Anda di halaman 1dari 4

Pengembangan Fuel cell di Indonesia

Sabtu, 26 Juli 2003

Fuel cell merupakan energi masa depan yang begitu menjanjikan dilihat dari banyak aspek. Karena
menggunakan air sebagai bahan bakunya, ketersediaan bahan baku yang melimpah dan
terbarukan ini tidak menjadi masalah. fuel cell, sebagai sebuah sistem pembangkit listrik,
menghasilkan energi dari reaksi kimia dari pencampuran gas hidrogen yang berasal dari air dengan
oksigen dari udara.
PENERAPAN fuel cell juga akan membantu mengurangi konsumsi bahan bakar minyak sehingga
akan menghemat devisa. Dari segi lingkungan hidup pemanfaatan fuel cell di sektor transportasi
akan mengurangi tingkat pencemaran udara di kota besar karena emisi buang sel bakar ini berupa
uap air.
Pemanfaatan sistem fuel cell akan membuka lahan bisnis baru di Indonesia, termasuk industri
pendukungnya, seperti distribusi gas LNG (liquefied natural gas) atau LPG (liquefied petroleum
gas).
Namun, produk teknologi yang ramah lingkungan ini masih relatif baru dikembangkan di dunia dan
saat ini masih dalam tahap prototipe dan uji coba lapangan di berbagai negara. Kondisi ini menurut
Agus Hartanto, Koordinator Bidang Energi LIPI, pada "Diskusi Interaktif II Fuel Cell", di Jakarta,
Rabu (23/7), merupakan peluang bagi Indonesia.
"Jika Indonesia ikut mengembangkannya, bangsa ini tidak akan tertinggal sehingga nantinya tidak
hanya menjadi pasar bagi produk asing dan pengguna teknologi itu. Dengan menguasai teknologi
fuel cell, bangsa Indonesia bisa punya posisi tawar," ujar Agus.
Ia mengingatkan agar Indonesia tidak mengalami hal seperti teknologi telepon genggam. Karena
kurang menguasai teknologi alat komunikasi canggih itu dan tidak mempunyai kontribusi apa pun
dalam pengembangannya, Indonesia hanya menjadi bangsa pengguna produk asing tersebut.
Prospek cerah
Melihat prospek fuel cell yang cerah, tahun 1986 di lingkungan Kementerian Riset dan Teknologi
telah dibuat rencana penelitian bahan bakar itu melalui program Rusnas (Riset Unggulan Strategis
Nasional). Namun, karena kendala dana rencana ditangguhkan.
Tahun 1999 beberapa peneliti memprakarsai berdirinya sebuah konsorsium peneliti untuk
melakukan riset fuel cell secara terpadu di beberapa lembaga riset di Indonesia. Namun, kalau
Konsorsium Fuel Cell Indonesia pada mulanya hanya menghimpun peneliti dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga
Atom Nasional (Batan), Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), Perusahaan Listrik Negara
(PLN), dan Ditjen Listrik dan Pemanfaatan Energi serta periset dari perguruan tinggi (UI dan ITB)

maka belakangan mulai melibatkan kalangan industri seperti Pertamina dan Medco.
Agus yang juga Ketua Badan Pendiri Konsorsium Fuel Cell Indonesia menambahkan, kegiatan
konsorsium itu, antara lain mengadakan dialog interaktif setiap dua tahun. Pertemuan pertama
dilaksanakan di Bandung tahun 2001. Sementara itu, pelaksanaan litbang dibagi sesuai kompetensi
masing-masing lembaga.
Pengembangan bahan-bahan elektroda pada fuel cell seperti polimer dan karbon aktif dilakukan
oleh Puslit Fisika dan Metalurgi LIPI serta Batan. Namun, Puslit Fisika Terapan LIPI juga
mengembangkan teknik konversi energi.
Menurut Deputi Ilmu Pengetahuan Teknik LIPI Anung Kusnowo, saat ini pihaknya telah mampu
membuat lembar polimer dan merakitnya menjadi satu stack (lempeng pereaksi) untuk pembangkit
listrik berkapasitas 50 watt. Tahap selanjutnya adalah pengembangan kapasitas lebih tinggi
menggunakan tujuh stack.
Lemigas dan Ditjen LPE memikirkan perangkat pendukung sistem fuel cell, seperti tabung hidrogen
yang aman dan soal distribusi gas tersebut dan pemanfaatannya. Lalu BPPT melakukan integrasi
sistem dan peningkatan efisiensi sistem yang ada.
Dalam hal ini, seperti dikemukakan Kepala Unit Pelaksana Teknis LSDE (Laboratorium Sumber
Daya Energi) BPPT, peneliti di BPPT memfokuskan pada pengembangan pembangkit listrik tenaga
fuel cell, baik terpusat maupun individual dan bidang transportasi sebagai bahan bakar kendaraan
bermotor.
Pembuatan rangkaian pembangkit fuel cell dengan menggabungkan reformer, dilakukan
berdasarkan pengalaman membuat solar home sistem fotovoltaik. Kegiatan riset yang telah
dilakukan meliputi pengkajian kelayakan penerapan pembangkit listrik fuel cell. Dalam hal ini, UPT
LSDE-BPPT mengkaji harga operasional listrik berdasarkan volume gas hidrogen terpakai pada
pembangkit listrik fuel berkapasitas 500 watt.
Sementera itu, BPPT juga tengah mengkaji penerapan fuel cell pada kendaraan bermotor, yang
saat ini dalam tahap penyelesaian. Selain itu, dikaji kelayakan pemanfaatan methanol sebagai
sumber energi kendaraan bermotor.
Pembangkit skala kecil
Tahun ini Konsorsium Fuel Cell Indonesia merencanakan pembuatan prototipe pembangkit fuel cell
berkapasitas 500 watt dengan kandungan lokal 30 persen. Sedangkan tahun depan ditingkatkan
menjadi 1 kW dengan menggunakan tiga stack.
Program pengembangan fuel cell diarahkan pada pembangkit listrik skala kecil, yaitu sekitar 2 kW di

rumah-rumah. Tujuan tahap awal adalah masyarakat menengah ke atas.


Untuk riset fuel cell, Agus menyayangkan selama ini belum didukung dana dari lembaga riset yang
terkait. Baru tahun ini penelitian fuel cell akan mendapat dana dari Kementerian Riset dan Teknologi
yang akan memberikan Rp 400 juta melalui konsorsium. Sedangkan tahun depan diharapkan
suntikan dana dari Program Rusnas yang diusulkan sebesar Rp 2 miliar.
Diperkirakan pengembangan prototipe pembangkit listrik sampai kapasitas 2 kW akan mencapai
tahap komersial tahun 2005. Selanjutnya, Agus mengharapkan pembuatan fuel cell skala industri
dilakukan oleh industri nasional.
Ia berkeyakinan prospek pasar pembangkit fuel cell skala kecil ini cerah, karena saat ini saja PLN
telah kewalahan memenuhi permintaan listrik terutama dari rumah tangga yang mengalami
peningkatan pesat. Dengan begitu, tiap rumah tangga dapat mandiri memenuhi kebutuhan
listriknya, tidak tergantung pada PLN.
Namun saat ini penggunakan fuel cell sebagai pembangkit listrik belum tergolong ekonomis,
dibandingkan dengan BBM. Pembangkit dengan BBM harganya enam sen dollar AS per kWh,
sedangkan gas hidrogen masih sekitar 1-2 dollar AS per kWh.
Dengan pengembangan teknologi dan diproduksi dalam jumlah besar, pembangkitan hidrogen
dapat mencapai 75 sen dollar AS per kWh. Pada tingkat ini sudah tergolong ekonomis menurut
Agus.
Menurut Anung pengembangan fuel cell memerlukan dukungan kebijakan pemerintah untuk
mendorong kegiatan penelitian dan pemanfaatannya di industri dan masyarakat. Dari sisi
pemasokan gas hidrogen, misalnya, diperlukan subsidi dari pemerintah sehingga harga jualnya
bersaing dengan BBM.
Saat ini, mahalnya pembangkit fuel cell pada proses pemisahan hidrogen dan oksigen. Selain itu,
untuk pemisahan itu, diperlukan daya energi yang besar. Namun, di Inggris ditemukan katalis yang
memiliki efektivitas tinggi dalam pemisahan dua unsur gas tersebut.
Elektrolisa pada air untuk mendapatkan hidrogen merupakan teknologi yang rumit dan mahal.
Karena itu, digunakan methanol, yang berbentuk cair sehingga mudah disimpan seperti bensin.
Namun, penggunaan memerlukan katalisator untuk mendapatkan hidrogen. Dan dari reaksi untuk
mendapatkan hidrogen dihasilkan emisi karbon monoksida dan karbon dioksida. Meskipun begitu,
emisi ini lebih bersih dibandingkan pembakaran BBM.
Penerapan "fuel cell"
Di dunia penerapan fuel cell tidak hanya terbatas pada kendaraan bermotor dan pembangkit listrik
di rumah tangga, tapi meluas ke peralatan elektronika seperti telepon seluler. Pada telepon

genggam fuel cell digunakan sebagai baterai. Dibandingkan baterai litium, baterai fuel cell tahan 10
kali lipat lebih banyak. Dengan begitu, telepon seluler dapat "hidup" sebulan tanpa perlu di-"setrum"
baterainya.
Beberapa negara yang maju di bidang fuel cell, yaitu AS, Jepang, dan negara-negara Eropa seperti
Perancis, Jerman, dan Inggris. Di antara negara maju tersebut, Jepang yang paling awal memasuki
tahap komersial, yaitu untuk kendaraan berbahan bakar fuel cell. Tahun ini Toyota telah
mengeluarkan mobil fuel cell yang harganya sekitar Rp 1 miliar.
Amerika Serikat telah menggunakan fuel cell untuk bus-bus, namun belum sampai ke tahap
komersial karena masih mahalnya komponen tersebut. Meski demikian, pada tahun 1999-2000
investasi awal pembangkit listrik fuel cell masih lima kali lipat dibandingkan BBM, dan sekarang ini
telah mencapai dua lipat dibandingkan yang konvensional. (yun)
Sumber : Kompas (25 Juli 2003)

Sumber : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (http://www.lipi.go.id)

Anda mungkin juga menyukai