Anda di halaman 1dari 3

Perkaderan di Ranah Minang (Bukittinggi)

HMI merupakan suatu wadah yang didalamnya terhimpun para mahasiswamahasiswa Islam yang terorientasi dan berkonsentrasi pada misi keumatan dan misi
kebangsaan.
Sebagaimana dalam AD/ART HMI dijelaskan bahwa HMI merupakan organisasi yang
berfungsi sebagai organisasi kader, maksudnya HMI hadir sebagai pencetak sumber daya
manusia yang yang berkualitas insan cita.
Pembangunan Sumber Daya Manusia melalui olah sikap, nalar, dan perilaku. Proses
pengkaderan HMI adalah menerapkan proses internalisasi nilai-nilai moral dan kebenaran,
baik dalam nilai keislaman, kebangsaan dan kemahasiswaan.
Yang dimaksud dengan kader adalah sekelompok orang yang terorganisir secara terus
menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar.
Dalam konteks Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), maka pengertian dari perkaderan adalah
usaha organisasi yang dilaksanakan secara sadar dan sistematis selaras dengan pedoman
perkaderan HMI, sehingga memungkinkan seorang anggota HMI mengaktualisasikan potensi
dirinya menjadi seorang kader Muslim Intelektual Profesional, yang memiliki kualitas
insan Cita.
Dengan demikian perkaderan HMI bertujuan agar

terciptanya kader muslim-

intelektual-profesional yang berakhlakul karimah serta mampu mengemban amanah Allah


sebagai khalifah fil ardh dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Dalam perjalanannya, proses perkaderan di HMI bukanlah proses yang benar-benar
sempurna, maksudnya tentulah ada kekurangan dan tantangan tersendiri bagi keberhasilan
proses perkaeran tersebut.
Bagi setiap lingkup cabang HMI di seluruh Indonesia tentu berbeda satu sama lain
dalam proses perkaderannya, itu disebabkan karena perbedaan lingkungan, kebudayaan dan
gaya hidup di tiap-tiap linkungan cabang, namun bukan berati sama sekali berbeda, karena
HMI telah merumuskan pedoman perkaderan bagi semua proses perkaderan di lingkup HMI
itu sendiri.

Bebicara tentang perkaderan hari ini, penulis melihat bahwa ada sedikit kemunduran
yang terjadi di dalam tubuh HMI, dimana kader-kader yang terhimpun di HMI hari ini
perlahan-lahan mengalami kemunduran baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Problem-problem tersebut secara dramatis terakumulasi sehingga menjadikan masalah
yang akut dalam perkaderan HMI. Salah satu penyebab utamanya adalah dalam mekanisme
kerja perkaderan itu sendiri yang tidak sesuai dengan track record organisasi.
Begitu pula yang penulis amati di HMI Cabang Bukittinggi, yang merupakan wadah
bagi penulis dalam berproses di HMI ini.
Disini penulis mencoba membuat analisis sederhana dengan berbagai macam realitas
yang penulis

ketahui dari training-training yang penulis kelola. Seiring dengan

berkembangnya HMI di Cabang Bukittinggi, dengan terbentuknya Komisariat - Komisariat


baru di Cabang Bukittinggi, seharusnya diiringi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas
sumber daya kader disana, namun hingga tahun 2014 ini ternyata masih sangat minim,
sehingga regenerasi kader disana sangat lambat secara kualitas.
Dalam 2 tahun terakir, penulis melihat penurunan yang signifikan di dalam tubuh
HMI. Seiring perjalanan roda organisasi, pergantian pengurus dan perjalanan zaman,
sepertinya HMI Cabang Bukittinggi mempunyai tantangan tersendiri yang terbilang sulit
dalam proses melahirkan kader umat dan kader bangsa. Ini disebabkan oleh pewabahan dari
budaya hedonis dan pragmatis yang perlahan-lahan menjalar di tubuh mahasiswa, khususnya
mahasiswa sekitar kota Bukittinggi. Para mahasiswa banyak yang tidak mengetahui arti
penting berorganisasi, sehingga kurangnya minat dan kesadaran mereka untuk berproses di
dalam suatu organisasi khususnya organisasi HMI ini.
Sehingga yang benar-benar bersedia berjuang dengan HMI demi umat dan bangsa
sangatlah minim, ditambah lagi dengan sumber daya intruktur yang minim, baik dari segi
kualitas maupun kuantitas menyebabkan semakin akutnya perkaderan di HMI hari ini.
Di lain segi, penulis juga melihat bahwa semakin banyaknya para senior yang
berpengalaman yang habis masa keanggotaannya, sedangkan junior yang ada dibawah bisa
dikatakan sangat kurang dari segi kualitasnya.

Budaya diskusi yang habis terkikis zaman, budaya membaca yang tak tahu hilang
kemana, sehingga yang tertinggal hanyalah jasad dari HMI itu sendiri. Pergerakan pun tidak
banyak dilakukan, karena kader pembaharu dan penggerak sudah mulai bungkam dengan
keadaan HMI yang tergolong miris.
Walaupun dapat dikatakan rumit dan miris, namun yang masih bisa dipertahankan
oleh HMI Cabang Bukittinggi adalah budaya kekeluargaannya yang masih kental dan terjaga
dengan rapi walau terjadi goncangan-gocangan kecil. Dengan budaya kekeluargaan ini,
penulis berharap HMI Cabang Bukittinggi dapat mengembalikan dua kebudayaan yang
hilang, sebagaimana yang penulis paparkan diatas. Dengan begitu HMI Cabang Bukittinggi
dapat bangkit kembali dengan kader yang berkualitas insan cita dan mampu meneruskan
perjuangan demi terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Demikianlah analisis yang dapat penulis paparkan dalam bentuk essay ini, mohon
maaf jika ada kekurangan dalam penulisanya.
Bukittinggi, 20 Februari 2015

Nurmila Sari

Anda mungkin juga menyukai