Anda di halaman 1dari 9

KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN PENYAMAK NABATI (MIMOSA)

TERHADAP KUALITAS FISIK KULIT KAKAP MERAH TERSAMAK


Oleh:
Melawati Susanti1), Latif Sahubawa1), Iwan Yusuf1),
Abstrak
Kulit ikan kakap merah mempunyai sisik yang indah dan hampir sama dengan kulit ular air tawar.
Bila dimanfaatkan sebagai bahan baku kerajinan barang kulit dengan teknologi penyamakan akan
menghasilkan produk yang bernilai tinggi. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh
konsentrasi mimosa (16%, 20%, dan 24%) terhadap kualitas fisik kulit ikan kakap merah tersamak,
serta konsentrasi mimosa terbaik. Desain yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan. Parameter yang diamati meliputi uji fisik (kekuatan tarik,
kemuluran, kekuatan sobek, dan kelemasan).
Berdasarkan hasil analisis varian, ternyata konsentrasi mimosa berpengaruh nyata terhadap
parameter kekuatan tarik dengan konsentrasi 20% pada kulit kakap merah tersamak. Secara
keseluruhan konsentrasi mimosa 20% menghasilkan kemuluran kulit, kekuatan sobek, dan
kelemasan kulit berturut-turut 33%; 226,408 N/cm2; dan 3,304 yang tidak berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya. Kulit kakap merah tersamak hasil penelitian ini sudah memenuhi Standar
Nasional Indonesia (SNI 06-4586-1998).
Kata kunci : penyamakan, kulit kakap merah, mimosa, kualitas fisik

A. PENGANTAR
Hasil laut Indonesia terutama ikan disamping untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan juga
sebagai penghasil devisa negara. Ekspor ikan dalam bentuk ikan segar, ikan kaleng dan sebagainya
menghasilkan devisa cukup besar bagi negara setiap tahunnya. Diantara hasil tangkapan tersebut
adalah jenis kakap merah (Lutjanus spp.).
Kakap merah merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan yang memberikan devisa yang
besar. Produksi perikanan Indonesia pada tahun 2003 mencapai 6 juta ton (http://www.pikiran_
rakyat.com/cetak/1004/06/0604.htm), termasuk di dalamnya kakap merah sebesar 36.118 ton,
mampu memberikan kontribusi terhadap pasokan produk perikanan di dunia (www.forek.or.id/
detail.php?.rubrik=ekonomi&berita ID=3691). Hasil sampingan pengolahan kakap merah adalah
kulit yang sampai kini belum dimanfaatkan secara optimal untuk bahan baku industri kulit,
padahal kulit ikan ini apabila diolah dengan baik dapat menghasilkan kulit dengan motif yang
cenderung mendekati kulit reptile yang bernilai ekonomi tinggi (Puturuhu 1996).
Penyamakan nabati adalah proses penyamakan kulit mentah menjadi kulit samak dengan zat
penyamak dari tumbuh-tumbuhan yaitu tannin. Menurut Purnomo (2001) kulit yang disamak
menggunakan bahan nabati umumnya berwarna coklat muda dan kulitnya agak kaku. Mimosa
(mimosa ekstrak) adalah sari kulit kayu akasia (Acasia deoureus) yang sudah diproses dengan
bahan-bahan kimia. Kulit kayu akasia merupakan salah satu bahan penyamak nabati yang
mengandung 35% tannin dalam bentuk babakan kulit, sedangkan dalam bentuk ekstrak padat
mengandung 63% tannin. Dalam sari akasia terkandung beberapa macam bahan antara lain 63%
zat penyamak, 16% zat bukan penyamak, 19.5% air, dan 1% ampas (Purnomo 2001).
Mochtar dkk. (1990) menyatakan bahwa dengan dilakukannya penggabungan dua atau lebih bahan
penyamak maka kekurangan-kekurangannya akan saling mengisi, sehingga mutu kulit yang
dihasilkan lebih ditingkatkan. Misalnya kulit yang disamak dengan bahan chrom akan mempunyai
sifat-sifat lemas, tahan terhadap temperatur tinggi dan kulit terasa kosong, sedangkan kulit yang
1) = Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM

Hal. 111

disamak dengan bahan penyamak syntan sebagai bahan penyamak ulang mempunyai sifat berisi
dan tidak mulur, tetapi daya tariknya berkurang.

