Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV)
tipe 1 dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus paling
sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret genital/oral dari
individu yang terinfeksi. Di antara kedua tipe herpes simpleks, herpes genitalis
merupakan salah satu infeksi menular seksual yang perlu mendapat perhatian karena
sifat penyakitnya yang sukar disembuhkan dan sering rekuren, transmisi virus dari
pasien asimtomatik, pengaruhnya terhadap kehamilan/janin dalam kandungan dan
pasien imunokompromais, dampak psikologis, serta kemungkinan timbulnya
resistensi virus.1,2
Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria
maupun wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh herpes
simpleks virus (HSV) tipe I biasa pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II
biasa terjadi pada dekade II atau III dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas
seksual. 3
Infeksi genital yang berulang 6 kali lebih sering daripada infeksi berulang
pada oral-labial; infeksi HSV tipe II pada daerah genital lebih sering kambuh
daripada infeksi HSV tipe I di daerah genital; dan infeksi HSV tipe I pada oral-labial
lebih sering kambuh daripada infeksi HSV tipe II di daerah oral. Walaupun begitu
infeksi dapat terjadi di mana saja pada kulit dan infeksi pada satu area tidak menutup
kemungkinan bahwa infeksi dapat menyebar ke bagian lain. 4
Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi primer,
fase laten dan infeksi rekuren. Pada infeksi primer herpes simpleks tipe I tempat
predileksinya pada daerah mulut dan hidung pada usia anak-anak. Sedangkan infeksi
primer herpes simpleks virus tipe II tempat predileksinya daerah pinggang ke bawah
terutama daerah genital.Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat sekitar
tiga minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise dan
anoreksia.Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas kulit

yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan menjadi seropurulen, dapat
menjadi krusta dan dapat mengalami ulserasi. 4
Infeksi HSV tipe I pada daerah labialis 80-90%, urogenital 10-30%, herpetic
whitlow pada usia< 20 tahun, dan neonatal 30%. Sedangkan HSV tipe II di daerah
labialis 10-20%, urogenital 70-90%, herpetic whitlow pada usia> 20 tahun, dan
neonatal 70%. 5
Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa dan
bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan terus
bereplikasi. Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya menginfeksi
daerah yang lebih luas. Setelah infeksi primer HSV masuk dalam masa laten di
ganglia sensoris. Infeksi rekuren: pengaktifan kembali HSV oleh berbagai macam
rangsangan (sinar UV, demam) sehingga menyebabkan gejala klinis.6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Herpes Simpleks
A. Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes
simpleks virus (HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel
yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah
dekat mukokutan
B. Etiologi
Herpes simplex virus (HSV) tergolong anggota virus herpes yang
primer menimbulkan penyakit pada manusia. Herpes simplex virus tipe 1
(HSV-1) dan HSV-2 termasuk sub family alpha herpesvirinae dengan ciri-ciri
spektrum sel pejamu bervariasi, siklus replikasi yang relatif cepat, mudahnya
infeksi menyebar di biakan sel, menimbulkan kerusakan sel yang cepat, dan
kemampuan menimbulkan infeksi laten khususnya pada ganglion sensorik.6
Virus herpes berukuran besar dibandingkan denga virus lain. Struktur
virus dari dalam keluar terdiri dari genom DNA untai ganda linear berbentuk
toroid, kapsid ,lapisan tegumen dan selubung. Dari selubung keluar tonjolantonjolan (spike), tersusun atas glikoprotein. Glikoprotein D dan Glikoprotein
B merupakan bagian penting untuk infektivitas virus. Glikoprotein G HSV-1
berbeda dengan HSV-2 sehingga antibody terhadapnya dapat dipakai untuk
membedakan kedua species tersebut.7
Virus masuk ke dalam sel melalui fusi antara glikoprotein selubung
virus dengan reseptornya yang terdapat di membran plasma. Selanjutnya
nukleokapsid pindah dari sitoplasma ke inti sel. Setelah kapsid rusak, genom
virus dilepas di dalam inti sel, berubah dari liniar menjadi sirkular. Sebagian
gen langsung ditranskripsikan dan produk RNA-nya dipindahkan ke

sitoplasma. Pada tahap akhir, dengan bantuan protein beta, terjadi transkripsi
dan translasi late genes menjadi protein gamma. 7,8
Transkripsi DNA virus terjadi sepanjang siklus replikasi di dalam sel
dengan bantuan enzim RNA polimerase sel pejamu dan protein virus lain.
Transkrip dalam bentuk DNA virus selanjutnya dirakit menjadi virion pada
membran inti sel. Virion selanjutnya dilepaskan ke luar inti sel melalui proses
eksositosis. Satu kali siklus replikasi berlangsung sekitar 18 jam untuk herpes
simpleks.7
Replikasi HSV di dalam sel akan menghambat sintesis DNA dan
protein selular sejak fase dini replikasi. Virus baru yang terbentuk akan
dilepaskan dari sel dan menginfeksi sel lain 7,8
C. Patogenesis
Infeksi terjadi melalui inokulasi virus pada permukaan mukosa yang
rentan. Virus akan melekat pada sel epitel kemudian masuk dengan
meleburkan diri di dalam membran. Sekali di dalam sel, terjadi replikasi yang
menghasilkan lebih banyak virion yang menyebabkan kematian sel.9,10 Virus
juga memasuki ujung saraf sensorik. Virion kemudian ditransportasi ke inti
sel neuron di ganglia sensorik. Virion dalam neuron yang terinfeksi akan
bereplikasi menghasilkan progeni atau virus akan memasuki keadaan laten tak
bereplikasi. Neuron yang terinfeksi akan mengirim balik virus progeni ke
lokasi kulit tempat dilepaskannya virion sebelumnya dan menginfeksi sel
epitel yang berdekatan dengan ujung saraf, sehingga terjadi penyebaran virus
dan jejas sel. Latensi semata tidak menimbulkan penyakit, namun infeksi laten
dapat mengalami reaktivasi sehingga menghasilkan virion yang bila dilepas
dari ujung saraf dapat menginfeksi sel epitel di dekatnya untuk menghasilkan
lesi kulit rekurens atau pelepasan virus asimtomatik. 9 Reaktivasi HSV-1 sering
terjadi dari ganglion trigeminus, sedangkan HSV-2 dari ganglion sakralis.

Faktor pemicu terjadinya reaktivasi dapat berupa demam, kelelahan,


sinar ultra violet, trauma mekanik, bahan kimia, hormon, menstruasi,
hubungan seksual, stres emosional, dan keadaan imunokompromais 11
Penularan lesi orolabial terjadi melalui droplet dan kontak langsung
dengan lesi atau saliva yang mengandung virus.8 Penularan lesi genital
dimulai bila sel epitel mukosa saluran genital pejamu yang rentan terpajan
virus yang terdapat dalam lesi atau sekret genital orang yang terinfeksi.
Walaupun herpes orolabialis paling sering disebabkan oleh HSV-1 dan herpes
genitalis terutama disebabkan oleh HSV-2, kadang-kadang HSV-2 dapat
mengakibatkan lesi-lesi oral, demikian pula HSV-1 dapat menyebabkan lesi
genital. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas seksual secara orogenital.9,10

D. Klasifikasi Herpes Genitalis


Herpes genitalis primer episode pertama
Episode pertama akan tampak secara klinis dalam waktu 2-21 hari
setelah inokulasi. Bila seseorang belum pernah terpajan HSV sebelumnya
(seronegatif) maka akan disebut sebagai infeksi primer. Episode pertama
seringkali disertai gejala-gejala sistemik, lesi dan pelepasan virus yang
berlangsung lama, mengenai banyak tempat di genital maupun di luar genital.
Pasien dengan infeksi primer (infeksi pertama kali dengan HSV-2 maupun
HSV-1) umumnya mengalami penyakit yang lebih parah dibandingkan pasien
yang telah mengalami infeksi HSV-1 sebelumnya.9
Infeksi primer HSV-2 dan HSV-1 genital ditandai dengan gejala
sitemik dan lokal yang lama. Gejala sistemik muncul dini berupa demam,
nyeri kepala, malaise, dan mialgia. Gejala lokal utama berupa nyeri, gatal,
rasa terbakar, disuria, duh tubuh, vagina atau uretra serta pembesaran dan rasa
nyeri pada kelenjar getah bening inguinal. Lesi kulit berbentuk vesikel
berkelompok dengan dasar eritem di labia minora, introitus, meatus uretra,
serviks pada wanita; batang dan glans penis pada pria atau perineum, paha,
dan bokong pada pria dan wanita. Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan
erosi multipel. Masa pelepasan virus berlangsung kurang lebih 12 hari. Tanpa
6

infeksi sekunder, penyembuhan terjadi secara bertahap dalam waktu kurang


lebih 18 sampai 20 hari, tetapi bila ada infeksi sekunder penyembuhan
memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut. 9,10
Herpes Genitalis non-primer episode pertama
Sebagian besar populasi pernah terpajan oleh HSV-1 maupun HSV-2
sebelumnya. Individu demikian telah seropositive pada saat episode pertama,
sehingga disebut non-primer.

Diagnosis klinis episode pertama non-primer

sukar dibedakan dengan episode rekuren. 10. Secara umum, episode pertama
non-primer menyerupai rekurensi yaitu lebih ringan daripada infeksi primer,
dengan masa tunas yang lebih panjang.9
Herpes Genitalis Rekuren
Tingkat rekurensi bervariasi diantara individu.9 Rekurensi cenderung
lebih sering terjadi pada bulan pertama atau tahun pertama setelah infeksi
awal.1 Lesi rekuren biasanya terbatas pada satu sisi dan gejala klinis yang
ringan. Lamanya pelepasan virus berlangsung kurang dari 5 hari,
penyembuhan juga lebih cepat.8,9
Herpes genitalis atipikal
Manifestasi herpes genital atipikal sering dijumpai, berupa fisura,
furunkel, ekskoriasi, dan eritema vulva nonspesifik disetai rasa nyeri dan gatal
pada wanita. Pada pasien pria berupa fisura linier pada preputium, dan bercak
merah pada glans penis. Lesi ekstragenital umumnya mengenai bokong, sela
paha, dan paha.9
Reaktivasi subklinis/asimtomatik HSV
Pelepasan virus (viral shedding) subklinis menjadi masalah serius pada
herpes genitalis karena berpotensi tinggi dalam transmisi virus. Lokasi
viral shedding pada keadaan asimtomatik umumnya di kulit penis, uretra,
7

perianal pada pria dan di vulva, uretra, serviks, serta perineum pada
wanita.10

E. Transmisi
Seorang individu dapat terkena infeksi HSV karena adanya transmisi
dari seorang individu yang seropositif, dimana transmisi tersebut dapat
berlangsung secara horisontal dan vertikal. Perbedaan dari ke-dua metode
transmisi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Horisontal
Transmisi secara horisontal terjadi ketika seorang individu yang
seronegatif berkontak dengan individu yang seropositif melalui vesikel
yang berisi virus aktif (81-88%), ulkus atau lesi HSV yang telah
mengering (36%) dan dari sekresi cairan tubuh yang lain seperti salivi,
semen, dan cairan genital (3,6-25%). Adanya kontak bahan-bahan
tersebut dengan kulit atau mukosa yang luka atau pada beberapa kasus
kulit atau mukosa tersebut maka virus dapat masuk ke dalam tubuh
host yang baru dan mengadakan multiplikasi pada inti sel yang baru
saja dimasukinya untuk selanjutnya menetap seumur hidup dan

