Anda di halaman 1dari 22

BAB II

Tinjauan Pustaka
2.

Anemia Pada Ibu Hamil

2.1

Definisi
Anemia adalah kondisi dimana sel darah merah menurun atau menurunnya

hemoglobin, sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan organ-organ vital pada
ibu dan janin menjadi berkurang. Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar
hemoglobin di bawah 11 g/dl pada trimester I dan III atau kadar hemoglobin < 10.5 g/dl pada
trimester II (Depkes RI, 2009).Menurut WHO, kejadian anemia dalam kehamilan berkisar
antara 20% hingga 89% dengan menetapkan HB 11 d/dl sebagai dasarnya. Nilai Hb yang
berkisar antara 9-10 g/dl disebut sebagai anemia ringan, Hb 7-8 g/dl disebut anemia sedang
dan HB < 7 g/dl disebut anemia berat. (Manuaba, 2010)
Menurut WHO (1997) seseorang dinyatakan anemia bila kadar hemoglobin pada lakilaki dewasa < 13 g/dl, pada anak umur 12-13 dan wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dl, pada
umur 6 bulan sampai 5 tahun dan wanita hamil < 11 g/dl. Pada anak umur 5-11 tahun
dinyatakan anemia bila kadar hemoglobin < 11.5 g/dl.
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin dibawah 11g/dl
pada trimester 1 dan 3 atau kadar < 10,5 g/dl pada trimester 2, nilai batas tersebut dan
perbedaannya dengan kondisi wanita tidak hamil, terjadi karena hemodulasi, terutama pada
trimester 2 (Cunningham. F, 2005).
Data World Health Organization (WHO) 2010, 40% kematian ibu di negara
berkembang berkaitan dengan anemia dalam kehamilan. Kebanyakan anemia dalam
kehamilan di sebabkan oleh defisiensi besi dan pendarahan akut, bahkan keduanya saling
berinteraksi. Anemia dalam kehamilan merupakan masalah kesehatan yang utama di negara
berkembang dengan tingkat morbiditas tinggi pada ibu hamil. Rata-rata kehamilan yang
disebabkan karena anemia di Asia diperkirakan sebesar 72,6%.Tingginya pravalensinya
anemia pada ibu hamil merupakan masalah yang tengah dihadapi pemerintah Indonesia.
Berdasarkan Riskesdas 2013, terdapat 37,1% ibu hamil anemia, yaitu ibu hamil dengan kadar
Hb kurang dari 11,0 gram/dl, dengan proporsi yang hampir sama antara di kawasan perkotaan
(36,4%) dan perdesaan (37,8%).
Hemoglobin ( Hb ) yaitu komponen sel darah merah yang berfungsi menyalurkan
oksigen ke seluruh tubuh, jika Hb berkurang, jaringan tubuh kekurangan oksigen. Oksigen

diperlukan tubuh untuk bahan bakar proses metabolisme. Warna merah pada darah
disebabkan oleh kandungan Hb yang merupakan susunan protein yang komplek yang terdiri
dari protein, globulin dan satu senyawa yang bukan protein yang disebut heme. Heme
tersusun dari suatu senyawa lingkar yang bernama porfirin yang bagian pusatnya ditempati
oleh logam besi (Fe).Zat besi merupakan bahan baku pembuat sel darah merah. Ibu hamil
mempunyai tingkat metabolisme yang tinggi misalnya untuk membuat jaringan tubuh janin,
membentuknya menjadi organ dan juga untuk memproduksi energi agar ibu hamil bisa tetap
beraktivitas normal (Sin Sin, 2010).
Anemia yang paling sering dijumpai dalam kehamilan adalah anemia akibat
kekurangan zat besi. Laporan USAIDs, A2Z, Micronutrient and Child Blindness Project,
ACCESS Program, and Food and Nutrition Technical Assistance (2006) menunjukkan bahwa
sekitar 50% dari seluruh jenis anemia diperkirakan akibat dari defisiensi besi. Selain itu,
defisiensi mikronutrient (vitamin A, B6, B12, riboflavin dan asam folat) dan faktor kelainan
keturunan seperti thalasemia dan sickle cell disease juga telah diketahui menjadi penyebab
anemia.Kekurangan ini dapat disebabkan karena kurang intake unsur zat besi ke dalam tubuh
melalui makanan, karena gangguan absorbsi, gangguan penggunaan atau terlalu banyak zat
besi yang keluar dari badan, misalnya pada perdarahan. Keperluan zat besi akan bertambah
dalam kehamilan, terutama dalam trimester II hal ini disebabkan meningkatnya kebutuhan
janin yang dikandung oleh ibu.Wanita hamil butuh zat besi sekitar 40 mg per hari atau 2 kali
lipat kebutuhan kondisi tidak hamil. (Fauzia Djamilus dan Nina Herlina, 2004; Ridwan
Amirudin, 2004). Jarak kehamilan sangat berpengaruh terhadap kejadian anemia saat
kehamilan. Kehamilan yang berulang dalam waktu singkat akan menguras cadangan zat besi
ibu. Pengaturan jarak kehamilan yang baik minimal dua tahun menjadi penting untuk
diperhatikan sehingga badan ibu siap untuk menerima janin kembali tanpa harus
menghabiskan cadangan zat besinya (Mardliyanti, 2006).
Anemia gizi adalah keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb), hematokrit, dan sel
darah merah lebih rendah dari nilai normal, sebagai akibat dari defisiensi salah satu atau
beberapa unsur makanan yang esensial. Anemia gizi disebabkan oleh defisiensi zat besi, asam
folat, dan/atau vitamin B12.
Dampak anemia pada kehamilan bervariasi, mulai dari keluhan yang ringan sampai
dengan berat. Anemia pada ibu hamil dapat mengakibatkan efek buruk pada ibu maupun bayi
yang akan dilahirkan. Anemia meningkatkan risiko komplikasi pada kehamilan dan
persalinan, yaitu risiko kematian maternal, angka prematuritas, BBLR, dan angka kematian
perinatal. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada

wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita anemis tidak dapat
mentolerir kehilangan darah. WHO menyatakan bahwa 40% kematian ibu-ibu di negara
berkembang berkaitan dengan anemia pada kehamilan (Nina Herlina dan Fauzia Djamilus,
2004).
Pada ibu hamil dengan anemia terjadi gangguan penyaluran oksigen dan zat makanan
dari ibu ke plasenta dan janin, yang mempengaruhi fungsi plasenta. Fungsi plasenta yang
menurun dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang janin. Anemia pada ibu hamil
dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang janin, abortus, partus lama, sepsis
puerperalis, kematian ibu dan janin (Cunningham et al., 2005; Wiknjosastro, 2005),
meningkatkan risiko berat badan lahir rendah (Karasahin et al, 2006; Simanjuntak, 2008),
asfiksia neonatorum (Budwiningtjastuti dkk., 2005), prematuritas (Karasahin et al., 2006).
Pertumbuhan janin dipengaruhi oleh ibu, janin, dan plasenta. Plasenta berfungsi untuk
nutritif, oksigenasi, ekskresi (Wiknjosastro, 2005; Rompas, 2008). Kapasitas pertumbuhan
berat janin dipengaruhi oleh pertumbuhan plasenta, dan terdapat korelasi kuat antara berat
plasenta dengan berat badan lahir (Knare et al., 2007).
Selain dampak tumbuh kembang janin, anemia pada ibu hamil juga mengakibatkan
terjadinya gangguan plasenta seperti hipertropi, kalsifikasi, dan infark, sehingga terjadi
gangguan fungsinya. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan janin
(Wiknjosastro, 2005). Sedangkan Agboola (1979) melaporkan bahwa berat plasenta pada ibu
hamil dengan anemia adalah lebih tinggi tanpa tergantung dengan jenis anemianya. Selain itu,
anemia pada ibu hamil terdapat hipertrofi plasenta dan villi yang mempengaruhi berat
plasenta (Robert et al., 2008).
Berat plasenta mencerminkan fungsi dan perkembangan plasenta itu sendiri
(Asgharnia et al., 2007) dan besar plasenta juga dapat memprediksi kemungkinan terjadinya
hipertensi dikemudian hari (Bakker et al., 2007). Ibu hamil dengan anemia sebagai faktor
risiko terjadinya pertumbuhan plasenta yang tidak proporsional. Sebaliknya, berat plasenta
yang kecil dapat mengindikasikan adanya kekurangan asupan gizi ke plasenta sehingga
terjadi hipoksia plasenta yang pada akhirnya mengganggu fungsinya (Robert et al., 2008).
2.2

Penyebab Anemia

Secara umum ada tiga penyebab anemia pada ibu hamil, yaitu:
2.2.1 Kehilangan Banyak Darah
Banyaknya darah yang keluar berperan pada kejadian anemia karena wanita tidak
mempunyai persediaan Fe yang cukup dan absorbsi Fe ke dalam tubuh tidak dapat

menggantikan hilangnya Fe saat menstruasi. Perdarahan patologis akibat penyakit/infeksi


parasit dan saluran pencernaan berhubungan positif terhadap terjadinya anemia.
2.2.2 Asupan Fe yang Tidak Memadai
Ibu hamil yang kurang patuh mengkonsumsi tablet Fe mempunyai risiko 2,429 kali
lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang patuh konsumsi tablet Fe. Hanya sekitar
25% WUS memenuhi kebutuhan Fe sesuai angka kecukupan gizi yaitu 26 mikogram/hari.
Secara rata-rata wanita mengonsumsi 6,5g per hari melalui diet makanan. Kecukupan intake
Fe tidak hanya dipenuhi dari konsumsi makanan sumber Fe (daging sapi, ayam, ikan, telur
dan lain-lain), tetapi dipengaruhi oleh variasi penyerapan Fe. Variasi ini disebabkan oleh
perubahan fisiologis tubuh seperti hamil dan menyusui sehingga meningkatkan kebutuhan Fe
bagi tubuh, tipe Fe yang dikonsumsi. Jenis Fe yang dikonsumsi jauh lebih penting daripada
jumlah Fe yang dimakan. Heme iron dari Hb dan mioglobin hewan lebih mudah dicerna. Non
heme iron yang membentuk 90% Fe dari makanan non daging tidak mudah diserap oleh
tubuh.
2.2.3 Peningkatan Kebutuhan Fisiologi
Peningkatan kebutuhan akan zat besi untuk pembentukan sel darah merah yang lazim
berlangsung pada masa pertumbuhan bayi, masa pubertas, masa kehamilan dan menyusui.
Kebutuhan Fe meningkat selama hamil untuk memenuhi kebutuhan Fe akibat peningkatan
volume darah, untuk menyediakan Fe bagi janin dan plasenta, dan untuk menggantikan
kehilangan darah saat persalinan. Peningkatan absorps Fe selama trimester II kehamilan
membantu peningkatan kebutuhan. Beberapa studi menggambarkan hubungan suplementasi
Fe selama kehamilan dan peningkatan konsentrasi Hb pada trimester III kehamilan dapat
meningkatkan berat lahir bayi dan usia kehamilan.
2.3

Anemia Fisiologis Dalam Kehamilan


Pada kehamilan relatif terjadi anemia karena ibu hamil mengalami hemodelusi

(pengenceran) dengan peningkatan volume 30 % sampai 40 % yang puncaknya pada


kehamilan 32 sampai 34 minggu. Jumlah peningkatan sel darah 18 % sampai 30 % dan
hemoglobin sekitar 19 % (Manuaba, 2010).
2.4

Penyebab Anemia Pada Ibu Hamil


Penyebab anemia umunya adalah kurang gizi, kurang zat besi, kehilangan darah saat

persalinan yang lalu, dan penyakit penyakit kronik (Mochtar, 2004). Dalam kehamilan

penurunan kadar hemoglobin yang dijumpai selama kehamilan disebabkan oleh karena dalam
kehamilan keperluan zat makanan bertambah dan terjadinya perubahan-perubahan dalam
darah : penambahan volume plasma yang relatif lebih besar daripada penambahan massa
hemoglobin dan volume sel darah merah. Darah bertambah banyak dalam kehamilan yang
lazim disebut hidremia atau hipervolemia. Namun bertambahnya sel-sel darah adalah kurang
jika dibandingkan dengan bertambahnya plasma sehingga terjadi pengenceran darah. Di
mana pertambahan tersebut adalah sebagai berikut : plasma 30%, sel darah 18%, dan
hemoglobin 19%. Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologi
dalam kehamilan dan bermanfaat bagi wanita hamil tersebut. Pengenceran ini meringankan
beban jantung yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil, karena sebagai akibat
hipervolemia tersebut, keluaran jantung (cardiac output) juga meningkat. Kerja jantung ini
lebih ringan apabila viskositas darah rendah. Resistensi perifer berkurang pula, sehingga
tekanan darah tidak naik (Wiknjosastro, 2005 ).
Selama hamil volume darah meningkat 50 % dari 4 ke 6 L, volume plasma meningkat
sedikit menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai hematokrit. Penurunan ini lebih
kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi. Kenaikan volume darah berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan perfusi dari uteroplasenta. Ketidakseimbangan antara kecepatan
penambahan plasma dan penambahan eritrosit ke dalam sirkulasi ibu biasanya memuncak
pada trimester kedua ( Smith et al., 2010 ).
Pola makan adalah pola konsumsi makan sehari-hari yang sesuai dengan kebutuhan
gizi setiap individu untuk hidup sehat dan produktif. Untuk dapat mencapai keseimbangan
gizi maka setiap orang harus menkonsumsi minimal 1 jenis bahan makanan dari tiap
golongan bahan makanan yaitu Karbohidrat, protein hewani dan nabati, sayuran, buah dan
susu.( Bobak, 2005 ). Seringnya ibu hamil mengkonsumsi makanan yang mengandung zat
yang menghambat penyerapan zat besi seperti teh, kopi, kalsium ( Kusumah, 2009 ). Wanita
hamil cenderung terkena anemia pada triwulan III karena pada masa ini janin menimbun
cadangan zat besi untuk dirinya sendiri sebagai persediaan bulan pertama setelah lahir ( Sin
sin, 2008).
Faktor umur merupakan faktor risiko kejadian anemia pada ibu hamil. Umur seorang
ibu berkaitan dengan alat alat reproduksi wanita. Umur reproduksi yang sehat dan aman
adalah umur 20 35 tahun. Kehamilan diusia < 20 tahun dan diatas 35 tahun dapat
menyebabkan anemia karena pada kehamilan diusia < 20 tahun secara biologis belum optimal
emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami
keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat

zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35 tahun terkait dengan kemunduran
dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering menimpa diusia ini.
Hasil penelitian didapatkan bahwa umur ibu pada saat hamil sangat berpengaruh terhadap
kajadian anemia (Amirrudin dan Wahyuddin, 2004).
Ibu hamil yang kurang patuh mengkonsumsi tablet Fe mempunyai risiko 2,429 kali
lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang patuh konsumsi tablet Fe (Jamilus dan
Herlina 2008 ). Kepatuhan menkonsumsi tablet Fe diukur dari ketepatan jumlah tablet yang
dikonsumsi, ketepatan cara mengkonsumsi tablet Fe, frekuensi konsumsi perhari.
Suplementasi besi atau pemberian tablet Fe merupakan salah satu upaya penting dalam
mencegah dan menanggulangi anemia, khususnya anemia kekurangan besi. Suplementasi
besi merupakan cara efektif karena kandungan besinya yang dilengkapi asam folat yang
sekaligus dapat mencegah anemia karena kekurangan asam folat (Depkes, 2009). Konsumsi
tablet besi sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan kepatuhan ibu hamil. Kesadaran
merupakan pendukung bagi ibu hamil untuk patuh mengkonsumsi tablet Fe dengan baik.
Tingkat kepatuhan yang kurang sangat dipengaruhi oleh rendahnya kesadaran ibu hamil
dalam mengkonsumsi tablet besi, inipun besar kemungkinan mendapat pengaruh melalui
tingkat pengetahuan gizi dan kesehatan. Kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet besi tidak
hanya dipengaruhi oleh kesadaran saja, namun ada beberapa faktor lain yaitu bentuk tablet,
warna, rasa dan efek samping seperti mual, konstipasi (Simanjuntak, 2004).
Pemeriksaan Antenatal adalah pelayanan kesehatan bagi ibu hamil dan janinnya oleh
tenaga profesional meliputi pemeriksaan kehamilan sesuai dengan standar pelayanan yaitu
minimal 4 kali pemeriksaan selama kehamilan, 1 kali pada trimester satu, 1 kali pada
trimester II dan 2 kali pada trimester III. Dengan pemeriksaan antenatal kejadian anemia pada
ibu dapat dideteksi sedini mungkin sehingga diharapkan ibu dapat merawat dirinya selama
hamil dan mempersiapkan persalinannya. Namun dalam penelitian Amirrudin dan
Wahyuddin ( 2004 ) menyatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pemeriksaan
ANC dengan kejadian anemia pada ibu hamil.
Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup
maupun lahir mati. Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami anemia
pada kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi. Karena selama
hamil zat zat gizi akan terbagi untuk ibu dan untuk janin yang dikandungnya. Berdasarkan
hasil analisis didapatkan bahwa tidak terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian
anemia pada ibu hamil, ibu hamil dengan paritas tinggi mempunyai risiko 1.454 kali lebih
besar untuk mengalami anemia dibanding yang paritas rendah ( Djamilus dan Herlina, 2008).

Jarak kelahiran yang terlalu dekat dapat menyebabkan terjadinya anemia. Hal ini
dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dan pemenuhan kebutuhan zat gizi belum
optimal, sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandung ( Wiknjosastro,
2005; Mochtar, 2004). Jarak kelahiran mempunyai risiko 1,146 kali lebih besar terhadap
kejadian anemia ( Amirrudin dan Wahyuddin, 2004).
2.5

Prevalensi Anemia Kehamilan


Di dunia 34 % terjadi anemia pada ibu hamil dimana 75 % berada di negara sedang

berkembang (WHO, 2005 dalam Syafa, 2010). Prevalensi anemia pada ibu hamil di Negara
berkembang 43 % dan 12 % pada wanita hamil di daerah kaya atau Negara maju ( Allen,
2007 ). Di Indonesia prevalensi anemia dalam kehamilan relatif tinggi, yaitu 38% -71.5%
dengan rata-rata 63,5%, sedangkan di Amerika Serikat hanya 6% ( Syaifudin, 2006).
Tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil sebagian besar penyebabnya adalah kekurangan
zat besi yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin (Saifudin, 2006 dan Saspriyana,
2010).
Kematian ibu akibat anemia di beberapa Negara berkembang berkisar 27 per
kelahiran hidup ( KH ) di India, dan 194 per 100 000 kelahiran hidup di Pakistan ( Allen,
2007 ). Menurut WHO 40% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia
dalam kehamilan. (Saifudin, 2006 dan Saspriyana, 2010). Masalah yang dihadapi pemerintah
Indonesia adalah masih tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil dan sebagian besar
penyebabnya adalah kekurangan zat besi untuk pembentukan haemoglobin. Keadaan
kekurangan zat besi pada ibu hamil akan menimbulkan gangguan atau hambatan pada
pertumbuhan baik sel tubuh maupun sel otak janin ( Depkes , 2009) .
2.6

Epidemiologi Anemia Pada Ibu Hamil

2.6.1

Distribusi dan Frekuensi

2.6.1.1 Menurut Orang


Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan usia
yang mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan kesehatan dan
keselamatan ibu hamil maupun janinnya, berisiko mengalami pendarahan dan dapat
menyebabkan ibu mengalami anemia.
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008, prevalensi anemia pada tahun

1999-2005 di dunia masih tinggi dimana prevalensi pada balita 47,4%, anak usia sekolah
25,4%, wanita tidak hamil 30,2%, wanita hamil 41,8%, pada lansia 23,9% dan terendah pada
laki-laki 12,7%.
Berdasarkan Sebuah survey yang dilakukan Fakultas Kedokteran di beberapa
Universitas di Indonesia pada 2012 menemukan 50-63% ibu hamil menderita anemia. Selain
itu 40% wanita usia subur turut mengalami anemia. Asian Development Bank (ADB)
mencatat pada 2012 sebanyak 22 juta anak Indonesia menderita anemia sehingga
menyebabkan penurunan IQ. Penelitian Pusponegoro dan Anemia World Map pada waktu
yang sama menyebutkan 51% wanita hamil menderita anemia sehingga menyebabkan
kematian hingga 300 jiwa perhari. Lalu Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu-Anak
Kementrian Kesehatan pada 2012 mencatat 1 dari 2 wanita di Indonesia beresiko menderita
anemia.
2.6.1.2 Menurut Tempat
Anemia defisiensi zat besi lebih cenderung berlangsung di Negara sedang berkembang
ketimbang Negara yang sudah maju. Prevalensi anemia ibu hamil pada tahun 2005 di
beberapa Negara terbelakang sangat tinggi seperti di Kongo adalah 67,30%, di Nigeria
65,51% dan di Eithopia 62,68%. Prevalensi ini mulai berkurang di Negara berkembang
seperti di India 44,33% dan Indonesia 44,33%. Sedangkan di Negara maju prevalensi anemia
pada ibu hamil sangat rendah yaitu 11,46% di Prancis dan 5,7% di United States.
2.6.1.3 Menurut Waktu
Pada suatu penelitian yang diadakan di beberapa praktek bidan swasta dalam
kotamadya Medan, ditemukan bahwa terjadi peningkatan penderita anemia dengan makin
tuanya usia kehamilan. Besarnya angka kejadian anemia ibu hamil pada trimester I kehamilan
4

adalah 20%, trimester II sebesar 70%, dan trimester III sebesar 70%. Hal ini disebabkan
karena pada trimester pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena tidak
terjadi menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Menginjak trimester kedua hingga
ketiga, volume darah dalam tubuh wanita akan meningkat sampai 35%, ini ekuivalen dengan
450 mg zat besi untuk memproduksi sel-sel darah merah. Sel darah merah harus mengangkut
oksigen lebih banyak untuk janin. Sedangkan saat melahirkan, perlu tambahan besi 300 350
mg akibat kehilangan darah. Sampai saat melahirkan, wanita hamil butuh zat besi sekitar 40
mg per hari atau dua kali lipat kebutuhan kondisi tidak hamil.
Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1986 proporsi
ibu hamil yang menderita anemia adalah 73,3% menurun pada tahun 1992 menjadi 63,5%,

pada tahun 1995 menurun menjadi 50,9%, tahun 2001 menurun lagi menjadi 40,1%. Hasil
Riskesdas 2007 proporsi ibu hamil yang anemia adalah 24,5% . Hal ini menunjukkan
keberhasilan program pemerintah dalam hal penanggulangan anemia pada ibu hamil.
2.6.2

Determinan
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil adalah:

2.6.2.1 Usia
Umur ideal untuk kehamilan yang risikonya rendah adalah pada kelompok umur 2035 tahun. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, perempuan
yang mengalami kehamilan pada usia berisiko tinggi (35 tahun ke atas) 4,6% tidak pernah
memeriksakan kehamilan, dan yang berusia < 20 tahun 5,1% memeriksakan kehamilan pada
dukun.
Kehamilan pada remaja putri sangat berisiko terhadap dirinya karena pertumbuhan
linier (tinggi badan) pada umumnya baru selasai pada usia 16-18 tahun, dan dilanjutkan
dengan pematangan rongga panggul beberapa tahun setelah pertumbuhan linier selesai.
2.6.2.2 Umur Kehamilan
Kebutuhan akan berbagai zat gizi termasuk zat besi pada trimester I meningkat secara
minimal. Setelah itu sepanjang trimester II dan III, kebutuhan akan terus membesar sampai
pada akhir kehamilan. Energi tambahan selama trimester II diperlukan untuk pemekaran
jaringan ibu, yaitu penambahan volume darah, pertumbuhan uterus dan payudara.
Menurut Doloksaribu (2006) persentase responden yang menderita anemia tertinggi
dijumpai pada umur kehamilan triwulan II (50%) dan triwulan ke III (37,50%). Hal ini
disebabkan karena kebutuhan zat besi pada triwulan II dan III meningkat dengan pesat untuk
janin, plasenta dan penambahan volume darah ibu.
2.6.2.3 Jarak Kelahiran
Jarak kelahiran dapat menyebabkan hasil kehamilan yang kurang baik. Jarak dua
kehamilan yang terlalu pendek akan mempengaruhi daya tahan dan gizi ibu yang selanjutnya
akan mempengaruhi hasil produksi. Menurut Depkes RI (2004) jumlah kelahiran yang baik
agar terwujudnya keluarga sejahtera dan sehat adalah berjumlah 2 anak saja dengan jarak
kelahiran sama dengan atau lebih dari 3 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Hendro di medan (2006) ibu hamil yang jarak kelahiran anaknya < 2 tahun sebagian besar
menderita anemia. Seorang wanita yang melahirkan berturut-turut dalam jangka waktu
pendek tidak sempat memulihkan kesehatannya serta harus membagi perhatian kepada kedua
anak dalam waktu yang sama.
2.6.2.4 Konsumsi Tablet Fe

Kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi zat besi dengan cara yang benar akan memnuhi
kebutuhan zat besi dalam tubuh yang bisa meningkatkan kualitas kehamilan. Banyak hal
yang membuat ibu hamil tidak patuh mengkonsumsi zat besi yang terdapat dalam tablet
tambah darah yang diprogramkan pemerintah. Salah satunya adalah gangguan pencernaan
dapat berupa mual dan muntah. Sehingga hal ini perlu mendapat perhatian khusus terutama
dari pemberian pelayanan kesehatan misalnya bidan dan dokter. Jumlah tablet zat besi yang
dikonsumsi ibu hamil adalah minimal 90 tablet dan dianjurkan kepada ibu hamil untuk
mengkonsumsi tablet tambah darah dengan dosis satu kali sehari selama masa kehamilan dan
40 hari setelah melahirkan.
2.6.2.5 Penghasilan
Faktor yang berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang adalah status
ekonomi, dalam hal ini adalah daya beli keluarga. Kemampuan keluarga untuk membeli
bahan makanan antara lain tergantung pada besar kecilnya pendapatan keluarga dan harga
bahan makanan itu sendiri. Keluarga dengan pendapaan terbatas kemungkinan besar kurang
dapat memenuhi kebutuhan makanannya, terutama memenuhi kebutuhan zat gizi dalam
tubuhnya.
Sementara dari hasil penelitian Hendro (2006) menyatakan bahwa keluarga yang
pendapatnya di atas UMR dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarganya terutama ibu hamil
sehingga diasumsikan dapat mencegah terjadinya anemia sedangkan keluarga dengan
pendapatan di bawah UMR dapat diasumsikan belum memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya termasuk gizi ibu hamil.
2.6.2.6 Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku untuk
hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk
menyerap informasi-informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup
sehari-hari, khusunya tingkat pendidikan wanita sangat mempengaruhi kesehatannya.
Dari hasil penelitian Hendro (2006), menyatakan ada hubungan yang signifikan antara
pendidikan dengan status anemia, karena dengan tingkat pendidikan ibu yang rendah
diasumsikan pengetahuannya tentang gizi rendah, sehingga berpeluang untuk terjadinya
anemia sebaliknya jika ibu hamil berpendidikan tinggi maka kemungkinan besar
pengetahuannya tentang gizi juga tinggi, sehingga diasumsikan kecil peluang terjadinya
anemia.
2.6.2.7 Antenatal Care
Pelayanan antenatal adalah pelayanan yang diberikan terhadap ibu hamil oleh petugas

kesehatan untuk memelihara kehamilannya yang dilaksanakan sesuai standar pelayanan


antenatal yang ditetapkan dalam standar pelayanan kebidanan. Tujuan pelayanan antenatal
adalah mengantarkan ibu hamil agar dapat bersalin dengan sehat dan memperoleh bayi yang
sehat, mendeteksi dan mengantisipasi dini kelainan kehamilan dan deteksi serta antisipasi
dini kelainan janin.
Pelayanan antenatal meliputi lima hal yang dikenal dengan istilah 5T yaitu timbang
berat badan, ukur tekanan darah, ukur tinggi fundus uteri, nilai status imunisasi TT dan
pemberian tablet tambah darah. Konsumsi zat besi sangat diperlukan oleh Ibu hamil yang
ditujukan untuk mencegah ibu dan janin dari anemia, dan faktor risiko lainnya. Diharapkan
ibu hamil dapat mengonsumsi tablet Fe lebih dari 90 tablet selama kehamilan. Berdasarkan
laporan Riskesdas (2010) 80,7% ibu hamil tablet/membeli tablet Fe, dengan jumlah hari
minum 0-30 hari (36,3%), 90 hari atau lebih (18%), 60-89 hari (8,3%), dan 31-59 hari
(2,8%).
K1 adalah kunjungan pertama ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk
mendapat pelayanan antenatal yang dilakukan pada trimester pertama kehamilan. Sedangkan
K4 adalah kunjungan ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan ante natal minimal 4 kali
yaitu 1 kali pada trimester pertama kehamilan, 1 kali pada trimester kedua dan 2 kali pada
trimester ketiga.
2.7

Klasifikasi Anemia
Berdasarkan penyebab terjadinya anemia, secara umum anemia dapat diklasifikasikan

sebagai berikut:
2.7.1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat kosongnya cadangan besi
tubuh, sehingga penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang yang pada akhirnya
pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh
rendahnya masukan besi, gangguan absorpsi serta kehilangan besi akibat perdarahan
menahun. Anemia jenis ini merupakan anemia yang paling sering terjadi.
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi, sehingga cadangan besi makin
menurun. Apabila cadangan kosong, maka keadaan ini disebut iron depleted state. Jika
kekurangan besi berlanjut terus maka penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga
dapat menimbulkan anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada
beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta

berbagai gejala lainnya.


Gejala yang khas pada anemia jenis ini adalah kuku menjadi rapuh dan menjadi cekung
sehingga mirip seperti sendok, gejala seperti ini disebut koilorika. Selain itu, anemia jenis ini
juga mengakibatkan permukaan lidah menjadi licin, adanya peradangan pada sudut mulut
dan nyeri pada saat menelan. Selain gejala khas tersebut pada anemia defisiensi besi juga
terjadi gejala umum anemia seperti lesu, cepat lelah serta mata berkunang-kunang.
2.7.2

Anemia Hipoplastik
Anemia hipoplastik disebabkan karena sumsum tulang kurang mampu membuat sel-sel

darah baru. Penyebabnya belum diketahui, kecuali yang disebabkan oleh infeksi berat
(sepsis), keracunan dan sinar rontgen atau radiasi. Mekanisme terjadinya anemia jenis ini
adalah karena kerusakan sel induk dan kerusakan mekanisme imunologis. Anemia jenis ini
biasanya ditandai dengan gejala perdarahan seperti petikie dan ekimosis (perdarahan kulit),
perdarahan mukosa dapat berupa epistaksis, perdarahan sub konjungtiva, perdarahan gusi,
hematemesis melena dan pada wanita dapat berupa menorhagia. Perdarahan organ dalam
lebih jarang dijumpai , tetapi jika terjadi perdarahan pada otak sering bersifat fatal.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal jantung akibat anemia berat dan kematian akibat
infeksi yang disertai perdarahan.
2.7.3

Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah anemia yang disebabkan defisiensi vitamin B12 dan

asam folat. Anemia jenis ini ditandai dengan adanya sel megaloblast dalam sumsum tulang
belakang. Sel megaloblast adalah sel prekursor eritrosit dengan bentuk sel yang besar.
Timbulnya megaloblast adalah akibat gangguan maturasi inti sel karena terjadi gangguan
sintesis DNA sel-sel eritoblast akibat defiensi asam folat dan vitamin B12 dimana vitamin
B12 dan asam folat berfungsi dalam pembentukan DNA inti sel dan secara khusus untuk
vitamin B12 penting dalam pembentukan myelin.Akibat gangguan sintesis DNA pada inti
eritoblast ini maka maturasi inti lebih lambat, sehingga kromatin lebih longgar dan sel
menjadi lebih besar karena pembelahan sel yang lambat. Sel eritoblast dengan ukuran yang
lebih besar serta susunan kromatin yang lebih longgar disebut sebagai sel megaloblast. Sel
megaloblast ini fungsinya tidak normal, dihancurkan saat masih dalam sumsum tulang
sehingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa hidup eritrosit lebih pendek yang berujung
pada terjadinya anemia.
2.7.4

Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis adalah penghancuran

atau pemecahan sel darah merah sebelum waktunya.Pada dasarnya anemia hemolitik dapat

dibagi menjadi dua golongan besar yaitu anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrosit
sendiri (intrakorpuskular) yang sebagian besar bersifat herediter dan anemia hemolitik karena
faktor di luar eritrosit (ekstrakorpuskular) yang sebagian besar bersifat didapatkan seperti
malaria dan transfusi darah.Proses hemolisis akan mengakibatkan penurunan kadar
hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia. Hemolisis dapat terjadi perlahan-lahan,
sehingga dapat diatasi oleh mekanisme kompensasi tubuh tetapi dapat juga terjadi tiba-tiba
sehingga segera menurunkan kadar hemoglobin.
2.7.5

Anemia Hipoplastik
Anemia hemolitik disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis adalah penghancuran

atauAnemia hipoplastik disebabkan karena sumsum tulang kurang mampu membuat sel-sel
darah baru. Penyebabnya belum diketahui, kecuali yang disebabkan oleh infeksi berat
(sepsis), keracunan dan sinar rontgen atau radiasi. Mekanisme terjadinya anemia jenis ini
adalah karena kerusakan sel induk dan kerusakan mekanisme imunologis.Anemia jenis ini
biasanya ditandai dengan gejala perdarahan seperti petikie dan ekimosis (perdarahan kulit),
perdarahan mukosa dapat berupa epistaksis, perdarahan sub konjungtiva, perdarahan gusi,
hematemesis melena dan pada wanita dapat berupa menorhagia.
2.8

Faktor Resiko
Kejadian anemia pada ibu hamil disebabkan oleh beberapa faktor. Berikut merupakan

faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada ibu hamil.


2.8.1 Umur Ibu
Faktor umur merupakan faktor risiko kejadian anemia pada ibu hamil. Umur seorang
ibu berkaitan dengan alat alat reproduksi wanita. Umur reproduksi yang sehat dan aman
adalah umur 20 35 tahun. Kehamilan diusia < 20 tahun dan diatas 35 tahun dapat
menyebabkan anemia karena pada kehamilan diusia < 20 tahun secara biologis belum optimal
emosinya cenderung labil, mentalnya belum matang sehingga mudah mengalami
keguncangan yang mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan zat
zat gizi selama kehamilannya. Sedangkan pada usia > 35 tahun terkait dengan kemunduran
dan penurunan daya tahan tubuh serta berbagai penyakit yang sering menimpa diusia ini.
2.8.2 Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup
maupun lahir mati. Seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami anemia
pada kehamilan berikutnya apabila tidak memperhatikan kebutuhan nutrisi. Karena selama

hamil zat zat gizi akan terbagi untuk ibu dan untuk janin yang dikandungnya. Ibu hamil
dengan paritas tinggi mempunyai risiko 1.454 kali lebih besar untuk mengalami anemia
dibanding yang paritas rendah.
2.8.3

Kurang Energi Kronis


Sebagian besar ibu hamil menderita kekurangan gizi. Timbulnya masalah gizi pada

ibu hamil, seperti kejadian KEK, tidak terlepas dari keadaan sosial, ekonomi, dan bio sosial
dari ibu hamil dan keluarganya seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, konsumsi
pangan, umur, paritas, dan sebagainya.Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) adalah suatu
cara untuk mengetahui resiko Kurang Energi Kronis (KEK) Wanita UsiaSubur
(WUS).Pengukuran lingkar lengan atas (LILA) dapat digunakan untuk tujuan penapisan
status gizi Kurang Energi Kronis (KEK). Ibu hamil KEK adalah ibu hamil yang mempunyai
ukuran LILA<23.5 cm. Deteksi KEK denganukuran LILA yang rendah mencerminkan
kekurangan energi dan protein dalam intake makanansehari hari yang biasanya diiringi juga
dengan kekurangan zat gizi lain, diantaranya besi. Dapat diasumsikan bahwa ibu hamil yang
menderita KEK berpeluang untuk menderita anemia.
2.8.4 Infeksi dan Penyakit
Seseorang dapat terkena anemia karena meningkatnya kebutuhan tubuh akibat kondidi
fisiologis (hamil, kehilangan darah karena kecelakaan, pascabedah atau menstruasi), adanya
penyakit kronis atau infeksi (infeksi cacing tambang, malaria, TBC). Ibu yang sedang hamil
sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun tidak
mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak berbahaya bagi janin.
Diantaranya, dapat mengakibatkan abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam
kandungan, serta cacat bawaan. Penyakit infeksi yang di derita ibu hamil biasanya tidak
diketahui saat kehamilan. Hal itu baru diketahui setelah bayi lahir dengan kecacatan. Pada
kondisi terinfeksi penyakit, ibu hamil akan kekurangan banyak cairan tubuh sertazat gizi
lainnya. Penyakit yang diderita ibu hamil sangat menentukan kualitas janin dan bayi yang
akan dilahirkan. Penyakit ibu yang berupa penyakit menular dapat mempengaruhi kesehatan
janin apabila plasenta rusak oleh bakteri atau virus penyebab penyakit. Sekalipun janin tidak
langsung menderita penyakit, namun demam yang menyertai penyakit infeksi sudah cukup
untuk menyebabkan keguguran. Penyakit menular yang disebabkan virus dapat menimbulkan
cacat pada janin sedangkan penyakit tidak menular dapat menimbulkan komplikasi
kehamilan dan meningkatkan kematian janin 30%.
2.8.5 Jarak Kehamilan

Jarak kehamilan yang terlalu dekat menyebabkan ibu mempunyai waktu singkat untuk
memulihkan kondisi rahimnya agar bisa kembali ke kondisi sebelumnya. Pada ibu hamil
dengan jarak yang terlalu dekat beresiko terjadi anemia dalam kehamilan. Karena cadangan
zat besi ibu hamil pulih. Akhirnya berkurang untuk keperluan janin yang dikandungnya.Jarak
kehamilan mempunyai risiko 1,146 kali lebih besar terhadap kejadian anemia.
2.8.6 Pendidikan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan anemia yang di derita
masyarakat adalah karena kekurangan gizi banyak di jumpai di daerah pedesaan dengan
malnutrisi atau kekurangan gizi. Kehamilan dan persalinan dengan jarak yang berdekatan,
dan ibu hamil dengan pendidikan dan tingkat social ekonomi rendah (Manuaba, 2010).
2.9

Gejala anemia pada ibu hamil


Ibu hamil dengan keluhan lemah, pucat, mudah pingsan, dengan tekanan darah dalam

batas normal, perlu dicurigai anemia defisiensi besi. Dan secara klinis dapat dilihat tubuh
yang pucat dan tampak lemah (malnutrisi). Guna memastikan seorang ibu menderita anemia
atau tidak, maka dikerjakan pemeriksaan kadar Hemoglobin dan pemeriksaan darah tepi.
Pemeriksaan Hemoglobin dengan spektrofotometri merupakan standar ( Wiknjosastro, 2005).
Proses kekurangan zat besi sampai menjadi anemia melalui beberapa tahap: awalnya
terjadi penurunan simpanan cadangan zat besi dalam bentuk fertin di hati, saat konsumsi zat
besi dari makanan tidak cukup, fertin inilah yang diambil. Daya serap zat besi dari makanan
sangat rendah, Zat besi pada pangan hewan lebih tinggi penyerapannya yaitu 20 30 %
sedangkan dari sumber nabati 1-6 %. Bila terjadi anemia, kerja jantung akan dipacu lebih
cepat untuk memenuhi kebutuhan O2 ke semua organ tubuh, akibatnya penderita sering
berdebar dan jantung cepat lelah. Gejala lain adalah lemas, cepat lelah, letih, mata berkunang
kunang, mengantuk, selaput lendir , kelopak mata, dan kuku pucat (Sin sin, 2008).
2.10

Dampak Anemia Pada Ibu Hamil dan Janin


Anemia selama kehamilan menyebabkan ibu tidak begitu mampu untuk menghadapi

kehilangan darah dan membuatnya lebih rentan terhadap infeksi. Jika terjadi anemia
kegagalan jantung cenderung terjadi. Anemia juga dapat menimbulkan hipoksia fetal,
persalinan premature dan berpengaruh terhadap kematian ibu.
Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai kebutuhan dari ibunya , tetapi
dengan anemia akan mengurangi metabolisme tubuh sehingga menggangu pertumbuhan dan

perkembangan janin dalam rahim. Akibatnya bayi dapat lahir dengan cacat bawaan, lahir
dengan anemia, gangguan/hambatan pada pertumbuhan sel tubuh maupun sel otak janin
sehingga pada ibu hamil dapat mengalami keguguran, lahir sebelum waktunya, BBLR,
perdarahan sebelum dan waktu melahirkan serta pada anemia berat dapat menimbulkan
kematian ibu dan bayi. Penderita kekurangan besi akan turun daya tahan tubuhnya, sehingga
mudah terkena penyakit infeksi.
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam
kehamilan, persalinan, maupun nifas dan masa selanjutnya. Penyulit-penyulit yang dapat
timbul akibat anemia adalah : keguguran (abortus), kelahiran prematurs, persalinan yang
lama akibat kelelahan otot rahim di dalam berkontraksi (inersia uteri), perdarahan pasca
melahirkan karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik saat
bersalin maupun pasca bersalin, serta anemia yang berat (<4 g/dl) dapat menyebabkan
dekompensasi kordis. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok dan kematian ibu
pada persalinan (Wiknjosastro, 2005; Saifudin, 2006 ).
Risiko pada masa antenatal: berat badan kurang, plasenta previa, eklamsia, ketuban
pecah dini, anemia pada masa intranatal dapat terjadi tenaga untuk mengedan lemah,
perdarahan intranatal, shock, dan masa pascanatal dapat terjadi subinvolusi. Sedangkan
komplikasi yang dapat terjadi pada neonatus : premature, apgar scor rendah, gawat janin
(Anonim,tt). Bahaya pada Trimester II dan trimester III, anemia dapat menyebabkan
terjadinya partus premature, perdarahan ante partum, gangguan pertumbuhan janin dalam
rahim, asfiksia intrapartum sampai kematian, gestosis dan mudah terkena infeksi, dan
dekompensasi kordis hingga kematian ibu (Mansjoer dkk., 2008 ).
Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan, dapat menyebabkan gangguan his
primer, sekunder, janin lahir dengan anemia, persalinan dengan tindakan-tindakan tinggi
karena ibu cepat lelah dan gangguan perjalanan persalinan perlu tindakan operatif (Mansjoer
dkk., 2008). Anemia kehamilan dapat menyebabkan kelemahan dan kelelahan sehingga akan
mempengaruhi ibu saat mengedan untuk melahirkan bayi ( Smith et al., 2010 ).
Bahaya anemia pada ibu hamil saat persalinan: gangguan his-kekuatan mengejan,
Kala I dapat berlangsung lama dan terjadi partus terlantar, Kala II berlangsung lama sehingga
dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi kebidanan, Kala III dapat diikuti
retensio plasenta, dan perdarahan post partum akibat atonia uteri, Kala IV dapat terjadi
perdarahan post partum sekunder dan atonia uteri. Pada kala nifas : Terjadi subinvolusi uteri
yang menimbulkan perdarahan post partum, memudahkan infeksi puerperium, pengeluaran