Gambar 1. Kakap merah (Lutjanus spp.)


http://www.banEFishHunt2-468x60.com
Keuntungan penyamakan nabati adalah menghasilkan kulit samak yang tampak berisi, berwarna
gelap, awet, dan mudah diwarnai. Ada perbedaan dari dua proses penyamakan tersebut, oleh
karena itu perlu diteliti pengaruh pemberian bahan penyamak nabati guna mengetahui kualitas
kulit kakap merah tersamak yang dihasilkan berdasarkan sifat fisiknya (kekuatan tarik, kemuluran,
kekuatan sobek dan kelemasan).
Kulit kakap merah sebelum mengalami proses penyamakan terlebih dahulu diawetkan, dengan
proses penyamakan seperti terlihat pada Gambar 1.
Kulit kakap merah

Penimbangan

Perendaman (Soaking)

Pencucian

Pengapuran (Liming)

Pencucian

Buang daging (Fleshing)

Penimbangan

Pengapuran ulang (Liming)

Pencucian

Penghilangan kapur (Deliming)

Pengikisan protein (Bating)

Pembuangan lemak (Degreasing)

Hal. 112

Pencucian

Pengasaman (Pickling)

Penyamakan nabati (mimosa)

Pemeraman

Pencucian

Peminyakan (Fat Liquoring)

Pemeraman

Pengeringan (Aging)

Pementangan (Stacking)

Perataan (Buffing)

Perapihan

Finishing pengkilapan

Pengepresan (Ironning)

Kulit kakap merah tersamak


Gambar 2. Diagram alir penyamakan kulit kakap merah
B. ALAT/BAHAN DAN METODE PENELITIAN
1. Alat/Bahan
Alat yang digunakan dalam analisis sifat fisik kulit tersamak adalah pisau seset, gelas ukur, ember
plastik, alat peregang kulit, sprayer, drum penyamakan, pengaduk, sikat kawat, kertas amplas,
mesin Moustardini, pH-meter, thermometer, seperangkat alat alat buffing, serta perangkat alat
uji/analisis sifat fisik kulit tersamak.
Bahan baku utama yang dipakai adalah kulit ikan kakap merah segar, yang diperoleh dari
perusahaan pengalengan kakap di Probolinggo Jawa Timur. Kulit tersebut hanya merupakan
limbah yang belum dimanfaatkan. Bahan-bahan kimia yang digunakan yaitu air (H2O), soda abu
(NaOH), natrium sulfida (Na2S), amonium sulfat (ZA), minyak sulfonasi, teepol (wetting agent),
soda kue (natrium bikarbonat, NaHCO3), kapur, asam format (FA), asam sulfat (H2SO4), amonium
hidroksida (NH3OH), antiseptik, mimosa, oropon, dan garam dapur (NaCl).
2. Metode Penelitian
a. Tatalaksana
(1). Pemesanan kulit ikan kakap segar dari Probolinggo Jawa Timur.
(2). Pengawetan kulit ikan dengan pedinginan di Cold Storage Jurusan Perikanan dan
Kelautan, Fakultas Pertanian UGM.

