Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KASUS

KAJIAN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI NY. D DENGAN


ASFIKSIA NEONATORUM DAN HIPERBILIRUBINEMIA DI
RUANGAN NEONATOLOGI RSUD PARIAMAN

Diajukan Sebagai Syarat Memenuhi Tugas Praktek Klinik Kebidanan


di RSUD Pariaman Periode 8 Juli 3 Agustus 2013

OLEH :

RAHMADONA
BP. 1121228046
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. SARI DEWI, Sp.A. M.Biomed.

PROGRAM MAGISTER ILMU KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
1

LEMBARAN PERSETUJUAN

Laporan kasus yang berjudul Kajian Asuhan Kebidanan pada Bayi Ny. D
dengan Asfiksia Neonatorum dan Hiperbilirubinemia di ruang Neonatologi RSUD
Pariaman ini telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing.

Dosen Pembimbing,

Padang, 19 Juli 2013


Mahasiswa,

Dr. Sari Dewi, Sp.A. M.Biomed

Rahmadona

Mengetahui,
Ketua Program Studi,

Dr. Yusrawati, Sp.OG (KFM)

DAFTAR ISI

LEMBARAN PERSETUJUAN...............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
A.Latar Belakang.................................................................................................................1
B.Tujuan Penulisan..............................................................................................................2
Tujuan umum................................................................................................................2
Tujuan Khusus..............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORITIS.............................................................................................3
A. Asfiksia...........................................................................................................................3
1. Definisi......................................................................................................................3
2. Etiologi......................................................................................................................4
3. Patofisiologi..............................................................................................................6
4. Diagnosis...................................................................................................................9
5. Komplikasi..............................................................................................................10
6. Penatalaksanaan......................................................................................................14
B. Hiperbilirubin................................................................................................................22
1. Definisi....................................................................................................................22
2.Klasifikasi................................................................................................................23
3. Etiologi....................................................................................................................26
4.Tanda dan Gejala......................................................................................................29
5.Patofisiologi.............................................................................................................30
6.Diagnosis..................................................................................................................32
7.Komplikasi...............................................................................................................35
8.Pencegahan...............................................................................................................35
9. Penatalaksanaan Medis............................................................................................36
BAB III TINJAUAN KASUS...............................................................................................42
BAB IV KAJIAN / ANALISA ASUHAN KEBIDANAN.....................................................46
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................................51
TINJAUAN KEPUSTAKAAN..............................................................................................52

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1. Bagan Algoritma Resusitasi Asfiksia neonatorum..................................17


Gambar 2. 2. Hubungan Kadar Bilirubin Dengan Ikterus.............................................26

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Bayi baru lahir harus menjalani proses adaptasi dari kehidupan di dalam rahim
(intrauterine) ke kehidupan di luar rahim (ekstrauterin). Pemahaman terhadap
adaptasi dan fisiologi bayi baru lahir sangat penting sebagai dasar dalam memberikan
asuhan. Perubahan lingkungan dari dalam uterus ke ekstrauterin dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti kimiawi, mekanik, dan termik yang menimbulkan perubahan
metabolik, pernapasan dan sirkulasi pada bayi baru lahir normal. Penelitian telah
menunjukkan bahwa lebih dari 50% kematian bayi terjadi dalam periode neonatal
yaitu dalam bulan pertama kehidupan.
WHO (2012) menyebutkan bahwa asfiksia adalah kegagalan
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Sedangkan menurut
Ikatan Dokter Anak Indonesia Asfiksia adalah kegagalan napas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan
hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis (Depkes RI, 2008). Sementara itu, ikterus
adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan
bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin

serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila
kadar bilirubin yang tidak dikendalikan ( Markum, A.H 1991).
Selama observasi yang dilakukan di ruangan perinatologi RSUD Pariaman,
Penulis menemukan kasus bayi baru lahir dengan gestasi cukup bulan dan berat
badan lahir 3300 gram yang mengalami asfiksia neonatorum dan hiperbilirubin. Nilai
Apgar saat lahir adalah 6/7. Dalam rentang 24 jam pertama di rawat di ruang
perinatologi, ditemukan ikterik di seluruh tubuh (hingga ke kaki). Karena itu, Penulis
merasa tertarik untuk menyusun laporan kasus serta melakukan kajian asuhan
kebidanan pada bayi NyD dengan asfiksia neonatorum dan hiperbillirubin.
B.Tujuan Penulisan
Tujuan umum
Untuk mengetahui tentang kajian asuhan kebidanan pada bayi NyD dengan
asfiksia neonatorum dan hiperbilirubinemia.
Tujuan Khusus
a. Diketahuinya tentang asfiksia neonatorum
b. Diketahuinya tentang hiperbilirubinemia
c. Diketahuinya tentang laporan kasus pada bayi NyD dengan asfiksia
neonatorum dan hiperbilirubinemia
d. Diketahuinya tentang kajian asuhan kebidanan pada bayi NyD dengan
asfiksia neonatorum dan hiperbilirubinemia

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Asfiksia
1. Definisi
Asfiksia merupakan hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis.
Bila proses ini berlangsunh lama dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian.
Asfiksia juga dapat memperngaruhi fungsi organ vital lainnya (Saifuddin, 2011)
Asfiksia adalah keadaan bayi yang tidak bernafas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan
mengalami asfiksia sesudah persalinan (JNPK-KR, 2008).
WHO (2012) menyebutkan bahwa asfik sia adalah kegagalan bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Sedangkan menurut Ikatan Dokter
Anak Indonesia Asfiksia adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,
hiperkarbia dan asidosis (Depkes RI, 2008).
AAP dan ACOG (2004) dalam IDAI (2012) menyebutkan asfiksia perinatal
pada seorang bayi menunjukkan karakteristik sebagai berikut yaitu Asidemia
metabolik atau campuran (metabolik dan respiratorik) yang jelas yaitu PH <7 pada
sampel darah yang diambil dari arteri umbilikal, nilai apgar 0-3 pada menit ke-5,
manifestasi nerologi pada periode BBL segera, termasuk kejang, hipotonia, koma
3

atau ensefalopatia hipoksik iskemik dan terjadi disfungsi sistem multiorgan segera
pada periode bayi baru lahir.

2. Etiologi
Menurut IDAI (2012) terdapat beberapa faktor risiko terjadinya asfiksia pada
bayi baru lahir yaitu :
a. Faktor risiko antepartum meliputi :
Diabetes, hipertensi, anemia janin, perdarahan pada trimester I dan II, infeksi
ibu, ibu dengan penyakit jantung, ginjal, paru dan

tiroid, polihidramnion dan

oligohidramnion, ketuban pecah dini, kehamilan lewat waktu, malformasi/anomali


janin dan usia <16 atau >35 tahun.
b. Faktor risiko intrapartum meliputi :
Seksio Sesaria, kelahiran dengan forcep atau vacum, kelahiran kurang bulan,
korioamniotis, ketuban pecah lama, partus lama, penggunaan anastesi, hiperstimulus
uterus, prolaps talipusat, solusio plasenta dan plasenta previa.
Lee, dkk. (2008) melakukan penelitian terhadap faktor risiko antepartum,
intrapartum dan faktor risiko janin pada asfiksia neonatorum. Didapatkan bahwa
gejala-gejala penyakit maternal yang dilaporkan 7 hari sebelum kelahiran memiliki
hubungan yang bermakna terhadap peningkatan risiko kematian akibat asfiksia
neonatorum. Gejala-gejala tersebut adalah demam selama kehamilan (RR: 3.30;
95%KI: 2.155.07); perdarahan pervaginam (RR: 2.00; 95%KI: 1.233.27);
pembengkakan tangan,wajah atau kaki (RR: 1.78; 95%KI: 1.332.37); kejang (RR:

4.74; 95%KI: 1.8012.46); kehamilan ganda juga berhubungan kuat dengan


mortalitas asfiksia neonatorum (RR: 5.73; 95%KI: 3.389.72).
Bayi yang lahir dari wanita primipara memiliki risiko mortalitas asfiksia
neonatorum yang lebih tinggi (RR: 1.74; 95%KI:1.33-2.28) sedangkan adanya
riwayat kematian bayi sebelumnya tidak bermakna dalam memperkirakan kematian
akibat asfiksia neonatorum (RR: 0.99; 95%KI: 0.701.40). Partus lama (RR: 1.31,
95%KI 1.00-1.73) dan ketuban pecah dini (RR:1.83; 95%KI 1.22-1.76) juga
meningkatkan risiko asfiksia neonatorum secara bermakna. Pada penelitiannya, Lee
tidak mendapatkan bahwa pewarnaan mekoneum pada air ketuban memiliki risiko
lebih besar terhadap terjadinya asfiksia neonatorum.
Hasil studi kasus-kontrol yang dilakukan secara retrospektif oleh Oswyn G,
dkk. (2000) menyatakan bahwa riwayat lahir-mati berhubungan kuat dengan
terjadinya asfiksia neonatorum. Bayi preterm dan posterm ditemukan lebih banyak
pada kelompok kasus daripada kontrol. Usia terlalu muda (<20 tahun) dan terlalu tua
(> 40 tahun), anemia (Hb< 8 g/dL), perdarahan antepartum dan demam selama
kehamilan berhubungan kuat dengan asfiksia neonatorum. Tanda-tanda gawat janin
seperti denyut jantung janin abnormal, pewarnaan mekoneum dan partus lama juga
memiliki hubungan yang kuat dengan timbulnya asfiksia neonatorum. JNPK-KR
(2008) menyebutkan beberapa penyebab Asfiksia adalah :
a. Beberapa keadaan ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta
berkurang, sehingga aliran oksigen ke janin berkurang, akibatnya terjadi gawat
janin. Keadaan ini menyebabkan asfiksia pada bayi baru lahir. Keadaan ibu
5

meliputi : Preeklamsi dan eklamsi, perdarahan abnormal (plasenta previa dan


solusio plasenta, partus lama atau partus macet, demam selama persalinan,
infeksi berat dan kehamilan post matur.
b. Keadaan yang berakibat penurunan aliran darah dan oksigen melalui ke bayi
yaitu keadaan talipusat bayi meliputi : lilitan talipusat, talipusat pendek, simpul
tali pusat dan prolaps tali pusat dan keadaan bayi meliputi : bayi prematur,
persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum dan
forsep, kelainan kongenital.
3. Patofisiologi
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan
untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru
janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.
Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena
konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh
yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.
Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai
sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam
jaringan paru dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan
memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli
(Fraser, 2009).

Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan


6

pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat


tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru
akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.
Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,
menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan
sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus
arteriosus menurun.
Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena
pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian
jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada
kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi
relaksasi pembuluh darah paru.
Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami
relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya
duktus

arteriosus

sekarang

melalui

melalui paru-paru, akan mengambil banyak

oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. Pada akhir masa transisi
normal,

bayi

menghirup

udara

dan menggunakan paru-parunya untuk

mendapatkan oksigen.
Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan
dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang
utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam
pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi
7

kemerahan (Fraser, 2009)


Bila terdapat gangguan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama kehamilan
dan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan
kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak tergantung
kepada berat dan lamanya asfiksia.
Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu (primany apnea)
disertai

dengan

penurunan

frekuensi

jantung

selanjutnya

bayi

akan

memperlihatkan usaha bernafas yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur.


Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi
selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (secondary apnea). Pada tingkat
ini ditemukan bra dikardi dan penurunan tekanan darah (Varney, 2008).
Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula gangguan
metabolisme dan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi. Pada tingkat
pertama dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidoris respiratorik,
bila gangguan berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi metabolisme anaerobik
yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada
jantung dan hati akan berkurang, akibat

metabolisme ini menyebabkan

tumbuhnya asidosis metabolik.

Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang


disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya hilangnya sumber glikogen
8

dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung terjadinya asidosis metabolik


akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehinga
menimbulkan kelemahan jantung dan pengisian udara alveolus yang kurang
adekuat akan menyebabkan akan tingginya resistensinya pembuluh darah paru
sehingga sirkulasi darah ke paru dan kesistem tubuh lain akan mengalami
gangguan.
Asidosis

dan

gangguan

kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh

berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbulkan
kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya (Morales, at. al.
2011)

4. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan gangguan/kesulitan bernapas waktu lahir
dan lahir tidak bernafas/menangis. Pada anamnesis juga diarahkan untuk
mencari faktor resiko.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat
berat ringannya asfiksia yaitu :
Tanda

Frekuensi Jantung

Tidak ada

Kurang dari 100/m

Lebih dari 100/m


9

Usaha Bernafas

Tidak ada

Lambat, tidak
teratur
Ekstrimitas Flexi
Sedikit

Menangis kuat

Tonus Otot

Lumpuh

Refleks

Tidak ada

Gerakan sedikit

Menangis

Warna

Biru/ pucat

Tubuh kemerahan
ekstrimitas biru

Tubuh dan
ekstremitas
kemerahan

Gerakan Aktif

Keterangan :
Skor Apgar 7-10 : Asfiksia ringan
Skor Apgar 4-6 : Asfiksia sedang
Skor Apgar 0-3 : Asfiksia berat

5. Komplikasi
Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan dapat
pula terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada keadaan hipoksia
akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti otak, jantung,
dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan organ
lain seperti kulit, jaringan muskuloskeletal serta organ-organ rongga abdomen dan
rongga toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal dan traktus gastrointestinal.
Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan
energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis anerobik.
Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruvat) menimbulkan
peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH darah sehingga
10

terjadilah asidosis metabolik.


Perubahan sirkulasi dan metabolisme ini secara bersama-sama akan
menyebabkan kerusakan sel baik sementara ataupun menetap. Pada bayi kurang
bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat dibandingkan dengan bayi
cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor redistribusi aliran darah terutama
aliran darah otak, sehingga risiko terjadinya gangguan hipoksik iskemik dan
perdarahan periventrikular lebih tinggi. Demikian pula disfungsi jantung akibat
proses hipoksik iskemik ini sering berakhir dengan payah jantung (Morales, at. al,
2011)
a. Disfungsi multi organ
Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat
bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan
keadaan hipoksia akut. Beberapa penelitian melaporkan, organ yang paling sering
mengalami gangguan adalah susunan saraf pusat. Pada asfiksia neonatus, gangguan
fungsi susunan saraf pusat hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa
organ lain (multiorgan failure). Kelainan susunan saraf pusat yang tidak disertai
gangguan fungsi organ lain, hampir pasti penyebabnya bukan asfiksia perinatal.
b. Sistem saraf pusat
Pada keadaan hipoksia aliran darah ke otak dan jantung lebih dipertahankan
dari pada ke organ tubuh lainnya, namun terjadi perubahan hemodinamik di otak
dan penurunan oksigenisasi sel otak tertentu yang selanjutnya mengakibatkan
kerusakan sel otak. Pada saat timbulnya hipoksia akut atau saat pemulihan pasca
11

hipoksia terjadi dua proses yang saling berkaitan sebagai penyebab perdarahan
peri/intraventrikular.
Pada proses pertama, hipoksia akut yang terjadi menimbulkan vasodilatasi
serebral dan peninggian aliran darah serebral. Keadaan tersebut menimbulkan
peninggian tekanan darah arterial yang bersifat sementara dan proses ini ditemukan
pula pada sirkulasi kapiler di daerah matriks germinal yang mengakibatkan
perdarahan. Selanjutnya keadaan iskemia dapat pula terjadi akibat perdarahan
ataupun renjatan pasca perdarahan yang akan memperberat keadaan penderita. Pada
proses kedua, perdarahan dapat terjadi pada fase pemulihan pasca hipoksia akibat
adanya proses reperfusi dan hipotensi sehingga menimbulkan iskemia di daerah
mikrosirkulasi periventrikular yang berakhir dengan perdarahan.
c. Sistem pernapasan
Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita asfiksia
neonatus masih belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori mengemukakan
bahwa hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan iskemianya atau dapat pula
terjadi karena adanya disfungsi ventrikel kiri, gangguan koagulasi, terjadinya
radikal bebas oksigen ataupun penggunaan ventilasi mekanik dan timbulnya
aspirasi mekonium.

d. Sistem kardiovaskuler

12

Bayi yang mengalami hipoksia berat dapat menderita disfungsi miokardium


yang berakhir dengan payah jantung. Disfungsi miokardium terjadi karena
menurunnya perfusi yang disertai dengan kerusakan sel miokard terutama di daerah
subendokardial dan otot papilaris kedua bilik jantung.
e. Sistem urogenital
Pada sistem urogenital, hipoksia bayi dapat menimbulkan gangguan perfusi
dan dilusi ginjal serta kelainan filtrasi glomerulus. Aliran darah yang kurang
menyebabkan nekrosis tubulus dan perdarahan medula.
f. Sistem gastrointestinal
Kelainan saluran cerna ini terjadi karena radikal bebas oksigen yang
terbentuk pada penderita hipoksia beserta faktor lain seperti gangguan koagulasi
dan hipotensi, menimbulkan kerusakan epitel dinding usus. Gangguan fungsi yang
terjadi dapat berupa kelainan ringan yang bersifat sementara seperti muntah
berulang, gangguan intoleransi makanan atau adanya darah dalam residu lambung
sampai kelainan perforasi saluran cerna, enterokolitis nekrotikans kolestasis dan
nekrosis hepar.
g. Sistem audiovisual
Gangguan pada fungsi penglihatan dan pendengaran dapat terjadi secara
langsung karena proses hipoksia dan iskemia ataupun tidak langsung akibat
hipoksia iskernia susunan saraf pusat atau jaras-jaras yang terkait yang
menimbulkan kerusakan pada pusat pendengaran dan penglihatan.

13

6. Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan
yang dikerjakan pada bayi, lazim disebut resusitasi bayi baru lahir. Prinsip
dasar

resusitasi adalah memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan

mengusahakan saluran pernafasan tetap bebas serta merangsang timbulnya


pernafasan, yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berjalan lancar dan
memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukkan usaha
pernafasan lemah. Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi
dalam mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil
membutuhkan berbagai derajat resusitasi (JNPK-KR, 2008).
Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan bahwa faktor waktu sangat
penting. Makin lama bayi menderita asfiksia, perubahan homeostatis yang timbul
makin berat, resusitasi akan lebih sulit. Riwayat kehamilan dan partus akan
memberikan keterangan yang jelas tentang faktor penyebab terjadinya depresi
pernafasan pada bayi baru lahir. Resusitasi yang dilakukan harus adekuat sesuai
dengan penilaian yang diperoleh pada bayi baru lahir.
Menurut IDAI (2012) secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti
algoritma resusitasi neonatal yaitu :
a. Penilaian awal BBL
Penilaian awal dilakukan pada setiap BBl untuk menetukan apakah tindakan
resusitasi harus segera dimulai. Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan
dengan menjawab 4 pertanyaan yaitu : apakah bayi cukup bulan, apakah air
14

ketuban jernih, apakah bayi bernapas atau menangis dan apakah tonus otot bayi baik
atau kuat.
Bila semua jawaban ya maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam
prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan,
diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga
suhu. Bila terdapat jawaban tidak dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi
memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan yaitu:
1) Langkah awal dalam resusitasi

Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas dalam keadaan telanjang agar
panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh
tubuh. Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi
hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus.

Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya.


Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi
menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus yang
akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik untuk
melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk pemasangan
pipa endotrakeal.

Membersihkan jalan napas sesuai keperluan

15

Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada
keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam
cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan,
tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera
dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah
pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian
dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan
trakea sampai glottis Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun
bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti
pada bayi tanpa mekoneum.

Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan memposisikan bayi yang


benar
Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan mengeringkan
akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk memulai pernapasan.
Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret dan pengeringan, bayi
belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil dapat dilakukan dengan
menepuk atau menyentil telapak kaki atau dengan menggosok punggung,
tubuh atau ekstremitas bayi. Bayi yang berada dalam apnu primer akan
bereaksi pada hampir semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam
apnu sekunder, rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi

16

pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada telapak kaki atau
gosokan pada punggung.

17

Gambar 2. 1. Bagan Algoritma Resusitasi Asfiksia neonatorum

2) Penilaian
18

Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu tidaknya


resusitasi lanjutan. Tanda vital yang perlu dinilai adalah sebagai berikut:

Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dan
dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil. Pernapasan yang
megap-megap adalah pernapasan yang tidak efektif dan memerlukan intervensi
lanjutan.

Frekuensi jantung
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi jantung
dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian dikalikan 10 sehingga
akan dapat diketahui frekuensi jantung permenit.

Warna kulit
Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh. Setelah
frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada sianosis sentral
yang menandakan hipoksemia. Warna kulit bayi yang berubah dari biru menjadi
kemerahan adalah petanda yang paling cepat akan adanya pernapasan dan
sirkulasi yang adekuat. Sianosis akral tanpa sianosis sentral belum tentu
menandakan kadar oksigen rendah sehingga tidak perlu diberikan terapi oksigen.
Hanya sianosis sentral yang memerlukan intervensi.

b. Pemberian oksigen

19

Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen.
Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan sungkup
oksigen, sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan
selang/pipa oksigen.
Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila tidak terdapat
sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap baik
walaupun konsentrasi oksigen sama dengan konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi
kembali sianosis, maka pemberian oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral
hilang. Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri
untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal.

c. Ventilasi Tekanan Positif


Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah resusitasi lanjutan
bila semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi bernapas atau frekuensi
jantungnya tetap kurang dari 100x/menit. Sebelum melakukan VTP harus
dipastikan tidak ada kelainan congenital seperti hernia diafragmatika, karena bayi
dengan hernia diafragmatika harus diintubasi terlebih dahulu sebelum mendapat
VTP. Bila bayi diperkirakan akan mendapat VTP dalam waktu yang cukup lama,
intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau pemasangan selang orogastrik untuk
menghindari distensi abdomen. Kontra indikasi penggunaan ventilasi tekanan
positif adalah hernia diafragma

20

d. Kompresi dada
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada
(cardiac massage) terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu
menekan jantung ke arah tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal dan
memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital tubuh.
Kompresi dada hanya bermakna jika paru-paru diberi oksigen, sehingga
diperlukan 2 orang untuk melakukan kompresi dada yang efektif-satu orang
menekan dada dan yang lainnya melanjutkan ventilasi. Orang kedua juga bisa
melakukan pemantauan frekuensi jantung, dan suara napas selama ventilasi tekanan
positif. Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara bergantian.

e. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dapat dilakukan pada setiap tahapan resusitasi sesuatu
dengan keadaan, antara lain beberapa keadaan berikut saat resusitasi. Jika terdapat
mekoneum dan bayi mengalami depresi pernapasan, maka intubasi dilakukan
sebagai langkah pertama sebelum melakukan tindakan resusitasi yang lain, untuk
membersihkan mekoneum dari jalan napas.
Jika ventilasi tekanan positif tidak cukup menghasilkan perbaikan kondisi,
pengembangan dada, atau jika ventilasi tekanan positif berlangsung lebih dari
21

beberapa menit, dapat dilakukan intubasi untuk membantu memudahkan ventilasi.


Jika diperlukan kompresi dada, intubasi dapat membantu koordinasi antara
kompresi dada dan ventilasi, serta memaksimalkan efisiensi ventilasi tekanan
positif. Jika epinefrin diperlukan untuk menstimulasi frekuensi jantung maka cara
yang umum adalah memberikan epinefrin langsung ke trakea melalui pipa
endotrakeal sambil menunggu akses intravena.
Obat-obatan jarang diberikan pada resusitasi bayi baru lahir. Bradikardi pada
bayi baru lahir biasanya disebabkan oleh ketidaksempurnaan pengembangan dada
atau hipoksemia, dimana kedua hal tersebut harus dikoreksi dengan pemberian
ventilasi yang adekuat. Namun bila bradikardi tetap terjadi setelah VTP dan
kompresi dada yang adekuat, obat-obatan seperti epinefrin atau volume ekspander
dapat diberikan.
Penghentian resusitasi. Bila tidak ada upaya bernapas dan denyut jantung
setelah 10 menit, setelah usaha resusitasi yang menyeluruh dan adekuat dan
penyebab lain telah disingkirkan, maka resusitasi dapat dihentikan. Data mutakhir
menunjukkan bahwa setelah henti jantung selama 10 menit, sangat tipis
kemungkinan selamat dan yang selamat biasanya menderita cacat berat.

22

B. Hiperbilirubin
1. Definisi
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001). Nilai normal bilirubin indirek 0,3 1,1
mg/dl, bilirubin direk 0,1 0,4 mg/dl. Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana
kadar billirubinemia mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan
kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 1997).
Ikterus merupakan perubahan warna kuning pada kulit, membrane mukosa,
sclera dan organ lain yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di dalam
darah dan ikterus sinonim dengan jaundice.
Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena
adanya bilirubin pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar bilirubin dalam
darah

(Brooker, 2001).
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat

penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan


konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau
ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan ( Markum, A.H
1991).
Ikterus adalah warna kekuningan pada kulit yang timbul pada hari ke 2-3
setelah lahir, yang tidak mempunyai dasar patologis dan akan menghilang dengan
sendirinya pada hari ke 10. ( Nursalam,2005).

23

2.Klasifikasi
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis menurut Tarigan (2003) dan Callhon (1996) dalam
Schwats (2005) adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
Timbul pada hari kedua ketiga
Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg % pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan (kadar
bilirubintak terkonjugasi pada minggu pertama >2mg/dl). Pada bayi cukup
bulan yang mendapatkan susu formula, kadar bilirubin akan mencapai
puncaknya sekitar 6-8mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan
menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat

sebesar 1mg/dl selama 1-2 minggu.


Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari
Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %
Ikterus hilang pada 10 hari pertama
Tidak mempunyai dasar patologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi

bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya


dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru
lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada
hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali
dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan
kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi <1 2 mg/Dl.

24

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktorfaktor

lain.

Sebagai

contoh,

bayi

prematur

akan

memiliki

puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan
berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina
cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5
setelah lahir.
Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir
meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup
eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan
konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
b. Ikterus Pathologis/ hiperbilirubinemia
Ikterus patologis/hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar
konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Ikterus yang kemungkinan
menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut :
1) Menurut Surasmi (2003) bila :
Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg % atau > setiap 24 jam
Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg % pada neonatus < bulan dan

12,5 % pada neonatus cukup bulan


Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G6PD dan sepsis)

25

Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia,
hipoksia,

sindrom

gangguan

pernafasan,

infeksi,

hipoglikemia,

hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.


Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari (muntah, letargis, malas

menetek, penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak
stabil)
Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari

pada bayi kurang bulan


2) Penilaian Ikterus Menurut Kramers
Ikterus dimulai dari kepala, leher dan seterusnya. Dan membagi tubuh bayi
baru lahir dalam lima bagian bawah sampai tumut, tumit-pergelangan kaki dan
bahu pergelanagn tangan dan kaki seta tangan termasuk telapak kaki dan telapak
tangan.
Cara pemeriksaannya ialah dengan menekan jari telunjuk ditempat yang
tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang dada, lutut dan lain-lain.
Kemudian penilaian kadar bilirubin dari tiap-tiap nomor disesuaikan dengan
angka rata-rata didalam gambar di bawah ini :
Gambar 2. 2. Hubungan Kadar Bilirubin Dengan Ikterus
Derajat
Ikterus
1
2
3
4
5

Daerah Ikterus

Kepala sampai leher


Kepala, badan sampai dengan umbilicus
Kepala, badan, paha, sampai dengan lutut
Kepala, badan, ekstremitas sampai dengan
tangan dan kaki
Kepala, badan, ekstremitas hingga ujung jari

Perkiraan kadar
Bilirubin (rata-rata)
Aterm
Prematur
5,0
9,0
9,4
12,4
11,4
16,0
13,3

26

3. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
a. Produksi

yang

mengeluarkannya,

berlebihan. Hal
misalnya

ini

pada

melebihi
hemolisis

kemampuan
yang

bayi

untuk

meningkat

pada

inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein.
Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel
hepar.
c. Gangguan

transportasi

karena

kurangnya

albumin

yang

mengikat bilirubin.Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian


diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi
oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan dalam liver (karena infeksi atau
kerusakan sel liver). Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar
atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan
27

bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar
oleh penyebab lain.
e. Hiperbilirubin pada bayi baru lahir paling sering timbul karena fungsi hati masih
belum sempurna untuk membuang bilirubin dari aliran darah
.
Hiperbilirubin juga bisa terjadi karena beberapa kondisi klinis, di antaranya
adalah:
a. ikterus fisiologis merupakan bentuk yang paling sering terjadi pada bayi baru
lahir. Jenis bilirubin yang menyebabkan pewarnaan kuning pada ikterus disebut
bilirubin tidak terkonjugasi, merupakan jenis yang tidak mudah dibuang dari
tubuh bayi. Hati bayi akan mengubah bilirubin ini menjadi bilirubin terkonjugasi
yang lebih mudah dibuang oleh tubuh. Hati bayi baru lahir masih belum matang
sehingga masih belum mampu untuk melakukan pengubahan ini dengan baik
sehingga akan terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang ditandai
sebagai pewarnaan kuning pada kulit bayi. Bila kuning tersebut murni
disebabkan oleh faktor ini maka disebut sebagai ikterus fisiologis
b. Breastfeeding jaundice, dapat terjadi pada bayi yang mendapa air susu ibu (ASI)
eksklusif. Terjadi akibat kekurangan ASI yang biasanya timbul pada hari kedua
atau ketiga pada waktu ASI belum banyak dan biasanya tidak memerlukan
pengobatan.
c. Ikterus ASI (breastmilk jaundice), berhubungan dengan pemberian ASI dari
seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang
disusukannya bergantung pada kemampuan bayi tersebut mengubah bilirubin

28

indirek. Jarang mengancam jiwa dan timbul setelah 4-7 hari pertama dan
berlangsung lebih lama dari ikterus fisiologis yaitu 3-12 minggu.
d. Ikterus pada bayi baru lahir akan terjadi pada kasus ketidakcocokan golongan
darah (inkompatibilitas ABO) dan rhesus (inkompatibilitas rhesus) ibu dan janin.
Tubuh ibu akan memproduksi antibodi yang akan menyerang sel darah merah
janin sehingga akan menyebabkan pecahnya sel darah merah sehingga akan
meningkatkan pelepasan bilirubin dari sel darah merah.
e. Lebam pada kulit kepala bayi yang disebut dengan sefalhematom dapat timbul
dalam proses persalinan. Lebam terjadi karena penumpukan darah beku di
bawah kulit kepala. Secara alamiah tubuh akan menghancurkan bekuan ini
sehingga bilirubin juga akan keluar yang mungkin saja terlalu banyak untuk
dapat ditangani oleh hati sehingga timbul kuning

4.Tanda dan Gejala


Gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
a. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kern ikterus pada
neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
b. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus
dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa
paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian
otot mata dan displasia dentalis).
Sedangkan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik)
pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat
29

kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 mol/l. Gejala utamanya adalah kuning
di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejalagejala:
a. Dehidrasi. Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntahmuntah)
b. Pucat. Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan
golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah
ekstravaskular.
c. Trauma lahir. Bruising, sefalhematom (peradarahan kepala), perdarahan
tertutup lainnya.
d. Pletorik (penumpukan darah). Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh
keterlambatan memotong tali pusat.
e. Letargik dan gejala sepsis lainnya.
f. Petekiae (bintik merah di kulit). Sering dikaitkan dengan infeksi congenital,
sepsis atau eritroblastosis.
g. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) Sering berkaitan dengan
anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
h. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa), Omfalitis (peradangan
umbilikus), Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
i. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
j. Feses dempul disertai urin warna coklat. Pikirkan ke arah ikterus obstruktif,
selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.
5.Patofisiologi
Produksi bilirubin berasal dari pemecahan hemoglobin, dimana dalam keadaan
normal, sel darah merah akan pecah dalam waktu 120 hari. Pada bayi premature akan

30

lebih mudah pecah, yaitu 80-90 hari. Hal inilah yang menyebabkan kadar bilirubin
pada bayi premature cenderung untuk meningkat.
Transportasi bilirubin melalui hepar untuk diproses, bilirubin indirek atau
uncojugated di dalam tubuh dan bersifat larut dalam lemak akan berikatan dengan
albumin masuk ke hati untuk diproses menjadi bilirubin indirek atau conjugated yang
bersifat larut dalam air. Dimana setelah diproses melalui hati, berubah menjadi
urobilinogen yang mewarnai air seni dan sterkobilinogen yang mewarnai feses
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin
pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga
dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila
kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu bilirubin ini akan
bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada
bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak.
Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kern ikterus. Pada umumnya dianggap
bahwa kelainan pada syaraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar
bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah
otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan
31

mudah melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir
Rendah, hipoksia, dan hipolikemia.
6.Diagnosis
a. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat
digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus
kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan
metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat
masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif
segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut. WHO dalam
panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari


dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat
dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang

kurang.
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di

bawah kulit dan jaringan subkutan.


Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang

tampak kuning.
b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis
ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum
32

bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat
meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin
total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil).
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin
total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
c. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan
prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang
gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit
neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat
dipengaruhi

pigmen

kulit.

Saat

ini,

alat

yang

dipakai

menggunakan

multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan


bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
sebuah

studi

observasional

prospektif

untuk

mengetahui

akurasi

pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan


bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris,
melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian
ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249
umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum
Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001),>
33

Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan


skrining. Hasil analisis menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun
transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak
efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.

d. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO


Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini
menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi
bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin
bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini
berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin
menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata
laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin
dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran
konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai
indeks produksi bilirubin.
7.Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlangketan bilirubin indirek
pada otak. Pada kernikterus gejala klinik pada permulaan tidak jelas antara lain : bayi
34

tidak mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu


(involuntary movements), kejang tonus otot meninggi, leher kaku, dan akhirnya
opistotonus.

8.Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
a. Pengawasan antenatal yang baik.
b. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa
kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan
c.
d.
e.
f.
g.

lain-lain.
Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir.
Pemberian makanan yang dini.
Pencegahan infeksi

9. Penatalaksanaan Medis
Ikterus fisiologis tidak memerlukan penanganan yang khusus, kecuali
pemberian minum sedini mungkin dengan jumlah cairan dan kalori yang cukup.
Pemberian minum sedini mungkin akan meningkatkan molitas khusus dan juga
menyebabkan bakteri di introduksi ke usus. Bakteri dapat merubah bilirubin direct
menjadi urobilin yang dapat di absorpsi kembali. Dengan demikian, kadar bilirubin
serum akan turun. Meletakkan bayi di bawah sinar matahari selama 15-20 menit, ini
di lakukan setiap hari antara pukul 6.30 8.00.
Selama ikterus masih terlihat, perawat harus memperhatikan pemberian minum
dengan jumlah cairan dan kalori yang cukup dan pemantauan perkembangan ikterus.
35

Apabila ikterus makin meningkat intensitasnya, harus segera di catat dan di laporkan
karena mungkin di perlukan penanganan yang khusus.
a. Tindakan umum
Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) dan lain lain pada waktu hamil
Mencegah trauma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir

yang dapat menimbulkan ikterus, infeksi dan dehidrasi


Pemberian makanan dini dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai

dengan kebutuhan bayi baru lahir


Iluminasi yang cukup baik di tempat bayi di rawat.
Pengobatan terhadap faktor penyebab bila di ketahui.

b. Tindakan khusus
Setiap bayi yang kuning harus di tangani menurut keadaannya. Bila kadar
bilirubin serum bayi tinggi, sehingga di duga akan terjadi kern ikterus,
hiperbilirubenia tersebut harus diobati dengan tindakan berikut:

Pemberian fenobarbital, agar proses konjugasi bisa di percepat serta


mempermudah ekskresi. Pengobatan ini tidak begitu efektif karena kadar
bilirubin bayi dengan hiperbilirubinemia baru menurun setelah 4-5 hari. Efek
pemberian fenobarbital ini tampak jelas bila di berikan kepada ibu hamil
beberapa minggu sebelum persalinan, segera sesudah bayi lahir atau kedua
keadaan tersebut. Pemberian fenobarbital profilaksis tidak di anjurkan karena
efek samping obat tersebut, seperti gangguan metabolik dan pernafasan, baik
pada ibu maupun pada bayi.

36

Memberi substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi, misalnya


pemberian albumin untuk memikat bilirubin bebas. Albumin biasanya di berikan
sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat
keluarnya bilirubin dari ekstra vaskuler ke vaskuler, sehingga bilirubin yang di
ikatnya lebih mudah di keluarkan dengan tranfusi tukar.

Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi.

Fototerapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan transfusi pengganti


untuk menurunkan bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan
intensitas yang tinggi akan menurunkan bilirubin dalam kulit. Fototerapi
menurunkan kadar bilirubin dengan cara memfasilitasi ekskresi bilirubin tak
terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorpsi jaringan merubah
bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut fotobilirubin.
Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme

difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum
untuk di buang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi
terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar
bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat
menyebabkan anemia. Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin
indirek 4-5 mg/dl. Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram
harus difototerapi dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan
37

mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksasi pada 24 jam pertama pada


bayi resiko tinggi dan berat badan lahir rendah. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar ialah:

lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam, untuk

menghindari turunnya energy yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan.


Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar.
Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk
mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan
kunjungan

orang

tua

untuk

memberikan

rangsang

visual

pada

neonates. Pemantauan iritasi mata dilakukan tiap 6 jam dengan membuka

penutup mata.
Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya

untuk melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototeraphy.


Pada lampu diatur dengan jarak 20-30cm di atas tubuh bayi, untuk

mendapatkan energi yang optimal.


Posisi bayi diubah tiap 8 jam , agar tubuh mendapat penyinaran seluas

mungkin.
Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu.
Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses, dan muntah
diukur, dicatat dan dilakukan pemantauan tanda dehidrasi

Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin serum barada dalam batas normal,
terapi sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah,
perlu dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak
efektif atau bayi menderita dehidrasi, hipoksia, infeksi, dan gangguan metabolisme.
38

Pemberian terapi sinar dapat menimbulkan efek samping. Namun, efek


samping tersebut bersifat sementara, yang dapat di cegah atau dapat ditanggulangi
dengan memperhatikan tata cara penggunaan terapi sinar dan diikuti dengan
pemantauan keadaan bayi secara berkelanjutan. Kelainan yang mungkin timbul
pada neonates dengan terapi sinar adalah :

Peningkatan kehilangan cairan yang tidak terukur.

Energi

cahaya

fototerapi

dapat

meningkatkan

suhu

lingkungan

dan

menyebabkan peningkatan penguapan melalui kulit. Terutama bayi premature


atau berat lahir sangat rendah. Keadaan ini dapat di antisipasi dengan pemberian
cairan tambahan.

Frekuensi defekasi meningkat. Meningkatnya bilirubin indirect pada usus akan


meningkatkan pembentukan enzim lactase yang dapat meningkatkan peristaltic
usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya
diare.

Timbul kelainan kulit di daerah muka badan dan ekstremitas, dan akan segera
hilang setelah terapi berhenti. Di laporkan pada beberapa bayi terjadi bronze
baby syndrome, hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan
segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara dan tidak
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.

Peningkatan suhu. Beberapa neonates yang mendapat terapi sinar, menunjukkan


kenaikan suhu tubuh, ini disebabkan karena suhu lingkungan yang meningkat
atau gangguan pengaturan suhu tubuh bayi.
39

Kadang di temukan kelainan, seperti gangguan minum, letargi, dan iritabilitas.


Ini bersifat sementara dan hilang sendirinya.

c. Transfusi Pengganti
Transfuse pengganti atau imediat didindikasikan adanya faktor-faktor :
Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama
Kadar bilirubin direk labih besar 3,5 mg/dl di minggu pertama
Serum bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama
Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl
Bayi pada resiko terjadi kern Ikterus

Transfusi pengganti digunakan untuk:

Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan) terhadap

sel darah merah terhadap antibody maternal


Menghilangkan sel darah merah untuk yang tersensitisasi (kepekaan)
Menghilangkan serum bilirubin
Meningkatkan albumin bebas bilirubin dan meningkatkan keterikatan
dangan bilirubin
Pada Rh Inkomptabilitas diperlukan transfuse darah golongan O segera

(kurang dari 2 hari), Rh negative whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B. Setiap 4 -8 jam kadar bilirubin harus di cek.
Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.

40

BAB III
TINJAUAN KASUS

LAPORAN KASUS PADA BAYI Ny. D DENGAN ASFIKSIA


NEONATORUM DAN HIPERBILIRUBINEMIA DI RUANG NEONATOLOGI
RSUD PARIAMAN
Tanggal masuk
Tanggal pengkajian

: 17 Juli 2013
: 18 Juli 2013

No. MR
Pukul

: 05 55 01
: 09.30 wib

I. PENGUMPULAN DATA
A. IDENTITAS
Nama bayi
: By. Ny. Dona Indriyani
Umur bayi
: 1 hari
Tgl/Jam lahir : 17 Juli 2013 pukul 12.20 Wib
Jenis kelamin :
Berat badan : 3300 gram
Panjang badan: 48 cm
Nama
Umur
Suku
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Ny. Dona Indriyani


: 36 th
: Minang
: Islam
: SMA
: IRT
: Sicincin

Nama Suami
Umur
Suku/Bangsa
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat

: Tn. Hendri
: 38 tahun
: Minang
: Islam
: SMA
: Swasta
: Sicincin

B. DATA SUBJEKTIF
Keluhan utama bayi :
Bayi baru lahir pukul 12.20 wib tanggal 17-7-2013 secara sectio caesaria atas
indikasi bekas sectio 2 kali, warna kulit kemerahan, tidak segera menangis,
merintih dan nafas cuping hidung, ketuban jernih. A/S 6/7 BB 3300 gram JK
perempuan, masuk ke ruang neonatologi tanggal 17-7-2013 pukul 13.30 wib.
1. Riwayat Penyakit Kehamilan :
a. Perdarahan
: tidak ada
b. Pre-eklampsia
: tidak ada
41

c. Eklampsia
d. Penyakit kelamin
e. Lain-lain

: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

2. Kebiasaan waktu hamil


a. Makanan
b. Obat-obatan
c. Merokok
d. Minuman alkohol
e. Lain-lain

: normal
: tablet tambah darah dan vitamin
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada

3. Riwayat persalinan sekarang


a. Jenis persalinan
b. Masa gestasi
c. Ditolong oleh
e. Ketuban
f. Komplikasi persalinan

: Sectio Caesaria a.i. bekas SC 2x


: 38-39 minggu
: Dokter
: jernih
: tidak ada

Keadaan bayi baru lahir


Nilai APGAR 1 menit pertama
:6
5 menit berikutnya : 7
Tanda

Apperance
(Warna kulit)

( ) ( ) biru/pucat

( 1) (1) tubuh
kemerahan tangan
dan kaki biru

( )( )
kemerahan

Pulse
(Frek.
Jantung)

( ) ( ) tidak ada

(1) (1) < 100

( ) ( ) >100

Grimate
(reflek)

( ) ( ) tdk
bereaksi

(1) ( ) gerakan
sedikit

( ) (2) menangis

Activity
(aktifitas/tonus
otot)
Respiratory
(usaha nafas)

( ) ( ) lumpuh

( ) ( ) extremitas
Fleksi sedikit

(2) (2) gerakan


aktif

( ) ( ) tidak ada

(1) (1) lambat tak


teratur

( ) ( ) menangis
kuat

G
A

Ket : X= 1 menit pertama

Jumlah

=5 menit berikutnya

42

C. DATA OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum
b. Suhu
c. Pernafasan
d. Nadi
e. BB sekarang

: sedang
: 36,7 C
: 44 kali/menit
: 150 kali/menit
: 3300 gram

2. Pemeriksaan fisik secara sistematis


a. Kepala
: tidak ada caput dan cephal hematoma
b. Ubun-ubun
: belum menutup dan tidak menonjol
c. Muka
: sedikit kekuningan, normal, jarak epikantus tidak lebar
d. Mata
: sklera sedikit kekuningan, bersih, tidak ada secret
e. Telinga
: lekuk telinga normal, simetris kiri kanan
f. Mulut
: mulut dan lidah bersih dan bibir merah muda,celah
palatum tidak
g. Hidung
: ada sekat, simetris, nafas cuping hidung
h. Leher
: tidak ada trauma
i. Dada
: puting susu simetris, tidak ada secret, gerakan dada
Sesuai irama pernapasan, tidak ada retraksi sternum
j. Tali pusat
: masih basah, tidak ada perdarahan
k. Punggung
: tonjolan punggung tidak ada, lipatan kulit bokong ada
l. Ekstremitas
: ekstremitas atas dan bawah fleksi, sianosis (-),
pergerakan kurang aktif, jumlah jari kaki dan tangan
normal, tidak ada cacat bawaan, terpasang infuse D
10% 6 tt/mnt di lengan kanan.
m. Genitalia
: Labia mayora sudah menutupi labia minora
n. Anus
: ada
3. Reflek
a. Reflek Morro
b. Reflek Rooting
c. Reflek Graphs
d. Reflek Sucking
e. Reflek Tonic Neck
f. Reflek Babinski

: ada
: ada
: ada
: ada
: ada
: ada

4. Antropometri
a. Lingkar Kepala
b. Lingkar Dada
c. Lingkar Lengan Atas
d. Lingkar Perut

: 34 cm
: 32 cm
: 11 cm
: 33 cm
43

5. Eliminasi
a. Miksi
b. Defekasi

: sudah ada
: sudah ada

6. Pemeriksaan Labor tanggal 17 Juli 2013 pukul 13.30 wib


Hb
: 19,1 gr%
Gula Darah Rondum
: 414 mg/dl
D. Assessment
Bayi Ny.D usia hari ke-1 dengan asfiksia neonatorum
E. Planning
1. Rawat inap bayi di neonatologi
2. Perawatan tali pusat
3. Kolaborasi dengan dokter spesialis anak
Instruksi dr :
- Puasakan bayi
- Beri O2 1 ltr/mnt
- Inj. Ampicillin 150 mg/ 12 jam
- Inj. Gentamicin 7,5 mg/12 jam
- Inj. Vit K 0,1 cc
- Cek GDR ulang 2 jam lagi
Hasil : GDR jam 21.30 wib 91 mg/dl
GDR jam 23.30 wib 94 mg/dl
Catatan Perkembangan :
Tanggal 18-7-2013 pukul 09.00 wib
S
:O
: S 36,70C, DJ 136 x/mnt, R 48 x/mnt
BB 3300 gram
Bayi ikterik hingga ke kaki
Pemeriksaan Lab : GDR 61 mg/dl bilirubin total 6, 40 mg/dl
A
: Bayi Ny. D hari ke-2 dengan asfiksia neonatorum dan
hiperbilirubin
P
: Berdasarkan instruksi dokter :
- Fototerapi
- IUFD D 10% + 20 cc Ca Gluconas
- Inj. Ampicillin 300 mg/12 jam
- Inj. Gentamicin 8 mg/12 jam
- ASI 8 x 3 cc
44

BAB IV
KAJIAN / ANALISA ASUHAN KEBIDANAN

Bayi Ny. D masuk ruang neonatologi tanggal 17-7-2013 pukul 13.30 wib.
Bayi lahir pukul 12.20 wib tanggal 17-7-2013 secara sectio caesaria atas indikasi
bekas sectio 2 kali, warna kulit kemerahan, tidak segera menangis, merintih dan nafas
cuping hidung, ketuban jernih. A/S 6/7 BB 3300 gram JK perempuan.
Setelah dilakukan pemeriksaan, ditetapkan bayi Ny.D mengalami asfiksia
neonatorum, dan oleh dokter diinstruksikan diberikan O2 1 ltr/mnt, infuse D10% 6
tts/mnt serta cek Hb dan GDR menunjukan hasil Hb 19,1 gr% dan GDR 414 mg/dl.
Cek Hb ulang dilakukan 2 kali lagi yaitu jam 21.30 wib GDR 91 mg/dl dan jam 23.30
wib GDR 94 mg/dl.
Perkembangan hari ke-2, bayi Ny.D tanda vital dalam kisaran normal,
namun ditemukan ikterik hingga ke kaki. Atas instruksi dokter, dilakukan cek ulang
GDR dan kadar bilirubin dengan hasil GDR 61 mg/dl, kadar bilirubin total 6,40
mg/dl, diagnose bayi berkembang menjadi asfiksia dan hiperbilirubin serta terapi
yang direncanakan antara lain fototerapi, IUFD D10% + 20 cc Calcium Gluconas,
ampicillin 300 mg/12 jam, gentamicin 8 mg/12 jam, ASI 8 x 3 cc.
Berdasarkan teori, asfiksia neonatorum yang terjadi pada bayi Ny.D
disebabkan oleh factor risiko yang memicunya yaitu lahir dengan sectio caesaria.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (2012) menyebutkan bahwa asfiksia pada bayi dapat

45

disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor persalinan yang meliputi
partus lama, partus dengan tindakan (seksio Caesaria, vakum ekstraksi/forsep).
Varney (2008) juga menyebutkan bahwa kegagalan pernafasan pada bayi baru
lahir dapat disebabkan karena persalinan dengan tindakan, partus lama, trauma
kelahiran, infeksi serta penggunaan obat-obatan selama persalinan seperti analgesia.
Bayi yang lahir melalui seksio sesarea, terutama jika tidak ada tanda persalinan,
tidak mendapatkan manfaat dari pengurangan cairan paru dan penekanan pada toraks
sehingga mengalami paru-paru basah yang lebih persisten.
Situasi ini dapat mengakibatkan takipnea sementara pada bayi baru lahir. Di
samping itu bayi lahir dengan seksio sesarea yang mengalami asfiksia juga berkaitan
dengan tindakan anestesi yang mempunyai pengaruh depresi pusat pernafasan bayi.
Asuhan kebidanan yang dapat diberikan kepada bayi dengan asfiksia tergantung
pada keadaan asfiksia. Segera setelah bayi lahir lakukan penilaian terhadap bayi
apakah bayi cukup bulan, apakah air ketuban jernih atau bercampur mekonium,
apakah menangis atau bernafas dan apakah tonus otot baik. Jika terdapat tardapat
masalah atau gangguan pada bayi seperti bayi tidak menangis atau tidak bernafas
atau megap-megap atau tonus otot tidak baik maka dapat dilakukan penanganan
dengan melakukan resusitasi.
Pada kasus bayi Ny.D, setelah lahir melalui sectio caesaria, bayi tidak segera
menangis, hanya merintih dan nafas cuping hidung. Air ketuban waktu lahir juga
jernih dan tidak ada pewarnaan mekonium. Bayi kemudian hanya diberikan O 2 1
ltr/mnt bayi dan infuse D 10% 6 tt/mnt dan tidak memerlukan tindakan resusitasi
46

Academy American of Pediatric (2010) menyebutkan bahwa sekitar 10% dari


bayi baru lahir membutuhkan beberapa bantuan untuk memulai bernapas saat lahir
dan kurang dari 1% memerlukan tindakan resusitasi. Meskipun sebagian besar bayi
baru lahir tidak memerlukan intervensi untuk transisi dari intrauterin ke kehidupan
ekstrauterin, namun pada sejumlah besar kelahiran di seluruh dunia membutuhkan
beberapa bantuan untuk mencapai stabilitas kardiorespirasi. Pada bayi baru lahir
normal yang bernapas atau menangis dengan baik harus dikeringkan dan terus dalam
keadaan hangat. Tindakan ini dapat diberikan dengan bayi dibaring di dada ibu dan
seharusnya tidak memerlukan pemisahan ibu dan bayi.
Setiap bidan yang membantu kelahiran memiliki kewajiban moral dan etik
untuk menyediakan lingkungan kelahiran dengan tempat resusitasi bayi baru lahir
sehingga dapat dilakukan penanganan secara efektif. Dalam lingkungan rumah sakit,
bidan harus familier dengan personel neonatus yang akan membantu kelahiran bayi
yang mengalami gangguan. Informasi ini harus merupakan bagian dari orientasi
setiap bidan baru. Bidan tersebut kemudian dapat meminta bantuan yang dibutuhkan
dan menjelaskan tim dukungan neonatus kepada orang tua yang khawatir. Dirumah
bersalin mandiri atau praktek kelahiran di rumah, bidan wajib membuat mekanisme
yang jelas untuk transportasi atau rujukan bayi baru lahir yang mengalami gangguan
(AAP, 2010).
Pada pemeriksaan hari ke-2, yaitu tanggal 18-7-2013, bayi Ny.D mengalami
ikterik hingga ke kaki. