Anda di halaman 1dari 20

2

2.1

Tinjauan Pustaka

Hidrasi dan Hidrolisis Ion dalam Pelarut

Di alam ini tidak semua elemen selalu terdapat dalam bentuk bebas. Ada juga yang terdapat
sebagai apa yang disebut dengan ion. Sama halnya dengan elemen dalam bentuk yang lebih
kompleks (senyawa), ion ini juga memiliki sifat fisik dan kimia di mana karakteristik
tersebut akan menentukan bagaimana interaksi yang terjadi antara ion dengan pelarutnya,
terutama terhadap air dan komponen senyawa lainnya. Salah satu bentuk ion yang ada dalam
senyawa adalah kation di mana spesi ini memiliki muatan parsial positif. Kation tersebut
dapat berinteraksi dengan pelarut melalui berbagai mekanisme, bergantung kepada sifat fisik
dan sifat-sifat lainnya. Interaksi tersebut bisa rumit, bisa juga sederhana. Pada umumnya
yang paling banyak disoroti adalah interaksi dengan pelarut air. Bagaimana mekanisme
interaksi dengan pelarut air ini berlangsung secara tidak langsung dapat digunakan sebagai
acuan dasar mekanisme interaksi kation dengan pelarut bukan air.

2.1.1

Hidrasi Kation

Hidrasi merupakan proses bergabungnya molekul air disertai dengan bergabungnya molekulmolekul tersebut membentuk solut. Secara termodinamika, kalor hidrasi selalu bernilai
negatif karena energi yang dibutuhkan untuk memisahkan molekul air tersebut jauh
melampaui energi yang dilepas ketika ion bergabung dengan molekul air. Reaksi yang terjadi
antara ion dan pelarut air ini akan menghasilkan ion hidrat. Ion hidrat ini merupakan hasil
konsekuensi dari sifat polar molekul air. Karena atom oksigen pada molekul air lebih
elektronegatif dibanding dengan atom hidrogen maka tiap ikatan H-O akan lebih kovalen
polar dimana ikatan elektron yang terlibat menjadi lebih dekat ke arah atom oksigen daripada
atom hidrogen sehingga atom oksigen akan sangat negatif oleh awan elektron yang
mendekat sedangkan atom hidrogen sebaliknya akan sangat positif. Hal inilah yang
menyebabkan mengapa bentuk molekul air tidak linear karena disebabkan adanya tarikan
elektron (muatan parsial) ke arah oksigen dan ke arah hidrogen.

Gambar 2.1 Kulit hidrasi pada larutan ion


Adanya perbedaan orientasi awan elektron mengakibatkan muatan yang berlawanan tanda
akan saling tarik menarik sehingga spesi kation akan dikelilingi oleh spesi air, dengan atom
oksigen menghapit kation ke arah dalam. Sebaliknya, spesi anion akan dikelilingi oleh
molekul hidrogen ke arah dalam. Kedua jenis ion yang dikelilingi inilah yang disebut dengan
ion hidrat.

Gambar 2.2 Hidrat kation


Adanya antaraksi dari muatan yang berbeda disebabkan oleh tarikan yang kuat. Besarnya
antaraksi ini dapat kita deskripsikan sebagai suatu besaran energi yang sering disebut dengan
energi hidrasi kation. Besarnya energi hidrasi ini bergantung pada muatan, jari-jari kation
(berdasarkan hukum Coulomb) serta keelektronegatifan dari spesi tersebut. Latimer
memberikan suatu perumusan untuk menggambarkan seberapa besar energi hidrasi ini (15)

Persamaan 2.1
Dengan Z adalah besarnya muatan kation dan r jari-jari kation (pm). Parameter
keelektronegatifan memang tidak masuk ke dalam rumusan diatas akan tetapi menurut azas
Pauling nilai keelektronegatifan yang lebih besar dari 1.5 (sebelah kanan tabel periodik)

menunjukkan nilai energi hidrasi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan ion yang ada
disebelah kiri tabel periodik. Selain faktor di atas (muatan, jari-jari dan keelektronegatifan)
ada juga faktor lainnya seperti formasi dari ikatan kovalen yang terjadi akibat adanya
pasangan elektron yang tidak tersebar merata oleh molekul air tetapi oleh spesi ion menjadi
tersebar.

2.1.2

Hidrolisis Kation

Adanya interaksi antara ion logam dengan ujung negatif dari molekul air yang sangat kuat
akan mempengaruhi molekul air secara langsung karena pasangan elektron yang tidak
tersebar dari molekul air akan tertarik mendekat ke arah ion logam sedangkan ikatan H-O
akan lebih tertarik ke arah atom oksigen sebagai akibat adanya pengurangan densitas
elektron. Akibatnya ujung hidrogen pada salah satu molekul air yang terikat ke ion logam
akan putus. Hal ini dapat berlangsung secara terus menerus sedemikian sehingga spesi H2O
yang lepas akan bergabung dengan molekul pelarut membentuk ion hidronium dan
menghasilkan spesi hidroksi untuk berikatan dengan logam (hidroksi kation). Secara singkat
dapat dituliskan sebagai :

[ M ( H 2 O)]Z + + H 2O [ M ( H 2 ) 5 (OH )]Z 1 + H 3O +


Spesi hidroksi kation ini dapat terbentuk dengan cara polimerisasi melalui pengurangan dua
atau lebih molekul H2O sekaligus menghasilkan spesi okso kation.

z[ M ( aq ) (OH ) ( z 1)+ M (OH ) z ( S ) + ( z 1)[ M ( aq ) ] z +


Pada umumnya nilai tetapan kesetimbangan untuk persamaan reaksi diatas bernilai sekitar
10-5.6 (hal ini menunjukkan bahwa rentang nilai pH untuk spesi M(OH)z tidak begitu besar
sehingga akan mempercepat pembentukan hidroksi logam). Persamaan nya dapat dituliskan
sebagai :

5.6
1
pH = pKa log[ M z + ]
z
z
di mana semakin kecil nilai pKa ion logam maka semakin sedikit jumlah basa yang
diperlukan hidroksi logam untuk terpresipitasi. Hal ini menyebabkan besarnya konsentrasi
dari ion logam memiliki efek yang sama seperti hal nya pH pada asam basa. Pada kasus
tertentu hidroksi logam ini dapat mengalami pengurangan spesi air menghasilkan oksida
yang tidak larut.

z
M (OH ) z ( S ) MOz / 2( S ) + H 2 O
2
6

Namun terbentuknya spesi MO (metal oksida) ini sangat sulit diperkirakan kapan terjadinya
karena dalam prakteknya sulit untuk membedakan mana yang merupakan hidroksida dan
mana yang hidroksida yang mengendap. Akan tetapi jika interaksi antara logam dengan
pasangan elektron oksigen kuat, spesi hidroksi akan yang terikat pada logam akan kembali
kehilangan atom H membentuk ion hidronium. Demikian juga dengan hidroksi logam yang
terbentuk, spesi ini akan bersifat asam okso lemah yang selanjutnya dapat terionisasi
membentuk okso anion. Rumitnya proses hidrolisis tersebut memberi gambaran bahwa
interaksi antara muatan positif logam dengan molekul air selama proses pembentukan oksida
berlangsung akan menghasilkan beberapa spesi lain sebagai produk. Ringkasan mekanisme
reaksi hidrolisis di atas dapat dilihat dari gambar 2.3 di bawah ini.

Gambar 2.3 Mekanisme hidrolisis kation(15)

2.2

Struktur dan Sifat Fisik Kristal Titanium Dioksida

Strutur kristal TiO2 dapat terdiri dari anatase, rutil, dan brookite. Di alam anatase bentuk
fisiknya berupa bongkahan kecil dan cenderung terisolasi serta jumlahnya sangat minim jika
dibandingkan dengan struktur rutil dan brookite. Simetrinya berupa delapan simetri
tetragonal dipiramida di mana hal ini cukup bisa digunakan sebagai patokan untuk
membedakan antara stuktur anatase dengan struktur lainnya. Sepintas bongkahan kristalnya
kelihatan seperti piramida ganda yang ujungnya runcing di kedua sisi. Pada temperatur yang
tinggi struktur anatase akan berubah menjadi struktur rutil. Struktur rutil sedikit berbeda
dengan anatase di mana rutil memiliki beberapa simetri oktahedral yang saling berikatan

membentuk rantai yang tersusun menjadi empat lipatan simetri. Untuk beberapa aplikasi,
rutil paling banyak digunakan karena memiliki sifat fisik yang unik, misalnya berkilau, keras
dan tahan terhadap fenomena korosi. Lain halnya dengan brookite, srtuktur ini memiliki
simetri yang polimorf dan akan berubah menjadi rutil pada temperatur sekitar 750 0C. Secara
umum struktur ini tidak jauh berbeda dengan rutil dan anatase dalam hal massa jenis dan
tingkat kekerasan.

2.2.1

Struktur Rutil

Sebagian besar dioksida logam transisi mengkristal dengan struktur rutil walaupun dalam
beberapa bahan struktur ini mengalami distorsi. Struktur rutil digambarkan pada gambar 2.4,
sel satuan rutil adalah tetragonal dengan atom-atom logam terletak pada sudut-sudutnya dan
sel satuannya bersifat primitif. Koordinasi sekitar ion logam mendekati oktahedral tetapi
jarak logam terhadap 4 ion oksida berbeda dengan jarak logam terhadap 2 ion oksida lainnya
yang digambarkan sebagai unit sel tetragonal dengan nilai a = 4,594; c = 2,958 , grup
ruang: P42/ mnm (1 3 6) dengan koordinat atom

terdiri dari Ti di 2(a) pada (0,0,0),

(1/2,1/2,1/2) dan O di 4(f) pada (x,x,0), (1/2+x, 1/2-x,1/2), (1/2-x, 1/2+x,1/2). Seperti halnya
pada struktur perovskit, posisi Ti biasanya sudah hampir pasti terletak di sudut-sudut dan
pusat badan sedangkan atom O memiliki beberapa kemungkinan variabel parameter, di mana
nilai x ditentukan melalui eksperimen. Nilai x berkisar 0,3 untuk TiO2.
Struktur rutil dari TiO2 ini juga pada umumnya dapat digambarkan sebagai suatu distorsi
barisan oksida heksagonal tertutup dengan setengah dari oktahedral diduduki oleh atom Ti.
Sedangkan panjang ikatan TiO2 dapat dihitung secara grafik berdasarkan geometrinya. Misal
untuk ikatan Ti-O dengan Ti pada (1/2,1/2,1/2) dan oksigen pada (0.3, 0.3,0). Adanya
perbedaan perlakuan temperatur atau parameter lain tentu saja akan menghasilkan struktur
dan morfologi yang berbeda-beda pula. Selanjutnya penentuan bilangan koordinasi dari
atom-atom, yaitu pusat badan Ti pada (1/2, 1/2,1/2) akan terkoordinasi secara oktahedral
dengan 6 atom oksigen di mana 4 di antaranya adalah : 2 atom pada 0 dan 2 pada 1 dan di
atasnya 2 pada 0, yang keseluruhannya koplanar terhadap atom Ti. 2 oksigen pada z =
kolinier dengan Ti dan akan membentuk aksis yang oktahedron. Ti yang di sudut juga
kohedral tetapi punya orientasi yang berbeda. Untuk atom oksigen terkoordinasi trigonal
dengan 3 atom Ti yang ada di sudut, pusat badan, dan pusat badan dari sel yang ada di
bawahnya.
Di alam rutil merupakan bentuk TiO2 yang bisa ditemukan dengan mudah di mana
komposisinya dapat mengandung unsur besi hingga 100 %. Rutil diserap dari bahasa Latin
yaitu rutilus yang berarti merah di mana dalam bentuk bebasnya TiO2 ini berwarna agak

kemerahan yang menyala. Itulah sebabnya struktur ini memiliki sifat bias dan dispersi yang
tinggi. Secara struktur, rutil TiO2 berbentuk polimorf yang memiliki volume molekular
paling kecil dari kedua bentuk polimorf lainnya, yaitu anatase dan brookit.

Tabel 2.1 Sifat kristalografi dan fisik struktur rutil TiO2(16)


KRISTALOGRAFI

NILAI

Rasio Aksial

A : c = 1: 0,634

Dimensi Sel

a = 4,594; c = 2,958; Z = 2; V = 62,43

Sistem Kristal

Tetragonal - Ditetragonal Dipiramida

Difrakasi Sinar - X

I/Io = 3,245 (1); 1,687 (0,5); 2,489 (0,41)

SIFAT FISIK

KETERANGAN

Bidang Kristal

[110] jelas
merah, kebiru-biruan, kuning kecoklatan,

Warna

ungu

Kerapatan

4,25

Tingkat kekerasan, Hardness

6 - 6,5 Ortoklase-pirit

Tingkat Kilauan, Luster

adamantine

Warna Lapisan, streak

abu

Sifat Luminisens

tidak ada

Gambar 2.4 Struktur rutil kristal TiO2 (a) oktahedral, (b) ball and stick
Berkaitan dengan kestabilan permukaan, secara termodinamika, rutil memiliki kestabilan
yang lebih tinggi dibandingkan anatase (G0f untuk rutil adalah -212,6 kkal mol-1 sedangkan
G0f untuk anatase adalah -211,4 kkal mol-1)(9). Bentuk rutil memiliki perbedaan celah energi
sebesar 3,05 eV.

2.2.2

Struktur Anatase

Anatase merupakan salah satu bentuk dari kristal TiO2 di alam. Jenis ini terdapat dalam
bentuk padatan kecil yang secara struktur berbentuk tetragonal dengan simetri yang hampir
sama seperti rutil. Meskipun demikian, antara kedua jenis mineral ini besar sudut
antarmukanya tidak sama kecuali untuk zona prisma pada daerah 450 dan 900. Sifat kristal
anatase ini membentuk delapan tetragonal dipiramid berpusat badan. Pada temperatur yang
relatif tinggi (sekitar 915 0C) akan berubah secara otomatis menjadi struktur yang rutil(7).

Tabel 2.2 Sifat kristalografi dan fisik struktur anatase TiO2(17)


KRISTALOGRAFI

NILAI

Rasio Aksial

a : c = 1 : 2,50725

Dimensi Sel

a = 3,793; c = 9,52; Z = 4; V = 136,82

Sistem Kristal

teragonal - ditetragonal dipiramida

Difrakasi Sinar - X

I/Io = 3,51 (1); 1,891 (0,33), 2,379 (0,22)

10

SIFAT FISIK

KETERANGAN

Bidang Kristal

[101] sempurna, [001] nyata

Warna

hitam, kuning, biru gelap, abu-abu

Kerapatan

3,9

Tingkat kekerasan, Hardness

5,5 - 6 knife blade-orthoclase

Tingkat Kilauan, Luster

adamantine - resinous

Warna Lapisan, streak

putih kuning

Sifat Luminisens

tidak ada

Gambar 2.5 Struktur rutil kristal TiO2 (a) oktahedral, (b) ball and stick

2.2.3

Sifat Fotokatalis Oksida Logam

Sifat fotokatalis merupakan salah satu sifat penting yang terdapat pada senyawa oksida
logam seperti. Suatu oksida logam yang berfungsi sebagai fotokatalis dapat berperan sebagai
reduktor ataupun oksidator bergantung pada besarnya energi celah yang dimiliki oleh oksida
itu sendiri. Peran sebagai oksidator atau reduktor suatu fotokatalis inilah yang nantinya dapat
diaplikasikan kepada beberapa hal seperti proses degradasi senyawa berwarna atau senyawa
organik sebagai polutan. Mekanisme fotokatalis dari oksida logam pada umumnya
berlangsung dalam beberapa tahap bergantung kepada jenis oksida logam yang digunakan.

11

2.2.3.1 Fotokatalisis
Katalis merupakan suatu zat yang dapat mempengaruhi laju reaksi tanpa muncul sebagai
produk reaksi. Selain itu juga, katalis adalah sejumlah kecil sistem yang memiliki
kemampuan untuk mengembangkan suatu rute reaksi alternatif yang memberikan laju reaksi
yang lebih cepat. Berdasarkan kesamaan fasanya dengan reaktan, katalis dibagi menjadi dua
kelas, yaitu katalis homogen dan katalis heterogen. Katalis homogen memiliki fasa yang
sama dengan reaktan. Pada umumnya, katalis ini berupa larutan atau campuran. Sedangkan
katalis heterogen memiliki fasa yang berbeda dengan reaktan. Contohnya adalah TiO2 yang
pada saat ini banyak digunakan sebagai katalis dalam pengolahan limbah warna.
Fotokatalis merupakan salah satu katalis yang bekerja apabila diberi cahaya tertentu. Pada
umumnya, fotokatalis merupakan suatu semikonduktor yang memiliki pita valensi penuh dan
pita konduksi kosong. Contohnya adalah TiO2, CdS, ZnS, SrTiO3, MoS2, dan Fe2O3. Bila
semikonduktor tersebut disinari dengan panjang gelombang tertentu, maka elektron (e-) dari
pita valensi akan tereksitasi ke pita konduksi dan menghasilkan suatu lubang positif (h+)
pada pita valensi. Setelah itu akan dapat terjadi dua langkah lanjutan akibat terbentuknya
pasangan lubang-elektron tersebut, yaitu terjadi transformasi energi termal atau reaksi
dengan akseptor elektron atau donor elektron, yakni terjadi reaksi dari sebagian pasangan
elektron dan lubang tadi dengan zat kimia lain pada permukaan.

2.2.3.2 Mekanisme Fotokatalisis dengan Menggunakan TiO2


Titanium dioksida dapat digunakan sebagai fotokatalis karena merupakan semikonduktor
yang memiliki celah energi yang cocok untuk membantu beberapa reaksi kimia. Salah
satunya adalah untuk mendegradasi limbah organik. Celah energi pada TiO2 dapat
mengakibatkan padatan ini mengabsorpsi radiasi elektromagnet pada daerah ultraviolet
(UV). Ketika TiO2 menerima radiasi energi yang lebih besar daripada celah energinya, yaitu
3,2 eV untuk anatase dan 3,0 eV untuk rutil, maka elektron pada pita valensi akan tereksitasi
ke pita konduksi sehingga dihasilkan lubang positif (h+) pada pita valensi.
Pada awalnya fotokatalis TiO2 akan tereksitasi ketika dikenai cahaya dengan panjang
gelombang sekitar 380 nm dan selanjutnya zat berwarna akan tereksitasi dalam suatu proses
yang dikenal dengan fotosensitivitasi bila dikenai cahaya di sekitar daerah sinar tampak dan
kemudian mendonorkan elektronnya pada fotokatalis TiO2 sebagai proses awal dalam
degradasi. Pada mekanisme pertama, foton dengan energi sebesar hv melampaui celah energi
dari semikonduktor TiO2 (~3,2 eV) atau di sekitar panjang gelombang antara 380-400 nm
menyebabkan sebuah elektron tereksitasi dari pita valensi ke pita konduksi dan

12

meninggalkan sebuah lubang hvb pada pita valensi. Elektron yang tereksitasi pada pita
konduksi dan lubang yang terdapat pada pita valensi dapat bergabung kembali dan
mengubah input energi menjadi panas atau terperangkap pada permukaan metastabil. Atau
bisa pula gabungan elektron yang diadsorpsi pada permukaan semikonduktor atau di sekitar
medan listrik muatan partikel. Pada gambar 2.6 diberikan beberapa tahap mekanisme
fotokimia(18), yaitu :
Absorpsi foton dan pasangan elektron lubang serta migrasi elektron dan lubang, (1) dan (2)
merupakan proses rekombinasi elektron lubang pada permukaan, (3) reduksi akseptor
elektron, (4) oksidasi donor elektron.
Absorpsi energi foton sebesar hv mengakibatkan elektron tereksitasi dari pita valensi ke pita
konduksi sehingga mengakibatkan transfer elektron ke molekul oksigen membentuk ion
radikal superoksida (*O2-) dan transfer elektron dari molekul air ke lubang pita valensi
membentuk radikal hidroksil (*OH).

Gambar 2.6 Mekanisme awal kerja oksida logam sebagai fotokatalis


Bila elektron yang cocok atau lubang scavanger tidak tersedia, penyimpanan energi tidak
terjadi dan akan terjadi penggabungan lubang elektron dalam waktu sekitar nanodetik. Jika
scavanger ini cocok atau permukaan cacatnya memungkinkan untuk menjebak elektron atau
lubang, maka penggabungan dapat dicegah dan reaksi redoks dapat terjadi. Kekuatan
oksidasi dari lubang pada pita valensi dimanfaatkan untuk mengoksidasi senyawa organik,
baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk mencegah kenaikan muatan elektron
yang akan mereduksi spesi yang kemudian akan tereduksi di lingkungannya.
Selain digunakan untuk mendegradasi senyawa berwarna pada limbah organik, TiO2 juga
dapat digunakan untuk memproduksi gas hidrogen dari metanol(10). Laju pembentukan
hidrogen akan meningkat ketika permukaan TiO2 di-doping oleh suatu logam yang berfungsi
sebagai katoda. Dalam beberapa penelitian, permukaan TiO2 akan di-doping oleh Ag sebagai
katoda. Siklus reaksi produksi hidrogen melalui fotokatalitik metanol oleh TiO2 yang didoping oleh katoda Ag. Metanol yang terserap pada permukaan Ag akan terdehidrogenasi
menghasilkan gas hidrogen dan karbon monoksida yang terserap dengan kuat pada
permukaan katalis. Hal tersebut menyebabkan reaksi berhenti. Namun, energi yang diserap

13

oleh fotokatalis TiO2 cukup untuk menghasilkan spesi oksigen yang reaktif yang dapat
mengoksidasi gas CO menjadi gas CO2 yang tidak teradsorp oleh permukaan katalis. Dengan
tersedianya kembali permukaan tersebut, maka reaksi akan terulang kembali. Reaksi ini akan
terus terjadi membentuk siklus seperti pada gambar 2.7 berikut ini :

Gambar 2.7 Siklus reaksi fotokatalitik metanol menjadi gas hidrogen

2.2.4

Struktur dan Energi Celah pada Semikonduktor

Suatu fotokatalis dapat berperan sebagai reduktor maupun sebagai oksidator. Hal ini
bergantung pada besarnya celah energi yang dimiliki semikonduktor tersebut dan jenis spesi
yang akan dioksidasi atau direduksi(9). Pada gambar berikut diberikan celah energi berbagai
semikonduktor dan hubungannya dengan potensial reduksi terhadap elektroda hidrogen
standar. Terlihat beberapa semikonduktor mampu mereduksi H+ ataupun mengoksidasi H2O
pada kondisi standar.