Hal. 113

(3). Dipersiapkan untuk proses penyamakan dengan cara dicuci bersih dengan air leding.
(4). Pra penyamakan (ditimbang, direndam dalam air leding, dicuci bersih dengan air
leding).
(5). Penyamakan (mulai dari pengapuran, pencucian, penghilangan kapur, pembuangan
daging, pengikisan protein, pembuangan lemak, penyamakan, sampai perataan dan
perapihan).
(6). Finishing (pengkilapan dan pengepresan)
(7). Pengamatan sifat fisik kulit tersamak.
(8). Pembuatan produk kulit bawal sabit tersamak (dompet dan cover HP.)
b. Rancangan dan perlakuan
Desain statistik yang dipakai dalam penelitian adalah Ranangan Acak Lengkap (RAL) factor
tunggal dengan 3 (tiga) kali ulangan. Data dianalisis dengan analisis keragaman, dilanjutkan
dengan uji perbandingan berganda (Uji BNT) pada tingkat signifikansi 95%. Faktor yang
dicobakan sebagai sumber perlakuan adalah bahan kimia penyamak alami (mimosa), yang
terdiri atas konsentrasi mimosa 16%, 20% dan 24%.
c. Parameter pengamatan
Parameter fisik kulit tersamak yang diamati yaitu: (1) kekuatan tarik (N/cm2), (2) kemuluran
(%), (3) kekuatan sobek (N/cm) dan (4) kelemasan, menggunakan Standar Nasional Indonesia
(SNI) 06-4586-1998 dan IUP-36, 1998.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian menggunakan konsentrasi bahan penyamak nabati (mimosa) sebagai perlakuan, masingmasing perlakuan a1 (konsentrasi mimosa 16%), a2 (konsentrasi mimosa 20%) dan a3 (perlakuan
mimosa 24%).
Hasil pengamatan pengaruh konsentrasi bahan penyamak nabati (mimosa)
terhadap kualitas fisik (kekuatan tarik, kemuluran, kekuatan sobek dan kelemasan) kulit pari
tersamak, rerata nilai serta perlakuan terbaik berdasarkan Standar Nasional dan Internasional
seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pengukuran parameter kualitas kulit nila tersamak
Konsentrasi
Mimosa
a1 (16%)
a2 (20%)
a3 (24%)
Rerata
Standar SNI 064586-1998
Perlakuan Terbaik
Sesuai SNI

Kekuatan Tarik
(N/cm2)
904,978
1.115,013
684,036
901,339
Min. 1.000
a2 (20%)

Parameter Perlakuan
Kemuluran (%) Kekuatan Sobek
(N/cm2)
32,250
294,942
33,000
226,408
29,750
283,443
31,669
268,264
Maks. 30,0
Min. 150
a3 (24%)

a1 (16%)

Kelemasan
3,250
3,304
3,350
3,301
IUP-36,
Kisaran 3-4.
a3 (24%)

1. Kekuatan Tarik (N/cm2)

Hal. 114

Berdasarkan hasil pengujian laboratoris (Tabel 2), ternyata nilai rerata kekuatan tarik dari
perlakuan konsentrasi mimosa 20% memperlihatkan nilai tertinggi (terbaik) sebesar 1.115,103
N/cm2 berdasarkan SNI 06-4586-1998, sedangkan nilai terendah (jelek) dihasilkan dari perlakuan
konsentrasi mimosa 24% (684,339 N/cm2 ) (Gambar 3). Hal ini menunjukan bahwa konsetrasi
mimosa 20% lebih efektif, dalam arti kata bahwa kemampuan penetrasi bahan penyamak
konsentrasi 20% ke dalam pori kulit lebih besar dibandingkan konsentrasi 16% dan 24%.
Dari hasil analisis keragaman, ternyata perlakuan konsentrasi mimosa berpengaruh nyata
terhadap kekuatan tarik kulit tersamak. Perlakuan konsentrasi mimosa umumnya berbeda nyata
satu dengan lainnya pada tingkat signifikansi 95%.
Adanya pengaruh nyata pada konsentrasi yang digunakan karena bahan penyamak nabati
merupakan bahan penyamak yang menghasilkan kulit tersamak yang tampak berisi dan rata,
berwarna kecoklatan, awet, dan mudah diwarnai dan sifatnya akan menghasilkan kekuatan tarik
yang baik. Semakin tinggi nilai kekuatan tarik, semakin baik kulit samak yang dihasilkan. Menurut
Purnomo (1991), kulit yang disamak dengan bahan penyamak nabati akan didapatkan kulit yang
padat, berisi, tetapi kaku, sehingga kemulurannya rendah dan kekuatan tariknya cukup tinggi.
1115
1200

