Anda di halaman 1dari 10

1

Tradisi Baca Tulis dan Perpustakaan dalam Islam

Oleh: Agus Saputera

Pendahuluan

Tradisi baca tulis dan perpustakaan tidak bisa dipisahkan dari Islam. Begitu juga

sebaliknya perkembangan Islam dan peradabannya sebagian besar dipengaruhi oleh kegiatan

baca tulis dan keberadaan perpustakaan. Hal ini terbukti dari banyaknya kitab-kitab termashur

karangan para ulama terdahulu yang diwariskan kepada kita (kutubut-turats) atau di Indonesia

dikenal dengan nama kitab kuning. Bahkan pedoman hidup umat Islam yaitu Al-Qur’an

(mushaf) dan Hadits baik langsung maupun tidak langsung adalah hasil dari kegiatan baca tulis

ini.

Sesungguhnya dalam penyebaran agama Islam, peran kitab-kitab karya ulama tak kalah

pentingnya dari kegiatan dakwah itu sendiri. Tak dapat dipungkiri bahwa ulama-ulama besar itu

dikenal orang dan diingat namanya sampai saat ini adalah karena kitab-kitab karangan mereka

masih dikaji, dibahas, dan dipakai sebagai rujukan dalam berdakwah, pengajaran, pendidikan,

maupun penelitian khususnya dalam ilmu-ilmu keislaman. Pantaslah kalau ulama itu disebut

pewaris para Nabi. Dan warisan yang tak akan punah adalah ilmunya para ulama yang

dikekalkan melalui tulisan atau kitab-kitab.

Tanpa adanya tradisi baca tulis di kalangan para ulama terdahulu dengan karya-karya

monumental mereka yang tersimpan dan terpelihara di perpustakaan-perpustakaan yang tersebar

di negara-negara Islam, rasanya sulit menggambarkan bagaimana wajah Islam kini. Jadi, jika

dibandingkan dengan dunia Barat, sebenarnya dunia Islam sudah lebih dahulu menghargai

Copy Right Agus Saputera © 2010


2

tulisan dan kemampuan baca-tulis, mengingat manfaatnya yang begitu besar bagi perkembangan

peradaban manusia.

Itulah mungkin salah satu hikmah kenapa wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad saw adalah perintah untuk membaca. Lihat Q. S. Al-Alaq (96: 1) yang artinya:

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. Meskipun perintah membaca

dalam konteks ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, tetapi secara tersirat

menganjurkan atau bahkan mewajibkan umat manusia untuk senantiasa membaca, baik dalam

pengertian sempit maupun luas. Dan setinggi-tingginya nilai membaca adalah membaca ayat-

ayat kekuasaan Tuhan yang terdapat di alam. Karena barangsiapa yang mampu membaca ayat-

ayatNya akan memahami hakikat kehidupan dan tujuan hidupnya di dunia ini.

Disamping itu banyak juga dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa

Islam sangat menghargai ilmu dan kemampuan berpikir, serta mengangkat derajat para penuntut

ilmu. Diantaranya, Q. S. Ali-Imran (3): 7, Q. S. Al-A’raf (7) :185, dan Q. S. Al-Mujadilah

(58): 11.

Baca-tulis sebagai Revolusi Budaya

Salah satu revolusi budaya terpenting bagi manusia adalah tulisan atau kemampuan

menulis. Penemuan tulisan merupakan satu dari tiga penemuan manusia terbesar, disamping roda

dan api. Dengan tulisan manusia mampu menyampaikan konsep, ide, gagasan, kritik, argumen

kepada orang lain tanpa dibatasi oleh ruang selagi tulisan tersebut dapat tersebar, mencapai

pembacanya; dan tanpa batas waktu selagi tulisan tersebut masih awet, tidak lapuk dan musnah.

Dan dengan tulisan juga, ilmu pengetahuan dan informasi tetap tersimpan, terjaga dan dapat

diwarisi oleh generasi berikutnya.

Copy Right Agus Saputera © 2010


3

Tulisan juga merupakan alat komunikasi yang efektif, dialog universal yang bersifat

lintas etnis, agama, ras, serta golongan. Dan yang lebih penting lagi adalah lintas zaman. Mereka

yang jasadnyanya sudah tidak ada lagi di dunia fana ini, hancur dimakan bumi, masih menjalin

komunikasi dengan orang-orang setelahnya melalui karyanya yang abadi (tulisan), yang dibaca

oleh orang lain. Tak jarang karya tersebut lebih panjang usianya dari penulis itu sendiri.

Hadirnya teknologi di bidang percetakan memungkinkan orang untuk mereproduksi,

mencetak ulang hasil karya tulisan orang-orang terdahulu dengan hasil cetakan yang semakin

menarik dan tahan lama (long lasting). Tak sebatas media berbentuk kertas, tetapi berbagai

macam media sampai kepada teknologi terkini yaitu disimpan dalam format digital (digital

library), yang bisa diakses kapan saja secara lintas wilayah dan negara berkat tersedianya

jaringan global atau internet. Di era ICT dan globalisasi sekarang ini, format digital terbukti

sangat efektif digunakan sebagai sarana dalam melestariakan warisan budaya, termasuk naskah-

naskah kuno (menuscript) yang dikhwatirkan akan rusak, lapuk, punah, dan hancur karena

dimakan usia.

Kita yang hidup pada masa kini sepatutnya bersyukur dan berterimakasih dengan

anugerah besar ini (tulisan dan tradisi baca tulis), juga kepada mereka yang merubah dunia,

memajukan budaya dan peradaban melalui tulisan. Oleh sebab itu nama mereka patut menjadi

kenangan, abadi sepanjang zaman. Dunia Baratpun sangat tinggi sekali apresiasinya terhadap

tradisi baca-tulis ini - termasuk bagi penulis, pengarang, dan buku. Sehingga salah satu kategori

dalam pemenang hadiah Nobel yang terkenal itu adalah hadiah di bidang sastra bagi pengarang

atau penulis. Dan hampir tidak ada satupun profesi bergengsi di dunia ini yang tidak berkaitan

dengan tulisan, baik karya fiksi, non-fiksi, karya ilmiah, sastra, jurnalistik, dan sebagainya.

Semakin eksisnya dunia karang-mengarang, penerbitan dan percetakan dewasa ini cukup

Copy Right Agus Saputera © 2010


4

menjadi bukti bahwa kegiatan baca-tulis merupakan salah satu kegiatan yang mempengaruhi

kehidupan manusia.

Tradisi Baca-tulis dan Perpustakaan

Memang benar bahwa bangsa Arab di awal-awal masuknya Islam memandang kemahiran

baca-tulis adalah aib, kelemahan, karena dianggap yang bersangkutan hapalannya lemah. Sebab

pada masa itu kekuatan hapalan sangat diandalkan guna melantunkan syair-syair. Apalagi belum

ditemukannya alat baca-tulis seperti sekarang ini. Pada abad pertama perkembangan Islam,

tradisi-tradisi lisan merupakan sarana utama menyebarkan informasi dengan mengandalkan

sepenuhnya kekuatan daya ingat. Namun kegiatan catat-mencatat sudah mulai digunakan oleh

para penuntut ilmu pengetahuan. Misalnya Sa’ad bin Jubair (wafat 714 M) ketika mengikuti

kuliah Ibnu Abbas mencatat dalam lembaran baik di media kulit, daun, tulang, dan sebagainya.

Catatan-catatan tersebut kemudian dengan bebas dipertukarkan antara pelajar, guru, dan para

cendekiawan. Dari kebiasaan mencatat tersebut kemudian berkembang menjadi catatan yang

terkumpul sebagai buku/kitab. Adalah ‘Urwah bin Zubair (wafat 714 M) sebagai orang pertama

yang menghimpun buku-buku berhalaman lepas ketika itu. Dan muridnya al-Zuhri (wafat 742

M) menghimpun sedemikian banyak buku, sehingga hampir tidak tersisa ruangan lain dalam

rumahnya.

Dalam periode tersebut tradisi baca-tulis sangat memainkan peranannya, sehingga para

cendekiawan diminta untuk menulis buku terutama oleh murid-murid yang menginginkan agar

kuliah-kuliah mereka dicatat, lalu dialihkan ke dalam bentuk buku terpadu. Diantara ulama

hadits ketika itu yang selalu diminta untuk menulis buku adalah Al-A’mash Abu Muhammad

Copy Right Agus Saputera © 2010


5

Sulaiman ibn Mihran (680-765 M). Ketika beliau wafat, buku telah menjadi sarana pokok untuk

menyebarkan ilmu pengetahuan dan informasi.

Pertumbuhan yang sangat cepat dari pencatatan-pencatatan tersebut melahirkan

kumpulan-kumpulan koleksi yang kemudian dapat dikatakan sebagai perpustakaan. Didukung

pula dengan telah ditemukan dan dimanfaatkannya teknologi pembuatan kertas yang diproduksi

orang-orang Cina. Islam sudah sampai ke Cina mulai abad ke-7. Barangkali inilah salah satu

hikmah dari perkataan Nabi saw yang berbunyi: “Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina”.

