Tanggal Praktikum
: 15 April 2015
Kelompok
: 1
Asisten
Anggota
260110130093
Pembahasan
Astri Sulastri
260110130094
Hasby M.J.
260110130095
Pembahasan
Winda Ratna P.
260110130096
Femmi Anwar
260110130097
Mega Trinova D.
260110130098
LABORATORIUM FARMAKOLOGI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2014
Tujuan
1.
Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf otonom
dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.
II.
Prinsip
1. Obat kolinergik
Sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi
Susunan Parasimpatis (SP) karena melepaskan neurohormonasetilkolin
(Ach) diujung-ujung neuronya.
2. Obat antikolinergik
Sekelompok zat yang dapat menghambat Susunan Parasimpatis (SP) untuk
melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung neuronnya.
3. Persen Inhibisi
% =
100%
Keterangan :
= Absorbansi tidak mengandung sampel
= Absorbansi sampel
III.
Teori Dasar
Sistem saraf dibedakan atas dua yaitu sistem saraf pusat (SSP) yang
terdiri dari otak dan medula spinalis, serta sistem saraf tepi yang merupakan
sel-sel saraf yang terletak di luar otak dan medula spinalis yaitu saraf-saraf
yang masuk dan keluar SSP. Sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam divisi
eferen yaitu neuron yang membawa sinyal dari otak dan medula spinalis ke
jaringan tepi, serta aferen yang membawa informasi dari perifer ke SSP
(Mycek, 2001). Sistem saraf pusat merupakan sistem saraf eferen (motorik)
yang mempersarafi organ-organ dalam seperti otot-otot polos, otot jantung, dan
berbagai kelenjar.1 Sistem ini melakukan fungsi kontrol, semisal: kontrol
tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal, pengosongan
kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain
(Guyton, 2006).
Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat memperlihatkan efek
merangsang atau menghambat aktivitas susunan saraf pusat secara spesifik atau
secara umum. Impuls saraf dari SSP hanya dapat diteruskan ke ganglion dan
sel efektor melalui penglepasan zat kimia yang khas yang disebut transmiter
neurohumoral atau disingkat transmiter. Tidak banyak obat yang pada dosis
terapi dapat mempengaruhi konduksi akson, tetapi banyak sekali zat yang dapat
mengubah tranmisi neurohumoral (Ganiswarna, 2005).
Obat otonom adalah obat yang bekerja pada berbagai bagaian susunan
saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel efektor. Banyak obat dapat
mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara
spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Obat-obat otonom bekerja
mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom dengan jalan
mengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neurohormon
tersebut dan khasiatnya atas reseptor spesifik (Pearce, 2002).
Kolenergika atau parasimpatomimetika adalah sekelompok zat yang
dapat menimbulkan efek yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis
(SP), karena melepaskan neurohormonasetilkolin (ACh) diujung-ujung
neuronnya. Efek kolinergis faal yang terpenting seperti: stimulasi pencernaan
dengan jalan memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan getah
lambung (HCl), juga sekresi air mata, memperkuat sirkulasi,antara lain dengan
mengurangi
kegiatan
darah,memperlambat
jantung,
vasodilatasi,
pernafasan,
kontraksi
dan
otot
penurunan
mata
tekanan
dengan
efek
lancarnya pengeluaran air mata, kontraksi kantung kemih dan ureter dengan
efek memperlancar pengeluaran urin, dilatasi pembuluh dan kotraksi otot
kerangka, menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya (Tan dan
Rahardja, 2002).
Peranan saraf otonom kolinergik, adrenergik, dan nonadrenergik
terhadap saluran napas telah diidentifikasi. Beberapa mediator inflamasi
mempunyai efek pada pelepasan neurotransmiter dan mengakibatkan
terjadinya reaksi reseptor saraf otonom. Saraf otonom mengatur fungsi saluran
nafas melalui berbagai aspek seperti tonus otot polos saluran napas, sekresi
mukosa, aliran darah, permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel
inflamasi. Peran saraf kolinergik paling dominan sebagai penyebab
bronkokonstriksi pada saluran napas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
rangsangan yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin, histamin dan
bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan bronkokonstriksi .
Mekanisme adrenergik meliputi
dalam darah, reseptor alfa adrenergik, dan reseptor beta adrenergik. Pemberian
obat agonis adrenergik memperlihatkan perbaikan gejala pada penderita asma,
hal ini menunjukkan adanya defek mekanisme adrenergik pada penderita asma.
Saraf adrenergik tidak mengendalikan otot polos saluran napas secara
langsung, tetapi melalui katekolamin yang beredar dalam darah (Mulia, 2009).
Berdasarkan macam-macam saraf otonom tersebut, maka obat
berkhasiat pada sistem saraf otonom digolongkan menjadi :
a. Obat yang berkhasiat terhadap saraf simpatik, yang diantaranya sebagai
berikut:
-
Simpatolitik atau adrenolitik, yaitu obat yang meniru efek bila saraf
parasimpatik ditekan atau melawan efek adrenergik, contohnya
alkaloida sekale, propanolol, dan lain-lain.
efek yang
IV.
5. Kertas Saring
6. Koran
7. Mencit
8. Papan
9. Penggaris
10. Sonde oral
11. Spidol
12. Timbangan
13. Tissue
4.2. Bahan
1. Alkohol
2. Atropin
3. Fenobarbital
4. Mencit jantan yang dipuasakan sebelum percobaan (6 jam)
5. Metilen blue
6. PGA
7. Pilokarpin
4.3. Gambar Alat
Alat Suntik
Botol Vial
Kapas
Kandang
Kertas Saring
Koran
Papan
Penggaris
Sonde Oral
Spidol
Timbangan
Tissue
V.
Prosedur
Alat untuk percobaan disiapkan. Dibuat larutan gom dan obat sesuai
dosis perhitungan. 3 ekor mencit yang sudah dipuasakan 6 jam di timbang dan
diberi tanda pengenalnya. Pada waktu T = 0, satu mencit diberi atropin 1 mg/kg
BB (p.o) segera sesudah pemberian fenobarbital secara p.o. Sedangkan satu
ekor mencit dijadikan sebagai kontrol negatif diberi larutan PGA dengan cara
peroral. Pada waktu T = 15 menit, mencit lain disuntikkan atropin 0,015 mg/kg
BB (s.c), segera sesudah diberikan fenobarbital p.o. Pada waktu T = 45 menit,
semua mencit diberikan pilokarpin secara subkutan. Kemudian masing-masing
mencit diletakkan di atas papan salvias yang sudah dibungkus kertas saring dan
sudah digamabr kotak-kotak sebagai batas. Penempatan mencit haruslah
sedemikian sehingga mulutnya berada tepat di atas kertas. Setiap 5 menit
mencit ditarik ke kotak berikutnya yang letaknya lebih atas. Selanjutnya
diulangi hal yang sama selama 25 menit sampai kotak paling atas. Amati
besarnya noda yang terbentuk di atas kertas disetiap kotak dan tandai batas
noda (pakai spidol). Diameter noda diukur dan dihitung persentase inhibisi
yang diberikan oleh kelompok atropin. Data hasil perhitungan dimasukkan ke
dalam tabel dan buatlah grafik inhibisi per satuan waktu.
VI.
Data Pengamatan
Perlakuan
Hewan
Percobaan
T: 0
T: 15
Fenobarbital
Mencit 1
p.o (0,57
mL)
Pilokarpi
-
n s.c (0,29
mL)
PGA p.o
(0,57 mL)
merangsang salivasi
Fenobarbital
n s.c (0,26
mL)
5 menit seterusnya,
p.o (0,53
Mencit 2
mL)
Atropin p.o
(0,53 mL)
Fenobarbital
Mencit 3
Pilokarpi
Perlakuan
Dosis (mL)
Mencit
p.o
Kontrol (-)
23,3
Mencit 1
s.c
salivasi.
mL)
(0,2 mL)
BB
n s.c (0,2
5-
10
15
20
25
0,57
3,1
21,4
0,535
2,5
Fenobarbita
21,4
0,535
l (p.o)
23,0
PGA (p.o)
3,45 3,95
3,6
3,4
2,9
2,5
3,15
0,58
19,5
0,48
2,55
3,2
3,2
108,6
2,7
21,72
0,54
Mencit 2
21,1
0,53
Fenobarbita
19,0
0,475
1,05
l (p.o)
15,4
0,385
Atropin
20,0
(p.o)
3,23
0,5
1,75
31,5
0,78
107
2,67
2,8
21,4
0,534
0,56
Mencit 3
16,0
0,4
0,2
rata
kontrol
negatif
3,55 3,25
3,1
rata
3,11
rata
rata uji
p.o
0,112
VII.
Fenobarbita
25,9
0,647
0,32
l (p.o)
22,8
0,57
0,285
rata
Atropin
23,5
0,59
0,3
rata uji
(s.c)
20,5
0,51
0,25
s.c
108,7
2,717 1,355
Perhitungan
1. Mencit 1
3,110,112
3,11
= 96,40 %
100%
100%
5. % (. ) =
=
3,110
3,11
100%
100%
= 100%
Grafik
Grafik Rata-rata Diameter
Noda Terhadap Waktu Pada
Kelompok Hewan Kontrol
Negatif
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
x diameter
rata-rata
Grafik Rata-rata
Diameter Noda Terhadap
Perlakuan Pada Setiap
Kelompok Hewan uji
3.18
3
2
1
0
10 15 20
Waktu (menit)
0.56
x diameter
x diameter
25
3.1 3.23
2.58
Perlakuan/Kelompok
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
3.48
0
10
0
15
0
20
Waktu (menit)
0
25
0.8
0.6
0.4
0.2
0
5
10
15
20
Waktu (menit)
25
VIII.
Pembahasan
Pada praktikum kali ini dapat diketahui bahwa pilokarpin memberikan
efek yang sangat besar terhadap aktivitas kelenjar saliva yaitu menghambat
sekresi saliva pada mencit yang diinduksi obat atropin sebagai obat golongan
kolinergik yang dapat menstimulasi kelenjar salivasi. Selain dapat diketahui
bahwa rute pemberian dapat mempengaruhi absorpsi obat yang akan diberikan.
Absorpsi yang dilakukan tubuh akan mempengaruhi onset of action dan
duration of effect dari atropin yang diberikan. Pemberian secara subkutan akan
mempercepat absorpsi atropin dibanding pemberian oral karena pemberian
secara subkutan tidak melalui first pass metabolism karena tidak melewati hati
sedangkan untuk pemberian peroral, atropin yang diberikan akan melalui hati
sehingga melalui first pass metabolism. Selain itu, pemberian peroral akan
mengalami rute yang panjang untuk mencapai reseptor karena melalui saluran
cerna yang memiliki banyak faktor penghambat seperti protein plasma maupun
enzim lain. Oleh karena itu onset of action dari atropin pemberian secara
subkutan akan lebih cepat dibanding peroral. Kemudian duration of effect yang
diberikan secara subkutan akan lebih lama dibanding peroral karena pemberian
secara subkutan memperlama kontak antara atropin dengan tubuh.
Pertama persiapkan alat dan bahan yang akan digunakan pada
praktikum kali ini. Selanjutnya persiapkan larutan gom dan obat. Hewan
percobaan yang digunakan pada praktikum kali ini berjumlah 3 ekor yang
dipilih secara acak. Masing-masing mencit diamati kesehatannya kemudian
ditimbang dengan neraca Ohaus yang sudah dikalibrasi sebelumnya kemudian
masing-masing mencit diberi tanda pengenal. Diperoleh hasil mencit I dengan
berat 23.3 g; mencit II 21.1 g ; dan mencit III 16 g. Kemudian dihitung dosis
untuk obat fenobarbital, atropine, PGA dan pilokarpin sesuai dengan berat
badan mencit.
Untuk mencit I dan II pada T=0 diberikan fenobarbital dengan dosis
yang telah dihitung. Fenobarbital merupakan zat hipnotik-sedatif yang bisa
membuat mencit menjadi tenang. Tujuannya agar ketika mencit bisa tenang
dan tidak agresif ketika pengeluaran saliva dan mempermudah perhitungan
Pada mencit kelompok kedua terjadi inhibisi hingga menit ke 25 pada proses
pengamatan. Kemudian pada kelompok mencit yang ketiga yaitu yang
diberikan fenobarbital secara peroral dilanjutkan dengan pemberian atropin
secara subkutan dan setelah menit ke 45 diberikan pilokarpin secara subkutan
untuk semua hasil pengamatan dapat diketahui bahwa kerja inhibisi dapat
diamati pada menit 0 sampai 5 karena pada mencit kelompok ini tidak memiliki
diameter noda saliva. Dari data di atas dapat dibuktikan bahwa kerja inhibisi
dari obat atropin selain dipengaruhi oleh dosis juga dipengaruhi oleh rute
pemberian obatnya sehingga dapat diketahui kerja inhibisi paling cepat adalah
pada kelompok mencit yang diberikan atropin secara subkutan kemudian
dilanjutkan dengan kelompok pemberian atropin secara peroral dan yang
terakhir adalah kelompok mencit yang tidak diberi atropin. Oleh karena itu,
sesuai dengan perhitungan bahwa persen inhibisi yang dihasilkan secara
peroral sebesar 96% dan inhibisi yang diberikan secara subkutan sebesar 100%
yang menandakan bahwa atropin bekerja lebih efektif dibandingkan dengan
pilokarpin sebagai kolinergiknya. Akan tetapi kerja inhibisi dari atropin dan
stimulasi dari pilokarpin juga bergantung pada dosis yang diberikan. Semakin
besar dosis atropin makan semakin besar inhibisi dan apabila semakin besar
dosis pilokarpin maka semakin tinggi efek hipersalivasi pada mencit tersebut.
kemudian bergantung pula pada bobot berat badan mencit karena hal itu akan
bergantung pada volume pemberian obatnya. Pada daya inhibisi 100% untuk
pemberian secara subkutan bisa terjadi kesalahan karena berlebihnya dosis
yang digunakan sehingga pada saat menit 0 sampai 5 kerja inhibisi sangat cepat
meniimbul efek menginhibisi kelenjar saliva.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pengamatan adalah ketelitian
dalam mengukur diameter noda saliva yang dihasilkan karena noda yang
dihasilkan tidak selalu berbentuk lingkaran yang utuh sehingga menyulitkan
untuk menghitung hasilnya. Kemudian dipengaruhi juga dengan akitivitas dari
mencit itu sendiri akibat dosis fenobarbital sebagai hipnotik yang tidak
menyebabkan hipnosis pada mencit akibatnya noda saliva menyebar tidak
berada dalam satu titik. Oleh karena itu, pada praktikum mengenai uji aktivitas
IX.
Kesimpulan
1. Praktikan dapat mengetahui lebih baik pengaruh berbagai obat system
saraf otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetative tubuh. Dari
percobaan ini didapatkan bahwa pemberian zat kolinergik (pilokarpin)
pada mencit menyebabkan salivasi yang dapat diinhibisi oleh zat
antikolinergik (atropine).
2. Praktikan dapat mengetahui teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat
antikolinergik pada neuroefektor parasimpatikus. Evaluasi aktivitas obat
antikolinergik didapat dari diameter saliva mencit. Persen inhibisi
atropine peroral (p.o) yang didapat dari percobaan adalah 96,40%
berbeda dengan inhibisi atropine subkutan (s.c) yaitu 100%.
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswarna, S, G. 2005. Farmakologi Dasar dan Terapi Edisi 4. Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta.
Guyton, A. C. 2006. Textbook of medical physiology 11 edition. Elsevier inc.
phiadelphia.
Haritsah. 2011. Efek obat kolinergik dan adrenergic. Available online at
http://www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789.pdf [Diakses tanggal
15 April 2015]
Mulia, Meylani. 2009. Perkembangan patogenesis dan pengobatan Asma Bronkial.
J Kedokter Trisakti, September-Desember 200-Vol.19, No.3.
Mycek, J. M. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi ke-2. PT. Elex Media
Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta.
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk paramedic. Gramedia
Pustaka Umum. Jakarta.
Tan, H. T. dan Rahardja. 2002. Obat-Obat Penting. Gramedia Pustaka Umum.
Jakarta.