PEMICU 4
MODUL NEUROSAINS
Anggota Kelompok :
1. Jefri Kurniawan
I11110004
2. Ratih
I11110006
3. Jalianto
I11110062
4. Wastri G Manik
I11110052
5. Rio Wira. A
I11111004
6. Mitha Ismaulidia
I11111015
7. Heryanto Andreas
I11111019
8. Assa Ayu M
I11111022
9. Imam Tadjudin. A
I11111045
I11111033
I11111065
I11111071
I11111077
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012
PEMICU 4
Seorang laki-laki berusia 40 tahun dating ke dokter dengan keluhan nyeri pada otot
tungkainya yang telah dialami sejak satu tahun yang lalu yang diawali adanya luka
terinfeksi. Dia menangani sendiri nyerinya tersebut dengan obat yang dibelinya di took
obat atas anjuran temannya. Nyerinya akan hilang setelah minum obat, tetapi akan
timbul lagi setelah beberapa jam kemudian. Sejak 6 bulan terakhir dirasakannya obatnya
yang diminum baru member efek jika dosisnya ditingkatkan. Bila tidak minum obat
tersebut akan pusing, mual nyeri berlebihan.
Klarifikasi dan Definisi
1. Nyeri Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh
secara klinis mungkin tak tampak dan timbul cedera seluler lokal.
2. Nyeri adalah suatu gejala yang berfungsi untuk melindungi dan memberikan
tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan pada tubuh.
Keyword
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Laki-laki 40 tahun
Nyeri pada otot tungkai
Di awali oleh infeksi
Sejak 1 tahun yang lalu
Penanganan sendiri dengan obat toko
Minum obat, nyeri hilang namun timbul lagi
Dosis ditingkatkan selama 6 bulan terakhir, efek baru terasa
Jika tidak minum obat, ia merasa pusing, mual dan nyeri berlebihan.
Rumusan Masalah
Nyeri yang tidak kunjung hilang akibat infeksi dan penggunaan obat dengan dosis terus
ditingkatkan.
Analisis Masalah
Stimulus (lakilaki 40 tahun )
Patogenesis pada
sistem saraf
pusat oleh virus,
bakteri, parasit,
dan jamur.
Infeksi
akut
kroni
k
Nyeri
Derajat nyeri
farmakodina
mik
farmakokinet
ik
Pemberian
obat
Nyeri
hilang
sementar
Dosis ditinggikan
pada 6 bulan
terakhitr
ketergantun
gan
Toleransi
terhadap
obat
Hipotesis
Pemberian obat zat analgesic dapat menekan system saraf yang mengatur respon nyeri
akibat infeksi mikroba dan pemberian obat secara terus menerus dapat menurunkan
efektivitas obat terhadap tubuh.
Pertanyaan Diskusi
1. Mekanisme kerja obat analgetik
2. Nyeri akibat infeksi
- Faktor nyeri
- Stimulus
- Reseptor
- Infeksi Mikroba pada system saraf
- Nyeri kronik dan akut
- Nyeri cepat dan lambat
3. Farmakokinetik
4. Peningkatan dosis obat (toleransi obat), Ketergantungan dan gejala putus obat.
5. Penatalaksanaan nyeri akibat infeksi
PEMBAHASAN:
1. MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK
Zat-zat kimia berperan sebagai transduksi dari nyeri antara lain adalah
prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P, lekotrein. Di antara
3
3. Stimulus Nyeri
Seorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance) atau dapat
mengenali jumlah stimulus nyeri sebelum merasakan nyeri (pain threshold).
Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, diantaranya :
1) Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat terjadinya
kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor.
2) Gangguan pada jaringan tubuh, misal karena edema, akibat terjadinya
penekanan pada reseptor nyeri
3) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri
4) Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteri koronaria yang
menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpunya asam laktat
5) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik
4. Reseptor nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang
secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara
anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang
tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah,
nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
7
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ,
tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Reseptor nyeri berdasarkan rangsangan dibedakan menjadi 3, antara lain:
a. Reseptor mekanik (kerusakan mekanik misalnya benturan, tusukan dan
cubitan).
b. Reseptor termal (suhu ekstrem)
c. Reseptor polimodal (respon ke semua jenis stimulus merugikan,
termasuk iritasi kimia ke jaringan yang terluka).
5. Nyeri Neuropati
Neuropati perifer (peripheral neuropathy/PN) adalah penyakit pada saraf
perifer. Saraf tersebut adalah semua saraf selain yang ada di otak dan urat saraf
tulang belakang (perifer berarti jauh dari pusat). Nyeri neuropatik merupakan
keadaan kompleks nyeri kronis yang biasanya disertai dengan cedera jaringan.
Dengan nyeri neuropatik, serat-serat saraf sendiri mungkin rusak, disfungsional,
atau cedera. Serat saraf yang rusak ini mengirim sinyal yang salah ke pusatpusat rasa sakit lain. Dampak dari cedera serabut saraf meliputi perubahan dalam
fungsi syaraf baik, di tempat cedera dan daerah sekitar cedera.
Akibatnya, orang merasa tidak nyaman dengan gejala yang digambarkan
sebagai kesemutan atau seperti ditusuk paku dan jarum atau gejala nyeri lebih
seperti membakar. Nyeri saraf dapat dikaitkan dengan sejumlah kondisi medis
seperti diabetes, herpes zoster, kanker dan perawatan nya, sindrom carpal tunnel,
atau cedera tulang belakang.
6. Nyeri Cepat dan Nyeri Lambat
Persepsi nyeri merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh
keadaan emosi dan pengalaman masa lalu seseorang, nyeri cepat dirasakan
dalam waktu sekitar 0,1 detik setelah stimulus diterima. Dideskripsikan sebagai
8
nyeri tajam, nyeri seperti ditusuk. Contohnya setelah tertusuk jarum. Nyeri
cepat hampir terbatas pada kulit dan disebabkan oleh stimulus mekanik atau
suhu.
Nyeri lambat, dirasakan setelah 1 detik atau lebih setelah stimulus.
Dideskripsikan sebagai nyeri seperti terbakar, menyakitkan, berdenyut dan
terjadi bila terdapat kerusakan jaringan. Nyeri lambat dapat timbul diseluruh
jaringan tubuh, dan dapat disebabkan oleh stimulus mekanik, suhu dan kimiawi.
Contohnya pada pembentukan abses atau artritis yang hebat.
7. Nyeri Akut dan Nyeri Kronik
Nyeri akut merupakan nyeri yang mereda setelah diintervensi atau
penyembuhan, berlangsung singkat (kurang dari 6 bulan) dan menghilang
setelah faktor eksternal dan internal dihilangkan. Contohnya adalah nyeri pasca
operasi.
Nyeri kronik merupakan nyeri yang dapat berlangsung terus-menerus
akibat kausa keganasan dan non keganasan atau intermiten. Nyeri kronik dapat
menetap lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik dapat mengganggu aspek kehidupan
penderitanya, menimbulkan distres dan kegalauan emosi, serta mengganggu
fungsi fisik dan sosial. Contoh dari nyeri kronik yaitu migren.
B. INFEKSI
1. Pengertian Infeksi
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di
dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Infeksi adalah
invasi tubuh oleh mikroorganisme dan berproliferasi dalam jaringan tubuh.
(Kozier, et al, 1995).
Mikroorganisme yang bisa menimbulkan penyakit disebut pathogen
(agen infeksi), sedangkan mikroorganisme yang tidak menimbulkan
penyakit/kerusakan disebut asimtomatik. Penyakit timbul jika pathogen
berkembang biak dan menyebabkan perubahan pada jaringan normal. Jika
penyakit bisa ditularkan dari satu orang ke orang lain, penyakit ini merupakan
penyakit menular (contagius). Mikroorganisme mempunyai keragaman dalam
virulensi/keganasan dan juga beragam dalam menyebabkan beratnya suatu
penyakit yang disebabkan.
2. Tipe Mikroorganisme Penyebab Infeksi
Penyebab infeksi dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
a. Bakteri
Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Ratusan spesies
bakteri dapat menyebabkan penyakit pada tubuh manusia dan dapat hidup
didalamnya, bakteri bisa masuk melalui udara, air, tanah, makanan, cairan
dan jaringan tubuh dan benda mati lainnya.
b. Virus
Virus terutama berisi asam nukleat (nucleic acid), karenanya harus masuk
dalam sel hidup untuk diproduksi.
c. Fungi
Fungi terdiri dari ragi dan jamur
d. Parasit
Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk kelompok parasit
adalah protozoa, cacing dan arthropoda.
