pemikiran dan telah mendapat porsi khusus secara nasional. Program dan kegiatan serta langkah-
langkah strategis dalam usaha pemantapan semakin ditingkatkan guna mencapai kesempatan
yang paripurna. Mengingat perlindungan anak memiliki ruang lingkup yang sangat luas maka
sangat pantas persoalan perlindungan anak ini perlu perhatian secara maksimal. Langkah dan
perhatian tersebut dituangkan melalui pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan
mengalami persoalan. Kita ambil contoh dari segi kesehatan saja, kondisi ini masih
memprihatinkan. Salah satunya yaitu angka kematian bayi masih tinggi. Ini semakin menegaskan
kondisi tersebut yang menuntut perhatian lebih dari kita semua dalam upaya untuk menciptakan
generasi yang baik di masa yang akan datang. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak
(UUPA) Nomor 23 Tahun 2002, yang dikategorikan sebagai anak adalah seseorang yang belum
Dalam hal ini, faktor penyakit yang menjangkiti anak-anak usia 0-4 tahun kerap
menjadi source of problem. Penyakit yang kerap hadir hingga menyebabkan meninggal adalah
diare, infeksi saluran pernafasan atas, tyfus, gangguan perinatal, gangguan saluran cerna,
penyakit saraf, dan tetanus. Sedangkan kematian anak usia 5 – 15 tahun sering di sebabkan oleh
tyfus, neoplasma, infeksi termasuk diare, dan kecelakaan. Berdasarkan catatan Departemen
Kesehatan, penyakit menular yang disebabkan oleh lingkungan tidak sehat yang sering
menyebabkan kematian dan kesakitan adalah diare, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA),
Salah satu penyebab lingkungan yang tidak sehat adalah cakupan air bersih dan
fasilitas sanitasi dasar awal tahun 1990-an masih relatif rendah. Tahun 1998 dilaporkan adanya
sedikit peningkatan cakupan air bersih menjadi 73 persen dan pemilikan jamban saniter 66
persen. Dalam kondisi masyarakat yang buruk maka yang paling menderita lebih dulu adalah
anak-anak. Oleh karena itu, angka kematian anak menjadi indikator kesejahteraan suatu bangsa.
Kalau kita melihat lebih dalam, persoalan anak tidaklah hanya sebatas pada persoalan penyakit,
akan tetapi psikologis anak juga memegang pernanan penting dalam proses tumbuh
kembangnya.
Bercerita masalah lingkungan sehat, mengingatkan kita akan kondisi Aceh baru-
baru ini yaitu pasca tsunami. Ironisnya, persoalan rumah ternyata di Aceh masih menjadi
masalah dan belum terselesaikan juga. Masih banyak, bahkan ribuan korban tsunami belum
mendapatkan rumah, lihat saja di Calang Aceh Jaya 1.394 korban tsunami belum mendapatkan
rumah. Itu belum lagi bila kita gabungkan dengan data-data dari kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Aceh, yaitu data korban tsunami yang belum mendapatkan rumah. Bagaimana anak-
anak Aceh mau sehat lahir dan batin dan memiliki sdm yang baik bila kondisi lingkungan hidup
khususnya rumah saja mereka tidak memilikinya? dan ini tentu menjadi tugas berat dari
jawab pada kesalahan system pembagian pihak BRR, melainkan mengambil tanggungjawab
tersebut menjadi tanggung jawab mereka. Kiranya sangat tepat apa yang dilakukan masyarakat
di Aceh Barat soal pengumpulan poin untuk rumah korban tsunami sebagai “tambaran” dan
Kondisi krisis ekonomi saat ini sedikit banyak juga telah memaksa jutaan anak-
anak di Aceh terjun ikut bekerja guna memperoleh tambahan penghasilan. Apakah itu sebagai
buruh anak di bidang pertanian dan perikanan di desa, atau sebagai buruh anak di pabrik-pabrik
dengan kondisi kerja yang sangat memprihatinkan. Begitu banyak anak dalam usianya masih
sangat belia sudah harus menanggung beban begitu berat, baik fisik maupun mental, yang
menghambat proses tumbuh kembang mereka secara optimal. Di antara mereka adalah anak-
anak yang sangat kurang memperoleh perhatian atau pengawasan dari orangtuanya, atau bahkan
Ini dapat kita jumpai pada anak-anak yang hidup di jalanan, menjadi pengemis di
pinggiran jalan atau di mesjid pas waktu Jum’at.. Kerasnya hidup yang harus mereka jalani
kadang-kadang terpaksa menyeret mereka untuk melakukan berbagai tindak kriminal, sehingga
pada usianya yang amat dini mereka sudah harus berurusan dengan aparat penegak hukum.
Tercatat dari data Lembaga Batuan Hukum (LBH) Anak Aceh, tahun ini telah menangani 70
kasus yang melibatkan anak-anak, baik sebagai pelaku kriminal maupun korban. Dari data itu, 50
persen di antaranya kasus pencurian. Untuk kasus pencurian jumlahnya sama dengan yang
terjadi di tahun 2008. “Bedanya tahun 2009 ranking kedua di atas adalah kasus penganiayaan
dan pelantaran, sedangkan tahun 2008 kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan,” ujar Direktur
Khusus realita dua tahun ini, pelaku pencurian paling banyak dilakukan anak-
anak. Menurut hasil survei pihaknya, itu akibat berbagai faktor, seperti kebutuhan, dan bisa jadi
karena kurangnya perhatian dari para orang tua. Secara umum kasus pencurian dilakukan anak-
anak dari keluarga kurang mampu, biasanya nekat mencuri karena keadaan terpaksa. Biasanya
anak itu harus bekerja mencari barang bekas agar dia punya uang untuk memenuhi kebutuhannya
dan adik-adiknya. Tapi, suatu hari dikarenakan tidak ada pendapatan, di dalam pikirannya akan
Dan coba kita amati beberapa kasus serupa yang terjadi di Aceh di bawah ini :
- anak jalanan
memainkan peran dalam perlindungan anak Aceh sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya. Namun sekali lagi yang membuat kita pantas untuk prihatin dengan kondisi akhir-
akhir ini adalah rendahnya perhatian Pemerintah Aceh dalam persoalan perlindungan anak Aceh.
Baru-baru ini saja Sekda Provinsi Aceh Husni Bahri TOP atas nama Gubernur dan Pemerintah
Aceh membekukan kepengurusan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPID) Aceh
dengan keputusan dalam surat Nomor:260/1663 tanggal 20 Januari 2010. Surat tersebut
Anak yang merupakan lembaga resmi Pemerintah Aceh untuk menangani masalah perlindungan
anak, maka Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPID) Aceh tidak perlu diperpanjang
yang menjadi korban, baik korban tindak kejahatan, hak-hak mendapatkan akses pendidikan dan
kesehatan. Menurut analisa penulis sesuai dengan Konvensi Hak Anak yang telah ditetapkan
oleh PBB sebagai standar universal bagi hak-hak anak yang berfungsi untuk melindungi mereka
dari berbagai tindakan salah tersebut. Seharusnya Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah
(KPID) Aceh tetap ada, bahkan tugas dan kewenangannya yang dipertajam pada pengawasan
dan membantu dinas/badan terkait ketika dibutuhkan. Sebab masih banyak sisi-sisi yang tidak
mungkin dilaksanakan oleh Badan Perlindungan Anak dapat saja dilakukan oleh komisi. Bahkan,
Indonesia Daerah (KPID). Dalam surat itu antara lain ditegaskan, menjadi kawajiban dan
Anak. Dalam pasal 20 menyatakan bahwa, “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan
Berbagai tindak kekerasan, penelantaran dan eksploitasi masih saja terus dialami
oleh anak-anak yang di harapkan menjadi tunas harapan bangsa di bumi pertiwi tercinta ini.
Begitu pula penderitaan psikologis akibat berbagai sikap dan tindakan yang sewenang-wenang
terhadap anak, membuat mereka menjadi anak-anak yang bermasalah sehingga mengganggu
proses tumbuh kembang mereka secara sehat. Inilah situasi nyata yang terjadi sekarang ini.
Tampaknya isi dan makna dari Konvensi Hak Anak masih belum tersosialisasi
secara luas kepada masyarakat Aceh dan pemerintah daerah, sehingga akhirnya masyarakat
menjadi kurang peka dan kurang memahami fenomena yang ada. Untuk itu semua pihak kiranya
perlu berusaha agar makna dari Konvensi Hak Anak tersebut dapat tersebar secara lebih luas,
sebagaimana tertera dalam pasal 42 dari Konvensi tersebut, yaitu bahwa negara peserta berupaya
agar prinsip-prinsip dan ketentuan Konvensi ini diketahui secara luas oleh orang dewasa dan
Di Indonesia secara umum, dan Aceh secara khusus masih banyak anak yang
mengalami kekerasan dan penindasan haknya, karena terkadang orang dewasa menganggap
bahwa anak merupakan ‘properti’ milik mereka. Di lain pihak, anak terkadang memiliki
Selain pelanggaran hak anak, banyak anak di Indonesia maupun di seluruh dunia mengalami
tindakan kekerasan oleh orang dewasa yang sayangnya justru dilakukan di dalam rumah tangga.
Menurut data dari World Health Organization (WHO) penganiayaan anak telah
menyengsarakan hidup 40 juta anak yang berusia antara 0-14 tahun. Dengan adanya dampak
psikologis dari pelanggaran dan tindak kekerasan terhadap anak, hendaknya kita dapat
memahami bahwa pada dasarnya anak adalah suatu pribadi utuh yang tidak boleh diperlakukan
begitu saja secara semena-mena, karena mereka mempunyai hak-hak khusus sebagai anak yang
Kita kerap pesimis dengan melihat kondisi yang terjadi pada saat ini. Tapi, ketika
kita hanya diam dan mengurut-urut dada, keadaan tidak pernah akan berubah. Anak-anak kita
akan tetap menjadi bulan-bulanan dari orang dewasa. Hak-hak mereka akan semakin terabaikan.
Menjadi tugas kita bersama untuk menyediakan lahan yang subur bagi proses tumbuh kembang
mereka, yakni dengan mengerti hak-hak mereka sebagai anak, melindungi mereka dari berbagai
bersama-sama berupaya untuk menjunjung tinggi hak-hak anak dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga pada gilirannya nanti, anak-anak Aceh akan dapat tumbuh dan berkembang dengan
baik. Bukan malah dengan “sombong” membekukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia