Anda di halaman 1dari 7

ACEH MUNDUR SELANGKAH DALAM MENANGANI

PERSOALAN PERLINDUNGAN ANAK


Oleh : Harjoni Desky, S.SosI.,M.Si

Dalam beberapa tahun belakangan ini, masalah perlindungan anak menjadi

pemikiran dan telah mendapat porsi khusus secara nasional. Program dan kegiatan serta langkah-

langkah strategis dalam usaha pemantapan semakin ditingkatkan guna mencapai kesempatan

yang paripurna. Mengingat perlindungan anak memiliki ruang lingkup yang sangat luas maka

sangat pantas persoalan perlindungan anak ini perlu perhatian secara maksimal. Langkah dan

perhatian tersebut dituangkan melalui pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan

perpanjangan di daerah dibentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPID).

Sebenarnya persoalan perlindungan anak di Indonesia kian hari kian banyak

mengalami persoalan. Kita ambil contoh dari segi kesehatan saja, kondisi ini masih

memprihatinkan. Salah satunya yaitu angka kematian bayi masih tinggi. Ini semakin menegaskan

kondisi tersebut yang menuntut perhatian lebih dari kita semua dalam upaya untuk menciptakan

generasi yang baik di masa yang akan datang. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak

(UUPA) Nomor 23 Tahun 2002, yang dikategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan.

Dalam hal ini, faktor penyakit yang menjangkiti anak-anak usia 0-4 tahun kerap

menjadi source of problem. Penyakit yang kerap hadir hingga menyebabkan meninggal adalah

diare, infeksi saluran pernafasan atas, tyfus, gangguan perinatal, gangguan saluran cerna,

penyakit saraf, dan tetanus. Sedangkan kematian anak usia 5 – 15 tahun sering di sebabkan oleh

tyfus, neoplasma, infeksi termasuk diare, dan kecelakaan. Berdasarkan catatan Departemen

Kesehatan, penyakit menular yang disebabkan oleh lingkungan tidak sehat yang sering
menyebabkan kematian dan kesakitan adalah diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA),

TBC, demam berdarah dengue, dan malaria.

Salah satu penyebab lingkungan yang tidak sehat adalah cakupan air bersih dan

fasilitas sanitasi dasar awal tahun 1990-an masih relatif rendah. Tahun 1998 dilaporkan adanya

sedikit peningkatan cakupan air bersih menjadi 73 persen dan pemilikan jamban saniter 66

persen. Dalam kondisi masyarakat yang buruk maka yang paling menderita lebih dulu adalah

anak-anak. Oleh karena itu, angka kematian anak menjadi indikator kesejahteraan suatu bangsa.

Kalau kita melihat lebih dalam, persoalan anak tidaklah hanya sebatas pada persoalan penyakit,

akan tetapi psikologis anak juga memegang pernanan penting dalam proses tumbuh

kembangnya.

Kondisi Perlindungan Anak di Aceh

Bercerita masalah lingkungan sehat, mengingatkan kita akan kondisi Aceh baru-

baru ini yaitu pasca tsunami. Ironisnya, persoalan rumah ternyata di Aceh masih menjadi

masalah dan belum terselesaikan juga. Masih banyak, bahkan ribuan korban tsunami belum

mendapatkan rumah, lihat saja di Calang Aceh Jaya 1.394 korban tsunami belum mendapatkan

rumah. Itu belum lagi bila kita gabungkan dengan data-data dari kabupaten/kota yang ada di

Provinsi Aceh, yaitu data korban tsunami yang belum mendapatkan rumah. Bagaimana anak-

anak Aceh mau sehat lahir dan batin dan memiliki sdm yang baik bila kondisi lingkungan hidup

khususnya rumah saja mereka tidak memilikinya? dan ini tentu menjadi tugas berat dari

pasangan Irwandi dan Nazar.

Pemerintah daerah seharusnya tidak boleh menghindar dan melempar tanggung

jawab pada kesalahan system pembagian pihak BRR, melainkan mengambil tanggungjawab

tersebut menjadi tanggung jawab mereka. Kiranya sangat tepat apa yang dilakukan masyarakat
di Aceh Barat soal pengumpulan poin untuk rumah korban tsunami sebagai “tambaran” dan

sindiran bagi ketidakmampuan Pemerintah Aceh.

