Anda di halaman 1dari 6

1). bagaimana karakteristik hukum pada masa jahiliyah dan dampaknya?

Adapun Karakteristik orang Arab adalah bangga dan sensitif. Bangga karna
bangsa Arab memiliki sastra arab yang terkenal, kejayaan sejarah Arab, dan mahkota
bumi pada masa klasik dan bahasa Arab sebagai bahasa ibu yang terbaik di antara bahasabahasa lain di dunia.
Beberapa sifat lain bangsa Arab pra Islam adalah:
1. Secara fisik, mereka lebih sempurna dibandingkan orang-orang Eropa dalam
berbagai organ tubuh.
2. Kurang bagus dalam pengorganisasian kekuatan dan lemah dalam penyatuan
aksi.
3. Faktor keturunan, keaktifan, dan keberanian lebih kuat dan berpengaruh.
4. Mempunyai struktur kesukuan yang diatur oleh kepala suku (clan).
5. Tidak memiliki hukum yang reguler, Kekuatan pribadi, dan pendapat suku lebih
kuat dan diperhatikan.
6.

Posisi wanita tidak lebih baik daripada binatang, Wanita di anggap barang dan
hewan ternak, tidak mempunyai hak. Setelah menikah, suami menjadi raja dan
penguasa.

Dalam bidang hukum, Musthafa Said Al-Khinn sebagaimana dikutip oleh Jaih
mibarok menyebutkan bahwa bangsa Arab pra-islam menjadikan adat sebagai hukum
dengan berbagai bentuknya. Mereka mengenal beberapa macam perkawinan, di
antaranya:
1. Istibdha, yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan
laki-laki yang di pandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti
keberanian dan kecerdasan. Selama istri bergaul dengan laki-laki tersebut, suami
menahan diri dengan tidak berjimak dengan istrinya sebelum terbukti bahwa
istrinya hamil. Tujuan perkawinan semacam ini adalah agar istrinya melahirkan
anak yang memiliki sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang menyetubuhinya, yang
tidak dimiliki oleh suaminya. Misalnya, seorang suami merelakan istrinya
berjimak dengan raja sampai terbukti hamil agar memperoleh anak yang berasal
dari orang yangterhormat.

2. Poliandri, yaitu beberapa laki-laki berjimak dengan seorang perempuan. Setelah


hamil dan melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang
pernah menyetubuhinya untuk berkumpul di rumahnya. Setelah semuanya hadir,
perempuan itu memberitahukan bahwa ia telah di karuniai anak hasil hubungan
dengan mereka, lalu menunjuk salah seorang dari semua laki-laki yang pernah
menyetubuhinya untuk menjadi bapak dari anak yang di lahirkan nya. Laki-laki
yang ditunjuk tidak boleh menolak.
3. Maqthu, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapak nya
meninggal dunia. Jika anak ingin mengawini ibu tirinya, ia melemparkan kain
kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia menginginkan nya, sementara ibu
tirinya tidak mempunyai kewenangan untuk menolak. Jika anak laki-laki tersebut
masih kecil, ibu tiri di haruskan menunggu sampai anak itu dewasa. Setelah
dewasa, anak tersebut berhak memilih untuk menjadikannya sebagai istri atau
melepaskannya.
4. Badal, yaitu tukar-menukar istri tampa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan
memuaskan hubungan seks dan terhindar dari rasa bosan.
5. Sighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuan nya kepada
seorang laki-laki tampa mahar. (Musthafa Said Al-Khinn, 1984 : 18-19)
Selain beberapa tipe perkawinan di atas, Fyzee Al-Gumma[8], menjelaskan beberapa
perkawinan lain yang terjadi pada bangsa Arab sebelum datang nya islam, sebagai
berikut:
1. Bentuk perkawinan yang di beri sanksi oleh islam, yakni seseorang meminta
kepada orang lain untuk menikahi saudara perempuan atau budak dengan bayaran
tertentu (mirip kawin kontrak)
2.

Protitusi sudah dikenal. Biasanya dilakukan kepada para pendatang (tamu) di


tenda-tenda dengan cara mwngibarkan bendera sebagai tanda memanggil. Jika
wanitanya hamil, ia akan memilih diantara laki-laki yang mengencaninya sebagai
bapak dari anaknya yang di kandung.

3. Mutah adalah praktik yang umum di lakukan oleh bangsa Arab sebelum Islam.
Meskipun pada awalnya Nabi Muhammad SAW. Mengizinkan, tetapi selanjut nya

beliau melarangnya. Hanya kelompok Syiah itsnaa ashari yang mengizinkan


perkawinan tersebut.
Analisis Anderson, menambahkan pula bahwa di Arab pada zaman pra islam,
Tampaknya telah ada berbagai corak perkawinan, boleh jadi mulai perkawinan petrilineal
dan patrilokal sampai perkawinan matrilineal dan matrilokal, termasuk perkawinan
sementara waktu untuk bersenang-senag (mutah).
Dalam kasus lain, Anderson menguraikan bahwa negara Arab sebelum islam,
sebagaimana orang Baduy di Arab sekarang, terorganisasikan berdasarkan kesukuan dan
bersifat patrirkhal. Di luar suku tidak ada jaminan keamanan, selain hukum pertumpahan
darah yang tidak tertulis. Berdasarkan Hukum ini, seorang harus di bela oleh sanak
keluarganya dari pihak laki-laki, bila dia dibunuh oleh salah seorang anggota suku lain;
sedangkan sanak keluarga dari pihak laki-laki si pembunuh, jika mereka tidak
menghendaki pertumpahan darah lebih lanjut, harus menyediakan tebusan darah berupa
sejumlah uang imbalan untuk diberikan kapada Ahli Waris si korban. Oleh karna itu,
wajarlah bila keturuna dari pihak laki-laki secara hukum berhak mewarisi harta milik
seseorang pada saat ia meninggal, sedangkan para wanita, sanak keluarga jauh, dan anakanak yang belum dewasa tidak memiliki hak seperti itu. Namun demikian, tampaknya
perbuatan perjanjian wasiat pun bisa dilakukan, setidak-tidaknya di mekkah...
Uraian singkat di atas menunjuk kan bahwa kondisi sosial Arab seblum islam
cenderung primitif. Meminjam istilah Goldzier, Arab sebelum islam cenderung
barbarism, bukan jahiliyah (bodoh,dungu, dan tidak tahu). Jahiliyah adalah orang yang
menyembah berhala, memakan mayat binatang, melakukan amoral, meninggalkan
keluarga,dan melanggar perjanjian perkawinan dengan sistem mencari keuntungan yang
di lakukan kepada orang yang lemah.
2). Teori-teori pemberlakuan hukum Islam di Indonesia?
ada lima teori tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia, yaitu:
1. Teori Kredo atau Syahadat
Teori kredo atau syahadat ialah teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum
Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai konsekuensi
logis dari pengucapan kredonya.

Teori ini sesungguhnya kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum Islam.
Prinsip tauhid yang menghendaki setiap orang yang menyatakan dirinya beriman kepada
ke-Maha Esaan Allah swt., maka ia harus tunduk kepada apa yang diperintahkan Allah
swt. Dalam hal ini taat kepada perintah Allah swt. dan sekaligus taat kepada Rasulullah
saw. dan sunnahnya.
2. Teori Receptio in Complexu
Teori receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh
hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya
terdapat penyimpangan-penyimpangan.
3. Teori Receptie
Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku
hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu
telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori Receptie dikemukakan oleh
Prof. Christian Snouck Hurgronye dan kemudian dikembangkan oleh van Vollenhoven
dan Ter Haar. Teori ini dijadikan alat oleh Snouck Hurgronye agar orang-orang pribumi
jangan sampai kuat memegang ajaran Islam dan hukum Islam. . Jika mereka berpegang
terhadap ajaran dan hukum Islam, dikhawatirkan mereka akan sulit menerima dan
dipengaruhi dengan mudah oleh budaya barat. Ia pun khawatir hembusan Pan Islamisme
yang ditiupkan oleh Jamaluddin Al-Afgani berpengaruh di Indonesia.
Teori Receptie ini amat berpengaruh bagi perkembangan hukum Islam di
Indonesia serta berkaitan erat dengan pemenggalan wilayah Indonesia ke dalam sembilan
belas wilayah hukum adat. Teori Receptie berlaku hingga tiba di zaman kemerdekaan
Indonesia.
4. Teori Receptie Exit
Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh Prof. Dr. Hazairin, S.H. Menurutnya
setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan
Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan Undang-Undang Negara Republik Indonesia,
semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie
bertentangan dengan jiwa UUD 45. Dengan demikian, teori receptie itu harus exit alias
keluar dari tata hukum Indonesia merdeka.

5. Teori Receptie A Contrario


Teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti
Thalib, S.H. dengan memperkenalkan Teori Receptie A Contrario. Teori Receptie A
Contrario yang secara harfiah berarti lawan dari Teori Receptie menyatakan bahwa
hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan
agama Islam dan hukum Islam. Dengan demikian, dalam Teori Receptie A Contrario,
hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Kalau Teori Receptie mendahulukan berlakunya hukum adat daripada hukum
Islam, maka Teori Receptie A Contrario sebaliknya.
3). Kemanakah hukum Islam Pasca Reformasi?
Era reformasi ditandai dengan berakhirnya era orde baru yang dipimpin oleh Suharto
sebagai presiden republik Indonesia. Turunnya Presiden Suharto dari tampuk
pemerintahan pada tanggal 21 Mei 1998 sekaligus membuka era baru bagi Indonesia ,
sebagai populasi muslim terbanyak di dunia, yang menuntut peran muslim dalam ranah
ekonomi, hukum dan poliitik. Hal ini terlihat dengan munculnya 48 partai politik, yang
sebelumnya pada masa Suharto hanya 3 parpol, 19 diantaranya adalah partai Islam. Juga,
pada masa ini, asas tungal tidak diberlakukan lagi.
Peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam yang telah ditetapkan dalam bentuk
undang-undang diantaranya yaitu ;
1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
3. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992tentang Perbankan,
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
6.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi


Daerah Istimewa Aceh yang mana pemerintah memberikan kewenangan yang
lebih luas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengelola sumber daya
alam dan sumber daya manusia, termasuk di dalamnya penegakan syariat Islam.

7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji


sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 17 Tahun 1999.
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Hukum Perbankan Syariah.
9. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Fenomena perda bernuansa syariat merupakan dampak dari perubahan sistem politik
kenegaraan dan pemerintahan. Sistem politik yang otoritarian berubah menjadi
demokratis. Sistem emerintahan yang sentralistik berubah menjadi desentralistik.
Perubahan-perubahan tersebut berdasarkan tuntutan masyarakat dan telah ditampung
dalam Amandemen UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai