dan perubahaan pada komposisi subunit reseptor glutamat.
Selain itu hemosiderin pada jaringan serta pembentukan radikal bebas
dan

membran

peroksidasi

juga

disebut

dalam

faktor

yang

mempengaruhi kejadian epilepsi pasca stroke ini (Ferro, 2004).


Hipotesis lain mengungkapkan keadaan iskemia akan melepaskan
asam amino eksitorik terutama glutamat yang menghasilkan kaskade
kejadian toksik. Regulasi pada efikasi penghambatan GABA
intrakortikal dengan eksitasi NMDA yang dimediasi reseptor juga
dapat terjadi (Ferro, 2004).
2. Stroke non-hemoragik
Epilepsi paska stroke pada stroke non-hemoragik diakibatkan oleh
sumbatan

aliran

darah

pada

pembuluh

darah

otak

dimana

mengakibatkan perfusi pada jaringan otak berkurang, keadaan ini

22

membuat otak iskemik menganggu aktivitas elektrolit, pelebaran


kolateral yang berimbas pada gangguan pompa Na dan K dijaringan,
dan berkurangnya aktivitas inhibitorik yang berhubungan dengan
kerusakan fungsional atau struktural interneuron GABAergik.
Keadaan hipoperfusi global akibat tersumbatnya pembuluh darah pada
stroke

non-hemoragik

khususnya

pada

area

sensitif

seperti

hipokampus, juga menjadi salah satu hipotesis epilepsi pasca stroke


(Ferro, 2004).
Studi retrospektif yang dilakukan pada 200 pasien stroke
diantaranya pasien stroke iskemik, pasien stroke dengan pendarahan
intraserebral, dan pasien dengan stroke subarachnoid hemorrhage
didapatkan

bahwa

pasien

dengan

subarachnoid

hemorrhage

mempunyai jumlah kasus tersering menyebabkan epilepsi paska


stroke. Penelitian ini menyebutkan bahwa spasme arteri lah yang
menyebabkan kejadian tersebut (Anderjaska, 2008).
Penelitian oleh Benbir didapatkan dari 51 pasien yang mengalami
epliepsi paska stroke dimana stroke non hemoragik sebesar 70,6%
pasien dan stroke hemoragik sebesar 21,6% pasien. Dari 1327 pasien
stroke iskemik hanya 36 pasien (2,7%) sedangkan pada stroke
hemoragik 11 dari 86 didapatkan terkena serangan epilepsy atau
sekitar (26,6%). Lokasi pendarahan dan iskemik pun diamati dalam
penelitiannya dimana lokasi otak bagian kanan dan arteri bagian
tengah otak adalah yang paling umum menyebabkan epilepsi paska
stroke ini (Benbir, 2006).
Penelitian Temprano et al tentang angka kejadian mendapatkan
Kejang terjadi pada 10,6% pasien dengan perdarahan intraserebral dan

23

8,6% dari pasien dengan stroke iskemik. Serangan epilepsi pada awal
merupakan faktor prognosis buruk. Serangan ini terjadi secara
signifikan lebih sering pada pasien dengan stroke hemoragik dengan
Proporsi kejang berulang kecil dan serangan epilepsi onset terlambat
terutama dari 6 bulan sampai 2 tahun setelah stroke dengan tingkat
kekambuhan tinggi. Epilepsi paska stroke berbahaya dan memerlukan
pengobatan dengan obat antiepilepsi. EEG dapat dilakukan setelah
terkena stroke yang dapat membantu mengidentifikasi pasien yang
beresiko terkena epilepsi paska stroke (Temprano, 2009).
Lokasi kortikal merupakan salah satu faktor risiko yang paling
dapat menyebabkan epilepsi pasca stroke. epilepsi paska stroke lebih
mungkin untuk terjadi pada pasien dengan lesi yang lebih besar yang
melibatkan beberapa lobus otak dibandingkan dengan keterlibatan
lobus tunggal. Namun, setiap stroke subkortikal,

kadang-kadang

dapat dikaitkan dengan terjadinya kejang. Teknik neuroimaging yang


masih kurang sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang
kecil yang menyebabkan terjadinya aktivitas iktal (Rhoney, 2002).
Mekanisme lesi subkortikal hemisfer otak, paling sering
disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu
penyebab kejang tidak dapat diketahui. Dianalogikan dengan
keterlibatan kortikal pada stroke iskemik, lokasi yang dianggap lebih
epileptogenik

pada

pasien

dengan

perdarahan

intraserebral.

Keterlibatan ganglia basalis kaudatus dan temporal atau parietal pada


korteks diprediksi akan terjadi kejang. Perdarahan karena trombosis
vena serebral biasanya muncul bersamaan dengan kejang. Pada

24

parenkim, seringnya pada kortikal, perdarahan berasal dari kongesti


vena lokal adalah kemungkinan penyebab terjadinya aktivitas kejang
(Rhoney, 2002)
Mekanisme kejang oleh karena pendarahan tidak dijelaskan.
Produk

dari

metabolisme

darah

seperti

hemosiderin,

dapat

menyebabkan iritasi serebral fokal yang mengarah pada kejang, mirip


dengan model binatang dengan epilepsi fokal yang diproduksi oleh
deposisi besi di korteks serebral. Pada perdarahan subarachnoid,
sering terjadi perdarahan luas di cisterna basalis, yang langsung
menghubungkan antara lobus frontal dan temporal. Pasien dengan
perdarahan

subarachnoid

mungkin

juga

memiliki

komponen

perdarahan intraparenchymal (Rhoney, 2002).


Satu-satunya prediktor klinis untuk kejang setelah stroke iskemik
adalah tingkat keparahan dari awal defisit neurologis. Keparahan
stroke yang lebih besar atau kecacatan pada stroke dapat
menyebabkan terjadinya kejang. Pasien dengan gangguan neurologis
cenderung memiliki stroke yang lebih besar yang melibatkan daerah
kortikal yang lebih luas (Ducros, 2010).
Lesi vaskuler dapat menyebabkan kejang dengan mekanisme yang
lain.Kejang karena malformasi arteriovenosa dan aneurisma biasanya
terjadi ketika pecahnya lesi tersebut, tetapi lesi vaskuler dapat
menyebabkan terjadinya kejang oleh iritasi yang berdekatan dengan
parenkim otak. Akhirnya, kejang yang berhubungan dengan lesi
vaskuler yang secara signifikan terjadi dalam pengaturan reperfusi
setelah prosedur revaskularisasi (Ducros, 2010).

25

Terdapat beberapa penyebab dari epilepsi dan kejang onset awal


setelah stroke iskemik. Peningkatan Ca

2+

hasil

depolarisasi,

menurunnya

ambang

batas

dan Na+ intraseluler dengan


eksitotoksisitas

glutamat, hipoksia, disfungsi metabolit, hipoperfusi global, dan cedera


hiperperfusi (sebagian setelah arterektomi ujung carotid) seluruhnya
telah dipostulasikan sebagai etiologi neurofungsional. Kejang setelah
stroke hemoragik diperkirakan sebagai atribut tambahan dari iritasi
yang disebabkan oleh produk metabolisme darah. Patofisiologi pasti
masih belum jelas, namun suatu area iskemik yang berhubungan yang
merupakan efek sekunder dari hemoragi diperkirakan memainkan
peran. Kejang onset lambat berhubungan dengan perubahan persisten
pada eksitabilitas neuronal dan parut gliotik paling berkemungkinan
merupakan penyebab dasar. Deposit hemosiderin diperkirakan
menyebabkan iritabilitas setelah stroke hemoragik. Pada anak-anak,
kejang pasca stroke dapat terjadi sebagai bagian dari trauma kelahiran
perinatal (Myint, 2006).

26

27

E. Keranga Teori
hipoperfusi
global
jaringan parut
gliotik

Disfungsi dari
daerah
metabolik
Stroke

depolarisasi
potensial
transmembran
Gangguan
akumulasi ion
K dan Na

Epilepsi

28

gangguan
autoregulasi
otak
Gambar 2 : kerangka teori penelitian

F. Keranga konsep
Stroke Hemoragik
Angka kejadian
epilepsi pasca
Stroke non
hemoragik

Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian


G. Hipotesis
Terdapat perbedaan angka kejadian epilepsi pasca stroke antara stroke
hemoragik dan non hemoragik.

29

III.

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
observasional analitik yang bertujuan untuk mencari adakah perbedaan angka
kejadian epilepsi grand mal pasca stroke antara stroke hemoragik dan stroke
non hemoragik. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Cohort.

