Anda di halaman 1dari 72

Prologue I: The Ice in the Ocean

Samudera Indonesia.
Lepas pantai Yogyakarta
Masa Kini.
Sebuah kapal riset kelautan dan oceanografi terbaru milik TNI-AL, yaitu KRI Baruna
berlayar dengan tenang untuk misi mengadakan riset dan pemetaan bawah air atas
perairan di lepas pantai Yogyakarta hingga ke tapal batas Zona Ekonomi Eksklusif
antara Indonesia dengan perairan bebas di Samudera Indonesia. Pekerjaan
pemetaan ini amat penting mengingat lepas pantai selatan pulau Jawa
diproyeksikan sebagai salah satu garis pertahanan pertama Negara Kesatuan
Republik Indonesia dari semua penyusupan maupun agresi dari pihak asing.
KRI Baruna merupakan kapal riset yang merupakan hasil produksi bersama antara
Norwegia dengan Korea Selatan, dan merupakan salah satu jenis kapal riset terbaik
dan termodern di dunia. Indonesia merupakan konsumen keempat dari kapal ini
setelah Norwegia, Korea Selatan, dan Belanda. Oleh Korea Selatan, kapal ini
dinamakan sebagai dinamakan sebagai kapal riset lepas-pantai kelas
Cheomseongdae, dan dipersenjatai secara mandiri dengan CIWS dan ranjau laut,
karena kelas Cheomseongdae bertugas juga untuk melakukan antisipasi atas jalurjalur infiltrasi kapal-kapal selam mini Korea Utara. Dan varian dari Korea Selatan-lah
yang dibeli oleh Indonesia sebanyak dua kapal yang lalu diberi nama KRI Baruna
dan KRI Jalanidhi, masing-masing akan ditempatkan Armada Barat dan Armada
Timur. Memimpin di atas KRI Baruna adalah Laksda. Adiasa Giovanco, yang juga
menjabat sebagai kepala bagian riset kelautan TNI-AL.
Seorang kelasi dengan cekatan membawa sebuah nampan berisi sepoci teh hangat
lengkap dengan semua pelengkapnya, melalui koridor-koridor sempit kapal dari
galley menuju ke teras di depan anjungan. Matahari bersinar dengan cerah pada
hari itu dan laut pun sedang dalam keadaan bersahabat, membuat misi pelayaran
itu bagaikan pesiar saja. Sebuah meja sudah digelar pada teras anjungan itu, dan
Laksda. Adiasa serta nakhoda KRI Baruna, Kolonel Martinus Laina duduk
berhadapan pada meja itu dengan sebuah papan catur magnetik digelar di atasnya.
Kemudi untuk saat ini dipasrahkan kepada Mualim Satu, Mayor Andoni Zubizarreta
Siregar, dan kapal pun melaju mulus di atas ombak ramah. Bahkan saking indahnya
hari ini, Laksda. Adiasa memerintahkan semua awak kapal yang tak bertugas jaga
untuk bersantai dan menikmati hari ini, walau tanpa mengendurkan kewaspadaan.
Sontak beberapa awak kapal terlihat sudah tersebar di berbagai tempat di geladak
kapal. Paling umum adalah memancing atau hanya duduk-duduk saja di dekat
haluan atau sisi kapal. Tapi sebagian besar awak terpusat pada geladak helikopter
di belakang yang memang berukuran besar, karena entah siapa yang punya ide,
awak kapal sepakat untuk mengadakan pertandingan futsal kelas tarkam di sana.
Walau jaring pelindung sudah dinaikkan, tetap saja ada satu dua kejadian bola
ditendang terlalu keras sehingga jatuh ke laut. Pertandingan futsal ini pun menjadi
hiburan bagi para awak kapal riset ini yang jumlahnya hampir mencapai 300 orang.

Kapal KRI Baruna memang kapal yang cukup besar, bahkan kapal ini menjadi kapal
terbesar di kalangan Satuan Kapal Bantu. Ini wajar, karena bentuk aslinya, yaitu
kapal kelas Cheomseongdae selain dipakai sebagai kapal riset all-for-one juga
dipakai sebagai kapal dengan kemampuan kombat terbatas. Buritannya memiliki
geladak helikopter yang cukup untuk menampung 2 helikopter dari kelas NBell-412,
serta memiliki hanggar untuk menaungi satu helikopter lagi. Aslinya di kelas
Cheomseongdae memiliki hanggar yang cukup untuk menaungi dua helikopter, tapi
TNI-AL sengaja mengurangi kapasitas hanggar dan menggantinya dengan ruangan
penyimpan kapal selam mini. Bergerak ke lambung, kapal Cheomseongdae/Baruna
juga dilengkapi dengan berbagai macam laboratorium yang membuatnya bisa
melakukan berbagai macam riset, mulai dari pemetaan, oceanologi, geologi,
toksikologi, hingga laboratorium untuk biota laut. Selain itu ada beberapa ruang
yang digunakan sebagai tempat rekreasi awak kapal yang lebih variatif daripada
KRI biasa, karena proyeksi penggunaannya memang bukan eksklusif hanya untuk
TNI-AL semata, tapi bisa dipinjamkan kepada instansi sipil lain yang membutuhkan.
Perbedaan pun terlihat kembali pada bagian lambung, karena KRI Baruna tak
memiliki rel pelepas ranjau serta ruang penyimpan ranjau laut yang dimiliki oleh
Cheomseongdae, yang digantikan oleh ruang penyimpan dan pengendali drone
selam atau Unmanned Submersible Vehicle (USV), yaitu dari jenis TIRAM-III yang
dilengkapi alat seperti las bawah air, tang, dan juga pemotong untuk keperluan
penyelidikan reruntuk kapal.
Keistimewaan dari kapal ini adalah adanya stasiun cuaca di aft-structure dan
stasiun satelit yang terhubung langsung dengan satelit komunikasi dan cuaca,
membuat kapal ini bisa melaksanakan berbagai macam riset yang bervariasi. Juga
satu fitur istimewa lain adalah penggunaan sensor bawah air yang berbasis LIDAR
atau Light Detection and Ranging di samping sonar dan ekolokasi yang lebih umum.
LIDAR yang berbasis sinar laser ini bisa membuat pemetaan topografi bawah air
secara tiga dimensi yang lebih teliti dari sekadar sonar biasa. Oleh Korea Selatan,
sensor LIDAR inilah yang diandalkan untuk melacak jalur-jalur infiltrasi kapal selam
mini Korea Utara, dan menentukan posisi pemasangan ranjau yang tepat, di
samping juga bisa untuk mengetahui posisi-posisi mana saja di perairan yang
dipasang ranjau oleh Korea Utara; walau Cheomseongdae sendiri tak punya
kapabilitas untuk menyapu ranjau. Satu-satunya yang menegaskan bahwa ini
adalah kapal militer adalah dengan adanya dua CIWS Phalanx 20mm yang disuplai
oleh beberapa titik sarang kanon otomatis baik dari Oerlikon 20mm atau mitraliur
Browning 12,7mm. Penggunaan senjata ini juga berbeda pada KRI Baruna, karena
pada Phalanx di bagian haluan, TNI-AL menggantinya dengan senjata FH-2000 yang
berbasis kanon otomatis S-60 57mm dan 6 peluncur rudal antipesawat QW-3, dan
pada Phalanx bagian buritan menggunakan CIWS buatan lokal, Bramasthra Mark-III
20mm, serta beberapa titik sarang mitraliur SMB-QCB .50 cal.
Satu-satunya awak yang bersiaga di hari yang indah ini hanyalah awak pada bagian
anjungan dan bagian pemetaan bawah air. Misi pemetaan bawah air ini memang
misi istimewa, karena termasuk dalam Operasi Indonesia Satu yang bertujuan untuk
menetapkan perimeter pertahanan terluar Indonesia terhadap serangan dari
elemen-elemen asing. KRI Baruna dan KRI Jalanidhi sebagai ujung tombak terbaru
tentu dikerahkan untuk Operasi ini bersama dengan KRI yang lainnya. Saat ini juga,
KRI Jalanidhi tengah melakukan misi serupa namun di wilayah Laut Sulawesi.
Namun keistimewaan untuk KRI Baruna adalah bahwa ini merupakan misi pemetaan

bawah air pertamanya, sementara KRI Jalanidhi pernah melakukan hal serupa pada
Laut Arafuru dan Selat Ombai. Selama ini, KRI Baruna baru mendapatkan misi
untuk penelitian atas sesar Mediterania di lepas pantai timur Sumatera, dan
penyelidikan aktivitas vulkanis Anak Gunung Krakatau di Selat Sunda.
Skak, kata Laksda. Adiasa sambil tersenyum ketika memindahkan kuda putihnya
untuk memakan benteng hitam.
Tidak secepat itu, Laksamana, kata Kol. Laina balas tersenyum sambil
menggerakkan gajah raja-nya dan memakan kuda yang baru melakukan skak tadi.
Senyum Laksda. Adiasa sedikit berkurang karena kini posisi gajah Kol. Laina bisa
mengancam kedudukan menteri milik Laksda. Adiasa. Bila ditambah dengan fakta
bahwa Kol. Laina masih memiliki satu benteng yang bebas, artinya skema
Pembelaan Petroff yang digelar oleh Laksda. Adiasa terancam dilibas oleh
permainan Gambit Menteri milik Kol. Laina. Andai hari ini tak begitu indah, mungkin
raut muka Laksda. Adiasa akan lebih masam lagi.
Sementara itu, jauh dari keriuhan keceriaan di luar, para awak di bagian pemetaan
bekerja dengan amat serius. Mereka tak mau ada satupun bentang alam bawah air
yang luput untuk dipetakan. Untuk itu, maka sensor LIDAR dan sonar digunakan
secara simultan untuk memberikan gambaran lengkap mengenai keadaan di bawah
laut. Semua awak yang bertugas di sini amat yakin dengan kemampuan LIDAR ini,
mereka menyamakannya dengan sebuah senjata ampuh yang bisa mengalahkan
semua tantangan, keyakinan diri yang juga terdapat pada perwira berwenang di
sini, Let. Muhammad Raffido. Sejujurnya bagi awak di bagian pemetaan, ini adalah
saat yang menjemukan, karena pada saat semua rekan mereka bisa bersantai,
mereka justru dituntut harus serius untuk bekerja. Namun semua melakukan ini
dengan penuh dedikasi karena mereka yakin bahwa apa yang mereka lakukan pada
hari ini akan berguna untuk hari-hari ke depan. Tak ada yang tahu bahwa sebuah
hari yang tenang akan segera dipecahkan oleh kehebohan luar biasa.
Sebuah nada peringatan indikasi tiba-tiba berbunyi, asalnya dari stasiun LIDAR. Ini
tentu saja membuat Pratu. Rudy Toruan yang bertugas di sana agak keheranan,
lebih tepatnya, ada sesuatu yang tertangkap oleh LIDAR itu yang membuatnya
terheran-heran. Untuk memastikannya, dia beberapa kali mengubah setelan LIDAR,
tapi hasilnya tetap sama. Adanya nada peringatan ini akhirnya menarik perhatian
dari Let. Raffido.
Ada apa? tanya Let. Raffido.
LIDAR menangkap sesuatu yang aneh, Pak, kata Pratu. Toruan, mungkin aku
salah, tapi seharusnya hal ini mustahil terjadi, apalagi di sini,
Apa bagian sonar juga menangkap hal yang sama? tanya Let. Raffido.
Kurang lebih, Pak, apa pada sektor Alpha-Sierra-3-2-8? tanya Pratu. Alvian Prakoso
pada stasiun sonar.
Benar, sektor Alpha-Sierra-3-2-8, kata Pratu. Toruan.
Kalau begitu aku setuju, itu memang cukup aneh, kata Pratu. Prakoso, mengingat
kita bisa menemukan itu di sini,
Penasaran, Let. Raffido kemudian menuju ke stasiun master yang memberi risalah
dari semua hasil pengamatan, baik dari LIDAR, sonar, maupun yang lain. Hasil itu,

sekali lagi membuat Let. Raffido terdiam dengan pandangan mata tak percaya. Dia
pun mengamini pendapat Pratu. Toruan dan Pratu. Prakoso, mustahil hasil
pembacaan ini bisa benar karena di titik ini, apa yang ditemukan memang cukup
aneh.
Kunci koordinatnya, lalu berikan laporan tertulisnya, kata Let. Raffido, aku akan
melapor pada Kapten,
Dengan cepat laporan tercetak pun diberikan, dan Let. Raffido langsung
menyambarnya dan meninggalkan ruangan untuk segera memberikan laporan ini
kepada nakhoda kapal, Laksda. Adiasa. Beberapa ABK yang dilewatinya di selasar
kapal tampak heran dengan tampang Let. Raffido yang tegang dan langkahnya
yang agak terburu-buru, seolah baru saja melihat hantu. Tapi bisa jadi apa yang dia
lihat memang hantu, hanya saja hantu apakah?
Laksda. Adiasa, yang sejenak menghentikan permainan caturnya dengan Kol. Laina,
tampak mengernyitkan dahi membaca laporan Let. Raffido. Beberapa kali
pandangannya beralih dari wajah Let. Raffido ke laporan yang dia baca, seolah
berharap bahwa Let. Raffido sedang bercanda, tapi wajah serius dan tegang Let.
Raffido justru mengindikasikan hal yang sebaliknya.
Tapi ini tidak mungkin, Letnan, kata Laksda. Adiasa, tidak mungkin bisa
ditemukan di sini, kita bahkan belum meninggalkan landas kontinen,
Saya tahu, Pak, kata Let. Raffido, sudah kami coba mengkalibrasikan berkali-kali
dan hasilnya tetap sama, ada gumpalan es yang ditemukan di dasar samudra,
Ini adalah perairan hangat, es seharusnya baru bisa ditemukan setelah jauh ke
selatan, dan pastinya bukan pada musim sekarang ini, saat belahan bumi selatan
sedang mengalami musim panas, kata Laksda. Adiaksa.
Bagaimana dengan kemungkinan arus dingin dari Kutub Selatan untuk mencapai
tempat ini? tanya Kol. Laina.
Terlalu jauh, kata Laksda. Adiaksa, lagipula arus dingin dari Kutub Selatan
semata tak akan cukup untuk mempertahankan es di dasar samudra dari perairan
yang cukup dekat dengan khatulistiwa,
Kalau ini bukan sebuah keanehan alami, pasti ada sesuatu yang ganjil, kata Kol.
Laina.
Aku setuju, Kolonel, kata Laksda. Adiaksa, ditambah lagi bila mengingat jaraknya
cukup dekat dengan pesisir selatan Jawa,
Mungkinkah ini reruntuk dari kapal selam KRI Antasena yang tenggelam beberapa
waktu lalu? tanya Kol. Laina.
Tidak mungkin, tempat tenggelamnya KRI Antasena masih ribuan mil dari sini,
kata Laksda. Adiasa, sebaiknya aku melihat langsung, kau tak keberatan kalau
permainan ini ditunda sejenak, kan?
Tidak, kita bisa lanjutkan kapan saja, kata Kol. Laina, lagipula aku akan tetap
menang,
Baiklah, Kolonel, ayo ikut aku ke ruang pemetaan, kata Laksda. Adiasa sambil
bangkit dan mengenakan kembali topinya.
Saat Laksda. Adiasa bersama Kol. Laina dan Let. Raffido kembali memasuki ruang
pemetaan, suasana di sana sudah lumayan ramai karena semua orang kali ini

berusaha sebaik-baiknya untuk melacak penemuan bidang es yang tidak


seharusnya ada di perairan ini.
Bagaimana statusnya? tanya Laksda. Adiasa.
Lapor, Pak, kami sedang berusaha mengukur luas bidang esnya, kata Pratu.
Toruan.
Berapa luas wilayah yang ditutup oleh es? tanya Laksda. Adiasa.
Untuk ukuran ini lumayan kecil, Pak, kata Pratu. Toruan, kami masih menunggu
proses pemindaian yang lengkap, tetapi aku bisa memberikan gambaran kasar
LIDAR mengenai dimensi bidang es itu,
Kalau begitu tampilkan, kata Laksda. Adiasa.
Pratu. Toruan mengangguk kemudian menekan beberapa tombol untuk
memproyeksikan gambaran LIDAR atas bidang es pada layar besar. Perlahan-lahan,
di layar itu muncul tampilan mirip synthesizer beraneka warna yang menunjukkan
kedalaman dari bidang tersebut. Walau tampak agak ruwet, tapi semua bisa melihat
bahwa bidang itu membentuk suatu bidang bulat yang cukup sempurna dengan
kedalaman yang tak begitu tinggi. Saat semua orang masih bingung dengan
dimensi benda yang terpindai ini, Laksda. Adiasa tampak terbelalak seolah dia baru
saja melihat hantu, melihat sesuatu yang seharusnya sudah lama tidak ada dan
sekarang muncul begitu saja di hadapan matanya.
Cepat, hubungi Jakarta, kata Laksda. Adiasa, minta perintah dari markas besar
TNI AL segera,
Hari yang semula tenang pun mendadak pecah dan keriuhan melanda seluruh KRI
Baruna. Tanpa terlebih dulu memberitahukan alasannya kepada semua awak kapal,
KRI Baruna segera buang sauh dan menghentikan misi mereka. Hanya awak di
ruang pemetaan saja yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, sementara awak lain
tampak bertanya-tanya, apakah tengah terjadi sesuatu yang tak biasa?
Enam jam kemudian
Sebuah helikopter muncul dari balik cakrawala, bersamaan dengan matahari yang
sedang tergelincir ke ufuk barat. Sudah enam jam lamanya KRI Baruna berada
dalam posisi siaga, dan selama itu pula kebingunan melanda seluruh awak KRI
Baruna, karena tak ada satu pun perwira yang mau memberi tahu alasan kenapa
mereka berhenti dan bersiaga di sini. Apa yang sebenarnya terjadi? Lalu siapa pula
yang akan datang memakai helikopter ini? Pertanyaan yang wajar, karena
helikopter yang datang ini tak memakai warna kelabu TNI-AL, hijau TNI-AD, ataupun
putih TNI-AU. Alih-alih, helikopter jenis Bell-412 yang muncul ini berwarna hitam
legam dan nyaris tanpa tanda pengenal apa pun selain roundel segi lima merah
putih.
Dengan suasana yang penuh misteri, helikopter Bell-412 ini pun mendarat di
helipad KRI Baruna. Bahkan petugas taxi pun bingung dengan apa yang dilakukan
oleh helikopter tanpa tanda pengenal ini. Pendek kata, semua orang masih
bertanya-tanya dengan semua kejadian yang terasa amat aneh ini. Tanpa
menunggu rotor berhenti sempurna, pintu di helikopter terbuka, dan dua orang pun
turun dari sana, yang pertama turun adalah seorang pria, dan setelah itu diikuti

oleh seorang wanita. Si pria ini dikenali sebagai kepala badan intelijen, Hafryn
Rahman, sementara wanita di belakangnya, tampak berusaha untuk tetap lowprofile dengan pakaian biasa, kacamata lebar, dan rambut ikalnya, dikenali sebagai
Maria Elizabeth Aresti, salah satu wakil dari Hafryn Rahman. Laksda. Adiasa pun
segera menyambut kehadiran dua orang tamu penting ini.
Laksamana, aku ingin melihat temuanmu, kata Hafryn tanpa basa-basi.
Sekarang, Pak? tanya Laksda. Adiasa.
Ya, aku terbang langsung dari Jakarta karena mendengar soal ini, kata Hafryn.
Saya tak menyangka bahwa kepala badan intelijen langsung yang datang, kata
Laksda. Adiasa, kenapa tidak ada perintah dari Mabes AL?
Sampai ada kejelasan dari status kasus ini, aku sudah minta kepada semua
Angkatan untuk menyerahkan semua ini kepada Intelijen, jadi untuk saat ini, kapal
KRI Baruna ada di bawah komandoku langsung, kuharap kau tak keberatan, kata
Hafryn, Presiden, Panglima TNI, dan kepala staf TNI-AL sudah setuju untuk ini,
Tentu saja, Pak, kata Laksda. Adiasa, hanya saja saya tak menyangka masalah ini
bisa menjadi seserius ini,
Bila memang benar, maka ini lebih serius daripada yang kita duga, tanya Hafryn,
sekarang di mana ruang pemetaannya?
Ikut saya, Pak, kata Laksda. Adiasa.
Laksda. Adiasa pun memimpin jalan, sementara Hafryn berbalik pada Maria.
Perhatikan ini baik-baik, Maria, bila memang benar, ini akan menjadi tanggung
jawabmu, kata Hafryn.
Maria tidak menjawab, hanya mengangguk saja. Entahlah antara pembawaannya
memang sependiam itu, atau dia memang harus diam atas perintah.
Tak beberapa lama, mereka pun sampai di ruang pemetaan. Pemindaian lengkap
sudah selesai dilakukan, dan kini wujud grafis bidang es misterius itu tampak lebih
jelas dan detail. Mirip sebuah kubah cakram kecil, dan cukup aneh karena hanya
bagian kubah itu saja yang diliputi es, sementara sekitar-sekitarnya tidak
terpengaruh.
Saya sudah meluncurkan TIRAM untuk pengamatan langsung di bawah laut, kata
Laksda. Adiasa, terlalu dalam untuk mengirimkan penyelam, dan sebentar lagi
kamera TIRAM akan bisa menangkap gumpalan es misterius itu,
Usahakan jangan merusak kecuali kuperintahkan, kata Hafryn, saat ini juga KRI
Sangkuriang telah dipersiapkan, seandainya kita harus mengangkat benda itu,
KRI Sangkuriang juga turut serta? tanya Laksda. Adiasa dengan heran.
Hanya bila diperlukan, kata Hafryn.
KRI Sangkuriang adalah kapal jenis salvager yang memiliki kemampuan untuk
mengangkat reruntuk kapal di bawah laut. Seperti halnya KRI Baruna, kapal ini pun
buatan Korea Selatan, tepatnya masih satu kelas dengan kapal marine-rescue milik
Daehanminguk Haegun (Angkatan Laut Korea Selatan), yaitu ROKS Cheonghaejin,
namun dengan spek yang khusus sebagai permintaan TNI-AL. Dikerahkannya juga
KRI Sangkuriang, bagi Laksda. Adiasa sudah menjadi tanda jelas bahwa apa pun

yang ada di bawah sana pastilah amat penting, setidaknya bagi Intelijen yang
tampaknya amat menginginkannya.
Kita sudah sampai di gumpalan es itu! teriak operator TIRAM.
Tampilkan di layar, kata Laksda. Adiasa.
Layar utama pun berganti dari gambaran detail LIDAR menjadi feed langsung yang
dilihat oleh TIRAM. Dengan kamera resolusi tinggi yang dimilikinya, TIRAM bisa
menampilkan gambar dengan tingkat kecerahan dan kontras yang bagus dari
bidang es misterius itu. Dalam samar-samar beningnya es, terlihat bahwa di dalam
es itu terdapat sebuah benda ellipsis berwarna gelap, dan tampaknya bentuk
bidang es ini mengikuti bentuk benda yang ditutupinya. Sayangnya dari balik
tudung es terlalu kabur untuk bisa dilihat dengan lebih jelas benda apa yang
sebenarnya ada di sana.
Laskamana, TIRAM ini punya sejenis alat pemotong, bukan? tanya Hafryn.
Ya, Pak, semacam las laser untuk pekerjaan bawah air, kata Laksda. Adiasa.
Hafryn mengangguk kemudian berjalan mendekati layar utama. Maria masih terus
mengamati semua gerak-gerik Hafryn, dalam otaknya dia mencatat segala
sesuatunya. Sambil mengamati, Hafryn menunjuk satu titik pada layar.
Tolong potong pada bagian ini, tak perlu besar-besar, cukup sampai kita bisa
melihat apa yang ada di baliknya, kata Hafryn.
Operator TIRAM melihat ke arah Laksda. Adiasa. Tampaknya ide bahwa dia
mendapat perintah dari Hafryn, seseorang di luar AL, masih cukup asing baginya.
Laksda. Adiasa hanya mengangguk saja, secara halus meminta supaya perintah
Hafryn dituruti. Lagi pula seperti dikatakan, saat ini KRI Baruna berada di bawah
komandonya.
Dengan cekatan, operator TIRAM menggerakkan TIRAM untuk melakukan
pemotongan pada bagian yang ditunjuk oleh Hafryn. Sementara Hafryn sendiri
mengawasi dengan ketat, dia sepertinya ingin potongan itu dilakukan sesempurna
mungkin sebagaimana yang dia inginkan. Butuh satu jam sebelum akhirnya Hafryn
memerintahkan pemotongan dihentikan, dan saat itu TIRAM sudah berhasil
mempenetrasi setidaknya hingga 30 cm masuk ke dalam es. Es itu sendiri di luar
dugaan cukup sulit untuk dipotong, sehingga tak begitu mirip memotong es, lebih
seperti memotong logam ringan. Kamera TIRAM pun segera diarahkan untuk
melihat melalui lubang yang dibuat, tempat di mana es yang tipis membuat
bayangan yang ada di baliknya lebih jelas. Ditambah lagi, TIRAM menyalakan
semua lampu sorotnya sehingga bagian di balik es lebih jelas terlihat.
Astaga, kata Hafryn begitu mengenali apa yang ada di balik es itu. Dia hanya
menggeleng-gelengkan kepala saja sambil berdecak mendesah.
Maria, segera hubungi Presiden, kata Hafryn, minta otorisasi atas Inisiatif K,
dengan rekomendasi pengaktifan dengan segera,
Baik, Pak, kata Maria, kata pertama yang dia ucapkan semenjak naik ke kapal ini.

Dan seperti kubilang sebelumnya, mulai sekarang ini adalah tanggung jawabmu,
kata Hafryn.
Baik, Pak, tapi apa yang harus kukatakan pada Presiden? tanya Maria.
Katakan bahwa Yang Pertama telah ditemukan, kata Hafryn.
Maria mengangguk dengan agak gemetaran. Sementara itu di layar utama
memperlihatkan apa yang baru saja dilihat oleh Hafryn. Pada dinding benda yang
cukup besar itu, sebuah lambang yang telah lama tak dilihat oleh dunia: Swastika
raksasa! Namun bukan hanya lambang itu yang ada di sana. Tampak ada semacam
struktur mirip jendela di sana, tapi bukan seperti jendela bangunan, lebih mirip
jendela kendaraan. Yang agak mencolok adalah di balik jendela itu, walau agak
kurang jelas, ada benda bundar warna merah dan putih dengan lambang matahari
bersegi delapan warna emas di atasnya. Dan mata Maria, kini memandang lekat
pada benda berlambang matahari itu.
Bagaskara manjing kawuryan, gumam Maria Aresti nyaris tak kentara.
Prologue II: Night Before Market Garden
16 September 1944
Luar kota Arnhem, Belanda
Daerah Pendudukan Jerman
23:29 GMT
Malam yang sepi di Belanda terobek oleh suara satu wing pesawat pembom malam
Avro Lancaster milik Grup Bomber ke-3 Royal Air Force. Semua pesawat memakai
warna cokelat kehitaman dengan strip hitam putih Normandia pada kedua sayap
masing-masing, dan roundel lingkaran merah di dalam lingkaran biru. Cuaca malam
itu cerah, sedikit banyak memberi harapan bahwa penerbangan akan berlangsung
secara mulus, ditambah lagi dengan fakta bahwa pengeboman Sekutu yang
bertubi-tubi telah melemahkan kekuatan pertahanan udara Jerman di Belanda. Plus
kekuatan pesawat tempur malam Luftwaffe yang pada awal perang menjadi momok
bagi bomber-bomber malam Inggris kini telah berhasil dipatahkan seiring dengan
semakin melemahnya penguasaan Luftwaffe atas langit Eropa pasca pendaratan di
Normandia. Terbukti, semenjak meninggalkan Inggris beberapa jam lalu, belum ada
sambutan dari pihak musuh, baik yang berupa serangan flak maupun cegatan
pesawat pemburu.
Malam ini cukup istimewa, karena besok paginya, pada tanggal 17 September 1944,
Sekutu akan mengadakan salah satu operasi lintas udara terbesar sepanjang
perang setelah Operasi Mercury yang digelar oleh pasukan Fallschrimjager Jerman
dalam merebut Kreta pada tahun 1941 silam. Nama operasi ini adalah Market
Garden, yang merupakan buah pikiran dari commander-in-chief pasukan Inggris,
Field Marshall Bernard Law Montgomery, orang yang sama yang pada 2 tahun lalu
telah mengalahkan salah satu jenderal terbesar Jerman, Erwin Rommel, di El
Alamein, Mesir. Market Garden juga akan menjadi operasi lintas udara terbesar
Sekutu pasca pendaratan di Normandia, dengan tujuan ambisius untuk
memenangkan perang sebelum Natal 1944. Bila berhasil, maka akan terbuka jalur
langsung menembus Rhein dan mengepung wilayah industri Jerman di lembah

sungai Ruhr, mematikan pasokan logistik perang Jerman, dan membuka pintu
langsung menuju Berlin tanpa harus menabrakkan diri ke Siegfried Line Jerman
yang membentang dari Kleve di perbatasan Belanda hingga ke Weil Am Rhein di
perbatasan Swiss.
Tapi dalam grup pembom ini, ada satu bomber yang istimewa, karena di
belakangnya, dia menarik sebuah pesawat layang Waco CG-4A dengan roundel
Army Air Force Amerika Serikat. Walau beberapa tahun belakangan ini Inggris dan
Amerika Serikat sudah bertempur bersama melawan Jerman, namun ditariknya
sebuah glider Amerika Serikat oleh bomber Inggris jelas merupakan sesuatu yang
baru. Antara 8th Air Force Amerika Serikat pimpinan Carl Spaatz dan Bomber
Command Inggris pimpinan Arthur Harris memang memiliki rantai komando yang
terpisah. Namun, Waco CG-4S ini tidak ikut dalam rangka memeriahkan Operasi
Market Garden, karena misi mereka sendiri amat lain dan tak kalah penting.
15 orang yang dibawa oleh pesawat CG-4A bernomor X-044 dipimpin oleh seorang
veteran sekaligus pilot, yaitu Letnan Kirk Hammett, dari 323rd Glider Infantry
Regiment 82nd Airborne. Lt. Hammet mungkin adalah satu-satunya orang dalam
peleton kecil ini yang tahu ke mana mereka akan dibawa. Disebut veteran karena
Lt. Hammett sudah pernah melaksanakan misi serupa ketika di Anzio dan Palermo.
Dan datangnya misi ini juga bukan dari komando 82nd Airborne, melainkan dari
OSS, badan yang menjalankan peran intelijen sepanjang Perang.
Dari 14 belas orang yang bersama Let. Hammett, hanya 4 orang saja yang juga
pernah terjun bersamanya di Anzio dan Palermo, yaitu wakilnya merangkap kopilot,
Technical Sergeant John D Johnny Kowalski, gunner Sergeant James McClusky,
medik T4C Herman Welsh, dan penembak jitu PFC George Running Black Steed
yang juga seorang berdarah Lakota. Lima orang lagi ikut hanya di Anzio, yaitu PFC
Alfred Rizzotti, PFC Santino Marquez, PFC William Billy Jackson, PFC Anthony
Ratty Herzog, dan PFC Ira Carlton. Sisanya adalah rekrutan baru yang dia
dapatkan di Inggris, PSC Patrick Willis, PSC Tommy Loomis, PSC Jason Slime, PSC
Carlos de Santis dan seorang liaison dari British 1st Para, Lance Corporal Lionel
Casterman. Adanya LCp. Casterman yang berdarah Belgia ini cukup penting karena
dia adalah satu-satunya personel di regu ini yang bisa berbahasa Belanda, dan
beberapa bulan terakhir telah menjalin kontak dengan pihak Gerakan Perlawanan
Belanda.
Tak ada suara celotehan dari orang-orang di sini, hanya deru mesin pesawat yang
terdengar memekakkan. Memang Waco CG-4A, sebagai sebuah pesawat layang,
tidak memiliki mesin. Namun bunyi memekakkan ini terdengar dari grup Lancaster
yang terbang di kiri dan kanan mereka. Dengan masing-masing pesawat memiliki 4
mesin, tentu terbang di antara formasi ini menjadi pengalaman yang cukup bising,
bahkan mendengar orang di sebelah berbicara pun susah. Oleh karena itu, orangorang di sana, kecuali pilot dan kopilot memilih untuk tidur, walau di tengah
kebisingan rasanya seperti tidur di bawah rel yang terus menerus dilewati oleh
kereta api.
Mereka sudah memberi sinyal, LT, kata Sgt. Kowalski.
Di mana posisi kita? tanya Lt. Hammett.

