Disusun oleh :
Evi Noviliasusi
Opyanda Eka Mitra
Siti Aisyah
Siti Aminah
Yovita Agustia
08310105
09101041
09310264
09101055
09310030
Pembimbing :
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 13.667 pulau dengan
batas luasnya sebesar 2.027.087 km2 mempunyai kurang lebih 129 gunung merapi.
Secara geologis Indonesia terletak di pertemuan di antara 3 plat tektonik utama (Eurasia,
Indo-Australia dan Mediterania) dan secara demografi terdiri dari bermacam-macam
etnik, agama, latar belakang sosial dan budaya, dimana keadaan tersebut memberikan
petunjuk bahwa Indonesia berisiko tinggi sebagai negara yang rawan dari bencana alam
terjadinya gempa bumi, Tsunami, longsor, banjir maupun kecelakaan baik darat, laut
maupun udara. Bencana massal didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang disebabkan
oleh alam atau karena ulah manusia, yang dapat terjadi secara tiba-tiba atau perlahanlahan, yang menyebabkan hilangnya jiwa manusia, kerusakan harta benda dan
lingkungan, serta melampaui kemampuan dan sumber daya masyarakat untuk
menanggulanginya. Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim
medis, para medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah
mati yang perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula. Dalam
penggolongannya bencana massal dibedakan menjadi 2 tipe. Pertama, Natural Disaster,
seperti Tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan sejenisnya. Sedangkan yang
kedua, dikenal sebagai Man Made Disaster yang dapat berupa kelalaian manusia itu
sendiri seperti: kecelakaan udara, laut, darat, kebakaran hutan dan sejenisnya serta akibat
ulah manusia yang telah direncanakannya seperti pada kasus terorisme. DVI (Disaster
Victim Identification) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk
mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat
dipertanggung-jawabkan dan mengacu kepada standar baku Interpol. Adapun proses DVI
meliputi 5 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu dengan yang lainnya,
yang terdiri dari The Scene, The Mortuary, Ante Mortem Information Retrieval,
Reconciliation and Debriefing. Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacammacam metode dan tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol
menentukan Primary Indentifiers yang terdiri dari Fingerprints, Dental Records dan
DNA serta Secondary Indentifiers yang terdiri dari Medical, Property dan Photography.
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante Mortem dan
Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. Primary Identifiers
mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan Secondary Identifiers.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Disaster
mengidentifikasi
Victim
Identification
korban
meninggal
(DVI)
adalah
akibat
suatu
bencana
prosedur
untuk
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta mengacu pada
INTERPOL DVI GUIDELINE. DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi
Manusia, sebagai bagian dari proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan,
sebagai penunjang kepentingan hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data antemortem dan post-mortem, semakin bnyak yang cocok maka smakin banyak yang
baik.
2.2 TUJUAN DVI (Disaster Victim Identification)
Tujuan DVI secara umum adalah sebagai berikut:
1. Dalam rangka mencapai identifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum, sempurna dan paripurna degan semaksimal mungkin sebagai
wujud dari kebutuhan dasar hak asasi manusia, dimana seorang mayat
mempunyai hak untuk dikenali
2. Awal penyidikan
3. Kepentingan civil legal aspect seseorang( asuransi, warian)
1. Melakukan koordinasi dengan tim medis dan aparat keamanan untuk melakukan
evakuasi korban meninggal dari tempat kejadian.
2. Melakukan koordinasi dengan rumah sakit setempat/rumah sakit tempat rujukan
korban meninggal.
3. Melakukan identifikasi terhadap korban meninggal dengan sumber daya yang ada.
4. Membuat kesimpulan sementara terhadap hasil pemeriksaan.
5. Melaporkan hasil identifikasi kepada badan pemerintah terkait.
2.4 Tahap DVI
Proses DVI tersebut mempunyai lima fase, dimana setiap fasenya mempunyai
keterkaitan satu dengan yang lainnya. Fase-fase tersebut yaitu :
a. Fase I TKP (The Scene)
Merupakan tindakan awal yang dilakukan di tempat kejadian peristiwa
(TKP) bencana. Ketika suatu bencana terjadi, prioritas yang paling utama
adalah untuk mengetahui seberapa luas jangkauan bencana. Sebuah organisasi
resmi harus mengasumsikan komando operasi secara keseluruhan untuk
memastikan koordinasi personil dan sumber daya material yang efektif dalam
penanganan bencana. Dalam kebanyakan kasus, polisi memikul tanggung
jawab komando untuk operasi secara keseluruhan. Sebuah tim pendahulu
(kepala tim DVI, ahli patologi forensik dan petugas polisi) harus sedini
mungkin dikirim ke TKP untuk mengevaluasi situasi berikut :
1) Keluasan TKP : pemetaan jangkauan bencana dan pemberian koordinat
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
bencana, ada tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk
forensik
pemeriksaan
fisik
secara
keseluruhan, dari bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga
cacat tubuh dan bekas luka yang ada di tubuh korban.
Data data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data
primer dan data sekunder sebagai berikut :
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi medis)
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan
Identifikasi DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan, yaitu minimal apabila
salah satu identifikasi primer dan atau didukung dengan minimal dua dari
identifikasi sekunder.
Selain mengumpulkan data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus
dilakukan tindakan untuk mencegah perubahanperubahan paska kematian
pada jenazah, misalnya dengan meletakkan jenazah pada lingkungan dingin
untuk memperlambat pembusukan.
c. Fase III Ante Mortem
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum
kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang
yang terdekat dengan jenazah. Data yang diperoleh dapat berupa foto korban
semasa hidup, interpretasi ciri ciri spesifik jenazah (tattoo, tindikan, bekas
luka, dll), rekaman pemeriksaan gigi korban, data sidik jari korban semasa
hidup, sampel DNA orang tua maupun kerabat korban, serta informasi
informasi lain yang relevan dan dapat digunakan untuk kepentingan
identifikasi, misalnya informasi mengenai pakaian terakhir yang dikenakan
korban.
d. Fase IV Rekonsiliasi
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data
ante mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses
identifikasi menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai
dengan data ante mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila
data yang dibandingkan terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau
telah tegak. Apabila data yang dibandingkan ternyata tidak cocok maka
identifikasi dianggap negatif dan data post mortem jenazah tetap disimpan
sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai dengan temuan post mortem
jenazah.
e. Fase V Debriefing
yang
tiba
di
lokasi
bencana
depan
t i m pemulihan harus
pencarian untuk tubuh, properti dan bukti (yang juga dapat digunakan dalam
penyelidikan berikutnya ke penyebab bencana).
Dalam kasus bencana dengan sejumlah besar korban, pembentukan
bagian operasional untuk pengumpulan bukti pemulihan dan merupakan kebutuhan
mutlak. Bagian operasional bertanggung jawab untuk:
a. rekoveri/pemulihan semua badan dan bagian tubuh di lokasi
bencana;
b. pengumpulan dan pelestarian properti yang ditemukan di lokasi bencana yang
tidak secara langsung sesuai dengan pemulihan kembali dari suatu bagian
tubuh atau badan;
c. pengumpulan dan pelestarian efek pribadi lainnya dari korban bencana yang
ditemukandi sekitarnya/sekeliling daerah bencana (misalnya barang-barang
pribadi korban di hotel,dll).
Sedapat mungkin, tanggung jawab untuk pemulihan dan operasi
pengumpulan bukti harusditempatkan di tangan polisi, spesialis seperti
odontologists dan patologist yang dilatih untuk mengenali dan membedakan
jaringan manusia yang diperlukan.
2.5.1 Pemulihan dan pengumpulan bukti / pelestarian prosedur
Sebelum dimulainya operasi, personil operasional harus diberikan pengarahan
mengenaisituasi keseluruhan. Lokasi bencana dicari dan diproses secara metodis
sector per sektor. Setiaptim individu harus diberi sektor tertentu dari
daerah bencana ditentukan oleh komandan sektor operasi. Sebelum
memasuki daerah bencana, personel operasional harus dilengkapi
dengan peralatan keselamatan yang tepat dan pakaian (helm, overall, sepatu bot,
sarung tangan karet, dll)dan disediakan oleh Pusat Komando Pemulihan
(Recovery Command Centre) dengan dokumeny a n g d i p e r l u k a n u n t u k
pemulihan setiap bagian tubuh / badan dan barang bukti. Tim
Pusat
Komando
Pemulihan
juga
menyediakan
untuk
edisi
b.
c.
d.
e.
Bagian B)
daftar bukti
pelat nomor
kantung mayat
segel
b.
tepat
persiapan catatan di atas tangan untuk barang-barang bukti yang harus
menjalani pemeriksaan lebih lanjut untuk tujuan identifikasi atau
c.
e.
identifikasi / pencocokan
menyusun pengembalian properti kepada pemilik / penerima
yang berhak
Daftar Pustaka
1. Singh, Surjit. 2008. Disaster Victim Identification (DVI). Available from :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18620/1/mkn-des2008-41%20(11).pdf
Accessed on 15 oktober 2014
2. Yuliyanti, Arrum C. Disaster Victim Identification (DVI). Available from :
https://www.scribd.com/doc/146509758/DVI Accesed on 17 oktober 2014
3. Sidiek, Aboesina,dkk. 2012. Disaster Victim Identivication (DVI) Pada Bencana Letusan
Gunung Merapi dan Serangan Terorisme Bom Bali I. Universitas Diponegoro.
4.
Semarang.