Anda di halaman 1dari 9

Jurnal Penelitian

HUBUNGAN ANGKA BEBAS JENTIK (ABJ) DAN FREKUENSI FOGGING


DENGAN ANGKA KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS GRIBIG KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA
MALANG TAHUN 2008-2009
Lilik Zuhriyah*, Endang Sriwahyuni**, Indah Bachti Setyarini***
*Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat, **Laboratorium Ilmu Faal, ***Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Dokter FKUB
ABSTRAK
Bachti Setyarini, Indah. 2012. Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ) dan Frekuensi
Fogging dengan Angka Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah
Kerja Puskesmas Gribig, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang Tahun
2008-2009. Tugas Akhir, Fakultas Kedokteran Universitas Braijaya.
Pembimbing: (1) Lilik Zuhriyah, S.Km, M.Kes. (2) Dr. dr. Endang Sriwahyuni
MS.
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit
menular endemis dengan angka kematian yang cukup tinggi. Jumlah kasus DBD di
Kota Malang, khususnya Kecamatan Kedungkandang menunjukkan peningkatan dari
tahun 2008-2010, secara berturut-turut yaitu 67 kasus, 126 kasus, dan 166 kasus.
Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kejadian DBD yaitu
dengan pelaksanaan fogging dan pencatatan angka bebas jentik (ABJ). Penelitian ini
bertujuan untuk melihat hubungan antara angka bebas jentik dan frekuensi fogging
dengan angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Gribig, Kecamatan
Kedungkandang, Kota Malang tahun 2008-2009. Penelitian ini merupakan penelitian
observasional dengan pendekatan studi ekologi. Data penelitian diperoleh dari data
sekunder yang diambil dari Dinas Kesehatan Kota Malang dan Puskesmas Gribig.
Data dianalisa dengan uji korelasi spearman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
frekuensi fogging secara signifikan berhubungan positif dengan ABJ (p = 0,03; r =
0,22) dan ABJ secara signifikan juga berhubungan positif dengan angka kejadian
DBD (p = 0,000; r = 0,503). Peningkatan frekuensi fogging disertai dengan
peningkatan ABJ, meskipun ABJ meningkat namun angka kejadian DBD tidak
menurun. Selain itu, tidak terdapat kesesuaian dalam waktu pelaksanaan fogging di
wilayah kerja Puskesmas Gribig dengan pedoman yang diberikan Depkes RI 2005
sehingga meskipun fogging telah dilakukan ABJ tetap rendah. ABJ sendiri meskipun
meningkat nilai rata-ratanya tetap rendah, sehingga tidak berpengaruh terhadap
angka kejadian DBD.
Kata kunci: angka bebas jentik (ABJ), frekuensi fogging, angka kejadian DBD,
wilayah kerja Puskesmas Gribig.

Jurnal Penelitian

ABSTRACT
Bachti Setyarini, Indah. 2012. The Relationship of Free Numbers Wiggler (ABJ) and
Frequency Fogging with Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Incidence in Work
Areas The Health Center Gribig, Subdistrict Kedungkandang, Malang in 20082009. Final Assignment, Faculty of Medicine Brawijaya University.
Supervising: (1) Lilik Zuhriyah, SKM, M.Kes. (2) Dr. dr. Endang Sriwahyuni
MS.
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) disease is an infectious disease that is
endemic and the mortality rate high enough. The number of cases of DHF in Malang
in particular subdistrict Kedungkandang shows an improvement from the year 20082010, respectively i.e 67 cases, 126 cases, and 166 cases. The various ways the
government does to lower incidence DHF are implementation with fogging and
recording of ABJ. This research aims to look at the relationship of free numbers of
wiggler and frequency fogging with dengue fever incidence in Work Areas The Health
Center Gribig, Subdistrict Kedungkandang, Malang in 2008-2009. This observational
research used approach of ecological studies. Research data was obtained from
secondary data drawn from The Health Center Gribig. The data was analyzed by
spearman correlation test. The results of this research showed that the frequency of
fogging related had been significantly positive with ABJ (p = 0,03; r = 0,22) and ABJ
significantly related positively with incidence of DHF (p = 0,000; r = 0,503). An
increase in the frequency of fogging was accompanied by increased ABJ and despite
increased of ABJ, the incidence of DHF didnt decrease. In addition there were no
suitability in the time implementation of fogging in the work area clinics Gribig with
the guidelines given by Depkes RI 2005, although fogging has been done, ABJ
remain low. Despite the increased value of ABJ own average remain low so as not to
affect the incidence DHF.
Key words: free numbers wiggler (ABJ), frequency fogging, dengue hemorrhagic
fever (DHF) incidence, the work area health center clinics Gribig.
PENDAHULUAN

Jawa Timur merupakan salah


satu provinsi terbanyak terjangkit
kasus DBD setelah DKI Jakarta dan
Jawa Barat. Angka kejadian DBD di
Jawa
Timur
pun
mengalami
peningkatan selama tahun 2004-2007,
berturut-turut adalah 8.287 kasus,
14.796 kasus, 18.484 kasus, dan
24.186 kasus dengan angka kematian
berturut-turut 120 orang, 264 orang,
217 orang, dan 340 orang.2 Mulai
Januari hingga September 2010
tercatat 22.040 kasus dengan angka
kematian 190. Dari 38 kabupaten/kota,
tercatat 10 daerah yang merupakan
pandemic
DBD,
antara
lain
Kabupaten
Pacitan,
Kabupaten
Ponorogo, Kabupaten Tulungagung,
Kota Madiun, Kota Kediri, Kota
Malang,
Kota
Surabaya,
Kota
Probolinggo,
dan
Kabupaten
Situbondo.3

Penyakit Demam Berdarah


Dengue (DBD) merupakan penyakit
endemis di Indonesia, sejak pertama
kali ditemukan pada tahun 1968 di
Surabaya dan Jakarta, jumlah kasus
terus meningkat, baik dalam jumlah
maupun luas wilayah yang terjangkit
dan secara sporadis selalu terjadi
Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap
tahun. KLB DBD terbesar terjadi pada
tahun 1998 dengan Incidence Rate
(IR) = 35,19 per 100.000 penduduk
dan Case Fatality Rate (CFR) = 2%.
Pada tahun 1999, IR menurun tajam
sebesar 10,17%, namun tahun-tahun
berikutnya IR cenderung meningkat
yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun
2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87
(tahun 2003).1

Jurnal Penelitian

Jumlah kasus DBD di Kota


Malang sendiri pada 2008, 2009, dan
2010 berturut-turut adalah 408 kasus,
614 kasus, dan 879 kasus dengan
jumlah kematian berturut-turut adalah
3 orang, 4 orang, dan 5 orang. Jumlah
kasus di Kecamatan Kedungkandang
pada tahun 2008, 2009, dan 2010
berturut-turut adalah 67 kasus, 126
kasus, dan 166 kasus. Hal ini
menunjukkan peningkatan kejadian
DBD dari tahun ke tahun.4
Selama ini DBD masih menjadi
salah satu penyakit yang paling
banyak terjadi di Kota Malang selain
infeksi saluran pernafasan atas
(ISPA). Data di Dinas Kesehatan Kota
Malang awal tahun 2008 menunjukkan
jumlah kasus DBD sudah mencapai
174 kasus. Beberapa korban di
antaranya meninggal dunia. Menurut
Kepala Bidang P2PL Kota Malang5
puncak kasus DBD antara bulan
Maret-April. Biasanya pada bulanbulan ini timbul 70-90 kasus DBD.
Daerah-daerah yang rawan muncul
DBD adalah permukiman padat dan
kotor (banyak kaleng dan barangbarang bekas ditumpuk). Misalnya
daerah
Sawojajar
Kecamatan
Kedungkandang
dan
Kecamatan
Sukun.6
Untuk
itu,
pemerintah
mengambil langkah cepat dalam
upaya pencegahan penyebaran kasus
DBD dengan cara Pemberantasan
Sarang
Nyamuk
(PSN)
secara
serentak
dan
periodik
melalui
pemberdayaan tokoh masyarakat dan
kader kesehatan untuk membentuk tim
khusus pemberantasan DBD, program
penyelidikan epidemiologi, abatisasi
selektif, fogging, dan penyuluhan
kesehatan masyarakat.7
Fogging
bertujuan
untuk
membunuh sebagian besar vektor
infektif dengan cepat, sehingga rantai
penularan segera dapat diputuskan.
Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan
untuk menekan kepadatan vektor
selama waktu yang cukup sehingga
siklus vektor dapat dihentikan sebelum
menjadi virus.8
Menurut Fathi,9 tidak tampak
peran tindakan pengasapan (fogging)

