Laporan Kasus
Laporan Kasus
PENDAHULUAN
Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV)
tipe 1 dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus paling
sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret genital/oral dari
individu yang terinfeksi. Di antara kedua tipe herpes simpleks, herpes genitalis
merupakan salah satu infeksi menular seksual yang perlu mendapat perhatian karena
sifat penyakitnya yang sukar disembuhkan dan sering rekuren, transmisi virus dari
pasien asimtomatik, pengaruhnya terhadap kehamilan/janin dalam kandungan dan
pasien imunokompromais, dampak psikologis, serta kemungkinan timbulnya
resistensi virus.1,2
Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria
maupun wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh herpes
simpleks virus (HSV) tipe I biasa pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II
biasa terjadi pada dekade II atau III dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas
seksual. 3
Infeksi genital yang berulang 6 kali lebih sering daripada infeksi berulang
pada oral-labial; infeksi HSV tipe II pada daerah genital lebih sering kambuh
daripada infeksi HSV tipe I di daerah genital; dan infeksi HSV tipe I pada oral-labial
lebih sering kambuh daripada infeksi HSV tipe II di daerah oral. Walaupun begitu
infeksi dapat terjadi di mana saja pada kulit dan infeksi pada satu area tidak menutup
kemungkinan bahwa infeksi dapat menyebar ke bagian lain. 4
Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi primer,
fase laten dan infeksi rekuren. Pada infeksi primer herpes simpleks tipe I tempat
predileksinya pada daerah mulut dan hidung pada usia anak-anak. Sedangkan infeksi
primer herpes simpleks virus tipe II tempat predileksinya daerah pinggang ke bawah
terutama daerah genital.Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat sekitar
tiga minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise dan
anoreksia.Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas kulit
yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan menjadi seropurulen, dapat
menjadi krusta dan dapat mengalami ulserasi. 4
Infeksi HSV tipe I pada daerah labialis 80-90%, urogenital 10-30%, herpetic
whitlow pada usia< 20 tahun, dan neonatal 30%. Sedangkan HSV tipe II di daerah
labialis 10-20%, urogenital 70-90%, herpetic whitlow pada usia> 20 tahun, dan
neonatal 70%. 5
Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa dan
bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan terus
bereplikasi. Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya menginfeksi
daerah yang lebih luas. Setelah infeksi primer HSV masuk dalam masa laten di
ganglia sensoris. Infeksi rekuren: pengaktifan kembali HSV oleh berbagai macam
rangsangan (sinar UV, demam) sehingga menyebabkan gejala klinis.6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Herpes Simpleks
A. Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes
simpleks virus (HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel
yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah
dekat mukokutan
B. Etiologi
Herpes simplex virus (HSV) tergolong anggota virus herpes yang
primer menimbulkan penyakit pada manusia. Herpes simplex virus tipe 1
(HSV-1) dan HSV-2 termasuk sub family alpha herpesvirinae dengan ciri-ciri
spektrum sel pejamu bervariasi, siklus replikasi yang relatif cepat, mudahnya
infeksi menyebar di biakan sel, menimbulkan kerusakan sel yang cepat, dan
kemampuan menimbulkan infeksi laten khususnya pada ganglion sensorik.6
Virus herpes berukuran besar dibandingkan denga virus lain. Struktur
virus dari dalam keluar terdiri dari genom DNA untai ganda linear berbentuk
toroid, kapsid ,lapisan tegumen dan selubung. Dari selubung keluar tonjolantonjolan (spike), tersusun atas glikoprotein. Glikoprotein D dan Glikoprotein
B merupakan bagian penting untuk infektivitas virus. Glikoprotein G HSV-1
berbeda dengan HSV-2 sehingga antibody terhadapnya dapat dipakai untuk
membedakan kedua species tersebut.7
Virus masuk ke dalam sel melalui fusi antara glikoprotein selubung
virus dengan reseptornya yang terdapat di membran plasma. Selanjutnya
nukleokapsid pindah dari sitoplasma ke inti sel. Setelah kapsid rusak, genom
virus dilepas di dalam inti sel, berubah dari liniar menjadi sirkular. Sebagian
gen langsung ditranskripsikan dan produk RNA-nya dipindahkan ke
sitoplasma. Pada tahap akhir, dengan bantuan protein beta, terjadi transkripsi
dan translasi late genes menjadi protein gamma. 7,8
Transkripsi DNA virus terjadi sepanjang siklus replikasi di dalam sel
dengan bantuan enzim RNA polimerase sel pejamu dan protein virus lain.
Transkrip dalam bentuk DNA virus selanjutnya dirakit menjadi virion pada
membran inti sel. Virion selanjutnya dilepaskan ke luar inti sel melalui proses
eksositosis. Satu kali siklus replikasi berlangsung sekitar 18 jam untuk herpes
simpleks.7
Replikasi HSV di dalam sel akan menghambat sintesis DNA dan
protein selular sejak fase dini replikasi. Virus baru yang terbentuk akan
dilepaskan dari sel dan menginfeksi sel lain 7,8
C. Patogenesis
Infeksi terjadi melalui inokulasi virus pada permukaan mukosa yang
rentan. Virus akan melekat pada sel epitel kemudian masuk dengan
meleburkan diri di dalam membran. Sekali di dalam sel, terjadi replikasi yang
menghasilkan lebih banyak virion yang menyebabkan kematian sel.9,10 Virus
juga memasuki ujung saraf sensorik. Virion kemudian ditransportasi ke inti
sel neuron di ganglia sensorik. Virion dalam neuron yang terinfeksi akan
bereplikasi menghasilkan progeni atau virus akan memasuki keadaan laten tak
bereplikasi. Neuron yang terinfeksi akan mengirim balik virus progeni ke
lokasi kulit tempat dilepaskannya virion sebelumnya dan menginfeksi sel
epitel yang berdekatan dengan ujung saraf, sehingga terjadi penyebaran virus
dan jejas sel. Latensi semata tidak menimbulkan penyakit, namun infeksi laten
dapat mengalami reaktivasi sehingga menghasilkan virion yang bila dilepas
dari ujung saraf dapat menginfeksi sel epitel di dekatnya untuk menghasilkan
lesi kulit rekurens atau pelepasan virus asimtomatik. 9 Reaktivasi HSV-1 sering
terjadi dari ganglion trigeminus, sedangkan HSV-2 dari ganglion sakralis.
sukar dibedakan dengan episode rekuren. 10. Secara umum, episode pertama
non-primer menyerupai rekurensi yaitu lebih ringan daripada infeksi primer,
dengan masa tunas yang lebih panjang.9
Herpes Genitalis Rekuren
Tingkat rekurensi bervariasi diantara individu.9 Rekurensi cenderung
lebih sering terjadi pada bulan pertama atau tahun pertama setelah infeksi
awal.1 Lesi rekuren biasanya terbatas pada satu sisi dan gejala klinis yang
ringan. Lamanya pelepasan virus berlangsung kurang dari 5 hari,
penyembuhan juga lebih cepat.8,9
Herpes genitalis atipikal
Manifestasi herpes genital atipikal sering dijumpai, berupa fisura,
furunkel, ekskoriasi, dan eritema vulva nonspesifik disetai rasa nyeri dan gatal
pada wanita. Pada pasien pria berupa fisura linier pada preputium, dan bercak
merah pada glans penis. Lesi ekstragenital umumnya mengenai bokong, sela
paha, dan paha.9
Reaktivasi subklinis/asimtomatik HSV
Pelepasan virus (viral shedding) subklinis menjadi masalah serius pada
herpes genitalis karena berpotensi tinggi dalam transmisi virus. Lokasi
viral shedding pada keadaan asimtomatik umumnya di kulit penis, uretra,
7
perianal pada pria dan di vulva, uretra, serviks, serta perineum pada
wanita.10
E. Transmisi
Seorang individu dapat terkena infeksi HSV karena adanya transmisi
dari seorang individu yang seropositif, dimana transmisi tersebut dapat
berlangsung secara horisontal dan vertikal. Perbedaan dari ke-dua metode
transmisi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Horisontal
Transmisi secara horisontal terjadi ketika seorang individu yang
seronegatif berkontak dengan individu yang seropositif melalui vesikel
yang berisi virus aktif (81-88%), ulkus atau lesi HSV yang telah
mengering (36%) dan dari sekresi cairan tubuh yang lain seperti salivi,
semen, dan cairan genital (3,6-25%). Adanya kontak bahan-bahan
tersebut dengan kulit atau mukosa yang luka atau pada beberapa kasus
kulit atau mukosa tersebut maka virus dapat masuk ke dalam tubuh
host yang baru dan mengadakan multiplikasi pada inti sel yang baru
saja dimasukinya untuk selanjutnya menetap seumur hidup dan
komplikasinya
(mikrosefali,
hidrosefalus,
calsifikasi
10
Herpes simpleks virus (HSV) dapat ditemukan pada vesikel dan dapat
dibiakkan.Pada keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi HSV.
a.
b.