3. Rantai Infeksi
Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar berbagai faktor
yang mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara penularan,
portal of entry dan host/ pejamu yang rentan.
4. Agen Infeksi
Microorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri, virus,
jamur dan protozoa. Mikroorganisme di kulit bisa merupakan flora transient
maupun resident. Organisme transient normalnya ada dan jumlahnya stabil,
organisme ini bisa hidup dan berbiak di kulit. Organisme transien melekat pada
kulit saat seseorang kontak dengan obyek atau orang lain dalam aktivitas
normal. Organisme ini siap ditularkan, kecuali dihilangkan dengan cuci tangan.
Organisme residen tidak dengan mudah bisa dihilangkan melalui cuci tangan
dengan sabun dan deterjen biasa kecuali bila gosokan dilakukan dengan
seksama. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi tergantung pada: jumlah
microorganisme, virulensi (kemampuan menyebabkan penyakit), kemampuan
untuk masuk dan bertahan hidup dalam host serta kerentanan dari host/penjamu.
5. Reservoar (Sumber Mikroorganisme)
Adalah tempat dimana mikroorganisme patogen dapat hidup baik berkembang
biak atau tidak. Yang bisa berperan sebagai reservoir adalah manusia, binatang,
makanan, air, serangga dan benda lain. Kebanyakan reservoir adalah tubuh
manusia, misalnya di kulit, mukosa, cairan maupun drainase. Adanya
microorganisme patogen dalam tubuh tidak selalu menyebabkan penyakit pada
hostnya. Sehingga reservoir yang di dalamnya terdapat mikroorganisme patogen
bisa menyebabkan orang lain menjadi sakit (carier). Kuman akan hidup dan
berkembang biak dalam reservoar jika karakteristik reservoarnya cocok dengan
kuman. Karakteristik tersebut yaitu oksigen, air, suhu, pH, dan pencahayaan.
6. Portal of Exit (jalan keluar)
Mikroorganisme yang hidup di dalam reservoir harus menemukan jalan keluar
(portal of exit untuk masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi. Sebelum
menimbulkan infeksi, mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari
reservoarnya. Jika reservoarnya manusia, kuman dapat keluar melalui saluran
10
No
1.
2.
3.
4.
6.
Saluran gastrointestinal
a. Keasaman sekresi gaster
b. Peristaltik yang cepat dalam usus kecil
Vagina
Pada puberitas, flora normal menyebabkan Antibiotik
dan
kontrasepsi
sekresi vagina untuk mencapai pH yang mengganggu flora normal
rendah
C. Inflamasi
Inflamasi merupakan reaksi protektif vaskular dengan menghantarkan cairan,
produk darah dan nutrien ke jaringan interstisial ke daerah cidera. Proses ini
menetralisasi dan mengeliminasi patogen atau jaringan mati (nekrotik) dan
memulai cara-cara perbaikan jaringa tubuh. Tanda inflamasi termasuk bengkak,
kemerahan, panas, nyeri/nyeri tekan, dan hilangnya fungsi bagian tubuh yang
terinflamasi. Bila inflamasi menjadi sistemik akan muncul tanda dan gejala demam,
leukositas, malaise, anoreksia, mual, muntah dan pembesaran kelenjar limfe.
Respon inflamasi dapat dicetuskan oleh agen fisik, kimiawi atau mikroorganisme.
Respon inflamasi termasuk hal berikut ini:
13
oral
16
6. Histoplasmosis
Histoplasma capsulatun terdapat pada daerah ohio dandaerah lembah Missisipi
tengah Amerika. Infeksi terjadi setelah inhalasi spora. Kebanyakan pasien hanya
memperlihatkan gejala yang minimal atau tanpa gejala selama infeksi primer pada paru
paru. Perkembangan penyakit yang progresif (desimilata) terjadi pada penderita
gangguan pertahanan tubuh (cell mediated immune defence) setengah dari penderita
dengan gejala diseminata merupakan pasien dengan terapi imunosupresif, Lymphoma,
lymphocytic leukimia, gangguan limfa atau AIDS. Jika terjadi keaadaan disseminata,
lokasi yang terutama adalah susunan saraf pusat.
17
18
rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio
kematian sangatlah tinggi.
2. Botulism
Botulisme adalah suatu keadaan yang jarang terjadi dan bisa berakibat fatal,
yang disebabkan oleh keracunan toksin (racun) yang diproduksi oleh Clostridium
botulinum. Toksin ini adalah racun yang sangat kuat dan dapat menyebabkan kerusakan
saraf dan otot yang berat. Karena menyebabkan kerusakan berat pada saraf, maka racun
ini disebut neurotoksin.
Terdapat 3 jenis botulisme, yaitu:
- Foodborne botulism, merupakan akibat dari mencerna makanan yang
tercemar
- Wound botulism, disebabkan oleh luka yang tercemar
- Infant botulism, terjadi pada anak-anak, karena mencerna makanan yang
tercemar.
Penyebabnya adalah Bakteri Clostridium botulinum memiliki bentuk spora.
Spora ini dapat bertahan dalam keadaan dorman (tidur) selama beberapa tahun dan
tahan terhadap kerusakan. Jika lingkungan di sekitarnya lembab, terdapat cukup
makanan dan tidak ada oksigen, spora akan mulai tumbuh dan menghasilkan toksin.
Beberapa toksin yang dihasilkan Clostridium botulinum memiliki kadar protein yang
tinggi, yang tahan terhadap perusakan oleh enzim pelindung usus.
Jika makan makanan yang tercemar, racun masuk ke dalam tubuh melalui
saluran pencernaan, menyebabkan foodborne botulism. Sumber utama dari botulisme ini
adalah makanan kalengan. Sayuran, ikan, buah dan rempah-rempah juga merupakan
sumber penyakit ini. Demikian juga halnya dengan daging, produki susu, daging babi
dan unggas.
Wound botulism terjadi jika luka terinfeksi oleh Clostridium botulinum. Di
dalam luka ini, bakteri menghasilkan toksin yang kemudian diserap masuk ke dalam
aliran darah dan akhirnya menimbulkan gejala.
Infant botulism sering terjadi pada bayi berumur 2-3 bulan. Berbeda dengan
foodborne botulism, infant botulism tidak disebabkan karena menelan racun yang sudah
terbentuk sebelumnya. Botulisme ini disebabkan karena makan makanan yang
mengandung spora, yang kemudian tumbuh dalam usus bayi dan menghasilkan racun.
Penyebabnya tidak diketahui, tapi beberapa kasus berhubungan dengan pemberian
madu.
Clostridium botulinum banyak ditemukan di lingkungan dan banyak kasus yang
merupakan akibat dari terhisapnya sejumlah kecil debu atau tanah.
Gejalanya terjadi tiba-tiba, biasanya 18-36 jam setelah toksin masuk, tapi dapat
terjadi 4 jam atau paling lambat 8 hari setelah toksin masuk. Makin banyak toksin yang
masuk, makin cepat seseorang akan sakit. Pada umumnya, seseorang yang menjadi sakit
dalam 24 jam setelah makan makanan yang tercemar, akan mengalami penyakit yang
sangat parah.
19
Gejala-gejala meningitis
Demam, nyeri kepala, mual, muntah, meningeal sign positif, kejang, pada
pemeriksaan fisik terdapat bulging pada fontanela. Jika penyebabnya adalah virus dapat
diserati malaise, anorexia dan biasanya disetai gejala infeksi saluran nafas seperti
faringitis. Penyebabnya paling sering adalah arbovirus yang berhubungan dengan
ensefalitis.
Infeksi sistem saraf pusat virus di bayi baru lahir dan bayi biasanya mulai
dengan demam. Bayi baru lahir mungkin tidak mempunyai gejala lain dan pada awalnya
mungkin tidak kelihatan sakit. Bayi usia lebih dari sebulan biasanya menjadi cepatmarah dan rewel dan menolak untuk makan. Muntah sering terjadi. Kadang-kadang ada
area kecil di atas kepala bayi baru lahir (fontanelle) yang menonjol, menunjukkan
pertambahan tekanan pada otak. Karena gangguan meninges diperburuk oleh gerakgerik, seorang bayi dengan radang selaput mungkin menangis lebih sering, daripada
menjadi tenang, kalau diambil dan digoncangkan. Beberapa bayi membuat jeritan yang
tinggi yang aneh. Bayi dengan radang otak sering mengalami pingsan atau melakukan
gerakan aneh. Bayi dengan radang otak hebat mungkin menjadi lesu dan koma lalu
meninggal. Infeksi dengan herpes virus simpleks, yang sering dipusatkan hanya satu
bagian otak, mungkin menyebabkan pingsan atau kelemahan muncul hanya satu bagian
badan.
Post- Infectious-nya mungkin menghasilkan banyak masalah neurologic,
bergantung pada bagian otak yang rusak. Anak mungkin mempunyai kelemahan pada
lengan atau kaki, kehilangan pandangan atau mendengar, keterbelakangan mental, atau
pingsan berulang. Gejala ini mungkin tidak nyata sampai anak cukup tua untuk masalah
untuk muncul selama pemeriksaan. Sering kali gejala hilang dengan berjalannya waktu,
tetapi kadang-kadang permanen.
2. Ensefalitis Virus
- Ensefalitis Arbovirus
Ensfalitis yang disebabkan oleh arbovirus adalah bentuk ensefalitis epidemik
tersering di dunia barat. Contohnya adalah ensefalitis eastern dan western
equine. Secara histologis, tampak inflamasi perivaskular nonspesifik dan
nodul mikroglia, yang kadang-kadang palng mencolok di batang otak.
- Ensefalitis Herpes Simpleks
HSV tipe 1 merupakan penyebab tersering ensefalitis virus sporadik di
Amerika Serikat. Gambaran penting pada ensefalitis HSV tipe 1 adalah
kecondongan mengenai lobus temporalis dan daerah frontalis orbital, tempat
HSV tipe 1 menyebabkan ensefalitis hemoragik nekrotikans.
- Ensefalitis Sitomegalovirus (CMV)
Jenis Virus ini meruakan penyebab penting dari ensefalitis pada neonatus dan
pasien dengan gangguan kekebalan. Meskipun CMV dapat menginfeksi otak
atau medula spinalis, termasuk akar saraf spinal dan saraf kranialis, pada
21
3. Poliomyelitis
Poliomyelitis atau Polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan
oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki
aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan
kadang kelumpuhan.
Virus Polio termasuk genus enteroviorus, famili Picornavirus. Bentuknya adalah
ikosahedral tanpa sampul dengan genome RNA single stranded messenger molecule.
Single RNA ini membentuk hampir 30 persen dari virion dan sisanya terdiri dari 4
protein besar (VP1-4) dan satu protein kecil (Vpg). Polio adalah penyakit menular yang
dikategorikan sebagai penyakit peradaban. Polio menular melalui kontak antarmanusia.
Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau
minuman yang terkontaminasi feses. Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas
tiga strain berbeda dan amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan
kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia,
lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Penyebab
penyakit polio terdiri atas tiga strain yaitu strain 1 (brunhilde) strain 2 (lanzig), dan
strain 3 (Leon).
Strain 1 adalah yang paling paralitogenik atau yang paling ganas dan sering kali
menyebabkan kejadian luar biasa atau wabah. Strain ini sering ditemukan di Sukabumi.
Sedangkan Strain 2 adalah yang paling jinak. Penyakit Polio terbagi atas tiga jenis yaitu
Polio non-paralisis, Polio paralisis spinal, dan Polio bulbar. -Polio non-paralisis
menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot pada
leher dan punggung, otot terasa lembek jika disentuh. -Polio Paralisis Spinal Jenis
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk
anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun
strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari
200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan
terjadi pada kaki. Setelah poliovirus menyerang usus, virus ini akan diserap oleh kapiler
darah pada dinding usus dan diangkut seluruh tubuh. Poliovirus menyerang saraf tulang
22
belakang dan neuron motor -- yang mengontrol gerak fisik. Pada periode inilah muncul
gejala seperti flu. Namun, pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum
divaksinasi, virus ini biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang
belakang dan batang otak. Infeksi ini akan mempengaruhi sistem saraf pusat menyebar
sepanjang serabut saraf. Seiring dengan berkembang biaknya virus dalam sistem saraf
pusat, virus akan menghancurkan neuron motor. Neuron motor tidak memiliki
kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi
terhadap perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai
menjadi lemas -- kondisi ini disebut acute flaccid paralysis (AFP).
Infeksi parah pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan kelumpuhan pada
batang tubuh dan otot pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia.
Ada yang disebut sebagai Polio Bulbar. Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya
kekebalan alami sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung neuron
motor yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai
otot yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang
berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang
mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan
berbgai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim
sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher.
Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima hingga
sepuluh persen penderta yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika otot
pernapasan mereka tidak dapat bekerja.
Kematian biasanya terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang
bertugas mengirim ''perintah bernapas'' ke paru-paru. Penderita juga dapat meninggal
karena kerusakan pada fungsi penelanan; korban dapat ''tenggelam'' dalam sekresinya
sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot
cairan yang disekresikan sebelum masuk ke dalam paru-paru. Namun trakesotomi juga
sulit dilakukan apabila penderita telah menggunakan ''paru-paru besi'' (iron lung). Alat
ini membantu paru-paru yang lemah dengan cara menambah dan mengurangi tekanan
udara di dalam tabung. Kalau tekanan udara ditambah, paru-paru akan mengempis,
kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru akan mengembang.
Dengan demikian udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi yang jauh
lebih parah pada otak dapat menyebabkan koma dan kematian. Penyakit Polio dapat
ditularkan oleh infeksi droplet dari oro-faring (mulut dan tenggorokan) atau dari tinja
penderita yang telah terinfeksi selain itu juga dapat menular melalui oro-fecal (makanan
dan minuman) dan melalui percikan ludah yang kemudian virus ini akan
berkembangbiak di tengorokan dan usus lalu kemudian menyebar ke kelenjar getah
bening, masuk ke dalam darah serta menyebar ke seluruh tubuh. Penu-laran terutama
sering terjadi langsung dari manusia ke manusia melalui fekal-oral (dari tinja ke mulut)
atau yang agak jarang terjadi melalui oral-oral (mulut ke mulut). Virus Polio dapat
bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilokilometer dari sumber penularannya. Penularan terutama terjadi akibat tercemarnya
23
lingkungan leh virus polio dari penderita yang telah terinfeksi, namun virus ini hidup di
lingkungan terbatas. Virus Polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka
terhadap formaldehide dan larutan klor. Suhu yang tinggi dapat cepat mematikan virus
tetapi pada keadaan beku dapat bertahun-tahun masa hidupnya.
3. FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik adalah mempelajari nasib obat di dalam tubuh. Mekanisme perjalan
obar tersebut dibagi menjadi 4 fase yaitu :
1) Absorbsi
2) Distribusi
3) Metabolisme
4) Ekskresi
Absorbsi dan Bioavailabilitas
Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses
penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan
proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang
diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini
menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai
sirkulasisistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat
tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai
sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada
pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ
tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first
pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian
mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi
oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan
kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum
mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau
dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual
(misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.
Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melaluisirkulasi darah.
Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat jugaditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2fase berdasarkan penyebarannya
di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke
organ yang. Perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.
Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang
perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan
lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama.
Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler
24
mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah
larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak,
sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel
sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga
dibatasi olehikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat
berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma
ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya
sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena
adanya defisiensi protein.
Biotransformasi/Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat
diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut
dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada
umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam
mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif,
atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan
oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi
lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir. Enzim yang berperan
dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel,
yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang
pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua
macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga
terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan
plasma.
Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit
polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi
melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini
merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di
tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi
obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu
diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat
dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut,
tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk
menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan
logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.
25
27
nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri
neuropatik yang mungkin tidak berespons terhadap opioid.
b. Pendekatan Non-Faramakologik
Terapi dan Modalitas Fisik
Mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan
listrik, akupuntur, aplikasi panas/dingin, olahraga). Dasar stimulus kulit
adalah teori pengendalian gerbang pada transmisi nyeri. Stimulasi kulit akan
merangsang serat-serat non-nosiseptif yang berdiamater besar untuk
menutup gerbang bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan
nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahawa stimulasi kulit
juga dapat menyebabkan tuguh mengeluarkan endorphin dan
neurotransmitter lain yang menghambat endorphin.
Strategi Kognitif Perilaku
Mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri dan
member pasien perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri.
Strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan, hypnosis dan
biofeedback.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Price, Slyvia A and Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta:
EGC
28
http://www.upoj.org/site/files/v11/v11_14.pdf
http://www.nursingtimes.net/nursing-practice/1860931.article
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31992/4/Chapter%20II.pdf
Guyton, Arthut C dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.11.
Jakarta: EGC
Snell, Richard S.2006.Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran .Ed.
5.Jakarta: EGC
Katzung, Bertram G.2010. Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 10.Jakarta : EGC.
29