Pada zaman itu kota muslim yang pertama sekali mendirikan pabrik kertas adalah

Samarkand, yang jatuh ke tangan Islam pada tahun 704 M. Pabrik kertas ini didirikan oleh

orang-orang Cina yang menjadi tawanan perang. Dari sinilah bermula penyebaran industri kertas

ke provinsi-provinsi dan kota-kota besar lainnya. Setelah era pasca khulafa’ur-rasyidin dan

khalifah-khalifah berikutnya, semangat untuk menuliskan ilmu pengetahuan semakin berkobar

yang ditandai dengan ditulisnya kitab-kitab “masyhur” ulama-ulama besar dalam berbagai

macam disiplin ilmu. Pada masa kekuasaan Abbasiyah, tradisi baca tulis semakin berkembang

dan meninggi intensitasnya terutama sekali setelah industri kertas masuk ke dunia Islam pada

abd ke-2 H.

Tentunya umat Islam sudah tak asing lagi dengan nama Imam Al-Ghazali karena

kemashuran kitabnya yang berjudul Ihya’ al-‘Ulumuddin, Imam Bukhari dengan Shahih

Bukhari, Imam Muslim dengan Shahih Muslim, Imam Malik dengan Muwatta’, Imam Syafe’i

dengan al-Umm dan banyak lagi ulama lainnya. Begitu juga dengan ulama yang terkenal karena

kitab-kitab tafsir mereka, seperti Tafsir Jalalain, Al-Maraghi, Ibnu Katsir. Ulama dalam ilmu

Fiqh dikenal karena kitab-kitab fiqh mereka seperti Subul al-Salam, Bulugh al-Maram, Fath al-

Mu’in, Fath al-Qarib, Fiqh as-Sunnah. Ditambah lagi kitab-kitab karangan ulama dalam bidang

Copy Right Agus Saputera © 2010


6

Tauhid/Aqidah, Ilmu Kalam, Tata Bahasa Arab (Nahwu/Sharf), termasuk ilmu-ilmu umum

seperti kedokteran, ilmu alam, astronomi, politik-kenegaraan, ekonomi, sosiologi, psikologi, dan

sebagainya.

Apresiasi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan tradisi baca tulis ini mampu

menorehkan tinta emas dalam mewariskan kejayaan Islam. Seperti ditunjukkan di masa

pemerintahan para khalifah khususnya Dinasti Abasiyah (750 – 1258 M). Pada masa itu kegiatan

baca-tulis ditandai dengan menterjemahkan dan menulis sains, filsafat dari dunia barat seperti

Yunani, Romawi, Ankara, Ammuriyah, dan Siprus ke dalam Bahasa Arab. Aktifitas ini

mencapai puncaknya pada masa kekhalifahan Harun ar-Rasyid dan Al-Makmun. Pada masa

itulah di didirikan beberapa perpustakaan Islam legendaris yang masih diingat sampai kini

dengan segudang koleksi buku-bukunya dari bermacam-macam disiplin ilmu seperti

Perpustakaan Baitulhikmah didirikan pada zaman Khalifah Harun Al Rasyid (170-193 H) dan

berkembang pesat pada masa khalifah Al Ma’mun (198-218 H), Perpustakaan Al Haidariyah,

dan Perpustakaan Sabur di Bagdad, Perpustakaan Darulhikmah dan Nizhamiyah di Kairo, dan

sebagainya.

Perpustakaan Islam berkembang bersama berkembangnya peradaban dunia Islam yang

mencapai puncak kejayaannya sekitar abad 4-6 Hijriyah atau abad 9-11 Masehi. Perpustakaan

ketika itu merupakan tempat belajar semacam perguruan tinggi atau sekolah, hanya tanpa

pengajar. Beberapa perpustakaan menyediakan asrama bagi pemakai perpustakaan yang berasal

dari luar daerah yang jauh.

Dalam peradaban Islam dikenal juga adanya perpustakaan khusus yang didirikan oleh

para ulama dan sastrawan untuk keperluam penelitian dan diskusi. Perpustakaan jenis ini banyak

berdiri di negara-negara Islam di Asia dan Afrika. Perpustakaan ini dipergunakan untuk

Copy Right Agus Saputera © 2010


7

membahas dan meneliti berbagai ilmu pengetahuan. Perpustakaan khusus Al- Muwaffak Ibnul

Mathran dan Perpustakaan Ifraim Ibnul Zaffan yang didirikan pada abad ke-6 Hijriyah

mempunyai koleksi 10.000 jilid. Beberapa perpustakaan besar lainnya seperti Perpustakaan al-

Fathu Ibnu Chaqam yang didirikan pada abad ke-3 Hijriyah, dan beberapa perpustakaan sejenis

lainnya.

Perpustakaan dalam sejarah Islam memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai tempat

mencari referensi dari para penuntut ilmu, bahan kajian bagi para intelektual, pusat penyimpanan

buku dan manuskrip berharga hasil karya ilmuwan, dan sebagai tempat pertemuan diskusi, debat

ilmiah. Hal itu tumbuh dan berkembang atas dorongan tradisi intelektual yang menonjol dalam

sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan umat Islam yakni penterjemahan, penulisan

kitab, polemik intelektual, dialog, perdebatan, ulasan, pensyarahan, dan sebagainya.

Meminjamkan buku sudah menjadi mode di seluruh dunia muslim saat itu. Dengan

perkembangan perbukuan yang sangat pesat, maka perpustakaan-perpustakaan mulai dibangun di

hampir semua kota besar. Yang mula sekali dibangun adalah perpustakaan-perpustakaan

kerajaan milik para khalifah. Hampir semua dinasti seperti Umayyah, Abassiyah, Fatimiyah di

Mesir, Hamdaniyah di Aleppo, Buwaihiyah di Persia, Samaniyah di Bukhara, Ghaznawiyah di

Mongol, mendirikan perpustakaan di masing-masing pusat pemerintahan mereka.

Pada abad-abad permulaan Islam terdapat tiga jenis perpustakaan, yaitu: umum, semi

umum, dan pribadi. Perpustakaan umum biasanya terdapat di madrasah atau masjid,

perpustakaan semi umum diperuntukkan bagi kalangan terbatas atau golongan tertentu,

sedangkan perpustakaan pribadi pada umumnya dimiliki oleh para cendikiawan untuk

kepentingan pribadi. Yang digolongkan kepada perpustakaan jenis pertama misalnya

perpustakaan Baitul Hikmah, perpustakaan Haidar di Najaf, perpustakaan Ibnu Sawwar di

Copy Right Agus Saputera © 2010


8

Basrah, perpustakaan Darul Ulum di Bagdad, perpustakaan Masjid al-Zaud, perpustakaan Darul

Hikmah, perpustakaan Kairo, dan sebagainya.

Perpustakaan semi pribadi misalnya perpustakaan Nasir Addinillah, perpustakaan Al-

Mu’tasimbillah, dan perpustakaan khalifah Bani Fatimiyah di Mesir. Sedangkan perpustakaan

pribadi seperti yang dimiliki Ali Ibn Yahya al-Munajjim, Ismail ibn Abbad, Sabur ibn Ardashir,

al-Fath ibn Haqan, Hunayn ibn Ishaq, Ibn al-Kashab, al-Muwaffaq ibn Matram, Jamaluddin al-

Quifri, Ufra’im ibn Zaffan, Quaddin al-Isfahani, dan lain-lain.

Salah seorang pustakawan ketika itu, Ibnu Nadim telah menyusun al-Fihris (semacam

katalog) yang memuat daftar buku-buku dari semua bangsa, Arab dan non Arab, dari semua

cabang ilmu. Buku-buku itu dikelompokkan ke dalam 10 bidang (kajian), yaitu: 1. Bahasa Arab

dan non Arab; kitab-kitab terdahulu seperti Taurat, Injil, tafsir Al-Quran dan ilmu Tafsir. 2. Tata

Bahasa Arab. 3. Sastra, sejarah, dan geografi. 4. Puisi dan sastrawan. 5. Ilmu Kalam, teologi,

tasawuf, dan sufi. 6. Fiqh, fuqaha, dan muhaddisin. 7. Filsafat, teknik, dan kedokteran. 8. Sihir,

sulap, perang dan perkudaan. 9. Aliran-aliran kepercayaan. 10. Kimia dan industri.

Menghidupkan Tradisi Baca-tulis

Mungkin tak seorangpun diantara kita yang tak sepakat bahwa kepakaran dan keilmuwan

seorang ulama, cendekiawan, atau ilmuwan, sepatutnya didukung (dibuktikan) dengan

menghasilkan karya yang betul-betul bisa “dinikmati” oleh masyarakat, diantaranya dengan

melihat berapa banyak karya tulis atau buku yang telah dikarang. Bagi ulama Islam, mereka

sudah membuktikannya dengan mengarang ribuan judul kitab yang masih kita saksikan sampai

saat ini. Di Indonesia misalnya, pembacaan, pengajaran dan pengkajian kitab-kitab kuning

Copy Right Agus Saputera © 2010


9

(kutubutturats) menjadi sebuah tradisi yang sangat mengakar kuat di pesantren dan beberapa

perguruan tinggi Islam.

Nabi saw sendiri sangat besar perhatiannya terhadap baca-tulis yang ditunjukkan ketika

beliau membebaskan tawanan Badar dengan syarat mereka bersedia mengajar umat Islam baca-

tulis. Beliau diutus ke dunia adalah untuk mengajarkan al-kitab dan al-hikmah. Mengajar al-

kitab dapat dipahami sebagai mengajar baca tulis, sedangkan mengajar al-hikmah bermakna

mengajarkan keyakinan yang mantap tertanam di dalam hati sanubari berdasarkan ilmu yang

diperoleh melalui proses baca-tulis tadi sehingga menimbulkan kearifan dan kebijaksanaan

dalam berpikir dan bertindak.

Ayat Al-Qur’an yang pertama sekali diturunkan adalah perintah kepada kita untuk

membaca. Hal ini menunjukkan suatu makna yang penting, dalam dan luas. Membaca bisa

berarti suatu perintah/kewajiban agar manusia senantiasa belajar sepanjang hayatnya. Membaca

juga bermaksud tidak sekedar bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi menyebarkan, mengembangkan

hasil bacaan menjadi informasi, ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi orang lain. Karena itu

membaca akan semakin berfaedah apabila mengolah, menyajikan kembali seluruh hasil bacaan

menjadi bentuk tulisan (buku), sehingga informasi dan ilmu pengetahuan tetap awet, terjaga

dalam masa yang lama dan bisa memberikan manfaat kepada generasi berikutnya. Membaca

juga berarti selain membaca yang tertulis juga membaca yang tidak tertulis, yang tersirat,

membaca alam, kebesaran dan keagungan Tuhan. Membaca juga berarti (bernilai sangat tinggi)

apabila atas nama Tuhan yang telah menciptakan bacaan, tulisan, dan alam semesta. Barang

siapa pandai membaca (alam tanda kekuasaan Tuhan), maka ia akan mudah mengenal siapa

Pencipta alam tersebut, dan mengenal hakikat keberadaan dirinya sendiri.

Copy Right Agus Saputera © 2010


10

Dalam salah satu surat Al-Qur’an ada surat bernama pena (Q. S. Al-Qolam (68), yang

berisikan keterangan tentang tulisan dan alat yang digunakan untuk menulis yaitu pena (qolam).

Ayat ke empat dari Q. S. Al-‘Alaq menyebutkan secara tegas bahwasanya Allah mengajar

manusia melalui perantaran sarana, media, alat tulis yaitu qolam. Al-Quran sendiri sebagai

pedoman hidup terbesar bagi manusia sepanjang masa merupakan bukti bahwa Allah

mengajarkan manusia melalui perantaraan pena, alat yang menghasilkan tulisan. Karena itu Al-

Quran juga disebut sebagai al-Kitab (yang ditulis).

Setidaknya ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh dengan melakukan kegiatan baca-

tulis, seperti: mengembangkan kepribadian, menambah wawasan, membuka cakrawala berpikir,

terhindar dari mengerjakan perbuatan yang kurang bermanfaat, menyalurkan dan mengasah

hobi/ketrampilan, bisa menambah/menjadi sumber penghasilan, senatiasa up to date dengan

perkembangan berita terakhir, dan masih banyak lagi manfaat yang dapat dipetik dengan

melakukan kegiatan baca-tulis. Apalagi kalau dilakukan dengan rutin, serius, mengalokasikan

waktu khusus untuk kegiatan tersebut.

Oleh sebab itu tidak pernah ada kata terlambat bagi umat Islam untuk bercermin ke masa

jayanya di masa lampau di bidang ilmu pengetahuan dan sains guna mengambil manfaat di masa

depan. Mari kita menghidupkan kembali tradisi baca-tulis sebagai warisan kejayaan Islam untuk

menggantikan (setidaknya melengkapi) budaya dengar-tonton-cakap yang masih terlalu kuat

mendominasi gaya hidup kita dewasa ini.

Copy Right Agus Saputera © 2010

Anda mungkin juga menyukai