11
G. Diagnosis Banding
Herpes simpleks di daerah mulut dan hidung harus dibedakan dengan
impetigo vesikobulosa dan herpes zoster sekitar bibir. Pada daerah genital
harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole, maupun ulkus yang
mendahului penyakit limfogranuloma venereum. Efloresensi pada ulkus mole
adalah ulkus berbentuk cawan, tepi tidak rata, dinding menggaung. Pada ulkus
durum, efloresensinya kecil, tidak nyeri, dasar bersih, tidak menggaung.
Gejala limfogranuloma venereum adalah pada penis atau vagina muncul
lepuhan kecil berisi cairan yang tidak disertai nyeri.4
H. Penatalaksanaan
12
Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim
yang mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau
preparat asiklovir (zovirax).Pengobatan oral preparat asiklovir dengan dosis
5x200mg per hari selama 5 hari mempersingkat kelangsungan penyakit dan
memperpanjang masa rekuren.Pemberian parenteral asiklovir atau preparat
adenine arabinosid (vitarabin) dengan tujuan penyakit yang lebih berat atau
terjadi komplikasi pada organ dalam. 4
Untuk terapi sistemik digunakan asiklovir, valasiklovir, atau
famsiklovir. Jika pasien mengalami rekuren enam kali dalam setahun,
pertimbangkan untuk menggunakan asiklovir 400 mg atau valasiklovir 1000
mg oral setiap hari selama satu tahun. Untuk obat oles digunakan lotion zinc
oxide atau calamine.Pada wanita hamil diberi vaksin HSV sedangkan pada
bayi yang terinfeksi HSV disuntikkan asiklovir intra vena. 6
Pengobatan Khusus
1. Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya
valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan peroral ataupun intravena.
13
Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis asiklovir
peroral yang dianjurkan adalah 5800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui
intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau
penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai
terapi herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan 31000 mg/hari
selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir
juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase.
Famsiklovir diberikan 3200 mg/hari selama 7 hari.12,13
2. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel
diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar
tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau
terjadi ulserasi dapat diberikan salap antibiotik.6
I. Komplikasi
Infeksi herpes genital biasanya tidak menyebabkan masalah kesehatan
yang serius pada orang dewasa. Pada sejumlah orang dengan sistem imunitasnya
tidak bekerja baik, bisa terjadi outbreaks herpes genital yang bisa saja
berlangsung parah dalam waktu yang lama. Orang dengan sistem imun yang
normal bisa terjadi infeksi herpes pada mata yang disebut herpes okuler. Herpes
okuler biasanya disebabkan oleh HSV-1 namun terkadang dapat juga disebabkan
HSV-2. Herpes dapat menyebabkan penyakit mata yang serius termasuk
kebutaan. 3,12
Komplikasinya yaitu: pioderma, ekzema herpetikum, herpeticwhithlow,
herpes gladiatorum (pada pegulat yang menular melalui kontak), esophagitis,
infeksi neonatus, keratitis, dan ensefalitis 13. Menurut Hunter (2003) komplikasi
herpes simpleks adalah herpes ensefalitis atau meningitis tanpa ada kelainan
kulit dahulu, vesikel yang menyebar luas ke seluruh tubuh, ekzema herpeticum,
jaringan parut, dan eritema multiforme.
14
.
J. Prognosis
Kematian oleh infeksi HSV jarang terjadi. Infeksi inisial dini yang segera
diobati mempunyai prognosis lebih baik, sedangkan infeksi rekuren hanya dapat
dibatasi frekuensi kambuhnya. Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya
penyakit-penyakit dengan tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan
imunosupresan yang lama, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat
dalam dan fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia
seperti pada orang dewasa.14
II.2 Kandidiasis Vaginalis
A. Definisi
Kandidiasis adalah infeksi primer atau sekunder dari genus Candida,
terutama Candida albicans (C.albicans). Manifestasi klinisnya sangat
bervariasi dari akut, subakut dan kronis ke episodik. Kelainan dapat lokal
di mulut, tenggorokan, kulit, kepala, vagina, jari-jari tangan, kuku,
bronkhi, paru, atau saluran pencernaan makanan, atau menjadi sistemik
misalnya septikemia, endokarditis dan meningitis. Proses patologis yang
timbul juga bervariasi dari iritasi dan inflamasi sampai supurasi akut,
kronis atau reaksi granulomatosis. Karena C.albicans merupakan spesies
endogen, maka penyakitnya merupakan infeksi oportunistik.15
B. Klasifikasi
Berdasarkan tempat yang terkena, kandidiasis dibagi menjadi :kandidiasis
selaput lendir,kandidiasis kutis,kandidiasis sistemik. Kandidiasis selaput
lendir meliputi:15
kandidiasis oral (thrush),
perlche,
vulvovaginitis,
balanitis atau balanopostitis,
kandidiasis mukokutan kronik,
kandidiasis bronkopulmonar dan paru.
Kandidiasis kutis meliputi:
lokalisata yaitu daerah intertriginosa dan daerah perianal,
15
generalisata,
paronikia dan onikomikosis,
kandidiasis kutis granulomatosa.1
Kandidiasis sistemik meliputi:
endokarditis,
meningitis,
pielonefritis
septikemia
C. Etiologi
Kandidiasis vaginalis umumnya karena C.albicans (80-90%), C.glabrata
(6-10%),C.tropicalis (5-10%), C.parapsilosis, C.krusei, C.stellatoidea,
C.kefyr dan Saccharomyces cerevisiae.Penelitian pada tahun 2002 di
Jakarta didapatkan penyebab kandidiasis vulvovaginitis adalah C.albicans
62,3%, dan C.non-albicans 30,4%, (C.glabrata 18,8%, C.tropicalis 8,7%,
C.parapsilosis 2,9% dan infeksi campuran 7,3%).
D. Pathogenesis
Infeksi kandida dapat terjadi, apabila ada faktor predisposisi baik
endogen maupun eksogen. Faktor endogen meliputi perubahan fisiologik,
umur,dan imunologik. Perubahan fisiologik seperti: 1).kehamilan, karena
perubahan pH dalam vagina, 2).kegemukan, karena banyak keringat,
3).debilitas, 4).latrogenik, 5).endokrinopati, gangguan gula darah kulit,
6).penyakit kronik seperti: tuberkulosis, lupus eritematosus dengan
keadaan umum yang buruk. Umur contohnya: orang tua dan bayi lebih
mudah terkena infeksi karena status imunologiknya tidak sempurna.
Imunologik contohnya penyakit genetik.18
Faktor eksogen meliputi: iklim, panas, dan kelembaban menyebabkan
respirasi meningkat, kebersihan kulit, kebiasaan berendam kaki dalam air
16
Kandidiasis intertriginosa : Kelainan ini sering terjadi pada orangorang gemuk, menyerang lipatan-lipatan kulit yang besar. Lesi di
daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara,
antara jari tangan atau kaki, glans penis dan umbilikalis, berupa bercak
yang berbatas tegas, bersisik, basah dan eritematosa. Lesi tersebut
dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil
atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan
pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.17
2.
3.
4.
5.
Diaper rush : sering terdapat pada bayi yang popoknya selalu basah
dan jarang diganti yang dapat menimbulkan dermatitis iritan, juga
sering diderita neonatus sebagai gejala sisa dermatitis oral dan
perianal.17
17
6.
7.
8.
9.
10.