Di luar kota antara Arnhem dan Nijmegen, kata Sgt. Kowalski, sasaran kita ada di
sepanjang Sungai Rhine,
Lt. Hammett pun melongok ke bawah ke arah lansekap yang gelap dan monoton.
Namun dia masih bisa melihat bayangan sungai Rhine yang memantulkan cahaya
bintang.
Bersiap untuk melepaskan diri, beri sinyal, kata Lt. Hammett.
Roger that, memberi sinyal, kata Sgt. Kowalski.
Sgt. Kowalski pun menekan tombol dan lampu merah di dalam kabin pun menyala,
membuat semua orang terbangun dan saling membangunkan rekan mereka.
Kemudian mereka segera memakai sabuk pengaman dan menyiapkan senjata.
Rata-rata semua memakai senapan standar infanteri jenis M-1 Garand terutama
yang rekrutan baru. Lt. Hammett, Sgt. Kowalski, T4C Welsh, PFC Rizzotti, PFC
Marquez, dan PFC Carlton sendiri lebih nyaman memakai mitraliur M1A1 Thompson.
Yang berbeda adalah milik Sgt. McClusky yang memakai M1918 B.A.R, PFC Black
Steed yang menggunakan M1903A4 Springfield dilengkapi teleskop Unertl, dan
satu-satunya Englishman, LCp. Casterman yang memilih memakai Sten Mk. III
buatan negaranya sendiri, karena dia tak begitu terlatih menggunakan senjata
Amerika. Sebagai akibatnya, LCp. Casterman harus membawa sendiri semua peluru
9mm yang dia butuhkan. Tapi ini tak masalah, karena kontaknya di Gerakan
Perlawanan Belanda memiliki stok peluru 9mm yang nanti dia butuhkan. Sebagai
catatan, Sten menggunakan peluru 9x19mm Parabellum yang juga digunakan oleh
mitraliur Jerman. Semua senjata pun diletakkan pada posisi di mana tak akan
membahayakan walau terjadi benturan keras dalam pendaratan.
Bersiap untuk melepas, kata Lt. Hammett.
Sgt. Kowalski segera mengatur posisi flaps dan aileron kemudian tangannya bersiap
di kemudi. Begitu dia memberikan aba-aba siap, Lt. Hammett segera menekan
sebuah tombol dan pesawat layang itu pun terlepas dari kabel yang mengaitkannya
pada Lancaster di depannya. Di dalam pesawat, rasanya seperti layangan yang
tiba-tiba terputus. Efek recoil saat kabel dilepas pun membuat semua di dalam CG4A limbung. Tapi keadaan masih kritis, karena mereka kini terhembus oleh angin
yang ditimbulkan oleh baling-baling pesawat Lancaster, bukan Cuma yang di depan,
tapi seluruh Lancaster dalam formasi. Dengan empat mesin, Lancaster memang
menghasilkan daya dorong amat besar bila dibandingkan dengan C-47 Skytrain
yang hanya memakai 2 mesin saja. Vortex yang dihasilkan di dalam formasi itu
membuat CG-4A bergetar bagai mobil yang mengebut di jalanan kasar. Bila tak
segera ditangani, angin akan mengembuskan CG-4A hingga menghantam pesawat
Lancaster di belakangnya, yang mana ini berbahaya terlebih bila menghantam
baling-baling, atau vortex yang terjadi akan merobek struktur kanvas CG-4A, di
mana ini lebih berbahaya lagi.
Tapi dengan ketenangan luar biasa, Lt. Hammett dan Sgt. Kowalski mengemudikan
CG-4A itu melalui arus angin tenang yang ada di tengah-tengah vortex, sedikit demi
sedikit melepaskan diri dari kawanan Lancaster yang bergerak lebih cepat. Lt.
Hammett sempat melihat salah seorang turret-gunner Lancaster geleng-geleng
kepala melihat pesawat layang yang terlihat rapuh di antara para raksasa ini.

Begitu sudah keluar dari area berbahaya, si CG-4A segera menjauh dan terbang
menuju tujuannya sendiri, meninggalkan kawanan Lancaster yang akan bergerak
untuk mengebom suatu tempat di tanah Jerman.
Tanpa suara, dengan hanya mengendarai angin, Lt. Hammett mengendalikan si CG4A menuju titik objektif yang telah ditaklimatkan sebelumnya. Sasarannya adalah
sebuah lapangan terbuka yang sebenarnya cukup sempit di bantaran sungai Rhine,
atau oleh orang Belanda disebut sebagai sungai Rijn. Gerakan Perlawanan Belanda
sudah memastikan bahwa tempat itu cukup aman dan cukup dekat dari tujuan yang
sebenarnya. Lebih dipaksakan lagi, mereka akan masuk jarak pandang sebuah
baterai meriam antipesawat FlaK 38 Flakvierling yang letaknya relatif tersembunyi.
FlaK 38 ini tidak menembaki kawanan Lancaster karena jarak terbangnya terlalu
tinggi. Mereka akan lebih suka menyerahkannya pada baterai FlaK 18 yang jarak
jangkaunya lebih tinggi. Namun peluru 20mm FlaK 38 jelas lebih dari cukup untuk
mengoyak sebuah pesawat layang yang terbang rendah, yang mulai kehilangan
dukungan angin. Permasalahan lainnya adalah pihak Inggris sudah mewanti-wanti
supaya jangan sampai regu kecil ini tertangkap atau tertembak jatuh, karena
sebuah pesawat layang yang ditemukan akan menyiagakan seluruh kekuatan
Jerman di Belanda akan kemungkinan terjadinya invasi, dan ini jelas akan sangat
merugikan pelaksanaan Operasi Market Garden, yang sudah menjadi obsesi bagi
pihak Inggris, terutama Marsekal Montgomery.
Langit pun tiba-tiba menyala, namun bukan karena guntur atau halilintar, melainkan
karena peluru. Artileri antipesawat jarak jauh Jerman telah menangkap adanya
kawanan Lancaster dan kini menembaki buruan mereka dengan gencar untuk
mencegah kawanan pengganggu itu menjatuhkan bomnya ke tanah Jerman. Langit
yang menyala-nyala ini jelas membuat semua orang was-was, karena dengan
begini, siluet mereka akan mudah ketahuan, dan jika satu saja elemen Jerman di
sini ada yang melihatnya, maka alamat kegagalan bagi misi mereka, dan juga
Operasi Market Garden yang akan dilaksanakan esok hari.
Namun langit yang menyala juga memberikan keuntungan bagi Lt. Hammett,
karena kini dia bisa sedikit melihat lansekap di bawahnya, dan terlebih adalah zona
pendaratannya. Pesawat itu dibawanya sejenak menyusur sungai Rijn,
memanfaatkan ground-effect untuk mempertahankan ketinggiannya, lalu setelah
memastikan zona pendaratan, Lt. Hammett segera masuk dan mendaratkan
pesawat itu. Kali ini tanah yang tak rata membuat pendaratan sedikit kasar, namun
pada akhirnya pesawat itu berhasil mendarat tepat di tepi sungai Rijn. Orang-orang
di dalamnya, dalam komando yang berupa bisikan, langsung berloncatan turun dan
segera menyiagakan senjata mereka untuk membuat perimeter. Langit yang
menyala dan berkilat-kilat menerpa wajah mereka bagaikan suasana kembang api
perayaan 4 Juli.
Mereka menunggu dulu beberapa saat dengan senjata siap tembak sebelum
akhirnya memutuskan keadaan aman dan Jerman hanya melihat kawanan
Lancaster, tidak lebih. Lt. Hammett, Sgt. Kowalski, dibantu Sgt. McClusky dan PFC
Rizzotti dengan segera merusak pesawat layang yang tadi membawa mereka dan
menjatuhkannya hingga tenggelam ke dalam sungai Rijn. Seperti telah tadi
dikatakan, tak boleh ada bukti yang akan membuat Jerman berpikir bahwa akan ada
invasi skala besar dari Sekutu. Tentu saja semua perbekalan sudah terlebih dulu

dikeluarkan sebelum pesawat itu ditenggelamkan. Dengan membawa itu, ke-15


orang ini bergerak ke dalam lindungan semak-semak di tepi sungai.
Lt. Hammett mengambil sebuah senter hijau, kemudian menggelar sebuah peta
kecil di tanah, dan semua mengerumuninya kecuali beberapa orang yang berjaga.
Seharusnya kita ada di sini, dan target kita di sini, 2 klik ke arah timur, kata Lt.
Hammett.
Apakah OSS masih menyuruh kita melakukan hal sama yang kita lakukan di biara
Palermo atau Anzio? tanya Sgt. Kowalski.
Benar, Kowalski, misinya sama, kata Lt. Hammett.
Tapi apa kali ini benar? Dua kali kita menyerbu biara di Anzio dan Palermo, dan dua
kali kita gagal menemukan artefak yang disebutkan oleh OSS, kata Sgt. Kowalski,
kalau yang ini meleset juga, seharusnya tadi kita bergabung saja dengan rekanrekan Divisi 82nd yang akan menyerbu Nijmegen besok,
OSS mengatakan kali ini informasi mereka valid, kata Lt. Hammett, mereka telah
menganalisa laporan yang diberikan oleh Gerakan Perlawanan Belanda; akan ada
pengiriman barang yang tak diketahui di sini malam ini, tempat itu jauh dari
konsentrasi kekuatan Jerman di Utara dan Tenggara, jadi OSS menduga tak akan
ada banyak orang,
Sepertinya Himmler menyembunyikannya, bahkan dari bangsanya sendiri, kata
Sgt. Kowalski.
Ada rumor bahwa Himmler meminta perintah khusus dari Hitler untuk melakukan
ini di luar sepengetahuan Wehrmacht atau pimpinan Waffen SS lain, kata Lt.
Hammett, laporan Gerakan Perlawanan Belanda menyatakan bahwa keseluruhan
operasi kecil ini berada sepenuhnya di tangan Ahnenerbe, dan tak ada elemen SS
lain yang terlibat,
Kalau sudah menyebut Ahnenerbe biasanya valid, kata Sgt. Kowalski, tapi
menyebut soal orang Belanda, kapan kontak kita akan menemui kita?
Bagaimana, Lance Corporal Casterman? tanya Lt. Hammett.
Mereka akan menemui kita dengan sandi yang telah disepakati sebentar lagi, kata
LCp. Casterman dengan logat Inggrisnya yang kental.
Bagus, karena bila tidak, maka kita tamat, kata Lt. Hammett.
Ada orang! bisik PFC George Running Black Steed.
Dengan cepat lampu pun dimatikan kemudian semua senjata disiapkan dan
diarahkan ke tempat datangnya si orang itu. Tak ada yang bergerak atau berbicara,
hanya mata dan jari yang waspada, siap untuk menyerang andai keadaan
mengharuskan begitu.
Dan dari tengah keheningan malam, terdengar suara berderit seperti sebuah roda
gigi yang berputar. Ini tentu membuat semua semakin tegang, karena roda gigi bisa
berarti ada sebuah kendaraan lapis baja yang mendekat. Namun setelah didengar
dengan saksama, tak ada suara geraman mesin diesel, sehingga kemungkinannya
hanya tinggal satu: sebuah sepeda. Tapi itu tetap tak mengendurkan kewaspadaan,
karena patroli Jerman pun bisa saja naik sepeda.
Dalam ketegangan, akhirnya tampaklah si empunya sepeda, yaitu seorang yang
terhitung masih bocah. Lt. Hammett pun memberi tanda agar jangan terburu-buru
menembak.

Corporal, apa dia kontak kita? tanya Lt. Hammett.


Kodenya adalah bunga tulip, kata LCp. Casterman, jika dia membawa bunga
tulip, maka dia adalah kontak kita,
Semua mata pun menatap dengan liar ke arah bocah itu. Sebagian melihatnya dari
balik aperture pejera, dan pada jarak ini, mereka yakin tak akan meleset. SI bocah
sendiri tampak tak takut walau bersepeda malam-malam di tempat seperti ini,
meski ini pun sudah cukup mengkhawatirkan, karena bila dia bertemu patroli
Jerman, dia pasti langsung ditembak. Jerman sudah cukup menderita dengan aksiaksi sabotase dan pembunuhan yang dilakukan oleh Gerakan Perlawanan Belanda,
cukup untuk membuat mereka bersikap tembak dulu tanya kemudian.
Bocah yang tampak tanggung itu berhenti, kemudian dari keranjang yang dia bawa
di depan sepeda, dia mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti tunas bunga tulip.
Tulip adalah bunga yang cukup mahal, dan tak semua orang, bahkan di Belanda
sekalipun bisa memilikinya. Dan di bawah cahaya pelita yang ada di sepeda, si
bocah dengan jelas membawa tiga jenis tunas tulip, satu warna merah, satu putih,
dan satunya biru. Warna-warna ini bila digabungkan adalah warna dari bendera
Amerika Serikat, Inggris Raya, dan juga Belanda, dan membawa bunga tulip dengan
warna-warna ini jelas sesuatu yang subversif di mata Jerman. Hanya orang
pemberani saja yang mau membawa warna-warna ini malam-malam begini di
tengah-tengah wilayah Jerman.
Dia kontak kita, Letnan, kata LCp. Casterman.
Baik, mari temui dia, Corporal, kata Lt. Hammett, tapi ingat, di depan orangorang Belanda itu, jangan sekali-kali menyebut soal artefak; kita di sini untuk
mengambil dokumen,
Siap, Pak, kata semua orang.
Dengan hati-hati, LCp. Casterman menurunkan Sten yang dibawanya, kemudian
keluar dari persembunyiannya. Si bocah tentu saja terkejut dengan munculnya LCp.
Casterman yang tiba-tiba entah dari mana.
Duitse vlag is zwart, Jongen, kata LCp. Casterman.
Si bocah tampak takut dan menelan ludah saat LCp. Casterman mendekat. LCp.
Casterman sendiri tetap menyiagakan Sten-nya untuk menjaga semua
kemungkinan.
Rood, wit, en blauw is mijn vlag, kata si bocah.
Niederlander? tanya LCp. Casterman.
Ja, Engelsman? kata si bocah balik bertanya.
En Amerikaanse, jawab LCp. Casterman sambil memberi isyarat kepada semua di
persembunyian untuk keluar, spreken English?
Sedikit, kata si bocah.
Bagus, aku Lance Corporal Casterman, bersama rekan-rekan Yankee, kata LCp.
Casterman.

Emil Zandt, kata si bocah memperkenalkan diri, cepat ikut aku, walau wilayah ini
berada di bawah pengawasan Gerakan Perlawanan Belanda, tapi patroli Jerman
masih sesekali melewati jalan ini,
Tanpa buang waktu, semua pun segera berjalan mengikuti si bocah yang bernama
Emil Zandt ini. Senjata tetap disiagakan, karena seperti dikatakan oleh Emil Zandt,
patroli Jerman masih sesekali melewati area ini. Tapi dengan semakin intensifnya
aksi dari Gerakan Perlawanan Belanda, Jerman tak berani ambil risiko mengirim
patroli kecil ke wilayah panas. Bila ada patroli, tentulah dilakukan setidaknya
dengan dukungan kendaraan dan senapan mesin ringan.
Di mana titik pertemuannya? tanya Lt. Hammett pada Emil Zandt.
Dekat sini, di rumah pertanian blok berikutnya, kata Emil Zandt, komandan kami
adalah orang dari K.N.B.P.I (Koninklijke Nederlandse Brigade Prinses Irene),
namanya Kapitein Piet Kontermans,
Apa Captain Kontermans sudah mempersiapkan semua yang kami perlukan?
tanya Lt. Hammett.
Ya, dan kalian bisa bicara dengannya nanti, kata Emil Zandt.
Bagus, karena waktu kita sempit, kata Lt. Hammett.
Tak beberapa lama, mereka pun sampai di rumah pertanian yang disebutkan oleh
Emil Zandt, dan bertindak sebagai pembuka langkah, Emil Zandt mengetuk pintu
salah satu rumah pertanian dengan nada tertentu. Pintu dibuka dan seseorang di
dalamnya menyuruh semua orang untuk segera masuk. Seperti yang lain, rumah itu
cukup gelap karena lampu sengaja dimatikan, dan orang yang tadi menyambut
mereka segera meminta semua untuk turun ke ruang bawah tanah yang biasa
dipakai sebagai gudang penyimpanan. Di sana, suasana cukup terang karena ada
satu bohlam yang menyala. Di dalam ruang itu ada seorang pria berkumis tipis
yang berdiri tegap di dekat sebuah meja di bawah lampu. Dari sikapnya, Lt.
Hammett menduga pria ini orang militer juga.
Kapitein, dit is de Englesman en Amerikaanse, kata Emil Zandt, zijn naam is
Luitenant Hammett en Korporaal Casterman uit Royal Army,
Dank u, Emil, kata orang itu, nu zitten,
Emil Zandt mengangguk kemudian duduk di dekat tembok, sementara Lt. Hammett
dan si orang berkumis itu saling berhadapan.
Namaku adalah Piet Kontermans, Kapitein Piet Kontermans dari Prinses Irene
Brigade, kata si pria berkumis, aku di sini mengkoordinasikan Gerakan
Perlawanan Belanda di wilayah tepian Rijn dekat Arnhem,
Lieutenant Kirk Hammett, 82nd Airborne, kata Lt. Hammett, aku yakin pihak OSS
sudah memberi tahu alasan kami ada di sini,
Ya, Luitenant, meski aku ingin tahu ada urusan apa sampai OSS repot-repot
mengirim Airborne untuk mengambil sebuah dokumen, kata Kpt. Kontermans.
Dokumen itu penting bagi Hitler untuk bisa memenangkan perang, dan apa pun
yang penting bagi Hitler, kurasa penting juga bagi Sekutu, kata Lt. Hammett, dan
semakin kuat alasan kita untuk mengambilnya dari Hitler,
Ya, tapi kurasa kita cukup bisa memusnahkannya, kata Kpt. Kontermans,
beberapa hari belakangan pemboman dari Inggris cukup intens, banyak Lancaster

dan Mosquito; salah satunya bisa diperintahkan untuk menghancurkan dokumen itu
dari udara,
Karena isi dokumen itu juga penting bagi kita, Captain, kata LCp. Casterman,
kabarnya Hitler membutuhkan itu untuk memenangkan perang, jadi bila kita
mendapatkannya lebih dulu, kita bisa memenangi perang ini sebelum Hitler,
Baiklah, cukup adil, dan di mana peran kami orang Belanda dalam rencana ini?
tanya Kpt. Kontermans.
Seperti yang telah disepakati sebelumnya, kata Lt. Hammett, bantu kami dalam
persiapan dan ekstraksi serta menyediakan transportasi aman ke Antwerp; sisanya
serahkan pada kami,
Baiklah, maka sebaiknya kita segera menuju ke sasaran kalian, kata Kpt.
Kontermans, semua ada di peta ini,
Kpt. Kontermans menunjuk peta supaya Lt. Hammett bisa melihatnya.
Target kalian adalah ini, sebuah bekas gereja yang hancur pada pemboman
pertama Jerman saat menguasai Belanda, 4 tahun silam, kata Kpt. Kontermans,
dan sejak saat itu, gereja ini dipakai Jerman utamanya sebagai tempat
penumpukan logistik serta hasil rampasan atau jarahan mereka dari desa-desa
sekitar; sempat dikosongkan saat menjadi sasaran tembak dari pesawat Mosquito
Inggris, namun baru kemarin ada elemen Jerman yang kembali ke sana dan
mengubahnya menjadi tempat berpenjagaan ketat,
Bagaimana penjagaannya? tanya Lt. Hammett.
Laporan kemarin menunjukkan tiga sarang mesin di sini, sini, dan sini,
kemungkinan MG-42, dan beberapa orang prajurit bersenjata lengkap, mungkin
sekitar 50 orang; kebanyakan memakai Karabiner 98 dan MP40, kata Kpt.
Kontermans, tapi yang agak aneh adalah mereka tidak memakai simbol kesatuan
Wehrmacht atau pun Waffen SS, melainkan simbol pedang yang dibalut pita,
Ahnenerbe, kata Lt. Hammett, apa ada simbol lain?
Ya, beberapa perwira juga memasang emblem tengkorak yang dihunus oleh dua
pedang, kata Kpt. Kontermans.
Lt. Hammett terhenyak sejenak mendengar keterangan itu.
Apa mereka perwira Totenkopf? tanya LCp. Casterman.
Bukan, itu perwira dari salah satu pimpinan Ahnenerbe, kata Lt. Hammett, dia
dikenal sebagai Silberneschadel, atau Tengkorak Perak karena dia selalu
menggunakan topeng perak berbentuk tengkorak,
Siapa dia? tanya LCp. Casterman.
Wajah aslinya tak ada yang tahu, bahkan jabatannya di Ahnenerbe sendiri masih
misteri, kata Lt. Hammett, menurut data dari OSS nama aslinya adalah Johann
Schlosser, dan dipercaya bahwa di Ahnenerbe, dia adalah tangan kanan langsung
dari Himmler,
Apa urusan Ahnenerbe di sini, kukira mereka hanya mengurusi masalah bendabenda purbakala, kata Kpt. Kontermans.
Itu bukan untuk kau ketahui, Captain, pastinya OSS sudah mengatakan bahwa
dokumen yang kita inginkan dipegang oleh orang ini, kata Lt. Hammett, maka
target kita adalah orang ini, seandainya dia di sini,
Kalau pun benar, LT, kita masih harus menghadapi 50 orang bersenjata lengkap di
sana, kata Sgt. Kowalski, dan jujur saja, peluang 15 lawan 50 tak begitu bagus,

Ya, aku juga memikirkan soal itu, kata Lt. Hammett, akan amat berbahaya bila
kita tertahan, seberapa dekat posisi Jerman dari target?
Ada beberapa elemen dari Fallschrimjager di jarak beberapa kilometer, tapi yang
paling berbahaya adalah ini, konsentrasi dari 2nd SS Panzer Corps di bawah Wilhelm
Bittrich, yang isinya adalah elemen dari 9th Panzer Division Hohenstaufen dan 10th
SS Panzer Division Frundsberg yang masih memiliki kekuatan lapis baja yang utuh,
kata Kpt. Kontermans, semua di bawah komando dari Marsekal Model yang
bermarkas di sini, Oosterbek, 10 kilometer dari sasaran,
Astaga, itu kekuatan yang besar sekali, dan terlalu dekat dengan Arnhem, kata
LCp. Casterman, Leftenant, bila Korps Lapis Baja XXX terhambat perjalanannya di
Selatan, maka posisi 1st Parachute Brigade yang akan terjun di Arnhem akan amat
berbahaya; mereka tak memiliki senjata untuk menghadapi Korps Lapis Baja
Jerman,
Apakah di sini ada radio, Captain? tanya Lt. Hammett.
Bukan di sini, tapi di markas lain, kata Kpt. Kontermans, ada yang ingin kau
kabarkan?
Ya, tolong berikan pesan kepada Royal Air Force dan sebutkan posisi dari 2nd SS
Panzer Corps supaya mereka waspada, kata Lt. Hammett.
Baik, aku akan menyuruh kurir, kata Kpt. Kontermans.
Dan aku ingin minta setidaknya 10 orang darimu untuk membantuku, kata Lt.
Hammett, bila kami terlalu lama dalam menguasai target, maka kamilah yang
akan tamat,
Baik, aku akan siapkan 10 orang, tapi berhubung beberapa pasukan kami tersebar,
maka terpaksa kami hanya bisa memberikan seadanya, kata Kpt. Kontermans.
Tak masalah, setidaknya bisa membantu kami menjaga perimeter, kata Lt.
Hammett.
Kpt. Kontermans mengangguk kemudian memberi isyarat pada Emil Zandt.
Emil, bijeenroepen van Kloop, Wisel, IJsendorf, de Jong, Boer, Witt, van der Hoeven,
en Fahrenhoof, kata Kpt. Kontermans, zal toetreden tot de strijd,
Ik ook? tanya Emil Zandt berbinar-binar.
Ons allemaal, kata Kpt. Kontermans.
Dengan segera Emil Zandt segera beranjak dan keluar ruangan.
Kau akan mengajaknya juga? tanya LCp. Casterman.
Dia adalah salah satu penembak terbaik kami, kata Kpt. Kontermans, kau harus
melihatnya saat dia menembak salah satu kapten Jerman itu dari jarak 1 kilometer,
Kita tak punya banyak pilihan juga, Corporal, kata Lt. Hammett.
Kurasa kau benar, kata LCp. Casterman.
Captain, bagaimana dengan ekstraksinya? tanya Lt. Hammett.
Soal itu sebaiknya kau bicara dengan Heer Smitt, kata Kpt. Kontermans.
Dan entah datang dari mana, seorang yang sudah separuh baya dan rambutnya
sudah memerak sudah ada di ruangan itu. Dia berjalan dengan sedikit agak pincang
dan tangannya gemetaran, namun entah kenapa Lt. Hammett merasa penampilan
pria ini tak seperti yang terlihat.