B. Populasi dan Sampel


1. Populasi
a. Populasi target : Pasien stroke
b. Populasi terjangkau: Pasien stroke di RSMS Purwokerto
c. Populasi sampel : Populasi stroke yang terdiagnosis dari Januari
2010-Juli 2013
1) Kriteria inklusi:
a) Subjek penelitian berusia > 40 tahun
b) Subjek penelitian merupakan pasien stroke
c) Subjek penelitian tercatat di rekam medik di RSMS
2) Kriteria eksklusi
a) Subjek

penelitian

pernah

terkena

epilepsi

sebelum

mengalami stroke hemoragik dan non hemoragik


b) Subjek penelitian mempunyai data tidak lengkap dalam
rekam medik RSMS
2. Sampel
1) Metode sampling : Total sampling
2) Besar sampel : Semua pasien yang didiagnosis menderita epilepsi
pasca stroke di RSMS dari Januari 2011 sampai Juli 2013

C. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas:
Stroke

30

2. Variabel terikat:
Epilepsi

D. Definisi Operasional Variabel


1. Pasien epilepsi paska stroke
Pasien yang telah terdiagnosis epilepsi grandmal paska stroke oleh dokter
spesialis saraf di Rumah Sakit Margono Soekarjo Purwokerto serta
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dalam penelitian digunakan rekam
medik sebagai alat ukur untuk mencari pasien epilepsi grandmal paska
stroke. Skala yang digunakan adalah skala nominal yang dikategorikan
menjadi iya dan tidak.
2. Pasien Stroke
Pasien yang telah terdiagnosis stroke oleh dokter spesialis saraf di Rumah
Sakit Margono Soekarjo Purwokerto dan memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Dalam penelitan digunakan rekam medik sebagai alat ukur untuk
mencari pasien stroke. Klasifikasi stroke terbagi atas dua yaitu stroke
hemoragik dan stroke non hemoragik. Skala yang digunakan adalah skala
nominal.

E. Pengumpulan Data
1. Alat Pengumpulan Data
Peralatan yang diperlukan untuk mengetahui data demografi dan
data klinis pasien menggunakan catatan medik pasien yang didata
menggunakan form isian seperti dibawah ini :
Tabel 1. Tabel alat pengumpulan data
No. Nama Usia Jenis
Kelamin
1
2

Stoke
Hemoragik

Stroke
hemoragik

Non

31

3
4
F. Tata Urutan Kerja
Proses urutan kerja pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi subjek penelitian yang berpotensi dalam penelitian
melalui rekam medik pasien epilepsi grand mal pasca stroke yang berada
di RSMS selama Januari 2010 sampai Desember 2012.
2. Peneliti melakukan identifikasi rekam medik dengan mencari subjek yang
memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian.
3. Subjek yang memenuhi kriteria nanti dibagi menjadi dua antara subjek
yang menderita epilepsi grand mal pasca stroke hemoragik dan subjek
yang menderita epilepsi grand mal pasca stroke non hemoragik selama
periode yang telah ditentukan.
4. Setelah itu peneliti mulai menganalisis data yang telah didapatkan untuk
mencari seluruh angka kejadian yang didapatkan. Peneliti pun nanti akan
membandingkan angka kejadian paling besar yang menyebabkan epilepsi
grand mal pasca stroke antara stroke hemoragik dan non hemoragik.

G. Analisis Data
1) Analisis univariat
Analisis univariat ini menggunakan analisis tabel distribusi frekuensi
yang menunjukkan bahwa dalam satu tabel tersebut hanya memuat
informasi satu variabel saja. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui
karakteristik responden, gambaran epilepsi pasca stroke hemoragik, dan
gambaran epilepsi pasca stroke non hemoragik.
2)

Analisis bivariat
Analisis bivariat ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang
hubungan antara dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat

32

yang terdapat dalam penelitian. Ditinjau dari skala data pada beberapa
variabel tersebut serta dengan memperhatikan tujuan penelitian, maka uji
statistik yang digunakan pada penelitian ini adalah uji Chi-square. Uji
alternatif yang dilakukan jika uji chi-square tidak bisa adalah uji
alternatif Fisher.

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
Tabel 4.1. Karakteristik responden pasien stroke dan epilepsi tahun 20102013
Karakteristik
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jenis Stroke
SH
SNH
Epilepsi
Ya
Tidak

Frekuensi

Persentase

1.738
1.906

47,7
52,3

1.529
2.115

41,7
58,3

23
3.621

0,6
99,4

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin


responden terdapat 1.738 responden laki-laki dan 1.906 responden
perempuan. Berdasarkan jenis stroke 1.529 orang menderita stroke
hemoragik dan 2.115 orang stroke non hemoragik, sedangkan
berdasarkan kejadian epilepsi terdapat 23 orang yang mengalami stroke
dan menderita epilepsi setelah serangan stroke.

33

2. Analisis bivariat
Tabel 4.2. Tabulasi Silang Jenis Stroke dan Epilepsi
Epilepsi
Stroke
SH
SNH
Total

Ya
F
16
7
23

Total

Tidak
%
1,0
0,3
0,6

F
1.513
2.108
3.621

%
99,0
99,7
99,4

F
1529
2115
3644

%
100
100
100

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa dari 1.529 orang yang


dengan stroke hemoragik 16 orang (1,0%) mengalami epilepsi dan 1.513
orang tidak, dari 2.115 orang dengan stroke non hemoragik 7 orang
(0.3%) mengalami epilepsi dan 2.108 orang tidak. Hasil perhitungan chiSquare menunjukkan nilai X2 = 7,243 dan p = 0,007. Nilai p-value 0,007
lebih kecil dari 0,05 , maka dinyatakan terdapat perbedaan angka
kejadian epilepsi yang bermakna antara SH dan SNH. Penderita SH
memiliki kemungkinan lebih besar untuk menderita epilepsi paska
stroke.
B. Pembahasan
Berdasarkan datadata yang diperoleh dari hasil penelitian yang
dilakukan di rekam medik RSMS purwokerto pada tanggal 18 Agustus
31 Agustus 2013 serta perhitungan statistik dan dari teori penelitian
terdahulu, maka penelitian ini dapat dibahas sebagai berikut.
1. Jenis kelamin
Berdasarkan Tabel 4.1 tampak bahwa menurut jenis kelamin
pasien stroke di RSMS Purwokerto selama 4 tahun didapatkan kejadian
stroke pada laki-laki sebanyak 1.738 kasus (47,2%), sedangkan pada
perempuan sebanyak 1.906 kasus (52,3%). Hasil ini berbeda dengan
penelitan Soeharto (2004) yang mengatakan bahwa laki-laki cenderung

34

untuk terkena stroke lebih tinggi di bandingkan wanita dengan


perbandingan 1,3 : 1 (Soeharto, 2004).
2. Jenis stroke
Pada Table 4.1 menunjukan bahwa di RSMS Purwokerto angka
kejadian stroke non hemoragik (SNH) lebih tinggi dibandingkan dengan
stroke hemoragik (SH) dalam 4 tahun terakhir. Stroke hemoragik
mempunyai angka kejadian 1.529 kasus (41,7%) dan stroke non
hemoragik sebesar 2.115 kasus (58,3%). Hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang mendapatkan angka kejadian stroke di RSUD Arifin
Achmad Pekanbaru sebesar 107 kasus yang dengan jumlah SNH sebesar
73 kasus (68,22%) lebih besar dari pada SH yaitu 34 kasus (31,77%)
(Azmi, 2013). Dari penelitian yang di lakukan oleh Emily (2004) di
Amerika, didapatkan proporsi SNH 89% dan SH 11% dari total kasus
711 pasien stroke. Berdasarkan penjelasan tersebut, angka kejadian SNH
memang lebih banyak jika dibandingkan dengan kejadian SH, baik pada
kasus yang ditemukan di Indonesia maupun di negara lain (Azmi, 2013).
3. Epilepsi paska stroke
Berdasarkan Tabel 4.2 angka kejadian epilepsi pasca stroke di
RSMS Purwokerto selama 4 tahun didapatkan sebesar 23 kasus dari total
kasus 3.621 pasien stroke (100%). SH menyumbang sebesar 16 kasus
epilepsi paska stroke dari total kasus 1.529 (41,7%) dan SNH sebesar 7
kasus epilepsi paska stroke dari total kasus 2.115 (58,3%). Hasil ini
sesuai dengan penelitian Hammer (2009) di Jerman yang mendapatkan
angka kejadian epilepsi pasca stroke sebesar 3% pada pasien SNH dan,
6% sampai 10% pasien intracerebral hemoragik, dan 9% pasien subdural
hemoragik (Hammer, 2009).

35

Sebuah studi epidemiologi yang dilakukan Romaniak (1998) juga


menyebutkan epilepsi pasca stroke lebih sering terjadi pada pasien stroke
hemoragik dibandingkan stroke non hemoragik. Selanjutnya penelitian
oleh Burn (1997) yang meneliti resiko jangka panjang dan pendek
serangan epilepsi pada pasien stroke juga menemukan bahwa resiko
epilepsi pasien stroke sebesar 35,2 pada tahun pertama dibandingkan
populasi normal dan 19,0 pada tahun kedua. Selain itu penelitian ini juga
menemukan resiko epilepsi pasca stroke meningkat pada pasien dengan
subarachnoid hemoragik dan intracerebral hemoragik dengan rasio 10,2 ,
sedangkan pada pasien stroke non hemoragik, epilepsi pasca stroke di
temukan karena jumlah infark pada sirkulasi anterior otak (Hammer,
2009).
Penelitian retrospektif Kotila (2004) tentang epilepsi pasca stroke
pada 200 pasien stroke dengan 157 pasien stroke iskemik, 20 pasien
intracerebral hemoragik, dan 23 pasien subarachnoid hemoragik
ditemukan epilepsi terjadi pada 33 pasien (17%) dari total 200 pasien
stroke, dengan 14% pada stroke iskemik, 15% stroke dengan
intracerebral hemoragik, dan 35% stroke dengan subarachnoid
hemoragik (Kotila, 2004). Epilepsi pasca stroke pada pasien intracerebral
hemoragik disebabkan oleh terbentuknya hematom di lobus frontal otak
(Reuck, 2007).
Resiko terjadi epilepsi pasca stroke pun telah diteliti. Leona
(2009) pada penelitiannya untuk mengetahui resiko apa saja yang dapat
menyebabkan epilepsi paska stroke, menyimpulkan bahwa 3 prediktor
terkuat penyebab epilepsi pasca stroke ini adalah keterlibatan kortikal

36

(odds ratio atau OR 3,3), lesi sebelumnya (OR 2,2), dan stroke
hemoragik (OR 1,8) (Leona, 2009).
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Olsen (2005). Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui faktor resiko apa saja yang mempengaruhi
epilepsi pasca stroke ini. Menggunakan metode follow up selama 7 tahun
dengan studi kohort, dari 1197 pasien stroke 38 (3,2%) pasien menderita
epilepsi paska stroke. Pasien stroke dengan intracerebral hemoragik
memiliki risiko relatif atau RR 3,3 kali untuk mengalami epilepsi pasca
stroke. Ini yang menjadikan intracerebral hemoragik menjadi salah satu
faktor resiko epilepsi paska stroke (Olsen, 2005).
Epilepsi paska stroke hemoragik bisa terjadi secara onset cepat
dan onset lambat. Penelitian oleh Garrett (2009) membuktikan adanya
perbedaan etiologi pada epilepsi paska stroke hemoragik onset cepat
dengan onset lambat. Onset cepat dipengaruhi oleh volume pendarahan,
adanya pendarahan subarachnoid dan pendarahan subdural, sedangkan
onset lambat dipengaruhi oleh pendarahan subdural dan peningkatan
penerimaan international rasio normalisasi atau INR (Garrett, 2009).
Myint (2005) dalam penelitian tentang epilepsi paska stroke
mendapatkan bahwa 10,6%-15,4% epilepsi paska stroke disebabkan oleh
intracerebral hemoragik, dan hanya 6,5%-8,5% epilepsy paska stroke
yang disebabkan oleh stroke iskemik (Myint, 2005).
Pada penelitian di Semarang, kejadian epilepsi pasca stroke
ditemukan pada sekitar 7% sampai 35% pasien dengan stroke
subarachnoid hemoragik. Bangkitan pada fase awal pendarahan
subarachnoid dapat menyebabkan pendarahan ulang walaupun belum
terbukti menyebabkan peningkatan tekanan intracranial. Pemberian

37

profilaksis pada pasien epilepsi pasca stroke subarachnoid hemoragik ini


dihubungkan dengan perburukan luaran neurologis dan kognitif pasien
(Ismail, 2013).
Risiko epilepsi pasca stroke lebih rendah saat pasien diberikan
metode endosvasculer coiling .Salah satu penyebab epilepsi pasca stroke
ini bisa terjadi juga karena adanya aneurisma yang ruptur, untuk
menyelesaikan masalah ini para dokter bedah neurologi biasanya
menggunakan dua cara yaitu microsurgical clipping dan endosvasculer
coiling. Secara garis besar para dokter sering menggunakan metode
microsurgical clipping karena dengan cara ini pendarahan ulang jarang
terjadi (Ismail, 2013).
4. Keterbatasan penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain :
a. Karena penelitian ini menggunakan rekam medic sehingga tidak
dapat mengontrol faktor risiko lain selain stroke diantaranya faktor
keturunan dan penyakit lain yang menyertai.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Terdapat perbedaan angka kejadian epilepsi paska stroke pada pasien
dengan SH dan SNH. Pasien SH memiliki kemungkinan menderita epilepsi
paska stroke lebih tinggi dibandingkan pasien SNH.
B. Saran
1. Perlu ditingkatkan penyuluhan tentang stroke, faktor resiko, komplikasi
dan penatalaksanaanya pada usia produktif.

38

2. Perlu ditingkatkan monitoring terhadap pasien stroke hemoragik di


RSMS Purwokerto terlebih pada pasien dengan stroke subarachnoid
hemoragik dan pasien intracerebral hemoragik yang terjadi hematom di
lobus frontal otak
3. Perlu adanya pendidikan kepada masyarakat tentang hubungan antara
stroke dengan epilepsi yang saling berkaitan.
4. Perlu adanya suatu penelitian lebih lanjut tentang lokasi stroke hemoragik
yang sering menyebabkan epilepsi.
5. Peneliti selanjutnya bisa melakukan penelitian tentang hubungan antara
stroke dengan epilepsi.
6. Peneliti selanjutnya bisa melakukan penelitian tentang komplikasi lain
yang disebabkan stroke hemoragik maupun non hemoragik.

DAFTAR PUSTAKA

American Society Epilepsy. 2010. Epilepsy fact and figures. Diakses dari :
http://www.aesnet.org/go/externallink?
target=http://www.epilepsyfoundation.org/about/factsfigures.cfm
Pada
tanggal 10 februari 2013.
Andejaska, V.A., Fritsch, B., Qashu, F., Braga, M.F.M. 2008. Pathology and
pathophysiology of the amygdala in epileptogenesis and epilepsi. Epilepsy.
78 : 102-116.
Azmi, E., Sukiandra, R., Fridayenti. 2013. Gambaran kadar kolestrol HDL dan
tekanan darah pasien stroke yang dirawat di bagian saraf RSUD ARIFIN
ACHMAD provinsi Riau. Repository Unri. Hal : 1-14.
Banerjee, P.N., Filippi, D., Hauser, W.A. 2009. The descriptive epidemiology of
epilepsy-a review. Epilepsy Res. 85 : 31-45.
Benbir, G., Ince, B., Bozluolcay, M. 2006. The epidemiology of post-stroke
epilepsy according to stroke subtypes. Acta Neurologica Scandinavica. 114 :
8-12.

