Anda di halaman 1dari 23

BAB II

LANDASAN TEORI
2.1

Pengertian Ergonomi
Ergonomi atau ergonomics sebenarnya berasal dari kata yunani yaitu Ergo

yang berarti kerja dan Nomos yang berarti hukum, dengan demikian ergonomi
dimaksudkan sebagai disiplin keilmuan yang mempelajari manusia dalam kaitannya
dengan pekerjaan (Bridger, 1995).
Ergonomi merupakan suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan
informasi mengenai sifat manusia, kemampuan dan keterbatasan manusia untuk
merancang sistem kerja yang baik agar tujuan dapat dicapai dengan efektif, aman dan
nyaman (Sutalaksana, 1979 Dikutip Alfata dkk., 2012).
Perkembangan selanjutnya, ergonomi dikelompokkan atas empat bidang
penyelidikan yaitu penyelidikan tentang tampilan (display), penyelidikan tentang
kekuatan fisik manusia, penyelidikan tentang ukuran tempat kerja dan penyelidikan
tentang lingkungan kerja. Berkenaan dengan bidang-bidang penyelidikan yang
tersebut maka terlihat sejumlah disiplin dalam ergonomi yaitu anatomi dan fisiologi,
antropometri, fisiologi psikologi, dan psikologi eksperimen (Sutalaksana, 1979).
2.2

Ergonomi dalam Perancangan Produk


Dalam perancangan produk, ergonomi dapat mengurangi beban kerja. Tujuan

utamanya adalah untuk menjamin kesehatan kerja, sehingga produktivitas kerja dapat
ditingkatkan. Dalam evaluasi kapasitas kerja, perhatian terutama perlu diberikan
kepada kegiatan fisik, yaitu intensitas, tempo, jam kerja, dan waktu istirahat,
pengaruh keadaan lingkungan termasuk kelembaban, suhu, gerakan udara,
kebisingan, penerangan, warna, debu dan lain-lain, data biologis seperti modifikasi
makanan dan minuman, pemulihan sesudah tidur dan istirahat, perubahan kapasitas
kerja oleh karena usia dan kekhususan pekerjaan misalnya getaran mekanis, kerja
malam, dan kerja bergilir (Sumamur, 1981).

2.3

Sejarah Perkembangan Ergonomi


Pada zaman dahulu ketika masih hidup dalam lingkungan alam asli, manusia

sangat tergantung pada kegiatan tangannya. Peralatan-peralatan, perlengkapanperlengkapan dan rumah-rumah sederhana dibuat hanya sekedar untuk mengurangi
ganasnya alam pada saat itu. Perjalanan waktu walaupun perlahan telah mengubah
manusia dari keadaan primitif menjadi manusia berbudaya. Kejadian ini antara lain
terlihat pada perubahan rancangan peralatan-peralatan yang dipakai yaitu mulai dari
batu yang tidak berbentuk menjadi batu yang mulai berbentuk dengan meruncingkan
beberapa bagian dari batu tersebut (Sutalaksana, 1979).
Banyak lagi perbuatan-perbuatan manusia yang serupa dengan itu dari abad ke
abad. Namun, hal tersebut berlangsung apa adanya. Tidak teratur dan tidak terarah,
bahkan kadang-kadang secara kebetulan. Baru di abad ke-20 ini orang mulai
mensistemasikan

cara-cara

perbaikan

tersebut

dan

secara

khusus

mengembangkannya. Usaha-usaha ini berkembang terus dan sekarang dikenal


sebagai salah satu cabang ilmu yang disebut ergonomi (Sutalaksana, 1979).
Manusia dengan segala sifat dan tingkah lakunya merupakan makhluk yang
sangat kompleks. Untuk mempelajari manusia, tidak cukup ditinjau dari satu disiplin
ilmu saja. Oleh sebab itu untuk mengembangkan ergonomi diperlukan dukungan dari
berbagai disiplin ilmu, antara lain psikologi, antropologi, fisiologi, biologi sosiologi,
perencanaan kerja, fisika dan lain-lain. Masing-masing disiplin tersebut berfungsi
sebagai pemberi informasi (Sutalaksana, 1979).
Baru ketika perang dunia II mata para ahli menjadi terbuka bahwa untuk
merancang suatu system kerja, kita harus bias mengintegrasikan elemen-elemen yang
bebentuk tersebut. Manusia, yang merupakan salah satu komponen system kerja,
perlu mendapatkan perhatian khusus, karena sifatnya yang kompleks. Karena
sejarahnya, ergonomic yang kini merupakan ilmu tersendiri yang mempelajari
karakteristik dan tingkah laku manusia, pada mulanya menerapkan informasi ini
untuk mengembangkan peralatan-peralatan militer (Sutalaksana, 1979).
Sekarang para ahli ergonomic sudah memperluas perhatiannya ke bidang sipil.
Diantaranya perancangan jalan-jalan raya, fasilitas-fasiltas kesehatan, perumahan dan