Johannes Smitt, dari Binnenlandse Strijdkrachten, kata pria itu memperkenalkan


diri, atau kalian lebih suka menyebutnya dengan Gerakan Perlawanan Belanda,
Dia menjabat tangan Lt. Hammett dan terasa sekali walau gemetaran, namun jabat
tangannya mantap, menunjukkan masih ada kekuatan yang cukup besar di dalam
tangannya. Mata si pria yang bernama Johannes Smitt ini juga tajam, mirip mata
seorang pemburu. Dan yang paling menarik perhatian Lt. Hammett adalah bahwa
Kpt. Kontermans sepertinya takzim dengan si van Smit ini, menunjukkan bahwa
orang ini pastilah tidak main-main.
John Smith? tanya Lt. Hammett.
Memang Johannes Smitt dalam bahasa Inggris bisa disebut sebagai John Smith. Dan
John Smith adalah nama yang cukup umum dipakai sehingga Lt. Hammett ragu
bahwa mungkin nama itu bukanlah nama aslinya.
Dalam posisiku, kau tak ingin namamu diketahui, Luitenant, kata Johannes Smitt.
Heer Smitt ini adalah kepala sektor di Arnhem dan Oosterbek, kata Kpt.
Kontermans, seluruh wilayah ini di bawah kepemimpinannya,
Kukira kaulah pemimpinnya, Captain Kontermans? tanya Lt. Hammett.
Aku hanyalah orang yang ditugaskan oleh P.I.B untuk mengampu pasukan di sini,
melatih mereka supaya memiliki kemampuan tempur yang mumpuni untuk
melawan Jerman, kata Kpt. Kontermans.
Dan dia melakukannya dengan amat baik, kata Johannes Smitt, pasukanku
adalah salah satu yang terbaik, dan di wilayah ini kami memberi mimpi buruk bagi
Jerman,
Baiklah, Heer Smitt, bagaimana rencanamu untuk ekstraksi? tanya Lt. Hammett.
Kami akan siapkan sebuah truk yang bisa disamarkan sebagai truk Jerman, kata
Johannes Smitt, aku sendiri yang akan mengemudikan truk itu,
Melewati pos Jerman? tanya Lt. Hammett.
Bahasa Jerman-ku cukup baik, kata Johannes Smitt, lagi pula kita akan melewati
wilayah yang akan dijaga oleh 13th Batallion dari 23rd SS Panzergrenadier
Nederland; seluruh batalion itu berpihak kepada kita, hanya saja mereka belum
berani memberontak karena kehadiran 2nd SS Panzer Corps. Itu adalah sisa-sisa
batalion yang tak dibawa oleh Seyffardt ke Front Timur, ditambah ada lagi Resimen
Grenadier ke-85 dari 34th SS Friwilligen Landstorm Nederland, yang juga berpihak
pada kita,
Tenanglah, masa bersembunyi sudah hampir usai, kata LCp. Casterman, setelah
Sekutu menyerang, maka batalion kalian boleh membuang senjata dan bergabung
dengan Sekutu,
Aku senang kalau begitu, dan kurasa mereka pun akan senang, kata Johannes
Smitt, tapi kita bicarakan itu nanti, sekarang aku akan menyiapkan transportasi
kalian, dan kurasa kalian harus pergi bersama Kpt. Kontermans,
Baiklah, terima kasih atas bantuannya, Heer Smitt, kata Lt. Hammett.
Tak masalah, Luitenant, cukup usir saja para babi Jerman itu dari tanah ini, kata
Johannes Smitt, veel succes,
Johannes Smitt pun segera meninggalkan tempat itu, sementara Lt. Hammett
beserta regunya naik bersama Kpt. Kontermans. Di luar rumah, 8 orang yang
diminta oleh Kpt. Kontermans sudah berkumpul, dan masing-masing membawa

senjata. Rata-rata senjata yang dibawa adalah Lee-Enfield No. 4 yang memang
banyak sekali dipasok oleh Inggris kepada Gerakan Perlawanan Belanda. Turut juga
adalah Emil Zandt yang tengah mengisi magasin pada Lee-Enfield yang dia pegang.
Satu-satunya yang berbeda adalah Kpt. Kontermans, karena dia membawa Sten Mk.
III, sama seperti LCp. Casterman. Bahkan Kpt. Kontermans memberi ekstra magasin
Sten pada LCp. Casterman. Selain para infanteri, tak ada yang memakai seragam,
karena sifat mereka yang merupakan partisan, bukan tentara reguler.
Waktu semakin sempit, ayo kita berangkat, kata Lt. Hammett, kalian berada di
bawah komandoku sekarang, tolong tunjukkan jalannya,
Emil, pimpin jalannya, kau yang paling mengerti wilayah ini, kata Kpt.
Kontermans.
Siap, Pak, kata Emil Zandt tersenyum senang.
Keduapuluhlima orang itu pun segera bergerak sambil berjalan kaki berlindungkan
keheningan malam. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 pagi dan mereka harus
sudah menyelesaikan misi tepat pada pukul 05.00 nanti, artinya tak boleh ada
hambatan dalam misi kali ini atau akibatnya akan fatal. Dalam perjalanan, mereka
tetap harus berhati-hati siapa tahu bertemu dengan patroli Jerman, namun hingga
setengah jalan lebih, tak ada tanda-tanda Jerman melakukan patroli. Ini sedikit
banyak membuat Lt. Hammett merasa agak aneh, meski Kpt. Kontermans
menegaskan bahwa di wilayah ini, aksi dari Gerakan Perlawanan Belanda cukup
intens sehingga Jerman hanya berani berdiam di pos-nya saja.
Kekhawatiran Lt. Hammett yang kedua adalah keberadaan 2nd SS Panzer Corps
yang berada tak jauh dari Arnhem di bawah pimpinan Wilhelm Bittrich yang
menginduk pada Feldmarschall Walther Model, salah satu jenderal top di Jerman.
Kali ini lebih pada nasib pasukan invasi Sekutu yang besok akan terjun dalam
Operasi Market Garden. 2nd SS Panzer Corps terdiri dari dua divisi elite, yaitu 9th SS
Hohenstaufen dan 10th SS Frundsberg, yang meskipun kekuatannya sudah
berkurang semenjak petaka di Falaise Pocket, namun masih menjanjikan
perlawanan yang cukup hebat. Apalagi seperti tadi disebutkan oleh LCp. Casterman,
1st Parachute Brigade yang akan diturunkan di Arnhem, dan akan langsung beradu
otot dengan 2nd SS Panzer Corps tidak memiliki senjata antitank yang memadai.
Bila Army Corps XXX tidak bisa sampai di Arnhem tepat waktu, maka alamat buruk
bagi 1st Parachute Brigade, karena mereka yang akan paling lama harus menahan
serangan Jerman.
Harapan satu-satunya adalah Royal Air Force akan menerima laporan mereka
mengenai keberadaan 2nd SS Panzer Corps, dan mengirimkan pesawat-pesawat
serang-nya untuk menghabisi tank-tank 2nd SS Panzer Corps yang memang amat
berbahaya. Bila RAF bisa turut campur tepat pada waktunya, maka situasi akan
lebih ringan, karena RAF punya pesawat-pesawat penghancur tank semacam
Blenheim, Mosquito, dan Typhoon. Ditambah lagi perlawanan dari Luftwaffe
diperkirakan akan minimum, itu pun mereka harus terlebih dulu menghadapi
pesawat pemburu kawal semacam Spitfire yang jelas akan melindungi pesawatpesawat serang mereka.
Satu setengah jam kemudian, mereka pun sampai pada target mereka, gereja yang
sebagian bangunannya sudah tak utuh, katanya akibat terkena bom Jerman saat
Jerman menjajah Belanda pada tahun 1940 lalu. Lt. Hammett dengan saksama

melihat gereja yang besar itu dengan teropongnya, Bila tidak hancur atau
compang-camping di sana sini, tentulah itu gereja yang besar dan bagus, dengan
tembok setinggi 1,5 meter mengelilinginya. Tapi kini hanya berupa bangunan yang
sudah tidak utuh dan bolong di sana-sini, bahkan tembok yang semula mungkin
mengelilingi gereja itu dengan indah kini sudah tinggal beberapa segmen saja yang
masih tersisa di tempatnya. Tapi di reruntuhan itulah pasukan Jerman, yang dikenali
sebagai Ahnenerbe membuat pertahanannya.
Ada empat sarang senapan mesin MG-42 dengan posisi tiga di bawah membentuk
segitiga yang melindungi bangunan utama, dan satu di atas atap bangunan. Dari
personel yang masih bersiap-siap, terlihat bahwa pertahanan itu belum lama
dibangun. Semua masih sibuk di luar membuat defilade, yang anehnya, bila dilihat
sepintas bentuknya mengelilingi gereja. Memang aneh, karena biasanya pasti ada
jalan belakang yang dibiarkan tak dijaga, tapi ini rapat, menandakan bahwa siapa
pun yang ada di sini mengharapkan terjadinya serangan dari semua sisi, yang mana
ini aneh karena pada sisi seberang adalah wilayah yang dijaga oleh Jerman, jarang
sekali ada serangan yang akan muncul dari sana, pun satu sarang senapan mesin
mengarahkan moncongnya ke arah kuadran itu. Padahal sebenarnya mereka bisa
mengkonsentrasikan sarang senapan mesin ke kuadran yang paling berbahaya saja.
Siapa pun yang menatanya, tentulah orang bodoh, atau jangan-jangan mereka juga
takut akan diserang dari garis Jerman juga? Tentunya itu ketakutan yang tak
beralasan. Untuk apa Jerman saling membunuh pada saat tengah terdesak oleh
Sekutu seperti sekarang ini?
Ada tiga truk di bagian depan, kata Sgt. Kowalski yang juga melihat memakai
teropong, kalau dilihat dari gelagatnya sepertinya mereka siap untuk berpindah,
Tapi mereka baru saja sampai, untuk apa mereka berpindah lagi? tanya Kpt.
Kontermans.
Entahlah, tapi itu artinya waktu kita yang sedikit sudah semakin sempit, kata Lt.
Hammett, George, kau di mana?
PFC George Black Steed pun maju sambil membawa senapan M1903A4-nya yang
dilengkapi teleskop Unertl.
George, kau lihat yang di atas atap itu? tanya Lt. Hammett.
Ya, LT, jawab George Black Steed, aku melihatnya dengan jelas,
Bagus, itu harus kaulenyapkan dulu karena paling berbahaya, selanjutnya mulai
bersihkan sarang senapan mesin dari kiri ke kanan, kata Lt. Hammett, kami akan
mulai menyerang dari tembakan pertamamu,
Siap, LT, kata George Black Steed.
Bentuk 4 tim, masing-masing menangani dua sarang senapan mesin, buat gerakan
mengapit, kata Lt. Hammett, siapkan granat, pada jarak lempar segera habisi
dengan granat,
Lt. Hammett pun membagi pasukannya menjadi 5 regu, masing-masing 3 orang.
Satu regu, yaitu Sgt. McClusky, PFC Black Steed, dan PSC Willis akan menjadi baseof-fire, bersama dengan rekan-rekan mereka dari Belanda. Total ada dua base-offire, dengan masing-masing memiliki penembak jitu, yaitu PFC Black Steed dan si
pemuda Emil Zandt. Sisanya akan menyerbu perkubuan Jerman itu habis-habisan
dengan mengandalkan perlindungan dari base-of-fire. Terlebih dahulu Lt. Hammett

memberi instruksi siapa-siapa saja yang harus ditembak dulu, sehingga saat tiba
saatnya, setidaknya 30% musuh sudah berhasil dieliminasi sebelum regu Lt.
Hammett menyerbu.
Untuk para runner, bawa magasin dan senjata saja, sisanya tinggalkan di sini,
kata Lt. Hammett, Jackson, pasang granat M7-mu, kita akan membutuhkannya,
Aye, LT, kata PFC Jackson yang langsung memasang spigot peluncur granat M7
pada M1 Garand-nya.
Bagus, George, kapan pun kau siap, kata Lt. Hammett.
George tidak menjawab, matanya kini sudah sepenuhnya berfokus pada sasarannya
yang terlihat dari teleskop Unertl-nya. Orang Lakota memang sejak dulu dikenal
memiliki mata yang tajam, bahkan kepiawaian mereka dalam menembak diakui
oleh Pasukan Amerika Serikat pada masa Manifest Destiny. Sasaran George Black
Steed kali ini terkunci pada operator senapan mesin MG-42 di atas atap. Posisi itu
amat strategis karena bisa menembak ke semua arah sekaligus. Dan malam ini,
tanpa adanya angin dan cuaca yang relative cerah, seolah alam pun membantu
George Black Steed untuk melaksanakan misinya. Dan
DOOR!!
Bunyi letusan senapan M1903A4 memecah keheningan malam dan si operator MG42 di atap langsung jatuh ke bawah dengan kepala berlubang. Masih kaget,
rekannya pun langsung mengalami nasib serupa sebelum sempat berpikir. Letusan
itu segera disusul letusan lain, baik dari M1 Garand, maupun dari Lee-Enfield, dan
para prajurit Jerman yang memang tidak siap langsung bertumbangan satu per
satu. Lainnya dengan panik segera menuju pada posisi pertahanan masing-masing,
santapan empuk bagi George dan juga Emil Zandt.
Para runner pun segera maju ke posisi sasaran mereka, dan berlindung di balik
gundukan tanah ketika senapan mesin Jerman akhirnya menyalak. Tidak beberapa
lama, suara tembakan senapan Kar98K pun menyusul bertalu-talu. Sgt. McClusky
segera membalas dengan memberondongkan B.A.R-nya ke salah satu posisi sarang
senapan mesin. Dia bekerja amat rancak dengan PSC Willis yang menjadi loader.
Apiknya kerjasama ini membuat kelemahan B.A.R yang hanya memakai magasin 20
peluru, alih-alih rantai peluru seperti milik MG-42, tidak begitu terasa. Di sisi lain,
para pejuang Belanda menghujani posisi senapan mesin Jerman lainnya dengan
tembakan beruntun yang dilakukan oleh 5 pemegang Lee-Enfield. Orkestrasi
penembakan ini begitu tanpa cela sehingga seolah-olah mereka memiliki senapan
mesin alih-alih senapan kokang.
Peluru-peluru Jerman pun berjatuhan di tanah, melemparkan butiran-butiran tanah
tempat Lt. Hammett dan sub-regu-nya berlindung. Gundukan tanah itu terasa amat
rapuh diterjang peluru senapan mesin MG-42, membuat Lt. Hammett tidak bisa
bergerak lebih maju lagi.
Jackson, gunakan granat senapan-mu! kata Lt. Hammett.
Jackson pun segera memasukkan granat M7 pada spigot di ujung laras M1 Garandnya, kemudian memasukkan peluru balistite tanpa proyektil, dan menyiagakannya

dalam sudut 45 derajat dan popor ditahankan ke tanah. Lt. Hammett segera
memberi komando lewat isyarat tangan dan pelatuk pun ditekan. Letusan peluru
balistite segera meluncurkan granat M7 bagai mortir, dan meledak tepat ketika
menghantam di posisi belakang sarang senapan mesin. Tentara Jerman yang berada
di jarak dekat ledakan langsung tewas seketika, dan MG-42 itu berhenti menembak.
Maju! Maju! kata Lt. Hammett.
Dua tim yang ditugaskan merangsek ke arah senapan mesin itu langsung saja
beranjak dan menyerbu sebelum ada orang lain yang menggantikan posisi
penembak MG-42. Tanpa dukungan tembakan di atas, lumpuhnya satu sarang ini
benar-benar menjadi lubang yang menganga. Lt. Hammett yang sampai terlebih
dahulu di mulut defilade segera menembakkan Thompson-nya ke arah tentara
Jerman yang baru saja tiba untuk mengambil alih posisi senapan mesin yang
kosong.
Dua hingga tiga ledakan lagi terdengar, dan kali ini tim Sgt. Kowalski telah
melemparkan granat ke sarang senapan mesin satunya. Dua debuman granat lagi
bahkan melemparkan MG-42-nya hingga terlihat jelas di udara. Dengan cepat
tembak menembak jarak jauh pun menjadi jarak dekat setelah baik tim Lt.
Hammett dan Sgt. Kowalski masuk ke garis Jerman.
George, aku dan Willis akan maju! kata Sgt. McClusky.
Majulah, Sarge, aku akan berjaga di sini, kata George Black Steed.
Baik, George, lindungi kami, kata Sgt. McClusky yang langsung mengambil B.A.Rnya dan langsung ikut menyerbu bersama PSC Willis.
Jerman langsung memberi perlawanan sengit pada penyerbu yang masuk ke
perimeter mereka, namun hasilnya sudah jelas. Tembakan sana sini dan ditambah
kegigihan para penyerang, akhirnya dalam tempo hanya 15 menit semenjak George
pertama kali menembak, seluruh gereja itu sudah berhasil dilumpuhkan. Tim Sgt.
Kowalski bahkan berhasil masuk ke dalam gereja dan menawan semua perwira
yang ada di dalamnya. Beberapa Jerman yang tidak mati pun di luar kini sudah
meringkuk berkumpul di bawah todongan senjata para prajurit Amerika maupun
orang-orang Belanda. Setelah situasi aman, Kpt. Piet Kontermans pun mendekati Lt.
Hammett yang sedang memeriksa situasi pasca-serangan.
Bagaimana laporan korban, Captain? tanya Lt. Hammett.
Di pihak kami hanya beberapa yang luka ringan, kata Kpt. Kontermans, dan satu
orang gugur,
Gugur? Siapa? tanya Lt. Hammett.
Emil Zandt, kata Kpt. Kontermans lirih, sepertinya dia terkena peluru nyasar,
Ya ampun, kata Lt. Hammett sambil menarik napas panjang.
Sudahlah, dia mati dengan gagah berani, kata Kpt. Kontermans.
Dari nada bicaranya, sepertinya Kpt. Kontermans juga sering mengalami peristiwa
anak buahnya mati, sehingga dia cenderung bisa menerima satu lagi kematian.
Bagaimana denganmu, Luitenant, kata Kpt. Kontermans.

Casterman tertembak di kaki, dia yang paling parah, kata Lt Hammett, lainnya
hanya luka ringan, dan medis-ku sedang merawatnya,
Baguslah kalau begitu, kata Kpt. Kontermans.
Pembicaraan mereka terhenti ketika PFC Loomis, yang ikut dalam tim Sgt. Kowalski
yang menyerbu ke dalam gereja, melapor pada Lt. Hammett.
Pak, Sgt. Kowalski meminta Anda untuk segera ke dalam, kata PFC Loomis,
mungkin Anda ingin menanyai tawanan,
Baiklah, kata Lt. Hammett, Maaf, Captain, aku harus masuk, bisa tolong jaga
situasi di luar?
Ya, tentu saja, aku sekalian memberi tahu Heer Smitt untuk memulai prosedur
ekstraksi,
Terima kasih, Captain, kata Lt. Hammett.
Lt. Hammett menghormat pada Kpt. Kontermans, kemudian dia bersama dengan
PFC Loomis segera masuk ke dalam gereja. Semua itu tak luput dari pandangan
retikula teleskop Unertl George Black Steed yang memang belum beranjak,
mengawasi andai ada masalah. Untuk menenangkan diri, George pun mengambil
sebatang rokok yang ada di sakunya. Dalam keadaan tempur, tak mungkin dia bisa
merokok sebebas ini. Dia pun mulai menyalakan pemantiknya.
Hati-hati kalau merokok, George, kata Sgt. McClusky dari jauh di dekat gereja,
kami bisa melihat apimu dari sini, dan jika aku tak tahu kau ada di sana, aku pasti
sudah menembakmu,
Kau tak akan bisa menembakku, Sarge, balas George, tidak bila aku bisa
menembakmu dulu,
Aku tak akan mendebat itu, kata Sgt. McClusky sambil tertawa, sudahlah, nikmati
saja rokokmu, tapi waspadalah,
Tentu saja, Sarge, kata George.
George segera mengisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya
sambil menenangkan diri. Dia tak sadar ada orang yang tengah mengendap-endap
di belakangnya sambil membawa sebuah pisau terhunus. Dan dengan sekali tebas,
George pun langsung ambruk tak bernyawa, tanpa sempat mengeluarkan suara
sedikit pun.
Sementara itu, di dalam gereja, Sgt. Kowalski, PFC Rizzotti, PFC Herzog, dan PSC de
Santis tengah menghadapi 5 orang tawanan Jerman yang mengangkat tangannya.
Lt. Hammett bersama PSC Loomis masuk dan melihat ke arah perwira Jerman itu.
Ada 5 orang perwira Krauts di sini, orang Ahnenerbe, kata Sgt. Kowalski, seperti
diduga, menggunakan emblem Silberneschadel,
Ada korban di pihak kita? tanya Lt. Hammett.
Tidak, LT, mereka langsung menyerah begitu kami masuk, kata Sgt. Kowalski,
aku bahkan tak perlu menembakkan satu pun peluru,
Tetap waspada, Kowalski, dan di mana pemimpinnya? tanya Lt. Hammett.
Sepertinya yang jangkung itu, kulihat dia memakai tanda pangkat
Hauptsturmfuhrer atau apa pun itu, kata Sgt. Kowalski.

Sgt. Kowalski menunjuk pada seorang Jerman yang tampak tegap dengan tanda
pangkat SS-Hauptsturmfuhrer atau setara dengan Kapten (Hauptmann) pada
kepangkatan Wehrmacht. Memang orang itu tampak berwibawa.
Sie sind Silberneschadel? tanya Lt. Hammett dalam bahasa Jerman, sie sind
Johann Schlosser?
Silberneschadel ist nicht hier! jawab si Hauptsturmfuhrer.
Wo ist Silberneschadel? tanya Lt. Hammett.
Er ist tot! kata si Hauptsturmfuhrer.
Lugner! Wo ist Silberneschadel? tanya Lt. Hammett.
Ich bin ehrlich, Silberneschadel ist tot! kata si Hauptsturmfuhrer.
Menurutku dia berbohong, Letnan, kata Sgt. Kowalski, kita bunuh saja dia lalu
ambil artefaknya,
Aku bicara jujur! kata si Hauptsturmfuhrer dalam bahasa Inggris, dan kalian
mencari artefak?
Lt. Hammett saling berpandangan dengan Sgt. Kowalski.
Rupanya si Krauts ini bisa bahasa Inggris juga, kata Sgt. Kowalski.
Artefak, untuk itulah kalian datang? tanya si Hauptsturmfuhrer.
Lt. Hammett menatap tajam ke arah Sgt. Kowalski yang telah secara tak sengaja
membocorkan soal artefak yang mereka cari.
Siapa kau? tanya Lt. Hammett, tadi kau bilang Silberneschadel sudah mati,
bagaimana?
Aku Hauptsturmfuhrer Karl-Heinz Roebber, kata si Hauptsturmfuhrer, perwira
eksekutif di Ahnenerbe, tadinya di bawah Standartenfuhrer Schlosser atau yang
kalian sebut sebagai Silberneschadel,
Dan si Silberneschadel sudah mati? tanya Lt. Hammett.
Jawohl, kami membunuhnya, menyabotase pesawatnya yang sedang dalam
perjalanan kembali ke Berlin, kata Hpt. Roebber, Silberneschadel hendak
melakukan percobaan yang berbahaya dengan artefak yang diambil dari biara di
Anzio.
Katamu Anzio? tanya Lt. Hammett, 1943?
Ya, kami mengambilnya terlebih dulu sebelum kalian, kata Hpt. Roebber, itu
sebelum kami tahu bahwa Silberneschadel memiliki rencana lain yang jauh lebih
mengerikan daripada rencana Fuhrer kami,
Di mana artefak itu? tanya Lt. Hammett.
Kumohon, hancurkan segera artefak itu, itu bukan untuk dipakai oleh siapa-siapa,
kata Hpt. Roebber, kekuatan yang ada dalam artefak itu terlalu besar untuk dipakai
oleh manusia,
Bukan tugas kami untuk memutuskan itu, kata Lt. Hammett, sekarang di mana
artefaknya atau kalian semua akan kubunuh di sini,
Bunuh saja kami kalau begitu, dan biarkan rahasia artefak itu mati bersama kami,
kata Hpt. Roebber.
Aku tak keberatan melakukannya, LT, kata Sgt. Kowalski.
Kita bukan orang biadab, Kowalski, kata Lt. Hammett, dan tujuan kita adalah
artefak itu, bukan orang-orangnya,

Ya, tapi kita tak punya banyak waktu, LT, kata Sgt. Kowalski, aku tak mau tibatiba saja ada panzer Krauts yang membokong kita saat ini, kalau kau dengar kata si
Kapten Belanda itu, ada konsentrasi Krauts yang cukup besar tak jauh dari kita,
Pembicaraan pun berhenti ketika Kpt. Kontermans masuk ke dalam ruangan. Kpt.
Kontermans hanya diam saja sambil melihat ke seluruh ruangan.
Semua baik-baik saja, di sini? tanya Kpt. Kontermans.
Ya, Captain, dan bukankah sudah kubilang supaya menunggu di luar, kata Lt.
Hammett.
Transportasinya sudah datang, Luitenant, dan Heer Smitt memaksa masuk, kata
Kpt. Kontermans.
Heer Smitt tak ada urusannya dengan semua ini, Captain, kata Lt. Hammett, jadi
kumohon
Mungkin memang ada, Luitenant, kata Johannes Smitt yang tiba-tiba saja sudah
ada di dalam ruangan.
Kedatangan orang-orang Belanda ini jelas membuat Lt. Hammett amat jengkel.
Baginya saat ini, mereka sudah mencampuri lebih dari yang mereka perlu tahu.
Namun ada satu hal yang rupanya cukup menarik perhatian Lt. Hammett mengenai
Johannes Smitt: kini tak ada lagi orang tua pincang dengan tangan gemetaran
sebagaimana yang terakhir kali diketahui oleh Lt. Hammett. Kini Johannes Smitt
terlihat jangkung dan tegap serta memakai sepatu bot kavaleri yang cukup
mencolok. Andai tak mengenali wajahnya, mungkin Lt. Hammett akan menganggap
dia adalah orang yang berbeda dengan yang ditemuinya belum beberapa lama
berselang.
Heer Smitt, boleh kuingatkan kalau kau saat ini telah turut campur terlalu jauh
pada urusan Sekutu, kata Lt. Hammett, jadi tolong keluar sekarang juga selagi
kami menginterogasi tawanan kami,
Lebih tepatnya, sekarang menjadi tawanan kami, kata Johannes Smitt.
Tahu-tahu saja, turut masuk beberapa orang yang memakai senjata otomatis jenis
Sten dan juga Lee-Enfield, tanpa seragam namun memakai ban lengan warna
oranye, menunjukkan mereka anggota Gerakan Perlawanan Belanda. Orang-orang
ini langsung saja menodong semua yang ada di sana, termasuk regu Lt. Hammett
dan Sgt. Kowalski yang tampaknya masih terkejut dengan apa yang terjadi.
Tuan-tuan, jatuhkan senjata kalian dan Luitenant, bergabunglah dengan si tuan
Hauptsturmfuhrer ini, kata Johannes Smitt.
Heer Smitt? Apa yang kaulakukan? tanya Lt. Hammett, Captain, ada apa ini
sebenarnya? Apa yang kaulakukan?
Aku menuruti perintahku sendiri, Luitenant, kata Kpt. Kontermans yang ikut
menodongkan Sten-nya ke Lt. Hammett, dan perintahku tak berasal dari Komando
Tertinggi Sekutu, melainkan dari Heer Smitt,
Kpt. Kontermans memberi isyarat dengan Sten miliknya supaya Lt. Hammett
bergeser hingga ke sebelah Hpt. Roebber. Cepatnya perubahan situasi yang terjadi
membuat tak satu pun orang Amerika yang siap dengan kejadian ini, sehingga
mereka hanya bisa pasrah.

Sebelumnya, kalau boleh aku akan memperkenalkan diriku dengan layak, dan
Anda benar, Heer Luitenant, bahwa Johannes Smitt memang bukan nama asliku,
dan nama asliku sengaja kurahasiakan untuk melarikan diri dari Hauptsturmfuhrer
Roebber dan kawan-kawannya, kata Johannes Smitt, verrater!
Suara Johannes Smitt mendadak berubah dan hal itu membuat mimik muka Hpt.
Roebber mendadak pucat bagai melihat hantu.
Du? Du bist immer noch am leben? tanya Hpt. Roebber dengan gemetaran, Herr
Standartenfuhrer?
Kali ini berganti Lt. Hammett yang terkejut luar biasa.
Das stimmt, kata Johannes Smitt, plot sabotase pesawat bodoh itu adalah hal
terbaik yang bisa kaulakukan untuk membunuhku? Aku sudah mengetahui kalau
kau dan kawan-kawan pengkhianatmu berencana untuk membawa artefak itu untuk
kaumusnahkan, tapi tentu saja akan butuh waktu lama, karena Himmler akan
menjaga ketat artefak itu, dan sementara itu memberiku waktu juga untuk
mengumpulkan kekuatanku di Belanda, di tanah kelahiran nenekku, menunggu
hingga kalian kemari, karena kalian tak akan punya pilihan lagi, dan sungguh suatu
kebetulan OSS memberi tahu bahwa artefak itu sudah ditemukan dan meminta
Stridjkrachten membantu mengambilnya, tentu saja mereka hanya katakan bahwa
itu dokumen, tapi kami tahu lebih baik,
Siapa dia? tanya Lt. Hammett pada Hpt. Roebber.
Dia adalah pemimpin kami, Standartenfuhrer Johann Schlosser, kata Hpt. Roebber.
Sebut aku dengan nama agungku, kata Johannes Smitt alias Johann Schlosser.
Silberneschadel, kata Lt. Hammett.
Benar, Luitenant, Schlosser adalah nama dari kakekku, orang Jerman, tapi nenekku
orang Belanda, dan aku lama tinggal di Belanda, hingga akhirnya Hitler memanggil
semua keturunan Arya untuk kembali pada Reich, kata Johannes Smitt, dan aku
pun bergabung dengan Ahnenerbe hingga mencapai tahap ini sebelum si Fuhrer
berengsek itu memutuskan memasuki Belanda,
Johannes Smitt bergerak cukup dekat dengan Hpt. Roebber dan Lt. Hammett
dengan dia masih memainkan tongkat yang sedari tadi dibawanya.
Kesetiaanku tak pernah berada pada Reich Ketiga atau Hitler, atau Himmler, atau
SS, karena kesetiaanku tetap pada tanah air nenekku, Belanda, dan tak ada satu
hari pun terlewat bagiku berusaha memikirkan cara mengusir orang-orang Jerman
ini keluar dari Belanda, hingga akhirnya Louis Beel dari Gerakan Perlawanan
Belanda menghubungiku, memintaku untuk tetap berada di Ahnenerbe dan
membantu Gerakan Perlawanan Belanda dari sana, kata Johannes Smitt, dan saat
itulah aku menemukan artefak ini, artefak yang kalian sembunyikan, yang bisa
membawa Belanda untuk mengulangi kejayaan sebagai salah satu negara adidaya
di Eropa,
Kau tak setia pada siapa pun, tujuanmu hanyalah untuk membuat kejayaanmu
sendiri, kata Hpt. Roebber, dan aku tahu kenapa kau membutuhkan Belanda,
Silberneschadel!

Johannes Smitt berbalik dan menatap Hpt. Roebber dengan tajam. Entah sejak
kapan, Johannes Smitt sudah mengenakan topeng perak berbentuk tengkorak,
sehingga wajahnya kini terlihat mengerikan. Dia berjalan hingga ke suatu sudut,
kemudian mengambil sebuah kotak yang tampaknya terbuat dari bahan timbal
hitam yang cukup berat. Dia membuka kotak itu dan mengeluarkan isinya, sebuah
benda berbentuk bulat mirip bola kaca, namun memancarkan cahaya warna biru
bagai bayangan pada salju. Saat benda itu dikeluarkan, Lt. Hammett merasakan
ada hawa dingin yang seolah menusuk.
Mata Thiazi, atau mungkin kau biasa menyebutnya Mata Skadi, kata Johannes
Smitt dengan suara teredam topeng tengkorak, artefak yang hilang dari
Thrymheim, kekuatannya sangat besar hingga ditakuti oleh dewa-dewa Asgard,
Johannes Smitt, yang kini telah menjadi Silverneschadel memperlihatkan artefak itu
pada Lt. Hammett dan Hpt. Roebber.
Kau tahu kenapa kau dari semua arah membawa lari artefak ini ke sini? Karena kau
melihat dokumenku bahwa artefak ini hanya bisa dihancurkan di Tanah Rendah
Sungai Rhein, yang mengacu pada Belanda, kata Silverneschadel, padahal kau
tak tahu bahwa dokumen itu kurekayasa; kekuatan Mata Skadi terlalu besar untuk
bisa dihancurkan,
Bagiku itu hanya bola kaca biasa, kata Hpt. Roebber.
Mau bertaruh, Verrater? Kalau hanya bola kaca biasa, kenapa kau repot-repot
membawanya ke Belanda? Kenapa tak kau hancurkan saja di Jerman? tanya
Silberneschadel, apa kau takut dengan Himmler? Himmler itu bodoh, dia
mengepalai Ahnenerbe tapi tak sedikit pun percaya bahwa barang-barang yang
ditemukan memiliki kekuatan; baginya, dia hanya menjaga barang koleksi milik
Hitler; tapi aku butuh orang bodoh yang berani membawanya keluar dari
penyimpanan Himmler, dan setelah aku tahu kau berniat membunuhku, aku sadar
bahwa kaulah orang yang tepat.
Maka sebelum kau melakukan aksimu untuk membunuhku, aku sudah menyiapkan
dokumen palsu itu, dengan harapan kau akan sedemikian bodohnya percaya dan
membawanya ke Belanda, tepat pada perangkap yang telah kusiapkan, sambung
Silberneschadel, dan kabar kedatangan tim Luitenant Hammett dari OSS membuat
semua makin mudah, karena Himmler tak akan mengusut lebih lanjut bila
laporannya adalah benda itu hilang akibat serangan pasukan khusus Amerika; dan
kini aku akan bebas melakukan segalanya dengan benda ini,
Bitte, sie konnen das... kata Hpt. Roebber.
DORR!
Suara pistol menyalak dan sepucuk P08 Luger di tangan Silberneschadel sudah
tampak berasap. Hpt. Roebber langsung saja ambruk, yang langsung dibantu oleh
Lt. Hammett.
Keine gnade fur verrater, kata Silberneschadel.

Tembakan dari Silberneschadel itu telak mengenai bagian lambung Hpt. Roebber.
Tarikan napasnya kini hanya bisa mulai dihitung mundur, dan Hpt. Roebber melihat
ke arah Lt. Hammett dengan pandangan mata menghiba.
Dengan Mata Skadi ini, aku akan menguasai kembali sebuah imperium, dan kau,
Kontermans, kau dan semua yang mendukungku akan mendapatkan balas budiku,
kata Silberneschadel sambil mengangkat Mata Skadi tinggi-tinggi dan tertawa
menyeramkan.
Kehormatan bisa mengabdi padamu, Tuan, kata Kpt. Kontermans.
Bagaimana dengan kabar dari Heer Beel? tanya Silberneschadel.
Sudah saya berikan petisi Anda pada Heer Louis Beel, dan beliau berjanji
membawanya kepada Paduka Yang Mulia Ratu Wilhelmina, kata Kpt. Kontermans,
tapi secara lisan Heer Beel sudah menjamin bahwa Paduka Yang Mulia Ratu
Wilhelmina siap untuk memberikan pengampunan kepada Anda dan rekan-rekan
Anda yang telah membantu Strijdkrachten dari balik garis musuh,
Dan seluruh Batalion ke-13 ? Juga Resimen Grenadier ke-85? tanya
Silberneschadel.
Heer Beel menjamin semua akan mendapat amnesti, kata Kpt. Kontermans.
Hpt. Roebber, dengan sisa-sisa napasnya menunjukkan pada Lt. Hammett sepucuk
pistol Walther P38 yang berada di balik saku jaketnya. Dia menghiba kembali pada
Lt. Hammett.
Bitte... kata Hpt. Roebber pelan, akhiri kegilaan ini, selamatkan dunia,
Setelah berkata seperti itu, Hpt. Roebber menghembuskan napas terakhirnya dan
tewas. Lt. Hammett menutup mata almarhum Hpt. Roebber, tapi pada saat
bersamaan, dia mencabut pistol Walther P38 milik Hpt. Roebber dan dengan cepat
mengarahkannya pada Mata Skadi yang tengah dipegang Silberneschadel.
Tuan, awas! jerit Kpt. Kontermans.
Tapi terlambat, dengan refleks dan akurasi luar biasa, Lt. Hammett sudah
menembak dan tepat mengenai Mata Skadi. Kontan saja sebuah kilat warna biru
muncul dari Mata Skadi dan langsung menyambar Silberneschadel yang berada di
bawahnya. Silberneschadel berteriak kesakitan dengan amat menyayat seolah
tengah menahan sebuah derita yang tak terperi. Mata Skadi terus meluncurkan
kilatnya ke arah Silberneschadel.
Bunuh mereka! kata Kpt. Kontermans.
Anak buah Silberneschadel yang tadi tertegun pun segera tersadar kembali dan
langsung memberondong semua tawanan mereka termasuk Lt. Hammett. Di luar
pun anak buah Silberneschadel membantai juga semua yang ada di sana,
menghabisi seluruh regu Lt. Hammett yang tersisa. Pembantaian itu berlangsung
dengan singkat, namun sadis. Sementara itu, Silberneschadel masih menderita dari
serangan kilat Mata Skadi hingga topengnya membara merah. Kpt. Kontermans
berusaha menolong tapi tak tahu harus berbuat apa.
Kotaknya! Kotaknya! perintah Silberneschadel.

Dengan segera Kpt. Kontermans mengambil kotak hitam yang tadi dipakai untuk
menyimpan Mata Skadi, dan dalam suatu gerakan refleks langsung menangkupkan
kotak itu ke Mata Skadi yang kini terlepas dari genggaman Silberneschadel. Kpt.
Kontermans menahan kotak timbal yang masih bergetar akibat serangan Mata
Skadi selama beberapa saat sebelum akhirnya Mata Skadi kembali tenang, dan Kpt.
Kontermans menutup kembali kotak itu bersama Mata Skadi di dalamnya.
Kpt. Kontermans melihat ke arah Silberneschadel yang kini terbujur kaku dan
berasap. Topeng tengkoraknya kini terlihat mulai mendingin, tapi asap yang muncul
membuat Kpt. Kontermans tidak yakin apakah dia masih hidup atau sudah mati.
Heer Smitt, kata Kpt. Kontermans.
Tapi tak ada jawaban. Ketika Kpt. Kontermans mencoba menyentuhnya, ternyata
tubuh itu amat panas hingga jari Kpt. Kontermans melepuh. Kpt. Kontermans lalu
mengambil sebuah batang dan menggoyang-goyangkan tubuh Silberneschadel itu.
Herr Smitt,
Masih tidak ada jawaban...
World News
25 September 1944
Operasi Market Garden yang dilaksanakan sejak tanggal 17 September 1944 di
Belanda akhirnya menemui kegagalan. Objektif Sekutu untuk menguasai jalur
langsung menembus sungai Rhein gagal setelah kekalahan 1st Airborne Division
Inggris dalam pertempuran di Arnhem. Kegagalan ini terjadi karena Korps Lapis Baja
XXX pimpinan Brian Horrocks terhambat dalam perjalanannya untuk memberi
bantuan pada Arnhem. Dengan gagalnya Operasi Lintas Udara terbesar milik Sekutu
ini, maka Jerman bisa memperkuat kembali posisi di Rhein dan cita-cita Sekutu
untuk bisa menyelesaikan perang sebelum Natal 1944 pun pupus sudah. Kegagalan
Operasi Market Garden juga membuat posisi front di Eropa menjadi stagnan selama
beberapa bulan.
16 Desember 1944
Jerman melakukan Operasi Wacht am Rhein, konterofensif terbesar atas wilayah
Sekutu di Ardennes dengan tujuan untuk memotong garis Sekutu dan menguasai
Antwerp. Kemajuan Jerman ini berusaha ditahan mati-matian oleh pasukan Amerika
Serikat. Konterofensif ini akhirnya berhasil dipatahkan pada 25 Januari 1945 dan
Jerman kehilangan sebagian besar pasukan cadangannya, membuat sebuah lubang
yang akhirnya bisa dieksploitasi oleh Sekutu dalam memecah kebuntuan
peperangan.
25 Maret 1945
Pasukan Sekutu akhirnya berhasil menyeberangi sungai Rhein setelah 1st Army di
bawah Jenderal Courtney Hodges merebut Jembatan Ludendorff di Remagen.
Peristiwa ini membuat pasukan Amerika Serikat akhirnya berhasil memasuki
jantung Jerman di Ruhr, lebih cepat daripada upaya Inggris untuk menembus

melalui Jerman Utara. Kemenangan Amerika Serikat ini membuat pertahanan


Jerman di tanah airnya menjadi berantakan, ini masih ditambah dengan gerak maju
pasukan Soviet di timur. Hari-hari Reich Ketiga pun mendekati akhir.
8 Mei 1945
Presiden interim Jerman, Groszadmiral Karl Donitz yang menggantikan Adolf Hitler
yang bunuh diri pada tanggal 30 April menyerah tanpa syarat pada Sekutu di
Reims. Posisi Jerman yang sudah semakin terjepit antara Sekutu di Barat dan Soviet
Russia di Timur menjadi salah satu faktor penentu. Penyerahan ini akhirnya diikuti
oleh Marsekal Wilhelm Keitel yang menyerah pada komandan Soviet, Giorgy Zhukov
pada tanggal 9 Mei 1945. Ini secara efektif mengakhiri Perang Eropa dan oleh
Sekutu diperingati sebagai Hari V-E (Victory over Europe). Namun peperangan
masih belum berakhir karena di Pasifik, Jepang masih belum menyerah.
9 Agustus 1945
Pesawat pembom berat B-29 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Nagasaki,
setelah sebelumnya melakukan hal yang sama pada tanggal 6 Agustus di
Hiroshima. Serangan besar di jantung tanah Jepang ini membuat Kaisar Showa
memerintahkan evaluasi kembali atas kekuatan Jepang pada Perang Dunia II.
15 Agustus 1945
Atas desakan Kaisar Showa untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak, dan
juga berkaca pada peristiwa peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki,
Jepang akhirnya menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pernyataan
penyerahan Jepang ini ditandatangani di atas kapal tempur AS USS Missouri. Hari ini
disebut sebagai "Hari V-J" (Victory over Japan) dan secara efektif mengakhiri Perang
Dunia II yang telah berkobar selama 6 tahun.
17 Agustus 1945
Memanfaatkan kevakuman kekuasaan pasca-menyerahnya Jepang, Ir. Soekarno dan
Drs. Mohammad Hatta dengan didukung oleh para pemuda, akhirnya
memproklamasikan kemerdekaan atas negeri bekas jajahan Belanda dan Jepang.
Pada tanggal ini pulalah, langkah sejarah dari sebuah negara baru yang bernama
Republik Indonesia akan dimulai.
End of Prologue

"I don't know whether war is an interlude during peace, or peace an interlude during
war."
- Georges Clemenceau Book I: Birth of a Nation, Birth of a Hero
Proklamasi,

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Republik Indonesia.


Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan
secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05.
Atas nama bangsa Indonesia,
Soekarno Hatta.
19 Agustus 1945
Seiring dengan mulai dibentuknya badan-badan ketatanegaraan Republik Indonesia,
Badan Keamanan Rakyat atau BKR dibentuk dengan tujuan untuk menjaga
keamanan dan ketertiban rakyat, dan belum bertujuan sebagai sebuah tentara
kebangsaan. BKR ini akan mengambil alih posisi beberapa milisi bentukan Jepang
yang telah dibubarkan pasca-menyerahnya Jepang kepada Sekutu. BKR yang baru
terbentuk bersama dengan elemen-elemen rakyat lainnya akan langsung terlibat
dalam beberapa kali clash dengan sisa-sisa elemen Jepang yang bertugas menjaga
posisi Status Quo dan atau yang menolak menyerahkan senjata kepada para
pemuda Indonesia. Sementara itu, pasukan Inggris di bawah Lord Louis
Mountbatten yang bertanggung jawab atas wilayah Asia Tenggara mulai melakukan
konsolidasi di Indonesia Timur dalam upaya memfasilitasi transfer kekuasaan antara
Jepang kepada Pemerintahan Sipil Hindia Belanda atau NICA.
September 1945
Inggris yang dipimpin oleh Let.Gen. Phillip Christison akhirnya mendarat di Jawa
setelah cukup lama melakukan konsolidasi di Indonesia Timur. Sebelum itu, dengan
bantuan Inggris dan Sekutu, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda atau NICA telah
terlebih dahulu menegakkan kembali wewenang mereka di Indonesia Timur. NICA
menuduh bahwa Republik Indonesia yang baru lahir adalah negara boneka
bentukan para antek-antek dan kolaborator Jepang, dan dengan itu meminta
supaya pembentukan negara boneka ini digagalkan dan menegakkan kembali
hegemoni Belanda seperti saat sebelum Perang Pasifik. Masuknya Inggris dan NICA
ini disambut dengan perlawanan dari kekuatan Republik di berbagai tempat di Jawa.
5 Oktober 1945
Sebagai embrio pembentukan tentara kebangsaan Indonesia, maka di bawah usul
Oerip Soemoharjo, BKR dan laskar-laskar perjuangan rakyat dilebur menjadi Tentara
Keamanan Rakyat atau TKR. TKR ini akan menjadi embrio dari terbentuknya tentara
resmi Republik Indonesia. Dalam perkembangannya, TKR akan berubah nama
kembali menjadi Tentara Rakyat Indonesia, kemudian menjadi Tentara Republik
Indonesia, hingga pada bentuk akhirnya, yaitu Tentara Nasional Indonesia atau TNI
pada 1947.
10 November 1945
Inggris melakukan serangan besar-besaran atas posisi pasukan Republik di kota
Surabaya. Aksi yang dipicu oleh tewasnya Brigadir Jenderal Inggris, Aubertin
Mallaby ini mendapat perlawanan dari TKR Surabaya dibantu oleh milisi dan rakyat
sipil. Pertempuran Surabaya berlangsung sengit dan berlarut-larut, melebihi
perkiraan Inggris yang mengira bisa menaklukkan perlawanan rakyat dalam tempo
3 hari saja. Pertempuran ini langsung diikuti pula oleh perlawanan pasukan Republik

di berbagai tempat lain, membuat Inggris memutuskan untuk mulai menarik aksi
militer atas Hindia Belanda.
15 November 1946
Atas prakarsa Inggris, Perjanjian Linggadjati antara Republik Indonesia dengan
Kerajaan Belanda ditandatangani dengan salah satu isinya adalah Belanda
mengakui kedaulatan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Sumatera, dan
Madura. Selain itu adalah poin pembentukan Republik Indonesia Serikat atau United
States of Indonesia yang tergabung dalam Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu
Belanda sebagai ketuanya. Perjanjian ini ditandatangani oleh Letnan Gubernur
Jenderal Belanda, Hubertus van Mook dan Perdana Menteri Indonesia, Sutan Sjahrir.
21 Juli 1947
Belanda melaksanakan Operatie Product untuk menguasai wilayah-wilayah
perkebunan dan industri penting di dalam wilayah kedaulatan de facto Republik
Indonesia di Jawa dan Sumatera, dan secara efektif melanggar Perjanjian
Linggadjati. Oleh Indonesia, aksi ini disebut sebagai Agresi Militer Belanda dan
memulai babak baru revolusi nasional Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya.
Dari semua perjalanan yang pernah kulakukan, ceritaku dimulai dari sini, pada
suatu tempat di Jawa Barat, ketika aku dan pasukanku, Divisi Siliwangi, bergerak
mundur dari serangan Belanda. Entah berapa banyak peluru yang telah kami
buang, dan semenjak beberapa hari lalu kami dihujani peluru dari kiri kanan
maupun dari udara. Tank-tank Belanda mengejar kami, dan dari atas langit,
pesawat-pesawat mereka memberondong kami tanpa ampun. Kami sendiri tidak
tahu mengapa kami bertempur, padahal beberapa bulan sebelumnya dikatakan
bahwa Republik telah mencapai kesepahaman dengan Belanda. Tetapi sebagai
prajurit, bukan tempat kami untuk mempertanyakan perintah yang kami dapatkan.
Memang, kami lebih senang bila perang sudah benar-benar selesai, karena itu
berarti semakin cepat pula kami bisa kembali pada kehidupan kami yang dulu.
Namun bagaimana pun juga, kami pun sadar bahwa kami tengah mengampu
sebuah negara yang baru lahir, negara kami sendiri, bukan yang dibentuk oleh
Belanda atau Jepang, dan sebagaimana seorang ibu yang tengah membesarkan
anaknya, maka akan ada saat-saat kami harus berperang melawan segala
marabahaya yang mengancamnya. Ini seperti kata-kata Meneer Hogendorp yang
selalu terngiang di telingaku, bahwa seorang penggembala harus melindungi
ternaknya, dan bila perlu, melawan serigala. Aku tak pernah mengerti arti katakata itu sampai akhirnya di akhir hayatnya, Hattori-san menjelaskan semuanya
kepadaku. Bagi kami, hujan badai dan peluru sudah bukan lagi sebuah halangan,
hanya satu seruan yang membara di dada kami semua, Rawe-rawe rantas, malangmalang putung, demi negara baru kami, Republik kami tercinta, yang akan terus
kami jaga kesaktiannya,
Chapter I: Politionele Actie
1 Agustus 1947
Suatu Tempat di Jawa Barat

15.18 WIB
Hujan gerimis baru saja berhenti di salah satu wilayah di Jawa Barat, namun
keadaan tak menjadi lebih tenang di sini. Di atas langit, merobek angkasa yang
hening, empat buah pesawat jenis North-American P-51D Mustang dari Skuadron-11
Militaire Luchtmacht terbang dalam formasi fingertip melalui wilayah angkasa yang
sebagian kecil masih tertutup awan. Pimpinan formasi itu adalah Luitenant Tom de
Zeeuw, diikuti oleh masing-masing Sergeant Johan van der Laan, Sgt. Louis de
Venter, dan Sgt. Jaap Nieuwenhuize. Terkadang mereka miring sejenak supaya bisa
melihat apa yang ada di bawah.
Ada barisan di bawah! kata Sgt. Nieuwenhuize kepada Lt. de Zeeuw, aku akan
masuk,
Jaap, jangan ceroboh, kita tak tahu kekuatan mereka! kata Lt. de Zeeuw.
Mereka hanya ekstremis, Luitenant, kata Sgt. Nieuwenhuize, hancurkan saja
sekarang dan untuk selamanya,
Jaap! Verdome zeeg! umpat Lt. de Zeeuw.
Terlambat, Jaap Nieuwenhuize sudah memanuverkan Mustang-nya dalam posisi
menukik untuk menyerang. Dari semua yang dibawa, memang Lt. de Zeeuw hanya
khawatir pada sersannya yang berusia paling muda dan paling berangasan ini.
Bukan sekali ini pula Lt. de Zeeuw pernah kehilangan anggota regu, tapi untuk yang
satu ini sepertinya dia tak akan keberatan. Pun, akhirnya Lt. de Zeeuw
memerintahkan semua dalam regunya untuk mengikuti gerak pesawat Sgt. Jaap
Nieuwenhuize.
Jauh di bawah sana, adalah elemen pasukan Republik dari Divisi Siliwangi yang
tengah mundur dari serangan Belanda pada 27 Juli lalu. Serangan Belanda yang
kuat dan cepat yang dikemas dalam apa yang dinamakan sebagai Operatie Product
dan diluncurkan atas wilayah-wilayah pasukan Republik di Jawa Barat membuat
Divisi Siliwangi, yang bertanggung jawab atas wilayah Jawa Barat, menjadi kocarkacir. Di bawah pimpinan Kolonel Abdul Haris Nasution, Divisi Siliwangi tengah
melakukan gerak mundur taktis sambil menunggu perintah selanjutnya dari
Komando Tertinggi TNI di Yogyakarta. Dalam gerak mundur ini, Kol. Nasution juga
berharap untuk bisa menyatukan kembali Divisi Siliwangi yang tengah terceraiberai.
Elemen dari pasukan Siliwangi yang kini berada di sini adalah Batalion ke-129
pimpinan Kapten Amir Amrullah yang selama beberapa hari ini bergerak paralel
dengan elemen pasukan utama yang langsung dipimpin oleh Kol. Nasution. Penting
untuk menjaga supaya pasukan ini tetap bergerak paralel namun terkoordinasi,
untuk memecah konsentrasi pasukan Belanda yang tengah mengejar. Dan Batalion
ke-129 melakukan aksi penting dengan memancing gerak korps lapis baja Belanda
agar tak mengejar kolone pasukan utama Kol. Nasution. Saat ini, mereka tengah
beristirahat sebentar di salah satu sisi gunung ini sebelum kembali bergerak. Masa
istirahat ini akan dipecahkan segera ketika deru mesin Rolls-Royce milik Mustang
terdengar mulai mendekat.
Pesawat Belanda!! teriak Kapt. Amrullah tepat ketika melihat ada 4 titik di
angkasa yang bergerak memburu pesawat mereka.

Sontak para anggota Batalion ke-129 segera kalang-kabut mencari posisi


bersembunyi dan keluar dari jalan. Keempat Mustang yang telah berada di posisi
tembak segera menghujani elemen pasukan itu dengan masing-masing keenam
senapan Browning 12,7 mm, yang langsung mencangkuli tanah di sepanjang garis
penyerangan dan menghajar siapa pun yang terlambat untuk berlindung. Beberapa
orang Republikan yang tak sempat berlindung langsung habis, tewas dengan
anggota badan putus akibat tembakan bertubi-tubi itu. Serangan sporadis segera
dilancarkan begitu keempat pesawat sudah lewat, namun tak ada satu pun yang
kena.
Jaap, berengsek kau! Kau terlalu rendah tadi! bentak Lt. de Zeeuw.
Aku bisa menembak lebih baik dari ketinggian ini, Luitenant! bantah Sgt.
Nieuwenhuize.
Tapi kau juga bisa ditembak oleh mereka! kata Lt. de Zeeuw.
Tidak akan, kata Sgt. Nieuwenhuize, aku akan menyerang lagi,
Tidak bisa! Bahan bakar kita semakin menipis, kita harus kembali ke Andir, kata
Lt. de Zeeuw.
Aku akan menyerang lagi, kata Sgt. Nieuwenhuize.
Verdome zeeg, aku harus bilang apa lagi supaya kau menurut, Jaap? tanya Lt. de
Zeeuw.
Tak apa-apa kalau kau tak mau ikut, Luitenant, kata Sgt. Nieuwenhuize.
Biarkan saja dia, Luitenant, kata Sgt. van der Laan yang juga sudah jengah
dengan kelakuan juniornya itu.
Ya, sebaiknya kita lindungi saja dia dari atas, kata Sgt. de Venter, nanti setelah
dia menyerang, kita akan memaksanya untuk ikut,
Baiklah, kata Lt. de Zeeuw, ayo kalian yang masih waras cepat naik,
Tiga pesawat Mustang segera naik ke ketinggian aman, sementara satu lagi, milik
Sgt. Nieuwenhuize kembali berputar untuk kembali menyerang. Gerak putar ini tak
hanya diamati oleh Kapt. Amrullah di bawah, namun ada dua pasang mata lagi yang
juga tak jauh dari Kapt. Amrullah.
Dia akan menyerang lagi, dan kali ini tanpa rekan-rekannya, kata salah seorang
prajurit yang bertubuh kurus dan memegang senapan Mannlicher M95 bekas
buatan tahun 1895.
Itu pesawat yang dari kemarin membayangi kita, ya? tanya rekannya yang kali ini
memegang sebuah senapan Arisaka Type-99 yang relatif masih baru.
Benar, nomornya sama, kata si pemegang Mannlicher.
Aku nggak ngerti soal nomor-nomor gitu, kata pemegang Arisaka.
Makanya sekolah, kata si Mannlicher.
Aku sekolah, tapi di pesantren, diajarinnya ya pake angka Arab, bukan angka
Latin, kata si Arisaka.
Ya sudah, cukup ributnya, kamu bisa nembak dia? tanya si Mannlicher.
Si Arisaka melihat ke arah yang ditunjuk oleh si Mannlicher. Dan memang benar, dia
menunjuk ke arah pesawat yang tengah melakukan putaran balik itu.
Susah, kesempatannya cuman satu, kata si Arisaka.
Tapi bisa, kan? tanya si Mannlicher.

Bisa, tapi aku butuh dudukan yang stabil, kata si Arisaka.


Pake pundakku kalau gitu, kata si Mannlicher.
Tapi itu bahaya, kata si Arisaka.
Lebih bahaya lagi kalau dia terus dibiarin lolos, dia bisa kasih tahu lokasi kita ama
pasukan tank, kata si Mannlicher, ayo cepetan, bisa nggak?
Ya sudah, ayo, tapi bilang kapten dulu? tanya si Arisaka.
Udah, nggak ada waktu, cepet sekarang! kata si Mannlicher.
Si Mannlicher segera meninggalkan senapannya, lalu menarik si Arisaka keluar dari
pematang yang menjadi perlindungan mereka. Kapt. Amrullah amat kaget dengan
kelakuan anak buahnya, tapi dengan semakin mendekatnya pesawat Mustang Sgt.
Nieuwenhuize, dia hanya bisa mengumpat saja.
Sementara itu, kedua orang nekad ini sudah berdiri di jalan, si Mannlicher berdiri di
depan si Arisaka, sementara laras si Arisaka ditempatkan di pundaknya. Si Arisaka
sengaja meletakkan moncong senapan Arisaka miliknya agak jauh dari muka si
Mannlicher agar tak terkena residu tembakan. Dia lalu melihat dari balik aperture
pejera-nya saat pesawat Mustang itu bergerak mendekat bagaikan bayangan Dewa
Kematian yang tengah terbang untuk menjemput mereka berdua. Pada saat ini,
konsentrasinya sudah maksimal dan dia pun serasa terputus dengan dunia. Rekanrekan kedua orang ini melihat aksi mereka dengan penuh kengerian.
Dasar bodoh, kata Sgt. Jaap Nieuwenhuize sambil memposisikan kedua orang ini
pada reflex-sight pada Mustang-nya.
Sekali serangan, dan satu peluru 12,7 mm cukup untuk menembus kedua orang
bodoh ini. Ini bagai Mexican Stand-off yang tidak adil. Di satu sisi ada P-51D
Mustang yang memiliki 6 senapan mesin Browning 12,7mm, dan di sisi lainnya
hanya ada dua orang nekad bersenjatakan sepucuk Arisaka Type-99 dengan peluru
7,7mm yang hanya bisa menembak sekali. Jari Sgt. Nieuwenhuize pun disiapkan
pada tombol senapan mesin.
DOOR!
Arisaka itu menyalak, dan tanpa terdengar oleh Sgt. Jaap Niuwenhuize, tahu-tahu
sebuah peluru 7,7mm Arisaka sudah menyelonong menembus sela-sela balingbaling, memecahkan kaca kokpit, menembus reflex-sight, dan mendarat tepat di
antara kedua mata Sgt. Nieuwenhuize yang langsung mati di tempat. Si Mannlicher
dan si Arisaka segera melompat menghindar saat pesawat yang kini tanpa kendali
bergerak liar, naik melakukan manuver setengah loop di udara sebelum menghujam
langsung ke arah jurang dan meledak di sana. Si Mannlicher bahkan sempat
merasakan betapa baling-baling dan sayap Mustang itu melesat terlalu dekat
dengan kepalanya. Beberapa inci saja, dan dia pasti akan tewas. Seluruh pasukan
Batalion ke-129 pun bersorak sorai dengan hancurnya Mustang itu.
Luitenant, kau lihat itu tadi? tanya Sgt. van der Laan yang masih takjub dengan
pemandangan yang baru dilihatnya.
Aku melihat, dan masih berusaha percaya, kata Lt. de Zeeuw.
Perintah, Pak? tanya Sgt. van der Laan.

Kembali ke markas, bahan bakar kita sudah menipis, kata Lt. de Zeeuw, nanti
tulis dalam laporan kalau pasukan mereka dilengkapi senapan mesin ringan yang
menjatuhkan Sgt. Nieuwenhuize yang terbang dengan ketinggian terlalu
berbahaya,
Baik, Luitenant, kata Sgt. van der Laan dan Sgt. de Venter.
Ketiga Mustang segera meninggalkan tempat, yang disambut dengan sorak-sorai
lebih keras dari pasukan Siliwangi. Semua segera merubungi si Mannlicher dan si
Arisaka yang kali ini menjadi pahlawan. Namun entah bagaimana pujian hanya
dialamatkan pada si Arisaka yang berhasil menembak jatuh Mustang, mungkin
semua belum menyadari peranan penting dari si Mannlicher, tapi dia sendiri tak
begitu peduli, dia tak haus akan pujian. Keramaian itu baru pecah saat Kapt.
Amrullah mendekat.
Kapten, kata si Mannlicher.
Kalian ini bener-bener tolol! bentak Kapt. Amrullah, apa yang kalian pikirkan??
Sudahlah, Kapten, mereka kan sudah berbuat baik, kata Sers. Suhaemi yang
merupakan wakilnya.
Tetap saja itu tolol!! kata Kapt. Amrullah, untung yang kali ini kena, coba kalau
tidak?? Aku sudah kehilangan banyak orang, dan aku tak mau ketambahan dua
korban lagi yang mampus gara-gara berbuat tolol macam tadi! Apa kalian juga
nggak mikir kalau bisa saja ada yang meniru ketololan kalian??
Baik si Mannlicher maupun si Arisaka hanya diam saja didamprat oleh Kapt.
Amrullah. Memang, mereka bersalah, bodoh dan membahayakan diri, dan walau
trik itu berhasil, tetap saja itu trik yang bodoh.
Ya sudah, semoga saja itu pesawat nggak kembali lagi, kata Kapt. Amrullah,
jangan diulangi lagi, dan kali ini aku serius,
Baik, Kapten, kata si Mannlicher dan si Arisaka bersamaan.
Sepeninggal Kapt. Amrullah, si Mannlicher dan si Arisaka hanya tersenyum saja dan
tertawa kecil, berusaha supaya tak terdengar oleh Kapten. Mereka kembali diam
saat Sers. Suhaemi mendekat. Namun wajah Sers. Suhaemi jauh lebih ramah
daripada wajah Kapt. Amrullah.
Bagaimana pun juga, tetap dengarkan kata Kapten, kata Sers. Suhaemi, dia
berbuat seperti itu demi kebaikan kalian juga, nggak selamanya kalian bisa semujur
itu,
Baik, Sersan, kata si Mannlicher dan si Arisaka.
Tapi itu tembakan yang amat bagus, semoga si Belanda berengsek itu kini sadar
sedang berhadapan dengan siapa, kata Sers. Suhaemi, dan segera kemasi barang
kalian, kita akan segera bergerak lagi,
Kali ini kita ke mana, Sersan? tanya si Mannlicher.
Kita akan bergabung dengan pasukan Kolonel Nasution di titik pertemuan kedua,
kata Sers. Suhaemi, Batalion kita sudah kehilangan banyak orang, kita tidak bisa
terus menerus menghadapi musuh dengan kekuatan yang compang-camping
seperti ini,
Baik, Sersan, kata si Mannlicher dan si Arisaka.

Oh ya, ini dia, kata Sers. Suhaemi sambil melemparkan senapan Mannlicher M95
kepada si Mannlicher, lain kali jangan meninggalkan senjatamu sembarangan, bagi
prajurit senjata adalah nyawanya, kamu nggak mau kehilangan nyawa, kan?
Siap, tidak, Sersan, kata si Mannlicher.
Bagus, ingat itu baik-baik, kata Sers. Suhaemi.
Semua pun langsung mengepak peralatan mereka masing-masing. Beberapa orang
mengumpulkan peralatan dan amunisi dari rekan mereka yang sudah gugur, karena
amunisi-amunisi ini jauh lebih berharga bagi mereka yang masih hidup. Sementara
itu, si Arisaka merangkul sahabatnya si Mannlicher sambil berbincang seru,
sepertinya masih membicarakan tembakan yang sempurna tadi.
Si pemegang Arisaka ini adalah sahabatku, namanya adalah Rojali, dan atas alasan
tertentu aku memanggilnya Rozak bin Jali. Mungkin karena ayahnya bernama Jali
sehingga aku agak aneh untuk mengucapkan Rojali bin Jali, atau mungkin juga
karena waktu itu aku belum bisa mengucapkan kata Rojali dengan benar, sehingga
yang keluar adalah Rozak. Apa pun itu, pertemuan kami ketika kecil bagaikan
sebuah takdir, di sebuah tempat di pinggiran kota antara Batavia dengan
Buitenzorg. Orangnya sebenarnya tampan, bahkan walau dia sering memelihara
jenggot dan cambangnya, serta posturnya, untuk ukuran seorang Bumiputera, amat
baik. Tidak heran kalau banyak gadis yang tergila-gila padanya. Namun aku
mengenal kelebihannya yang sesungguhnya, yaitu dia memiliki bidikan yang amat
luar biasa. Aku mulai tahu kelebihannya itu karena saat kecil, kami sering bermain
kelereng bersama, dan dia bisa menembak sebuah kelereng bahkan walau jaraknya
jauh atau sulit. Tak hanya kelereng, bahkan dengan ketapel, atau saat melempar
batu kerikil sekali pun, dia bisa selalu mengenai sasarannya tak peduli apa pun itu.
Bakat yang kemudian amat berguna saat dia memegang senapan.
Tapi aku juga tahu bahwa dia punya kelemahan yaitu lidahnya selalu jadi kelu tiap
kali berada di dekat gadis, itu yang membuatnya tidak pernah bisa mendapatkan
kekasih. Kadang dia sering menutupi kelemahannya itu dengan membual atau
menyombongkan diri, namun itu malah memperparah kesan yang selalu ditangkap
oleh para gadis. Bagaimana pun, dia adalah orang yang sensitif, setia kawan, dan
sebenarnya rendah hati. Aku mengenal hal itu lebih baik daripada siapa pun, kecuali
mungkin bagi Nonik Maria, putri majikan kami yang juga kawan sepermainan kami.
Nonik Maria selalu menyebut kami sebagai Ishmael dan Queequeg, diambil dari
nama-nama tokoh pada cerita Moby Dick karangan Herman Melville yang menjadi
buku kesukaannya. Dan Rozak, bisa dipastikan adalah Queequeg.
Lalu bagaimana denganku sendiri? Yang oleh Nonik Maria disebut sebagai Ishmael?
Namaku adalah Rusman, lengkapnya Rusman Suhadi. Secara fisik, aku dan Rozak
berbeda jauh. Aku tergolong orang yang kurus, bahkan boleh dibilang kurus kering,
hanya bagai kulit dan tulang saja. Kulitku juga lebih legam daripada Rozak, dan dari
segi fisik, tak ada satu pun dari dalam diriku yang bisa disebut menarik. Aku dan
Rozak selalu menjadi bujang kesepian saat anak-anak laki-laki yang lain
bercengkerama dengan anak-anak gadis. Satu-satunya wanita yang mau dekat
denganku hanyalah Nonik Maria yang juga majikanku. Pun, kata Nonik Maria, aku
memiliki kelebihan, yaitu sikapku yang keras seperti batu dan tak pernah menyerah.
Dengan sikapku ini, aku lebih banyak menyerap pelajaran daripada Rozak yang
hampir selalu suka bermain-main saja. Untuk alasan inilah maka Nonik Maria lebih

suka untuk belajar denganku daripada dengan Rozak, atau saat kami belajar
bertiga.
Namun, dalam masa-masa perang seperti sekarang ini, terbukti bahwa kelebihan
Rozak lebih berguna daripada kelebihanku. Dia bisa menembak dengan tepat pada
jarak yang jauh, sementara aku? Aku cukup bisa bersyukur sudah diberikan
senapan, itu pun terkadang dalam perjalanan jauh, aku sudah cukup kepayahan.
Beberapa orang di Divisi Siliwangi menganggapku hanya sebagai beban mati
mereka saja, meski aku selalu berusaha untuk tak merepotkan orang lain. Hanya
Kapt. Amrullah dan Sers. Suhaemi saja yang mungkin masih mau memandangku.
Mereka mengatakan bahwa aku dan Rozak adalah dua serangkai yang tidak bisa
dipisahkan. Ya, akhirnya kata-kata Nonik Maria pun terbukti, aku adalah Ishmael dan
Rozak adalah Queequeg, dan pasukan ini, Batalion ke-129 adalah kapal Pequod
kami. Dan saat ini kami tengah berlayar untuk memburu si ikan paus putih kejam,
Moby Dick, yaitu orang-orang Belanda yang berusaha merenggut kembali
kemerdekaan kami.
Kami cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan,
Ir. Soekarno
Chapter II: The Enemy of My Enemy
1 Agustus 1947
Den Haag, Belanda
09:14 GMT
Sebuah mobil Cadillac Limousine warna hitam dengan di dekat lampu terdapat
bendera merah-putih-biru Belanda berhenti di sebuah pondokan di pinggiran kota
Den Haag, Belanda. Seorang pengawal yang duduk di sebelah sopir dengan
terburu-buru turun dan membukakan pintu bagi si tuan besar yang duduk di
belakangnya. Saat pintu dibuka, seorang dengan kepala botak dan berkacamata
tipis langsung berdiri dan keluar. Dilihat dari wibawanya, orang ini tentulah bukan
orang sembarangan. Dan memang benar, karena dia adalah Louis Joseph Maria Beel
yang saat ini tengah menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda.
Seorang wanita berpakaian perawat dengan buru-buru segera keluar dari pondok
dan menyambut PM Beel.
Mijn Heer, Anda tak memberitahukan kalau akan datang, kata si perawat.
Aku tak selalu bisa terlebih dulu memberi tahu, kata PM Beel, bagaimana
keadaannya sekarang?
Masih seperti biasa, dia ada di taman di belakang, kata si perawat.
Bagus, aku akan menemuinya, kata PM Beel sambil melangkah ke pondok itu.
Apakah ada masalah yang penting, Mijn Heer? tanya si perawat.
Bukan urusanmu, kata PM Beel sambil meninggalkan si perawat.
PM Louis Beel sudah sering memasuki pondok ini sehingga dia tak begitu canggung
lagi. Tinggal di dalamnya adalah seseorang yang selama ini telah dia andalkan

cukup lama. Dan orang itu saat ini tengah duduk di taman, di bawah payung
dengan menggunakan jubah cokelat mirip jubah yang dikenakan para rahib yang
menutup seluruh tubuhnya. PM Beel pun berhenti di dekat orang itu, kemudian
tanpa menunggu dipersilakan langsung saja duduk di dekatnya. Mata di balik jubah
berkerudung itu menatap sejenak ke arah PM Beel sebelum akhirnya pandangannya
diarahkan kembali pada taman.
Ada kabar apa dari Binnenhof? tanya si pria berkerudung, tentu bukan kabar baik
mengingat caramu mendatangiku,
Suara si pria berkerudung itu terdengar serak mengerikan.
Aku berhak mendatangi penasihatku kapan saja aku membutuhkan nasihatnya,
kata PM Beel.
Ah, tapi sepertinya kali ini kau tak hanya datang untuk sekadar nasihat, kata si
pria berkerudung, ada masalah yang besar, kuduga ini disebabkan oleh
perkembangan di Hindia,
PM Beel melihat ke arah si pria berkerudung ini.
Seolah tak ada yang lain saja saat ini selain masalah dari Hindia, kata PM Beel,
tapi dari awal permasalahan ini memang sudah pelik,
Ceritakanlah, kata si pria berkerudung.
Kemerdekaan Hindia, atau mereka menyebutnya sebagai Indonesia, sudah menjadi
masalah yang hangat di kalangan parlemen dan banyak dari mereka yang terbagi
antara akan mengakui kemerdekaan Hindia, atau melakukan operasi militer
atasnya, kata PM Beel.
Bukankah Spoor sudah menjalankan operasi militer atas Hindia? tanya si pria
berkerudung.
Itulah yang membuat semua menjadi rumit, kata PM Beel, Perjanjian Linggadjati
adalah perjanjian yang diakui secara internasional, dan dengan melaksanakan
Operatie Product, maka kita menempatkan diri kita sebagai negara yang melanggar
perjanjian berkekuatan hukum internasional; Australia dan Amerika Serikat pun juga
sudah mulai ikut masuk dalam masalah ini,
Tampaknya itu bukan sesuatu yang dipikirkan oleh Wim Schemerhorn saat
memberi wewenang pada van Mook untuk menandatangani perjanjian itu, kata si
pria berkerudung.
Saat itu kekuatan Belanda masih amat lemah pasca Wereldoorlog, Jerman dan
Sekutu menghancurkan sebagian besar Belanda, membuat Belanda tak bisa
bertahan bila tanpa bantuan dalam jumlah besar oleh Amerika Serikat, kata PM
Beel, kita tak mampu mempertahankan wilayah koloni kita dengan kekuatan kita
saat itu, sehingga Wim Schemerhorn lebih dari siap untuk bernegosiasi dengan para
Republikan; tapi kini keadaannya sudah berbeda,
Jadi kekuatan Belanda sekarang sudah cukup untuk merebut kembali Hindia dan
menumbangkan kekuasaan Republikan? tanya si pria berkerudung, setahuku
kekuatan kita masih belum bisa pulih seperti sebelumnya, dan pada sebelum
Wereldoorlog pun kita sebenarnya masih belum mampu mempertahankan seluruh
wilayah koloni kita di Hindia Timur; Jepang sudah membuktikannya,
Masalahnya koloni kita di Hindia Timur terlalu berharga untuk dilepas; berkali-kali
Belanda mengalami kelesuan ekonomi dan berkali-kali pula koloni Hindia kita

menyelamatkan negara kita dari kebangkrutan, kata PM Beel, namun ongkos kita
dalam mempertahankan koloni ini sebenarnya cukup besar, mau tak mau kita harus
melepasnya, mengakuinya sebagai sebuah negara merdeka,
Lalu apa masalahnya? tanya si pria berkerudung.
Masalahnya adalah saat Republik itu merdeka, ada satu nama yang tak ingin
kulihat tengah memimpinnya, kata PM Beel.
Si pria berkerudung hanya tertawa terkekeh-kekeh mendengar perkataan PM Beel.
Soekarno, kata si pria berkerudung.
Benar, si bajingan kolaborator Jepang itu sudah jadi duri dalam daging sejak awal
masalah Hindia ini mencuat, kata PM Beel, Wim Schemerhorn bahkan lebih suka
berbicara dengan Sjahrir daripada Soekarno; tapi masalahnya pengaruh Soekarno di
kalangan rakyat Hindia amat besar, dan selama ini Soekarno mengendalikan katakata yang dinegosiasikan oleh Sjahrir kepada kita, dus secara de facto dia yang
menguasai semuanya dalam Republik, meskipun di atas kertas semua masalah
tatanegara berada di bawah Sjahrir,
Jadi kau ingin masalah bernama Soekarno itu dilenyapkan? tanya si pria
berkerudung.
Bukan dilenyapkan, hanya kurangi pengaruhnya, penduduk Hindia terbagi menjadi
beberapa kelompok yang mirip seperti kotak mesiu; Nasionalis, Islam, Cina, India,
dan Komunis, kata PM Beel, di bawah Soekarno, kekuatan-kekuatan itu menyatu,
dan ini akan mengancam menggagalkan pembentukan Republik Indonesia Serikat,
tapi bila Soekarno tak bisa mencegah kotak mesiu ini untuk meledak; maka dengan
cara itu Soekarno akan lebih cenderung menerima konsesi pembentukan Republik
Indonesia Serikat dengan posisinya dalam Uni Indonesia-Belanda akan kecil,
Si pria berkerudung kali ini kembali tertawa mendengar perkataan PM Beel. Ini tentu
saja membuat PM Beel tak habis pikir.
Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu? tanya PM Beel.
Mijn Heer, kau tentu sadar bukan, jika sedari awal kau mengabulkan
permohonanku untuk dikirim ke Hindia, dan bukan malah mengirimkan Westerling,
maka pada saat ini, kita tak akan berada di sini tengah membicarakan masalah
bernama Soekarno ini, kata si pria berkerudung.
Aku tak punya pilihan, keadaan tak memungkinkan; Schemerhorn tak mengizinkan
semua yang terkait dengan Jerman semasa Wereldeoorlog untuk memiliki ruang
gerak, kata PM Beel, apalagi dengan ruang gerak sebesar Hindia,
Sekarang yang menjadi Perdana Menteri bukan Schemerhorn, tetapi kau, kata si
pria berkerudung, aku menghabiskan banyak waktu, membahayakan
keselamatanku sendiri untuk bisa memberikanmu banyak bahan intelijen dari
Berlin, di tengah Hitler dan Himmler, dan kini aku ingin pembayaran dari jerih
payahku itu; kirimkan aku ke Hindia sekarang,
PM Beel berdiri dan berjalan berputar-putar sambil berpikir.
Bila masalah mengenai Hindia tak kunjung usai, maka aku akan terpaksa
menyerahkan posisi Perdana Menteri kepada Willem Drees, dan aku akan
menangani masalah ini langsung ke Batavia, kata PM Beel.
Apakah ini keputusan dari Yang Mulia Ratu Wilhelmina? tanya si pria berkerudung.

Bukan, keadaan kesehatan Yang Mulia Ratu tengah memburuk, sekarang urusan
kerajaan dan kenegaraan ditangani oleh Putri Juliana, kata PM Beel, dan Putri
Juliana mengatakan hal itu, karena beliau tak yakin bahwa beliau bisa mempercayai
van Mook untuk menyelesaikan krisis di Hindia,
Dengan memburuknya kesehatan Yang Mulia Ratu Wilhelmina, bukankah itu berarti
setiap waktu beliau bisa mengundurkan diri dan menunjuk Putri Juliana sebagai
ratu? tanya si pria berkerudung, dan seingatku, Putri Juliana begitu mendukung
kemerdekaan Hindia, dan tak begitu mempermasalahkan meski Soekarno yang naik
sebagai penguasanya,
Benar, beliau mengagumi prinsip Soekarno dan itu membuat waktu kita untuk
mengambil keputusan semakin sempit, kata PM Beel, saat ini Putri Juliana tengah
mempercayaiku untuk urusan Hindia, dan itu berarti aku tidak bisa secara terbuka
mengumumkan keberatanku atas pemerintahan Soekarno, karena Putri tahu bahwa
setiap penolakan kita atas Soekarno membuat proses diplomasi antara kedua
negara semakin memburuk,
Kalau begitu tunggu apa lagi? tanya si pria berkerudung, kirim aku ke Hindia
sekarang,
PM Beel menarik napas panjang.
Apa kau yakin kau bisa mengatasi Soekarno? tanya PM Beel.
Aku akan membuat kotak mesiumu itu meledak, kata si pria berkerudung, baik
van Mook, Spoor, maupun Westerling tak tahu pasti apa yang mereka lakukan,
terutama Westerling; si bodoh itu hanya tahu soal jagal menjagal saja,
Perbuatan Westerling di Celebes akan memiliki dampak buruk bagi kita, aku yakin
itu, kata PM Beel, apa saja yang akan kaubutuhkan?
Berikan aku Batalion ke-13 dan Resimen Grenadier ke-85, kata si pria
berkerudung.
Itu permintaan yang sulit, Heer Smitt, kata PM Beel.
Si pria berkerudung membuka kerudungnya dan tampaklah di dalamnya, sebuah
wajah yang tertutup topeng tengkorak warna perak. Namun kali ini bukan hanya
wajah, namun seluruh kepalanya pun terbungkus lapisan perak sehingga seperti
terlihat bahwa pria ini memiliki kepala berupa tengkorak perak. Ya, ini memang
Johannes Smitt alias Johann Schlosser alias Silberneschadel, rupanya dia selamat
saat terkena serangan Mata Skadi. Walau begitu kekuatan Mata Skadi membuat
topeng tengkorak perak itu kini secara permanen menutupi kepalanya sehingga dia
kini memiliki kepala berupa tengkorak yang mengerikan. Untunglah pada saat itu
Kpt. Kontermans memilih untuk membawa tubuh Silberneschadel alih-alih
meninggalkannya, karena saat perjalanan itulah baru diketahui bahwa
Silberneschadel sebenarnya tidak mati.
Batalion ke-13 dan Resimen Grenadier ke-85 adalah pasukan terpilih yang dilatih
dengan amat keras dalam Waffen SS; kalau Westerling boleh memakai Depot
Speciale Troepen-nya, maka aku ingin kedua pasukan itu di bawah komandoku,
kata Silberneschadel, mereka tahu apa yang mereka hadapi, dan tahu pula harus
bagaimana cara menghadapinya; lagi pula semenjak Wereldoorlog usai, meski Yang
Mulia Ratu Wilhelmina telah memberi amnesti, pihak Koninklijke Leger sendiri tidak
suka menggunakan mereka dan hanya mengasingkan mereka sampai mereka
membusuk,

Baiklah, akan kukirimkan juga mereka, kata PM Beel, kau akan ke Hindia dalam
pangkatmu yang lama,
Bagaimana dengan Kontermans? tanya Silberneschadel, aku juga ingin dia
berada di bawah komandoku,
Bisa kuatur, Mayor Kontermans kini sudah berada di Hindia, kalian akan
menyatukan pasukan di sana, kata PM Beel.
Bagus, aku akan segera berangkat ke Hindia, dan sepanjang kau menuruti
syaratku, kau akan mendapatkan Soekarno, kata Silberneschadel.
Kau hanya punya waktu setahun untuk membereskan Soekarno, kata PM Beel,
tapi aku tak mau ada skandal internasional yang merugikan Belanda sebagaimana
dilakukan oleh Spoor dengan Operatie Product-nya,
Anggap saja beres, kata Silberneschadel.
Kita bertemu lagi nanti di Batavia, kata PM Beel, sekarang aku akan ke Istana
untuk mendiskusikan masalah ini pada Putri Juliana; Amerika Serikat sudah
meminta keran diplomasi dibuka kembali, dan dalam waktu dekat mereka akan
kembali mengatur sebuah perundingan dengan dibawahi oleh PBB,
PM Beel pun segera berbalik dan meninggalkan Silberneschadel. Tapi baru beberapa
langkah, dia pun menoleh kembali.
Ada satu yang dari dulu ingin kutanyakan, Smitt, kata PM Beel, kau selama ini
menghabiskan hidupmu di Eropa, kenapa kau begitu inginnya untuk ke Hindia?
Tak bolehkah seorang pria mendapatkan suasana yang berbeda, Mijn Heer? tanya
Silberneschadel, lagi pula aku adalah orang yang memperbaiki masalah, dan kini
masalah Belanda terletak pada Hindia, jadi ke sanalah tujuanku,
Baiklah, kata PM Beel yang kembali beranjak pergi.
Sepeninggal PM Beel, Silberneschadel di balik wajah tengkoraknya menyunggingkan
senyum yang licik. Ya, mungkin alasan yang dia berikan pada PM Beel memang
sungguh ada benarnya, namun bukan itu alasan utamanya. Ada hal lebih besar lain
yang kini tengah dirancang oleh Silberneschadel, hal yang sungguh mengerikan.
The only thing necessary for the triumph of evil is that good men do nothing.
Edmund Burke.
Chapter III: The Lost Batallion
2 Agustus 1947
Suatu Tempat di Jawa Barat
10:39 WIB
Setelah berjalan selama semalaman, akhirnya Batalion ke-129 bertemu dengan
pasukan utama Divisi Siliwangi yang berada di bawah Kol. Nasution. Keadaan
Batalion ke-129 pun sudah tak bisa lagi dibilang baik. Gara-gara serangan Mustang
dari Skuadron ke-11 kemarin, sekitar 10 orang tewas mengenaskan, sehingga
membuat total mereka yang gugur dari Batalion ini adalah sekitar 75 orang, dengan
30 orang terluka. Sebelum diburu oleh Mustang milik Militaire Luchtmacht, terlebih
dahulu memang Batalion ini sempat bersitegang dengan Korps Lapis Baja Belanda

yang berkekuatan tank M-4 Sherman dan M-3 Stuart. Untunglah tank-tank Belanda
tak bisa mengikuti gerak laju Batalion ke-129 yang memanfaatkan kontur dataran
untuk cepat menghilang dari kejaran.
Rusman Suhadi dan Rozak beristirahat sejenak sambil duduk-duduk di tanah di
bawah lindungan hutan tebal yang menghalangi mereka dari pandangan mata
musuh di atas. Mereka, terutama Rusman, sudah merasa amat lelah akibat berjalan
semalaman. Memang, tubuh Rusman lebih ringkih dari siapa pun yang ada di
pasukan ini, dan banyak yang mempertanyakan kenapa Rusman ada di sini, kenapa
dia bisa masuk pasukan Siliwangi. Walau begitu, akibat aksi nekat mereka berdua
kemarin, kini pasukan Batalion ke-129 sudah mulai bisa menghargai Rusman.
Minum nih, kata Rozak sambil memberikan tempat minumnya kepada sahabatnya
itu.
Aku nggak haus, kata Rusman, sudah cukup tadi minum,
Tumben sekali? tanya Rozak.
Rozak memperhatikan bahwa Rusman sedari tadi melihat ke arah sebuah pohon. Di
sana, komandan mereka, Kapt. Amir Amrullah tengah berdiskusi serius dengan
semua komandan batalion lain dan juga Kolonel Nasution. Mereka tengah
membicarakan jalan berikutnya yang akan ditempuh, sekaligus saling bertukar
informasi. Dengan seluruh Divisi Siliwangi berada di sini, petak hutan ini tiba-tiba
menjadi amat ramai.
Ke mana ya, Batalion ke-125? tanya Rusman.
Apa katamu? tanya Rozak yang kali ini ganti memakan nasi bungkus pemberian
penduduk.
Memang ada desa di sekitar sini, namun dengan banyaknya pasukan Divisi
Siliwangi yang berkumpul, Kol. Nasution tidak mau mengambil risiko posisi mereka
diketahui oleh Belanda, sehingga mereka lebih memilih berkumpul di dalam hutan.
Penduduk desa yang mendukung perjuangan pun membuat banyak nasi bungkus
dan diselundupkan ke dalam hutan untuk diberikan pada pasukan Republik.
Aku tadi bilang, di mana Batalion ke-125, kata Rusman.
Apa mereka belum datang? tanya Rozak.
Belum, jadi dari tadi kamu tidak memperhatikan? tanya Rusman.
Mana bisa perhatian kalau perut lapar, kata Rozak kembali memakan nasinya.
Kamu itu yang kamu pikirkan cuma makanan saja, gerutu Rusman.
Hari masih panjang, mereka masih akan datang, kata Rozak, makanlah,
Rusman pun membuka nasi bungkusnya dan makan. Karena tangan yang kotor
akibat perjalanan selama semalam, nasi itu pun berasa tanah, tapi itu adalah
makanan ternikmat dalam beberapa hari ini setelah lama hanya berkutat dengan
makanan yang disediakan oleh alam. Dalam hati, Rusman masih mempertanyakan
kenapa Batalion ke-125 tidak kunjung muncul, karena dari semua batalion Divisi
Siliwangi, tinggal mereka saja yang masih belum kelihatan, bahkan satu elemen
pun tidak ada. Apakah terjadi sesuatu? Apakah perjalanan mereka terhambat oleh
Belanda?

5 Agustus 1947
Lapangan Udara Andir
Bandung, Jawa Barat
14:47 WIB
Sebuah pesawat pembom medium B-25 Mitchell milik ML-KNIL dengan anggun
mendarat di lapangan udara Andir, Bandung, Jawa Barat. Di apron lapangan udara
itu telah berjejer pesawat-pesawat dengan roundel ML-KNIL seperti B-25, Martin
133, DC-3 Dakota, dan banyak pesawat tempur P-51 Mustang. Pesawat B-25 itu
mendarat dekat dengan serombongan pasukan yang sepertinya tengah menyambut
siapa pun yang dibawa oleh pesawat tersebut.
Tanpa menunggu baling-baling berhenti secara sempurna, pintu B-25 pun terbuka
dan dari dalamnya keluarlah seseorang yang amat mencolok, karena dia memakai
trench-coat panjang dengan tanda pengenal Koninklijke Landmacht dan satu
emblem asing, yaitu tengkorak yang terhunus oleh dua pedang. Ya, tak perlu mata
terlatih untuk bisa mengenali Johannes Smitt alias Silberneschadel, karena wajah
tengkorak peraknya yang tak bisa dilepas itu. Satu hal yang cukup aneh adalah
pakaiannya yang seperti berada di Eropa pada musim dingin, dengan trench-coat
dan sarung tangan serta visor cap, padahal suhu di Bandung cukup panas untuk
seukuran Eropa. Silberneschadel pun segera membalas hormat dari seorang mayor
yang berdiri di depannya.
Piet Kontermans, kata Silberneschadel, sekarang sudah jadi mayor rupanya,
Welkom in Oost-Indisch, Heer Smit, kata Mayor Kontermans.
Silberneschadel pun segera menyalami sobat lamanya ini, dan suasana kekakuan
pun cair sudah. Beberapa perwira menengah pun langsung berkumpul menghampiri
komandannya ini.
Aku ingat kalian, de Kloop, Wisel, van der Hoeven, IJsendorf, dan siapa ini? tanya
Silberneschadel menunjuk pada orang yang tak dikenalnya.
Dia Letnan Tom de Zeeuw dari korps udara, kata Mayor Kontermans
memperkenalkan Lt. de Zeeuw.
Aku sering mendengar soal Anda, kata Lt. de Zeeuw, walau semua berkata lain,
tapi kurasa butuh keberanian lebih untuk bermain di belakang garis musuh,
Nah, ini adalah orang yang berpikiran maju, kata Silberneschadel yang disambut
gelak tawa dari semuanya.
Aku pernah punya bawahan bernama de Zeeuw juga, asalnya dari Oosterbeek, apa
dia keluargamu? tanya Silberneschadel, namanya Jan de Zeeuw,
Benar, Mijn Heer, dia kakakku, meninggal ditembak Jerman saat mencoba
menyerang patroli Jerman sekitar Grave, kata de Zeeuw.
Berarti kalian sekeluarga dikutuk untuk berada di bawahku, Letnan, kata
Silberneschadel.
Kembali semua menyambut perkataan ini dengan penuh gelak tawa. Tapi mendadak
saja gelak tawa itu berhenti ketika sebuah jeep datang mendekat, dan seseorang
berpangkat letnan kolonel turun dari jeep itu. Dia berjalan dengan sedikit pongah
sambil bertepuk tangan pelan.

Rupanya kalian semua sudah reuni, bukan begitu, Heer Kolonel, kata si letnan
kolonel, atau haruskah kupanggil kau dengan sebutan Herr Unterscharfuhrer?
Kata-kata itu membuat semua orang yang mendengarnya terlihat naik pitam, tapi
Silberneschadel berusaha untuk tetap tenang.
Sepertinya kau adalah orang suruhan Jenderal Spoor yang ditugaskan untuk
menemaniku, kata Silberneschadel, tapi aku tak butuh bantuan tambahan,
Ini perintah dari Jenderal Spoor, dan aku adalah Letnan Kolonel Lodewijk van
Hooijdonk, kata si letnan kolonel, Jenderal Spoor khawatir Anda yang masih baru
di Hindia belum begitu mengenal medan, karena itulah aku diperintahkan untuk
mendampingi Anda, karena aku sudah cukup lama di Hindia, terhitung sejak datang
bersama dengan Jenderal Spoor sendiri,
Jenderal Spoor cukup baik hati, kata Silberneschadel, tolong sampaikan itu
kepada beliau,
Pasti, dan apa lagi yang akan Anda lakukan saat ini? tanya Letkol. Van Hooijdonk.
Saat ini? Aku baru terbang dari Belanda dan mampir ke Batavia, Letnan Kolonel,
dan sudah lama aku tak bertemu dengan kawan-kawanku ini, jadi aku ingin
bernostalgia dulu untuk hari ini, kata Silberneschadel, tentu saja kau boleh ikut
bila kau tak ada kesibukan,
Tidak, terima kasih, Mijn Heer, kata Letkol. Van Hooijdonk, ada laporan yang
harus kukerjakan untuk kusampaikan pada Jenderal Spoor besok pagi,
Kau yang rugi, Letnan Kolonel, kata Silberneschadel.
Akan kutanggung itu, kata Letkol. Van Hooijdonk, baiklah, Mijn Heer, aku harus
pergi dulu dan kurasa kau akan berada di tangan yang baik bersama kawankawanmu,
Letkol. Van Hooijdonk segera menghormat, kemudian berbalik dan pergi dengan jip
miliknya. Barulah setelah dia agak jauh, Mayor Kontermans berbicara pada
Silberneschadel.
Dia memang selalu menjengkelkan, kata Mayor Kontermans.
Aku tahu, tapi aku tak bisa menyingkirkannya begitu saja, kata Silberneschadel,
Spoor dan van Mook menugaskannya untuk memata-mataiku, dan
menyingkirkannya akan mengundang kecurigaan mereka,
Lagi pula kita membutuhkannya, kata Mayor Kontermans, dia memegang
komando dari sebagian besar unit bantuan tempur yang kita butuhkan, termasuk
artileri dan serangan udara,
Bersabarlah, Kawanku, dia masih berguna untuk saat ini, kata Silberneschadel.
Beberapa jam kemudian, mereka semua sudah berada di sebuah rumah besar yang
disiapkan oleh Mayor Kontermans sebagai tempat tinggal bagi Silberneschadel
selama dia di Hindia. May. Kontermans langsung memerintahkan pelayan pribumi
mengambilkan minum dan membuka sedikit kancing bajunya. Namun anehnya,
Silberneschadel sama sekali tak membuka trench-coatnya.
Bagaimana keadaanmu? Topeng itu masih tak bisa lepas, kata May. Kontermans.
Sekarang sudah jadi bagian dari wajahku, kata Silberneschadel, aku hanya
tinggal menerimanya saja,

Termasuk kau yang tak kepanasan walau memakai jaket berlapis? tanya May.
Kontermans.
Bagiku sudah tak ada lagi rasa panas, karena semua terasa sedingin es, kata
Silberneschadel, tapi itu harga yang harus kubayar,
Silberneschadel membuka sarung tangannya, dan tampaklah di dalamnya sebuah
tangan yang anehnya tak seperti tangan manusia, lebih mirip cakar yang mengkilap
bagaikan es. Ada semacam aura dingin keluar dari tangan itu dan kilatan listrik pun
menari-nari di antara ujung cakarnya.
Mata Skadi memberiku kekuatan yang jauh di luar mimpi terliarku, kata
Silberneschadel, jadi mudah saja bagiku untuk membunuh si letnan kolonel
berengsek itu, andai saja kita tak membutuhkannya,
Itulah masalahnya, saat ini yang berada di bawah komandoku hanyalah satu regu
kendaraan lapis baja dan tank, sementara semua artileri medan dan pesawat
pembom dikuasai oleh Letkol. Van Hooijdonk. Si de Zeeuw juga hanya bisa
memberikanmu paling banyak 4-5 Mustang, dan cukup itu saja, kata May.
Kontermans, kaki kita terantai dengan erat,
Spoor dan van Mook tak ingin kita menjadi kuat, karena dia tahu kita akan bisa
menghancurkan ekstremis Republik itu dengan lebih efektif, kata Silberneschadel,
pada saat yang tepat, aku akan mengambil alih semua hakku dari si letkol sialan
itu, tapi sekarang masih belum saatnya,
Mungkin jika kau memakai Mata Skadi sekali lagi, kekuatanmu akan bisa cukup
hingga kita tak memerlukan semua itu, kata May. Kontermans, atau mungkin kau
bisa memberikan sedikit kekuatan itu pada kami,
Tidak bisa, Skadi hanya memberikan kekuatan sebanyak sekali, dan aku masih
belum mendapatkan cara aman untuk mengeluarkan kekuatan itu kepada kalian,
kata Silberneschadel, yang terakhir hampir saja membunuhku bila kau tak cepat
tanggap,
Kalau begitu sia-sia saja kita mendapatkan Mata Skadi ini dari orang-orang
Amerika itu, kata May. Kontermans.
Aku masih belum dapatkan caranya, tapi bukan berarti aku tak tahu, kata
Silberneschadel, dan untuk alasan itulah maka aku mati-matian berusaha ke
Hindia,
Jadi kuncinya ada di sini? tanya May. Kontermans.
Benar, dan untuk saat ini kekuatan kita belum cukup, kata Silberneschadel,
Batalion ke-13 akan diterbangkan dari Belanda ke Andir mulai besok, dan Resimen
Grenadier ke-85 akan menyusul dalam tempo sebulan, baru kita akan punya cukup
kekuatan untuk memulai tujuan kita yang sebenarnya,
Itukah yang dahulu dirancang oleh Ahnenerbe? tanya May. Kontermans.
Benar, yang diberikan oleh Ahnenerbe kepada Jepang untuk dibuat di Hindia, demi
menghindari serangan Sekutu, kata Silberneschadel, dan rahasia ini sudah
terkubur sejak 3 tahun lalu, tak tercatat bahkan dalam dokumen Ahnenerbe
sendiri,
Silberneschadel mengambil sebuah gulungan peta dan menggelarnya di meja, dan
dia serta May. Kontermans melihatnya sambil mengangguk-angguk.
5 Agustus 1947
Atas desakan dari wakil Australia dalam Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa, yang menuntut dilakukannya solusi damai antara Kerajaan Belanda dan

Republik Indonesia, maka Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Hubertus


Johannes van Mook menyerukan gencatan senjata, yang secara de jure mengakhiri
konflik bersenjata yang mengikuti Aksi Polisionil Belanda sejak 21 Juli 1947 atau
yang oleh Republik Indonesia disebut sebagai Agresi Militer.
14 Agustus 1947
Mantan Perdana Menteri Indonesia, Sutan Sjahrir, berbicara di depan Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengecam aksi kolonialisme Belanda atas
Republik Indonesia dan menuntut supaya PBB turun tangan dalam menyelesaikan
konflik Indonesia-Belanda. Sjahrir berkali-kali mematahkan argumen Belanda yang
diwakili oleh Eelco van Kleffens, yang berupaya untuk menjadikan masalah
Indonesia sebagai masalah internal negeri Belanda. Kemenangan diplomasi Sjahrir
memiliki dampak politis yang luar biasa karena untuk pertama kalinya, PBB
menggunakan nama Republik Indonesia dan bukan lagi Hindia-Belanda dalam
resolusi selanjutnya untuk menyelesaikan konflik ini. Ini, secara de facto, menjadi
pengakuan dari PBB atas berdirinya negara Republik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat penuh serta terpisah dari Belanda.
25 Agustus 1947
Atas usulan dari Amerika Serikat, untuk menyelesaikan pertikaian antara Indonesia
dan Belanda, maka dibentuklah Komisi Jasa Baik yang anggotanya terdiri dari
Australia (dipilih oleh Republik Indonesia), Belgia (dipilih oleh Belanda), dan Amerika
Serikat (dipilih oleh Australia dan Belgia). Tujuan dari Komisi Jasa Baik adalah untuk
mengadakan perundingan damai selambat-lambatnya pada akhir tahun 1947 untuk
menyelesaikan kasus Indonesia-Belanda.
29 Agustus 1947
Belanda menarik garis demarkasi yang disebut sebagai Garis van Mook yang
membatasi wilayah Republik Indonesia dengan wilayah Belanda pasca Agresi Militer
Juli 1947. Garis van Mook ini memperkecil wilayah Republik Indonesia hingga tinggal
sepertiganya dari wilayah Republik menurut Perjanjian Linggadjati. Sebagai
tambahan untuk lebih memperlemah posisi Republik, maka Belanda menerapkan
blokade atas bahan pangan dan juga senjata. Sementara proses diplomasi terus
berlangsung, tanpa mengindahkan perintah gencatan senjata, konflik dalam skala
kecil pun terus terjadi.
2 Oktober 1947
Luar Kabupaten Cianjur
17:53 WIB
Pasukan dari Batalion 129 baru saja memasuki desa ini dan menjadikannya sebagai
markas aju sementara. Dengan jalan utama dari Batavia ke Bogor dan Bandung
dikuasai dan diperkuat oleh Belanda, gerakan Divisi Siliwangi hanya terbatas pada
kota-kota kecil dan desa-desa. Bila nekat menyerbu posisi Belanda, maka sama saja
cari mati, karena senjata pasukan Belanda lebih lengkap daripada senjata Divisi
Siliwangi. Satu hal yang vital adalah dengan dikuasainya jalan raya, maka pasokan
logistik dan munisi Belanda dari Batavia ke Bandung relatif lebih lancar bila
dibandingkan pasokan logistik Siliwangi yang harus dibawa lewat jalan kecil dan tak
jarang harus menerjang medan berat.

Saat ini ada isu yang sedang merebak di kalangan pasukan Siliwangi yaitu
kedatangan seorang komandan baru tentara Belanda yang karena wajah
tengkoraknya membuatnya dikenal dengan berbagai nama, antara lain de
Schedel, Zilveren Schedel, Hoopf van de Dood, atau kalau orang Republikan
biasa memanggilnya dengan nama Jerangkong seperti nama sebuah hantu lokal
yang berwujud tengkorak. Kedatangan si Jerangkong ini diikuti oleh kedatangan
pasukan baru yang kemampuannya dianggap di atas kemampuan prajurit-prajurit
Koninklijke Landmacht.
Pasukan baru ini, oleh para perwira Siliwangi kemudian disebut sebagai Pasukan
Kematian atau dalam bahasa Belanda adalah Dood Leger. Selain karena
kemampuan tempurnya yang luar biasa, juga karena pasukan ini menggunakan
emblem berupa kepala tengkorak dengan pedang bersilang. Dari keterangan salah
satu batalion dari brigade Letkol. Alex Kawilarang yang pernah bentrok dengan
pasukan ini mengungkapkan bahwa kemampuan tempur para prajurit Doodleger
memang tidak bisa dianggap remeh. Mereka bergerak, bermanuver, dan bertempur
dengan amat baik. Satu hal menarik yang dilaporkan oleh Letkol. Kawilarang
kepada Kol. Nasution adalah gelaran tempur Doodleger tidak memakai gelaran
standar yang pernah dipelajari semasa masih di KNIL. Bahkan semboyan-semboyan
dan komando yang digunakan pun berbeda dengan komando baik dari KNIL
maupun Koninklijke Landmacht. Lebih aneh lagi adalah bahwa semua perintah
disampaikan dalam bahasa Jerman, bukan bahasa Belanda.
Bahkan tanpa gelaran yang masih amat asing ini, menghadapi pasukan ini sudah
sulit bukan main, karena tak seperti pasukan Belanda yang lain, pasukan ini adalah
pasukan yang berani mati dan bergerak dengan amat agresif untuk memanuver
dan memukul lambung lawan. Padahal mereka hanya didukung minim oleh artileri
ringan, lapis baja, serta serangan udara. Tapi Letkol. Kawilarang menilai bahkan
hanya dengan ini pun mereka bisa bertempur 5 kali lebih baik daripada pasukan
Belanda yang mendapat bantuan tempur lengkap. Andai saja pasukan ini dilengkapi
dengan bantuan tempur yang lebih baik Bahkan Letkol. Kawilarang pun ngeri
menyampaikan kemungkinan ini pada Kol. Nasution.
Tapi di desa kecil ini, kekhawatiran mengenai Pasukan Kematian belum terlalu
terpikirkan. Pasukan Siliwangi baru saja tiba di sini, dan saat malam mulai merayap
naik, pertahanan pun mulai diketatkan dengan masing-masing prajurit berjaga
bergiliran, walau selama ini Belanda nyaris tak pernah mengambil risiko untuk
menyerang pasukan Republikan di malam hari. Pun, Doodleger kadang sering
bertindak di luar doktrin umum KNIL, sehingga semua kemungkinan harus
dipikirkan.
Sebagai salah satu prajurit yang bertugas jaga, Rusman duduk bersandar pada
pohon sambil menimang senapan Mannlicher M95 yang dibawanya. Bahkan
senapan ini pun awalnya bukan miliknya, karena dia hanya mengambil milik
pejuang lain yang sudah gugur. Pada saat masuk TKR, karena tubuhnya yang
ringkih dan tidak meyakinkan, Rusman dulu hanya mendapat tugas untuk
membawa peluru dan memberikan pada para penembak. Tapi takdir pun akhirnya
menentukan dia menjadi penembak dengan memberikan Mannlicher M95 ini
kepadanya. Meski usia senapan ini sudah 50 tahun lebih, setidaknya memegangnya
ada rasa aman karena ada sesuatu yang bisa dia andalkan. Dan selama setahun

memilikinya, Rusman sudah beberapa kali menembakkan senapan ini, namun dia
tidak tahu apakah ada dari satu tembakannya yang kena lawan. Dia memang bukan
seperti Rozak yang punya bidikan sejati, meskipun sebenarnya Rozak sendiri
berpendapat bahwa bidikannya tak kalah baiknya. Kalau Rusman meleset, itu
karena kadang dia kesulitan mengatasi efek tolak balik senapan, terutama setelah
menembak sekian kali.
Rozak dengan senapan Arisaka Type-99-nya masih tertidur, dalam jarak pandang
Rusman. Rusman tersenyum karena senapan Arisaka Type-99 itu sebenarnya adalah
miliknya, yang diberikan kepadanya oleh Hattori-san, seorang perwira Jepang
tempat dia pernah menjadi asisten. Saat bertemu Rozak, dia sengaja memberikan
senapan itu kepadanya karena tahu bahwa bidikan Rozak lebih baik dan pasti
senapan itu akan berguna banyak baginya. Apalagi senapan Arisaka yang diberikan
padanya adalah salah satu yang terbaik, pembuatannya paling halus karena dibuat
pada tahun-tahun awal Perang Pasifik, jadi bukan seperti senapan periode akhir
yang kasar dan oleh karena itu akurasinya sedikit diragukan. Melihat betapa
mematikannya senapan itu di tangan Rozak, Rusman tak pernah merasa menyesal
untuk memberikannya pada sahabatnya itu.
Suasana sepi itu kembali membuat pikiran Rusman melayang ke masa lalu, dan
setiap kali hanya satu orang yang dia ingat, yaitu Nonik Maria. Entahlah, jika ada
orang yang dia kenal lama selain Rozak, pasti itu adalah Nonik Maria, bukan, dia tak
begitu suka dipanggil Nonik...
Maria, gumam Rusman.
Nama lengkapnya adalah Maria Catharina Isabel Hogendrop, anak kedua dari
pasangan Edward dan Margriet Hogendrop, keluarga Belanda tempat dulu Rusman
pernah mengabdi. Rusman mengenal Maria sebagai anak yang periang dan gadis
yang cantik, dan selalu mengenakan pakaian atau pita rambut warna kuning.
Meneer Hogendrop, begitu Rusman menyebut Edward, lahir dan besar di Hindia,
meski dia berkali-kali pulang ke Belanda, dan konon ibu Tuan Meneer adalah orang
Hindia. Karena sisilah itu, meski Maria berkulit putih, tapi putihnya kulit Maria tak
seputih kulit ibunya yang memang asli orang Belanda. Total keluarga itu punya 4
orang anak, yaitu si sulung Albert yang pemberani, Maria yang cantik, dan dua adik
kembarnya Willem dan Renee yang menyenangkan dan nakal. Dari semua anggota
keluarga Tuan Meneer ini, hanya Willem dan Renee yang kemungkinan masih hidup
meskipun Rusman sendiri tak pernah mengetahui keberadaan mereka, karena
beberapa bulan sebelum pecah Perang Pasifik, Tuan Meneer sempat mengungsikan
mereka bersama nenek mereka ke Australia.
Rusman memegang saku bajunya, kemudian mengeluarkan sebuah liontin, satusatunya peninggalan dari Maria Hogendrop selain sebuah buku Moby Dick yang
menjadi kesayangannya. Saat liontin itu dibuka, di sana ada foto Maria yang tengah
tersenyum. Ya, pada akhir hayatnya, Maria sempat menitipkan liontin dan buku itu
kepadanya. Pikiran Rusman pun tertarik kembali pada masa itu.
Buku ini untuk kau baca supaya kau bisa tahu bagaimana akhir perjalanan
Ishmael, kata Maria.

Maria kemudian mengecup pipi Rusman, lalu melepas liontinnya dan


meletakkannya di dalam genggaman tangan Rusman.
Dan ini supaya kau bisa terus mengingatku, kata Maria sambil tersenyum manis.
Tapi lamunan Rusman buyar ketika tiba-tiba dia mendengar suara semak
bergemerisik. Dengan segera dia mengantongi liontin dan menyiapkan Mannlichernya. Suara itu cukup dekat dengannya dan membuat Rusman agak gugup.
Bagaimana bila ternyata itu adalah Belanda? D bawah keremangan sinar rembulan,
Rusman pun melihat semak di depannya bergoyang, dan dia segera bersiap
membidikkan senapannya ke arah itu.
Siapa? teriak Rusman.
Tak ada jawaban, tapi ada suara langkah yang semakin mendekat. Rusman semakin
mempererat genggaman pada senapannya dan jarinya bersiap pada picu.
Napasnya pun memburu saat ketegangan memuncak, namun Rusman masih tetap
bisa tenang.
Perlahan-lahan sesosok orang pun muncul dari balik semak-semak itu, masih tanpa
bicara. Rusman melihat dia tak memakai topi baja atau baret, melainkan topi kain
mirip peci, menandakan dia bukan orang Belanda, namun salah satu pejuang juga.
Rusman melepas bidikannya, namun senapannya masih dalam posisi siaga.
Indonesien? tanya Rusman agak keras.
Orang itu hanya mengangkat tangan lemah saja. Dia berjalan sempoyongan, seolah
berusaha amat keras supaya bisa tetap seimbang. Tangan kirinya menjuntai ke
bawah, memegang sling pada Sten Mk.II miliknya yang ujung larasnya diseret saja
di tanah. Dia lebih mirip orang mabuk daripada seorang prajurit, maka Rusman
pelan-pelan mendekatinya.
Indonesien? tanya Rusman lagi.
Mer... de... ka... kali ini orang itu menjawab lemah.
Terkejutlah Rusman karena begitu sudah dekat, wajah orang ini penuh darah dan
luka yang sebagian sudah mengering. Bahkan bajunya compang-camping penuh
darah dan bekas luka, serta jalannya pincang akibat luka pada kaki yang sudah
mulai dikerubuti oleh lalat. Orang itu langsung saja ambruk dan pingsan di hadapan
Rusman.
Dan perkemahan darurat itu pun gempar. Si prajurit yang malang langsung saja
dibawa ke bawah tenda bivak milik Kolonel Nasution, dan beberapa prajurit coba
merawat lukanya, meski sejujurnya mereka tak yakin dia akan masih bisa bertahan
esok hari. Di seputar tenda itu ada komandan Brigade IV Divisi Siliwangi, Letkol.
Daan Jahja, dan juga semua komandan batalion yang masih ada, termasuk Kapt.
Amrullah. Rusman pun ada di sana karena dia yang menemukan si prajurit itu.
Semua ingin mengetahui kabar apa yang dibawa oleh si prajurit malang itu yang
membuatnya jauh-jauh berjalan kemari dengan luka separah itu.

Semua orang pun berdiri saat Kol. Nasution keluar dari tenda itu dengan wajah
kuyu.
Bagaimana, Pak Nas? tanya Letkol. Daan Jahja.
Buat si prajurit itu, tak ada lagi yang bisa kita lakukan, kata Kol. Nasution atau
akrab dipanggil dengan nama Pak Nas.
Tapi benar dia orang kita? tanya Letkol. Jahja.
Benar, dia adalah salah satu dari regu pengintai yang dikirimkan oleh Kapten
Burham Jaelani untuk mencapai posisi kita dan mengirimkan kabar penting, namun
di tengah jalan, mereka harus kucing-kucingan dengan unit Verkenning Doodleger di
wilayah Garut, kata Pak Nas.
Berarti wilayah Garut sekarang sudah dikuasai oleh Doodleger? tanya Letkol.
Jahja.
Itu yang menjadi kekhawatiranku, kata Pak Nas, prajurit itu juga mengatakan
bahwa Doodleger tengah melakukan sesuatu di Jawa Barat, sepertinya mereka
merazia beberapa desa dan menangkapi para penduduknya,
Kenapa mereka melakukan itu? tanya Letkol. Jahja.
Mungkin untuk melemahkan gerakan kita, gerilya kita memang menggantungkan
diri dengan simpati rakyat di wilayah perjuangan, kata Pak Nas, tangkap
rakyatnya, dan kita akan lemah, walau entah mengapa aku merasa ada yang aneh,
Lalu apa yang harus kita lakukan? tanya Letkol. Jahja.
Nah, di sinilah peliknya, dia dan regunya diserang oleh elemen dari Verkenning
Belanda, dalam perjalanan menuju ke sini, artinya posisi ujung tombak Belanda
sekarang sudah berada dekat dengan posisi kita, dan otomatis kita harus segera
bergerak kembali, kata Pak Nas, Pilihannya antara bergabung dengan Brigade
Letkol. Kawilarang di timur atau Brigade Letkol. Sukma Brata di utara,
Lalu dengan Doodleger sendiri? tanya Letkol. Jahja.
Kita harus tahu apa yang sedang mereka lakukan dengan para penduduk sipil,
kata Pak Nas, saat ini meski Mr. Amir Sjarifudin tengah berunding dengan pihak
Belanda, Markas Besar TNI sendiri belum mengakui keberadaan Garis van Mook,
artinya wilayah ini masih dalam tanggung jawab kita, dan begitu pula dengan
rakyatnya,
Tugaskanlah Batalion ke-129 untuk menyelidikinya, celetuk Kapt. Amrullah tibatiba.
Celetukan Kapt. Amrullah membuat mata semua orang, termasuk Pak Nas dan
Letkol. Jahja melihat ke arahnya.
Bukankah Batalion ke-129 sudah kehilangan banyak orang, dan kini sebelum diatur
kembali, masih ingin maju? tanya Letkol. Jahja.
Justru itu, saat ini jumlah pasukan dari Batalion ke-129 adalah yang paling sedikit,
jadi kami bisa bergerak dengan lebih leluasa, kata Kapt. Amrullah, dan kalau pun
kami tumpas, maka kerugian bagi Divisi Siliwangi akan lebih sedikit bila
dibandingkan battalion lain yang maju,
Pak Nas hanya menghela napas panjang saja.
Ini bukan perkara sembarangan, Amir, kata Letkol. Jahja, kalian akan bergerak di
luar wilayah gerilya kita dengan tanpa sokongan satu pun dan melawan pasukan
Belanda yang paling berbahaya, Doodleger,

Kami siap, Pak Jahja, kata Kapt. Amrullah, aku yakin semua anak-anak 129 pun
siap,
Kau bicara sembarangan saja, sudah kau tanyakan anak buahmu? tanya Pak Nas.
Pak Nas pun melempar pandangan kepada semua yang ada di sana. Rusman dan
Rozak saling berpandangan. Dalam hati mereka, mereka tentu tahu ini adalah misi
berbahaya, tapi bagaimana pun juga, Batalion adalah saudara mereka, dan negeri
ini adalah keluarga mereka. Apa pantas bila mereka menolak?
Siapa yang dari Batalion ke-129? tanya Pak Nas.
Rusman langsung berdiri nyaris tanpa jeda, langsung diikuti oleh Rozak 2 detik
kemudian.
Siapa namamu? tanya Pak Nas menunjuk ke arah Rusman.
Rusman Suhadi, Kolonel! kata Rusman.
Kau dari Batalion ke-129 Brigade IV? tanya Pak Nas.
Siap, Kolonel, benar! kata Rusman.
Kau siap mengikuti kaptenmu pada misi yang berbahaya ini? tanya Pak Nas.
Siap, saya siap berkorban demi Batalion dan bangsa, kata Rusman.
Lalu kau, siapa namamu? tanya Pak Nas sambil menunjuk Rozak.
Rojali bin Jali, dari Batalion ke-129, dan saya siap untuk berkorban! teriak Rozak.
Beberapa orang yang tersisa dari Batalion ke-129 pun langsung berdiri dan
menyatakan kesiapan mereka untuk berkorban. Bahkan Sers. Suhaemi pun ikut
serta, ini membuat Pak Nas merasa senang, namun sekaligus juga prihatin.
Kapten Amir, kau punya anak buah yang luar biasa, bahkan dalam keadaan
terdesak, moril mereka masih tinggi, kata Pak Nas, tapi dari semua, justru
Batalion kalian yang paling kukhawatirkan, karena rata-rata masih terdiri dari anakanak muda, dan kalian baru mengalami kehilangan yang cukup besar,
Pak Nas, biarkanlah kami pergi, kata Kapt. Amrullah, lagi pula, apa lagi ajang
penggemblengan yang lebih baik daripada medan pertempuran bagi anak-anak
muda ini? Mungkin secara fisik kami lemah, tapi semangat kami akan membara
untuk membakar musuh,
Itulah hal kedua yang kukhawatirkan, kata Pak Nas, tapi bagaimana pun juga,
argumenmu masuk akal, hanya saja aku ingin kau untuk ingat beberapa hal,
Pak Nas terdiam sejenak.
Pasukan yang kalian hadapi ini adalah Doodleger, yang bahkan Letkol. Kawilarang
sendiri merasa jeri, dan misi kalian hanya mencari tahu apa yang dilakukan oleh
Doodleger, kata Pak Nas, jangan sekali-kali mengadakan pertempuran terbuka
dengan Doodleger kecuali terpaksa; jumlah orang dan amunisi kalian tak banyak,
jadi manfaatkan sebaik-baiknya untuk kesuksesan misi kalian,
Siap, Kolonel, kata Kapt. Amrullah.
Begitu misi kalian berhasil, segera melapor dan bergabung dengan pasukan
gabungan Brigade II dan Brigade IV, sekali lagi jangan mengadakan perlawanan
dengan Doodleger entah itu unit Verkenning atau unit utama tanpa sebab, kata
Pak Nas, camkan ini baik-baik,

Siap, Kolonel, kata Kapt. Amrullah.


Baiklah, mulai siapkan perbekalan dan amunisi, kata Pak Nas, kalian berangkat
besok subuh,
Persetujuan Pak Nas ini membuat perasaan semua orang di Batalion ke-129
membuncah dan campur aduk. Banyak kekhawatiran yang menggelayut mengingat
dengan kekuatan yang cukup minim, mereka akan kembali berperang. Namun
mengingat ini misi yang mulia, maka semua orang pun bersemangat untuk
menyongsongnya.
Kami adalah anak muda yang bersemangat, dan kami bagai menemukan rumah
kami dalam pertempuran. Semakin berbahaya misi ini, semakin kami tertantang
untuk maju. Apalagi denganku. Rusman yang dulu lemah dan menjadi olok-olokan
banyak orang kini sudah tumbuh dewasa dan menjadi orang yang pemberani. Bila
melihat bagaimana masa kecil kami, tentu saja perjalanan yang telah kami jalani
terasa sudah amat jauh. Almarhum orang tuaku tentu akan bangga, juga Nonik
Maria yang sejak awal selalu percaya padaku. Ini membuatku merasa amat ringan
dalam melangkah pada satu lagi tantangan di depan, tanpa menyadari bahwa
tantangan ini akan mengubah lagi hidupku untuk selamanya.
Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya.
Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia
Ir. Soekarno
Chapter IV: First Blood
7 Oktober 1947
Perbatasan Kabupaten Cianjur-Bandung
08.27 WIB
Hujan baru saja reda ketika batalion ke-129 Siliwangi bergerak menerabas hutan
sepanjang perbatasan Cianjur dengan Bandung, yang sebenarnya merupakan rute
yang berbahaya. Setelah agresi, Belanda menguasai wilayah-wilayah perkotaan
atau yang memiliki infrastruktur teratur, sehingga bergerak menuju Bandung boleh
dibilang tindakan nekad. Ini belum ditambah kehadiran pasukan maut, Doodleger,
yang bergentayangan entah di mana. Tapi, alasan kedua inilah yang membuat
pasukan batalion ke-129 harus bergerak menuju Bandung.
Laporan mengenai Doodleger yang menangkapi para penduduk jelas merupakan
sesuatu yang mengganggu bagi Kol. Nasution. Meski sudah ada gencatan senjata,
bagaimana pun wilayah yurisdiksi Divisi Siliwangi adalah di Jawa Barat, dan oleh
sebab itu keselamatan penduduknya pun berada di bawah tanggung jawab dari
divisi ini. Dan gerakan pasukan Doodleger ini dirasakan memang aneh, karena
hanya Doodleger saja yang melakukan penangkapan warga sipil, sementara
pasukan Belanda yang lain tidak. Dan untuk mencari tahu itu, adalah tugas dari
batalion ke-129.
Sejauh beberapa hari berjalan, pasukan kecil ini (karena sudah tidak lengkap
sebagai satu batalion utuh) menghindari jalan dan terutama patroli pasukan

Belanda, dan terus berupaya melacak jejak Doodleger. Batalion ke-129 sendiri
belum pernah secara langsung menghadapi Doodleger, baru pasukan dari Brigade
ke-2 di bawah pimpinan Letkol. Kawilarang yang pernah bersirobok dengan pasukan
maut ini, dan laporan dari mereka tidaklah menyenangkan. Divisi Siliwangi adalah
salah satu divisi yang disegani oleh pasukan Belanda, dan baru kali ini mereka
kerepotan menghadapi sebuah kesatuan Belanda di wilayah gerilya mereka sendiri.
Semua orang pun berjalan kembali, saling bahu membahu sebagaimana saudara.
Bahkan Rusman yang bertubuh paling lemah pun dibantu kawan-kawannya dengan
senang hati, walau Rusman sendiri merasa tak enak. Pun setelah insiden kemarin,
kawan-kawannya telah menjuluki Rusman dengan nama si kancil berhati singa,
karena badannya yang kecil namun keberaniannya menyala-nyala. Jarang ada
orang yang berani berhadapan dengan sebuah pesawat Belanda kecuali Rusman
dan Rozak.
Jalan yang licin membuat Rusman terpeleset dan jatuh. Dengan susah payah dia
berusaha untuk menjaga supaya Mannlicher-nya tidak terkena lumpur yang
memenuhi jalanan setapak. Memang mereka harus menghindari jalan besar,
mengingat Belanda sering berpatroli dan pesan dari Pak Nas adalah jelas: hindari
kontak dengan Belanda!
Hari pun semakin siang dan masih belum ada tanda-tanda dari buruan mereka,
Doodleger. Pasukan ini benar-benar pasukan yang amat mobil dan terus menerus
bergerak. Menurut informasi yang disampaikan oleh Brigade II, mereka dilengkapi
kendaraan-kendaraan yang memungkinkan mobilisasi pasukan dengan cepat untuk
bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Terbukti bahwa memburu pasukan ini pun
bukan masalah yang mudah. Sudah berhari-hari mereka mencari, tapi belum
menemukan satu pun jejak Doodleger, sementara mereka semakin dekat ke daerah
berbahaya di Bandung. Dengan konsentrasi pasukan Belanda di sini, mereka akan
mengambil risiko yang amat besar kalau sampai ketahuan.
Seiring hari yang semakin siang, seluruh batalion pun beristirahat sambil membagi
bekal makanan mereka yang kian menipis. Kapt. Amrullah sudah bertekad bahwa
bila hari ini tak mendapatkan apa-apa, maka mereka akan mundur kembali dan
bergabung dengan kekuatan utama Brigade IV pimpinan Letkol. Jahja. Pun, rencana
ini masih tak menyurutkan semangat para pasukan. Bagi mereka, pulang
merupakan alternatif yang tak kalah bagus bila misi tak tercapai. Kapt. Amrullah
dan Lt. Suhaemi pun sudah mulai membicarakan soal rute terbaik dan tercepat
untuk bisa kembali. Sayangnya, perkembangan yang datang kemudian menjauhkan
bayang-bayang rumah dari hadapan mereka.
Pengintai yang sejak tadi disebar oleh Kapt. Amrullah pun kembali dengan
tergopoh-gopoh. Semua orang yang beristirahat pun tahu bahwa ini biasanya bukan
pertanda bagus. Sebelum komando diberikan, mereka dengan segera mengemasi
barang dan mulai mempersiapkan senjata. Rusman dan Rozak yang kebetulan
berposisi dekat dengan Kapt. Amrullah dan Lt. Suhaemi tak sengaja mencuri dengar
laporan dari pengintai itu.

Dua kendaraan Belanda, satu jenis jeep dan satu lagi sepeda motor berkereta
samping, jumlahnya 5 orang total, kata Kapt. Amrullah mengulang laporan si
pengintai.
Pengintai kah? tanya Lt. Suhaemi.
Mungkin, tapi kalau mereka diam di jalan, apa bisa disebut sedang mengintai?
tanya Kapt. Amrullah.
Sepertinya mereka menunggu kedatangan seseorang, kata si pengintai.
Apa kamu ketahuan atau mereka tahu kedatanganmu? tanya Kapt. Amrullah.
Tidak, Kapten, posisi kami jauh, dan saat kami melihat mereka, mereka sudah
dalam posisi menunggu, kata si pengintai.
Ada tanda kesatuannya? Jangan-jangan mereka berasal dari Batalion Andjing
NICA, tanya Lt. Suhaemi.
Bukan, Letnan, mereka tak memakai emblem anjing, melainkan tengkorak dengan
pedang bersilang, dan corak seragam mereka berbeda dengan seragam tentara
Belanda yang pernah kita kenal, kata si pengintai.
Kapt. Amrullah dan Lt. Suhaemi hanya saling berpandangan saja sambil menarik
napas panjang.
Doodleger, gumam Kapt. Amrullah.
Akhirnya buruan yang kita cari ketemu juga, kata Lt. Suhaemi, bagaimana kalau
kita ke sana?
Ya, tapi jangan gegabah, siapa tahu mereka menunggu sisa pasukan yang lebih
besar lagi, kata Kapt. Amrullah, dan Pak Nas sudah berpesan agar kita jangan
sampai membuka kontak dengan pasukan Belanda mana pun, jadi termasuk pula
dengan Doodleger,
Baik, aku akan siapkan semua pasukan, kata Lt. Suhaemi.
Lt. Suhaemi pun menghormat dan meninggalkan Kapt. Amrullah. Sementara itu
Rusman dan Rozak masih termenung.
Kau dengar tadi? Doodleger, kata Rusman.
Ya, akhirnya senapanku bisa makan korban juga, kata Rozak, lebih bagus lagi
kalau pemimpin mereka sendiri yang datang,
Hus, jangan bicara sembarangan, kata Rusman, ada alasan kenapa Letkol.
Kawilarang membicarakan mengenai Doodleger dengan nada yang penuh kehatihatian; bila Letkol. Kawilarang sendiri menganggap tinggi Doodleger, maka
seharusnya kita tak boleh meremehkan mereka,
Bagiku, Belanda adalah tetap Belanda, kata Rozak, dan tentara Belanda adalah
sasaran dari peluru-peluruku,
Rusman, meski tak begitu suka dengan nada bicara Rozak, dia pun memilih tak
berdebat lebih jauh, karena panggilan untuk berkumpul sudah diserukan.
Doodleger, buruan mereka selama berhari-hari telah ditemukan, dan entah apa
yang harus diharapkan dari sebuah pasukan Belanda yang ditakuti bahkan oleh
Letkol. Kawilarang yang terkenal jago itu.
7 Oktober 1947
Perbatasan Kabupaten Cianjur-Bandung

12.36 WIB
Dengan cepat, pasukan Batalion ke-129 bergerak senyap mencoba untuk tak
membuat tanaman yang mereka lewati beriak. Sasaran mereka adalah sebuah
persimpangan jalan di mana mobil dan motor sespan yang dilaporkan oleh para
pengintai tadi berada. Mereka sendiri akan berada pada posisi di bukit di atas jalan
tersebut, cukup jauh untuk bisa diketahui, namun masih masuk dalam jarak
pandang mereka, sehingga mereka bisa mengawasi area itu dengan leluasa tanpa
takut ketahuan. Bila pun ketahuan, maka jarak antara mereka dengan Belanda
berarti mereka masih bisa melakukan perlawanan singkat dan lari berpencar untuk
menghindari kejaran, setidaknya teorinya seperti itu.
Pasukan pun bergerak menempati posisi mereka masing-masing dengan senjata
dalam posisi siap tembak. Pun, gerakan mereka yang senyap mengindikasikan
mereka tak mengharapkan terjadinya kontak senjata kecuali bila benar-benar perlu.
Berkali-kali berusaha bersembunyi dan lari dari musuh berarti Batalion ke-129
sudah amat fasih dalam hal bergerak secara senyap. Masing-masing di posisinya
segera berjongkok dan berlindung di balik tabir tanaman yang menyembunyikan
mereka dari jarak pandang musuh.
Agak jauh di depan, sedikit menurun, adalah persimpangan jalan yang dimaksud,
dan kedua kendaraan itu memang masih ada di sana. Kapt. Amrullah melihat lewat
teropongnya, dan sadar bahwa seragam pasukan Belanda itu memang berbeda
dengan seragam tentara Belanda yang dia kenal. Biasanya, tentara Belanda atau
KNIL memakai baju olive drab polos atau loreng M1942 pattern Amerika Serikat
yang mirip dengan loreng macan tutul, tapi kelima serdadu ini menggunakan pola
doreng yang jauh lebih rumit, pola yang disebut sebagai Leibermuster ex-Waffen SS.
Hanya emblem bendera Belanda saja yang membuat mereka dikenali sebagai
pasukan Belanda. Kelima serdadu juga dalam keadaan siaga dan memegang
senjata mereka masing-masing, termasuk sepucuk senapan mesin berat Browning
M2HB 12,7mm pada jeep dan senapan mesin serbaguna Browning M1919 7,62mm
pada sespan motor. Sikap mereka yang siap siaga membuat Batalion ke-129 yang
mengintai pun tak kalah tegangnya. Komando pun diberikan tanpa suara supaya tak
membocorkan posisi mereka kepada musuh. Bila memang kelima serdadu ini ingin
bertemu dengan pasukan induk, maka membocorkan posisi bukanlah hal yang
bijaksana, meski jumlah Batalion ke-129 jelas lebih banyak.
Benar saja, karena tak lebih dari 15 menit setelah Batalion ke-129 berada di posisi
intai, terdengar suara gemuruh mesin kendaraan yang bertalu-talu. Lalu dari arah
berhadapan dengan posisi kelima prajurit Belanda itu, mulai muncul konvoi
kendaraan, 5 buah jeep dan 8 buah truk ditambah 2 buah halftrack buatan Jerman
SdKfz 251/21 antiserangan udara bersenjatakan masing-masing triple
MG151/20mm autokanon. Satu hal yang diamati berbeda oleh Batalion ke-129
adalah konvoi ini diam, padahal biasanya di wilayah yang dianggap aman, tentara
Belanda biasa dalam konvoi sering bergumam atau bernyanyi-nyanyi. Seluruh
tentara di konvoi ini, kebalikannya, memasang tampang serius dan selalu siap
tempur. Kebanyakan mereka menggunakan senjata-senjata yang masih asing di
mata Batalion ke-129, seperti senapan semi-otomatis G43 alih-alih M1 Garand
regular, serta mitraliur MP-40 yang menggantikan Thompson.

Namun perhatian tertuju pada jeep yang paling depan, karena di sana, duduk di
bangku sebelah pengemudi, satu-satunya orang yang memakai trench-coat pada
cuaca sepanas ini. Bersama dengan visor-cap dan topeng tengkorak warna perak
metalik, dialah Silberneschadel, atau oleh TNI dikenal sebagai Si Jerangkong.
Silberneschadel duduk dengan mata menatap tajam ke depan, pandangan mata
seorang pemburu. Di tangan kirinya, dekat dengan pintu jeep, tergenggam sebuah
pedang lurus sepanjang 80 cm yang merupakan simbol kebanggan dari perwira SS
Jerman, sebilah Ehrendegen-Reichsfuhrer-SS, atau yang biasa disebut sebagai SS
Degen saja. Kesemua itu menambah aura kengerian dari si pemimpin Doodleger ini,
yang bahkan melihatnya saja cukup untuk membuat orang bergidik ketakutan.
Konvoi pun berhenti di depan patroli yang sudah sedari tadi menunggu, dan
beberapa orang prajurit dari jeep segera turun disusul oleh Silberneschadel yang
menyandang pedangnya. Tampaknya Silberneschadel ingin mendengar laporan dari
patrolinya.
Si Jerangkong, kata salah satu prajurit Siliwangi di dekat Rusman.
Bikin merinding ya, tampangnya, timpal rekannya.
Memang, dengan postur tinggi tegap, langkah yang mantap dan trench-coat serba
hitam, membuat penampilan Silberneschadel tampak amat mengerikan. Selain dari
tampilannya, aura yang dibawanya memang menampilkan aura malaikat maut
yang tengah berjalan. Prajurit patroli pun memberinya hormat dengan mengangkat
tangan kanannya, kemudian dia menunjukkan sebuah peta kepada Silberneschadel.
Mereka punya peta, kata Lt. Suhaemi, tahu begitu kita serang saja tadi, rebut
petanya, lalu mundur,
Tak akan cukup waktunya, kata Kapt. Amrullah, lagi pula kita tak tahu kalau
mereka memegang peta,
Ya, dan peta itu akan menunjukkan apa sebenarnya rencana dari si Jerangkong
itu, kata Lt. Suhaemi, dan itulah yang selama ini kita cari,
Rusman hanya mendengarkan diskusi kedua komandannya ini hingga dia nyaris tak
sadar bahwa Rozak sudah meninggikan tubuhnya dan membidik dengan senapan
Arisaka-nya. Tentu saja begitu sadar, Rusman menjadi amat terkejut.
Kamu mau ngapain, Zak? tanya Rusman lirih, cepet turun, bahaya kalau
kelihatan!
Aku sudah membidiknya, si Jerangkong, kata Rozak dingin, sekali tembak dan
hilang satu kekhawatiran,
Terlalu berisiko! Jangan main-main kamu, kita belum diperintahkan menembak,
kata Rusman, cepat kembali merunduk!
Satu tembakan saja, dan aku tak akan meleset, kata Rozak.
Aku tahu kamu tak akan meleset, tapi itu bisa membahayakan seluruh batalion,
Zak! kata Rusman, ayo cepat kamu
Silberneschadel tiba-tiba menoleh, dan sontak Rusman serta Rozak pun langsung
merunduk, begitu pula semua pasukan di Batalion ke-129. Gerakan ini benar-benar
tiba-tiba, seolah ada sesuatu yang mengganggu Silberneschadel. Dia kembali
menoleh dan melempar pandangan ke arah perbukitan seolah tengah mencari
sesuatu. Apakah Silberneschadel mengetahui bahwa mereka ada di sini? Apa dia

mendengar keributan kecil antara Rusman dan Rozak itu? Tidak mungkin, jaraknya
terlalu jauh untuk bisa didengar, dan juga untuk dilihat, apalagi Silberneschadel
tidak menggunakan teropong. Akan tetapi pandangan matanya yang tak terlihat di
balik rongga topeng tengkorak itu tak ayal menebar rasa ngeri yang menusuk
hingga ke dalam tulang siapa yang melihatnya.
Ketegangan memuncak di sisi Batalion ke-129, dan secara isyarat, Kapt. Amrullah
memerintahkan semua senjata dipersiapkan, berjaga-jaga dari segala
kemungkinan. Bila memang benar Silberneschadel mengetahui posisi mereka, maka
mereka akan memberi perlawanan ringan sebelum lari dan menghilang
memanfaatkan jarak yang cukup besar antara kedua pasukan. Tapi di saat-saat
menegangkan itu, Silberneschadel kembali menoleh ke arah peta dan melanjutkan
diskusinya dengan pasukan pengintainya.
Semua menarik napas lega, kecuali Rusman. Firasatnya mengatakan bahwa bahaya
masih belum berlalu, tapi tak mungkin meyakinkan Kapt. Amrullah atau Lt. Suhaemi
hanya berdasar firasat. Hanya dia satu-satunya yang masih memasang mata secara
khusus ke arah Silberneschadel, walau dengan jantung yang terus berdegup
kencang dan keringat dingin yang terus menerus mengalir.
Silberneschadel memanggil salah satu ajudannya. Sepertinya dia sudah
menemukan cara terbaik untuk melakukan pendekatan atas apa pun yang tadi
ditunjuknya di atas peta, dan si ajudan segera berlari dari truk ke truk untuk
menyampaikan yang diperintahkan oleh komandannya itu. Sementara perhatian
Silberneschadel sendiri kembali tertuju pada peta, seolah tengah merenung, dan
baru beralih setelah ajudannya kembali lagi. Berikutnya, dia memanggil salah satu
prajurit pengintainya, cukup mencolok karena dia satu-satunya yang menyandang
senapan semiotomatis G-43 di tengah-tengah kawan satu regunya yang memakai
mitraliur MP-40. Prajurit itu menyerahkan senapannya kepada Silberneschadel, dan
Silberneschadel pun memeriksa senapan itu, sepertinya tengah melakukan inspeksi
senjata. Rusman pun semakin erat memegang senapannya.
Tanpa diduga, tiba-tiba Silberneschadel berputar dengan senapan di tangannya
terbidik, mengarah ke posisi Batalion ke-129, dan dengan tempo tak kalah
cepatnya, senapan G-43 itu langsung meletus diikuti teriakan seorang prajurit
Batalion ke-129 yang tertembus pelurunya saat bersembunyi di balik perdu.
Kita ketahuan!! teriak Kapt. Amrullah.
Pemberitahuan itu terlambat, karena tak sampai dua detik setelah Silberneschadel
menembak, seluruh pasukannya segera saja melepaskan tembakan senapan mesin
berat 12,7mm dan juga artileri MG-151/20mm ke arah persembunyian Batalion ke129, menimbulkan hujan proyektil peluru yang berukuran sebesar bola pingpong,
menembus kayu, memotong rumput dan dedaunan, dan mengiris daging manusia
semudah mentega yang dibelah pisau panas. Amat gencar serangan itu sehingga
para pasukan Batalion ke-129 langsung kocar-kacir dan tak mampu memberikan
serangan balasan apa pun.
Masih belum cukup, beberapa orang prajurit Doodleger turun sambil membawa
senjata yang serupa dengan pipa besi, sebuah Raketenpanzerbuchse 88mm, atau

biasa disebut sebagai Panzerschreck. Mereka langsung membidik dan tahu-tahu


beberapa roket berdaya ledak tinggi berdiameter 88mm langsung meluncur dan
membabat habis semua yang dihantamnya. Ledakan-ledakan terjadi amat dekat
dan potongan tubuh manusia pun ikut turun bersama material-material yang
dihantam roket itu hingga terbang ke udara.
Lari!! Berpencar!! kata Kapt. Amrullah, kita bertemu di rendesvouz!!
Rusman nyaris tak bisa mendengar aba-aba kaptennya itu akibat bunyi ledakan dan
desingan peluru yang sudah cukup memekakkan telinga. Hanya berdasar naluri saja
saat dia mengambil senapannya dan mulai berlari menyelip di antara hujan peluru
kaliber besar. Pandangan matanya kabur dan telinganya berdenging amat kencang,
dan satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah bergerak mengikuti bayangan
kelebat warna khaki yang dia tahu adalah rekan sebatalionnya yang terlebih dulu
bergerak. Dia sudah tak mengurus lagi di mana Rozak, di mana Kapt. Amrullah atau
Lt. Suhaemi. Semua yang terjadi di sekitarnya bagaikan film yang diputar secara
slow-motion, tak ada suara, dan gambarnya pun tak jelas, hanya bau kordit, darah,
hawa panas, dan bumi yang terus bergetar akibat ledakanlah yang
memberitahukan bagaimana keadaan lapangan yang sebenarnya.
Granat!! teriak salah seorang prajurit.
Rusman secara refleks tiarap, dan benda-benda besi bertangkai pun seolah
berjatuhan dari angkasa. Lima buah, enam buah, tahu-tahu sudah sekitar 13 buah
yang turun dan mendarat di berbagai tempat. Semuanya meledak bersamaan dan
menimbulkan syok suara serta getaran yang amat dahsyat. Shrapnel dan pecahan
pun bertebaran di mana-mana. Teriakan kengerian serta kesakitan kembali
terdengar memilukan, dan belum hilang rasa keterkejutannya, sebuah potongan
lengan bawah yang bersimbah darah langsung jatuh berdebum tepat di depan
wajah Rusman yang sedang bertiarap. Entah tangan siapa itu, tapi cukup
membuatnya syok sejenak.
Pandangan mata Rusman tertuju pada sosok di depannya, yang perlahan-lahan bisa
dia kenali sebagai Rozak, kawannya. Rozak segera membantu Rusman untuk
bangkit, lalu menariknya hingga mereka berdua tersembunyi di balik batu besar.
Sudah kubilang, aku bisa menembaknya tadi; kalau saja kau dengar, kita tak akan
serepot ini, kata Rozak.
Rusman diam saja, tubuhnya gemetaran akibat semua yang terjadi. Dia hanya
memandang Rozak yang masih berusaha menarik napas sambil bertumpu pada
Arisaka-nya.
Tapi belum terlambat untuk itu, kata Rozak.
Tanpa sempat dicegah, dan sejujurnya Rusman tak sedang dalam keadaan baik
untuk melakukan itu, Rozak menjulurkan badannya dari balik lindungan batu besar
itu dan membidikkan senapan Arisaka-nya kembali. Dia kali ini tak mengincar siapasiapa kecuali satu orang, Silberneschadel, yang berdiri tampak menonjol dengan
topeng tengkorak perak dan baju trench-coat-nya yang berbeda dari yang lain.

Rozak sepertinya sudah gatal ingin membunuh komandan Doodleger ini yang telah
menyebabkan banyak rekan mereka mati. Rusman pun turut mengintip dari balik
batu, tak berani menampakkan tubuhnya lebih banyak lagi. Melihat Rozak yang
serius, Rusman tahu bahwa Rozak telah membidik sasarannya.
Cepetan, Zak, kata Rusman terbata-bata, kalau ada granat dilempar, artinya
mereka sudah dekat,
Sabar, sedikit lagi, kata Rozak.
Rusman bergidik ngeri melihat bayangan-bayangan yang bergerak mendekat.
Bayangan-bayangan itu adalah pasukan Doodleger yang kini sudah semakin dekat,
bergerak dengan cepat memanfaatkan tabir tembakan. Komando dalam bahasa
Jerman pun terdengar sayup-sayup sementara suasana menjadi sedikit lebih tenang
akibat senapan mesin 12,7mm dan kanon MG-151/20mm sudah menghentikan
aksinya. Mereka tak ingin salah menghantam pasukan mereka sendiri yang kini
semakin mendekati garis musuh. Suara letusan G-43 dan MP-40 kini menjadi lebih
sering terdengar, dan Rozak masih diam mematung dengan mata terpancang pada
pejera.
Cepat, Zak! kata Rusman tak sabar.
Baik, sebentar lagi, kata Rozak.
Rozak pun menarik napas panjang kemudian menahannya. Perlahan-lahan jarinya
dia selipkan di depan picu senapan Arisaka-nya, dan dengan tanpa sekalipun
membuat gerakan tak perlu, Rozak menekan picu dan peluru 7,7mm Arisaka pun
langsung meletus melesat menuju ke arah sasarannya, yaitu Silberneschadel.
Peluru melesat dengan amat cepat, dan kali ini bahkan seorang Silberneschadel pun
tak akan bisa lolos. Rusman pun ikut menahan napas sambil mulutnya komat-kamit
membaca doa sementara peluru semakin mendekat.
Tapi tanpa dinyana, dalam tempo sepersekian detik, Silberneschadel mencabut
pistol Luger P08 yang dia bawa, dan langsung dia tembakkan sekilas tanpa dia
melakukan pembidikan. Letupan kecil pun terjadi di udara, dan bagi Rozak serta
Rusman, pemandangan itu amat sangat mengejutkan karena memang di luar nalar
sehat. Silberneschadel, telah dengan tepat menembak ke arah peluru yang melesat
ke arahnya! Bahkan meski Rozak bisa membidik dengan amat tepat, jenis bidikan
Silberneschadel ini serasa bukan bidikan manusia. Tak salah lagi, karena hanya
setanlah yang bisa membidik setipis dan setepat itu. Tak ada lagi penjelasan lain
yang masuk akal.
Zak, ayo pergi! kata Rusman begitu dia terkesiap kembali dari keterkejutannya.
Rozak pun mengangguk, dan dia segera berlari mengikuti Rusman yang sudah
terlebih dahulu beranjak. Tapi belum begitu jauh, setangkai Stielhandgranate tibatiba saja jatuh di antara mereka berdua. Rozak melihatnya dengan penuh
kengerian.
Man, granat!!! teriak Rozak sambil melompat menjatuhkan diri.

Rusman menoleh ke belakang sejenak dan terbelalak melihat granat tangkai yang
tergeletak di tanah. Kontan saja dia langsung melompat untuk menjatuhkan diri,
namun sebelum sempurna sampai di tanah, granat sudah meledak dan energi
ledakan itu mendorong Rusman hingga terlempar lebih jauh lagi dan langsung
terperosok ke dalam turunan di sisi lain bukit. Tubuh Rusman langsung
menggelinding bagai bola, menghantam semak dan ranting sebelum akhirnya
berhenti setelah tertahan sebuah semak rimbun di bawah turunan. Rusman
mengerang, seluruh badannya sakit dan penuh dengan luka lecet dan gores. Tapi
dia beruntung, karena bila jatuhnya meleset, dia bisa saja menghantam batu
karang di dekat semak itu dan akan mendapat cedera lebih serius.
Rozak!! teriak Rusman memanggil sahabatnya itu.
Tak ada jawaban
Belum sempat Rusman memanggil untuk kedua kalinya, sebuah tangan sudah
membantunya berdiri. Bukan Rozak, tapi prajurit Batalion ke-129 dari kompi yang
lain. Langsung saja dia menyeret Rusman untuk ikut berlari bersamanya, dan juga
beberapa prajurit lain. Rusman yang tak sempat berpikir apa-apa lagi pun ikut
berlari, karena desingan peluru Mauser 7,92mm dari G-43 serta 9mm Parabellum
dari MP-40 sudah semakin gencar, tanda musuh semakin dekat. Dengan terpaksa,
Rusman pun berlari meninggalkan sahabatnya ini bersama beberapa anggota
Batalion yang masih tersisa. Dia tak tahu apakah saat ini Rozak masih hidup atau
sudah mati. Yang dia tahu adalah bahwa saat ini, dia sedang berlari demi
menyelamatkan nyawanya sendiri, tak ada waktu untuk memikirkan nyawa orang
lain, betapa pun Rusman ingin melakukannya.
Tapi Rozak belum mati. Dia sempat terlempar saat granat meledak dan jatuh
terjerembap amat keras hingga dia tak mampu bangun sendiri, tapi dia masih
hidup. Saat Rozak membuka mata, sepucuk G-43 sudah ditodongkan tak beberapa
jauh dari mukanya oleh seorang prajurit Doodleger. Ingin sekali Rozak bergerak
menelikung dan merampas senjata prajurit ini, ada kesempatan untuk itu, tapi
tubuhnya terlalu sakit, bahkan untuk melakukan gerakan-gerakan kecil sekalipun.
Lagi pula bila Rozak macam-macam, kawan-kawan prajurit ini yang berada tak jauh
pasti tak akan berpikir dua kali untuk membunuhnya.
Dengan kasar Rozak dan beberapa prajurit Siliwangi lain yang masih hidup
langsung diseret dan dikumpulkan di jalan, di depan Silberneschadel dengan
dikelilingi para prajurit Doodleger bersenjata lengkap. Rupanya atas perintah
Silberneschadel, sebisa mungkin untuk tidak membunuh musuh dan alih-alih,
musuh yang masih bisa bergerak harus ditahan. Untuk urusan apa, hanya
Silberneschadel yang tahu. Cukup banyak juga anggota Batalion ke-129 yang
tertangkap, sementara sisanya masih diburu oleh anggota Doodleger lainnya.
Setiap menit ada saja orang yang dibawa, tapi dilihat dari jumlah mereka yang
dikumpulkan, sepertinya banyak yang entah mati atau berhasil kabur dari
pertempuran ini.
Salah satu yang ditahan adalah Kapt. Amrullah. Dia tampak memasang tampang
bengis, meski lukanya membuatnya tak bisa melawan lagi. Kedua tangannya diikat

ke belakang, sementara ada luka terbuka cukup parah pada pahanya. Selain itu,
secara umum keadaan Kapt. Amrullah baik-baik saja.
Kapten kata Rozak lirih saat seorang prajurit juga mengikat tangannya.
Kapt. Amrullah hanya menoleh dan melihat saja, namun dia tak sempat menjawab
karena Silberneschadel tahu-tahu sudah ada di dekatnya, dan pedang Ehrendegennya yang masih berada di dalam sarungnya disentuhkan pada dagu Kapt. Amrullah.
Silberneschadel mengangkat pedangnya sehingga kepala Kapt. Amrullah ikut
terdorong hingga melihat ke arah topeng perak Silberneschadel yang mengerikan.
Kau komandannya? tanya Silberneschadel dalam bahasa Belanda kepada Kapt.
Amrullah.
Kapt. Amrullah tidak menjawab dan rasanya dia tak perlu menjawab karena hanya
dia satu-satunya yang berpangkat kapten di kelompok ini.
Tadinya kuharap kalian akan memberikan perlawanan yang lebih sengit, tapi
rupanya begini sajakah kekuatan Divisi Siliwangi Republik yang disegani itu? kata
Silberneschadel, sungguh kisah-kisah mengenai kehebatan kalian benar-benar
dilebih-lebihkan.
Silberneschadel diam sejenak sebelum akhirnya menarik Ehrendegen-nya dan
kembali memasangnya pada trench coat.
Berapa orang anggotamu, Kapten? tanya Silberneschadel dengan suara parau
mengerikan.
Kapt. Amrullah pun mendongak sejenak, dan membuka mulutnya. Tapi bukan katakata yang keluar dari mulut Kapt. Amrullah, melainkan sebuah nyanyian.
Wilhelmus van Nassouwe, ben ik van Indonesien bloed.
Den Soekarno getrouwe blijf ik tot in den dood
DOOR!!
Tanpa peringatan, pistol Luger yang dibawa oleh Silberneschadel meletus dan Kapt.
Amrullah langsung tersungkur dengan kepala berlubang. Dia langsung mati
sebelum menyentuh tanah. Tampaknya nyanyian Kapt. Amrullah, yang memang
merupakan versi plesetan dari lagu kebangsaan Belanda, Het Wilhelmus, terdengar
cukup menyakitkan di telinga Silberneschadel.
Verdammt! teriak Silberneschadel seolah menyumpahi jenazah Kapt. Amrullah,
berani sekali kau merusak kesucian lagu itu!
Baik di pihak tawanan maupun para prajurit Doodleger sendiri semuanya hening,
tak ada yang berani membuka suara. Silberneschadel kembali menyarungkan pistol
Luger-nya yang moncongnya masih berasap, kemudian dia memberi perintah
kepada ajudannya.

Bawa semua tahanan masuk ke dalam truk, begitu semua regu kita sudah kembali,
kita langsung berangkat, kata Silberneschadel, dan katakan pada semua regu,
dalam 1 jam semua harus sudah siap di sini,
Sang Ajudan pun menghormat sementara Silberneschadel kembali ke jipnya masih
dengan mulutnya meluncurkan sumpah serapah.
Chapter V: Chrysalis
Rusman dan kawan-kawannya yang berhasil dia temukan terus berlari dengan salah
satu grup Doodleger mengejar tak jauh di belakang. Sejujurnya, ini sudah melebihi
kekuatan fisik Rusman, tapi demi menyelamatkan hidupnya, dia terus saja berlari.
Para Belanda ini benar-benar mengejar, tak ada yang menembak, tapi entah
bagaimana dalam hutan-hutan, kawasan yang seharusnya menjadi taman bermain
bagi pasukan Siliwangi, justru kali ini pasukan Siliwangi yang tengah dikejar-kejar
oleh Belanda.
Begitu kembali masuk ke jajaran hutan dengan vegetasi lebat, Rusman dan semua
kawan-kawannya segera bersembunyi di balik sebuah batu yang besar.
Persembunyian ini sebenarnya amat buruk, karena dengan cepat pasukan Belanda
yang tiba akan segera menemukan mereka, tinggal soal waktu saja. Tapi bagaimana
pun, semua sudah lelah dengan pengejaran ini dan harus berhenti sebentar untuk
beristirahat.
Bersama Rusman, kini hanya ada 5 orang yang masih tersisa. Nasib yang lainnya
sendiri tak ada yang tahu. Apa yang tadinya adalah sebuah batalion ke-129 yang
walau sudah tak utuh namun masih merupakan sebuah kekuatan tempur yang
lengkap, kini hanya tinggal mereka berlima, prajurit-prajurit yang lelah dan tak
bersenjata. Ya, tak ada yang memegang senjata satu pun, bahkan sebutir peluru
pun tidak. Senapan Mannlicher yang menjadi andalan Rusman pun telah hilang
entah di mana, mungkin terjatuh pada saat hujan tembakan, atau pada saat
ledakan granat yang telah memisahkannya dengan Rozak. Jadi satu-satunya pilihan
adalah antara menyerah dan menyerahkan nasib mereka di tangan Belanda, atau
tetap lari, karena untuk balik melawan pun sudah tak mungkin. Menyerbu dengan
tangan kosong a la serangan Banzai Jepang sama saja cari mati, dan tak ada
gunanya. Jika mereka terus lari, ada kemungkinan mereka bisa selamat walau kecil.
Dan bila mereka selamat, maka setidaknya ada yang bisa melaporkan nasib
batalion ke-129 kepada markas Siliwangi.
Tapi bagi Rusman sendiri, tidak ada pilihan yang bisa dia pilih. Dia sudah amat lelah
dan tubuhnya serasa sakit semua hingga ke tulang-tulang. Luka-lukanya terasa
perih menyengat dan pandangan matanya mulai kabur. Saat teman-temannya
bicara soal pergi ke rendesvouz, dia bahkan nyaris tak bisa menyimaknya. Rusman
pun berpikir, keadaannya kini sudah amat payah dan hanya tinggal bertumpu pada
sisa-sisa kekuatannya yang kini sudah amat menipis. Dia melihat ke arah temantemannya dan sadar bahwa bila teman-temannya masih memaksakan untuk
membawanya, maka dia bisa membahayakan semua orang. Mereka lebih
berkesempatan selamat bila tak bersama Rusman.

