Istilah asesmen (assessment) dalam Stiggin (1994) sebagai
penilaian proses, kemajuan, dan hasil belajar siswa (outcomes). Sementara itu asesmen diartikan oleh Kumano (2001) sebagai The process of collecting data which is shows the develompment of learning. Dengan demikian dapat disimpukan bahwa asesmen merupakan istilah yang tepat untuk penilaian proses belajar siswa. Namun, meskipun proses belajar siswa merupakan hal yang penting yang dinilai dalam asesmen, faktor hasil belajar juga tidak dapat dikesampingkan. Asesmen juga merupakan kegiatan pengumpulan bukti yang dilakukan secara sengaja, sistematis, dan berkelanjutan serta digunakan untuk menilai kompetensi siswa.
Ennis (1985 dalam Costa, 1985) memperkenalkan berpikir kritis
sebagai berpikir reflektif yang difokuskan pada membuat keputusan mengenai apa yang diyakini atau dilakukan. Batasan berpikir kritis yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Facione (2006) sebagai pengaturan diri dalam memutuskan (judging) sesuatu yang menghasilkan interpretasi, analisis, evaluasi, dan inferensi, maupun pemaparan menggunakan suatu bukti, konsep, metodologi, kriteria, atau pertimbangan kontekstual yang menjadi dasar dibuatnya keputusan. Berpikir kritis penting sebagai alat inkuiri. Berpikir kritis merupakan suatu kekuatan serta sumber tenaga dalam kehidupan bermasyarakat dan personal seseorang.
Menurut Ennis (1985 dalam Costa, 1985) dalam Goals for a
Critical Thinking Curiculum, berpikir kritis meliputi karakter (disposition) dan keterampilan (ability). Karakter dan keterampilan merupakan dua hal terpisah dalam diri seseorang. Dari perspektif psikologi perkembangan, karakter dan keterampilan saling menguatkan, karena itu keduanya harus secara eksplisit diajarkan bersama-sama (Kitchener dan King, 1995 dalam Facione et al., 2000).
Karakter (disposition) tampak dalam diri seseorang sebagai
pemberani, penakut, pantang menyerah, mudah putus asa, dan lain sebagainya. Suatu karakter (disposisi) manusia merupakan motivasi internal yang konsisten dalam diri seseorang untuk bertindak, merespon seseorang, peristiwa, atau situasi biasa. Berbagai pengalaman memperkuat teori karakter (disposisi) manusia yang ditandai sebagai kecenderungan yang tampak, yang dapat dengan mudah dideskripsikan, dievaluasi, dan dibandingkan oleh dirinya sendiri dan orang lain. Mengetahui karakter (disposisi) seseorang memungkinkan kita memperkirakan, bagaimana seseorang cenderung bertindak atau bereaksi dalam berbagai situasi (Facione et al., 2000).
Berbeda dengan karakter, keterampilan dimanifestasikan
dalam bentuk perbuatan. Seseorang dengan keterampilan yang baik cenderung mampu memperlihatkan sedikit kesalahan dalam mengerjakan tugas-tugas sedangkan orang yang kurang terampil membuat kesalahan yang lebih banyak bila diberikan sejumlah tugas yang sama (Facione et al., 2000).
Ennis (dalam Stiggin, 1989:1994) mengungkapkan satu set
tahap-tahap yang termasuk proses berpikir kritis: 1. Mengklarifikasi isu dengan mengajukan pertanyaan kriti 2. Mengumpulkan informasi tentang isu 3. Mulai bernalar melalui berbagai sisi atau sudut pandang yang berbeda-beda 4. Mengumpulkan informasi dan melakukan analisis lebih lanjut, jika diperlukan 5. Membuat dan mengkomunikasikan keputusan
Tujuan dari berpikir kritis adalah mengevaluasi tindakan atau
keyakinan yang terbaik. Menurut Ennis lebih memfokuskan kerangkanya pada proses berpikir yang melibatkan pengumpulan informasi dan penerapan kriteria untuk mempertimbangkan serangkaian tindakan atau pandangan yang berbeda. Ini bersesuaian dengan tingkat berpikir evaluasi pada taksonomi Bloom. Jiwa kritis menurut Ennis meliputi: kebutuhan untuk berpikir logis, berusaha keras untuk memiliki pengetahuan luas dari sumber-sumber yang kredibel, berwawasan atau berpandangan luas, dan memperoleh kesenangan pribadi dalam hubungannya dengan cara pemecahan masalah-masalah yang komplek.
Asesmen kinerja sangat baik digunakan untuk menilai penalaran.
Kita dapat menggunakan suatu isu kepada siswa baik individu maupun kelompok dan kemudian menilai keterampilan berpikir
Sebagaimana pandangan Norris dan Ennis, kerangka kerja konseptual
yang ditawarkan oleh Marzano (1992) mencakup komponen kognitif dan afektif. Dimensi afektif menyatakan bahwa siswa harus mengembangkan dan mempertahankan sikap dan persepsi positif mengenai pembelajaran dan pemahaman tanggung jawab personal untuk berpikir yang bijak. Bila dimensi afektif ini tidak dimiliki, maka sepertinya keterampilan yang mereka miliki jadi sia-sia. Keunggulan kerangka kerja ini adalah bahwa setiap jenis berpikir yang dispesifikasikan diterjemahkan secara natural kedalam pertanyaan yang tampaknya dapat diterapkan pada semua area materi. Lebih jauh, setiap pertanyaan tampaknya unik dan relevan dengan dunia nyata.