Bangsa Penganut Aliran Sesat
Bangsa Penganut Aliran Sesat
Konyolnya, miliaran uang haram itu dicuci dengan cara untuk membangun
masjid, gereja, kelenteng, menyumbang panti asuhan, dan tak lupa juga untuk naik haji
dan umroh berkali-kali, dan yang paling tak dapat dilupakan adalah untuk biaya
pemeliharaan para isteri simpanan, atau bersenang-senang dengan perempuan siapa saja
yang mau bagi kaum bapak-bapak yang beragama itu. (Maaf kaum perempuan, saya ini
menceritakan fakta, tetaplah saya juga harus menghormati kaum perempuan yang
menjadi ibu manusia!)
Jadi, tampaknya Pancasila itu hanya raga tak berjiwa sebab sebatas dijadikan
pajangan, alat kebanggaan negara, tata lahirnya dihormati, tapi secara batin telah lama
ditinggalkan. Agama juga begitu; hanya dilaksanakan dalam penampilan, tetapi
sesungguhnya telah lama pula ditinggalkan rohnya, sehingga seolah-olah benar memang
bahwa Tuhan itu telah mati (meminjam istilah Nitzsche lagi ya?).
Pantaslah jika Nabi Muhammad pernah menceritakan kejadian di masa depan,
ketika tiba di Hari Pengadilan Akhirat (Yaumul Hisab), maka Allah menolak orang
muslim masuk surga, meskipun orang itu ibadah ritualnya tertib dan rajin, tapi
sesungguhnya menurut Allah orang itu telah melupakanNya.
Malaikat! Lemparkan saja orang itu ke neraka! perintah Allah.
Protes Yang Mulia! Saya ini setiap hari shalat, juga berpuasa di bulan ramadlan,
membayar zakat fitrah, juga berhaji, dan menjalankan ibadah-ibadah lainnya sebagai
seorang muslim, tapi mengapa saya harus masuk ke neraka? protes si muslim itu.
Sebab kamu sesungguhnya telah melupakan Aku. Ketika Aku lapar, kamu tidak
memberiku makan. Ketika Aku kedinginan, kamu tidak memberikan Aku pakaian. Ketika
Aku sakit, kamu tak pernah menjengukKu! kata Allah.
Mustahil ya Allah Engkau itu Tuhan yang tak akan kelaparan, kedinginan dan
sakit! kata si muslim ahli neraka itu.
Aku adalah orang-orang miskin itu, yang tak punya makanan, tak punya pakaian
dan sakit. Kamu telah melupakan Aku! kata Allah.
Akhirnya si muslim itu pun harus dibakar di api neraka sebab telah melupakan
Tuhan yang telah mengidentikkan diriNya dengan masyarakat yang miskin itu.
Pesan moral agama yang penting ini yang tak mampu ditangkap secara baik,
sehingga banyak orang beragama tetapi sebenarnya mereka tidak mempunyai roh agama
sebab misi Tuhan di muka bumi tak pernah mereka lakukan. Misi itu adalah solidaritas
sosial, tak peduli apapun warna kulitnya, keyakinan atau agamanya, jenis kelaminnya.
Sehingga agama yang berkembang di negara ini tetap menciptakan penderitaan sosial
karena penipuan, korupsi, perselingkuhan, pertikaian, pertarungan politik, agama, etnik,
penelantaran rakyat, pembiaran kemiskinan dan segala macam masalah sosial terabaikan,
sebab para pemeluk agama disibukkan dengan rutinitas ritual, penggalangan dana untuk
membangun tempat-tempat ibadah dan sekolah-sekolah agama, tapi ternyata apa yang
dilakukan dan dibangun itu masih tak dapat menumbuhkan pembangunan moral sosial.
Katanya, pembangunan adalah untuk mengadakan yang belum ada, mengubah
dari yang kurang menjadi lebih baik. Benar bahwa bangunan fisik agama seperti tempat
ibadah dan sekolah semakin banyak dan baik serta megah, tapi tidak menjadikan moral
negara lebih baik. Bahkan agama pun hanya dijadikan alat politik, kekuasaan, dalil-dalil
untuk memperoleh fasilitas pribadi seperti keinginan poligami contohnya.
Kalau orientasi pemikiran maupun paradigma dalam bergama tidak diubah, maka
agama sampai kapanpun hanya akan menjadi bentuk fisik, penampilan atau performance,
sehingga tak ada bedanya antara bangsa yang agamis dengan bangsa secara jantan
mengaku atheis, kecuali hanya pada satu hal, yaitu: Kalau bangsa mengaku atheis tidak
membuang-buang waktu dan biaya untuk membangun fisik agama dan melakukan ritual
agama, sedangkan kita hanya menghambur-hamburkan uang, tenaga dan pikiran, padahal
hasilnya bagi masyarakat tidak lebih baik. Meskipun kegiatan pembangunan keagamaan
terus meningkat, tapi untuk apa kalau ternyata Tuhan merasa tak pernah diperhatikan?
Sebenarnya bukan Tuhan yang mati, tapi kita yang telah membunuh agama kita
sendiri dan kita ganti dengan penyembahan terhadap berhala yang berupa kekayaan,
kemewahan, kekuasaan, kesenangan, nafsu serakah, kebanggaan diri, harga diri yang
terlalu tinggi, sampai-sampai harus menutupinya dengan segala kecurangan, penipuan,
penindasan, penganiayaan, pembunuhan dan pembasmian.
Bangsa ini terlalu gampang mengutuk atheisme, dan bahkan terlalu sensitif
dengan bahasa sindiran. Kalau ada sempalan praktik orang beragama yang keluar dari
pakem yang ada, lantas begitu mudah dianggap sesat, lalu diadili sendiri beramai-ramai
dan dituntut melalui Pengadilan dengan tuduhan penodaan agama.
Tapi kita sudah lama pingsan dalam kesadaran semu. Kita sebenarnya telah larut
dalam kesesatan itu sendiri. Agama murni adalah yang menciptakan kasih sayang
bersama, menciptakan moral sosial, tetapi kita berlaku egois, hedonis, dan apatis. Maka
sebagai umat beragama, kita telah jauh tersesat dari misi agama itu sendiri, sehingga
layaklah kita disebut sebagai masyarakat beraliran sesat yang bisa dihukum dengan
alasan PENODAAN AGAMA.