Anda di halaman 1dari 5

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2009

Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

ISBN : 9789799696465
Yogyakarta, 14 November 2009

Menuju Cita-cita Penyediaan Energi yang Bertanggung-Jawab:


Konversi Energi Bebas Emisi
Oleh:
Dr. Widi Setiawan
Pusat Teknologi Akselerator & Proses Bahan BATAN
Latar Belakang
Dari data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas tentang cadangan dan produksi energi
Indonesia pada tahun 2007 /1/ tampak bahwa tiga sumber daya energi terbesar di Indonesia
adalah minyak bumi (56,6 miliar barrel), batu-bara (90,5 miliar ton) dan gas alam (334.5
TSCF) serta Coal Bed Methane/CBM (453 TSCF) . Adapun produksi minyak dalam tahun
tersebut adalah 348 juta barel, batu-bara 201 juta ton dan gas alam 2,79 TSCF. Sementara
itu CBM belum diproduksi.
Produksi minyak bumi semakin menurun, sementara konsumsi terhadap minyak bumi
semakin naik. Pada tahun 1995 mencapai puncak produksi hampir 600 juta barel per tahun,
namun pada tahun-tahun berikutnya menurun hingga di bawah 400 juta barel per tahun pada
tahun 2006.
Adapun produksi gas alam diperkirakan mulai menurun pada tahun 2018. Walaupun sekitar
tahun 2016 ada tambahan dari produksi CBM, diperkirakan sekitar tahun 2020 Indonesia
mulai mengimpor gas alam! /2/.
Potensi energi primer non fosil terdiri dari sumber daya dari hydro power 75,67 GW dengan
kapasitas terpasang 4,2 GW, Geothermal 27,0 GW dengan kapasitas terpasang 0,992 GW,
Mini/Micro Hydro 0,45 GW dengan kapasitas terpasang 0,084 GW, Biomass 49,81 GW
dengan kapasitas terpasang 0,3 GW, solar energy 4,8 kwh/m2/hari dengan kapasitas
terpasang 0,008 GW dan angin 9,29 GW dengan kapasitas terpasang 0,0005 GW.
Kebijakan pemerintah tentang energi mengarahkan pada pengurangan penggunaan minyak
bumi dan peningkatan penggunaan gas dan batu bara, sebagaimana Keputusan presiden no
5 tahun 2006 tentang sasaran Energy mix tahun 2025, yaitu minyak 20%, gas 30%, batubara
33%, biofuel 5%, geothermal 5%, gabungan biomassa, nuklir, mikrohidro, matahari dan
angin 5%, batu bara cair 2%.
Dari data PT PLN per 31 Maret 2007, kapasitas terpasang berdasarkan jenis pembangkitan
adalah sebagaimana berikut: PLTU dengan bahan bakar batubara 26%, PLTU dengan
bahan bakar minyak 34%, PLTU dengan bahan bakar gas 24%, PLTU geothermal 2% dan
hydroelectric 14% /3/.
Total kapasitas terpasang pada tahun 2008 adalah 29.765 MW. Hampir 67% dari total
pelanggan yang menggunakan kapasitas tersebut berdomisili di area Jawa dan Bali. Rasio
elektrifikasi sekitar 64,3% dan rasio desa berlistrik 91,9%. Pemanfaatan energi primer untuk
pembangkitan tenaga listrik adalah sebagaimana berikut: batu bara dan bahan baker minyak
masing-masing 37%, gas 15%, hidro 8% dan panas bumi 3% /4/.
Pasokan listrik saat ini dalam keadaan kritis karena reverse margin kurang dari 30%, serta
beban biaya bahan bakar minyak (BBM) yang tinggi juga menjadi persoalan yang harus
diselesaikan.
Sampai tahun 2010, PLN ditugaskan untuk membangun PLTU non BBM 10.000 Megawatt
[MW]. Proyek tersebut terdiri dari pembangunan 6.900 MW PLTU batubara di 10 lokasi di
Jawa dan 1.700 MW PLTU batubara di 30 lokasi di luar pulau Jawa. Disamping itu untuk

data: http://fit.uii.ac.id/

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2009


Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

ISBN : 9789799696465
Yogyakarta, 14 November 2009

mengatasi kekurangan daya di daerah krisis terdapat pula proyek IPP kemitraan sebesar
200 MW di Jawa dan 900 MW di luar Jawa dan IPP daerah krisis 975 MW juga diluar pulau
Jawa. Selain itu ada pula proyek PLN yang sedang berjalan yaitu 1.600 MW di Jawa dan
440 MW diluar Jawa. Dengan demikian potensi tambahan kapasitas di Jawa sebesar 8700
MW dan sekitar 4.000 MW di luar Jawa.
Jika proyek 10.000 MW dapat selesai pada 2009-2010, maka akan dapat menggantikan
pembangkit BBM sekitar 4.500 MW dan memberikan tambahan kapasitas baru 5.500 MW
lagi. Dengan kondisi seperti itu diharapkan produksi energi menggunakan BBM dapat turun
dari 26% menjadi tinggal sekitar 6% saja, dan daerah krisis daya teratasi. Demikian pula
biaya produksi dapat turun secara signifikan karena biaya bahan bakar membangkitkan
listrik dengan BBM sekitar Rp1.800 per kWh sedangkan dengan batubara sekitar Rp 200 per
kWh.
Solusi dampak lingkungan
Skenario terburuk menurut Kementrian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) menunjukkan
bahwa proyek 10.000 MW akan menambah emisi NO2 sebanyak 167.406 ton/tahun, emisi
SO2 sebesar 138.710 ton/tahun, dan CH2 mencapai 4.712 ton/tahun serta emisi partikulat
mencapai 1.760 ton/tahun (didasarkan perhitungan emission factor dari PLTU di India).
Beberapa cara yang direkomendasikan KNLH untuk minimasi dampak tersebut:
1. Dengan penerapan teknologi pembakaran seperti supercritical dan ultrasupercritical,
Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC) dan Pressurised Fluidized Bed
Combustion (PFBC) dapat mengurangi emisi CO2 sampai 52%. CO2 dapat ditekan
hingga 34 juta ton/tahun.
2. Dengan boiler tipe pulverized coal yang didesain dengan menginjeksikan udara di atas
zona pembakaran utama, emisi NO2 turun 40-60%. Emisi NO2 diperkirakan 100.444 ton
per tahun.
3. Dengan wet scrubber atau Flue Gas Desulphurization: emisi SO2 dapat ditekan sampai
80-98% Emisi SO2 diperkirakan 13.871 juta ton/tahun.
Selain menimbulkan masalah CO2, NOx dan SOx, batubara mengandung bahan anorganik
(mineral dan trace element) yang mungkin menjadi masalah bagi kesehatan dan lingkungan.
Beberapa trace element dalam batu-bara, radioaktif. Unsur tersebut adalah uranium (U),
thorium (Th) dan hasil peluruhannya, seperti radium (Ra) dan radon (Rn).
Sebagai contoh, konsentrasi uranium dalam batu-bara Amerika adalah antara 1 s/d 3 ppm
dan setelah menjadi abu terbang (fly ash), konsentrasi tersebut naik 10 x semula, menjadi 10
s/d 30 ppm. Andaikan baku mutu PLTU batu-bara dipenuhi, maka masih ada fly ash
maksimal sejumlah 150 mg per m3 dilepas ke lingkungan yang mengandung 10 s/d 30 ppm
uranium /5,6/.
Upaya minimasi CO2, NOx dan SOx serta eliminasi fly ash dilakukan dengan berbagai cara
mulai dari coal preparation (de-ashing) technologies, coal reforming technologies seperti
proses UBC (upgrading Brown Coal) di Kalimantan, kemudian cara handling (seperti coal
catridge system (CCS), coal liquid mixture (CWM, COM), desulfurized CWM, briquette),
combustion technologies (seperti circulating fluidized-bed combustion technology CFBC,
coal partial combustor technology CPC, dll), gasification technologies (Hydrogen-from-coal
process HYCOL, integrated coal gasification combined cycle IGCC, dll), Liquefaction
technologies (Brown Coal Liquefaction BCL, Dimethyl Ether Production DME, dll),
Pyrolysis technologies (CPX, ECOPRO), Flue gas treatment & gas cleaning technologies
hingga CO2 recovery technology (seperti CO2 recovery and sequestration, CO2 conversion).
Semua upaya tersebut berarti biaya. Perlu pertimbangan apakah upaya dilakukan dalam
konteks pencegahan seperti coal preparation (de-ashing), UBC, handling, gasification,

data: http://fit.uii.ac.id/

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2009


Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

ISBN : 9789799696465
Yogyakarta, 14 November 2009

liquefaction atau upaya dalam konteks penanggulangan seperti penerapan combustion


technologies, flue gas treatment. Perlu pula diingat bahwa tidak ada proses konversi yang
mempunyai efisiensi 100%.
Mengingat hal tersebut, upaya paling optimal adalah gasification dan liquefaction, apalagi
mengingat bahwa dengan coal gasification dapat diperoleh substitusi gas alam (SNG) dan
dengan coal liquefaction dapat diperoleh bahan bakar minyak dari batu bara sebagaimana
dari minyak bumi (crude oil). Hal tersebut sejalan dengan antisipasi produksi minyak bumi
yang semakin menurun sedangkan kebutuhan bahan bakar minyak justeru naik.
Terlebih lagi jika mengingat bahwa 85,2% cadangan batu bara di Indonesia berupa low rank
coal (lignite) yang mempunyai kandungan moisture tinggi (<35%) dan nilai kalori rendah
(<4000 kcal/kg) sehingga sulit untuk diekspor. Selain itu, seringkali lignite mempunyai
kandungan hidrogen yang tinggi sehingga dalam proses liquefaction membutuhkan hidrogen
lebih sedikit daripada batu-bara yang kandungan kalorinya lebih tinggi. Dengan kandungan
hidrogen relatif tinggi dan harga lignite yang sangat murah karena kerapatan energinya yang
rendah, maka penggunaan lignite untuk coal liquefaction diperkirakan cost effective.
Konsep pembuatan bahan bakar cair yang saat ini dipergunakan LSDE BPPT adalah
dengan cara hidrogenasi batu bara (katagori direct processing). Ada pula proses lain yang
lebih banyak dipergunakan industri yaitu dengan terlebih dahulu mengkonversi (gasifikasi)
batu bara ke syngas (campuran hidrogen, CO dan gas lain), kemudian konversi syngas ke
bahan bakar cair melalui proses Fischer-Tropsch (katagori indirect processing).
Pada proses hydrogenation (katagori direct processing) diperlukan hidrogen. Demikian pula
pada konversi batu bara menjadi bahan bakar cair dengan cara indirect processing
mempunyai 2 masukan utama yaitu hidrogen dan oksigen.
Tampaknya coal liquefaction dapat dijadikan langkah awal yang dapat mempersiapkan
Indonesia agar sinkron dengan kecenderungan internasional dalam konversi energi.
Kecenderungan internasional menuju konversi energi dengan emisi nol diwujudkan melalui
konsep hydrogen economy. Hidrogen dipergunakan sebagai bahan bakar sistem konversi
energi berbasis sel bahan bakar (fuel cell) yang mengeluarkan emisi berupa H2O. Semua
energi primer (batu bara, bahan bakar minyak, gas) dikonversi ke hidrogen. Bahkan Ministry
of Economy, Trade and Industry Jepang menetapkan skenario yang menyatakan bahwa
pada tahun 2010 akan mewujudkan 50.000 unit kendaraan dan 2,1 GW pembangkit listrik
berbasis sel bahan bakar (fuel cell). Sedangkan pada tahun 2020 akan diwujudkan
5.000.000 kendaraan dan 10 GW pembangkit listrik berbasis sel bahan bakar /7/.
Pada saat ini, paling ekonomis hidrogen diperoleh dari proses thermochemical. Berbagai
studi /8,9/ menyatakan bahwa biaya produksi hidrogen dengan proses thermochemical
adalah 60% dari biaya dengan metoda electrolysis, selain itu berpotensi pula untuk
mencapai efisiensi heat-to-hydrogen lebih dari 60%. Pada saat ini pabrik pembuat hidrogen
skala besar menggunakan bahan baku gas alam (misal: Haldor Topsoe A/S, 2005). Adapun
oksigen diperoleh dari udara dengan teknik cryogenic air-separation.
Pada proses gasifikasi atau liquefaction secara konvensional, sebagian batu-bara
dipergunakan untuk proses gasifikasi atau liquefaction. Dengan demikian masih ada
masalah fly ash serta pelepasan CO2, NOx dan SOx.
Instalasi nuclear-hydrogen berbasis High Temperature Reactor (HTR) menghasilkan
hidrogen dan oksigen melalui proses thermochemical water splitting, antara lain Iodine-Sulfur
Process. Dengan demikian proses liquefaction yang menggunakan nuclear hydrogen dapat
mengeliminasi masalah emisi CO2, NOx dan SOx serta fly ash pada proses coal liquefaction
konvensional.

data: http://fit.uii.ac.id/

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2009


Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

ISBN : 9789799696465
Yogyakarta, 14 November 2009

Terkait dengan kesiapan teknologi nuclear coal liquefaction, saat ini sedang berlangsung halhal sebagaimana berikut:
1. Proses thermochemical water splitting saat ini sedang dalam pengembangan,
2. HTR komersial sebanyak 24 unit akan diproduksi pada tahun 2016 (Menurut jadwal
PBMR Ltd, perusahaan Afrika Selatan yang saat ini mengembangkan HTR komersial)
dan mulai tahun 2019 PBMR Ltd baru dapat melayani pesanan luar negeri.
Oleh karena itu, mengingat proses gasifikasi batubara hanya memerlukan uap air dan suhu
tinggi yang dapat diambil dari Helium pada kalang sekunder intermediate heat exchanger /
IHX dari HTR, maka nuclear coal gasification dapat dipilih sebagai implementasi jangka
pendek sebelum mewujudkan nuclear coal liquefaction. Terlebih lagi jika tuntutan
penggunaan clean coal pada PLTU menjadi perhatian utama dalam implementasi kebijakan
energi berbasis batu-bara. Saat ini kegiatan pencairan batubara telah diinstruksikan melalui
Inpres nomor 2 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara yang Dicairkan
sebagai Bahan Bakar Lain.
Dari sisi keselamatan, HTR module mempunyai ciri bebas pelelehan elemen bakar (melting
free reactor). Lapisan SiC yang berfungsi sebagai cladding baru menunjukkan kerusakan
pada suhu sekitar 2000 C dan meleleh pada suhu sekitar 3000 C. Sementara itu geometri
teras reaktor HTR module dirancang sedemikian sehingga terjadi kesetimbangan antara
kalor yang dibangkitkan dengan kalor yang dilepas ke lingkungan pada suhu 1600 C, dengan
batang kendali pada posisi penarikan maksimum di luar teras, tidak ada pendingin, pendingin
darurat tidak berfungsi serta tidak ada tindakan operator. Dengan demikian elemen bakar
reaktor tersebut tidak akan pernah dapat meleleh.
Untuk menyiapkan kemungkinan HTR deployment di Indonesia, diperlukan infrastruktur
teknologi (technological infrastructure) berupa kegiatan penelitian dan pengembangan.
Dengan mempertimbangkan kompetensi yang telah ditempa dalam kegiatan pengkajian
eksperimental proses pembuatan grafit dan kernel beberapa tahun terakhir ini, maka
kegiatan Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan BATAN diarahkan pada penelitian
dan pengembangan untuk mendukung operasi HTR, khususnya dalam lingkup HTR fuel
manufacturing.
Kesimpulan
Kegiatan konversi energi baik untuk transportasi maupun untuk pembangkitan tenaga listrik
sebaiknya dilakukan secara bertanggung-jawab. Emisi yang merugikan masyarakat agar
diperhitungkan dalam investasi maupun biaya operasional, sehingga masyarakat tidak perlu
menanggung dampaknya. Sebagai contoh, apabila diputuskan penyediaan energi yang
optimal saat ini berbasis batu-bara, maka perlu diterapkan clean coal technology.
Semangat internasional menuju konversi energi bebas emisi melalui konsep hydrogen
economy perlu dipertimbangkan, terutama dalam lingkup transportasi. Tidak akan ada lagi
motor bakar sebagai mesin kendaraan, semua digantikan motor listrik karena sumber energi
kendaraan berasal dari hidrogen yang dikonversi ke listrik oleh sel bahan bakar (fuel cell).
Hingga saat ini diyakini bahwa produksi hidrogen dengan emisi minimal adalah dengan
proses thermochemical water splitting berbasis High Temperature Reactor (HTR). HTR
dikenal sebagai reaktor yang melting free (bebas pelelehan).
Referensi
[1] Luluk Sumiarso, The Oil and Gas Industry: Our Challenges, 32nd Annual IPA
Convention & Exhibition, Jakarta, May 28th, 2008.
[2] Eko Widiarto, Kondisi Energi Primer (minyak dan gas) Indonesia, Pertemuan Nasional
Forum Komunikasi Pendidikan Tinggi Teknik Elektro Indonesia 2007, Yogyakarta, 5 6
Desember 2007.

data: http://fit.uii.ac.id/

Prosiding Seminar Nasional Teknoin 2009


Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta

ISBN : 9789799696465
Yogyakarta, 14 November 2009

[3] Eddie Widiono, Jaminan Energi Primer untuk keberlanjutan Sistem Kelistrikan Nasional,
Seminar Nasional Energi dan Kelistrikan serta Teknologi Informasi Komunikasi
Nasional, Yogyakarta, 5 desember 2007.
[4] Purwono, J., Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, Jakarta, 14 agustus 2008.
[5] Radioactive Elements in Coal and Fly Ash: Abundance, Forms, and Environmental
Significance, U.S. Geological Survey Fact Sheet FS-163-97, october 1997.
[6] _, http://www.spartonres.ca/download/World_Nuclear_News-October2007.pdf (Sparton
produces first yellowcake from Chinese coal ash)
[7] _, Japans Approach to Commercialization of Fuel Cell / Hydrogen Technology, New
and Renewable Energy Division Ministry of Economy, Trade and Industry (METI), June,
2003.
[8] Shiozawa et al., 2000;
[9] Farbman, 1976.

data: http://fit.uii.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai