Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes zoster merupakan salah satu penyakit kulit akibat infeksi virus,
yaitu reaktivasi virus varisela zoster. Insidennya meningkat seiring bertambahnya
usia, di mana lebih dari 2/3 kasus terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang
dari 10% di bawah 20 tahun.1 Meningkatnya insidensi pada usia lanjut ini
berkaitan dengan menurunnya respon imun dimediasi sel yang dapat pula terjadi
pada pasien immunocompromise seperti pasien HIV-AIDS, pasien dengan
keganasan, dan pasien yang mendapat obat imunosupresi. Namun, insidensinya
pada pasien imunokompeten pun besar.
Herpes zoster sendiri meskipun bukan penyakit yang life-threatening,
namun dapat menggangu pasien sebab dapat timbul rasa nyeri. Lebih lanjut lagi
nyeri yang dialami saat timbul lesi kulit dapat bertahan lama, hingga berbulanbulan lamanya sehingga dapat mengganggu kualitas hidup pasien suatu keadaan
yang disebut dengan postherpetic neuralgia. Prevalensi herpes zoster di Indonesia
diprediksi kecil, yakni hanya mencakup 1%.
Menurut Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang diterbitkan
oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2012, tercantum bahwa
herpes zoster merupakan daftar masalah dermatologi yang perlu ditangani oleh
dokter. Kompetensi herpes zoster tanpa komplikasi bagi dokter umum adalah 4A,
yang berarti level kompetensi tertinggi yang perlu dicapai oleh dokter umum, di
mana dokter dapat mengenali tanda klinis, mendiagnosis, menatalaksana hingga
tuntas kecuali pada perjalanannya timbul komplikasi.2
Berdasarkan hal tersebut, presentasi kasus ini dimaksudkan untuk
menambah pemahaman klinis mahasiswa tentang penyakit herpes zoster tanpa
komplikasi, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, hingga
penatalaksanaan. Setelah pemaparan kasus ini diharapkan mahasiswa dapat
memiliki informasi yang semakin kaya tentang herpes zoster sehingga dalam
pelayanan primer di masa yang akan datang kompetensi yang disyaratkan dalam
SKDI dapat sepenuhnya tercapai.

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1.

IDENTITAS PASIEN

Nama

Nyak Jah

Tanggal Lahir

07 April 1970 / 45 tahun

Status Pernikahan :

Menikah

Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga

Agama

Islam

2.2.

ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis di Poli umum Puskesmas Jeulingke

pada tanggal 17 Maret 2015 pukul 10.00 WIB.


Keluhan Utama :
Timbul gelembung gelembung berisi cairan jernih di dada sebelah
kanan sejak 4 hari yang lalu.
Keluhan Tambahan :
Gatal, nyeri, panas, dan demam.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan timbul gelembung gelembung berisi
cairan jernih di dada sebelah kanan sejak 4 hari yang lalu. Awalnya pasien
mengeluh demam yang hilang timbul disertai gatal pada dada kanan. Tiga hari
setelah demam, muncul gelembung berisi cairan jernih berkelompok diikuti
dengan kemerahan disekelilingnya disertai rasa nyeri dan panas terus menerus.
Keluhan muncul gelembung di tempat lain disangkal. Kelemahan pada anggota
gerak disangkal.
Riwayat Pemakaian obat :
Pasien tidak pernah meminum obat apapun.
2

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien menderita cacar air pada saat berusia 8-10 tahun (saat

pasien masih SD).


Riwayat sakit berat dan dirawat di rumah sakit sebelumnya

disangkal.
Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Saat ini tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti
pasien. Riwayat penyakit kulit lainnya pada keluarga disangkal.
2.3.

PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran

Compos mentis

Keadaan umum :

Tampak sakit sedang

Tekanan darah

120/80 mmHg

Nadi

72 kali/menit

Pernafasan

18 kali/menit

Suhu

Afebris

STATUS DERMATOLOGIS
a. Lokasi atau regio
b. Satus dermatologis

: Thorakalis dextra
: Vesikula bergerombol dengan dasar

eritematous, tepi ireguler, batas tegas, mengikuti dermatom dengan


susunan zosteriform. Diantara gerombolan vesikula, kulitnya sehat.

Gamb

ar 1 Gambaran lesi kulit pada pasien


2.4.