II-2

arsitektur, pengendalian pencemaran, lapangan udara dan fasilitas-fasilitas lainnya


yang banyak berhubungan dengan manusia. Sudah tentu juga di dunia industri
manufaktur (Sutalaksana, 1979).
2.4

Pendekatan Ergonomi dalam Perancangan Fasilitas Kerja


Ergonomi yang secara umum diartikan sebagai the study of work telah

mampu membawa perubahan yang signifikan dalam mengimplementasikan konsep


peningkatan produktivitas melalui efisiensi penggunaan tenaga kerja dan pembagian
kerja berdasarkan spesialisasi-keahlian kerja manusia. Fokus dari apa yang telah
diteliti, dikaji dan direkomendasikan oleh para pionir studi tentang kerja di industri
ini telah memberikan landasan kuat untuk menempatkan engineer as economist
didalam perancangan sistem produksi, baik yang terkait dengan perancangan produk
maupun proses (mesin, fasilitas dan/atau tatacara kerja). Dalam hal ini implementasi
ergonomi industri berkisar pada dua tema pokok yaitu telaah mengenai interfaces
display dengan mekanisme kendali manusia dan di mesin dalam sebuah sistem kerja,
dan analisa sistem produksi (industri) untuk memperbaiki serta meningkatkan
performans kerja yang ada (Wignjosoebroto, 2006).
Langkah-langkah pendekatan ini diawali dengan identifikasi permasalahan
dengan melihat dan sekaligus melakukan evaluasi terhadap beberapa atribut ketidakergonomisan dari rancangan produk, fasilitas maupun kondisi kerja yang ada.
Atribut-atribut tersebut bisa berupa sikap/posisi kerja orang, kesesuaian-tidaknya
dimensi/ukuran produk ataupun fasilitas kerja dengan antropometri, tingkat
produktivitas kerja (diukur dari waktu maupun standar keluaran), kenyamanan,
pengaruh beban kerja terhadap fisik maupun mental manusia, dan lain-lain. Langkah
awal dilakukan dengan mengumpulkan, mengolah, menguji dan melakukan analisa
data terhadap atribut-atribut ergonomi yang dipilih serta relevan dengan rancangan
yang ingin diperbaiki. Selanjutnya mengembangkan konsep rancangan produk,
fasilitas maupun kondisi kerja yang bisa diharapkan bisa memperbaiki memperbaiki
kinerja (performance) dengan mengacu pada atribut-atribut ergonomis yang telah
ditetapkan (Wignjosoebroto, 2006).

II-3

Pertimbangan aspek ergonomi didalam rancangan diharapkan akan mampu


memperbaiki kinerja produk maupun fasilitas kerja seperti mengurangi waktu
interaksi (interaction time), menekan tingkat kesalahan dalam pengoperasian (human
errors),

memperbaiki

tingkat

kepuasan

pengguna

(user

satisfaction),

dan

mempermudah pemakaiannya (device usability) (Stanton & Young, 1999 Dikutip


Wignjosoebroto, 2006).
Modifikasi terhadap rancangan yang berdasarkan pertimbangan ergonomi
kemudian direalisasikan dengan langkah pembuatan prototipe. Selanjutnya dilakukan
langkah pengujian terhadap prototipe tersebut untuk melihat seberapa jauh dan
signifikan kinerja rancangan produk/silitas kerja yang baru tersebut mampu
memenuhi tolok ukur kelayakan ergonomis seperti aplikasi data antropometri yang
sesuai, waktu/output standard, penggunaan enersi kerja fisik dan keluhan subyektif
(Wignjosoebroto, 2006).
Langkah-langkah untuk melakukan pendekatan ergonomi (ergonomic
methods) dalam hal perancangan produk maupun fasilitas kerja secara umum dapat
ditunjukkan dalam gambar berikut ini (Wignjosoebroto, 2005):

Gambar 2.1. Pendekatan Ergonomi dalam Perancangan Produk atau Fasilitas Kerja
(Sumber : Wignjosoebroto, 2005)