sewaktu-waktu dapat menimbulkan gejala khas yaitu timbulnya


vesikel kecil berkelompok dengan dasar eritem. 5
2. Vertikal
Transmisi HSV secara vertikal terjadi pada neonatus baik itu pada
periode antenatal, intrapartum dan postnatal. Periode antenatal
bertanggung jawab terhadap 5 % dari kasus HSV pada neonatal.
Transmisi ini terutama terjadi pada saat ibu mengalami infeksi primer
dan virus berada dalam fase viremia (virus berada dalam darah)
sehingga secara hematogen virus tersebut dalam masuk ke dalam
plasenta mengikuti sirkulasi uteroplasenter akhirnya menginfeksi
fetus. Periode infeksi primer ibu juga berpengaruh terhadap prognosis
si bayi, apabila infeksi terjadi pada trimester I biasanya akan terjadi
abortus dan pada trimester II akan terjadi kelahiran prematur. Bayi
dengan infeksi HSV antenatal mempunyai angka mortalitas 60 %
dan separuh dari yang hidup tersebut akan mengalami gangguan syaraf
pusat dan mata. Infeksi primer yang terjadi pada masa-masa akhir
kehamilan akan memberikan prognosis yang lebih buruk karena tubuh
ibu belum sempat membentuk antibodi (terbentuk 3-4 minggu setelah
virus masuk tubuh host) untuk selanjutnya disalurkan kepada fetus
sebagai suatu antibodi neutralisasi transplasental dan hal ini akan
mengakibatkan 30-57% bayi yang dilahirkan terinfeksi HSV dengan
berbagai

komplikasinya

(mikrosefali,

hidrosefalus,

calsifikasi

intracranial, chorioretinitis dan ensefalitis). Sembilan puluh persen


infeksi HSV neonatal terjadi saat intrapartum yaitu ketika bayi melalui
jalan lahir dan berkontak dengan lesi maupun cairan genital ibu. Ibu
dengan infeksi primer mampu menularkan HSV pada neonatus 50 %,
episode I non primer 35% , infeksi rekuren dan asimptomatik 0-4%. 5

F. Gejala dan Pemeriksaan Klinis


Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi
primer, fase laten dan infeksi rekuren. Pada infeksi primer herpes simpleks tipe I
tempat predileksinya pada daerah mulut dan hidung pada usia anak-anak.
Sedangkan infeksi primer herpes simpleks virus tipe II tempat predileksinya
daerah pinggang ke bawah terutama daerah genital.Infeksi primer berlangsung
lebih lama dan lebih berat sekitar tiga minggu.
Gejala awalnya mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi. Gejala
awal biasanya berupa gatal, kesemutan dan sakit. Lalu akan muncul bercak
kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa
nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar. Luka
yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng.
Penderita bisa mengalami nyeri saat berkemih atau disuria dan ketika berjalan
akan timbul nyeri. Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa
meninggalkan jaringan parut. Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak
membesar. Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas
dibandingkan gejala berikutnya dan mungkin disertai dengan demam dan tidak
enak badan. Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan menjadi seropurulen,
dapat menjadi krusta dan dapat mengalami ulserasi 4
Pada fase laten penderita tidak ditemukan kelainan klinis, tetapi herpes
simpleks virus dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion
dorsalis. 4
Pada tahap infeksi rekuren herpes simpleks virus yang semula tidak aktif
di ganglia dorsalis menjadi aktif oleh mekanisme pacu (misalnya: demam,
infeksi, hubungan seksual) lalu mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala
klinis yang lebih ringan dan berlangsung sekitar tujuh sampai sepuluh hari
disertai gejala prodormal lokal berupa rasa panas, gatal dan nyeri. Infeksi
rekuren dapat timbul pada tempat yang sama atau tempat lain di sekitarnya. 4

10

Herpes simpleks virus (HSV) dapat ditemukan pada vesikel dan dapat
dibiakkan.Pada keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi HSV.
a.

Dengan tes Tzanck dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan


sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.4 Tes
Tzanck dapat diselesaikan dalam waktu 30 menit atau
kurang.Caranya dengan membuka vesikel dan korek dengan
lembut pada dasar vesikel tersebut lalu letakkan pada gelas obyek
kemudian biarkan mengering sambil difiksasi dengan alkohol
atau dipanaskan.Selanjutnya beri pewarnaan (5% methylene blue,
Wright, Giemsa) selama beberapa detik, cuci dan keringkan, beri
minyak emersi dan tutupi dengan gelas penutup. Jika positif
terinfeksi hasilnya berupa keratinosit yang multinuklear dan
berukuran besar berwarna biru 3

b.

Identifikasi virus dengan PCR, mikroskop elektron, atau kultur.

Tes serologi menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay


(ELISA) spesifik HSV tipe II dapat membedakan siapa yang telah
terinfeksi dan siapa yang berpotensi besar menularkan infeksi 7

11

G. Diagnosis Banding
Herpes simpleks di daerah mulut dan hidung harus dibedakan dengan
impetigo vesikobulosa dan herpes zoster sekitar bibir. Pada daerah genital
harus dibedakan dengan ulkus durum, ulkus mole, maupun ulkus yang
mendahului penyakit limfogranuloma venereum. Efloresensi pada ulkus mole
adalah ulkus berbentuk cawan, tepi tidak rata, dinding menggaung. Pada ulkus
durum, efloresensinya kecil, tidak nyeri, dasar bersih, tidak menggaung.
Gejala limfogranuloma venereum adalah pada penis atau vagina muncul
lepuhan kecil berisi cairan yang tidak disertai nyeri.4
H. Penatalaksanaan

12

Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim
yang mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau
preparat asiklovir (zovirax).Pengobatan oral preparat asiklovir dengan dosis
5x200mg per hari selama 5 hari mempersingkat kelangsungan penyakit dan
memperpanjang masa rekuren.Pemberian parenteral asiklovir atau preparat
adenine arabinosid (vitarabin) dengan tujuan penyakit yang lebih berat atau
terjadi komplikasi pada organ dalam. 4
Untuk terapi sistemik digunakan asiklovir, valasiklovir, atau
famsiklovir. Jika pasien mengalami rekuren enam kali dalam setahun,
pertimbangkan untuk menggunakan asiklovir 400 mg atau valasiklovir 1000
mg oral setiap hari selama satu tahun. Untuk obat oles digunakan lotion zinc
oxide atau calamine.Pada wanita hamil diberi vaksin HSV sedangkan pada
bayi yang terinfeksi HSV disuntikkan asiklovir intra vena. 6

Pengobatan Khusus
1. Obat Antivirus
Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya
valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA
polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan peroral ataupun intravena.
13

Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis asiklovir
peroral yang dianjurkan adalah 5800 mg/hari selama 7 hari, sedangkan melalui
intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau
penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai
terapi herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan 31000 mg/hari
selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir
juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase.
Famsiklovir diberikan 3200 mg/hari selama 7 hari.12,13
2. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel
diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar
tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau
terjadi ulserasi dapat diberikan salap antibiotik.6

I. Komplikasi
Infeksi herpes genital biasanya tidak menyebabkan masalah kesehatan
yang serius pada orang dewasa. Pada sejumlah orang dengan sistem imunitasnya
tidak bekerja baik, bisa terjadi outbreaks herpes genital yang bisa saja
berlangsung parah dalam waktu yang lama. Orang dengan sistem imun yang
normal bisa terjadi infeksi herpes pada mata yang disebut herpes okuler. Herpes
okuler biasanya disebabkan oleh HSV-1 namun terkadang dapat juga disebabkan
HSV-2. Herpes dapat menyebabkan penyakit mata yang serius termasuk
kebutaan. 3,12
Komplikasinya yaitu: pioderma, ekzema herpetikum, herpeticwhithlow,
herpes gladiatorum (pada pegulat yang menular melalui kontak), esophagitis,
infeksi neonatus, keratitis, dan ensefalitis 13. Menurut Hunter (2003) komplikasi
herpes simpleks adalah herpes ensefalitis atau meningitis tanpa ada kelainan
kulit dahulu, vesikel yang menyebar luas ke seluruh tubuh, ekzema herpeticum,
jaringan parut, dan eritema multiforme.

14

.
J. Prognosis
Kematian oleh infeksi HSV jarang terjadi. Infeksi inisial dini yang segera
diobati mempunyai prognosis lebih baik, sedangkan infeksi rekuren hanya dapat
dibatasi frekuensi kambuhnya. Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya
penyakit-penyakit dengan tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan
imunosupresan yang lama, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat
dalam dan fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia
seperti pada orang dewasa.14
II.2 Kandidiasis Vaginalis
A. Definisi
Kandidiasis adalah infeksi primer atau sekunder dari genus Candida,
terutama Candida albicans (C.albicans). Manifestasi klinisnya sangat
bervariasi dari akut, subakut dan kronis ke episodik. Kelainan dapat lokal
di mulut, tenggorokan, kulit, kepala, vagina, jari-jari tangan, kuku,
bronkhi, paru, atau saluran pencernaan makanan, atau menjadi sistemik
misalnya septikemia, endokarditis dan meningitis. Proses patologis yang
timbul juga bervariasi dari iritasi dan inflamasi sampai supurasi akut,
kronis atau reaksi granulomatosis. Karena C.albicans merupakan spesies
endogen, maka penyakitnya merupakan infeksi oportunistik.15
B. Klasifikasi
Berdasarkan tempat yang terkena, kandidiasis dibagi menjadi :kandidiasis
selaput lendir,kandidiasis kutis,kandidiasis sistemik. Kandidiasis selaput
lendir meliputi:15
kandidiasis oral (thrush),
perlche,
vulvovaginitis,
balanitis atau balanopostitis,
kandidiasis mukokutan kronik,
kandidiasis bronkopulmonar dan paru.
Kandidiasis kutis meliputi:
lokalisata yaitu daerah intertriginosa dan daerah perianal,

15

generalisata,
paronikia dan onikomikosis,
kandidiasis kutis granulomatosa.1
Kandidiasis sistemik meliputi:
endokarditis,
meningitis,
pielonefritis
septikemia
C. Etiologi
Kandidiasis vaginalis umumnya karena C.albicans (80-90%), C.glabrata
(6-10%),C.tropicalis (5-10%), C.parapsilosis, C.krusei, C.stellatoidea,
C.kefyr dan Saccharomyces cerevisiae.Penelitian pada tahun 2002 di
Jakarta didapatkan penyebab kandidiasis vulvovaginitis adalah C.albicans
62,3%, dan C.non-albicans 30,4%, (C.glabrata 18,8%, C.tropicalis 8,7%,
C.parapsilosis 2,9% dan infeksi campuran 7,3%).
D. Pathogenesis
Infeksi kandida dapat terjadi, apabila ada faktor predisposisi baik
endogen maupun eksogen. Faktor endogen meliputi perubahan fisiologik,
umur,dan imunologik. Perubahan fisiologik seperti: 1).kehamilan, karena
perubahan pH dalam vagina, 2).kegemukan, karena banyak keringat,
3).debilitas, 4).latrogenik, 5).endokrinopati, gangguan gula darah kulit,
6).penyakit kronik seperti: tuberkulosis, lupus eritematosus dengan
keadaan umum yang buruk. Umur contohnya: orang tua dan bayi lebih
mudah terkena infeksi karena status imunologiknya tidak sempurna.
Imunologik contohnya penyakit genetik.18
Faktor eksogen meliputi: iklim, panas, dan kelembaban menyebabkan
respirasi meningkat, kebersihan kulit, kebiasaan berendam kaki dalam air

16

yang terlalu lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya


jamur, dan kontak dengan penderita misalnya pada thrush, dan
balanopostitis.
E. Gejala klinis
1.