-2,0
ZnS
-1,0
0,0
1,0
2,0

CdS CdTe
CdSe

SrTiO3TiO2

3,6 3,2 3,0


eV eV eV

2,
4e

1,4
eV

Si
MoS2
1,7 1,3
WO
3 Fe2O3
eV eV
1,7
5e
2,8
2,3
eV
eV

3,0
Gambar 2.8 Besarnya energi celah pada suatu semikonduktor(10)

14

Apabila inti atom dianggap sebagai matahari dalam pusat tata surya kita, maka dapat kita
analogikan bahwa elektron akan berputar mengelilingi inti atom. Hal ini sesuai dengan
Hukum Niels Bohr yang mengatakan bahwa inti elektron akan bergerak mengelilingi inti
dengan lintasan (orbit) yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat energi masing-masing
elektron. Seberapa banyak elektron yang dapat mengelilingi inti atom adalah terbatas.
Elektron yang terletak pada orbital paling luar disebut elektron valensi yang nantinya
berperan dalam pembentukan ikatan antar atom.
Apabila terdapat beberapa elektron yang akan saling bergabung, maka besarnya energi
elektron pada masing-masing orbital akan berbaur. Namun bila beberapa ikatan atom
bertambah maka besarnya energi elektron tersebut akan kontiniu dengan interval yang tidak
terbatas. Interval ini menunjukkan adanya suatu besaran yang disebut dengan pita energi di
mana daerah di antara dua pita energi tertentu tidak terdapat energi elektron sama sekali
yang sering disebut sebagai forbidden band atau pita terlarang. Di antara pita energi yang
terisi elektron (biasanya orbital elektron yang paling jauh dari inti atom) tingkat energi
paling tinggi mengacu kepada pita valensi dan pita yang berada di luar itu disebut dengan
pita konduksi. Perbedaan energi pada pita terlarang antara pita konduksi dan pita valensi
disebut dengan celah energi atau band gap. Celah energi dapat dianalogikan sebagai
sebuah tembok dimana elektron harus terlebih dahulu loncat melewati tembok tersebut untuk
dapat bebas. Seberapa besar energi yang dibutuhkan disebut dengan energi celah pita di
mana hanya elektron yang mampu menembus dinding dan dapat masuk ke dalam pita
konduksi yang dapat bergerak bebas.

Gambar 2.9 Struktur pita energi celah TiO2


Bila dilakukan penyinaran pada TiO2 yang rutil dan anatase pada panjang gelombang
dibawah 318 dan 413 nm maka elektron pada pita valensi akan naik ke pita konduksi. Pada

15

waktu yang bersamaan dengan itu pula lubang-lubang positif terbentuk sebanyak jumlah
elektron dapat berpindah ke pita konduksi.

2.2.5

Energi dan Sifat Cahaya Efek Cahaya pada TiO2

Semikonduktor yang terdiri dari atom yang berbeda, bentuk pita valensi dan pita konduksi
sangat rumit tapi pada prinsipnya adalah sama. Sebagai contoh pita valensi untuk TiO2 yang
terbentuk dari orbital 2p atom oksigen (O) sedangkan pita konduksi dibentuk oleh orbital 3d
dari atom Ti. Semikonduktor yang memiliki celah energi yang besar menyebabkan elektron
tidak dapat berpindah ke pita konduksi. Namun hal ini bisa terjadi bila ada tambahan energi
dari luar sistem. Proses ini sering disebut dengan eksitasi elektron. Akibatnya akan terbentuk
lubang-lubang elektron sebanyak elektron yang tereksitasi ke pita konduksi pada pita
valensi. Hal ini sejalan dengan perpindahan elektron dari orbital ikatan ke orbital anti ikatan.
Dengan kata lain tingkat fotoeksitasi pada semikonduktor secara umum dapat dikatakan
tidak stabil dan ada kemungkinan untuk gagal ditengah-tengah. Untuk TiO2 hal ini bisa
diminimalkan karena kristal TiO2 ini relatif stabil meskipun loncatan elektron terjadi. Sifat
inilah yang menyebabkan mengapa TiO2 memiliki sifat fotokatalis yang baik.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bagaimana dan seberapa besar struktur pita dapat
mempengaruhi reaksi fotokatalitik pada semikonduktor :
1. Besarnya energi celah pita
2. Posisi elektron paling rendah pada pita konduksi
3. Posisi elektron paling tinggi pada pita valensi
Pada reaksi fotokatalitik, seberapa besar energi celah dan posisi elektron tertinggi pada pita
valensi akan sangat menentukan bagaimana reaksi fotokatalitik tersebut berlangsung. Dan
hal ini bisa digunakan untuk menentukan seberapa besar kekuatan dekomposisi oksidasi dari
TiO2 yang digunakan sebagai fotokatalis.

2.3

Metode Sintesis Padatan Oksida

Metode yang paling banyak digunakan untuk sintesis bahan anorganik mengikuti rute yang
hampir universal dimana sintesis melibatkan pemanasan berbagai komponen pada
temperatur tinggi selama periode yang relatif lama. Reaksi ini melibatkan pemanasan
campuran dua atau lebih padatan untuk membentuk produk yang juga berupa padatan.
Dalam prakteknya banyak hal yang harus diperhatikan sebelum memilih metode yang tepat
untuk melakukan sintesis.