II-4

2.5

Proses-Proses dalam Perancangan Produk


Produk adalah sebuah artefak yaitu sesuatu yang merupakan kreativitas budi-

daya manusia (man-made object) yang dapat dilihat, didengar, dirasakan serta
diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan fungsional tertentu yang dihasilkan melalui
sebuah proses panjang. Produk ini bisa berupa benda fisik maupun non-fisik (jasa),
bisa dalam bentuk yang kompleks seperti mesin maupun fasilitas kerja yang lain, dan
bisa pula merupakan barang-barang konsumtif sederhana untuk keperluan sehari-hari
(Wignjosoebroto, 2006).
Untuk bisa menghasilkan produk khususnya produk industri yang memiliki
nilai komersial tinggi, maka diperlukan serangkaian kegiatan berupa perencanaan,
perancangan dan pengembangan produk yaitu mulai dari tahap menggali ide atau
gagasan tentang fungsi-fungsi yang dibutuhkan dilanjutkan dengan tahapan
pengembangan konsep, perancangan sistem dan detail, pembuatan prototipe, evaluasi
dan pengujian (baik uji kelayakan teknis maupun kelayakan komersial) dan berakhir
dengan tahap pendistribusian (Wignjosoebroto, 2006).
Didalam proses perancangan maupun pengembangannya, pengertian tentang
produk tidaklah bisa dipandang hanya dari karakteristik fisik, attributes ataupun
ingredients semata (yang akan menghasilkan fungsi kerja produk) melainkan harus
juga dilihat, dipikirkan dan dirancang-kembangkan komponen-komponen yang
lainnya berupa packagings dan support services component yang akan membentuk
sebuah rancangan produk yang lengkap dan terintegrasi. Sebuah produk yang
dirancang untuk memberikan aspek teknis-fungsional yang memiliki nilai tambah
tinggi, bisa jadi akan kedodoran pada saat sampai ke tahap komersialisasi karena
tidak dikemas (packaging) secara baik dan dipikirkan langkah-langkah purna jual-nya
(Wignjosoebroto, 2006).
Perancangan produk pada dasarnya merupakan sebuah langkah strategis untuk
bisa menghasilkan produk-produk industri yang secara komersial harus mampu
dicapai guna menghasilkan laju pengembalian modal (rate of investment). Hal ini
perlu disadari benar, karena permasalahan yang dihadapi oleh industri bukan sekedar
mengembangkan ide, kreativitas maupun inovasi produk tetapi juga harus mampu

II-5

menjaga aliran uang (cash flow) dari apa-apa yang dihasilkan melalui proses nilai
tambah dalam aktivitas produksinya (Wignjosoebroto, 2006).
Ukuran sukses sebuah rancangan produk tidak hanya dilihat dari aspek teknis
semata, melainkan juga harus memenuhi kriteria sukses dalam hal nilai tambah
ekonomis-nya.Analisa dan evaluasi yang didasarkan pada metode pendekatan teknoekonomis tentu saja sangat diperlukan untuk memberikan semacam jaminan agar
sebuah rancangan produk mampu memenuhi harapan konsumen dan sekaligus juga
produsen (Wignjosoebroto, 2006).
Analisa dan evaluasi teknis diarahkan terutama dalam hal meningkatkan derajat
kualitas dan reliabilitas performans dari produk guna menghasilkan fungsi-fungsi
(spesifikasi teknis) yang diharapkan, sedangkan analisa dan evaluasi ekonomis
melalui langkah value analisis atau engineering, sebagai missal akan menghasilkan
langkah-langkah efisiensi biaya (costs reduction program) guna menghasilkan produk
yang bernilai komersial dan berdayasaing kuat (Wignjosoebroto, 2006).
Aktivitas perancangan produk secara umum (generic) akan diawali dengan
tahapan identifikasi dan formulasi (mission statement) tentang segala potensi
teknologi, baik berupa teknologi produk maupun teknologi proses, yang dimiliki serta
target pasar yang ingin dipuaskan (Wignjosoebroto, 2006).
Selanjutnya diperlukan penyusunan sebuah konsep produk, bisa berupa produk
baru maupun produk lama yang akan dimodifikasikan menjadi sebuah produk baru
yang mencoba mewujudkan ide ataupun gagasan yang masih bersifat abstraktif
menjadi sebuah rancangan (system & detail design) yang mampu memberikan
gambaran lebih jelas mengenai bentuk maupun penampilan yang diinginkan untuk
memenuhi kebutuhan pasar (demand pull) atau dilatar-belakangi oleh dorongan
inovasi teknologi (market push). Dalam hal ini ada dua macam (sifat) rancangan yang
harus dikerjakan secara terintegrasi didalam, yaitu berupa rancangan teknik atau
rekayasa (engineering design) dan rancangan industrial (industrial design).
Rancangan teknik atau rekayasa (engineering design) dari sebuah produk akan terkait
dengan semua analisis dan evaluasi yang terutama menyangkut teknologi produk

II-6

seperti pemilihan serta perhitungan kekuatan material, bentuk, dimensi geometris,


toleransi dan standard kualitas yang harus dicapai (Wignjosoebroto, 2006).
Semua analisa perhitungan yang dilakukan tersebut akan sangat menentukan
derajat kualitas dan reliabilitas produk guna memenuhi tuntutan fungsi dan spesifikasi
teknis (core component) yang diharapkan. Disisi lain rancangan industrial (industrial
design) akan sangat berpengaruh secara signifikan didalam memberikan sense of
attractiveness, estetika keindahan, serta berbagai macam pertimbangan yang terkait
dengan teknologi proses guna menghasilkan efisiensi ongkos produksi yang berdaya
saing tinggi. Rancangan industrial dari sebuah produk terutama sekali akan
difokuskan pada komponen kemasan (packaging component) seperti kualitas &
reliabilitas, model atau style, harga produk, pembungkus atau kemasan (packaging),
merk dagang (brand name) dan komponen pelayanan penunjang (supporting services
component) seperti pelayanan purna jual (after sales services), warranty, ketersediaan
suku cadang, perbaikan & perawatan, dan sebagainya. Disisi lain rancangan industrial
juga akan memberikan sentuhan-sentuhan ergonomis yang berkaitan dengan
keselamatan, keamanan, kenyamanan dan kelaikan operasional dari sebuah produk
(Wignjosoebroto, 2006).
2.6

Antropometri
Antropometri adalah suatu kumpulan data numerik yang berhubungan dengan

karakteristik fisik manusia, ukuran, bentuk dan kekuatan serta penerapan dari data
tersebut untuk penanganan masalah desain (Wignjosoebroto, 2006).
Data antropometri yang telah diperoleh dapat diaplikasikan sebagai
perancangan, antara lain (Wignjosoebroto, 2006):
1.
2.
3.