Kondisi krisis ekonomi saat ini sedikit banyak juga telah memaksa jutaan anak-

anak di Aceh terjun ikut bekerja guna memperoleh tambahan penghasilan. Apakah itu sebagai

buruh anak di bidang pertanian dan perikanan di desa, atau sebagai buruh anak di pabrik-pabrik

dengan kondisi kerja yang sangat memprihatinkan. Begitu banyak anak dalam usianya masih

sangat belia sudah harus menanggung beban begitu berat, baik fisik maupun mental, yang

menghambat proses tumbuh kembang mereka secara optimal. Di antara mereka adalah anak-

anak yang sangat kurang memperoleh perhatian atau pengawasan dari orangtuanya, atau bahkan

hidup tanpa keluarga sama sekali.

Ini dapat kita jumpai pada anak-anak yang hidup di jalanan, menjadi pengemis di

pinggiran jalan atau di mesjid pas waktu Jum’at.. Kerasnya hidup yang harus mereka jalani

kadang-kadang terpaksa menyeret mereka untuk melakukan berbagai tindak kriminal, sehingga

pada usianya yang amat dini mereka sudah harus berurusan dengan aparat penegak hukum.

Tercatat dari data Lembaga Batuan Hukum (LBH) Anak Aceh, tahun ini telah menangani 70

kasus yang melibatkan anak-anak, baik sebagai pelaku kriminal maupun korban. Dari data itu, 50

persen di antaranya kasus pencurian. Untuk kasus pencurian jumlahnya sama dengan yang

terjadi di tahun 2008. “Bedanya tahun 2009 ranking kedua di atas adalah kasus penganiayaan

dan pelantaran, sedangkan tahun 2008 kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan,” ujar Direktur

LBH Anak Aceh, Ayu Ningsih.

Khusus realita dua tahun ini, pelaku pencurian paling banyak dilakukan anak-

anak. Menurut hasil survei pihaknya, itu akibat berbagai faktor, seperti kebutuhan, dan bisa jadi

karena kurangnya perhatian dari para orang tua. Secara umum kasus pencurian dilakukan anak-
anak dari keluarga kurang mampu, biasanya nekat mencuri karena keadaan terpaksa. Biasanya

anak itu harus bekerja mencari barang bekas agar dia punya uang untuk memenuhi kebutuhannya

dan adik-adiknya. Tapi, suatu hari dikarenakan tidak ada pendapatan, di dalam pikirannya akan

muncul niat untuk mencuri.

Dan coba kita amati beberapa kasus serupa yang terjadi di Aceh di bawah ini :

- anak yang tidak memiliki akte kelahiran

- anak yang putus sekolah

- anak jalanan

- anak yang mengalami tindak kekerasan

- anak yang diperdagangkan dengan tujuan komersil.

- Ribuan anak-anak yang masih trauma dengan konflik dan tsunami

Disinilah pentingnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPID)

memainkan peran dalam perlindungan anak Aceh sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya. Namun sekali lagi yang membuat kita pantas untuk prihatin dengan kondisi akhir-

akhir ini adalah rendahnya perhatian Pemerintah Aceh dalam persoalan perlindungan anak Aceh.

Baru-baru ini saja Sekda Provinsi Aceh Husni Bahri TOP atas nama Gubernur dan Pemerintah

Aceh membekukan kepengurusan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPID) Aceh

dengan keputusan dalam surat Nomor:260/1663 tanggal 20 Januari 2010. Surat tersebut

menegaskan, “Dengan telah dibentuknya Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan

Anak yang merupakan lembaga resmi Pemerintah Aceh untuk menangani masalah perlindungan

anak, maka Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPID) Aceh tidak perlu diperpanjang

lagi masa tugasnya.


Padahal dengan kondisi pascakonflik dan bencana tsunami, banyak anak Aceh

yang menjadi korban, baik korban tindak kejahatan, hak-hak mendapatkan akses pendidikan dan

kesehatan. Menurut analisa penulis sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang telah ditetapkan

oleh PBB sebagai standar universal bagi hak-hak anak yang berfungsi untuk melindungi mereka

dari berbagai tindakan salah tersebut. Seharusnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah

(KPID) Aceh tetap ada, bahkan tugas dan kewenangannya yang dipertajam pada pengawasan

dan membantu dinas/badan terkait ketika dibutuhkan. Sebab masih banyak sisi-sisi yang tidak

mungkin dilaksanakan oleh Badan Perlindungan Anak dapat saja dilakukan oleh komisi. Bahkan,

lembaga-lembag masyarakat madani yang melakukan pengawasan dan memberdayakan

kepentingan anak harus lebih banyak di Aceh.

Pada tanggal 13 September 2005, mendagri mengirimkan surat kepada

gubernur/bupati/wlikota seluruh Indonesia tentang pembentukan Komisi Perlindungan Anak

Indonesia Daerah (KPID). Dalam surat itu antara lain ditegaskan, menjadi kawajiban dan

tanggung jawab pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada anak Indonesia

sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak. Dalam pasal 20 menyatakan bahwa, “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan

orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”

Berbagai tindak kekerasan, penelantaran dan eksploitasi masih saja terus dialami

oleh anak-anak yang di harapkan menjadi tunas harapan bangsa di bumi pertiwi tercinta ini.

Begitu pula penderitaan psikologis akibat berbagai sikap dan tindakan yang sewenang-wenang

terhadap anak, membuat mereka menjadi anak-anak yang bermasalah sehingga mengganggu

proses tumbuh kembang mereka secara sehat. Inilah situasi nyata yang terjadi sekarang ini.
Tampaknya isi dan makna dari Konvensi Hak Anak masih belum tersosialisasi

secara luas kepada masyarakat Aceh dan pemerintah daerah, sehingga akhirnya masyarakat

menjadi kurang peka dan kurang memahami fenomena yang ada. Untuk itu semua pihak kiranya

perlu berusaha agar makna dari Konvensi Hak Anak tersebut dapat tersebar secara lebih luas,

sebagaimana tertera dalam pasal 42 dari Konvensi tersebut, yaitu bahwa negara peserta berupaya

agar prinsip-prinsip dan ketentuan Konvensi ini diketahui secara luas oleh orang dewasa dan

juga anak-anak melalui cara yang tepat dan aktif.

Di Indonesia secara umum, dan Aceh secara khusus masih banyak anak yang

mengalami kekerasan dan penindasan haknya, karena terkadang orang dewasa menganggap

bahwa anak merupakan ‘properti’ milik mereka. Di lain pihak, anak terkadang memiliki

kesulitan untuk mengungkapkan perasaannya sehingga aspirasinya juga tidak tersalurkan.

Selain pelanggaran hak anak, banyak anak di Indonesia maupun di seluruh dunia mengalami

tindakan kekerasan oleh orang dewasa yang sayangnya justru dilakukan di dalam rumah tangga.

Menurut data dari World Health Organization (WHO) penganiayaan anak telah

menyengsarakan hidup 40 juta anak yang berusia antara 0-14 tahun. Dengan adanya dampak

psikologis dari pelanggaran dan tindak kekerasan terhadap anak, hendaknya kita dapat

memahami bahwa pada dasarnya anak adalah suatu pribadi utuh yang tidak boleh diperlakukan

begitu saja secara semena-mena, karena mereka mempunyai hak-hak khusus sebagai anak yang

perlu senantiasa dilindungi.

Kita kerap pesimis dengan melihat kondisi yang terjadi pada saat ini. Tapi, ketika

kita hanya diam dan mengurut-urut dada, keadaan tidak pernah akan berubah. Anak-anak kita

akan tetap menjadi bulan-bulanan dari orang dewasa. Hak-hak mereka akan semakin terabaikan.

Menjadi tugas kita bersama untuk menyediakan lahan yang subur bagi proses tumbuh kembang
mereka, yakni dengan mengerti hak-hak mereka sebagai anak, melindungi mereka dari berbagai

tindakan eksploitasi dan penyalahgunaan. Sepantasnya Pemerintah Aceh dan masyarakat

bersama-sama berupaya untuk menjunjung tinggi hak-hak anak dalam kehidupan sehari-hari,

sehingga pada gilirannya nanti, anak-anak Aceh akan dapat tumbuh dan berkembang dengan

baik. Bukan malah dengan “sombong” membekukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Daerah (KPID) Aceh.

Penulis adalah anggota PPWI Aceh

Anda mungkin juga menyukai