ASI berkurang, dekompensasi kosrdis mendadak setelah persalinan, anemia kala nifas,
mudah terjadi infeksi mammae ( Shafa, 2010 ; Saifudin, 2006).
Hasil penelitian oleh Indriyani dan Amirudin ( 2006) di RS Siti Fatimah Makasar
menunjukkan bahwa faktor risiko anema ibu hamil < 11 gr % mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kejadian partus lama. Ibu yang mengalami kejadian anemia memiliki risiko
mengalami partus lama 1,681 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia
tapi tidak bermakna secara statistik. Ini diduga karena terjadi ketidakseragaman pengambilan
kadar Hb dan pada kontrolnya ada yang kadar Hb nya diambil pada trimester 1 dan bisa saja
pada saat itu ibu sedang anemia. Ibu hamil yang anemia bisa mengalami gangguan
his/gangguan mengejan yang mengakibatkan partus lama. Kavle et al, ( 2008) pada
penelitianya menyatakan bahwa perdarahan pada ibu setelah melahirkan berhubungan dengan
anemia pada kehamilan 32 minggu. Kehilangan darah lebih banyak pada anemia berat dan
kehilangan meningkat sedikit pada wanita anemia ringan dibandingkan dengan ibu yang tidak
anemia.
Pertumbuhan plasenta dan janin terganggu disebabkan karena terjadinya penurunan
Hb yang diakibatkan karena selama hamil volume darah 50 % meningkat dari 4 ke 6 L,
volume plasma meningkat sedikit yang menyebabkan penurunan konsentrasi Hb dan nilai
hematokrit. Penurunan ini akan lebih kecil pada ibu hamil yang mengkonsumsi zat besi.
Kenaikan volume darah berfungsi untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari plasenta dan untuk
penyediaan cadangan saat kehilangan darah waktu melahirkan. Selama kehamilan rahim,
plasenta dan janin memerlukan aliran darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
(Smitht et al., 2010 ).
Pertumbuhan janin yang lambat, kekurangan gizi pada janin, kelahiran prematur dan
berat badan bayi lahir yang rendah, yaitu sebesar 38,85%, merupakan penyebab kematian
bayi. Sedangkan penyebab lainnya yang cukup banyak terjadi adalah kejadian kurangnya
oksigen dalam rahim (hipoksia intrauterus) dan kegagalan nafas secara spontan dan teratur
pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir (asfiksia lahir), yaitu 27,97%. Hal ini
menunjukkan bahwa 66,82% kematian perinatal dipengaruhi pada kondisi ibu saat
melahirkan. Jika dilihat dari golongan sebab sakit, kasus obstetri terbanyak pada tahun 2005
adalah disebabkan penyulit kehamilan, persalinan dan masa nifas lainnya yaitu 56,09%
( Depkes, 2009 ).
Budwiningtjastuti dkk. ( 2005) melakukan penelitian anemia pada ibu hamil tri wulan
III dan pengaruhnya terhadap kejadian rendahnya Scor Apgar, didapatkan hasil bahwa ibu
hamil dengan anemia < 11 gr % meningkatkan risiko rendahnya scor Apgar. Demikian pula

penlitian yang dilakukan di kabupaten Labuan Batu oleh Simanjuntak ( 2008 ) meneliti
hubungan anemia pada ibu hamil dengan kejadian BBLR didapatkan 86 (53 %) anemia dari
162 kasus. Dan yang melahirkan bayi dengan BBLR 36.0 %. Hasil penelitian Karafsahin et
al. (2007) menunjukkan bahwa ibu hamil dengan anemia , empat kali lebih berisiko
melahirkan bayi premature dan 1.9 kali berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR)
dari pada ibu hamil yang tidak anemia.
2.11

Kebutuhan Zat Gizi Pada Ibu Hamil


Wanita memerlukan zat besi lebih tinggi dari laki-laki karena terjadi menstruasi dengan

perdarahan sebanyak 50 sampai 80 cc setiap bulan dan kehilangan zat besi sebesar 30 sampai
40 mgr. Di samping itu kehamilan memerlukan tambahan zat besi untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah dan membentuk sel darah merah janin dan plasenta. Makin sering
seorang wanita mengalami kehamilan dan melahirkan akan makin banyak kehilangan zat
besi.
Jumlah zat besi yang dibutuhkan pada wanita hamil jauh lebih besar dari pada tidak
hamil. Pada saat hamil trimester I kebutuhan zat besi sedikit karena tidak terjadinya
menstruasi dan pertumbuhan janin lambat. Menginjak kehamilan trimester II (dua) sampai
trimester III (tiga) terjadi pertambahan sel darah merah sampai 35% yang ekuivalen dengan
450 mg besi. Pertambahan ini disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen oleh janin
yang harus diangkut oleh sel darah merah.
Kemudian saat melahirkan akan terjadi kehilangan darah dan diperlukan pertambahan
besi 300-350 mg. Diperkiakan wanita hamil sampai melahirkan memerlukan zat besi kurang
lebih 40 mg//hari atau dua kali lipat kebutuhan daripada saat kondisi normal (tidak hamil).
Tidak mengherankan bila banyak wanita hamil akhirnya menderita anemia gizi besi karena
kebutuhan meningkat, tetapi konsumsi makanannya tidak memenuhi syarat gizi.
Kebutuhan zat besi selama kehamilan akan meningkat, hal ini bertujuan untuk memasok
tumbuh kembang janin selama dalam kandungan karena pertumbuhan janin memerlukan
banyak sekali zat besi selain itu untuk pertumbuhan plasenta dan peningkatan volume darah
ibu, jumlah yang diperlukan sekitar 1000 mg selama hamil.
Wanita hamil biasanya tidak hanya diberi preparat besi tetapi juga asam folat karena
anemia pada kehamilan selain disebabkan oleh defisiensi zat besi juga oleh kekurangan asam
folat. Penelitian di Universitas California menyatakan bahwa asupan asam folat sebanyak 0,4
mg sehari dapat mencegah kecacatan.

2.12

Pencegahan Dan Penanganan Anemia Pada Ibu Hamil


Pencegahan anemia pada ibu hamil dapat dilakukan antara lain dengan cara:

meningkatkan konsumsi zat besi dari makanan, mengkonsumsi pangan hewani dalam jumlah
cukup, namun karena harganya cukup tinggi sehingga masyarakat sulit menjangkaunya.
Untuk itu diperlukan alternatif yang lain untuk mencegah anemia gizi besi, memakan
beraneka ragam makanan yang memiliki zat gizi saling melengkapi termasuk vitamin yang
dapat meningkatkan penyerapan zat besi, seperti vitamin C. Peningkatan konsumsi vitamin C
sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat meningkatkan penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan
5 kali. Buah-buahan segar dan sayuran sumber vitamin C, namun dalam proses pemasakan 50
- 80 % vitamin C akan rusak. Mengurangi konsumsi makanan yang bisa menghambat
penyerapan zat besi seperti : fitat, fosfat, tannin ( Wiknjosastro, 2005 ; Masrizal, 2007).
Penanganan anemia defisiensi besi adalah dengan preparat besi yang diminum (oral)
atau dapat secara suntikan (parenteral). Terapi oral adalah dengan pemberian preparat besi :
fero sulfat, fero gluconat, atau Na-fero bisitrat. Pemberian preparat 60 mg/hari dapat
menaikkan kadar Hb sebanyak 1 g/dl per bulan. Sedangkan pemberian preparat parenteral
adalah dengan ferum dextran sebanyak 1000 mg (20 ml) intravena atau 210 ml secara
intramuskulus, dapat meningkatkan hemoglobin relatif cepat yaitu 2gr%. Pemberian secara
parenteral ini hanya berdasarkan indikasi, di mana terdapat intoleransi besi pada traktus
gastrointestinal, anemia yang berat, dan kepatuhan pasien yang buruk. Pada daerah-daerah
dengan frekuensi kehamilan yang tinggi dan dengan tingkat pemenuhan nutrisi yang minim,
seperti di Indonesia, setiap wanita hamil haruslah diberikan sulfas ferosus atau glukonas
ferosus sebanyak satu tablet sehari selama masa kehamilannya. Selain itu perlu juga
dinasehatkan untuk makan lebih banyak protein dan sayur-sayuran yang mengandung banyak
mineral serta vitamin (Sasparyana, 2010 ; Wiknjosastro 2005).
Kenaikan volume darah selama kehamilan akan meningkatkan kebutuhan Fe atau Zat Besi.
Jumlah Fe pada bayi baru lahir kira-kira 300 mg dan jumlah yang diperlukan ibu untuk
mencegah anemia akibat meningkatnya volume darah adalah 500 mg. Selama kehamilan
seorang ibu hamil menyimpan zat besi kurang lebih 1.000 mg termasuk untuk keperluan
janin, plasenta dan hemoglobin ibu sendiri. Kebijakan nasional yang diterapkan di seluruh
Pusat Kesehatan Masyarakat adalah pemberian satu tablet besi sehari sesegera mungkin
setelah rasa mual hilang pada awal kehamilan. Tiap tablet mengandung FeSO4 320 mg (zat
besi 60 mg) dan asam folat 500 g, minimal masing-masing 90 tablet. Tablet besi sebaiknya
tidak diminum bersama teh atau kopi, karena akan mengganggu penyarapannya ( Depkes RI,
2009). Menurut Shafa (2010) kebutuhan Fe selama ibu hamil dapat diperhitungkan untuk