Bila mereka datang, aku akan memancing mereka, kata Rusman tiba-tiba, segera
setelah mereka mengejarku, kalian pergilah ke arah lain, dan langsung ke
rendesvouz,
Mereka yang sedang membicarakan soal rute terbaik menuju rendesvouz pun
terkejut dengan perkataan Rusman itu.
Jangan bercanda, kita tak akan meninggalkan siapa pun, kata seorang kawannya
yang diamini oleh yang lain.
Tapi kalian juga tahu kalau tetap membawaku, kalian lebih berisiko untuk
tertangkap, kata Rusman, tak ada waktu lagi, mereka semakin dekat,
Rusman benar, karena kemudian terdengar suara semak tersibak dan orang
berbicara dalam bahasa Jerman. Para Doodleger ini segera membentuk sebuah
perimeter, dan begitu perimeter itu sudah selesai terbentuk, maka peluang mereka
untuk lari akan nyaris nihil.
Tidak ada cara lain, aku akan mengalihkan perhatian mereka, dan begitu mereka
mengejarku, kalian segera lari ke arah berbeda, kata Rusman.
Kawannya yang tampaknya menjadi pimpinan kelompok kecil itu tampak gamang
mendengar perkataan Rusman itu. Di satu sisi dia tak ingin meninggalkan barang
seorang pun sisa dari batalion ke-129, tapi di sisi lain dia sadar bahwa perkataan
Rusman ini amat benar. Bila tak bersama Rusman, kemungkinan selamat keempat
orang lainnya lebih besar. Tak jauh dari sini ada jalan mendaki yang dengan
keadaan Rusman sekarang, pasti susah untuk dia ikut.
Sudahlah, jangan berpikir lagi, tak ada cara lain, kata Rusman.
Kali ini Rusman memang sudah siap untuk menjadi tumbal demi keselamatan
teman-temannya. Dan sekali lagi, keberanian Rusman ini membuat kagum semua
temannya. Dengan berat hati, mereka pun menyetujuinya.
Baiklah, kata si kawan, tapi dengan satu syarat, kau tak boleh mati; kita harus
bertemu lagi,
Tenang saja, Belanda juga akan rugi membuang peluru untuk membunuhku, kata
Rusman sambil tersenyum.
Semuanya pun langsung menyalami Rusman dengan penuh haru. Rusman sendiri
hanya pasrah dan memberi senyuman sekadar untuk berpantas saja. Bila memang
Belanda harus membunuhnya hari ini, setidaknya teman-temannya bisa selamat
dan bisa memberikan kabar mengenai nasib batalion ke-129 pada Kolonel Nasution.
Merdeka, Bung! kata Rusman sambil mengepalkan tinjunya.
Dengan menghimpun kekuatan terakhirnya, Rusman segera beranjak dan lari
membabi buta, membuat keriuhan yang cukup supaya seluruh grup Belanda yang

mengejarnya tahu. Dan memang siasat itu berhasil, karena seluruh regu itu
langsung saja mengejar Rusman yang berlari dengan serampangan.
Stopp!! teriak para Doodleger itu kepada Rusman.
Tapi Rusman tetap bergeming dan lari tanpa menoleh. Dalam hati dia hanya
berharap supaya rekan-rekannya bisa memanfaatkan celah kesempatan ini dan
kabur. Tapi bagaimana nasib mereka, sudah di luar sepengetahuan Rusman.
Stopp!! Umgeben!!
Betapa pun cepatnya Rusman berlari, semakin lama pasukan Doodleger yang
memang lebih segar dan juga sehat semakin mendekat. Semakin sering pula
Rusman menoleh ke belakang melihat para pengejarnya tak hanya sekadar
mengejarnya, namun juga bermanuver untuk mengepungnya. Beberapa orang
menuju ke sisi kanan, sementara lainnya ke sisi kiri. Rusman pun secara naluriah
berusaha bermanuver, tapi kekuatannya semakin lama sudah semakin menipis
sementara para pengejarnya sudah semakin dekat.
Rusman kembali menoleh ke belakang untuk melihat seberapa dekat kini
pengejarnya, dan tiba-tiba pijakannya menginjak tanah kosong dan dia langsung
terjerumus masuk ke dalam sebuah turunan curam, dan menggelinding cepat
bagaikan bola. Rupanya saat dia menoleh tadi dia tak sadar bahwa larinya
mengarah ke sebuah turunan. Sekali lagi, dia merasakan tubuhnya terbantingbanting di tanah yang keras, tajam dan berbatu sebelum akhirnya terhempas di
dasar turunan.
Kali ini benar-benar skakmat bagi Rusman. Tubuhnya sudah tak lagi bisa
digerakkan, walau dia masih cukup sadar. Pandangannya sudah kabur dan
berkunang-kunang, serta semua luka yang merajam tubuhnya kini semakin
menyayat dan membara. Hanya sayup-sayup dia mendengar suara perintah dalam
bahasa Jerman yang dia sama sekali tak mengerti artinya, hanya sedikit dengan
cara mendeduksi sesuai kata-kata dalam bahasa Belanda yang pernah dia pelajari.
Inilah dia, mungkin ini akhir dari seorang Rusman Suhadi. Bila dia tak tewas oleh
peluru Belanda, luka-luka yang dia dapat rasanya cukup untuk membuatnya
menghadap sang Khalik.
Anjeun henteu nanaon?
Kata-kata dalam bahasa Sunda halus ini membuat Rusman sedikit terhenyak. Dia
mengedip-ngedipkan mata saat sesosok kabur menutupi pandangannya dari
cahaya luar.
Kisanak, kau tak apa-apa? tanya si sosok ini lagi dengan nada penuh kebapakan.
Ya, pastilah ini bukan orang Belanda, karena setelah pandangan matanya agak
jernih, dia bisa melihat sosok sayup seorang kakek tua yang ceking dan berjenggot
putih serta dari matanya tampak dia sudah mengalami banyak sekali pergantian
musim. Dia memakai baju warna hitam terbuka khas orang desa. Entah apa yang

dia lakukan di sini, tapi yang jelas nada bicaranya membuat Rusman sedikit merasa
nyaman.
Kisanak? Kau tak apa-apa? tanya si kakek lagi.
Rusman, dengan lemah tiba-tiba teringat bahwa dia tengah dikejar oleh pasukan
Doodleger, dan bila mereka menemukan kakek ini tengah bersama dengannya,
pasti kakek ini dikira simpatisan Republik, dan mungkin akan ditawan atau dibunuh.
Kakek, cepat pergi, Kek, tinggalkan saya kata Rusman lemah, Belanda sudah
dekat,
Tapi si kakek tidak beranjak, dan malah terus menunggui Rusman. Sementara
sayup-sayup suara komando berbahasa Jerman semakin terdengar keras.
Kakek, cepat pergi, kata Rusman nyaris lirih, tinggalkan saya, selamatkan diri
Kakek, Belanda sudah dekat,
Si Kakek hanya tersenyum saja.
Kakek henteu aya urusan sama orang Belanda, kata si Kakek tegas, tapi kamu
harus segera ditolong,
Tanpa mempedulikan Rusman yang terus dengan separuh napas berusaha
menghalaunya, si Kakek langsung mengangkat Rusman dan dengan sekali angkat,
tubuh Rusman langsung berpindah di atas punggung si kakek. Cukup
mengherankan bahwa dengan badan seceking itu, si kakek bisa dengan mudah
mengangkat tubuh Rusman. Rusman sendiri sampai mengira bahwa sebagian besar
dirinya pasti sudah berada di alam sana, sehingga yang tersisa di sini hanya
sebagian kecil saja, karena itu dia jadi amat ringan.
Sekarang kamu diam saja, kata Kakek, dan jangan mati dulu,
Sebelum Rusman sempat menjawab, dia seolah tengah dibawa terbang lebih cepat
daripada angin. Cahaya matahari, bumi, dan dedaunan seolah berlalu dengan amat
cepat, dan pandangan Rusman semakin lama semakin gelap dan kabur sebelum
akhirnya hitam sama sekali.
Tak beberapa lama kemudian, pasukan Doodleger pun sampai di dasar turunan itu,
tapi terkejut setelah mengetahui bahwa di ujung itu hanya ada jurang yang amat
dalam. Sambil berpegangan pada pohon terdekat, mereka melongok ke dalam
jurang itu dan nyaris tak bisa melihat dasarnya selain puncak hijau pepohonan yang
lebat. Mereka saling berpandangan.
Wast ist? tanya seorang prajurit.
Sepertinya dia tadi menggelinding dan langsung jatuh ke dalam jurang, untung
saja kita waspada dan tidak ikut jatuh juga, kata kopral atasannya.
Sekarang kita kembali, Kopral? tanya prajurit lainnya.
Ya, tak ada gunanya lagi kita di sini, kata si kopral, kita masih punya urusan lain
dan Herr Standartenfuhrer tak suka bila ada yang terlambat,

Maka mereka pun segera naik kembali untuk kemudian bergabung kembali dalam
kesatuan mereka, meninggalkan Rusman yang kini entah di mana.
Jadi ke mana sebenarnya si Kakek membawa Rusman? Tidak, Rusman belum mati,
tapi keadaannya saat ini tak lebih baik daripada mati. Dia sama sekali tak awas
dengan keadaan sekitar dan mengira semua ini adalah bagian dari perjalanannya
ke akhirat.
Di sebuah tempat yang agak jauh dari situ, dan letaknya tersembunyi di balik
tebing serta bebatuan karang, terdapat sebuah pelataran yang dipenuhi rumput
hijau serta bunga berwarna-warni. Ada sebuah rumah sederhana yang terbuat dari
kayu beratap rumbia, kecil saja, dan di halamannya ada seorang nenek tua yang
tengah menyapu halaman. Suasana rumah ini sungguh amat damai dengan kupukupu beterbangan dan burung-burung menyanyi, ditambah suara si Nenek yang
menyenandungkan kidung-kidung Sunda kuno.
Nenek! Nenek!
Si Nenek tentu saja terkejut mendengar namanya dipanggil, dan lebih terkejut lagi
ketika si Kakek tiba-tiba sudah ada di depan pagar sembari memanggul seorang
pemuda yang tengah berada di ambang maut.
Kakek? Siapa atuh itu anak muda dibawa? tanya si Nenek keheranan.
Kakek menyelamatkannya dari kejaran orang Belanda, kata si Kakek.
Belanda? Kita tidak berurusan dengan orang Belanda, juga dengan siapa pun yang
mereka kejar, kata si Nenek tidak setuju.
Euleuh-euleuh, denger dulu atuh si Nenek, kata Kakek.
Kita sudah sepakat, Kek, untuk mengasingkan diri dari dunia luar, dan kenapa
setelah sekian lama tiba-tiba Kakek bawa ini anak muda ke sini? tanya Nenek,
Euleuh-euleuh, mana sudah sekarat ini juga sebentar lagi tewas pasti, Kek,
Justru itu, Nek, kita harus segera menyelamatkan anak muda ini, kata Kakek,
firasat Kakek mengatakan bahwa dialah orang yang selama ini kita tunggu,
Dia? Orang ceking begini? Ini juga mah ama Kakek masih lebih kekar Kakek, kata
Nenek.
Tanpa terlebih dahulu menggubris perkataan si Nenek, Kakek pun segera masuk ke
dalam rumah dan meletakkan Rusman yang sudah sekarat di atas balai-balai
bambu. Si Nenek kemudian memeriksa Rusman sejenak sebelum mendengus
sambil menggelengkan kepala.
Nenek jangan meremehkan dia, ingat ramalan mengatakan bahwa Ksatria Pertama
akan tiba dalam wujud yang tak disangka-sangka, kata Kakek, kerang dengan
penampilan terjelek akan memiliki mutiara yang paling berharga,
Iya, Kek, Nenek masih ingat ramalan itu, dan Nenek tidak meremehkan dia, kata
Nenek, tapi supaya bisa menjadi Ksatria, dia terlebih dahulu harus selamat dulu,
dan dengan luka separah ini, Nenek tidak yakin bisa menyelamatkannya,
Dicoba saja dulu, Nek, bukankah dulu ilmu pengobatan Nenek paling hebat di
seluruh tanah Pasundan? kata Kakek, lagi pula bila dia memang seorang ksatria,
maka dia akan bisa selamat walau dihantam dengan luka separah ini,
Nenek coba sekuat tenaga, tapi Nenek tidak berani berjanji, kata Nenek.

Nenek pun kemudian mengambil sebuah kendi yang sepertinya di dalamnya berisi
ramuan obat dan meminumkannya seteguk kepada Rusman, dan memakai sisanya
untuk membalur tubuh Rusman yang penuh luka. Asap tipis keluar dari cairan obat
itu dan terlihat semua luka di tubuh Rusman bagai air yang mendidih. Entah apa
yang dirasakan oleh Rusman karena tiba-tiba dia berteriak bagai didera kesakitan
yang tak terperi. Si Kakek pun dengan sigap menahannya supaya tidak bergerak.
Tubuh Rusman memerah bagai terbakar, dan seluruh ototnya menegang.
Bagaimana ini, Nek? tanya Kakek yang dengan susah payah menahan tubuh
Rusman agar tak bergerak.
Itu normal, kata Nenek, cairan di kendi ini adalah racun yang amat kuat,
Sontak perkataan si Nenek mengejutkan Kakek.
Hadeuh, Nenek ini bagaimana sih, masa dikasih racun? tanya Kakek tak mengerti.
Kalau mau cepat sembuh memang cuma ini caranya, tapi rasa sakitnya memang
tak tertahan, kata Nenek, kalau memang dia bisa bertahan setidaknya hingga
besok pagi, maka masa kritisnya telah terlewati dan Nenek bisa mengobati dia
dengan ramuan yang lebih ringan,
Lha tapi kalau dia mati bagaimana, Nek? tanya Kakek khawatir.
Berarti memang belum jodohnya, Kek, kata Nenek pasrah, kalau dia memang
benar orangnya, maka sesakit apa pun, dia pasti akan bisa menahannya,
Nenek terus memperhatikan Rusman yang menggeliat kesakitan bagaikan
dipanggang dengan bara api yang amat panas. Asap dan uap keluar dari sekujur
tubuhnya disertai dengan bau tak enak bagai daging yang terbakar gosong. Saking
panasnya, balai-balai bambu tempat tidur Rusman sampai menghitam.
Bila dia memang benar ksatria dan mewarisi pusaka itu, maka dia akan selamat,
kata Nenek, dan dengan begitu juga, maka tugas kita pun sudah selesai,
Benar, Nek, sudah terlalu lama kita mengemban tugas ini, kata Kakek, kini kita
bisa beristirahat dan lepas dari beban yang telah menggelayuti kita selama ini,
Semoga saja firasatmu benar, Kakek, kata Nenek.
Erangan dan teriakan kesakitan Rusman pun terus menerus membahana mengusik
ketenangan dari lembah yang indah itu, sementara di ufuk barat, matahari sudah
semakin menggelincir masuk ke peraduan. Malam ini adalah malam yang amat
menentukan hidup mati Rusman, karena bila dia tak kuat menahan rasa sakit itu
untuk malam ini, maka dia tak akan bisa lagi melihat matahari esok hari.
From my rotting body, flowers shall grow and I am in them and that is eternity.
- Edvard Munch THE END
=============
Einde van Het Boek Een
Book III: The Knight And The Devil

Prologue: A Strange Dream


Kata orang, saat kita hampir meninggal, maka kilasan balik dari kisah hidup kita
akan tergambar tepat di depan mata kita, jelas sebagaimana kita melihat sinema
langsung di bioskop yang sunyi. Aku tak pernah tahu, aku belum pernah meninggal
sebelumnya, tapi perasaan yang saat ini kurasakan adalah sama. Bahwa aku duduk
di sebuah bioskop seperti satu yang ada di Buitenzorg, lengkap dengan musik dan
penganan, namun tak ada orang sama sekali yang menyaksikan selain aku. Lalu
terdengar suara derik mesin proyektor yang menyinarkan sinar berkelip sesuai
dengan gambar yang terpampang di layar. Aku hanya diam dan tertegun
menyaksikan, tak ada kata-kata atau apa pun yang biasa dilakukan orang saat
menonton sebuah film. Dan satu hal yang aku tahu, adalah bahwa pada saat itu,
film yang diputar itu adalah film tentang kehidupanku sendiri
Gambar dan adegan pun silih berganti, menampilkan orang-orang paling berarti
yang pernah mampir dalam hidupku. Ibuku, di ranjang kematiannya saat aku masih
berusia 10 tahun, kemudian Meneer dan Mevrouuw Hoogendrop yang mengasuhku,
menganggapku bukan sebagai pembantu inlander, melainkan sebagaimana anak
sendiri. Lalu si sulung, Michael Hoogendrop, yang sering kuanggap sebagai First
Mate Starbuck seperti dalam cerita Moby Dick, dan Nonik Maria Maria, yang selalu
kusayangi, yang mencintaiku meski ada perbedaan di antara kami. Lalu adeganadegan bahagia sirna, diganti dengan masa-masa sedih ketika semua orang di atas
direnggut dariku, dibunuh oleh Balatentara Nippon yang menyerang Hindia.
Dan seketika itu, muncul wajah eksekutor mereka yang membuat darahku
menggelegak, Rikugun Chusa Nakamura Taiki. Terbayang pedangnya yang berkilat
bersimbah darah saat nyawa orang-orang yang kukasihi itu melayang di ujungnya.
Dan saat paling menakutkan bagiku tiba ketika ujung pedang si Rikugun Chusa
nyaris turut pula mengantarku ke alam baka, bila bukan karena pertolongan orang
penting berikutnya dalam kehidupanku, Rikugun Taisa Hattori Shoichiro. Sepanjang
Nippon berkuasa di Hindia, hampir sepanjang itu pula aku berada di bawah
perlindungan Rikugun Taisa Hattori, yang juga menganggapku sebagai anak dan
mengajariku apa yang perlu kuketahui untuk bertahan, termasuk cara bela diri. Hal
penting yang akhirnya akan membawaku berhasil membalaskan dendam keluarga
Hoogendrop, dan membunuh Rikugun Chusa Nakamura, pada hari-hari terakhir
kekuasaan Nippon di bumi kelahiranku tercinta. Sayangnya saat itu pula aku harus
kembali merelakan Rikugun Taisa Hattori, yang meninggal akibat luka fatal yang
ditorehkan oleh Rikugun Chusa Nakamura, yang memberontak dan melanggar
perintah Hattori-san untuk menghormati keputusan Kaisar Showa yang menyerah
kepada Sekutu setelah pemboman Nagasaki.
Aku pun menguburkan Hattori-san dengan tanganku sendiri, di sebuah tempat yang
sunyi dan asri di pegunungan, tempat yang paling disukai oleh Hattori-san semasa
dia hidup. Sebelum meninggal dia berpesan padaku bahwa sudah saatnya kami,
para penduduk Hindia, untuk berdiri dan menentukan nasib kami sendiri, bukan
oleh orang lain, termasuk Belanda atau Jepang. Pesan itulah yang akhirnya
membuatku mendaftar masuk TKR, dan ditempatkan di Divisi Siliwangi.

Tiba-tiba bioskop itu menghilang, dan aku menyadari aku tengah tertidur di sebuah
lantai kayu dengan wangi bunga dan suara ombak dan burung camar yang
menenangkan terdengar di latar belakangnya. Cahaya putih yang menentramkan
menyelimuti semua tempat itu, membuatku hangat dan nyaman, seolah untuk
pertama kalinya, tak ada yang harus kukhawatirkan dalam hidupku. Apakah ini
surga? Apakah ini adalah taman yang dijanjikan bagi mereka yang pemberani dan
mati syahid?
Dan sayup-sayup, dari balik cahaya itu muncul sesosok wajah yang amat kukenal.
Senyumnya yang indah dari balik bibir merahnya, rambutnya yang gelap, dan
kulitnya yang putih bagaikan pualam dengan lekuk tubuh yang menggoda. Dia
mendekatiku dan seketika itu juga, mencium bibirku, dan aku pun merasakan suatu
kekuatan baru yang mengalir di seluruh tubuhku. Ini adalah perasaan yang sudah
lama tak pernah kurasakan lagi, dan hanya satu orang saja yang membuatku
merasa begitu.
Maria kataku.
Benar, ini aku, jawab Maria Hoogendrop, cinta pertamaku dan satu-satunya.
Apakah ini surga? Apakah akhirnya kita bersatu kembali? tanyaku.
Maria hanya menggeleng saja sambil tersenyum manis.
Bukan, dan masih akan lama sebelum akhirnya kita akan bersatu, Ishmael, kata
Maria.
Maria memang sering memanggilku dengan nama Ishmael, seperti nama tokoh
utama dalam cerita Moby Dick.
Tapi kenapa? Aku bisa melihatmu, tidakkah berarti ini aku telah mati? tanyaku tak
mengerti.
Hatiku berontak menerima perkataan Maria bahwa aku belum bisa bersatu
denganmu.
Masa hidupmu masih panjang dan belum akan berakhir, Sayangku, kata Maria,
dan ada hal yang harus kaulakukan, takdir yang harus kau terima, misi yang harus
kuselesaikan, dan setelah itu semua terwujud, maka aku berjanji bahwa saat dirimu
sudah siap, aku akan menyambutmu di sini,
Tapi kapan hal itu akan terwujud? tanyaku.
Hanya Tuhan saja yang tahu sampai mana garis kehidupan manusia akan
berakhir, kata Maria, satu hal yang kutahu adalah bahwa garismu belum
berakhir,
Aku termenung saja mencoba mencerna perkataan Maria, sementara Maria tampak
berada di udara dengan cahaya putih meliputi tubuhnya, dan setelah kuperhatikan
dengan saksama, ada dua berkas cahaya yang membentuk sepasang sayap
menyemburat dari balik punggungnya. Mungkinkah Maria telah diterima sebagai
bidadari di surga?

Kesatriaku, kata Maria, maaf bahwa pertemuan kita kali ini hanya akan sesingkat
ini, karena memang sudah keinginan dari Tuhan bahwa aku hanya boleh bertemu
denganmu dalam waktu yang telah Dia tentukan,
Sayap Maria mengepak, dan seketika itu pula angin lembut berhembus meniupku,
menyibakkan sebuah jalan yang ada di belakangku, yang tertutup oleh kabut putih
sehingga aku tak bisa melihat ke mana arah tujuan jalan ini. Maria memberiku
isyarat supaya aku mengikuti jalan itu.
Ke mana tujuannya? tanyaku.
Takdirmu, kata Maria, dan juga masa depanmu,
Dan bila kulewati jalan itu, apakah itu artinya aku tak akan lagi bisa bertemu
denganmu? tanyaku.
Masih panjang waktu yang harus kita lewati sebelum cinta kita akan bisa bersatu
dalam keabadian, Sayangku, kata Maria, tapi hingga saat itu, aku akan selalu
menemanimu, walau kau tak bisa melihatku, aku akan tetap ada, karena suara dan
wajahku akan selalu berada di hatimu, menemanimu hingga nanti kita akan
bertemu kembali,
Aku pun tersenyum kepada Maria yang mulai terbang membubung. Hatiku sedih
bahwa aku akan berpisah dengan Maria, tapi aku senang mendengar janji bahwa
kelak kami akan bertemu kembali.
Tunggulah aku, kataku.
Aku akan selalu menunggumu, Ishmael, kata Maria, walau apa pun yang nanti
terjadi, karena kini aku sudah menjadi milikmu,
Aku berbalik dan akhirnya berjalan memasuki kabut putih itu, dan itulah saat
perpisahanku dari Maria.
Kabut pun perlahan memudar dan sampailah aku di sebuah gerbang yang
sepertinya merupakan gerbang-gerbang zaman kerajaan dulu. Aku langsung masuk
melewati gerbang itu, dan menemukan diriku berada di hadapan sebuah rumah
dengan taman yang besar dan asri. Suara seorang wanita menyanyikan kidung
Sunda tampak terdengar saat aku berada di halaman rumah itu. Rumah siapakah
sebenarnya ini, dan mengapa aku ada di sini?
Ki Sanak, masuk dan duduklah, kata sebuah suara lembut, kami sudah
menunggumu,
Aku menoleh dan melihat seorang kakek tengah duduk bersila di dalam sebuah
saung, dan di sebelahnya ada seorang nenek tengah menjahit kain sambil
bernyanyi.
Kenapa diam saja, Ki Sanak? tanya si kakek, ayo, kemari dan duduklah,
Dengan agak ragu, aku pun mendekat dan duduk di hadapan si kakek. Aku sayupsayup bisa mengingat wajah si kakek ini. Ya, bukankah dia yang menyelamatkanku
dari kejaran Belanda?
Siapa namamu, Ki Sanak? tanya si kakek.

Nama saya Rusman, Kek, jawabku, apakah kakek ini yang pernah
menyelamatkan saya?
Benar, kulihat kau dikejar oleh Belanda, walau dalam keadaan luka parah, karena
itu Kakek membawamu ke sini, kata si kakek, dan sejujurnya, kaulah orang yang
sudah lama kami tunggu-tunggu,
Menunggu saya? Untuk apa? tanyaku tak mengerti.
Maaf, sebelumnya Kakek perkenalkan dulu diri kakek, kata si Kakek, nama Kakek
adalah Arya Sambar, panggil saja Aki Sambar, dan ini adalah Nini Bayang; kami
berdua sebenarnya adalah hulubalang dan dayang utama dari Sri Baduga Maharaja
dari Kerajaan Padjajaran,
Kerajaan Padjajaran? Tapi bukankah kataku.
Benar, Kerajaan Padjajaran sudah dihancurkan oleh Majapahit setelah peristiwa di
Bubat, tapi sebelum mangkat, Sri Baduga Maharaja meminta Kakek dan Nenek
untuk menjaga pusaka terakhirnya, untuk diberikan kepada siapa pun yang dipilih
oleh pusaka itu sebagai tuannya nanti, kata Aki Sambar, kekuatan pusaka itu dan
juga wasiat raja kamilah yang membuat kami bisa hidup selama ratusan tahun
menunggu pewaris dari pusaka itu untuk datang, hingga kau akhirnya tiba,
Jadi maksud Kakek
Belum sempat aku meneruskan perkataanku, Aki Bayang mengeluarkan pusaka
yang dimaksud. Bukan berupa keris, pedang, atau tombak, melainkan sebuah
perisai yang berbentuk bulat sempurna dengan warna perak dan ada simbol
matahari emas menghiasi permukaannya. Bagaskara Manjing Kawuryan.
Ini adalah pusaka Tameng Bagaskara, pelindung kerajaan Pasundan, kata Aki
Sambar, tameng ini tak akan tembus oleh senjata sesakti apa pun, dan akan
memberikan warisan kekuatan kepada setiap pewarisnya, dari setiap kesatria yang
pernah menyandangnya; konon ini adalah leburan dari senjata-senjata para
Pandawa dan menjadi pusaka dari Prabu Parikesit dari Hastinapura sebelum
akhirnya diturunkan ke tanah Jawa, tepatnya ke Pasundan,
Aki Sambar menyodorkan perisai itu kepadaku.
Ambillah, Ki Sanak, kata Aki Sambar, perisai ini sudah memilihmu sebagai
pewarisnya,
Dengan ragu-ragu aku pun menerimanya, tapi begitu tanganku menyentuh perisai
itu, ada aliran kekuatan yang sontak mengalir dari perisai melewati tanganku yang
seolah mengisi setiap celah dalam tubuhku, membuat tubuhku terasa semakin
ringan dan bertenaga.
Terima kasih, Kakek, kataku sambil menjura, disambut oleh senyuman dari Aki
Sambar.
Kini setelah pusaka ini berhasil diwariskan, maka tugas kami menjaganya sudah
usai, dan kini kami bisa moksa meninggalkan dunia ini, kata Aki Sambar.
Maksud Kakek? tanyaku.
Kami sudah terlalu lama hidup, hanya karena untuk melaksanakan wasiat terakhir
dari raja kami, kami sudah lelah menyaksikan pergantian masa di dunia ini, karena
tak ada seorang pun yang boleh menyaksikan lebih dari satu masa kehidupan,
kata Nini Bayang, moksanya kami adalah untuk mengikuti hukum yang berlaku

pada alam, dan mengembalikan keseimbangan alam, sekaligus untuk melapor pada
Sri Baduga Maharaja bahwa tugasnya telah berhasil kami emban dengan baik,
Semoga perisai itu akan menjagamu dari segala marabahaya, Ki Sanak, kata Aki
Bayang, kita akan berjumpa lagi di lain kehidupan,
Belum sempat aku berkata apa-apa, tiba-tiba angin bertiup dan seluruh rumah itu
seolah lenyap bersama dengan angin. Aku pun kehilangan pijakan atas dunia yang
tiba-tiba runtuh, dan akhirnya terjatuh dalam sebuah ketiadaan

Anda mungkin juga menyukai