Anda di halaman 1dari 3

BANGSA PENGANUT ALIRAN SESAT

Kita mestinya tidak pantas untuk menghentikan keheranan, sampai terjawab


tuntas pertanyaan: Mengapa negara dengan dasar Pancasila yang menganggap tabu
atheisme (faham tanpa Tuhan) ini kok dipenuhi perilaku negatif berkepanjangan, seolaholah kata Nitszche - Tuhan yang diyakini itu sudah lama mati?
Seorang kawan karib saya pernah berkata, Suatu saat ada pertemuan para habib
dan ulama-ulama di Jakarta, kebetulan saya melihat. Waduh! Ternyata banyak tetangga
saya yang kenthir (bodoh, pen) yang memakai jubah dan surban, seolah-olah menjadi
habib. Ah, ternyata tahi kucing! Teman karib saya itu mungkin jengkel, sebab agama
ternyata dipermainkan dengan penampilan.
Ada lagi, teman saya, puteri Madura asli, seorang mahasiswi dari Universitas
Trunojoyo Bangkalan Madura yang berkata, Aduh Mas! Jangan tanya deh! Di Madura
itu, ada saja kyai yang kaya-raya, rumahnya megah, mobilnya berjejer, dikelilingi para
penjaga yang preman juga, tapi di sekitarnya bertebaran penderitaan dan kemiskinan.
Kalau apa yang dikatakan teman saya dari Madura itu sih bukan hal baru, sebab saya
sendiri melihat hal serupa yang banyak di mana-mana.
Agama yang kita lihat di negara ini adalah dalam bentuk: masjid, gereja,
kelenteng, candi, vihara, punden, atau apa lagi, yaitu bertebarannya tempat ibadah di
setiap jengkal tanah di negara ini. Agama yang kita saksikan juga orang berbondongbondong untuk mengerjakan shalat, kebaktian, pemujaan dan sebagainya. Bahkan sehari
lima kali kita harus dikagetkan oleh bunyi adzan yang keras dari corong pengeras suara,
ditambah lagi khotbah-khotbah, dibaan, yasinan, shalawatan, istighosah, dan macammacam. Sampai-sampai, untuk mempertahankan monopoli kebenaran agama, maka
terjadi pertumpahan darah yang hingga kini sambung-menyambung tak berujung, di
negara ini.
Tapi, suatu saat ada orang yang setiap hari rajin shalat di Masjid Ampel Surabaya,
ketahuan oleh seorang ketika ia mencuri sandal. Loh, kamu rajin shalat kok mencuri?
Tapi apa jawab si rajin shalat pencuri sandal itu? Waktunya shalat ya shalat, soal
mencuri urusan lain! Lebih tragis lagi, ada seorang sarjana hukum dari universitas
negeri terkemuka di Surabaya yang dikeroyok sampai mati, gara-gara dituduh mencuri
sandal di Masjid Ampel, setelah si sarjana ini selesai shalat. Waduh! Bukan soal tuduhan
pencurian sandal itu, tapi kok tega-teganya jamaah masjid membunuh seseorang dengan
alasan ia mencuri sandal?
Waktu saya masih SD, saya sering belajar mengaji di masjid kecil di desaku. Saya
juga melihat, bahwa orang-oraang yang setiap hari shalat di masjid bersamaku, ternyata
juga biasa berjudi dadu.
Itu sedikit gambaran bahwa agama yang berjalan di negara ini tidak cukup untuk
membangun moral rakyat di level bawah. Tetapi nasib orang juga berubah. Ada di antara
mereka yang kemudian menjadi orang kaya, menjadi anggota DPRD dan lain-lain dengan
membawa sifat amoralnya itu ke mana-mana.
Kalau di level atas dalam stratifikasi sosial, jangan khawatir! Sebab setiap hari
kita disuguhi informasi tentang pencurian uang negara yang dilakukan para koruptor
yang tak henti-hentinya menjadi tikus gudang negara dan malamnya menjadi vampir
rakyat.

Konyolnya, miliaran uang haram itu dicuci dengan cara untuk membangun
masjid, gereja, kelenteng, menyumbang panti asuhan, dan tak lupa juga untuk naik haji
dan umroh berkali-kali, dan yang paling tak dapat dilupakan adalah untuk biaya
pemeliharaan para isteri simpanan, atau bersenang-senang dengan perempuan siapa saja
yang mau bagi kaum bapak-bapak yang beragama itu. (Maaf kaum perempuan, saya ini
menceritakan fakta, tetaplah saya juga harus menghormati kaum perempuan yang
menjadi ibu manusia!)
Jadi, tampaknya Pancasila itu hanya raga tak berjiwa sebab sebatas dijadikan
pajangan, alat kebanggaan negara, tata lahirnya dihormati, tapi secara batin telah lama
ditinggalkan. Agama juga begitu; hanya dilaksanakan dalam penampilan, tetapi
sesungguhnya telah lama pula ditinggalkan rohnya, sehingga seolah-olah benar memang
bahwa Tuhan itu telah mati (meminjam istilah Nitzsche lagi ya?).
Pantaslah jika Nabi Muhammad pernah menceritakan kejadian di masa depan,
ketika tiba di Hari Pengadilan Akhirat (Yaumul Hisab), maka Allah menolak orang
muslim masuk surga, meskipun orang itu ibadah ritualnya tertib dan rajin, tapi
sesungguhnya menurut Allah orang itu telah melupakanNya.
Malaikat! Lemparkan saja orang itu ke neraka! perintah Allah.
Protes Yang Mulia! Saya ini setiap hari shalat, juga berpuasa di bulan ramadlan,
membayar zakat fitrah, juga berhaji, dan menjalankan ibadah-ibadah lainnya sebagai
seorang muslim, tapi mengapa saya harus masuk ke neraka? protes si muslim itu.
Sebab kamu sesungguhnya telah melupakan Aku. Ketika Aku lapar, kamu tidak
memberiku makan. Ketika Aku kedinginan, kamu tidak memberikan Aku pakaian. Ketika
Aku sakit, kamu tak pernah menjengukKu! kata Allah.
Mustahil ya Allah Engkau itu Tuhan yang tak akan kelaparan, kedinginan dan
sakit! kata si muslim ahli neraka itu.
Aku adalah orang-orang miskin itu, yang tak punya makanan, tak punya pakaian
dan sakit. Kamu telah melupakan Aku! kata Allah.
Akhirnya si muslim itu pun harus dibakar di api neraka sebab telah melupakan
Tuhan yang telah mengidentikkan diriNya dengan masyarakat yang miskin itu.
Pesan moral agama yang penting ini yang tak mampu ditangkap secara baik,
sehingga banyak orang beragama tetapi sebenarnya mereka tidak mempunyai roh agama
sebab misi Tuhan di muka bumi tak pernah mereka lakukan. Misi itu adalah solidaritas
sosial, tak peduli apapun warna kulitnya, keyakinan atau agamanya, jenis kelaminnya.
Sehingga agama yang berkembang di negara ini tetap menciptakan penderitaan sosial
karena penipuan, korupsi, perselingkuhan, pertikaian, pertarungan politik, agama, etnik,
penelantaran rakyat, pembiaran kemiskinan dan segala macam masalah sosial terabaikan,
sebab para pemeluk agama disibukkan dengan rutinitas ritual, penggalangan dana untuk
membangun tempat-tempat ibadah dan sekolah-sekolah agama, tapi ternyata apa yang
dilakukan dan dibangun itu masih tak dapat menumbuhkan pembangunan moral sosial.
Katanya, pembangunan adalah untuk mengadakan yang belum ada, mengubah
dari yang kurang menjadi lebih baik. Benar bahwa bangunan fisik agama seperti tempat
ibadah dan sekolah semakin banyak dan baik serta megah, tapi tidak menjadikan moral
negara lebih baik. Bahkan agama pun hanya dijadikan alat politik, kekuasaan, dalil-dalil
untuk memperoleh fasilitas pribadi seperti keinginan poligami contohnya.
Kalau orientasi pemikiran maupun paradigma dalam bergama tidak diubah, maka
agama sampai kapanpun hanya akan menjadi bentuk fisik, penampilan atau performance,

sehingga tak ada bedanya antara bangsa yang agamis dengan bangsa secara jantan
mengaku atheis, kecuali hanya pada satu hal, yaitu: Kalau bangsa mengaku atheis tidak
membuang-buang waktu dan biaya untuk membangun fisik agama dan melakukan ritual
agama, sedangkan kita hanya menghambur-hamburkan uang, tenaga dan pikiran, padahal
hasilnya bagi masyarakat tidak lebih baik. Meskipun kegiatan pembangunan keagamaan
terus meningkat, tapi untuk apa kalau ternyata Tuhan merasa tak pernah diperhatikan?
Sebenarnya bukan Tuhan yang mati, tapi kita yang telah membunuh agama kita
sendiri dan kita ganti dengan penyembahan terhadap berhala yang berupa kekayaan,
kemewahan, kekuasaan, kesenangan, nafsu serakah, kebanggaan diri, harga diri yang
terlalu tinggi, sampai-sampai harus menutupinya dengan segala kecurangan, penipuan,
penindasan, penganiayaan, pembunuhan dan pembasmian.
Bangsa ini terlalu gampang mengutuk atheisme, dan bahkan terlalu sensitif
dengan bahasa sindiran. Kalau ada sempalan praktik orang beragama yang keluar dari
pakem yang ada, lantas begitu mudah dianggap sesat, lalu diadili sendiri beramai-ramai
dan dituntut melalui Pengadilan dengan tuduhan penodaan agama.
Tapi kita sudah lama pingsan dalam kesadaran semu. Kita sebenarnya telah larut
dalam kesesatan itu sendiri. Agama murni adalah yang menciptakan kasih sayang
bersama, menciptakan moral sosial, tetapi kita berlaku egois, hedonis, dan apatis. Maka
sebagai umat beragama, kita telah jauh tersesat dari misi agama itu sendiri, sehingga
layaklah kita disebut sebagai masyarakat beraliran sesat yang bisa dihukum dengan
alasan PENODAAN AGAMA.

Anda mungkin juga menyukai