terhadap terjadinya KLB penyakit DBD


di Mataram (Chi-square, p>0,05).
Tidak tampaknya peran fogging ini
dikarenakan
kurangnya
frekuensi
kegiatan fogging di daerah penelitian.
Kegiatan pengasapan seharusnya
dilaksanakan dalam 2 siklus, yaitu
waktu antara pengasapan pertama
dan berikutnya (kedua) harus dalam
interval 7 hari, dengan maksud jentik
yang selamat dan menjadi nyamuk
Aedes
dapat
dibunuh
pada
pengasapan yang kedua.10 Fogging
yang pada umumnya menggunakan
insektisida golongan organofosfat
misalnya malathion dalam larutan
minyak solar tidak begitu efektif dalam
membunuh nyamuk dewasa dan kecil
pengaruhnya
dalam
menurunkan
kepadatan populasi nyamuk Aedes,
apalagi siklus pengasapannya tidak 2
kali dengan interval 7 hari.
Menurut Febri.F,11 salah satu
kegiatan
bagian
Kesehatan
Lingkungan Puskesmas Rawat Inap
Muara Fajar di Kota Pekanbaru adalah
pemeriksaan jentik nyamuk Aedes
yang
dilakukan
setiap
bulan.
Berdasarkan
Laporan
Evaluasi
Program
Kerja
Bagian
Kesling
Puskesmaas Muara Fajar tahun 2008
didapatkan cakupan target dari
kegiatan ini masih kurang dari 95%
dengan perhitungan, dari 1839 jumlah
bangunan yang terdata di kelurahan
Muara Fajar, 420 bangunan diperiksa
jentik, dan 297 bangunan memiliki nilai
ABJ sebesar 70,71%. Dari analisa
terhadap laporan bulanan program
Kesling
didapatkan
bahwa
pemeriksaan jentik belum sesuai
pedoman dari Dirjen P2PL dimana
tidak dilakukan setiap 3 bulan, serta
tidak adanya formulir JPJ (juru
pemeriksa jentik) atau formulir hasil
pemeriksaan
jentik.
Sehingga
pencatatatan ABJ tidak sesuai dengan
pedoman dan data yang didapatkan
cenderung
rendah.
Menurut
Departemen Kesehatan RI12 tentang
Pemberantasan Demam Berdarah
menyatakan angka bebas jentik (ABJ)
pada 100 rumah sampel harus > 95%.
Berdasarkan salah satu fakta
dan data di atas, terbukti bahwa
3

Jurnal Penelitian

kurangnya frekuensi fogging dan


waktu pelaksanaan fogging yang
kurang sesuai serta tidak tercapainya
target ABJ yang harus > 95 % diduga
menyebabkan
tingginya
angka
kejadian DBD di Indonesia. Selain itu
lengkapnya data mengenai pencatatan
frekuensi fogging, ABJ, dan angka
kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas
Gribig
dibandingkan
dengan Puskesmas lainnya menjadi
alasan
utama
peneliti
untuk
melakukan penelitian dengan judul
Hubungan Angka Bebas Jentik (ABJ)
dan Frekuensi Fogging dengan Angka
Kejadian Demam Berdarah Dengue
(DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas
Gribig, Kecamatan Kedungkandang,
Kota Malang Tahun 2008-2009.

