Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Mengingat
Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku [Qs al-Syur
(26): 80].
2.
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW: Sesungguhnya Allah tidak
menurunkan suatu penyakit kecuali menurunkan (pula) obatnya. HR.
Bukhari,
" :
" :
Berobatlah, karena Allah tidak menjadikan penyakit kecuali menjadikan
pula obatnya, kecuali satu penyakit yaitu pikun (tua). HR. Abu Dawud,
Tirmidzi, NasaI dan Ibnu Majah
" " : :
Sesungguhnya Thariq bin Suwaid al-Jufiy bertanya kepada Nabi SAW
tentang Khamr, kemudian Nabi melarangnya untuk membuatnya.
Kemudian dia berkata: sesungguhnya saya membuatnya untuk obat.
Kemudian Nabi SAW bersabda: Sesunggunya (khamar) itu bukan obat,
melainkan penyakit. HR. Muslim
" : :
"
Dari Abu Darda, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya
Allah telah menurunkan penyakit dan obat bagi setiap penyakit, maka
berobatlah dan janganlah berobat dengan yang haram. (HR. Abu
Dawud)
:
Dari Sahabat Anas bin Malik RA: Sekelompok orang Ukl atau Urainah
datang ke kota Madinah dan tidak cocok dengan udaranya (sehingga
mereka jatuh sakit), maka Nabi SAW memerintahkan agar mereka
mencari unta perah dan (agar mereka) meminum air kencing dan susu
unta tersebut. (HR. al-Bukhari)
( :
)
Dari Ibnu Abbas RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak
boleh membahayakan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula)
membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain)
dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya). (HR. Ahmad,
Malik, dan Ibn Majah)
3.
Kaidah-Kaidah fiqh:
Bahaya itu harus dihilangkan
Meninggalkan kerusakan diutamakan daripada mengambilkan
kemashlahatan.
Apabila ada dua mafsadah yang bertentangan maka dijaga bahaya
yang lebih besar di antara keduanya dengan jalan mengambil resiko
bahaya yang lebih ringan
1. Pendapat Imam Al-Izz ibn Abd Al-Salam dalam Kitab Qawaid AlAhkam :
Boleh berobat dengan benda-benda najis jika belum menemukan benda
suci yang dapat menggantikannya, karena mashlahat kesehatan dan
keselematan lebih diutamakan daripada mashlahat menjauhi benda
najis.
2. Pendapat Imam al-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu (9/55) :
:
" " :
: .
.
Sahabat-sahabat kami (Pengikut Madzhab Syafii) berpendapat :
Sesungguhnya berobat dengan menggunakan benda najis dibolehkan
apabila belum menemukan benda suci yang dapat menggantikannya,
apabila telah didapatkan obat dengan benda yang suci maka haram
hukumnya berobat dengan benda-benda najis. Inilah maksud dari hadist
Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesehatan kalian pada sesuatu
yang diharamkan atas kalian , maka berobat dengan benda najis
menjadi haram apabila ada obat alternatif yang tidak mengandung najis
dan tidak haram apabila belum menemukan selain benda najis tersebut.
Sahabat-sahabat kami (Pengikut Madzhab Syafii) berpendapat :
Dibolehkannya berobat dengan benda najis apabila para ahli kesehatan
farmakologi- menyatakan bahwa belum ada obat kecuali dengan benda
najis itu, atau obat dengan benda najis itu direkomendasikan oleh
dokter muslim.
3. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi
Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi Fatwa, yang terakhir pada tanggal 20 Juli
2013
Dengan bertawakal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
Menetapkan
Pertama
: Ketentuan Hukum:
: Rekomendasi
1. Meminta kepada Pemerintah untuk menjamin ketersediaan obat-obatan yang
suci dan halal sebagai bentuk perlindungan terhadap keyakinan keagamaan, di
antaranya dengan menyusun regulasi dengan menjadikan fatwa ini sebagai
pedoman.
2. Menghimbau kepada pelaku usaha dan pihak-pihak terkait untuk
memperhatikan unsur kehalalan obat dan tidak serta-merta menganalogikan
penggunaan obat sebagai kondisi darurat.
3. LPPOM diminta untuk tidak mensertifikasi halal obat-obatan yang berbahan
haram dan najis.
4. Menghimbau kepada masyarakat agar dalam dalam pengobatan senantiasa
menggunakan obat yang suci dan halal.
Ketiga
: Ketentuan Penutup
1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya,
menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 11 Ramadhan 1434 H
20 J u l i
2013 M
Ketua,
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Sekretaris,