peningkatan jumlah darah ibu 500 mgr, pembentukan plasenta 300 mgr, pertumbuhan darah
janin 100 mgr.
Sloan et al. ( 1992) ; cook & Redy ( 1996), dan Yp ( 1996) dalam Galegos (2000)
membuktikan bahwa suplemen zat besi dapat meningkatkan kadar hemoglobin selama
kehamilan. Sedangkan Brien et al. ( 1999) menyatakan dengan suplemen Fe dibuktikan
serum feritin lebih meningkat secara signifikan disamping itu serum besi lebih tinggi
ditemukan pada kelompok pemberian Fe dibandingkan kelompok kontrol.
2.12.1 Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan kejadian suatu
penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi. Promosi kesehatan, pendidikan kesehatan dan
perlindungan kesehatan adalah tiga aspek utama di dalam pencegahan primer. Dalam hal ini
pencegahan primer ditujukan kepada ibu hamil yang belum anemia. Tujuan pencegahan ini
untuk mencegah atau menunda terjadinya kasus baru penyakit dan memodifikasi faktor risiko
atau mencegah berkembangnya faktor risiko.
Pencegahan primer meliputi:
a.

Edukasi (Penyuluhan)
Petugas kesehatan dapat berperan sebagai edukator seperti memberikan
nutrition education berupa dorongan agar ibu hamil mengkonsumsi bahan makanan
yang tinggi Fe dan konsumsi tablet besi atau tablet tambah darah minimal selama 90
hari. Edukasi tidak hanya diberikan pada saat ibu hamil, tetapi ketika belum hamil.
Penanggulangannya, dimulai jauh sebelum peristiwa melahirkan. Selain itu, petugas
kesehatan juga dapat berperan sebagai konselor atau sebagai sumber berkonsultasi
bagi ibu hamil mengenai cara mencegah anemia pada kehamilan.
Suplementasi Fe adalah salah satu strategi untuk meningkatkan intake Fe yang
berhasil hanya jika individu mematuhi aturan konsumsinya. Banyak faktor yang
mendukung rendahnya tingkat kepatuhan tersebut, salah satunya adalah efek samping
yang tidak nyaman dari mengkonsumsi Fe adalah melalui pendidikan tentang
pentingnya suplementasi Fe dan efek samping akibat minum Fe.

b.

Suplementasi Fe (Tablet Besi)


Anemia defisiensi besi dicegah dengan memelihara keseimbangan antara
asupan Fe dan kehilangan Fe. Jumlah Fe yang dibutuhkan untuk memelihara
keseimbangan ini bervariasi antara satu wanita dengan yang lainnya tergantung pada
riwayat reproduksi. Jika kebutuhan Fe tidak cukup terpenuhi dari diet makanan, dapat
ditambah dengan suplemen Fe terutama bagi wanita hamil dan masa nifas. Suplemen

besi dosis rendah (30mg/hari) sudah mulai diberikan sejak kunjungan pertama ibu
hamil.
c. Fortifikasi Makanan dengan Zat Besi
Fortifikasi makanan yang banyak dikonsumsi dan yang diproses secara
terpusat merupakan inti pengawasan anemia di berbagai Negara. Fortifikasi makanan
merupakan cara terampuh dalam pencegahan defisiensi besi. Produk makanan
fortifikasi yang lazim adalah tepung gandum serta roti makanan yang terbuat dari
jagung dan bubur jagung serta beberapa produk susu.
2.12.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder lebih ditujukan pada kegiatan skrining kesehatan dan deteksi
untuk menenmukan status patogenik setiap individu di dalam populasi. Pencegahan sekunder
bertujuan untuk menghentikan perkembangan penyakit menuju suatu perkembangan kearah
kerusakan atau ketidakmampuan. Dalam hal ini pencegahan sekunder merupakan pencegahan
yang dilakukan pada ibu hamil yang sudah mengalami gejala-gejala anemia atau tahap
pathogenesis yaitu mulai pada fase asimtomatis sampai fase klinis atau timbulnya gejala
penyakit atau gangguan kesehatan.
Pada pencegahan sekunder, yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan diantaranya
adalah :
a. Skrining
Skrining diperlukan untuk mengidentifikasi kelompok wanita yang harus
diobati dalam mengurangi morbiditas anemia. Bagi wanita hamil harus
dilakukan skrining pada kunjungan I dan rutin pada setiap trimester. Skrining
dilakukan dengan pemeriksaan hemoglobin (Hb) untuk mendeteksi
apakah ibu hamil anemia atau tidak, jika anemia, apakah ibu hamil masuk dalam anemia
ringan, sedang, atau berat. Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan terhadap tanda dan
gejala yang mendukung seperti tekanan darah, nadi dan melakukan anamnesa berkaitan
dengan hal tersebut. Sehingga, tenaga kesehatan dapat memberikan tindakan yang sesuai
dengan hasil tersebut. Jika anemia berat ( Hb < 9 g/dl) dan Hct <27%) harus dirujuk
kepada dokter ahli yang berpengalaman untuk mendapat pertolongan medis.

b. Pemberian terapi dan Tablet Fe


Jika ibu hamil terkena anemia, maka dapat ditangani dengan memberikan
terapi oral dan parenteral berupa Fe dan memberikan rujukan kepada ibu hamil ke
rumah sakit untuk diberikan transfusi (jika anemia berat
2.12.2 Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier mencakup pembatasan terhadap segala ketidakmampuan dengan


menyediakan rehabilitasi saat penyakit, cedera atau ketidakmampuan sudah terjadi dan
menimbulkan kerusakan. Dalam hal ini pencegahan tersier ditujukan kepada ibu hamil yang
mengalami anemia yang cukup parah dilakukan untuk mencegah perkembangan penyakit ke
arah yang lebih buruk untuk memperbaiki kualitas hidup klien seperti untuk mengurangi atau
mencegah terjadinya kerusakan jaringan, keparahan dan komplikasi penyakit, mencegah
serangan ulang dan memperpanjang hidup. Contoh pencegahan tersier pada anemia ibu hamil
diantaranya yaitu :
a. memeriksa ulang secara teratur kadar hemoglobin.
b. mengeliminasi faktor risiko seperti intake nutrisi yang tidak adekuat pada ibu hamil,
tetap mengkonsumsi tablet Fe selama kehamilan dan tetap mengkonsumsi makanan
yang adekuat setelah persalinan.

Anda mungkin juga menyukai