39

Claassen, J., Jette, N., Chum, F., Green, R., Schmidt, M., et al. 2007.
Electrographic seizures and periodic discharges after intracerebral
hemorrhage. Neurology. 69 : 1356-1365.
Depkes RI. 2006. 1,4 Juta Penduduk Indonesia Mengidap Epilepsi. (online).
Diakses
dari:
http://www.depkes.go.id/index.php?
option=news&task=viewarticle&sid=2237&Itemid=2
Pada tanggal 8
Februari 2013.
Ducros, A., Fiedler, U., Porcher, R., Boukobza, M., Stapf, C., et al. 2010.
Hemorrhagic Manifestations of reversibel cerebral vasocontriction
syndrome : frequency, feature, and risk factors. Stroke. 41: 2505-2511.
Epilepsy foundation. 2010. Partial vs generalized epilepsies. Diakses dari :
http://www.epilepsyfoundation.org/aboutepilepsy/causes/partialgeneralized.
cfm pada tanggal 10 februari 2013.
Ferro, J.M., Pinto, F. 2004. Poststroke epilepsy : epidemiology, pathophysiology,
and management. Drugs Aging. 21 : 639-653.
Fox, C.K., Fullerton, H.J. 2010. Recent advances in childhood arterial ischemic
stroke. Curr Atheroscler Rep. 12 : 217-224.
Garrett, M.C., Komotar, R.J., Starke, R.M., Merkow, M.B., Otten, M.L. 2009.
Predictors of seizure onset after intracerebral hemorrhage and the role of
long-term antiepileptic therapy. Journal of Critical Care. 24(3) : 335-339.
Ginsberg, M.D. 2008. Neuroprotection for ischemic stroke : past, present, and
future. Neuropharmacology. 55 : 363-389.
Hammer, H.M. 2009. Seizure and epilepsy after stroke. Der Nervenarzt. 80 : 405414.
Harsono. 2006. Buku Ajar neurologi klinis. Jogjakarta : Gadjah mada university
press.
Hiyoshi, T., Yagi, K. 2000. Epilepsy in the elderly. Epilepsia. 41 : 31-35.
Husam. 2008. Perbedaan usia dan jenis kelamin pada jenis epilepsi di RSUP dr.
Kariadi. (online). Diakses di http://eprints.undip.ac.id/24557/1/Husam.pdf .
Pada tanggal 9 februari 2013.
Ismail, S. 2013. Penatalaksanaan pendarahan subarachnoid. CDK. 39 : 807-812.
Kammersggard, L.P., Olsen, T.S. 2005. Poststroke epilepsy in the Copenhagen
stroke study: incidence and predictors. Journal of Stroke and
Cerebrovascular Diseases. 14 : 210-214.

40

Khealani, B.A., Ali, S., Baig, S.M. 2008. Post stroke seizure : descriptive study
from a tertiary care centre. J Pak Med Assoc. 58 : 365-366.
Leone, M.A., Tonini, M.C., Bogliun, G., Gionco, M., Tassinari, T. 2009. Risk
factors for a first epileptic seizure after stroke: a case control study. Journal
of the Neurological Sciences. 277 : 138-142.
Lossius, M.I., Ronning, O.M., Slapo, G.D., Mowinckel, P., Gjerstad, L. 2005.
Poststroke epilepsy: occurrence and predictors-a long term prospective
controlled study (arkehsus stroke study). Epilepsia. 48 : 1246-1251.
Mansjoer. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Medica Aesculpalus FKUI .
Mardjono, M., Sidharta, P. 2008. Neurologi klinis dasar. Jakarta : Dian rakyat.
Myint, P.K., Staufenberg, E.F.A., Sabanathan, K. 2006. Post stroke seizure and
post stroke epilepsy. Postgrad Med J. 82 : 568-572.
Olsen, T.S. 2004. Post-stroke epilepsy. Current Atherosclerosis Reports. 3 : 340341.
Panitchote, A., Tiamkao, S. 2010. Prevalence of post-stroke seizures in
srinagarind hospital. J Med Assoc Thai. 93 : 1037-1038.
Price, S.A., Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta : penerbit buku kedokteran EGC.
Purwanti, O.S., Maliya, A. 2008. Rehabilitasi klien pasca stroke. Berita Ilmu
Keperawatan ISSN. 1 : 43-46.
Reuck, De.J., Hemelsoet, D., Maele, V.G. 2007. Seizure and epilepsy in patients
with lacunar stroke. Clinical Neurology and Neurosurgery. 109 : 501-504.
Rhoney, D., Tipps, L., Murray, K., Basham, M., Michael, D. 2002. Coplin
W.Anticonvulsant prophylaxis and timing of seizures after aneurysmal
subarachnoid hemorrhage. Neurology. 55 : 258-265.
Soeharto. 2004. Kolesterol dan Lemak Jahat, Kholesterol dan Lemak Baik dan pr
oses Terjadinya Serangan Jantung dan Stroke. Jakarta: Gramedia. pp: 28101.
Sunaryo, O. 2007. Diagnosis epilepsi. Wijaya Kusuma. 1 : 45-52.
Temprano, T., Puig, J.S., Puerta, S.C., AlSibbai, A.A.Z., Lahoz, C.H. 2009.
Epilepsia posticus. REV NEUROL. 48 : 171-177.
WHO. 2006. Epilepsy: epidemiology, etiology, and prognosis. WHO Fact Sheet
No. 165.

41

Anda mungkin juga menyukai