Kandidiasis intertriginosa : Kelainan ini sering terjadi pada orangorang gemuk, menyerang lipatan-lipatan kulit yang besar. Lesi di
daerah lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara,
antara jari tangan atau kaki, glans penis dan umbilikalis, berupa bercak
yang berbatas tegas, bersisik, basah dan eritematosa. Lesi tersebut
dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul kecil
atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah yang erosif dengan
pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi primer.17

2.

Kandidiasis perianal : Lesi berupa maserasi seperti infeksi dermatofit


tipe basah. Penyakit ini menimbulkan pruritus ani.17

3.

Kandidiasis kutis generalisata : Lesi terdapat pada glabrous skin,


biasanya juga pada lipat payudara, intergluteal dan umbilikus. Sering
disertai glositis, stomatitis dan paronikia. Lesi berupa ekzematoid,
dengan vesikel-vesikel dan pustul-pustul. Penyakit ini sering terdapat
pada bayi, mungkin karena ibunya menderita kandidiasis vagina atau
mungkin karena gangguan imunologik.17

4.

Paronikia dan onikomikosis : infeksi jamur pada kuku dan jaringan


sekitarnya ini menyebabkan rasa nyeri dan peradangan sekitar kuku.
Kadang-kadang kuku rusak dan menebal. Hal ini sering diderita oleh
orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan air.17

5.

Diaper rush : sering terdapat pada bayi yang popoknya selalu basah
dan jarang diganti yang dapat menimbulkan dermatitis iritan, juga
sering diderita neonatus sebagai gejala sisa dermatitis oral dan
perianal.17

17

6.

Kandidiasis kutis granulomatosa : Kelainan ini merupakan bentuk


yang jarang dijumpai. Manifestasi kulit berupa pembentukan
granuloma yang terjadi akibat penumpukan krusta serta hipertrofi
setempat. Kelainan ini banyak menyerang anak-anak, lesi berupa
papul kemerahan tertutup krusta tebal berwarna kuning kecoklatan dan
melekat erat pada dasarnya. Krusta ini dapat menimbulkan tanduk
sepanjang 2 cm, lokasinya sering terdapat di muka, kepala, kuku,
badan, tungkai, dan faring.17

7.

Thrush : infeksi jamur di dalam mulut. Bercak berwarna putih


menempel pada lidah dan pinggiran mulut, sering menimbulkan nyeri.
Bercak ini bisa dilepas dengan mudah oleh jari tangan atau sendok.
Thrush pada dewasa bisa merupakan pertanda adanya gangguan
kekebalan, kemungkinan akibat diabetes atau AIDS. Pemakaian
antibiotik yang membunuh bakteri saingan jamur akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya thrush.17

8.

Perleche : suatu infeksi Candida di sudut mulut yang menyebabkan


retakan dan sayatan kecil. Bisa berasal dari gigi palsu yang letaknya
bergeser dan menyebabkan kelembaban di sudut mulut sehingga
tumbuh jamur.17

9.

Infeksi vagina : (vulvovaginitis) sering ditemukan pada wanita hamil,


penderita diabetes atau pemakai antibiotik. Gejalanya berupa
keluarnya cairan putih atau kuning dari vagina disertai rasa panas,
gatal dan kemerahan di sepanjang dinding dan daerah luar vagina.17

10.

Infeksi penis : sering terjadi pada penderita diabetes atau pria yang
mitra seksualnya

menderita infeksi vagina. Biasanya

infeksi

menyebabkan ruam merah bersisik (kadang menimbulkan nyeri) pada


bagian bawah penis.17
F. Pemeriksaan penunjang

18

Pemeriksaan langsung: kerokan kulit atau usapan mukokutan diperiksa


dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan gram, terlihat sel ragi,
blastospora, atau hifa semu.1
Pemeriksaan biakan: bahan yang akan diperiksa ditanam dalam agar
dektrosa glukosa Sabouraud, dapat pula agar ini dibubuhi antibiotik
(kloramfenikol) untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Perbenihan
disimpan dalam suhu kamar atau lemari suhu 37C, koloni tumbuh setelah
24-48 jam, berupa yeast like colony.15
G. Diagnosis Banding

Kandida

Trikomonas

Vaginosis Bakteri

Klinis

Gatal, iritasi

Gatal

Berbau

Jumlah

+ s/d +++

+++

++

Warna

Putih susu

Kuning

Putih abu-abu

Konsistensi

Bergumpal

Homogen

Homogen, lengket

Eritem

Eritem, kolpitis

Normal

Vulva

19

pH

<4,5

KOH 10%
Mikroskop

Pseudohifa

>5,0

>4,7

Mungkin amis

Amis

Trikomonad

Clue cells

H. Penatalaksanaan
Non Farmakologi :
Dengan cara menghindari atau menghilangkan faktor predisposisi,
topikal, dan sistemik.19
Farmakologi :
Topikal meliputi:
1). larutan ungu gentian -1% untuk selaput lendir, 1-2% untuk kulit,
dioleskan sehari 2 kali selama 3 hari,
2). nistatin: berupa krim, salap, emulsi,
3). amfoterisin B,
4). grup azol antara lain: Mikonazol 2% berupa krim atau bedak,
Klotrimazol 1% berupa bedak, larutan dan krim, Tiokonazol,
bufonazol,

isokonazol,

Siklopiroksolamin

1%

larutan,

krim,

Antimikotik yang lain yang berspektrum luas.19


Dengan obat Sistemik meliputi:
1). Tablet nistatin untuk menghilangkan infeksi fokal dalam saluran
cerna, obat ini tidak diserap oleh usus,
2). Amfoterisin B diberikan intravena untuk kandidiasis sistemik,