16

Salah satu faktor yang bisa dijadikan dasar pemilihan sintesis adalah laju difusi. Ketika
berbicara mengenai laju berarti mengacu kepada kecepatan reaksi atau laju reaksi. Biasanya
orang lebih memilih metode yang bisa menghasilkan laju yang besar. Untuk mendapatkan
laju yang besar diperlukan suatu konstanta difusi yang bernilai lebih besar dari 10-12 cm2/s
dimana konstanta ini akan naik dengan bertambahnya nilai temperatur. Selain
mempertimbangkan faktor-faktor di atas, teknik preparasi juga berperan penting untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Misalnya pemilihan pereaksi yang tepat, pengubahan
terlebih dahulu campuran reaksi menjadi pelet atau memilih wadah yang tepat untuk
berlangsungnya reaksi.

2.3.1

Sintesis dengan Metode Hidrotermal

Metode hidrotermal adalah metode sintesis dengan memanaskan larutan yang bereaksi dalam
ruang tertutup di atas titik didihnya(10). Pada umumnya, proses kristalisasi berjalan lambat,
namun dapat dipercepat dengan menggunakan metode hidrotermal. Metode hidrotermal juga
dapat digunakan untuk mengatasi rendahnya tingkat kelarutan beberapa garam anorganik.
Tetapi tidak semua garam anorganik dapat larut di dalam air atau pelarut organik lainnya.
Dengan menggunakan tekanan yang lebih tinggi, masalah kelarutan ini biasanya dapat
diatasi.
Istilah hidrotermal berasal dari bidang ilmu geologi dan pertama kali digunakan oleh seorang
ahli geologi berkebangsaan Inggris bernama Sir Roderick Murchison (1792-1871). Istilah ini
menggambarkan perilaku air pada temperatur dan tekanan tinggi yang membawa perubahan
pada lapisan kerak bumi dan mengarah pada pembentukan berbagai macam batuan dan
mineral. Maka, reaksi hidrotermal dapat didefinisikan sebagai suatu reaksi kimia heterogen
dalam suatu larutan (air/non air) di atas temperatur ruangan dan tekanan 1 atm dalam suatu
sistem tertutup.
Keadaan hidrotermal memiliki sifat fisik yang spesifik, solvasi yang tinggi, tekanan yang
tinggi, dan transpor massa pelarut. Oleh karena itu, pada keadaan ini dapat diharapkan
terjadinya beberapa reaksi yang sukar terjadi pada keadaan biasa. Teknik hidrotermal
memberikan beberapa keuntungan, antara lain:
1. Cakupan daerah kerja temperatur dan tekanan yang luas.
2. Memungkinkan dilakukannya sintesis berbagai senyawa yang memiliki bilangan
oksidasi yang sulit diperoleh.
3. Memungkinkan dilakukannya sintesis senyawa metastabil.

17

4. Sistem yang tertutup dan gradien temperatur yang rendah pada teknik hidrotermal
menyebabkan senyawa yang diperoleh memiliki kemurnian yang tinggi, ukuran
yang besar, dan dislokasi yang minimum.
5. Memungkinkan dilakukannya sintesis berbagai fasa senyawa pada temperatur
rendah.
6. Dapat digunakan beragam sumber senyawa dalam berbagai fasa sebagai reaktan.
Untuk skala laboratorium, sistem ini dibuat dengan menggunakan suatu bom/autoclave yang
terbuat dari baja tahan karat untuk menahan tekanan dan temperatur tinggi, sedangkan
tempat terjadinya reaksi digunakan suatu wadah yang terbuat dari teflon yang bersifat inert.

2.3.2

Sintesis dengan Metode Temperatur Rendah

Metode sintesis pada dengan cara hidrotermal diaplikasikan untuk sebagian besar reaksi
padatan dalam hal pembentukan struktur baru dari reaktan-reaktannya. Pembentukan
susunan ion atau ikatan akan membutuhkan energi yang besar untuk memutuskan ikatan
sehingga memerlukan temperatur yang relatif tinggi seperti umumnya reaksi kimia padatan.
Oleh karena itu dikembangkan suatu metode yang hampir sama hanya temperatur sintesis
dapat ditekan serendah mungkin atau berada sedikit di atas temperatur kamar yang
melibatkan modifikasi struktur suatu material. Adapun reaksi yang terjadi akan
mengakibatkan perubahan dalam hal interkalasi insersi yakni suatu ion atau molekul
ditambahkan pada suatu senyawa namun struktur awal dari senyawa yang dimasukan tidak
mengalami perubahan atau penukaran ion.
Reaksi temperatur rendah sering disebut juga dengan reaksi Chimie Douce dilakukan pada
kondisi temperatur yang moderat yaitu sekitar 500 0C(10). Reaksi jenis ini termasuk ke dalam
reaksi topotaktik dimana struktur unsur-unsur reaktan dipertahankan dalam produknya.
Contoh teknik yang sering dilakukan adalah interkalasi dan pertukaran ion. Interkalasi
melibatkan penyisipan ion-ion ke dalam struktur yang telah ada dan akan menyebabkan
reduksi pada senyawa awal naik itu dengan penambahan anion (mengakibatkan oksidasi)
atau penambahan kation (mengakibatkan reduksi). Biasanya teknik ini dilakukan pada
padatan yang strukturnya berlapis-lapis (memiliki ikatan kovalen atau Van der Waals).
Sebagai contoh yang mudah ditemui adalah lempung, grafit dan dikalkogen. Reaksi
interkalasi dapat dilakukan secara elektrokimia atau melalui reaksi kimia menggunakan
teknik n-butyl Li
TiS2

n-Bu-Li

LiTiS2

18

Reaksi pertukaran ion melibatkan pertukaran muatan sebagai akibat dari kation-kation yang
terikat secara ionik. Pertukaran ion yang paling mudah terjadi adalah pada kation-kation
monovalen.
Contoh :
LiNbWO6

H3O+

HnbWO6

Li+

Cubic-KSbO3

Na+

Cubic-NaSbO3 +

K+

Metode temperatur rendah ini berguna untuk memodifikasi struktur elektronik dari padatan,
merancang senyawa metastabil baru, dan membuat bahan-bahan reaktif yang memiliki luas
permukaan yang relatif besar yang dapat diaplikasikan sebagai katalis heterogen, baterai, dan
sensor. Namun dari keseluruhan metode sintesis temperatur rendah ini terdapat beberapa
kekurangan yaitu sukar mencari prekursor yang sesuai dan produk metastabil sering tidak
stabil dan dalam praktek aplikasinya membutuhkan temperatur yang tinggi atau kristal
tunggal.

2.4

Efek Medan Listrik dalam Proses Pertumbuhan Kristal Oksida Logam

Dalam beberapa penelitian telah dilakukan suatu pengembangan metode baru dalam hal
pemberian efek medan listrik terhadap permukaan oksida logam. Dari teori yang telah ada
dikatakan bahwa pemberian arus listrik dapat mengakibatkan perubahan dalam hal energi
bebas dari suatu sistem kristal dalam fasa larutan(6). Efek ini akan lebih kelihatan jika
diaplikasikan pada molekul dengan ukuran yang lebih besar. Perubahan lain yang juga
sangat mendasar adalah terjadinya transformasi fasa, pembentukan inti ataupun orientasi
pertumbuhan kristal. Pemberian arus sebesar 1 kV pada permukaan kabel logam yang tipis
(sekitar 1 mm diatas substrat sepanjang 14 mm) akan menghasilkan suatu distribusi listrik
pada permukaan sebesar 4500 V cm-1 pada bagian kabel sebelah kiri dan sekitar 50 V cm-1
pada bagian kabel yang sebelah kanan dari substrat. Kristalinitas dari oksida logam juga
akan mempengaruhi secara luar biasa apabila selama film tipis oksida logam tersebut
dideposisi dan diberikan tambahan medan listrik sebesar + 100 V cm-1.
Biasanya efek penambahan medan listrik ini akan mendapat respon yang baik apabila
struktur dari oksida logam yang bersangkutan berbentuk asimetris sehingga memungkinkan
adanya suatu polarisasi yang kuat sepanjang sumbu c. Hal ini sudah diteliti pada kristal ZnO
di mana dari struktur tersebut adanya pemisahan antara bagian polar dan non polar
mengakibatkan apabila kristal ZnO ini mudah untuk mengalami perubahan posisi atom-atom
nya akibat penambahan medan listrik.

19

Gambar 2.10 Skematik struktur kristal ZnO dalam keadaan terpolarisasi

Namun efek penambahan medan listrik ini bergantung kepada beberapa hal yang berkaitan
dengan sifat fisik dan kimia oksida logam yang bersangkutan, misalnya pada oksida logam
ZnO, apakah atom Zn atau atom O yang berada di atas suatu permukaan akan mempengaruhi
efek medan listrik yang diberikan.
Secara sederhana bagaimana medan listrik dapat diberikan pada permukaan oksida logam
adalah sebagai berikut :
Penambahan medan listrik ini dilakukan pada saat proses deposisi dilakukan. Kabel logam
tipis diletakkan diatas suatu substrat yang kesemuanya berada dalam suatu sistem
pembangkit laser deposisi. Karena plasma yang dihasilkan dari sumber laser sangat
konduktif, maka kabel logam tadi diselubungi dengan alumina terlebih dahulu untuk
mencegah terjadinya hubungan singkat arus listrik antara kabel dengan substrat dalam
lingkungan plasma tersebut. Selanjutnya, karena kabel listrik tipis tersebut diletakkan di atas
sebelah kiri dari substrat, maka medan listrik yang diberikan akan berkurang dari sebelah kiri
ke kanan. Oleh karena itu suatu struktur tertentu dari oksida logam yang terbentuk dalam
pengaruh medan listrik akan terjadi. Dari penelitian dalam oksida logam ZnO didapatkan
hasil di mana dengan pemberian tegangan tinggi sebesar 1 kV ke permukaan kabel logam
tipis tersebut akan memberikan rentang medan listrik/area sebesar 4500 V cm-1 di sebelah
kiri kabel dan 50V cm-1 di sebelah kanan kabel. Skema alat dan rentang medan listrik yang
dihasilkan dapat dilihat pada gambar 2.11.

20

Gambar 2.11 Skema alat PLD (Plasma Laser Deposition) beserta sumber medan listrik

Gambar 2.12 Efek medan listrik pada substrat ZnO (4500-50 V cm-1 sepanjang c-aksis)

2.5

Karakterisasi dengan Menggunakan Difraksi Sinar-X

Analisis struktur suatu padatan dapat dilakukan dengan menggunakan metode difraksi sinarX, dengan mengacu kepada fakta bahwa gelombang dapat mengalami fenomena difraksi
pada saat berinteraksi dengan sistem yang mempunyai kisi atau celah sesuai dengan panjang
gelombang sinar yang ditembakkan. Panjang gelombang sinar-X sekitar 10-10 m, serupa
dengan jarak antar atom dalam padatan kristalin, sehingga, sinar-X dapat digunakan untuk
menentukan struktur padatan kristalin.
Hubungan antara panjang gelombang (), orde difraksi (n), jarak antar bidang kisi (d) dan
sudut difraksi () diungkapkan dalam persamaan Bragg berikut:
n = 2d sin

(2.2)

21

2.6

Penentuan Morfologi Permukaan Padatan Oksida dengan Menggunakan


Metode Scanning Electron Microscopy (SEM)

Sanning Electron Microscopy atau SEM merupakan suatu instrumen yang dapat digunakan
untuk melihat partikel-partikel yang berukuran mikro. Biasanya mikroskop ini menggunakan
rangkaian untuk membelokkan gelombang cahaya dan menghasilkan suatu gambaran yang
diperbesar dengan perbesaran yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mikroskop biasa
karena alat ini menggunakan elektron berenergi tinggi sebagai pengganti gelombang cahaya.
Gambaran yang diperoleh dari instrumen ini berupa gambaran hitam-putih karena tidak
adanya gelombang cahaya.
Sampel ditembakkan dengan berkas elektron berenergi tinggi sehingga menghasilkan
pantulan elektron dengan energi yang lebih rendah. Elektron inilah yang akan menentukan
gambaran morfologi permukaan sampel. Sebelum proses penembakan elektron dilakukan,
biasanya sampel dilapisi dengan emas tipis menggunakan alat sputtering guna mencegah
terjadinya kerusakan struktur akibat penembakan dengan elektron berenergi tinggi

2.7

Penentuan Absorbansi dengan Metode Spektrofotometri Ultraviolet

Pengukuran absorbansi atau serapan pada rentang daerah ultraviolet dan sinar tampak secara
umum digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif dari suatu spesi kimia. Mekanisme
yang terjadi berlangsung dalam dua tahap yaitu eksitasi elektron akibat adanya absorpsi
foton ( M + hv = M* ) dan dilanjutkan dengan relaksasi yang merubah M* menjadi spesi
baru dengan reaksi fotokimia(12). Proses absorpsi dalam daerah ultraviolet dan sinar tampak
ini menyebabkan eksitasi elektron pada ikatan dalam suatu molekul, di mana puncak
absorbansi (pada panjang gelombang maksimum) dipengaruhi secara langsung oleh jenis
ikatan yang ada dalam spesi tertentu. Dalam keperluan analisis kualitatif spektroskopi
absorpsi ini dapat digunakan untuk mengkarakterisasi gugus fungsi dalam suatu molekul,
sedangkan analisis kuantitatif besarnya asorbansi dapat digunakan untuk menentukan
besarnya konsentrasi spesi di dalam suatu sistem. Spesi yang dapat melakukan absorpsi
biasanya meliputi elektron phi (), sigma (), dan n pada golongan s (dalam sistem periodik
unsur), elektron d dan f, dan transfer muatan elektron.
Untuk elektron phi (), sigma (), dan n-elektron, jenis transisi yang terjadi meliputi
molekul-molekul organik dan sebagian kecil anion anorganik. Eektron dari molekul-molekul
yang akan mengabsorpsi meliputi elektron yang digunakan pada ikatan antara atom-atom
dan elektron non-bonding atau elektron yang tidak berpasangan yang pada umumnya
terdelokalisasi. Molekul ini mengabsorpsi energi radiasi karena adanya eksitasi dari elektron
valensi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Proses absorpsi ini biasanya berlangsung pada

22

panjang gelombang 180-185 nm. Untuk senyawa tertentu jenis transisinya pun akan spesifik
sesuai dengan jenis transisi yang terjadi dalam molekul tersebut.
Absorpsi yang melibatkan elektron d dan f pada unsur-unsur golongan logam transisi akan
mengabsorpsi pada daerah panjang gelombang sinar tampak. Spesi dari golongan d akan
mengalami transisi dari orbital 3d dan 4d yang memiliki pita yang lebar dan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan yang mengelilinya. Transisi logam golongan f memiliki puncak
yang sempit karena interaksi elektron-elektron pada orbital 4f ataupun 5f (untuk golongan
lantanida dan aktanida) mengalami efek screening orbital dalam dari pengaruh luar. Khusus
untuk logam transisi, sifat spektrum yang teramati sangat dipengaruhi oleh transisi elekronik
antara tingkat-tingkat energi pada orbital d. Hal ini dapat dipelajari lebih lanjut dengan
menggunakan Teori Medan Kristal (Crystal Field Theory, CFT) di mana dalam teori ini
dijelaskan bagaimanan splitting dalam orbital d logam transisi dapat terjadi. Besarnya
splitting ini sangat dipengaruhi oleh spesi kimia lain yang terikat pada atom pusat. Nantinya
didapat suatu deret gugus fungsi yang menggambarkan posisi puncak absorpsi untuk
berbagai jenis kompleks.
Selain kedua jenis transisi yang telah disebutkan sebelumnya, ada juga spektrum absorpsi
muncul akibat transfer muatan. Proses transfer muatan ini dapat terjadi apabila suatu
senyawa terdiri dari elektron donor dan elektron akseptor sehingga transfer elektron dapat
terjadi dan menghasilkan suatu absorpsi radiasi. Karena transfer elektron memerlukan energi
yang lebih kecil, maka suatu senyawa akan mengabsorpsi pada panjang gelombang yang
lebih kecil. Dalam kompleks logam transisi, setiap atom pusat akan bertindak sebagai
akseptor elektron. Setiap keadaan yang mengakibatkan perpidahan elektron dari suatu orbital
ke orbital lainnya dalam suatu senyawa merupakan indikasi penting dalam melakukan
karakterisasi dengan menggunakan spektrofotometri sinar tampak dan ultraviolet.

23

Anda mungkin juga menyukai