RESUME
Wanita usia 45 tahun datang dengan keluhan timbul gelembung

gelembung berisi cairan jernih di dada sebelah kanan sejak 4 hari yang lalu.
Awalnya pasien mengeluh demam yang hilang timbul disertai gatal pada dada
kanan. Tiga hari setelah demam, muncul gelembung berisi cairan jernih
berkelompok diikuti dengan kemerahan disekelilingnya disertai rasa nyeri dan
panas terus menerus. Keluhan muncul gelembung di tempat lain disangkal.
Kelemahan pada anggota gerak disangkal. Status dermatologis : at regio thorakalis
dextra terdapat vesikula bergerombol dengan dasar eritematous, tepi ireguler,
batas tegas, mengikuti dermatom dengan susunan zosteriform. Diantara
gerombolan vesikula, kulitnya sehat.

2.5.
1.
2.
3.
4.

DIAGNOSIS BANDING
Herpes zoster
Herpes simplek
Varicella
Pemfigoid bullosa

2.6.

DIAGNOSIS KERJA
Herpes zoster

2.7.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tidak lakukan

2.8.

PEMERIKSAAN ANJURAN
Tzanck smear

2.9.

RENCANA TERAPI

1. Tatalaksana Umum

Edukasi: mengurangi sementara aktivitas fisik, jangan digaruk walaupun


terasa sedikit gatal, hindari lenting yang pecah, jangan berdekatan dengan
anak-anak atau orang lain yang belum pernah mengalami cacar air
sebelumnya. Konsumsi obat harus teratur, termasuk jam-jamnya, sehingga
perlu menggunakan alarm jika diperlukan untuk membangunkan pasien.
Mengkonsumsi makanan bergizi dan perbanyak istirahat untuk menjaga
imunitas.

2. Tatalaksana Khusus
Sistemik

Asiklovir 5 x 800 mg selama 7 hari


Ibuprofen 3 x 400 mg selama 7 hari

Khusus

Bedak salisil 2%

2.10. PROGNOSIS
1. Ad vitam
: bonam
2. Ad functionam : bonam
3. Ad sanationam : bonam

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Herpes zoster merupakan sebuah manifestasi oleh reaktivasi virus
Varisela-zoster laten dari saraf pusat dorsal atau kranial. Virus varicella zoster
6

bertanggung jawab untuk dua infeksi klinis utama pada manusia yaitu varisela
atau chickenpox (cacar air) dan Herpes zoster. Varisela merupakan infeksi primer
yang terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varicella
zoster. Virus varisela zoster dapat mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi
rekuren yang dikenal dengan nama Herpes zoster atau Shingles. Pada usia di
bawah 45 tahun, insidens herpes zoster adalah 1 dari 1000, semakin meningkat
pada usia lebih tua.3
3.2 Patogenesis
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster yang laten
di dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus dibawa ke tepi
ganglion spinal atau ganglion trigeminal, kemudian menjadi laten. Varicella zoster
merupakan virus rantai ganda DNA, anggota famili virus herpes yang tergolong
virus neuropatik atau neurodermatotropik. Reaktivasi virus varicella zoster dapat
dipicu oleh berbagai faktor seperti pembedahan, penyinaran, lanjut usia, dan
keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang sedang dalam
pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita penyakit sistemik. Jika
virus ini menyerang ganglion anterior, maka menimbulkan gejala gangguan
motorik.3,4

Gambar 2 Patogenesis infeksi herpes zoster (Sumber: medscape.com)


3.3 Gambaran Klinis

Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun membran
mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala prodromal selama
2-4 hari, yaitu sistemik (demam, pusing, malaise), dan lokal (nyeri otot-tulang,
gatal, pegal). Setelah itu akan timbul eritema yang berubah menjadi vesikel
berkelompok dengan dasar kulit yang edema dan eritematosa. Vesikel tersebut
berisi cairan jernih, kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta.
Jika mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Jika disertai
dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder.4
Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi baru
yang tetap timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi berlangsung 1-2
minggu. Selain gejala kulit, kelenjar getah bening regional juga dapat membesar.
Penyakit ini lokalisasinya unilateral dan dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang
paling sering terkena adalah nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1,
dan L2. Jika terkena saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, sedangkan pada
saraf pusat sering dapat timbul gangguan motorik akibat struktur anatomisnya.
Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena.4,5

Gambar 3 Gambaran klinis herpes zoster (Sumber: Fitzpatrick)


Dermatom

Dermatom adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf
spinalis. Masing masing saraf menyampaikan rangsangan dari kulit yang
dipersarafinya ke otak. Dermatom pada dada dan perut seperti tumpukan cakram
yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda, sedangkan sepanjang lengan dan
kaki, dermatom berjalan secara longitudinal sepanjang anggota badan.
Dermatom sangat bermanfaat dalam bidang neurologi untuk menemukan
tempat kerusakan saraf saraf spinalis. Virus yang menginfeksi saraf tulang
belakang seperti infeksi herpes zoster (shingles), dapat mengungkapkan
sumbernya dengan muncul sebagai lesi pada dermatom tertentu.6

Gambar 4 Gambaran dermatom sensorik tubuh manusia (Sumber: Duus6)


3.4 Komplikasi
Postherpetic neuralgia
Postherpetic neuralgia merupakan komplikasi herpes zoster yang paling
sering terjadi. Postherpetic neuralgia terjadi sekitar 10-15 % pasien herpes zoster
dan merusak saraf trigeminal. Resiko komplikasi meningkat sejalan dengan usia.
Postherpetic neuralgia didefenisikan sebagai gejala sensoris, biasanya
sakit dan mati rasa. Rasa nyeri akan menetap setelah penyakit tersebut sembuh
dan dapat terjadi sebagai akibat penyembuhan yang tidak baik pada penderita usia
lanjut. Nyeri ini merupakan nyeri neuropatik yang dapat berlangsung lama bahkan
menetap setelah erupsi akut herpes zoster menghilang.4,7

Gambar 5 Jaras sensorik nyeri (Sumber: Fitzpatrick)


Postherpetic neuralgia merupakan suatu bentuk nyeri neuropatik yang
muncul oleh karena penyakit atau luka pada sistem saraf pusat atau tepi, nyeri
menetap dialami lebih dari 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster. Penyebab
paling umum timbulnya peningkatan virus ialah penurunan sel imunitas yang
terkait dengan pertambahan umur. Berkurangnya imunitas di kaitkan dengan
beberapa penyakit berbahaya seperti limfoma, kemoterapi atau radioterapi, infeksi
HIV, dan penggunaan obat immunesuppressan setelah operasi transplantasi organ
atau untuk manajemen penyakit (seperti kortikoteroid) juga menjadi faktor
risiko.8,9
Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi neuralgia herpetik
akut (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), neuralgia herpetik subakut (30120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), dan postherpetic neuralgia (di
defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi setidaknya 120 hari setelah timbulnya
ruam pada kulit).9
Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri
herpes zoster akut, dapat berhubungan dengan erupsi akut herpes zoster yang
disebabkan oleh replikasi jumlah virus varicella zoster yang besar dalam ganglia
yang ditemukan selama masa laten. Oleh karena itu, mengakibatkan inflamasi
atau kerusakan pada serabut syaraf sensoris yang berkelanjutan, hilang dan
rusaknya serabut-serabut syaraf atau impuls abnormal, serabut saraf berdiameter
besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak dan mengalami kerusakan

10

terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien


merasa nyeri yang hebat.5,8
Herpes Zoster Oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus disebabkan oleh infeksi cabang pertama nervus
trigeminus sehingga manifestasinya pada mata, selain itu juga memengaruhi
cabang kedua dan ketiga. Jika cabang nasosiliar bagian luar terlibat, dengan
vesikel pada ujung dan tepi hidung (Hutchinsons sign), maka keterlibatan mata
dapat jelas terlihat. Vesikel pada margo palpebra juga harus diperhatikan.
Kelainan pada mata yang sering terjadi adalah uveitis dan keratitis, akan tetapi
dapat pula terjadi glaukoma, neuritis optik, ensefalitis, hemiplegia, dan nekrosis
retina akut.4,5

Gambar 6 Gambaran klinis herpes zoster oftalmikus (Sumber: Fitzpatrick)


3.5 Diagnosis
Penegakan diagnosis herpes zoster umumnya didasari gambaran klinis.5
Komponen utama dalam penegakan diagnosis adalah terdapatnya:
1.
2.
3.
4.

Gejala prodromal berupa nyeri


Distribusi yang khas dermatomal
Vesikel berkelompok, atau dalam beberapa kasus ditemukan papul
Beberapa kelompok lesi mengisi dermatom, terutama dimana terdapat nervus

sensorik
5. Tidak ada riwayat ruam serupa pada distribusi yang sama (menyingkirkan
Herpes simpleks zosteriformis)
6. Nyeri dan allodinia (nyeri yang timbul dengan stimulus yang secara normal
tidak menimbulkan nyeri) pada daerah ruam.10
11

Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal seperti lesi


rekuren, dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak krusta kronis atau nodul
verukosa dan bila lesi pada area sakral sehingga diragukan patogennya virus
varisela zoster atau herpes simpleks. Pemeriksaan laboratorium yang dapat
dilakukan adalah PCR yang berguna pada lesi krusta, imunoflouresensi direk dari
spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif karena membutuhkan
waktu 1-2 minggu.1,10

Gambar 7 Pemeriksaan Tzanck, dengan pewarnaan wright terlihat sel giant


multinuklear; sedangkan pada imunofluoresensi direk pendaran warna hijau
mengindikasikan terdapatnya antigen virus varisela zoster1
3.6 Diagnosis Banding4
1. Herpes simpleks (bersinonim dengan cold sore, herpes febrilis, herpes labialis,
herpes gladiatorium, scrum pox, herpes genitalis)11
Penyebabnya satu golongan (famili Herpesviridae). Umumnya infeksi
awal HHV asimptomatik kecuali pada virus golongan VZV yang simptomatik
berupa varicella. HHV akan laten di neuron atau sel limfoid, mengalami reaktivasi
jika sisstem imun tidak adekuat. Infeksi herpes simpleks umumnya melalui kontak
langsung kulit dan mukosa, jarang yang menyebar melalui aerosol. Untuk herpes
simpleks sendiri (HSV), bentuknya pada umumnya atipik berbentuk plakat
eritematosa, maupun erosi kecil.
Herpes primer umumnya asimptomatik atau gejala yang tidak khas,
berupa vesikel serta limfadenopati regional. Gejala prodromal berupa demam,
12

sakit kepala, malaise, dan mialgia yang terjadi 3-4 hari setelah lesi timbul,
membaik dalam 3-4 hari kemudian.
Virus HSV diklasifikasikan secara biologis menjadi HSV-1 yang sering
ditemukan di wajah dan bibir serta jarang di mukosa; serta HSV-2 yang sering
bermanifestasi sebagai gingivostomatitis, vulvovaginitis, uretritis dan cenderung
ditransmisikan secara seksual. Erupsi yang berbentuk zosteriform dapat terjadi
pada HSV zosteriform yang pada umumnya jarang terjadi.
2. Angina pektoris atau penyakit reumatik, bila nyeri sebagai gejala prodrormal
terdapat di daerah setinggi jantung.
3.7 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan herpes zoster adalah mempercepat proses
penyembuhan, mengurangi keparahan dan durasi nyeri akut dan kronik, serta
mengurangi risiko komplikasi.1,5 Untuk terapi simtomatik terhadap keluhan nyeri
dapat diberikan analgetik golongan NSAID seperti asam mefenamat 3 x 500 mg
per hari, indometasin 3 x 25 mg per hari, atau ibuprofen 3 x 400 mg per hari.12
Kemudian untuk infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik.4 Sedangkan
pemberian antiviral sistemik direkomendasikan untuk pasien berikut13:
1. Infeksi menyerang bagian kepala dan leher, terutama mata (herpes zoster
oftalmikus). Bila tidak diterapi dengan baik, pasien dapat mengalami keratitis
yang akan menyebabkan penurunan tajam penglihatan dan komplikasi ocular
lainnya
2. Pasien berusia lebih dari 50 tahun
3. Herpes zoster diseminata (dermatom yang terlibat multipel) direkomendasikan
pemberian antiviral intravena
4. Pasien yag imunokompromais seperti koinfeksi HIV, pasien kemoterapi, dan
pasca transplantasi organ atau bone marrow. Pada pasien HIV, terapi
dilanjutkan hingga seluruh krusta hilang untuk mengurangi risiko relaps; dan
5. Pasien dengan dermatitis atopik berat
Obat antiviral yang dapat diberikan adalah asiklovir atau modifikasinya,
seperti valasiklovir, famsiklovir, pensiklovir. Obat antiviral terbukti efektif bila
diberikan pada tiga hari pertama sejak munculnya lesi, efektivitas pemberian di
atas 3 hari sejauh ini belum diketahui.13 Dosis asiklovir adalah 5 x 800 mg per hari
dan umumnya diberikan selama 7-10 hari. Sediaan asiklovir pada umumnya
13

adalah tablet 200 mg dan tablet 400 mg. Pilihan antiviral lainnya adalah
valasiklovir 3 x 1000 mg per hari, famsiklovir atau pensiklovir 3 x 250 mg per
hari, ketiganya memiliki waktu paruh lebih panjang dari asiklovir.4,10 Obat
diberikan terus bila lesi masih tetap timbul dan dihentikan 2 hari setelah lesi baru
tidak timbul lagi.4
Untuk pengobatan topikal, pada lesi vesikular dapat diberikan bedak
kalamin atau phenol-zinc untuk pencegahan pecahnya vesikel. Bila vesikel sudah
pecah dapat diberikan antibiotik topical untuk mencegah infeksi sekunder. Bila
lesi bersifat erosif dan basah dapat dilakukan kompres terbuka.4,12
Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi agar
tidak terjadi infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk karena garukan dapat
menyebabkan lesi lebih sulit untuk sembuh atau terbentuk skar jaringan parut,
serta berisiko terjadi infeksi sekunder. Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi,
mandi dapat meredakan gatal. Untuk mengurangi gatal dapat pula menggunakan
losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari kontak dengan pakaian dapat digunakan
dressing yang steril, non-oklusif, dan non-adherent.14
Pasien dengan komplikasi neuralgia postherpetic dapat diberikan terapi
kombinasi atau tunggal dengan pilihan sebagai berikut14:
1. Antidepresan trisiklik seperti amitriptilin dengan dosis 10-25 mg per hari pada
malam hari;
2. Gabapentin bila pemberian antidepresan tidak berhasil. Dosis gabapentin 100300 mg per hari;
3. Penambahan opiat kerja pendek, bila nyeri tidak tertangani dengan gabapentin
atau antidepresan trisiklik saja;
4. Kapsaicin topical pada kulit yang intak (lesi telah sembuh), pemberiannya
dapat menimbulkan sensasi terbakar; dan
5. Lidocaine patch 5% jangka pendek.
Pada herpes zoster otikus (sindroma Ramsay Hunt) diindikasikan
pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid oral diberikan sedini mungkin untuk
mencegah paralisis dari nervus kranialis VII. Dosis prednisone 3 x 20 mg per hari,
kemudian perlu dilakukan tapering off setelah satu minggu. Pemberiannya
dikombinasikan dengan obat antiviral untuk mencegah fibrosis ganglion karena
kortikosteroid menekan imunitas. Namun perlu diingat kontraindikasi relatif atau

14

absolut kortikosteroid seperti diabetes mellitus.14 Pada komplikasi seperti ini,


rujukan kepada spesialis terkait sangat dianjurkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Gnann JW, Whitley RJ. Herpes Zoster. N. Engl. J. Med. 2002;347(5):3406.


2. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
2012. Jakarta; 2012.
3. James WD, Berger T, Elston D. Andrews diseases of the skin. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2011.
4. Handoko R. Penyakit virus. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
5. Straus SE, Oxman MN, Schmader KE. Varicella and herpes zoster. In: Wolff
K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatricks Dermatol. Gen. Med. 7th ed.
6. Baehr M, Frotscher M. Duus topical diagnosis in neurology. 4th ed. New
York: Thieme; 2005.

15

7. Tunsuriyawong S, Puavilai S. Herpes zoster, clinical course and associated


diseases: A 5-year retrospective study at Tamathibodi Hospital. J. Med. Assoc.
Thail. Chotmaihet Thangphaet. 2005 May;88(5):67881.
8. Herr H. Prognostic factors of postherpetic neuralgia. J. Korean Med. Sci.
2002 Oct;17(5):6559.
9. Oakes SA. Postherpetic Neuralgia Bacgground Monograph. Med Cases Inc;
2004.
10. Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M, et
al. Recommendations for the management of herpes zoster. Clin. Infect. Dis.
Off. Publ. Infect. Dis. Soc. Am. 2007 Jan 1;44 Suppl 1:S126.
11. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatricks color atlas & synposis of clinical
dermatology. 6th ed. New York: McGraw Hill Medical.
12. Daili ESS, Menaldi SL, Wisnu IM, editors. Penyakit kulit yang umum di
indonesia: sebuah panduan bergambar. Jakarta: Medical Multimedia
Indonesia.
13. Gross G, Schfer H, Wassilew S, Friese K, Timm A, Guthoff R, et al. Herpes
zoster guideline of the German Dermatology Society (DDG). J. Clin. Virol.
Off. Publ. Pan Am. Soc. Clin. Virol. 2003 Apr;26(3):277289; discussion
291293.
14. Federal Bureau of Prisons. Management of varicella zoster virus infections
[Internet]. [cited 2013 May 6]. Available from:
http://www.bop.gov/news/PDFs/varicella.pdf
15. Schmader K, Studenski S, MacMillan J, Grufferman S, Cohen HJ. Are

stressful life events risk factors for herpes zoster? J. Am. Geriatr. Soc. 1990
Nov;38(11):118894.

16

Anda mungkin juga menyukai