Infeksi penis : sering terjadi pada penderita diabetes atau pria yang
mitra seksualnya
infeksi
18
Kandida
Trikomonas
Vaginosis Bakteri
Klinis
Gatal, iritasi
Gatal
Berbau
Jumlah
+ s/d +++
+++
++
Warna
Putih susu
Kuning
Putih abu-abu
Konsistensi
Bergumpal
Homogen
Homogen, lengket
Eritem
Eritem, kolpitis
Normal
Vulva
19
pH
<4,5
KOH 10%
Mikroskop
Pseudohifa
>5,0
>4,7
Mungkin amis
Amis
Trikomonad
Clue cells
H. Penatalaksanaan
Non Farmakologi :
Dengan cara menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi,
topikal, dan sistemik.19
Farmakologi :
Topikal meliputi:
1). larutan ungu gentian -1% untuk selaput lendir, 1-2% untuk kulit,
dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari,
2). nistatin: berupa krim, salap, emulsi,
3). amfoterisin B,
4). grup azol antara lain: Mikonazol 2% berupa krim atau bedak,
Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim, Tiokonazol,
bufonazol,
isokonazol,
Siklopiroksolamin
1%
larutan,
krim,
20
21
BAB III
LAPORAN KASUS
1.
Identitas Pasien
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Agama
No. RM
Tanggal Berobat
: Ny K.
: 61 tahun
: Delik 1/3 Tuntang
: Ibu Rumah Tangga
: Islam
: 061356-2014
: 02 Juli 2014
2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Poli Kulit dan Kelamin RSUD
Ambarawa Kabupaten Semarang pada hari Rabu, 2 Juli 2014 pukul 10.30 WIB.
a. Keluhan Utama : Terdapat benjolan sebesar biji jagung di vagina
b. Keluhan Tambahan : Terasa perih, panas dan gatal
c. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Ambarawa
Kabupaten Semarang pada hari Rabu 2 Juli 2014. Pasien mengeluh terdapat
benjolan sebesar biji jagung divagina terasa perih, panas dan gatal
Kurang lebih 5 hari yang lalu pada tanggal 27 Juni 2014, pasien merasa
gatal di vagina. Kemudian digaruk pelan-pelan, awalnya hanya 1 benjolan
kemudian bertambah jadi 3 benjolan berjajar. Untuk mengurangi gatalnya
pasien mengompresnya dengan air hangat. Sebelumnya pasien mengaku
demam, tetapi hanya diberi obat warung. Pasien mengaku baru pertama kali
merasakan keluhan tersebut.
Pasien juga mengeluh keputihan, warna seperti susu dan kental. Pasien
mengeluh saat BAK perih dan panas
d. Riwayat Penyakit Dahulu
22
: disangkal
: disangkal
Riwayat asma
: disangkal
Riwayat maag
: disangkal
: disangkal.
: disangkal
: disangkal
: bapak kandung
Riwayat asma
: disangkal
Kesadaran
: Compos mentis
b. Vital Sign
Tekanan Darah: 110/70 mmHg
Nadi
: 86 kali/menit regular, isi dan tegangan cukup
Nafas
: 18 kali/menit, regular.
Berat Badan : 53 kg
Tinggi Badan : 154 cm
Status gizi : Kesan gizi normoweight (22,34)
c. Status Internus
a. Kepala
b. Mata
c. Hidung
d. Mulut
tonsil(-)
e. Telinga: Discharge (-), luka (-)
f. Leher
meningkat
g. Thorak
: Regional, Herpetiformis
Ad region
Efloresensi
Konfigurasi
eritema.
Ruam skunder : Krusta
: Ukuran : lentikular (kurang dari 1cm), Bentuk : bulat , batas
tegas .
24
e. Status venereologis
Pubis : rambut pubis tersebar merata
Labia mayora : Dextra : edema (-), dbn
Sinistra : edema (+) vesikel berkelompok
Labia minora : Dextra : eritema (-), edema (-), dbn
Sinistra : eritema (+)
Lokasi : Vagina ; UKK: hiperemis pada dinding vagina, ulkus multipel, duh
tubuh (+) berwarna putih susu, hiperemis di sekitar porsio
4. Resume
Ny.K, usia 61 tahun, datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Ambarawa
Kabupaten Semarang pada hari Rabu, 2 Juli 2014 dengan keluhan Pasien
terdapat benjolan sebesar biji jagung terasa panas, perih dan gatal. Pasien juga
mengeluh keputihan, warna seperti susu dan kental. Pasien mengeluh saat
BAK perih dan panas. Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan pasien
Tampak sakit ringan, kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 110/70
mmHg, Nadi 86 kali/menit, regular, isi dan tegangan sukup. Frekuensi nafas
18 kali/menit. Pemeriksaan status dermatologis didapatkan distribusi regional
terletak Regio Sacralis Sinistra (Labia mayor sinistra). Efloresensi : Papul,
vesikel berkelompok sampai krusta dengan dasar eritema., ukuran : lentikuler,
bentuk : bulat, batas tegas.
