Anda di halaman 1dari 4

Nama: M.

Azrul Ikram Ammar


1). bagaimana karakteristik hukum pada masa jahiliyah dan dampaknya?
Dalam bidang hukum, Musthafa Said Al-Khinn sebagaimana dikutip oleh Jaih
mibarok menyebutkan bahwa bangsa Arab pra-islam menjadikan adat sebagai hukum
dengan berbagai bentuknya. Mereka mengenal beberapa macam perkawinan, di
antaranya:
1. Istibdha, yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjimak dengan
laki-laki yang di pandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti
keberanian dan kecerdasan. Selama istri bergaul dengan laki-laki tersebut, suami
menahan diri dengan tidak berjimak dengan istrinya sebelum terbukti bahwa
istrinya hamil. Tujuan perkawinan semacam ini adalah agar istrinya melahirkan
anak yang memiliki sifat yang dimiliki oleh laki-laki yang menyetubuhinya, yang
tidak dimiliki oleh suaminya. Misalnya, seorang suami merelakan istrinya
berjimak dengan raja sampai terbukti hamil agar memperoleh anak yang berasal
dari orang yangterhormat.
2. Poliandri, yaitu beberapa laki-laki berjimak dengan seorang perempuan. Setelah
hamil dan melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang
pernah menyetubuhinya untuk berkumpul di rumahnya. Setelah semuanya hadir,
perempuan itu memberitahukan bahwa ia telah di karuniai anak hasil hubungan
dengan mereka, lalu menunjuk salah seorang dari semua laki-laki yang pernah
menyetubuhinya untuk menjadi bapak dari anak yang di lahirkan nya. Laki-laki
yang ditunjuk tidak boleh menolak.
3. Maqthu, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapak nya
meninggal dunia. Jika anak ingin mengawini ibu tirinya, ia melemparkan kain
kepada ibu tirinya sebagai tanda bahwa ia menginginkan nya, sementara ibu
tirinya tidak mempunyai kewenangan untuk menolak. Jika anak laki-laki tersebut
masih kecil, ibu tiri di haruskan menunggu sampai anak itu dewasa. Setelah
dewasa, anak tersebut berhak memilih untuk menjadikannya sebagai istri atau
melepaskannya.

4. Badal, yaitu tukar-menukar istri tampa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan
memuaskan hubungan seks dan terhindar dari rasa bosan.
5. Sighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuan nya kepada
seorang laki-laki tampa mahar. (Musthafa Said Al-Khinn, 1984 : 18-19)

2). Teori-teori pemberlakuan hukum Islam di Indonesia?


ada lima teori tentang berlakunya hukum Islam di Indonesia, yaitu:
1. Teori Kredo atau Syahadat
Teori kredo atau syahadat ialah teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum
Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai konsekuensi
logis dari pengucapan kredonya.
Teori ini sesungguhnya kelanjutan dari prinsip tauhid dalam filsafat hukum Islam.
2. Teori Receptio in Complexu
Teori receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh
hukum Islam sebab ia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya
terdapat penyimpangan-penyimpangan.
3. Teori Receptie
Teori Receptie menyatakan bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku
hukum adat. Hukum Islam berlaku bagi rakyat pribumi kalau norma hukum Islam itu
telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. Teori Receptie dikemukakan oleh
Prof. Christian Snouck Hurgronye dan kemudian dikembangkan oleh van Vollenhoven
dan Ter Haar.
4. Teori Receptie Exit
Teori Receptie Exit diperkenalkan oleh Prof. Dr. Hazairin, S.H. Menurutnya
setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan
Undang-Undang Dasar 1945 dijadikan Undang-Undang Negara Republik Indonesia,
semua peraturan perundang-undangan Hindia Belanda yang berdasarkan teori receptie
bertentangan dengan jiwa UUD 45. Dengan demikian, teori receptie itu harus exit alias
keluar dari tata hukum Indonesia merdeka.

5. Teori Receptie A Contrario


Teori Receptie Exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti
Thalib, S.H. dengan memperkenalkan Teori Receptie A Contrario. Teori Receptie A
Contrario yang secara harfiah berarti lawan dari Teori Receptie menyatakan bahwa
hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak bertentangan dengan
agama Islam dan hukum Islam. Dengan demikian, dalam Teori Receptie A Contrario,
hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
3). Kemanakah hukum Islam Pasca Reformasi?
Sejarah mencatat, pergumulan yang terjadi antara politik dan hukum menjadi realitas
sosial yang tidak terpisahkan satu sama lain. Terkhusus dalam hukum Islam sendiri,
perjuangan panjang yang ditempuh oleh para ulama sejak zaman penjajahan hingga
merdeka, perlahan mengalami kemajuan. Dari masa ke masa, Syariat yang kemudian
diasosiasikan sebagai hukum Islam ini megharuskan Negara turut mengakomodir
kehendak hukum yang digali dari masyarakatnya. Dari sini, umat Islam yang menempati
persentase terbanyak dibanding umat lainnya di Negara Republik Indonesia, perlahan
namun pasti, mulai menampakkan taringnya dalam hal perundang-undangan nasional.
Hal ini bisa dilihat pada penghujung kekuasaan rezim orde baru. Di tahun 90-an,
ketika suara umat Islam mulai diperhitungkan dalam kencah perpolitikan, dan melalui
lobi-lobi politik serta sikap kooperatif pemerintah saat itu lebih mendekat pada Islam,
Syariat / hukum Islam tidak lagi dipandang sebelah mata. Khususnya di lingkungan
peradilan agama, dengan lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 dan Inpres No. 1 Tahun 1991
tentang kompilasi hukum Islam.
Pada tahun 1991 juga keluar surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri
Dalam Negeri no 29 dan 47/1991 tentang pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq, dan
Sedekah (BAZIS). Dan berdirinya Bank Muamalat yang diprakarsai oleh ICMI pada
tahun yang sama, menjadiIcon bangkitnya Syariah dalam sekup nasional. Bahkan,
perkembangan itu disambut dengan mendominasinya tokoh-tokoh Islam dalam
keanggotaan MPR 1992-1997 sebagai hasil pemilu 1992.

Lalu, bagaimana sepak terjang hukum Islam selanjutnya pada era reformasi (1998).
Mana yang dimaksud dengan hukum Islam. Apakah syariat Islam terus melaju dengan
baju hukum nasional, atau sebaliknya. Sejauh mana syariat Islam bisa diimplementasikan
dalam bernegara. Era reformasi ditandai dengan berakhirnya era orde baru yang dipimpin
oleh Suharto sebagai presiden republik Indonesia.
Peraturan yang memuat nilai-nilai hukum Islam yang telah ditetapkan dalam bentuk
undang-undang diantaranya yaitu ;
1. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji,
3. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992tentang Perbankan,
4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
6.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi


Daerah Istimewa Aceh yang mana pemerintah memberikan kewenangan yang
lebih luas untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengelola sumber daya
alam dan sumber daya manusia, termasuk di dalamnya penegakan syariat Islam.

7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji


sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 17 Tahun 1999.
8. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Hukum Perbankan Syariah.
9. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara.
Fenomena perda bernuansa syariat merupakan dampak dari perubahan sistem politik
kenegaraan dan pemerintahan. Sistem politik yang otoritarian berubah menjadi
demokratis. Sistem emerintahan yang sentralistik berubah menjadi desentralistik.
Perubahan-perubahan tersebut berdasarkan tuntutan masyarakat dan telah ditampung
dalam Amandemen UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai