Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK 6

PEMICU 4
MODUL NEUROSAINS
Anggota Kelompok :
1. Jefri Kurniawan

I11110004

2. Ratih

I11110006

3. Jalianto

I11110062

4. Wastri G Manik

I11110052

5. Rio Wira. A

I11111004

6. Mitha Ismaulidia

I11111015

7. Heryanto Andreas

I11111019

8. Assa Ayu M

I11111022

9. Imam Tadjudin. A

I11111045

10. Mario Herdianto. T

I11111033

11. Sri Purwanti

I11111065

12. Tan Sri Ernawati

I11111071

13. Maria Enjelina

I11111077

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2012

PEMICU 4
Seorang laki-laki berusia 40 tahun dating ke dokter dengan keluhan nyeri pada otot
tungkainya yang telah dialami sejak satu tahun yang lalu yang diawali adanya luka
terinfeksi. Dia menangani sendiri nyerinya tersebut dengan obat yang dibelinya di took
obat atas anjuran temannya. Nyerinya akan hilang setelah minum obat, tetapi akan
timbul lagi setelah beberapa jam kemudian. Sejak 6 bulan terakhir dirasakannya obatnya
yang diminum baru member efek jika dosisnya ditingkatkan. Bila tidak minum obat
tersebut akan pusing, mual nyeri berlebihan.
Klarifikasi dan Definisi
1. Nyeri Infeksi adalah invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh
secara klinis mungkin tak tampak dan timbul cedera seluler lokal.
2. Nyeri adalah suatu gejala yang berfungsi untuk melindungi dan memberikan
tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan pada tubuh.
Keyword
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Laki-laki 40 tahun
Nyeri pada otot tungkai
Di awali oleh infeksi
Sejak 1 tahun yang lalu
Penanganan sendiri dengan obat toko
Minum obat, nyeri hilang namun timbul lagi
Dosis ditingkatkan selama 6 bulan terakhir, efek baru terasa
Jika tidak minum obat, ia merasa pusing, mual dan nyeri berlebihan.

Rumusan Masalah
Nyeri yang tidak kunjung hilang akibat infeksi dan penggunaan obat dengan dosis terus
ditingkatkan.

Analisis Masalah
Stimulus (lakilaki 40 tahun )
Patogenesis pada
sistem saraf
pusat oleh virus,
bakteri, parasit,
dan jamur.

Infeksi
akut
kroni
k

Nyeri

Derajat nyeri
farmakodina
mik
farmakokinet
ik

Pemberian
obat

Nyeri
hilang
sementar
Dosis ditinggikan
pada 6 bulan
terakhitr
ketergantun
gan

Toleransi
terhadap
obat

Hipotesis
Pemberian obat zat analgesic dapat menekan system saraf yang mengatur respon nyeri
akibat infeksi mikroba dan pemberian obat secara terus menerus dapat menurunkan
efektivitas obat terhadap tubuh.
Pertanyaan Diskusi
1. Mekanisme kerja obat analgetik
2. Nyeri akibat infeksi
- Faktor nyeri
- Stimulus
- Reseptor
- Infeksi Mikroba pada system saraf
- Nyeri kronik dan akut
- Nyeri cepat dan lambat
3. Farmakokinetik
4. Peningkatan dosis obat (toleransi obat), Ketergantungan dan gejala putus obat.
5. Penatalaksanaan nyeri akibat infeksi
PEMBAHASAN:
1. MEKANISME KERJA OBAT ANALGETIK
Zat-zat kimia berperan sebagai transduksi dari nyeri antara lain adalah
prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, substansi P, lekotrein. Di antara
3

mediator-mediator reaksi lokal ini ditemukan prostaglandin. Semuanya diawali dengan


degradasi fosfolipid membran sel menjadi asam arakhidonat, yang diperantarai oleh
enzim fosfolipase A2. Tahap pertama ini dihambat oleh kortikosteroid.
Sejak terbentuk asam arakhidonat terjadi dua jalur proses metabolisme:
1. Cara metabolisme melalui siklooksigenase yang berakhir dengan pembentukan
prostaglandin, zat ini kemudian dilepaskan dan menimbulkan gangguan dan
berperan dalam proses inflamasi: edema, menimbulkan rasa nyeri lokal,
kemerahan (eritema) lokal. Selain itu meningkatkan kepekaan ujung-ujung
saraf terhadap rangsang nyeri (nosiseptif).
2. Cara metabolisme melalui lipooksigenase yang berakhir dengan terbentuknya
leukotrien. Leukotrien meningkatkan daya kemotaktik polinuklear dan
menghasilkan radikal bebas dengan akibat terjadinya lesi.
Enzim Cyclooxygenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis sintesis
prostaglandin dari asam arakidonat. PG memediasi sejumlah besar proses di tubuh
termasuk inflamasi, nyeri, sekresi pelindung lapisan lambung, mempertahankan perfusi
renal, dan aggregasi platelet. Obat AINS memblok aksi dari enzim COX yang
menurunkan produksi mediator prostaglandin. Hal ini menghasilkan kedua efek, baik
yang positif (analgesia, antiinflamasi) maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan
perfusi renal dan perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan 2 isoenzim, yang
ubiquitously dan constitutive diekspresikan sebagai COX-1 dan yang diinduksikan
inflamasi COX-2. Sampai saat ini telah dikenal tiga isoenzim siklooksigenase (COX)
yaitu COX 1, COX 2 dan COX 3. COX 3 sendiri merupakan isoenzim yang baru-baru
ini ditemukan dan merupakan varian dan turunan dari COX 1 yang telah dikenal
sebelumnya.
Siklooksigenase 3 (COX 3) dapat menjelaskan mekanisme kerja dari beberapa
analgetik antipiretik NSAID yang memiliki efektifitas kerja lemah dalam menginhibisi
COX 1 dan COX 2 tetapi dapat dengan mudah melakukan penetrasi ke otak. Beberapa
jenis obat yang dikenal memiliki efek inhibisi terhadap COX 3 antara lain asetaminofen.
Pengetahuan mengenai mekanisme kerja COX 3 sangat diperlukan dalam menerangkan
mekanisme kerja dari asetaminofen yang sampai saat ini masih sangat sulit untuk
dipahami.
Obat analgetik dibagi dalam 2 golongan utama, yaitu yang bekerja di perifer dan
yang bekerja di sentral. Obat golongan Anti Inflamasi Nonsteroidal (AINS) bekerja di
perifer dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim
siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Pada golongan
analgetik opioid. bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu dorsalis
medula spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmiter dan perangsangan
ke saraf spinal tidak terjadi.

Obat anti inflamatori nonsteroid menghambat siklooksigenase, tanpa menghambat


proses lipooksigenese. Obat AINS menginduksi peningkatan ambilan asam arakhidonat
yang dilepaskan oleh membran polinuklear, dengan tujuan mengurangi fraksi-fraksi
utama yang dapat dimetabolisme oleh enzim lipooksigenase.
2. NYERI DAN INFEKSI
A. Nyeri
1. Pengertian Nyeri
Nyeri merupakan mekanisme pertahanan yang akan membawa ke
kesadaran bahwa jaringan sedang terluka atau rusak. Pengalaman akan nyeri,
dalam memori, akan membantu dalam menghindari kejadian berbahaya.
Nyeri merupakan perasaan yang dipicu dalam sistem saraf. Nyeri dapat
terasa tajam atau membosankan. Hal itu dapat datang dan pergi, atau mungkin
konstan. Orang mungkin merasa nyeri di satu daerah tubuh, seperti punggung,
perut atau dada atau mungkin merasa sakit di seluruh, seperti ketika seseorang
mengalami sakit otot selama terserang flu.
Nyeri merupakan suatu pengalaman sensoris dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau
berepotensi terjadi. Nyeri merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh
yang timbul apabila ada kerusakan jaringan sehingga individu akan bereaksi
untuk memindahkan penyebab stimulasi nyeri.
Ada empat pengalaman subjektif nyeri, antara lain :
a) transduksi, yaitu proses rangsangan yang mengganggu sehingga
menimbulkan arus listrik di reseptor nyeri.
b) Transmisi, yaitu proses penyaluran impuls dari tempat transduksi
menuju saraf perifer kemudian ke medula spinalis dan jaringan
neuron pemancar hingga sampai ke otak.
c) modulasi, yaitu aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens
dari otak yang mempengaruhi transmisi.

d) persepsi, yaiut pengalaman subjektif nyeri.


2. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika
sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung
memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah
hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit
berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda secara
signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya (ex:
tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh mengeluh nyeri).
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa
nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan,
jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
4) Makna nyeri
Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan
dan bagaimana mengatasinya.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik relaksasi,
guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
6) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.

7) Pengalaman masa lalu


Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini
nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa
lalu dalam mengatasi nyeri.
8) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
9) Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan.

3. Stimulus Nyeri
Seorang dapat menoleransi, menahan nyeri (pain tolerance) atau dapat
mengenali jumlah stimulus nyeri sebelum merasakan nyeri (pain threshold).
Terdapat beberapa jenis stimulus nyeri, diantaranya :
1) Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah akibat terjadinya
kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor.
2) Gangguan pada jaringan tubuh, misal karena edema, akibat terjadinya
penekanan pada reseptor nyeri
3) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri
4) Iskemia pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteri koronaria yang
menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpunya asam laktat
5) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik
4. Reseptor nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang
secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara
anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang
tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam
beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep
somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah,
nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
7

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang
berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ,
tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
Reseptor nyeri berdasarkan rangsangan dibedakan menjadi 3, antara lain:
a. Reseptor mekanik (kerusakan mekanik misalnya benturan, tusukan dan
cubitan).
b. Reseptor termal (suhu ekstrem)
c. Reseptor polimodal (respon ke semua jenis stimulus merugikan,
termasuk iritasi kimia ke jaringan yang terluka).
5. Nyeri Neuropati
Neuropati perifer (peripheral neuropathy/PN) adalah penyakit pada saraf
perifer. Saraf tersebut adalah semua saraf selain yang ada di otak dan urat saraf
tulang belakang (perifer berarti jauh dari pusat). Nyeri neuropatik merupakan
keadaan kompleks nyeri kronis yang biasanya disertai dengan cedera jaringan.
Dengan nyeri neuropatik, serat-serat saraf sendiri mungkin rusak, disfungsional,
atau cedera. Serat saraf yang rusak ini mengirim sinyal yang salah ke pusatpusat rasa sakit lain. Dampak dari cedera serabut saraf meliputi perubahan dalam
fungsi syaraf baik, di tempat cedera dan daerah sekitar cedera.
Akibatnya, orang merasa tidak nyaman dengan gejala yang digambarkan
sebagai kesemutan atau seperti ditusuk paku dan jarum atau gejala nyeri lebih
seperti membakar. Nyeri saraf dapat dikaitkan dengan sejumlah kondisi medis
seperti diabetes, herpes zoster, kanker dan perawatan nya, sindrom carpal tunnel,
atau cedera tulang belakang.
6. Nyeri Cepat dan Nyeri Lambat
Persepsi nyeri merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh
keadaan emosi dan pengalaman masa lalu seseorang, nyeri cepat dirasakan
dalam waktu sekitar 0,1 detik setelah stimulus diterima. Dideskripsikan sebagai
8

nyeri tajam, nyeri seperti ditusuk. Contohnya setelah tertusuk jarum. Nyeri
cepat hampir terbatas pada kulit dan disebabkan oleh stimulus mekanik atau
suhu.
Nyeri lambat, dirasakan setelah 1 detik atau lebih setelah stimulus.
Dideskripsikan sebagai nyeri seperti terbakar, menyakitkan, berdenyut dan
terjadi bila terdapat kerusakan jaringan. Nyeri lambat dapat timbul diseluruh
jaringan tubuh, dan dapat disebabkan oleh stimulus mekanik, suhu dan kimiawi.
Contohnya pada pembentukan abses atau artritis yang hebat.
7. Nyeri Akut dan Nyeri Kronik
Nyeri akut merupakan nyeri yang mereda setelah diintervensi atau
penyembuhan, berlangsung singkat (kurang dari 6 bulan) dan menghilang
setelah faktor eksternal dan internal dihilangkan. Contohnya adalah nyeri pasca
operasi.
Nyeri kronik merupakan nyeri yang dapat berlangsung terus-menerus
akibat kausa keganasan dan non keganasan atau intermiten. Nyeri kronik dapat
menetap lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik dapat mengganggu aspek kehidupan
penderitanya, menimbulkan distres dan kegalauan emosi, serta mengganggu
fungsi fisik dan sosial. Contoh dari nyeri kronik yaitu migren.
B. INFEKSI
1. Pengertian Infeksi
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di
dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005). Infeksi adalah
invasi tubuh oleh mikroorganisme dan berproliferasi dalam jaringan tubuh.
(Kozier, et al, 1995).
Mikroorganisme yang bisa menimbulkan penyakit disebut pathogen
(agen infeksi), sedangkan mikroorganisme yang tidak menimbulkan
penyakit/kerusakan disebut asimtomatik. Penyakit timbul jika pathogen
berkembang biak dan menyebabkan perubahan pada jaringan normal. Jika
penyakit bisa ditularkan dari satu orang ke orang lain, penyakit ini merupakan
penyakit menular (contagius). Mikroorganisme mempunyai keragaman dalam
virulensi/keganasan dan juga beragam dalam menyebabkan beratnya suatu
penyakit yang disebabkan.
2. Tipe Mikroorganisme Penyebab Infeksi
Penyebab infeksi dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:
a. Bakteri
Bakteri merupakan penyebab terbanyak dari infeksi. Ratusan spesies
bakteri dapat menyebabkan penyakit pada tubuh manusia dan dapat hidup

didalamnya, bakteri bisa masuk melalui udara, air, tanah, makanan, cairan
dan jaringan tubuh dan benda mati lainnya.
b. Virus
Virus terutama berisi asam nukleat (nucleic acid), karenanya harus masuk
dalam sel hidup untuk diproduksi.
c. Fungi
Fungi terdiri dari ragi dan jamur
d. Parasit
Parasit hidup dalam organisme hidup lain, termasuk kelompok parasit
adalah protozoa, cacing dan arthropoda.
3. Rantai Infeksi
Proses terjadinya infeksi seperti rantai yang saling terkait antar berbagai faktor
yang mempengaruhi, yaitu agen infeksi, reservoir, portal of exit, cara penularan,
portal of entry dan host/ pejamu yang rentan.
4. Agen Infeksi
Microorganisme yang termasuk dalam agen infeksi antara lain bakteri, virus,
jamur dan protozoa. Mikroorganisme di kulit bisa merupakan flora transient
maupun resident. Organisme transient normalnya ada dan jumlahnya stabil,
organisme ini bisa hidup dan berbiak di kulit. Organisme transien melekat pada
kulit saat seseorang kontak dengan obyek atau orang lain dalam aktivitas
normal. Organisme ini siap ditularkan, kecuali dihilangkan dengan cuci tangan.
Organisme residen tidak dengan mudah bisa dihilangkan melalui cuci tangan
dengan sabun dan deterjen biasa kecuali bila gosokan dilakukan dengan
seksama. Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi tergantung pada: jumlah
microorganisme, virulensi (kemampuan menyebabkan penyakit), kemampuan
untuk masuk dan bertahan hidup dalam host serta kerentanan dari host/penjamu.
5. Reservoar (Sumber Mikroorganisme)
Adalah tempat dimana mikroorganisme patogen dapat hidup baik berkembang
biak atau tidak. Yang bisa berperan sebagai reservoir adalah manusia, binatang,
makanan, air, serangga dan benda lain. Kebanyakan reservoir adalah tubuh
manusia, misalnya di kulit, mukosa, cairan maupun drainase. Adanya
microorganisme patogen dalam tubuh tidak selalu menyebabkan penyakit pada
hostnya. Sehingga reservoir yang di dalamnya terdapat mikroorganisme patogen
bisa menyebabkan orang lain menjadi sakit (carier). Kuman akan hidup dan
berkembang biak dalam reservoar jika karakteristik reservoarnya cocok dengan
kuman. Karakteristik tersebut yaitu oksigen, air, suhu, pH, dan pencahayaan.
6. Portal of Exit (jalan keluar)
Mikroorganisme yang hidup di dalam reservoir harus menemukan jalan keluar
(portal of exit untuk masuk ke dalam host dan menyebabkan infeksi. Sebelum
menimbulkan infeksi, mikroorganisme harus keluar terlebih dahulu dari
reservoarnya. Jika reservoarnya manusia, kuman dapat keluar melalui saluran

10

pernapasan, pencernaan, perkemihan, genitalia, kulit dan membrane mukosa


yang rusak serta darah.
7. Cara Penularan
Kuman dapat menular atau berpindah ke orang lain dengan berbagai cara seperti
kontak langsung dengan penderita melalui oral, fekal, kulit atau darahnya;kontak
tidak langsung melalui jarum atau balutan bekas luka penderita; peralatan yang
terkontaminasi; makanan yang diolah tidak tepat; melalui vektor nyamuk atau
lalat.
8. Portal Masuk
Sebelum seseorang terinfeksi, mikroorganisme harus masuk dalam tubuh. Kulit
merupakan barier pelindung tubuh terhadap masuknya kuman infeksius. Rusaknya kulit
atau ketidakutuhan kulit dapat menjadi portal masuk. Mikroba dapat masuk ke dalam
tubuh melalui rute atau jalan yang sama dengan portal keluar. Faktor-faktor yang
menurunkan daya tahan tubuh memperbesar kesempatan patogen masuk ke dalam
tubuh.
9. Daya Tahan Hospes (Manusia)
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius.
Kerentanan bergantung pada derajat ketahanan tubuh individu terhadap patogen.
Meskipun seseorang secara konstan kontak dengan mikroorganisme dalam
jumlah yang besar, infeksi tidak akan terjadi sampai individu rentan terhadap
kekuatan dan jumlah mikroorganisme tersebut. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap kuman yaitu usia, keturunan, stress
(fisik dan emosional), status nutrisi, terapi medis, pemberian obat dan penyakit
penyerta.
10. Proses Infeksi
Infeksi terjadi secara progresif dan beratnya infeksi pada klien tergantung dari
tingkat infeksi, patogenesitas mikroorganisme dan kerentanan penjamu. Dengan
proses perawatan yang tepat, maka akan meminimalisir penyebaran dan
meminimalkan penyakit. Perkembangan infeksi mempengaruhi tingkat asuhan
keperawatan yang diberikan.
Berbagai komponen dari sistem imun memberikan jaringan kompleks
mekanisme yang sangat baik, yang jika utuh, berfungsi mempertahankan tubuh
terhadap mikroorganisme asing dan sel-sel ganas. Pada beberapa keadaan,
komponen-komponen baik respon spesifik maupun nonspesifik bisa gagal dan
hal tersebut mengakibatkan kerusakan pertahanan hospes. Orang-orang yang
mendapat infeksi yang disebabkan oleh defisiensi dalam pertahanan dari segi
hospesnya disebut hospes yang melemah. Sedangkan orang-orang dengan
kerusakan mayor yang berhubungan dengan respon imun spesifik disebut hospes
yang terimunosupres.
Efek dan gejala nyata yang berhubungan dengan kelainan pertahanan hospes
bervariasi berdasarkan pada sistem imun yang rusak. Ciri-ciri umum yang
berkaitan dengan hospes yang melemah adalah: infeksi berulang, infeksi kronik,
11

ruam kulit, diare, kerusakan pertumbuhan dan meningkatnya kerentanan


terhadap kanker tertentu. Secara umum proses infeksi adalah sebagai berikut:
11. Periode Inkubasi
Interval antara masuknya patogen ke dalam tubuh dan munculnya gejala
pertama. Contoh: flu 1-3 hari, campak 2-3 minggu, mumps/gondongan 18 hari.
a. Tahap prodromal
Interval dari awitan tanda dan gejala nonspesifik (malaise, demam ringan,
keletihan) sampai gejala yang spesifik. Selama masa ini, mikroorganisme
tumbuh dan berkembang biak dan klien lebih mampu menyebarkan
penyakit ke orang lain.
b. Tahap sakit
Klien memanifestasikan tanda dan gejala yang spesifik terhadap jenis
infeksi. Contoh: demam dimanifestasikan dengan sakit tenggorokan,
mumps dimanifestasikan dengan sakit telinga, demam tinggi,
pembengkakan kelenjar parotid dan saliva.
c. Pemulihan
Interval saat munculnya gejala akut infeksi
12. Pertahanan terhadap Infeksi
Tubuh memiliki pertahanan normal terhadap infeksi. Flora normal tubuh yang
tinggal di dalam dan luar tubuh melindungi seseorang dari beberapa patogen.
Setiap sistem organ memiliki mekanisme pertahanan terhadap agen infeksius.
Flora normal, sistem pertahanan tubuh dan inflamasi adalah pertahanan
nonspesifik yang melindungi terhadap mikroorganisme.
a. Flora normal
Secara normal tubuh memiliki mikroorganisme yang ada pada lapisan
permukaan dan di dalam kulit, saliva, mukosa oral dan saluran
gastrointestinal. Manusia secara normal mengekskresi setiap hari trilyunan
mikroba melalui usus. Flora normal biasanya tidak menyebabkan sakit
tetapi justru turut berperan dalam memelihara kesehatan. Flora ini bersaing
dengan mikroorganisme penyebab penyakit unuk mendapatkan makanan.
Flora normal juga mengekskresi substansi antibakteri dalam dinding usus.
Flora normal kulit menggunakan tindakan protektif dengan meghambat
multiplikasi organisme yang menempel di kulit. Flora normal dalam jumlah
banyak mempertahankan
keseimbangan
yang sensitif
dengan
mikroorganisme lain untuk mencegah infeksi. Setiap faktor yang
mengganggu keseimbangan ini mengakibatkan individu semakin berisiko
mendapat penyakit infeksi.
b. Pertahanan sistem tubuh
Sejumlah sistem organ tubuh memiliki pertahanan unik terhadap
mikroorganisme. Kulit, saluran pernafasan dan saluran gastrointestinal
sangat mudah dimasuki oleh mikroorganisme. Organisme patogen dengan
mudah menempel pada permukaan kulit, diinhalasi melalui pernafasan atau
dicerna melalui makanan. Setiap sistem organ memiliki mekanisme
pertahanan yang secara fisiologis disesuaikan dengan struktur dan
12

No
1.

2.

3.

4.

fungsinya. Berikut ini adalah mekanisme pertahankan normal terhadap


infeksi:
Mekanisme pertahanan
Faktor pengganggu pertahanan
Kulit
a. Permukaan, lapisan yang utuh
Luka abrasi, luka pungsi, daerah maserasi
Mandi tidak teratur
b. Pergantian lapisan kulit paling luar
Mandi berlebihan
c. Sebum
Mulut
a. Lapisan mukosa yang utuh
Laserasi, trauma, cabut gigi
b. Saliva
Higiene oral yang tidak baik, dehidrasi
Saluran pernafasan
a. Lapisan silia di jalan nafas bagian atas Merokok, karbondioksida & oksigen
diselimuti oleh mukus
konsentrasi tinggi, kurang lembab, air
dingin
b. Makrofag
Merokok
Saluran urinarius
a. Tindakan pembilasan dari aliran urine

b. Lapisan epitel yang utuh


5.

6.

Saluran gastrointestinal
a. Keasaman sekresi gaster
b. Peristaltik yang cepat dalam usus kecil

Obstruksi aliran normal karena pemasangan


kateter, menahan kencing, obstruksi karena
pertumbuhan tumor.
Memasukkan kateter urine, pergerakan
kontinyu dari kateter dalam uretra.
Pemberian antasida
Melambatnya motilitas karena pengaruh
fekal atau obstruksi karena massa

Vagina
Pada puberitas, flora normal menyebabkan Antibiotik
dan
kontrasepsi
sekresi vagina untuk mencapai pH yang mengganggu flora normal
rendah

C. Inflamasi
Inflamasi merupakan reaksi protektif vaskular dengan menghantarkan cairan,
produk darah dan nutrien ke jaringan interstisial ke daerah cidera. Proses ini
menetralisasi dan mengeliminasi patogen atau jaringan mati (nekrotik) dan
memulai cara-cara perbaikan jaringa tubuh. Tanda inflamasi termasuk bengkak,
kemerahan, panas, nyeri/nyeri tekan, dan hilangnya fungsi bagian tubuh yang
terinflamasi. Bila inflamasi menjadi sistemik akan muncul tanda dan gejala demam,
leukositas, malaise, anoreksia, mual, muntah dan pembesaran kelenjar limfe.
Respon inflamasi dapat dicetuskan oleh agen fisik, kimiawi atau mikroorganisme.
Respon inflamasi termasuk hal berikut ini:
13

oral

a) Respon seluler dan vaskuler


Arteriol yang menyuplai darah yang terinfeksi atau yang cidera berdilatasi,
memungkinkan lebih banyak darah masuk dala sirkulasi. Peningkatan darah
tersebut menyebabkan kemerahan pada inflamasi. Gejala hangat lokal
dihasilkan dari volume darah yang meningkat pada area yang inflamasi.
Cidera menyebabkan nekrosis jaringan dan akibatnya tubuh mengeluarkan
histamin, bradikinin, prostaglandin dan serotonin. Mediator kimiawi tersebut
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah kecil. Cairan, protein dan sel
memasuki ruang interstisial, akibatnya muncul edema lokal.
Tanda lain inflamasi adalah nyeri. Pembengkakan jaringan yang terinflamasi
meningkatkan tekanan pada ujung syaraf yang mengakibatkan nyeri.
Substansi kimia seperti histamin menstimuli ujung syaraf. Sebagai akibat
dari terjadinya perubahan fisiologis dari inflamasi, bagian tubuh yang
terkena biasanya mengalami kehilangan fungsi sementara dan akan kembali
normal setelah inflamasi berkurang.
b) Pembentukan eksudat inflamasi
Akumulasi cairan dan jaringan mati serta SDP membentuk eksudat pada
daerah inflamasi. Eksudat dapat berupa serosa (jernih seperti plasma),
sanguinosa (mengandung sel darah merah) atau purulen (mengandung SDP
dan bakteri). Akhirnya eksudat disapu melalui drainase limfatik. Trombosit
dan protein plasma seperti fibrinogen membentuk matriks yang berbentuk
jala pada tempat inflamasi untuk mencegah penyebaran.
c) Perbaikan jaringan
Sel yang rusak akhirnya digantikan oleh sel baru yang sehat. Sel baru
mengalami maturasi bertahap sampai sel tersebut mencapai karakteristik
struktur dan bentuk yang sama dengan sel sebelumnya
D. Respon imun
Saat mikroorganisme masuk dalam tubuh, pertama kali akan diserang oleh monosit.
Sisa mikroorganisme tersebut yang akan memicu respon imun. Materi asing yang
tertinggal (antigen) menyebabkan rentetan respon yang mengubah susunan biologis
tubuh. Setelah antigen masuk dala tubuh, antigen tersebut bergerak ke darah atau
limfe dan memulai imunitas seluler atau humural.
a. Imunitas selular
Ada kelas limfosit, limfosit T (CD4T) dan limfosit B (sel B). Limfosit T
memainkan peran utama dalam imunitas seluler. Ada reseptor antigen pada
membran permukaan limfosit CD4T. Bila antigen bertemu dengan sel yang
reseptor permukaannya sesuai dengan antigen, maka akan terjadi ikatan. Ikatan
ini mengaktifkan limfosit CD4T untuk membagi diri dengan cepat untuk
membentuk sel yang peka. Limfosit yang peka bergerak ke daerah inflamasi,
berikatan dengan antigen dan melepaskan limfokin. Limfokin menarik &
menstimulasi makrofag untuk menyerang antigen
b. Imunitas humoral
14

Stimulasi sel B akan memicu respon imun humoral, menyebabkan sintesa


imunoglobulin/antibodi yang akan membunuh antigen. Sel B plasma dan sel B
memori akan terbentuk apabila sel B berikatan dengan satu antigen. Sel B
mensintesis antibodi dalam jumlah besar untuk mempertahankan imunitas,
sedangkan sel B memori untuk mempersiapkan tubuh menghadapi invasi
antigen.
c. Antibodi
Merupakan protein bermolekul besar, terbagi menjadi imunoglobulin A, M, D,
E, G. Imunoglobulin M dibentuk pada saat kontak awal dengan antigen,
sedangkan IgG menandakan infeksi yang terakhir. Pembentukan antibodi
merupakan dasar melakukan imunisasi.
d. Komplemen
Merupakan senyawa protein yang ditemukan dalam serum darah. Komplemen
diaktifkan saat antigen dan antibodi terikat. Komplemen diaktifkan, maka akan
terjadi serangkaian proses katalitik.
e. Interferon
Pada saat tertentu diinvasi oleh virus. Interferon akan mengganggu kemampuan
virus dalam bermultiplikasi.
E. Infeksi Mikroba Pada Sistem Saraf
INFEKSI OLEH JAMUR
1. Cryptococcus neofarmans
Cryptococcus neofarmans adalah jamur seperti ragi (yeast like fungus) yang ada
dimana-mana di seluruh dunia. Jamur ini menyebabkan penyakit jamur sistemik yang
disebut cryptococcosis, dahulu dikenal dengan nama Torula histolitica. Jamur ini paling
dikenal sebagai penyebab utama meningitis jamur dan merupakan penyebab terbanyak
morbiditas dan mortalitas pasien dengan gangguan imunitas. Cryptococcus neofarmans
dapat ditemukan pada kotoran burung (terutama merpati), tanah, binatang juga pada
kelompok manusia (colonized human).
Gejalanya seperti meningitis klasik yang melibatkan meningitis secara difus.
Dengan adanya AIDS, insiden cryptococcal meningitis meningkat drastis. Di Amerika,
meningitis ini termasuk lima besar penyebab infeksi oportunistik pada pasien AIDS.
Terapi dengan amphotericin B memperlihatkan hasil yang baik. Amphotericin B
diberikan tiap hari intravena dengan dosis 0,5 mg/kg, diberikan enam sampai sepuluh
minggu, tergantung dari perbaikan klinis dan kembalinya cairan serebrospinal kearah
normal. Peneliti lain memberikan amphotericin B dengan 5-flurocytosine 150 mg/kg
perhari (dalam 4 dosis). Kombinasi ini memberikan hasil yang lebih baik.
Pada pasien yang tidak diobati, biasanya fatal dalam beberapa bulan tetapi
kadang-kadang menetap sampai beberapa tahun dengan rekuren, remisi dan eksaserbasi.
Kadang-kadang jamur pada cairan serebrospinal ditemukan selama tiga tahun atau
lebih. Telah dilaporkan beberapa kasus yang sembuh spontan.
2. Mucormycosis
15

Serebral mucormycosis (phycomycosis) adalah penyakit akut, jarang dapat


disembuhkan yang disebabkan oleh jamur klas phycomycetae khususnya genera
rhizopus. Jamur ini terdapat diseluruh dunia pada tumbuhan busuk, pupuk dan makanan
yang mengandung banyak gula. Infeksi pada manusia hampir selalu terjadi pada pasien
yang mempunyai penyakit utama termasuk diabetes melitus yang tidak terkontrol,
keganasan darah, lymfoma, keadaan imunosupresif, penggunaan antibiotik jangka
panjang dan penggunaan sitostatik.
Jamur ini masuk ke dalam tubuh manusia yang rentan melalui hidung
menyebabkan sinusitas dan sellulitis orbitalis, kemudian penetrasi ke arteri dan terjadi
trombosis arteri oftalmika dan arkarotis interna dan selanjutnya menyerang vena dan
saluran limfe. Dapat terjadi penyakit yang desiminata pada mata, serebral, paru dan
intestinal. Gejala klinis biasanya dimulai dengan tanda-tanda infeksi sinus paranasalis
seperti hidung tersumbat, sekret dari hdung kadang-kadang berdarah, nyeri pada daerah
sinus dan demam. Jika tidak diobati, penyakit ini akan menyebar ke otak melalui lamina
kribriformis atau setelah terlibatnya tulang tengkorak. Kemudian terjadi gejala-gejala
lobus frontalis dan meningen basalis bersama dengan penurunan kesadaran drowsyness
nyeri kepala, perubahan status mental. Gejala neurologis yang sering terjadi yaitu
proptis, kelumpuhan mata dan hemiplegi yang mana keadaan ini berhubungan dengan
terlibatnya arteri arteri orbitalis dan karotis dan jaringan di sekitarnya. Organisme ini
dapat menginvasi meningen atau dapat menembus otak sehingga menimbulkan
ensefalitis jamur dan dapat menyebabkan Infark dan perdarahan otak. Beberapa hifa
terdapat di dalam trombus dan dinding pembuluh darah dan sering sekali masuk ke
dalam perinkim sekitarnya. Biasanya penyakit ini cepat berakibat fatal dalam beberapa
hari atau minggu.
3. Candidiasis (moniliasis)
Spesies candida merupakan suatu flora mikrobial yang normal terdapat dalam
tubuh manusia. Candidiasis kemungkinan merupakan infeksi jamur oportunistik
terbanyak. Infasi ke susunan saraf pusat sebenarnya sangat jarang kecuali terjadi
kerusakan sistem kekebalan tubuh host. Banyak faktor yang menunjang terjadinya
infeksi candida seperti terapi antibiotik spectrum luas, luka bakar berat, nutrisi parental
total, prematuritas, keganasan pemasangan kateter, terapi kortikosteroid, neutropenia,
operasi abdomen, diabetes mellitus, dan penggunaan obat parenteral yang tidak
semestinya (parentral drug abuse). Bentuk patologi infeksi susunan saraf pusat oleh
candida berupa penyebaran mikro abses intraparenkimal, granuloma nonkaseosa, abses
besar, meningitis dari ependimitis. Pada kebanyakan kasus diagnosis belum dapat
ditegakkan pada saat pasien masih hidup, kemungkinan oleh karena sukarnya
menemukan organisme pada cairan serebrospinal. Prognosis biasanya jelek walaupun
dengan penggunaan amphotericin B.
4. Aspergilosis

16

Aspergilosis fumigatus dan A.flavus dapat menyebabkan infeksi susunan saraf


pusat manusia. Hal ini terjadi melalui penyebaran langsung dari sinus paranasalis atau
setelah traumakapitis, operasi lumbal fungsi, atau melalui penyebaran hematogen pada
orang dengan gangguan imunitas terutama yang mengalami neutropenia dalam jangka
waktu yang lama. Penulis lain menyatakan bahwa infeksi jamur ini terutama jika terjadi
sinusitis kronis (khususnya spenodialis) dengan osteomielitis basis tengkorak atau
akibat komplikasi otitis dan masstoiditis.
Manifestasi klinis penyakit ini berupa gangguan nevrus kranialis pada sekitar
daerah infeksi, abses serebri, granuloma kranial dan spinal pada duramater. Keadaan ini
tidak bermanifestasi sebagai meningitis. Pada beberapa kasus penyakit ini didapat di
rumah sakit ditandai dengan adanya gejala infeksi paru yang tidak mempan terhadap
antibiotik. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan melakukan biopsi atau dengan kultur.
Terapi anti jamur seperti ampotericin B dan kombinasi dengan lima
flurocytosine dan imidazole masih dipertanyakan keberhasilannya. Jika obat-obatan ini
diberikan setelah operasi pengeluaran materi yang terinfeksi, beberapa pasien dapat
disembuhkan.
5. Coccodiodomycosis
Penyakit infeksi jamur ini banyak didaerah Barat Daya Amerika. Biasanya
hanya menyebabkan gejala influensa dengan infiltrat pada paru sebagai pneumonia non
bakterial. Keadaan ini dapat berlangsung progresif menjadi diseminata termasuk infeksi
pada meningen. Reaksi patologi dan gambaran kliniknya pada meningen dan cairan
serebrospinal sangat mirip dengan meningitis tuberkulosa.
Terapi terdiri dari pemberian ampotericin B intravena. Ada juga yang
menganjurkan pemberian ampotericin B intratekal. Pemberian melalui lumbal fungsi
yaitu dengan campuran ampotericin B dalam glukosa 10%, pasien dalam posisi kepala
agak kebawah (head dowm position) ampotericin B diberikan 3 kali seminggu selama 3
bulan, atau sampai sel pada cairan serebrospinal kurang dari 10 mm3 dan complement
fixing menghilang dari cairan likuor.

6. Histoplasmosis
Histoplasma capsulatun terdapat pada daerah ohio dandaerah lembah Missisipi
tengah Amerika. Infeksi terjadi setelah inhalasi spora. Kebanyakan pasien hanya
memperlihatkan gejala yang minimal atau tanpa gejala selama infeksi primer pada paru
paru. Perkembangan penyakit yang progresif (desimilata) terjadi pada penderita
gangguan pertahanan tubuh (cell mediated immune defence) setengah dari penderita
dengan gejala diseminata merupakan pasien dengan terapi imunosupresif, Lymphoma,
lymphocytic leukimia, gangguan limfa atau AIDS. Jika terjadi keaadaan disseminata,
lokasi yang terutama adalah susunan saraf pusat.

17

Terapi yang dianjurkan adalah pemberian ampotericin B intravena 50 mg/hari


pada orang dewasa dan 1 mg/kgBB/hari pada anak-anak dengan berat badan kurang dari
50 kg, selama 6-12 minggu, dengan dosis total sekitar 35 mg/kgBB. Terapi
pemeliharaan maintenance) diberikan 50-80 mg setiap 1 atau 2 minggu, untuk
mencegah relaps pada penderita AIDS.
INFEKSI OLEH BAKTERI
1. Tetanus
Tetanus yang juga dikenal dengan lackjaw2, merupakan penyakit yang disebakan
oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi Clostridium tetani yang
menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid) .
Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi organisme dari korban
manusia yang terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya dapat dinetralisasi
dengan antibodi yang spesifik2 Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani, yaitu tetanos
dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme
otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,
melengkungnya punggung (opistutinis), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan.
C.tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat
membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini
sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf
(1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Sporanya
terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba, anjing,
kucing, tikus, babi, dan ayam.
Ketika bakteri tersebut berada di dalam tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin
(sejenis protein yang bertindak sebagai racun yang menyerang bagian sistem saraf).
C.tetani menghasilkan dua buah eksotoksin,yaitu tetanolysin dan tetanospasmin.
fungsi dari tetanoysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat
mempengaruhi tetanus. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat. tiga jenis
tetanus adalah local tetanus, cahalic tetanus, dan generalized tetanus. Neonatal tetanus
termasuk dalam generalized tetanus yang menyerang bayi yang baru lahir dengan
kondisi sanitasi yang tidak baik diamna mungkin tali pusar sang bayi tidak digunting
dengan peralatan yang steril serta kurangnya imunitas pasif karena sang ibu tidak
diimunisasi sebelumnya.
Pada keadaan anaerobik, spora akan bergerminasi menjadi sel vegetatif. Toksin
akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan
sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti
pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klonis yang ditimbulakan dari toksin tersebut
adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmitter sehingga terjadi kontraksi otot
yang tidak terkontrol. Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan
kemampuan untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat
dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot

18

rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio
kematian sangatlah tinggi.
2. Botulism
Botulisme adalah suatu keadaan yang jarang terjadi dan bisa berakibat fatal,
yang disebabkan oleh keracunan toksin (racun) yang diproduksi oleh Clostridium
botulinum. Toksin ini adalah racun yang sangat kuat dan dapat menyebabkan kerusakan
saraf dan otot yang berat. Karena menyebabkan kerusakan berat pada saraf, maka racun
ini disebut neurotoksin.
Terdapat 3 jenis botulisme, yaitu:
- Foodborne botulism, merupakan akibat dari mencerna makanan yang
tercemar
- Wound botulism, disebabkan oleh luka yang tercemar
- Infant botulism, terjadi pada anak-anak, karena mencerna makanan yang
tercemar.
Penyebabnya adalah Bakteri Clostridium botulinum memiliki bentuk spora.
Spora ini dapat bertahan dalam keadaan dorman (tidur) selama beberapa tahun dan
tahan terhadap kerusakan. Jika lingkungan di sekitarnya lembab, terdapat cukup
makanan dan tidak ada oksigen, spora akan mulai tumbuh dan menghasilkan toksin.
Beberapa toksin yang dihasilkan Clostridium botulinum memiliki kadar protein yang
tinggi, yang tahan terhadap perusakan oleh enzim pelindung usus.
Jika makan makanan yang tercemar, racun masuk ke dalam tubuh melalui
saluran pencernaan, menyebabkan foodborne botulism. Sumber utama dari botulisme ini
adalah makanan kalengan. Sayuran, ikan, buah dan rempah-rempah juga merupakan
sumber penyakit ini. Demikian juga halnya dengan daging, produki susu, daging babi
dan unggas.
Wound botulism terjadi jika luka terinfeksi oleh Clostridium botulinum. Di
dalam luka ini, bakteri menghasilkan toksin yang kemudian diserap masuk ke dalam
aliran darah dan akhirnya menimbulkan gejala.
Infant botulism sering terjadi pada bayi berumur 2-3 bulan. Berbeda dengan
foodborne botulism, infant botulism tidak disebabkan karena menelan racun yang sudah
terbentuk sebelumnya. Botulisme ini disebabkan karena makan makanan yang
mengandung spora, yang kemudian tumbuh dalam usus bayi dan menghasilkan racun.
Penyebabnya tidak diketahui, tapi beberapa kasus berhubungan dengan pemberian
madu.
Clostridium botulinum banyak ditemukan di lingkungan dan banyak kasus yang
merupakan akibat dari terhisapnya sejumlah kecil debu atau tanah.
Gejalanya terjadi tiba-tiba, biasanya 18-36 jam setelah toksin masuk, tapi dapat
terjadi 4 jam atau paling lambat 8 hari setelah toksin masuk. Makin banyak toksin yang
masuk, makin cepat seseorang akan sakit. Pada umumnya, seseorang yang menjadi sakit
dalam 24 jam setelah makan makanan yang tercemar, akan mengalami penyakit yang
sangat parah.
19

Gejala pertama biasanya berupa mulut kering, penglihatan ganda, penurunan


kelopak mata dan ketidakmampuan untuk melihat secara fokus terhadap objek yang
dekat. Refleks pupil berkurang atau tidak ada sama sekali. Pada beberapa penderita,
gejala awalnya adalah mual, muntah, kram perut dan diare. Pada penderita lainnya
gejala-gejala saluran pencernaan ini tidak muncul, terutama pada penderita wound
botulism.
Penderita mengalami kesulitan untuk berbicara dan menelan. Kesulitan menelan
dapat menyebabkan terhirupnya makanan ke dalam saluran pernafasan dan
menimbulkan pneumonia aspirasi. Otot lengan, tungkai dan otot-otot pernafasan akan
melemah. Kegagalan saraf terutama mempengaruhi kekuatan otot.
Pada 2/3 penderita infant botulism, konstipasi (sembelit) merupakan gejala awal.
Kemudian terjadi kelumpuhan pada saraf dan otot, yang dimulai dari wajah dan kepala,
akhirnya sampai ke lengan, tungkai dan otot-otot pernafasan.
Kerusakan saraf bisa hanya mengenai satu sisi tubuh. Masalah yang ditimbulkan
bervariasi, mulai dari kelesuan yang ringan dan kesulitan menelan, sampai pada
kehilangan ketegangan otot yang berat dan gangguan pernafasan.
INFEKSI OLEH VIRUS
1. Meningitis
Meningitis adalah peradangan yang terjadi pada meninges, yaitu membran atau
selaput yang melapisi otak dan spinal cord. Biasanya disebabkan oleh virus meningitis.
Tetapi ada juga yang disebabkan oleh bakteri dan jamur
Tipe-tipe meningitis antara lain:
Aseptic Meningitis
Cryptococcal Meningitis
Gram Negative Meningitis
H. Influenza Meningitis
Meningitis due to cancer (carcinomatous meningitis)
Meningococcal Meningitis
Pneumococcal Meningitis
Staphylococcal Meningitis
Syphilitic Aseptic Meningitis
Tubercolous Meningitis
Infeksi SSP dapat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan anak jika
terjadi kerusakan korteks serebri secara permanent. Ada tiga aktivitas utama yang
berhubungan dengan peran korteks serebri yaitu:
1.
aktivitas mental termasuk memory, intelegensia, rasa tanggung jawab,
berfikir, reasoning, moral dan juga belajar.
2.
persepsi sensory termasuk persepsi nyeri, temperatur, sentuhan, pengelihatan,
pendengaran, perasa dan pembau.
3.
inisiasi dan kontrol otot secara volunter (sadar).
20

Gejala-gejala meningitis
Demam, nyeri kepala, mual, muntah, meningeal sign positif, kejang, pada
pemeriksaan fisik terdapat bulging pada fontanela. Jika penyebabnya adalah virus dapat
diserati malaise, anorexia dan biasanya disetai gejala infeksi saluran nafas seperti
faringitis. Penyebabnya paling sering adalah arbovirus yang berhubungan dengan
ensefalitis.
Infeksi sistem saraf pusat virus di bayi baru lahir dan bayi biasanya mulai
dengan demam. Bayi baru lahir mungkin tidak mempunyai gejala lain dan pada awalnya
mungkin tidak kelihatan sakit. Bayi usia lebih dari sebulan biasanya menjadi cepatmarah dan rewel dan menolak untuk makan. Muntah sering terjadi. Kadang-kadang ada
area kecil di atas kepala bayi baru lahir (fontanelle) yang menonjol, menunjukkan
pertambahan tekanan pada otak. Karena gangguan meninges diperburuk oleh gerakgerik, seorang bayi dengan radang selaput mungkin menangis lebih sering, daripada
menjadi tenang, kalau diambil dan digoncangkan. Beberapa bayi membuat jeritan yang
tinggi yang aneh. Bayi dengan radang otak sering mengalami pingsan atau melakukan
gerakan aneh. Bayi dengan radang otak hebat mungkin menjadi lesu dan koma lalu
meninggal. Infeksi dengan herpes virus simpleks, yang sering dipusatkan hanya satu
bagian otak, mungkin menyebabkan pingsan atau kelemahan muncul hanya satu bagian
badan.
Post- Infectious-nya mungkin menghasilkan banyak masalah neurologic,
bergantung pada bagian otak yang rusak. Anak mungkin mempunyai kelemahan pada
lengan atau kaki, kehilangan pandangan atau mendengar, keterbelakangan mental, atau
pingsan berulang. Gejala ini mungkin tidak nyata sampai anak cukup tua untuk masalah
untuk muncul selama pemeriksaan. Sering kali gejala hilang dengan berjalannya waktu,
tetapi kadang-kadang permanen.
2. Ensefalitis Virus
- Ensefalitis Arbovirus
Ensfalitis yang disebabkan oleh arbovirus adalah bentuk ensefalitis epidemik
tersering di dunia barat. Contohnya adalah ensefalitis eastern dan western
equine. Secara histologis, tampak inflamasi perivaskular nonspesifik dan
nodul mikroglia, yang kadang-kadang palng mencolok di batang otak.
- Ensefalitis Herpes Simpleks
HSV tipe 1 merupakan penyebab tersering ensefalitis virus sporadik di
Amerika Serikat. Gambaran penting pada ensefalitis HSV tipe 1 adalah
kecondongan mengenai lobus temporalis dan daerah frontalis orbital, tempat
HSV tipe 1 menyebabkan ensefalitis hemoragik nekrotikans.
- Ensefalitis Sitomegalovirus (CMV)
Jenis Virus ini meruakan penyebab penting dari ensefalitis pada neonatus dan
pasien dengan gangguan kekebalan. Meskipun CMV dapat menginfeksi otak
atau medula spinalis, termasuk akar saraf spinal dan saraf kranialis, pada
21

sejumlah kasus virus ini menginfeksi ependima, menyebabkan permukaan


ependimal ventrikel serebrum mengalami pendarahan yang nyata.
Leukoensefalopati Multifokus Progresif
LMP adalah suatu ensefalopati yang berkembang lambatyang disebabkan
oleh suatu anggota kelompok papovavirus, Virus JC. LMP menyerang orang
dengan gangguan kekebalan.pada LMP juga, virus menginfeksi oligodensria
dan menyebabkan daerah demielinisasi yang secara makroskopis tampak
sebagai fokus gelatinosa iregular, paling mencolok di taut antara substansia
grisea dan alba. Gambaran histologik mencakup demielinisasi, pembesaran
atipikal astrosit dan pembesaran nukleus oligodensria yang mengandung
badan inklusi kotor berwarna ungu muda.

3. Poliomyelitis
Poliomyelitis atau Polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan
oleh virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV),
masuk ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki
aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan
kadang kelumpuhan.
Virus Polio termasuk genus enteroviorus, famili Picornavirus. Bentuknya adalah
ikosahedral tanpa sampul dengan genome RNA single stranded messenger molecule.
Single RNA ini membentuk hampir 30 persen dari virion dan sisanya terdiri dari 4
protein besar (VP1-4) dan satu protein kecil (Vpg). Polio adalah penyakit menular yang
dikategorikan sebagai penyakit peradaban. Polio menular melalui kontak antarmanusia.
Virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau
minuman yang terkontaminasi feses. Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas
tiga strain berbeda dan amat menular. Virus akan menyerang sistem saraf dan
kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia,
lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Penyebab
penyakit polio terdiri atas tiga strain yaitu strain 1 (brunhilde) strain 2 (lanzig), dan
strain 3 (Leon).
Strain 1 adalah yang paling paralitogenik atau yang paling ganas dan sering kali
menyebabkan kejadian luar biasa atau wabah. Strain ini sering ditemukan di Sukabumi.
Sedangkan Strain 2 adalah yang paling jinak. Penyakit Polio terbagi atas tiga jenis yaitu
Polio non-paralisis, Polio paralisis spinal, dan Polio bulbar. -Polio non-paralisis
menyebabkan demam, muntah, sakit perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot pada
leher dan punggung, otot terasa lembek jika disentuh. -Polio Paralisis Spinal Jenis
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang, menghancurkan sel tanduk
anterior yang mengontrol pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai. Meskipun
strain ini dapat menyebabkan kelumpuhan permanen, kurang dari satu penderita dari
200 penderita akan mengalami kelumpuhan. Kelumpuhan paling sering ditemukan
terjadi pada kaki. Setelah poliovirus menyerang usus, virus ini akan diserap oleh kapiler
darah pada dinding usus dan diangkut seluruh tubuh. Poliovirus menyerang saraf tulang
22

belakang dan neuron motor -- yang mengontrol gerak fisik. Pada periode inilah muncul
gejala seperti flu. Namun, pada penderita yang tidak memiliki kekebalan atau belum
divaksinasi, virus ini biasanya akan menyerang seluruh bagian batang saraf tulang
belakang dan batang otak. Infeksi ini akan mempengaruhi sistem saraf pusat menyebar
sepanjang serabut saraf. Seiring dengan berkembang biaknya virus dalam sistem saraf
pusat, virus akan menghancurkan neuron motor. Neuron motor tidak memiliki
kemampuan regenerasi dan otot yang berhubungan dengannya tidak akan bereaksi
terhadap perintah dari sistem saraf pusat. Kelumpuhan pada kaki menyebabkan tungkai
menjadi lemas -- kondisi ini disebut acute flaccid paralysis (AFP).
Infeksi parah pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan kelumpuhan pada
batang tubuh dan otot pada toraks (dada) dan abdomen (perut), disebut quadriplegia.
Ada yang disebut sebagai Polio Bulbar. Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya
kekebalan alami sehingga batang otak ikut terserang. Batang otak mengandung neuron
motor yang mengatur pernapasan dan saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai
otot yang mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf muka yang
berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi, dan otot muka; saraf auditori yang
mengatur pendengaran; saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan
berbgai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa; dan saraf yang mengirim
sinyal ke jantung, usus, paru-paru, dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher.
Tanpa alat bantu pernapasan, polio bulbar dapat menyebabkan kematian. Lima hingga
sepuluh persen penderta yang menderita polio bulbar akan meninggal ketika otot
pernapasan mereka tidak dapat bekerja.
Kematian biasanya terjadi setelah terjadi kerusakan pada saraf kranial yang
bertugas mengirim ''perintah bernapas'' ke paru-paru. Penderita juga dapat meninggal
karena kerusakan pada fungsi penelanan; korban dapat ''tenggelam'' dalam sekresinya
sendiri kecuali dilakukan penyedotan atau diberi perlakuan trakeostomi untuk menyedot
cairan yang disekresikan sebelum masuk ke dalam paru-paru. Namun trakesotomi juga
sulit dilakukan apabila penderita telah menggunakan ''paru-paru besi'' (iron lung). Alat
ini membantu paru-paru yang lemah dengan cara menambah dan mengurangi tekanan
udara di dalam tabung. Kalau tekanan udara ditambah, paru-paru akan mengempis,
kalau tekanan udara dikurangi, paru-paru akan mengembang.
Dengan demikian udara terpompa keluar masuk paru-paru. Infeksi yang jauh
lebih parah pada otak dapat menyebabkan koma dan kematian. Penyakit Polio dapat
ditularkan oleh infeksi droplet dari oro-faring (mulut dan tenggorokan) atau dari tinja
penderita yang telah terinfeksi selain itu juga dapat menular melalui oro-fecal (makanan
dan minuman) dan melalui percikan ludah yang kemudian virus ini akan
berkembangbiak di tengorokan dan usus lalu kemudian menyebar ke kelenjar getah
bening, masuk ke dalam darah serta menyebar ke seluruh tubuh. Penu-laran terutama
sering terjadi langsung dari manusia ke manusia melalui fekal-oral (dari tinja ke mulut)
atau yang agak jarang terjadi melalui oral-oral (mulut ke mulut). Virus Polio dapat
bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat sampai berkilokilometer dari sumber penularannya. Penularan terutama terjadi akibat tercemarnya
23

lingkungan leh virus polio dari penderita yang telah terinfeksi, namun virus ini hidup di
lingkungan terbatas. Virus Polio sangat tahan terhadap alkohol dan lisol, namun peka
terhadap formaldehide dan larutan klor. Suhu yang tinggi dapat cepat mematikan virus
tetapi pada keadaan beku dapat bertahun-tahun masa hidupnya.

3. FARMAKOKINETIK
Farmakokinetik adalah mempelajari nasib obat di dalam tubuh. Mekanisme perjalan
obar tersebut dibagi menjadi 4 fase yaitu :
1) Absorbsi
2) Distribusi
3) Metabolisme
4) Ekskresi
Absorbsi dan Bioavailabilitas
Kedua istilah tersebut tidak sama artinya. Absorpsi, yang merupakan proses
penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan
proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang
diberikan. Tetapi secara klinik, yang lebih penting ialah bioavailabilitas. Istilah ini
menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai
sirkulasisistemik dalam bentuk utuh/aktif. Ini terjadi karena untuk obat-obat
tertentu, tidak semua yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai
sirkulasi sestemik. Sebagaian akan dimetabolisme oleh enzim di dinding ususpada
pemberian oral dan/atau di hati pada lintasan pertamanya melalui organ-organ
tersebut. Metabolisme ini disebut metabolisme atau eliminasi lintas pertama (first
pass metabolism or elimination) atau eliminasi prasistemik. Obat demikian
mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi meskipun absorpsi
oralnya mungkin hampir sempurna. Jadi istilah bioavailabilitas menggambarkan
kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum
mencapai sirkulasi sistemik. Eliminasi lintas pertama ini dapat dihindari atau
dikurangi dengan cara pemberian parenteral (misalnya lidokain), sublingual
(misalnya nitrogliserin), rektal, atau memberikannya bersama makanan.
Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melaluisirkulasi darah.
Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat jugaditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Distribusi obat dibedakan atas 2fase berdasarkan penyebarannya
di dalam tubuh. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke
organ yang. Perfusinya sangat baik misalnya jantung, hati, ginjal, dan otak.
Selanjutnya, distribusi fase kedua jauh lebih luas yaitu mencakup jaringan yang
perfusinya tidak sebaik organ di atas misalnya otot, visera, kulit, dan jaringan
lemak. Distribusi ini baru mencapai keseimbangan setelah waktu yang lebih lama.
Difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi karena celah antarsel endotel kapiler
24

mampu melewatkan semua molekul obat bebas, kecuali di otak. Obat yang mudah
larut dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam otak,
sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel
sehingga distribusinya terbatas terurama di cairan ekstrasel. Distribusi juga
dibatasi olehikatan obat pada protein plasma, hanya obat bebas yang dapat
berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat dengan protein plasma
ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat, dan kadar proteinnya
sendiri. Pengikatan obat oleh protein akan berkurang pada malnutrisi berat karena
adanya defisiensi protein.
Biotransformasi/Metabolisme
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat
diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut
dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada
umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam
mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif,
atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan
oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi
lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir. Enzim yang berperan
dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel,
yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang
pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. Kedua
macam enzim metabolisme ini terutama terdapat dalam sel hati, tetapi juga
terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal, paru, epitel, saluran cerna, dan
plasma.
Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit
polar diekskresi lebih cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi
melalui paru. Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini
merupakan resultante dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di
tubuli proksimal, dan rearbsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi
obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu
diturunkan atau intercal pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat
dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut,
tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk
menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan untuk menemukan
logam toksik, misalnya arsen, pada kedokteran forensik.
25

4. TOLERANSI OBAT, KETERGANTUNGAN DAN GEJALA PUTUS OBAT


Pada orang-orang yang memulai penggunaan obat karena ada gangguan
medis/psikis sebelumnya, penyalahgunaan obat terutama untuk obat-obat psikotropika,
dapat berangkat dari terjadinya toleransi, dan akhirnya ketergantungan. Menurut
konsep neurobiologi, istilah ketergantungan (dependence) lebih mengacu kepada
ketergantungan fisik, sedangkan untuk ketergantungan secara psikis istilahnya adalah
ketagihan (addiction). Toleransi obat sendiri dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu :
toleransi farmakokinetik, toleransi farmakodinamik, dan toleransi yang dipelajari
(learned tolerance).
Toleransi farmakokinetika adalah perubahan distribusi atau metabolisme suatu
obat setelah pemberian berulang, yang membuat dosis obat yang diberikan
menghasilkan kadar dalam darah yang semakin berkurang dibandingkan dengan dosis
yang sama pada pemberian pertama kali. Mekanisme yang paling umum adalah
peningkatan kecepatan metabolisme obat tersebut. Contohnya adalah obat golongan
barbiturat. Ia menstimulasi produksi enzim sitokrom P450 yang memetabolisir obat,
sehingga metabolisme/degradasinya sendiri ditingkatkan. Karenanya, seseorang akan
membutuhkan dosis obat yang semakin meningkat untuk mendapatkan kadar obat yang
sama dalam darah atau efek terapetik yang sama. Sebagai tambahan infromasi,
penggunaan barbiturate dengan obat lain juga akan meningkatkan metabolisme obat lain
yang digunakan bersama, sehingga membutuhkan dosis yang meningkat pula.
Toleransi farmakodinamika merujuk pada perubahan adaptif yang terjadi di
dalam system tubuh yang dipengaruhi oleh obat, sehingga respons tubuh terhadap obat
berkurang pada pemberian berulang. Hal ini misalnya terjadi pada penggunaan obat
golongan benzodiazepine, di mana reseptor obat dalam tubuh mengalami desensitisasi,
sehingga memerlukan dosis yang makin meningkat pada pemberian berulang untuk
mencapai efek terapetik yang sama.
Toleransi yang dipelajari (learned tolerance) artinya pengurangan efek obat
dengan mekanisme yang diperoleh karena adanya pengalaman terakhir.
Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapat menyebabkan
ketergantungan fisik, di mana tubuh telah beradaptasi dengan adanya obat, dan akan
menunjukkan gejala putus obat (withdrawal symptom) jika penggunaan obat dihentikan.
Ketergantungan obat tidak selalu berkaitan dengan obat-obat psikotropika, namun dapat
juga terjadi pada obat-obat non-psikotropika, seperti obat-obat simpatomimetik dan
golongan vasodilator nitrat.
5. PENATALAKSANAAN NYERI AKIBAT INFEKSI
a. Farmakologi
Analgesia Non-opioid
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanan nyeri ringan sampai
sedang, menggunakan analgesic nonopioid, terutama asetaminofen (Tylenol)
dan OINS. Asam asetilsalisilat (aspirin) dan ibuprofen (Morfin, Advil)
26

mungkin merupakan OAINS yang paling sering digunakan. OAINS sangat


efektif untuk mengatasi neyri akut derajat ringan, penyakit meradang yang
kronik seperti arthritis dan nyeri akibat kanker yang ringan. OAINS
menghasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui inhibisi
sistesis prostaglandin dari prekusor asam arakidonat. Prostaglandin
(terutama PGE1, PGE2, dan PGI2) mensensitisasi nosiseptor dan bekerja
secara sinergistis dengan produk inflamatorik lain di tempat cedera, misalnya
bradikinin dan histamine, untuk menimbulkan hiperalgesia. Dengan
demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosisseptor aferen
primer dengan menhambat sintesis prostaglandin.
Berbeda dengan Opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis
melebihi kadar tertentu tidak menambah efek analgesic. Namun, dosis
puncak tertentu tersebut (seiling dose) mungkin lebih tinggi daripada dosis
awal anjuran, dengan demikian penambahan dosis dapat diterima.
Analgesia Opiod
Opioid merupakan analgesic paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Obat-obat ini merupakan
patokan dalam pengobatan nyeri pascaoperasi dan neyri terkait kanker.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin (opioid)
menimbulkan efek analgesiknya di sentral. Obat-obat golongan opioid
memiliki pola efek samping yang sangat mirip, termasuk de[resi pernapasan,
mual dan muntah, sedasi dan konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi
menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan (adiksi). Toleransi
adala kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesic obat. Toleransi terhadap opioid tertentu
terbentuk apabila opioid tersebut diberikan dalam jangka panjang, misalnya
pad etrapi kanker.
Antagonis dan Agonis-Antagonis Opioid
Anatgonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan
mengikat reseptor opioid dan menghambat pengaktivannya. Nalokson, suatu
antagonis opiod murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid.
Nalokson digunakan untuk melawan efek kelebihan narkotik, yaitu depresi
pernapasan dan sedasi. Obat opioid lain adlah kombinasi agonis dan
antagonis, seperti pentazosin dan butorfanol. Agonis-anatgonis opioid adalah
analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil
kemungkinannya menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan
(misalnya, depresi pernapasan) dibandingkan dengan agonis opioid murni.
Adjuvan/Koanalgesik
Obat Adjuvan atau koanalgesik adalah obat yang semula dikembang untuk
tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memiliki sifat
analgetik atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan

27

nyeri. Sebagian dari obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri
neuropatik yang mungkin tidak berespons terhadap opioid.
b. Pendekatan Non-Faramakologik
Terapi dan Modalitas Fisik
Mencakup beragam bentuk stimulasi kulit (pijat, stimulasi saraf dengan
listrik, akupuntur, aplikasi panas/dingin, olahraga). Dasar stimulus kulit
adalah teori pengendalian gerbang pada transmisi nyeri. Stimulasi kulit akan
merangsang serat-serat non-nosiseptif yang berdiamater besar untuk
menutup gerbang bagi serat-serat berdiameter kecil yang menghantarkan
nyeri sehingga nyeri dapat dikurangi. Dihipotesiskan bahawa stimulasi kulit
juga dapat menyebabkan tuguh mengeluarkan endorphin dan
neurotransmitter lain yang menghambat endorphin.
Strategi Kognitif Perilaku
Mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, mengubah perilaku nyeri dan
member pasien perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri.
Strategi ini mencakup relaksasi, penciptaan khayalan, hypnosis dan
biofeedback.
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Price, Slyvia A and Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Edisi 6 Volume 2. Jakarta:
EGC
28

http://www.upoj.org/site/files/v11/v11_14.pdf
http://www.nursingtimes.net/nursing-practice/1860931.article
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31992/4/Chapter%20II.pdf
Guyton, Arthut C dan John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.11.
Jakarta: EGC
Snell, Richard S.2006.Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran .Ed.
5.Jakarta: EGC
Katzung, Bertram G.2010. Farmakologi Dasar & Klinik Edisi 10.Jakarta : EGC.

29

Anda mungkin juga menyukai