pencatatan kasus DBD, pencatatan


ABJ, dan pelaksanaan fogging relatif
baik
dibanding
wilayah
kerja
puskesmas lainnya.
Variabel Penelitian dan Definisi
Operasional
Variabel Bebas
Frekuensi
fogging
adalah
Jumlah
kegiatan
fogging
yang
dilakukan oleh Dinkes dan swadaya di
tiap kelurahan perbulannya. ABJ
adalah indikator dari pemantauan
jentik berkala oleh jumantik di tiap
kelurahan perbulannya.
Variabel Tergantung
Angka kejadian DBD adalah
Insiden rate
penyakit DBD di
Kelurahan Lesanpuro, Madyopuro,
dan Sawojajar per tahunnya.

METODE PENELITIAN

Analisis Data
Untuk mengetahui hubungan
antara ABJ dan frekuensi fogging
dengan angka kejadian DBD, data
dianalisa dengan uji korelasi. Apabila
data terdistribusi normal, maka dapat
dianalisis dengan uji korelasi pearson.
Sedangkan,
apabila
data
tidak
terdistribusi normal, maka akan
dianalisis
dengan
uji
korelasi
spearman.

Desain Penelitian
Desain penelitian yang akan
digunakan merupakan jenis penelitian
analitik
observasional
dengan
pendekatan studi ekologi.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah
kelurahan Lesanpuro, Madyopuro, dan
Sawojajar.Sampel penelitian ini adalah
kelurahan Lesanpuro, Madyopuro, dan
Sawojajar yang berada di Kecamatan
Kedungkandang,
Kota
Malang.
Ketiganya merupakan wilayah kerja
Puskesmas Gribig.

HASIL PENELITIAN
Angka Bebas Jentik (ABJ)
Berdasarkan
data
yang
diperoleh dari Puskesmas Gribig
menunjukkan bahwa rata-rata ABJ
selama dua tahun dari ketiga
kelurahan sebesar 36,15 % dimana
ABJ terendah 0 % dan tertinggi 100 %.

Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian ini adalah
wilayah kerja Puskesmas Gribig yang
terdiri dari Kelurahan Lesanpuro,
Madyopuro, dan Sawojajar Kecamatan
Kedungkandang. Waktu penelitian
adalah pada bulan Januari Maret
2011.

Frekuensi Fogging
Nilai rata-rata frekuensi fogging
periode 2008-2009 di kelurahan
Lesanpuro adalah 4 kali setiap tahun
dengan frekuensi fogging terendah 0
kali dan tertinggi 3 kali setiap
bulannya. Di kelurahan Madyopuro,
nilai rata-rata frekuensi fogging adalah
5 kali setiap tahun dengan frekuensi
fogging terendah 0 kali dan tertinggi 2
kali setiap bulannya. Sedangkan di

Teknik dan Instrumen Pengumpulan


Data
Teknik pengambilan sampel
yang dilakukan pada penelitian ini
menggunakan purposive sampling.
Sampel yang dipilih adalah wilayah
kerja Puskesmas Gribig karena
4

Jurnal Penelitian

kelurahan Sawojajar nilai rata-rata


frekuensi fogging adalah 7,5 (8 kali)
setiap tahun dengan frekuensi fogging
terendah 0 kali dan tertinggi 3 kali
setiap bulannya.
Angka Kejadian DBD
Angka
kejadian
DBD
di
Kelurahan Lesanpuro tahun 2008
22,06 dan tahun 2009 193,65.
Kelurahan Madyopuro tahun 2008
180,5 dan tahun 2009 226,14.
Kelurahan Sawojajar tahun 2008
154,8 dan tahun 2009 128,11.
Analisis Data
Hasil uji Kolmogorov-Smirnov
menunjukkan data ketiga variabel
tersebut tidak terdistribusi normal.
Karena
itu
untuk
mengetahui
hubungan
antara
ABJ
dengan
frekuensi fogging dan ABJ dengan
angka kejadian DBD digunakan uji
korelasi spearman.