20

3). Untuk kandidiasis vaginalis dapat diberikan kotrimazol 500 mg per


vaginam dosis tunggal, sistemik dapat diberikan ketokonazol 2 x 200
mg selama 5 hari atau dengan itrakonazol 2 x 200 mg dosis tunggal
atau dengan flukonazol 150 mg dosis tunggal,
4). Itrakonazol: bila dipakai untuk kandidiasis vulvovaginalis dosis
untuk orang dewasa 2 x 100 mg sehari, selama 3 hari.7
I. Prognosis
Umumnya baik bergantung pada beratnya faktor predisposisi

21

BAB III
LAPORAN KASUS
1.

Identitas Pasien
Nama
Usia
Alamat
Pekerjaan
Agama
No. RM
Tanggal Berobat

: Ny K.
: 61 tahun
: Delik 1/3 Tuntang
: Ibu Rumah Tangga
: Islam
: 061356-2014
: 02 Juli 2014

2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Poli Kulit dan Kelamin RSUD
Ambarawa Kabupaten Semarang pada hari Rabu, 2 Juli 2014 pukul 10.30 WIB.
a. Keluhan Utama : Terdapat benjolan sebesar biji jagung di vagina
b. Keluhan Tambahan : Terasa perih, panas dan gatal
c. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Ambarawa
Kabupaten Semarang pada hari Rabu 2 Juli 2014. Pasien mengeluh terdapat
benjolan sebesar biji jagung divagina terasa perih, panas dan gatal
Kurang lebih 5 hari yang lalu pada tanggal 27 Juni 2014, pasien merasa
gatal di vagina. Kemudian digaruk pelan-pelan, awalnya hanya 1 benjolan
kemudian bertambah jadi 3 benjolan berjajar. Untuk mengurangi gatalnya
pasien mengompresnya dengan air hangat. Sebelumnya pasien mengaku
demam, tetapi hanya diberi obat warung. Pasien mengaku baru pertama kali
merasakan keluhan tersebut.
Pasien juga mengeluh keputihan, warna seperti susu dan kental. Pasien
mengeluh saat BAK perih dan panas
d. Riwayat Penyakit Dahulu

22

Riwayat sakit seperti ini

: disangkal

Riwayat tekanan darah tinggi

: disangkal

Riwayat penyakit kencing manis: (+) terkontrol

Riwayat asma

: disangkal

Riwayat maag

: disangkal

Riwayat alergi obat

: disangkal.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat sakit seperti ini

: disangkal

Riwayat penyakit kulit

: disangkal

Riwayat tekanan darah tinggi

: bapak kandung

Riwayat penyakit kencing manis: bapak kandung

Riwayat asma

: disangkal

f. Riwayat Pengobatan : belum diobati


g. Riwayat Seksualitas : masih berhubungan dengan suami 1 minggu sekali, dan
terakhir berhubungan 10 hari yang lalu. Saat berhubungan tidak nyeri
h. Status Sosial Ekonomi
Ny. K adalah seorang ibu rumah tangga dan suami Ny.K berprofesi sebagai
wiraswasta. Mereka tinggal bersama tiga orang anak. Biaya pengobatan
ditanggung oleh keluarga . Kesan ekonomi cukup.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 2 Juli 2014 pukul 11.00 WIB di Poli
Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Ambarawa
a. Status Generalis
KU

: Kooperatif, tampak sakit ringan


23

Kesadaran

: Compos mentis

b. Vital Sign
Tekanan Darah: 110/70 mmHg
Nadi
: 86 kali/menit regular, isi dan tegangan cukup
Nafas
: 18 kali/menit, regular.
Berat Badan : 53 kg
Tinggi Badan : 154 cm
Status gizi : Kesan gizi normoweight (22,34)
c. Status Internus
a. Kepala

: Mesocephal, rambut hitam, panjang, bergelombang,


tidak mudah dicabut

b. Mata

: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

c. Hidung

: Sekret (-), mimisan (-), nafas cuping hidung (-)

d. Mulut

: Stomatitis (-), sianosis (-), lidah kotor (-), pembesaran

tonsil(-)
e. Telinga: Discharge (-), luka (-)
f. Leher

: Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-) , JVP tidak

meningkat
g. Thorak

Pulmo : Sonor, vesikuler diseluruh lap. paru, suara tambahan (-)


Cor
: dalam batas normal, SI-II tunggal, bising(-)
i. Abdomen
: Supel, tympani, hepar dan lien tak teraba
d. Status dermatologis
Inspeksi
Distribusi

: Regional, Herpetiformis

Ad region

: Regio Sacralis Sinistra (Labia mayor sinistra)

Efloresensi

: Ruam primer : Papul, Vesikel berkelompok dengan dasar

Konfigurasi

eritema.
Ruam skunder : Krusta
: Ukuran : lentikular (kurang dari 1cm), Bentuk : bulat , batas
tegas .

24

e. Status venereologis
Pubis : rambut pubis tersebar merata
Labia mayora : Dextra : edema (-), dbn
Sinistra : edema (+) vesikel berkelompok
Labia minora : Dextra : eritema (-), edema (-), dbn
Sinistra : eritema (+)
Lokasi : Vagina ; UKK: hiperemis pada dinding vagina, ulkus multipel, duh
tubuh (+) berwarna putih susu, hiperemis di sekitar porsio

4. Resume
Ny.K, usia 61 tahun, datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Ambarawa
Kabupaten Semarang pada hari Rabu, 2 Juli 2014 dengan keluhan Pasien
terdapat benjolan sebesar biji jagung terasa panas, perih dan gatal. Pasien juga
mengeluh keputihan, warna seperti susu dan kental. Pasien mengeluh saat
BAK perih dan panas. Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan pasien
Tampak sakit ringan, kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 110/70
mmHg, Nadi 86 kali/menit, regular, isi dan tegangan sukup. Frekuensi nafas
18 kali/menit. Pemeriksaan status dermatologis didapatkan distribusi regional
terletak Regio Sacralis Sinistra (Labia mayor sinistra). Efloresensi : Papul,
vesikel berkelompok sampai krusta dengan dasar eritema., ukuran : lentikuler,
bentuk : bulat, batas tegas.
5. Diagnosa Banding
Diagnosa I :
Herpes simpleks
Ulkus mole
Ulkus durum
Diagnosa II :
Cervicitis gonore
Trichomoniasis
Candidiasis vaginalis

25

Pemeriksaan sekret vagina (mikrobiologi)

Pemeriksaan

Hasil

Diplococcus Gram Positif

Negatif

Diplococcus Gram Negatif

Negatif

Coccus Gram Positif

Negatif

Kuman batang Gram Positif

Positif

Kuman batang Gram Negatif

Positif

Clue cell

Negatif

Leukosit

10-20/LBP

Trichomonas

Negatif

Yeast

Positif

Sperma

Negatif

4. Diagnosa Kerja
Herpes genitalis dan kandidiasis vaginalis
5. Penatalaskanaan
b. Non Medikamentosa
-

Menghindari garukan pada bagian lesi


Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
Pentingnya mematuhi pengobatan yang diberikan
Edukasi cara penularan PMS dan perlunya pengobatan untuk pasangan

seks tetapnya
Hindari hubungan seksual sebelum sembuh dan memakai kondom jika

tidak dapat dihindari.


Cara-cara menghindari infeksi PMS di masa yang akan datang.

c. Medikamentosa

Sistemik

26

Asiklovir 400 mg 3 xsehari selama 7 hari


As. Mefenamat 3x sehari
Cetirizine 1xsehari
Flukonazol 1xsehari
Gentamisin cream

6. Prognosis
-

Quo ad vitam
: bonam
Quo ad fungsionam : bonam
Quo ad sanam
: bonam
Quo ad cosmeticam : bonam

27

BAB IV
PEMBAHASAN
Penegakan diagnosis herpes simpleks dan leukore et kandidiasis vaginalis
pada kasus ini dapat ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik berupa
status venerologi pemeriksaan penunjang (vaginal swab).
Dari

anamnesis

didapatkan

penderita

adalah

seorang

wanita

yang

mengeluhkan adanya benjolan sebesar biji jagung terasa panas, perih dan gatal.
Pasien juga mengeluh keputihan, warna seperti susu dan kental, saat BAK perih dan
panas. Keluhan pasien mengarahkan adanya penyakit herpes simpleks pada pasien.
Menurut kepustakaan, herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai oleh
adanya vesikel yang berkelompok diatas kulit yang sembab dan eritematosa pada
daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun
rekuren. Infeksi primer oleh HSV tipe 2 mempunyai tempat predileksi di daerah
pinggang kebawah, terutama di daerah genital. Pada wanita biasanya pada labia
mayora, labia minora, klitoris dan introitus vagina.
Dari pemeriksaan venerologis pada vagina terdapat vesikel dan ulkus
multiple. Berdasarkan kepustakaan bahwa herpes simpleks biasanya berlokasi di labia
mayora, labia minora, vagina, klitoris. Sesuai dengan teori bahwa efloresensi herpes
simpleks yaitu vesikel yang berkelompok diatas kulit yang sembab dan eritematosa,
berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dan dapat menjadi krusta dan
kadang mengalami ulserasi yang dangkal. Adanya duh tubuh berwarna putih susu ,
konsistensi kental di daerah serviks menurut kepustakaan sesuai dengan teori
penyakit kandidiasis vaginalis.
Dari hasil pemeriksaan penunjang (vaginal swab) di dapatkan yeast pada
secret vagina menandakan adanya kandidiasis. Hal ini sesuai dengan teori pada
28

usapan mukokutan diperiksa dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan gram,
terlihat sel ragi, blastospora, atau hifa semu.
Diagnosis ulkus mole dan ulkus durum bisa disingkirkan, karena pada ulkus
mole pada efloresensi ulkus berbentuk cawan, tepi tidak rata, dinding menggaung,
daerah sekitarnya eritema dan ditemukan adanya Haemophilus ducreyi. Pada ulkus
durum, limfogranuloma venereum ada pada penis atau vagina muncul lepuhan kecil
berisi cairan yang tidak disertai nyeri. Lepuhan ini berubah menjadi ulkus (luka
terbuka). Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar getah bening pada salah satu
atau kedua selangkangan. Kulit diatasnya tampak merah dan teraba hangat, dan jika
tidak diobati akan terbentuk lubang di kulit yang terletak diatas kelenjar getah bening
tersebut. Dari lubang ini akan keluar nanah atau cairan kemerahan, lalu akan
membaik tetapi biasanya meninggalkan jaringan parut yang akan kambuh lagi. Pada
pasien ini tidak ditemukan keluhan yang mengarah ke ulkus mole, ulkus durum.
Diagnosis banding trichomoniasis dapat disingkirkan, karena menurut teori
pada trichomoniasis ditemukan cairan yang keluar dari vagina biasanya banyak,
berbuih menyerupai air sabun dan berbau. Leukorea oleh parasit ini tidak selalu gatal,
tetapi vagina tampak kemerahan dan timbul rasa nyeri bila ditekan atau perih bila
berkemih. Pada pemeriksaan secret vagina ditemukan trichomonas vaginalis.
Pada pasien ini mendapat penatalaksanaan asiklovir. Asiklovir bekerja pada
DNA polymerase virus. Dosis untuk herpes genital per oral 2x sehari 500 mg selama
7 hari. Untuk pengobatan candida pada pasien ini diberikan flukonazol. Flukonazol
mempunyai mekanisme kerja sebagai suatu inhibitor yang poten terhadap biosintesis
ergosterol, bekerja dengan menghambat sintesis enzim sitokrom P-450 dan bersifat
fungistatik. Gentamisin merupakan suatu antibiotika golongan aminoglikosida yang
efektif untuk menghambat kuman- kuman penyebab infeksi kulit primer maupun
sekunder yang menghasilkan penisilinase. Pemberian asam mefenamat berguna untuk
mengurangi nyeri. Cara kerja asam mefenamat adalah seperti OAINS lain yaitu
menghambat sintesis prostaglandin dengan menghambat kerja enzim cyclooxygenase

29

BAB V
KESIMPULAN

Dilaporkan pasien dengan identitas , nama Ny. K usia 61 tahun dengan


diagnosis herpes simpleks dan leukore et kandidiasis vaginalis. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik berupa status venerologis dan pemeriksaan
penunjang (vaginal swab). Pada anamnesa terdapat benjolan sebesar biji jagung
terasa panas, perih dan gatal. Pasien juga mengeluh keputihan, warna seperti susu dan
kental. Pasien mengeluh saat BAK perih dan panas, belum diobati, gatal berkurang
dengan mengompres dengan air hangat, pasien mempunyai riwayat diabetes
terkontrol. Dari pemeriksaan fisik berupa status venerologis didapatkan pada vagina
terdapat ulkus multiple, vesikel, duh tubuh berwarna putih susu, adanya leukosit 1020/lpb, yeast pada secret vagina pasien positif. Pasien mendapatkan terapi asiklovir,
asam mefenamat, flukonazol, gentamicin, cetirizine. Prognosis dubia ad bonam

30

DAFTAR PUSTAKA
1. Marques AR, Straus SE. Herpes simplex. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Editor. Fitzpatricks
Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: Mc-Graw Hill
Companies, 2008; 1873-85.
2. Daili SF. Herpes genitalis pada imunokompromais. Dalam:Daili SF, Makes
WI Editor. Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 89-99
3. Habif, Thomas P., 2004. Warts, Herpes Simplex, and Other Viral Infections.
In: Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4 th
Edition. Philadelphia, Pennsylvania: Mosby.381-389.
4. Handoko, Ronny P., 2010. Herpes Simpleks. Dalam: Djuanda, A., Hamzah,
M., Aisah, S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Keenam. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 380-382.
5. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A., Suurmond, Dick, 2007. Viral Infections of
Skin and Mucosa. In: Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology. 5th edition.McGraw-Hills.442-696.
6. Sterry, W., Paus, R., Burgdorf, W., 2006.Viral Diseases. In: Thieme Clinical
Companions Dermatology. New York: Thieme. 57-60.
7. Sjahjurachman A. Biologi virus herpes. Dalam:Daili SF, Makes WI Editor.
Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 3-21.
8. Pertel PE, Spear PG. Biology of Herpesviruses. Dalam : Holmes KK, Sparling
PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN, Core L. eds. Sexually transmitted
diseases, edisi ke-4. New York:Mc Graw Hill. 2007. Hal. 381 97
9. Makes WI. Herpes genitalis pada pasien imunokompeten. Dalam:Daili SF,
Makes WI Editor. Infeksi virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002;
74-88
10. Sarsito AS. Stomatitis herpetika. Dalam:Daili SF, Makes WI. Editor. Infeksi
virus herpes. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002; 65-73.
11. Fatahzadeh M, Schwartz RA. Human herpes simplex virus infections:
epidemiology, pathogenesis, symptomatology, diagnosis, and management. J
Am Acad Dermatol 2007; 57: 737-63

31

12. Genital herpes, [online].2005 october [cited Dec 12];[6 screens]. Available
from http://www.NIAD-Health Matters.co.uk
13. Berger, Timothy G., 2007. Skin, Hair & Nails. In: McPhee, Stephen
J.,Papadaxis, MaxineA., Tierney, Lawrance M. CURRENT Medical
Diagnosis & Treatment. 46th Edition. San Francisco, California : McGraw
Hills
14. Saenang RH, Djawad K, Amin S. Herpes Genetalis. Dalam: Amiruddin MD,
editor. Penyakit Menular seksual. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedoktera Univesitas Hasanuddin; 2004. hal.179-196
15. Anonim. 2009. Karakteristik Candida Albicans. Available from:
htttp://www.smallcrab.com/kesehatan-karakteristik-candida-albicans.
16. Djuanda Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Ed 5. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
17. Fatta Madani. 2000. Kandidosis, Dalam : Marwali Harahap. Ilmu Penyakit
Kulit. Cetakan I, Hipokrates, Jakarta.
18. Sylvia Price. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Vol. 2. Ed.6. Jakarta : penerbit Buku Kedokteran EGC
19. Sulistia dan Gunawan. 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen
farmakologi dan terapeutik FKUI : Jakarta

32

Anda mungkin juga menyukai