Perancangan area kerja (work station, interior mobil, dan lain-lain).


Perancangan peralatan kerja (mesin, perkakas, perlengkapan dan sebagainya)
Perancangan produk-produk konsumtif seperti pakaian, kursi dan meja dan

4.

sejenisnya.
Perancangan lingkungan fisik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data antropometri akan

menentukan bentuk, ukuran dan dimensi yang tepat yang berkaitan dengan produk

II-7

yang dirancang dan manusia yang akan mengoperasikan / menggunakan produk


tersebut.

Dalam

kaitan

ini

maka

perancangan

produk

harus

mampu

mengakomodasikan dimensi tubuh dari populasi terbesar yang akan menggunakan


produk hasil rancangannya tersebut. Secara umum sekurang-kurangnya 90 % - 95 %
dari populasi yang menjadi target dalam kelompok pemakai suatu produk haruslah
mampu menggunakannya dengan selayaknya (Wignjosoebroto, 2006):.
Ada 2 cara pengukuran dalam kaitan posisi tubuh manusia yaitu
(Wignjosoebroto, 2006):
1.

Pengukuran dimensi struktur tubuh (structural body dimensions).


Di sini tubuh diukur dalam berbagai posisi standar dan tidak bergerak (tegak).
Istilah lain dari pengukuran ini dikenal denganstatic anthropometry. Dimensi
tubuh yang diukur dengan posisi tetap antara lain meliputi berat badan, tinggi
tubuh dalam posisi tetap antara lain meliputi berat badan, tinggi tubuh dalam
posisi berdiri, maupun duduk, ukuran kepala, tinggi atau panjang lutut pada saat

2.

berdiri/ duduk, panjang lengan dan sebagainya.


Pengukuran dimensi fungsional tubuh (functional body dimensions)
Di sini pengukuran dilakukan terhadap posisi tubuh pada saat berfungsi
melakukan gerakan-gerakan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan yang harus
diselesaikan. Hak pokok yang ditekankan dalam pengukuran dimensi fungsional
tubuh ini adalah mendapatkan ukuran tubuh yang nantinya akan berkaitan erat
dengan gerakan-gerakan tertentu. Berbeda dengan cara pengukuran yang pertama
yang mengukur tubuh dalam posisi tetap, maka cara pengukuran kali ini
dilakukan pada saat tubuh melakukan gerakangerakan kerja atau dalam posisi
yang dinamis. Cara pengukuran ini akan menghasilkan Dynamic Anthropometry
(Wignjosoebroto,1995).
Salah satu usaha untuk mendapatkan informasi banyak dilakukan melalui

penyelidikan dan pembahasan, dalam penyelidikan itu terdapat empat kelompok


besar sebagai berikut (Wignjosoebroto,1995) :
1.

Penyelidikan tentang tampilan (display)

II-8

Display merupakan suatu perangkat antara (interface) yang mampu menyajikan


informasi tentang keadaan lingkungan dan mengkonsumsikan pada manusia
2.

dalam bentuk tanda, angka dan lambang.


Penyelidikan mengenai hasil kerja manusia dan proses pengendalian.
Dalam hal ini diselidiki tentang aktifitas manusia ketika bekerja dan kemudian

3.

mempelajari cara mengukur dari setiap aktifitas tersebut.


Penyelidikan mengenai tempat kerja
Agar diperoleh tempat kerja yang baik, dalam arti kata sesuai dengan
kemampuan dan kerterbatasan manusia, maka ukuran tersebut harus sesuai

4.

dengan tubuh manusia.


Penyelidikan mengenai lingkungan kerja
Yang dimaksud lingkungan fisik disini meliputi ruangan dan fasilitas yang biasa
digunakan oleh manusia, serta kondisi lingkungan kerja, yang kedua-duanya
banyak mempengaruhi tingkah laku manusia.

2.7

Antropometri dalam Perancangan Produk


Data antropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam anggota

tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar manfaatnya pada saat suatu
rancangan produk ataupun fasilitas kerja akan dibuat. Agar rancangan suatu produk
nantinya bisa sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang akan mengoperasikannya,
maka prinsip-prinsip apa yang harus diambil didalam aplikasi data antropometri
tersebut

harus

ditetapkan

terlebih

dahulu

seperti

diuraikan

berikut

ini

(Wignjosoebroto, 2006) :
1.

Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran yang ekstrim


Disini rancangan produk dibuat agar bisa memenuhi 2 (dua) sasaran produk,
yaitu :
a. Bisa sesuai untuk ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi ekstrim
dalam arti terlalu besar atau kecil bila dibandingkan dengan rata-ratanya.
b. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas dari
populasi yang ada ).

2.

Prinsip perancangan produk yang bisa dioperasikan diantara rentang ukuran


tertentu.

II-9

Disini rancangan bisa dirubah-rubah ukurannya sehingga cukup fleksibel


dioperasikan oleh setiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh.
Contoh yang paling umum dijumpai adalah perancangan kursi mobil yang mana
dalam hal ini letaknya bisa digeser maju/mundur dan sudut sandarannya bisa
dirubah-rubah sesuai dengan yang diinginkan. Dalam kaitannya untuk
mendapatkan rancangan yang fleksibel, semacam ini maka data antropometri
yang umum diaplikasikan adalah rentang nilai 5-th s/d 95-th persentil.
3.

Prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata.


Berkaitan dengan aplikasi data antropometri yang diperlukan dalam proses
perancangan

produk

ataupun

fasilitas

kerja,

maka

ada

beberapa

saran/rekomendasi yang bisa diberikan sesuai dengan langkah-langkah seperti


berikut :
a. Pertama kali terlebih dahulu harus ditetapkan anggota tubuh yang mana yang
nantinya akan difungsikan untuk mengoperasikan rancangan tersebut.
b. Tentukan dimensi tubuh yang penting dalam proses perancangan tersebut,
dalam hal ini juga perlu diperhatikan apakah harus menggunakan data
struktural body dimension ataukah functional body dimension.
c. Selanjutnya

tentukan

populasi

terbesar

yang

harus

diantisipasi,

diakomodasikan dan menjadi target utama pemakai rancangan produk


tersebut. Hal ini lazim dikenal sebagai "market segmentation", seperti produk
mainan untuk anak-anak, peralatan rumah tangga untuk wanita, dll.
d. Tetapkan prinsip ukuran yang harus diikuti semisal apakah rancangan tersebut
untuk ukuran individual yang ekstrim, rentang ukuran yang fleksibel
(adjustable) ataukah ukuran rata-rata.
e. Pilih prosentase populasi yang harus diikuti, 90-th, 95-th, 99-th ataukah nilai
persentil yang lain yang dikehendaki.
f. Untuk setiap dimensi tubuh yang telah diidentifikasikan selanjutnya
pilih/tetapkan nilai ukurannya dari tabel data antropometri yang sesuai.
Aplikasi data tersebut dan tambahkan faktor kelonggaran (allowance) bila
diperlukan seperti halnya tambahan ukuran akibat faktor tebalnya pakaian

II-10

yang harus dikenakan oleh operator, pemakaian sarung tangan (glowes), dan
lain-lain.
Selanjutnya untuk memperjelas mengenai data antropometri untuk bisa
diaplikasikan dalam berbagai rancangan produk ataupun fasilitas kerja maka pada
gambar dibawah ini akan memberikan informasi tentang berbagai macam anggota
tubuh yang perlu diukur pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.2 Antropometri dimensi tubuh manusia yang diukur


Sumber : (Wignjosoebroto, 2006)

1.

Keterangan :
Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai s/d ujung kepala )

2.

Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak

3.

Tinggi bahu dalam posisi berdiri tegak

4.

Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus)

5.

Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak (dalam
gambar tidak ditunjukkan ).

6.

Tinggi tubuh dalam posisi duduk (diukur dari alas tempat duduk/pantat sampai
dengan kepala).

7.

Tinggi mata dalam posisi duduk.

II-11

8.

Tinggi bahu dalam posisi duduk

9.

Tinggi siku dalam posisi duduk ( siku tegak lurus )

10. Tebal atau lebar paha.


11. Panjang paha yang diukur dari pantat s/d ujung lutut.
12. Panjang paha yang diukur dari pantat s/d bagian belakang dari lutut/betis.
13. Tinggi lutut yang bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk.
14. Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai sampai dengan paha.
15. Lebar dari bahu (bisa diukur dalam posisi berdiri ataupun duduk )
16. Lebar pinggul/pantat
17. Lebar dari dada dalam keadaan membusung (tidak tampak ditunjukkan dlm
gambar .
18. Lebar perut
19. Panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi
siku tegak lurus.
20. Lebar kepala.
21. Panjang tangan diukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari.
22. Lebar telapak tangan.
23. Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar-lebar kesamping kiri-kanan
(tidak ditunjukkan dalam gambar ).
24. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak, diukur dari lantai sampai
dengan telapak tangan yang terjangkau lurus keatas (vertikal).
25. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur seperti halnya no 24
tetapi dalam posisi duduk ( tidak ditunjukkan dalam gambar ).
26. Jarak jangkauan tangan yang terjulur kedepan diukur dari bahu sampai ujung jari
tangan.
2.8

Antropometri Tubuh manusia


Sejalan dengan munculnya kesadaran akan arti pentingnya faktor manusia, para

pendisain reaktor maupun instalasi-instalasi lainnya mengikut sertakan antropometri

II-12

dalam desain stasiun kerjanya serta peralatan pendukungnya. Tujuan utama


penyertaan antropometri ini adalah untuk memperkecil beban kerja operator sehingga
keamanan dan keselamatan instalasi itu dapat dipertinggi lagi. Persoalan yang muncul
berkaitan dengan desain peralatan adalah berkaitan dengan antropometri orang
Indonesia adalah kompatibilitasnya dengan antropometri tenaga kerja Indonesia.
Permasalahan ini timbul karena semuanya itu didesain bukan oleh orang Indonesia
dan tidak berdasarkan pada data antropometri tenaga kerja Indonesia, meskipun pada
akhirnya hasil rancangan tersebut akan dioperasikan oleh orang Indonesia. Karena itu
perlu dilakukan pengukuran data antropometri orang Indonesia untuk menjawab
permasalahan yang timbul. Data-data antropometri yang dipelukan itu adalah sebagai
berikut (Wignjosoebroto, 2006):
1.

Antropometri Posisi Berdiri


Antropometri posisi berdiri pada ergonomi yang terpenting adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Tinggi badan
Tinggi bahu
Tinggi pinggul
Tinggi siku
Depa
Panjang lengan

Seperti gambar antropometri posisi berdiri berikut ini:

II-13

Gambar 2.3 Antropometri Posisi Berdiri


Sumber: (Wignjosoebroto, 2006)
2.

Antropometri Posisi Duduk

Gambar 2.4 Antropometri Posisi Duduk


Sumber:( Wignjosoebroto, 2006)
Antropometri posisi duduk terpenting yang harus diukur adalah :
a. Tinggi lutut
b. Lipat lutut punggung
c. Tinggi duduk

II-14

d. Lipat lutut telapak kaki


e. Panjang lengan bawah dan lengan
3.

Antropometri Kepala

Gambar 2.5 Antropometri Kepala


Sumber: (Wignjosoebroto, 2006)
Beberapa bagian yang perlu diukur untuk kepala antara lain :
a. Jarak antara vertek dengan dagu (A)
b. Jarak antara mata dengan dagu (B)
c. Jarak antara hidung dengan dagu (C)
d. Jarak antara mulut dengan dagu (D)
e. Jarak antara ujung hidung dengan lekukan lubang hidung (E)
f. Jarak antara ujung hidung dengan kepala belakang (F)
g. Jarak antarai dengan belakang kepala (G)
h. Jarak antara vertex dengan lekukan di antara kedua alis (H)
i. Jarak antara vertex dengan daun telinga atas (I)
j. Jarak antara vertex dengan lubang telinga (J)
k. Jarak antara vertex dengan daun telinga bawah (K)
l. Lingkar kepala membujur (L)
m. Lingkar kepala melintang (M)
n. Lebar kepala (N)
o. Jarak antara kedua mata (O)
p. Jarak antara kedua pipi (P)
q. Jarak antara kedua lubang hidung (Q)
r. Jarak antara kedua persendian rahang bawah (R)
s. Jarak antara kedua daun telinga (S)
t. Jarak antara cuping hidung (T)

II-15

4.

Antropometri tangan
Pada antropometri tangan beberapa bagian yang perlu diukur adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Panjang tangan (A)


Panjang telapak tangan (B)
Lebar tangan sampai ibu jari (C)
Lebar tangan sampai matakarpal (D)
Ketebalan tangan sampai matakarpal (E)
Lingkar tangan sampai telunjuk (F)
Lingkar tangan sampai ibu jari (G)

Gambar: 2.6 Antropometri Tangan


Sumber : (Wignjosoebroto, 2006)

5.

Antropometri kaki
Pada antropometri kaki beberapa bagian yang perlu diukur adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Panjang kaki (A)


Lebar kaki (B)
Jarak antara tumit dengan telapak kaki yang lebar (C)
Lebar tumit (D)
Lingkar telapak kaki (D)
Lingkar kaki membujur (E)

II-16

Gambar 2.7 Antropometri Kaki


Sumber: (Wignjosoebroto, 2006)

Manusia yang disesuaikan alat, tetapi alat yang harus disesuaikan manusia.
Agar dapat mendesain produk sesuai edengan ukuran manusia, maka dalam
mendesain produk harus disesuaikan dengan ukuran terbesar (95

th

persentil) dan

ukuran terkecil tubuh (5 th persentil), (Wignjosoebroto, 2006)


2.9

Aplikasi Distribusi Normal dalam Penetapan Data Anthropometri


Data Anthropometri jelas diperlukan agar supaya rancangan suatu porduk bisa

sesuai dengan orang yang akan mengoperasikannya. Ukuran tubuh yang diperlukan
pada hakikatnya tidak sulit diperoleh dari pengukuran secara individual, seperti
halnya yang dijumpai untuk produk-produk yang dibuat berdasarkan pesanan (job
order). Situasi menjadi berubah manakala lebih banyak lagi produk standar yang
harus dibuat untuk dioperasikan oleh banyak orang. Permasalahan yang timbul disini
adalah ukuran siapakah yang nantinya akan dipilih sebagai acuan untuk mewakili
populasi yang ada? Mengingat ukuran individu akan bervariasi satu dengan populasi
yang menjadi target sasaran produk tersebut (Wignjosoebroto, 2006).
Persoalan yang akan muncul dalam penetapan data antropometri akan terletak
pada kemampuan kita dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut
(Wignjosoebroto, 2006):
1.

Seberapa besar sampel pengukuran yang kita ambil untuk menetapkan data
antropometri tersebut?

2.

Haruskah setiap sampel dibatasi per kelompok (segmentasi) yang homogeny ?


II-17

3.

Apakah sudah tersedia data antropometri untuk populasi tertentu yang nantinya
akan menjadi target pemakai?

4.

Bagaimana kita bisa memberikan toleransi perbedaan-perbedaan yang mungkin


akan dijumpai dari data yang tersedia dengan populasi yang akan dihadapi?
Seperti yang telah diuraikan problem adanya variasi ukuran sebenarnya akan

lebih mudah diatasi bilamana kita mampu merancang produk yang memiliki
fleksibility dan sifat mampu suai (adjustable) dengan suatu rentang ukuran tertentu
(Wignjosoebroto, 2006).

Gambar 2.8 Distribusi normal Data Antropometri 95-th Percentil


Sumber: (Wignjosoebroto, 2006)
Untuk penetapan data antropometri ini, pemakaian distribusi normal akan
umum diterapkan. Dalam statistik, distribusi normal dapat diformulasikan
berdasarkan harga rata-rata (mean, X) dan simpangan standarnya (standard deviation,
) dari data yang ada. Dari nilai yang ada tersebut, maka percentil dapat
ditetapkan sesuai dengan tabel probabilitas distribusi normal (Wignjosoebroto, 2006).
2.10 Evaluasi Ergonomis Dalam Proses Perancangan Produk
Proses perancangan produk akan memerlukan pendekatan dari berbagai macam
disiplin. Ilmu-ilmu keteknikan dan rekayasa (engineering) akan diperlukan dalam
perancangan sebuah produk terutama berkaitan dengan aspek mekanikal dan
elektrikal-nya, sedangkan psikologi dianggap penting untuk menelaah perilaku dan

II-18

hal-hal yang dipikirkan oleh manusia yang akan menggunakan rancangan produk
tersebut (Wignjosoebroto, 2006).
Selanjutnya

studi

tentang

ergonomi

(human factors)

akan

mencoba

mengkaitkan rancangan produk untuk bisa diselaras-serasikan dengan manusia,


didasarkan pada kapasitas maupun keterbatasan dari sudut tinjauan kemampuan
fisiologik maupun psikologik-nya dengan tujuan untuk meningkatkan perfomans
kerja dari sistem manusia-produk (mesin). Hubungan antara manusia dengan
lingkungan fisik kerjanya juga merupakan fokus studi (Wignjosoebroto, 2006).
Pertimbangan ergonomis dalam proses perancangan produk yang paling tampak
nyata aplikasinya adalah melalui pemanfaatan data antropometri (ukuran tubuh) guna
menetapkan dimensi ukuran geometris dari produk dan juga bentuk-bentuk tertentu
dari produk yang disesuaikan dengan ukuran maupun bentuk (feature) tubuh manusia
pemakainya (Wignjosoebroto, 2006).
Data antropometri yang menyajikan informasi mengenai ukuran maupun
bentuk dari berbagai anggota tubuh manusia yang dibedakan berdasarkan usia, jenis
kelamin, suku-bangsa (etnis), posisi tubuh pada saat bekerja, dan sebagainya serta
diklasifikasikan dalam segmen populasi pemakai (persentile) perlu diakomodasikan
dalam penetapan dimensi ukuran produk yang akan dirancang guna menghasilkan
kualitas rancangan yang tailor made dan memenuhi persyaratan fittnes for use
(Wignjosoebroto, 2006).
2.11 Konsep Persentil
Dengan persentil, maka yang dimaksudkan disini adalah suatu nilai yang
menunjukkan persentase tertentu dari orang yang memiliki ukuran pada atau dibawah
nilai tersebut. Sebagai contoh 95-th percentil akan menunjukkan 95 % populasi akan
berbeda pada atau dibawah ukuran tersebut, sedangkan 5-th percentil akan
menunjukkan 5% populasi akan berada pada atau dibawah ukuran itu. Dalam
antropometri, angka 95-th akan menggambarkan ukuran manusia yang terbesar dan
5-th persentil akan menunjukkan ukuran terkecil. Bilamana diharapkan ukuran

II-19

yang mampu mengakomodasikan 95% dari populasi yang ada, maka disini diambil
rentang 2,5-th dan 97,5-th persentil sebagai batas-batasnya (Wignjosoebroto, 2006).
Pemakaian nilai-nilai persentil yang umum diaplikasikan dalam perhitungan
data antropometri dapat dijelaskan dalam tabel 2.1 Seperti berikut ini:
Tabel 2.1 Macam persentil dan cara perhitungan dalam distribusi normal
Persentil
Perhitungan
1-St
X2.325
:

2,5-th

X1.96

5-th

X1.645

10-th

X1.28

50-th

90-th

X + 1.28

95-th

X + 1.645

97,5-th

X + 1.96

99-th

X + 2.325

(Sumber

Kristanto, 2011)

2.12 Uji Keseragaman Data


Pengujian keseragaman data dilakukan untuk mengetahui homogenitas data
atau untuk mengetahui tingkat keyakinan tertentu data yang diperoleh seluruhnya
berada dalam batas kontrol. Data yang terlalu ekstrim sewajarnya dibuang dan tidak
dimasukkan dalam perhitungan selanjutnya (Rusdianto, 2011).
Rumus uji keseragaman data:
.(2.1)
=
Dimana

II-20

= standar deviasi
x bar = rata-rata (mean)
n = jumlah data
Ada dua batas kontrol, yakni :
a. Batas Kontrol Atas (BKA) atau UpperControl Limit (UCL)
b. Batas Kontrol Bawah (BKB) atau Lower Control Limit (LCL).
Dalam hal ini, harga K (tingkat kepercayaan) berkisar antara untuk tingkat
kepercayaan 99 %, harga K = 3
Batas Kontrol Atas (BKA) = X + 3(SD)
Batas Kontrol Bawah (BKB) = X - 3(SD)
2.13 Uji Kecukupan Data
Uji kecukupan data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data-data yang
telah dikumpulkan (setelah dikurangi data ekstrem) telah mencukupi untuk digunakan
kemudian. Jika ternyata data tidak mencukupi maka harus dilakukan pengumpulan
data dan uji keseragaman data kembali sampai data yang dikumpulkan mencukupi
(Rusdianto, 2011). Uji kecukupan data bertujuan untuk mengetahui apakah data hasil
pengukuran dengan tingkat kepercayaan dan tingkat ketelitian tertentu jumlahnya
telah memenuhi atau tidak. Untuk menetapkan berapa jumlah observasi yang
seharusnya dibuat (N1), maka terlebih dahulu harus ditetapkan tingkat kepercayaan
(convidence level) dan derajat ketelitian (degree of accuracy) untuk pengukuran
rancangan (Rusdianto, 2011).

Rumus uji kecukupan data ialah (Rusdianto, 2011):

(2.2)

II-21

Dimana:
N = Jumlah data yang didapat
X = Data yang didapat dari pengamatan.
N1 = Jumlah pengamatan yang diperlukan
k = harga indeks confidence (tingkat kepercayaan)
s = tingkat ketelitian
2.14 Uji Kenormalan Data
Uji kenormalan data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data-data yang
telah dikumpulkan terdistribusi normal. Uji kenormalan data perlu dilakukan karena
data yang dikumpulkan merupakan data sampel dan syarat untuk menggunakan data
tersebut pada perhitungan waktu baku adalah data harus terdistribusi normal. Jika
ternyata data tidak terdistribusi normal maka langkah-langkah di atas harus diulang
kembali sampai didapatkan data yang terdistribusi normal (Irianto, 200).
Uji kenormalan pada data-data dimensi tubuh dilakukan dengan menggunakan
software SPSS. Disini digunakan uji hipotesa sebagai berikut (Sincich, 2010):
Ho : Data terdistribusi normal
H1 : Data tidak terdistribusi normal
2.15 Standar Deviasi
Perbandingan penyebaran atau penyimpangan data dari dua kelompok atau
lebih. Menghitung standar deviasi (s) dapat menggunakan rumus di bawah ini
(Rusdianto, 2011).

Rumus standar deviasi:


.(2.3)
Dimana:
n

= jumlah data
II-22

= Standar deviasi

xi

= data ke-i

mean = nilai rata-rata


2.16 Setrika Listrik
Seterika listrik adalah alat yang dipanaskan dengan menggunakan daya listrik
dan digunakan untuk menghilangkan kerut-kerut pada pakaian atau baju atau lainnya
yang terbuat dari kain sehingga licin dan rapi. Pada saat ini ada banyak jenis seterika,
dari yang untuk keperluan rumah tangga sampai industri seperti hotel, rumah sakit,
dan lain-lain (DIKMENJUR, 2013).

Gambar 2.9. Seterika


Sumber: (Wikipedia, 2015)

Bagian panas dari seterika pada awalnya dibuat dari besi sehingga ada masalah
dengan kebersihannya akibat karat pada besi. Hasil perbaikannya, pada saat ini,
bagian pemanasnya dibuat dari alumunium atau stainless steel. Panas dari seterika
modern dikendalikan dengan termostat yang fungsinya untuk mengendalikan suhu
relatif konstan sesuai dengan kebutuhan, jenis kain dan tingkat kehalusan hasil
setrikaan (DIKMENJUR, 2013).

II-23

Anda mungkin juga menyukai