Gambar 5.4 Hubungan antara Frekuensi


Fogging dan ABJ dengan Arah Positif

Hubungan antara ABJ dengan


Angka Kejadian DBD
Berdasarkan hasil analisa data,
nilai uji korelasi (r) ABJ dengan angka
kejadian DBD adalah 0,503 dengan
arah positif. Hal ini menunjukkan
terdapat hubungan yang sedang
antara ABJ dengan angka kejadian
DBD
di
Kelurahan
Lesanpuro,
Madyopuro dan Sawojajar. Arah positif
dari nilai r menunjukkan bahwa
semakin tinggi presentase ABJ
semakin tinggi angka kejadian DBD.
Sedangkan, nilai uji korelasi memiliki
nilai p = 0,000 dimana nilai p < 0,05
berarti dapat dikatakan bahwa antara
ABJ berkorelasi positif dengan angka
kejadian DBD.

Hubungan
antara
Frekuensi
Fogging dengan ABJ
Berdasarkan hasil analisa data,
nilai uji korelasi (r) frekuensi fogging
dan ABJ adalah 0,22 dengan arah
positif. Hal ini menunjukkan terdapat
hubungan
yang
lemah
antara
frekuensi fogging dengan ABJ di
Kelurahan Lesanpuro, Madyopuro dan
Sawojajar. Arah positif dari nilai r
menunjukkan bahwa semakin banyak
frekuensi fogging ternyata tidak
menurunkan ABJ. Sedangkan nilai p =
0,03 dimana nilai p < 0,05 berarti
dapat
dikatakan
bahwa
ABJ
berkorelasi positif dengan frekuensi
fogging di Kelurahan Lesanpuro,
Madyopuro, dan Sawojajar.

Gambar 5.5 Hubungan antara ABJ dan


Angka Kejadian DBD dengan Arah Positif

Jurnal Penelitian

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang


dilakukan oleh Sungkar, insektisida
yang digunakan dalam pelaksanaan
fogging
adalah
malation
untuk
membasmi nyamuk dewasa Ae.
aegypty dan temefos untuk membasmi
larva Ae. aegypty. Kedua jenis
insektisida ini telah digunakan secara
masal sejak tahun 1980. Sehingga
penggunaan
insektisida
tersebut
dalam waktu lama menyebabkan
resistensi terhadap Ae. Aegypty yang
akhirnya menurunkan ABJ. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang telah
dilakukan
oleh
peneliti
dimana
meskipun telah dilaksanakan fogging
akan tetapi ABJ tetap rendah.14

Hubungan Angka Bebas Jentik


dengan Frekuensi fogging
Dari
hasil
analisa
data
didapatkan hubungan yang signifikan
dengan
arah
positif.
Hal
ini
menunjukkan peningkatan frekeunsi
fogging disertai dengan peningkatan
ABJ. Namun kekuatan hubungan
antara ABJ dan Frekuensi fogging
lemah.
Menurut WHO, pemberantasan
vektor penyakit DBD pada waktu
terjadi wabah sering dilakukan fogging
atau penyemprotan lingkungan rumah
dengan insektisida malathion yang
ditujukan pada nyamuk dewasa. Dari
beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pengasapan rumah dengan
malathion
sangat
efektif
untuk
pemberantasan vektor. Namun apabila
kegiatan ini tanpa didukung dengan
aplikasi abatisasi, dalam beberapa
hari akan meningkat lagi kepadatan
nyamuk dewasanya karena jentik yang
tidak mati sehingga ABJ mengalami
penurunan.13
Untuk membasmi penularan
virus dengue penyemprotan dilakukan
dua siklus dengan interval 1 minggu,
pada penyemprotan siklus pertama
semua nyamuk yang mengandung
virus dengue (nyamuk infektif) dan
nyamuk-nyamuk yang lainnya akan
mati, tetapi akan segera muncul
nyamuk-nyamuk
baru
yang
diantaranya akan menghisap darah
penderita viremia yang masih ada
yang dapat menimbulkan terjadinya
penularan kembali. Oleh karena itu
perlu dilakukan penyemprotan siklus
kedua, penyemprotan yang kedua
dilakukan
1
minggu
sesudah
penyemprotan yang pertama agar
nyamuk baru yang infektif tersebut
akan terbasmi sebelum sempat
menularkan pada orang lain. Hal ini
bertolak belakang dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti dimana pelaksanaan fogging
hanya dilakukan 1 siklus, sehingga
meskipun fogging telah dilakukan ABJ
tetap rendah.

Hubungan Angka Bebas Jentik


dengan Angka Kejadian DBD
Dari
hasil
analisa
data
didapatkan hubungan yang signifikan
dengan
arah
positif.
Hal
ini
menunjukkan bahwa meskipun ABJ
meningkat namun angka kejadian
DBD tetap meningkat. ABJ sendiri
meskipun meningkat nilai rata-ratanya
tetap rendah. Hubungan kekuatan
antara ABJ dan angka kejadian DBD
sedang.
Penyebaran penyakit DBD
dipengaruhi oleh faktor lingkungan
seperti jumlah hari hujan, suhu dan
kelembaban udara. Selain itu faktor
lainnya
yang
mempengaruhi
penyebaran penyakit ini adalah angka
bebas jentik (ABJ) dan kepadatan
penduduk. ABJ tersebut merupakan
salah satu indikator keberhasilan
program
pemberantasan
vektor
penular DBD. ABJ sebagai indikator
upaya pemberantasan vektor melalui
gerakan PSN-3M menunjukan tingkat
partisipasi
masyarakat
dalam
mencegah DBD. Rata-rata ABJ yang
masih di bawah 95% menunjukkan
bahwa partisipasi masyarakat untuk
mencegah penyakit DBD dengan cara
3M di lingkungannya masing-masing
belum optimal, sehingga kasus DBD
masih sering terjadi. Hal ini sejalan
dengan
penelitian
yang
telah
dilakukan oleh peneliti dimana ABJ
masih
rendah
sehingga
tidak
6

Jurnal Penelitian

berpengaruh terhadap angka kejadian


DBD.15
Menurut Sungkar berdasarkan
penelitian yang telah ia lakukan ABJ
merupakan indikator penyebaran Ae.
aegypti.
Dengan
strategi
pemberantasan yang telah ditetapkan,
ditargetkan ABJ dapat mencapai lebih
dari 95%. Sampai saat ini beberapa
daerah telah melaporkan bahwa ABJ
telah mencapai 90% bahkan ada juga
yang mencapai 95%, tetapi pada
kenyataannya jumlah penderita DBD
masih tetap tinggi. Hal tersebut
disebabkan jumlah penderita DBD
tidak
semata-mata
berhubungan
langsung dengan ABJ melainkan
tingginya ABJ mungkin disebabkan
oleh jumantik yang kinerjanya kurang
baik, misalnya kurang teliti dalam
melakukan
survey
dimana
kemungkinan
jumantik
hanya
memeriksa tempat penampungan air
yang besar seperti bak mandi, ember
dan drum, sedangkan wadah yang
kecil
misalnya
vas
bunga,
penampungan tetesan AC, dan wadah
dispenser tidak diperiksa.
Selain itu menurut Haryadi
faktor
paling
dominan
yang
mempengaruhi tingginya kejadian
DBD adalah kepadatan penduduk dan
ABJ
yang
rendah.
Kepadatan
penduduk
dapat
meningkatkan
penularan kasus DBD dimana dengan
semakin banyak manusia maka akan
semakin besar peluang nyamuk Aedes
aegypti
menggigit,
sehingga
penyebaran
kasus
DBD
dapat
menyebar dengan cepat dalam suatu
wilayah. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh peneliti
dimana ABJ yang rendah merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan
masih tingginya angka kejadian
DBD.16,17

Begitupula dengan waktu pelaksanaan


fogging yang kemungkinan tidak
tercatat ataupun tidak dilaporkan
sehingga mengurangi kelengkapan
data yang akan diteliti. Selain itu,
kejadian DBD didapatkan berdasarkan
laporan warga (bersifat subjektif) yang
disampaikan kepada kader, sehingga
ada kemungkinan data yang diperoleh
tidak
menunjukkan
fakta
yang
sebenarnya, misalnya warga tidak
tahu, tidak ingat atau kader tidak
melaporkan adanya kejadian DBD.
Selain itu, penggunaan studi
ekologi dalam penelitian ini juga
menyebabkan lemahnya penelitian,
yaitu studi ekologi tidak dapat dipakai
untuk menganalisis hubungan sebab
akibat
karena
ketidakmampuan
menjembatani kesenjangan status
paparan dan status penyakit pada
tingkat populasi dan individu, serta
tidak mampu untuk mengontrol faktor
perancu potensial.
KESIMPULAN
1. ABJ dan frekuensi fogging
tidak
menurunkan
angka
kejadian DBD di wilayah kerja
Puskesmas Gribig, Kecamatan
Kedungkandang, Kota Malang
tahun 2008-2009.
2. Frekuensi
fogging
berhubungan dengan angka
bebas
jentik
(ABJ)
di
Kelurahan
Lesanpuro,
Madyopuro dan Sawojajar.
Keduanya memiliki hubungan
yang lemah dengan arah
positif. Hal ini menunjukkan
peningkatan frekeunsi fogging
menurunkan ABJ.
3. Angka bebas jentik (ABJ)
berhubungan dengan angka
kejadian DBD di Kelurahan
Lesanpuro, Madyopuro dan
Sawojajar. Keduanya memiliki
hubungan
yang
sedang
dengan arah positif. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun
ABJ meningkat namun angka
kejadian DBD tetap meningkat.
ABJ
sendiri
meskipun

Kelemahan Penelitian
Kelemahan dalam penelitian
yang dilakukan ini adalah ketidak
lengkapan data. Hal ini dikarenakan
pencatatan ABJ oleh kader/jumantik
kemungkinan tidak lengkap, tidak
akurat, serta terlambatnya data yang
terkumpul di puskesmas setempat.
7

Jurnal Penelitian

meningkat nilai rata-ratanya


tetap rendah.
4. Tingkat ABJ di Wilayah kerja
Puskesamas
Gribig
menunjukkan bahwa nilai ratarata ABJ selama 2 tahun dari
tiga kelurahan adalah 36,15%
nilai tertinggi 100% dan
terendah 0%.

pada
tempat-tempat
penampungan air ataupun
kolam
dan
tidak
selalu
mengandalkan fogging. Selain
itu masyarakat diharapkan
dapat bekerja sama dengan
petugas
kesehatan
dalam
rangka mencegah penyakit
DBD, misalnya bersedia untuk
diperiksa tempat tinggalnya
saat
survei
jentik
oleh
kader/jumantik, dan aktif dalam
berbagai
penyuluhan
mengenai penyakit DBD yang
dilakukan
oleh
puskesmas/kader setempat.

5. Nilai rata-rata frekuensi fogging


pertahun dari tiga kelurahan
sebanyak 6 kali, tertinggi di
Kelurahan Sawojajar sebanyak
8 kali dan terendah di
kelurahan Lesanpuro sebanyak
4 kali.

DAFTAR PUSTAKA
SARAN
1. Bagi Peneliti
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut mengenai faktor lain
yang
mempengaruhi
pelaksanaan dan keberhasilan
fogging dan pencatatan ABJ
2. Bagi Petugas Kesehatan
Perlu dilakukan pencatatan
ABJ yang akurat dan terjadwal.
Selain itu dalam pelaksanaan
fogging
disarankan
untuk
sesuai dengan pedoman yang
ada sehingga harapannya
pelaksanaan fogging menjadi
efektif dan efisien. Kemudian
hendaknya masyarakat diberi
edukasi
dasar
mengenai
kegiatan fogging, pemeriksaan
jentik, dan penyebaran serta
cara pencegahan penyakit
DBD.
3. Bagi Masyarakat
Mengingat fogging kurang
efektif
maka
masyarakat
disarankan untuk melakukan
pemberantasan
sararang
nyamuk
(PSN)
misalnya
dengan
cara
melakukan
gerakan
3M,
menjaga
kebersihan
rumah
dan
lingkungan
dari
sampahsampah yang mudah menjadi
sarang
nyamuk
terutama
sampah yang mudah digenangi
air seperti botol dan kaleng
bekas, melakukan abatesasi

1. Depkes RI Dirjen P2MPL.


2004. Tatalaksana DBD di
Indonesia. Jakarta.
2. Departemen Infokom Jatim.
2009. Jawa Timur Bertekat
Basmi DBD. (www.d-infokomjatim.go.id, diakses pada 15
Desember 2010)
3. Ica. 2010. Jatim Potensi KLB
DBD. (www.harianbirawa.co.id,
diakses 15 Desember 2010)
4. Dinkes Kota Malang. 2010.
Data
Penderita
Demam
Berdarah Kota Malang 20082010. Malang: Dinkes.
5. P2PL Dinkes Kota Malang.
2008. Laporan Tahunan DBD
Kota Malang
6. Irawati, Dahlia. 2008. DBD
Masih
Terus
Mengancam
Malang. Kompas, Senin 14
April 2008 18.31 kompas.com
7. Depkes RI. 2004. Keputusan
Menteri Kesehatan RI No.
1091/Menkes/SK/X/2004
Tentang
Petunjuk
Teknis
Standar Pelayanan Minimal
Bidang
Kesehatan
Di
Kabupaten/Kota. Jakarta.
8. Ambarwati, dkk. 2006. Fogging
Sebagai
Upaya
Untuk
Memberantas
Nyamuk
Penyebar Demam Berdarah Di
Dukuh Tuwak Desa Gonilan,
Kartasura, Sukoharjo. WARTA,
Vol .9, No. 2, September 2006:
8

Jurnal Penelitian

130 138. Surakarta: FIK


UMS.
9. Fathi, et al. 2005. Peran Faktor
Lingkungan
dan
Perilaku
Terhadap Penularan Demam
Berdarah Dengue di Kota
Mataram. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Vol. 2, No. 1, Juli
2005: 1-10.
10. Depkes RI. 2005. Pencegahan
dan Pemberantasan Demam
Berdarah Dengue di Indonesia.
Jakarta: Direktorat Jendral PPPL.Dengue . Jakarta : Dirjen
PPM dan PLP.
11. Fahmi,
Febri.
2009.
Pelaksanaan Kegiatan PJB
pada
Program
Kesehatan
Lingkungan Puskesmas Muara
Fajar. Riau : FK Riau 2009.
12. Depkes RI. 1996. Modul
Latihan Kader Dalam
Pemberantasan Sarang
Nyamuk Demam Berdarah
Dengue . Jakarta : Dirjen PPM
dan PLP.
13. WHO.
2009.
Dengue
guidelines
for
Diagnosis
Treatment Prevention and
Control. Geneva.
14. Sungkar,
Saleha.
2007.
Pemberantasan
Demam
Berdarah Dengue: Sebuah
Tantangan
yang
Harus
Dijawab. Majalah Kedokteran
Indon, Volume: 57, Nomor: 6.
Jakarta.
15. P2PL Dinkes Kota Malang.
2007. Laporan Tahunan DBD
Kota Malang
16. Haryadi, Dedy. 2007. Analisis
Spasial Penyakit Demam
Berdarah Dengue (DBD) di
Kabupaten Karawang tahun
2005-2007. Tesis. FKM UI.
Jakarta
17. Yusmariami. 2004. Gambaran
Kejadian
Kasus
Demam
Berdarah Dengue di Kota
Depok Selama Wabah Bulan
Januari Mei Tahun 2004.
Skripsi. FKM UI. Jakarta.

Menyetujui,
Pembimbing I

Lilik Zuhriyah, SKM, M.Kes


NIP. 19730606 199702 2 001

Anda mungkin juga menyukai