5. Diagnosa Banding
Diagnosa I :
Herpes simpleks
Ulkus mole
Ulkus durum
Diagnosa II :
Cervicitis gonore
Trichomoniasis
Candidiasis vaginalis
25
Pemeriksaan
Hasil
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Clue cell
Negatif
Leukosit
10-20/LBP
Trichomonas
Negatif
Yeast
Positif
Sperma
Negatif
4. Diagnosa Kerja
Herpes genitalis dan kandidiasis vaginalis
5. Penatalaskanaan
b. Non Medikamentosa
-
seks tetapnya
Hindari hubungan seksual sebelum sembuh dan memakai kondom jika
c. Medikamentosa
Sistemik
26
6. Prognosis
-
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanam
: bonam
Quo ad cosmeticam : bonam
27
BAB IV
PEMBAHASAN
Penegakan diagnosis herpes simpleks dan leukore et kandidiasis vaginalis
pada kasus ini dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik berupa
status venerologi pemeriksaan penunjang (vaginal swab).
Dari
anamnesis
didapatkan
penderita
adalah
seorang
wanita
yang
mengeluhkan adanya benjolan sebesar biji jagung terasa panas, perih dan gatal.
Pasien juga mengeluh keputihan, warna seperti susu dan kental, saat BAK perih dan
panas. Keluhan pasien mengarahkan adanya penyakit herpes simpleks pada pasien.
Menurut kepustakaan, herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai oleh
adanya vesikel yang berkelompok diatas kulit yang sembab dan eritematosa pada
daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun
rekuren. Infeksi primer oleh HSV tipe 2 mempunyai tempat predileksi di daerah
pinggang kebawah, terutama di daerah genital. Pada wanita biasanya pada labia
mayora, labia minora, klitoris dan introitus vagina.
Dari pemeriksaan venerologis pada vagina terdapat vesikel dan ulkus
multiple. Berdasarkan kepustakaan bahwa herpes simpleks biasanya berlokasi di labia
mayora, labia minora, vagina, klitoris. Sesuai dengan teori bahwa efloresensi herpes
simpleks yaitu vesikel yang berkelompok diatas kulit yang sembab dan eritematosa,
berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dan dapat menjadi krusta dan
kadang mengalami ulserasi yang dangkal. Adanya duh tubuh berwarna putih susu ,
konsistensi kental di daerah serviks menurut kepustakaan sesuai dengan teori
penyakit kandidiasis vaginalis.
Dari hasil pemeriksaan penunjang (vaginal swab) di dapatkan yeast pada
secret vagina menandakan adanya kandidiasis. Hal ini sesuai dengan teori pada
28
usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan gram,
terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu.
Diagnosis ulkus mole dan ulkus durum bisa disingkirkan, karena pada ulkus
mole pada efloresensi ulkus berbentuk cawan, tepi tidak rata, dinding menggaung,
daerah sekitarnya eritema dan ditemukan adanya Haemophilus ducreyi. Pada ulkus
durum, limfogranuloma venereum ada pada penis atau vagina muncul lepuhan kecil
berisi cairan yang tidak disertai nyeri. Lepuhan ini berubah menjadi ulkus (luka
terbuka). Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar getah bening pada salah satu
atau kedua selangkangan. Kulit diatasnya tampak merah dan teraba hangat, dan jika
tidak diobati akan terbentuk lubang di kulit yang terletak diatas kelenjar getah bening
tersebut. Dari lubang ini akan keluar nanah atau cairan kemerahan, lalu akan
membaik tetapi biasanya meninggalkan jaringan parut yang akan kambuh lagi. Pada
pasien ini tidak ditemukan keluhan yang mengarah ke ulkus mole, ulkus durum.
Diagnosis banding trichomoniasis dapat disingkirkan, karena menurut teori
pada trichomoniasis ditemukan cairan yang keluar dari vagina biasanya banyak,
berbuih menyerupai air sabun dan berbau. Leukorea oleh parasit ini tidak selalu gatal,
tetapi vagina tampak kemerahan dan timbul rasa nyeri bila ditekan atau perih bila
berkemih. Pada pemeriksaan secret vagina ditemukan trichomonas vaginalis.
Pada pasien ini mendapat penatalaksanaan asiklovir. Asiklovir bekerja pada
DNA polymerase virus. Dosis untuk herpes genital per oral 2x sehari 500 mg selama
7 hari. Untuk pengobatan candida pada pasien ini diberikan flukonazol. Flukonazol
mempunyai mekanisme kerja sebagai suatu inhibitor yang poten terhadap biosintesis
ergosterol, bekerja dengan menghambat sintesis enzim sitokrom P-450 dan bersifat
fungistatik. Gentamisin merupakan suatu antibiotika golongan aminoglikosida yang
efektif untuk menghambat kuman- kuman penyebab infeksi kulit primer maupun
sekunder yang menghasilkan penisilinase. Pemberian asam mefenamat berguna untuk
mengurangi nyeri. Cara kerja asam mefenamat adalah seperti OAINS lain yaitu
menghambat sintesis prostaglandin dengan menghambat kerja enzim cyclooxygenase
29
BAB V
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Marques AR, Straus SE. Herpes simplex. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Editor. Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: Mc-Graw Hill
Companies, 2008; 1873-85.
2. Daili SF. Herpes genitalis pada imunokompromais. Dalam:Daili SF, Makes
WI Editor. Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 89-99
3. Habif, Thomas P., 2004. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infections.
In: Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4 th
Edition. Philadelphia, Pennsylvania: Mosby.381-389.
4. Handoko, Ronny P., 2010. Herpes Simpleks. Dalam: Djuanda, A., Hamzah,
M., Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 380-382.
5. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A., Suurmond, Dick, 2007. Viral Infections of
Skin and Mucosa. In: Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology. 5th edition.McGraw-Hills.442-696.
6. Sterry, W., Paus, R., Burgdorf, W., 2006.Viral Diseases. In: Thieme Clinical
Companions Dermatology. New York: Thieme. 57-60.
7. Sjahjurachman A. Biologi virus herpes. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor.
Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 3-21.
8. Pertel PE, Spear PG. Biology of Herpesviruses. Dalam : Holmes KK, Sparling
PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN, Core L. eds. Sexually transmitted
diseases, edisi ke-4. New York:Mc Graw Hill. 2007. Hal. 381 97
9. Makes WI. Herpes genitalis pada pasien imunokompeten. Dalam:Daili SF,
Makes WI Editor. Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002;
74-88
10. Sarsito AS. Stomatitis herpetika. Dalam:Daili SF, Makes WI. Editor. Infeksi
virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 65-73.
11. Fatahzadeh M, Schwartz RA. Human herpes simplex virus infections:
epidemiology, pathogenesis, symptomatology, diagnosis, and management. J
Am Acad Dermatol 2007; 57: 737-63
31
12. Genital herpes, [online].2005 october [cited Dec 12];[6 screens]. Available
from http://www.NIAD-Health Matters.co.uk
13. Berger, Timothy G., 2007. Skin, Hair & Nails. In: McPhee, Stephen
J.,Papadaxis, MaxineA., Tierney, Lawrance M. CURRENT Medical
Diagnosis & Treatment. 46th Edition. San Francisco, California : McGraw
Hills
14. Saenang RH, Djawad K, Amin S. Herpes Genetalis. Dalam: Amiruddin MD,
editor. Penyakit Menular seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedoktera Univesitas Hasanuddin; 2004. hal.179-196
15. Anonim. 2009. Karakteristik Candida Albicans. Available from:
htttp://www.smallcrab.com/kesehatan-karakteristik-candida-albicans.
16. Djuanda Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed 5. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
17. Fatta Madani. 2000. Kandidosis, Dalam : Marwali Harahap. Ilmu Penyakit
Kulit. Cetakan I, Hipokrates, Jakarta.
18. Sylvia Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Vol. 2. Ed.6. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
19. Sulistia dan Gunawan. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen
farmakologi dan terapeutik FKUI : Jakarta
32