904,98
1000
800

684,03

600
400
200
0

Gambar 3. Rerata nilai kekuatan tarik kulit kakap merah tersamak


2. Kemuluran (%)
Berdasarkan hasil pengujian kemuluran kulit kakap merah tersamak (Tabel 2), ternyata
semakin tinggi konsentrasi mimosa yang dipakai, semakin rendah (jelek) nilai kemuluran yang
dihasilkan, dimana perlakuan konsentrasi mimosa 20% dan 16% memperlihatkan nilai tertinggi
yakni 3,00% dan 32,25% berdasarkan SNI 06-4586-1998, sedangkan nilai terendah (jelek)
dihasilkan dari perlakuan konsentrasi mimosa 24% (29,74%) (Gambar 4). Hal ini menunjukan
bahwa konsetrasi mimosa 20% dan 16% lebih efektif berpenetrasi dan bereaksi dengan
komponene non-kolagen kulit dalam jaringan kulit. Berdasarkan hasil analisis keragaman,
perlakuan konsentrasi mimosa tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kemuluran kulit kakap
merah tersamak pada tingkat signifikansi 95%.
Bila dibandingkan nilai kekuatan tarik kulit kakap merah tersamak dengan kulit ular
tersamak berdasarkan SNI 06-4586-1998 tentang kulit jadi dari kulit ular air tawar, maka hasilnya
lebih tinggi untuk perlakuan konsentrasi mimosa 16% dan 20%, sedangkan untuk perlakuan
konsentrasi 24% lebih rendah dibawah Nilai Standar (30%).
Parameter kemuluran sangat berpengaruh terhadap kualitas barang kulit yang dihasilkan,
seperti pada sepatu pada saat di-oven dengan mesin. Bila tingkat kemuluran rendah maka kulit
akan retak, sebaliknya bila tingkat kemuluran tinggi maka kulit akan berubah bentuk dan
bertambah besar.

Hal. 115

33,00

33

32,25

32
31
29,75

30
29
28
Gambar 4. Rerata nilai kemuluran kulit kakap merah tersamak

3. Kekuatan Sobek (N/cm)


Kekuatan sobek (tearing strength) adalah besarnya gaya maksimal yang diperlukan untuk
menyobek cuplikan sampai sobek. Berdasarkan hasil pengujian laboratoris (lihat Tabel 2), ternyata
nilai rerata kekuatan sobek terbaik (tertinggi) dihasilkan dari perlakuan konsentrasi mimosa 16%.
Sedangkan perlakuan konsentrasi mimosa 20% dan 24% menghasilkan nilai kekuatan sobek
masing-masing: 226,408 N/cm dan 283,443 N/cm (Gambar 5). Jika dibandingkan dengan kualitas
kulit untuk barang kulit berdasarkan SNI 06-4586-1998 (kulit ular air tawar), maka rerata nilai
kekuatan sobek yang dihasilkan dari setiap perlakuan telah memenuhi standar. Sedangkan jika
dibandingkan dengan SNI 06-6121-1999 (kulit ikan pari untuk barang kulit), ternyata semua
perlakuan konsentrasi mimosa menghasilkan kualitas kulit yang belum memenuhi persyaratan
barang kulit. Dari hasil analisis keragaman, perlakuan konsentrasi mimosa tidak berpengaruh nyata
terhadap kekuatan sobek kulit kakap merah tersamak pada tingkat signifikansi 95%.
Penggunaan nilai standar kulit tersamak sebagai bahan baku barang kulit tergantung dari
jenis produk yang akan dibuat. Untuk jenis kulit tersamak yang tipis, pemanfaatannya lebih
ditujukan untuk barang-barang kulit yang tidak mendapatkan beban besar, seperti ham atau jaket,
tutupan atas sepatu, dompet dan lain sebagainya. Sedangkan untuk jenis kulit tersamak yang
cukup tebal, lebih cocok dipakai dalam pembuatan tas, sepatu dan jok mobil (Untari, 2004).
4. Kelemasan (mm)
Kelemasan kulit dapat diukur dengan metode organoleptik, namun hasilnya kurang
maksimal. Dengan perkembangan teknologi industri perkulitas, kelemasan kulit tersamak sudah
dapat diuji secara digital menggunakan alat Softness Tester. Semakin tinggi nilai kelemasan
semakin baik kualitas ulit tersamak yang dihasilkan. Meskipun demikian, kelemasan kulit
tersamak menentukan jenis produk akhir yang akan diolah sesuai peruntukannya (Purnomo, 2001;
Untari, 2000).
Berdasarkan hasil pengujian kelemasan kulit kakap merah tersamak (Tabel 2), ternyata
semakin tinggi konsentrasi mimosa yang dipakai, semakin meningkat (baik) kelemasan kulit
tersamak yang dihasilkan, dimana perlakuan konsentrasi mimosa 24% memperlihatkan nilai
terbaik (3,35 mm), diikutu konsentrasi 20% dan 16% masing-masing 3,30 mm dan 3,25 mm
(Gambar 6). Jika dibandingkan dengan nilai standar nasional (SNI 06-6121-1999) maupun standar
internasional (IUP-36, 1998), ternyata nilai kelemasan kulit tersamak berada pada kategori terbaik.
SNI 06-6121-1999 dan IUP-36, 1998, mengisyaratkan kelemasan kulit tersamak sebagai bahan

Hal. 116

baku barang kulit berkisar antara 2 4. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas kulit ikan kakap
merah tersamak yang dihasilkan dapat diolah untuk berbagai barang kulit sesuai peruntuk-kannya.

294,94

283,44

300

226,41
250
200
150
100
50
0

Gambar 5. Rerata nilai kekuatan sobek kulit kakap merah tersamak


Dari hasil uji statistik (analisis keragaman), ternyata perlakuan konsentrasi mimosa
memberikan pengaruh nyata terhadap nilai kelemasan kulit kakam merah tersamak. Sedangkan
berdasarkan hasil uji BNT pada tingkat signifikansi 95%, ternyata semua perlakuan berbeda satu
dengan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa penambahan konsentrasi mimosa dalam jumlah
tertentu pada kisaran 16% - 24%, sangat efektif dalam bereaksi dengan komponen-komponen
kimia non-kolagen pembentuk kulit, sehingga kualitas kulit yang dihasilkan lebih baik (Sahubawa,
2004 ; Untari, 2001).

3,35
3,36
3,34

3,304

3,32
3,3
3,28

3,25

3,26
3,24
3,22
3,2

Gambar 6. Nilai kelemasan kulit kakap merah tersamak


D. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Pengaruh pemberian bahan penyamak nabati (mimosa) terhadap kualitas kulit kakap
merah tersamak akan menghasilkan kulit yang padat, berisi, tetapi kaku, sehingga
kemulurannya rendah dan kekuatan tariknya cukup tinggi.

Hal. 117

b. Konsentrasi bahan penyamak nabati (mimosa) yang paling baik terhadap kualitas sifat
fisik kulit kakap merah tersamak yaitu konsentrasi bahan penyamak 20%.
2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata perlakuan konsentrasi mimosa 20% menghasilkan
kualitas kulit kakap merah tersamak yang memenuhi syarat SNI 06-4586-1998 tentang kulit jadi
dari kulit ular air tawar. Selain itu, berdasarkan hasil perhitungan biaya proses produksi,
penggunaan mimosa 20% lebih ekonomis dibandingkan dengan pemakaian mimosa 16% atau
24%. Dengan demikian, disarankan untuk menggunakan konsentrasi mimosa 20% dalam
penelitian dan atau pengembangan produk barang kulit untuk usaha/bisnis.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. SNI Cara Uji Kekuatan Sobek dan Kekuatan Sobek Lapisan Kulit (SNI 06-17941990). Dewan Standardisasi Nasional. Jakarta.
________. SNI Cara Uji Kekuatan Tarik dan Kemuluran Kulit (SNI 06-1795-1990). Dewan
Standardisasi Nasional. Jakarata.
________. 1991. Laporan Penelitian Pemanfaatan Kulit Pari. Proyek Penelitian dan
Pengembangan Industri Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP). Yogyakarta.
________. 1991. Pengawetan Kulit Ikan Laut Secara Penggaram Basah (Wet Salting). Seri I.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP).
Yogyakarta.
________. 1996. Pengawetan Kulit Mentah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri
Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP). Yogyakarta.
________. 1996. Standar Klasifikasi Statistik Ikan Perikanan Laut. Pusat Litbang Perikanan.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Yogyakarta.
________. SNI Kulit Jadi Dari Kulit Ular Air Tawar (SNI 06-4586-1998). Badan Standardisasi
Nasional. Jakarta.
________. SNI Kulit Ikan Pari Untuk Barang Kulit (SNI 06-6121-1999). Badan Standardisasi
Nasional. Jakarta.
________. 1999. Standar Klasifikasi Statistik Ikan Perikanan Laut. Pusat Litbang Perikanan.
Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Yogyakarta.
________. 1989. Measurement of Leather Softness-IUP/36 (Pengukuran dari Kelemasan KulitIUP/36). m:\products\leather\st300\standard\iup-36.doc.
Burhanuddin, A. Djamali, M. Hutomo, dan S. Martosewojo, 1986. Sumberdaya Ikan Kakap
(Lutjanus spp.) dan Bambangan (Lates calcarifer) di Indonesia. Proyek Potensi
Sumberdaya Alam Indonesia. Studi Potensi Sumberdaya Hayati Ikan. Lembaga
Oseanologi Nasional. Lembaga Ilmu Pengetahuan indonesia. Jakarta.
Djamali, A et. al. 1986. Sumber Daya Ikan Kakap (Lutjanus spp.) dan Bambangan (Lates
calcarifer) di Indonesia. LIPI. Jakarta.
http://www.banEFishHunt2-468x60.com
http://www.pikiran_rakyat.com/cetak/1004/06/0604.htm
Irawan, A. 1997. Pengawetan Ikan dan Hasil Perikanan. CV. Aneka. Solo.
Judoamidjojo, R. M. 1981. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Fakultas Teknologi Hasil Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hal. 118

________. 1982. Teknik Penyamakan Kulit Untuk Pedesaan. Fakultas Teknologi Hasil Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lutfie, M. 1991. Penelitian Pemanfaatan Kulit Pari. Simposium Nasional Pengulitan 1991.
Himpunan Ahli Kimia dan Teknologi Kulit Indonesia. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Industri Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP). Yogyakarta.
________. 1991. Pengawetan Kulit Ikan Laut Secara Digaram Basah (Wet Salting). Balai Besar
penelitian dan Pengembangan Industri Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP). Yogyakarta.
Purnomo, E. 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi Teknologi Kulit.
Yogyakarta.
________. 2001. Penyamakan Kulit Reptil. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Puturuhu, B. R. I. 1996. Pemanfaatan Kulit Ikan Kakap Sebagai Bahan Baku Industri Garmen
Kulit. Buletin Sains dan Teknologi Kulit. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP). Yogyakarta.
________. 1996. Pemanfaatan Kulit Ikan Kakap Sebagai Bahan Baku Industri Garmen Kulit.
Buletin Sains dan Teknologi Kulit. 5:47-54.
Rachmi, R. 1997. Teknologi Penyamakan Kulit Ikan Kakap. Universitas Diponegoro. Semarang.
Skripsi.
Saanin, H. 1968. Toksonomi dan Kuntji Identifikasi Ikan. Binatjipta. Bandung.
Sahubawa L., 2004. Teknologi Pengolahan Kulit Ikan. Bahan Ajar Pengolahan Hasil Perikanan,
Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Jurusan Ilmu Perikanan Fakultas Pertanian
UGM.
Situmorang, R. 2004. Pengaruh Penggunaan Mimosa Terhadap Sifat Fisik Kulit Ikan Pari
Tersamak. Fak. Pertanian. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Skripsi.
Soemarmi. 1989. Pedoman Pengawetan Kulit Mentah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Industri Kulit, Karet, dan Plastik. Yogyakaarta.
Untari, S. 2000. Penyamakan Kulit Ikan Pari. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri
Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP). Yogyakarta.
________. 2004. Penyamakan Kulit Ikan Pari. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Industri
Kulit, Karet, dan Plastik (BBKKP). Yogyakarta.
www.forek_or.id/detail.php?.rubrik=ekonomi&beritaID=3691

Hal. 119

Anda mungkin juga menyukai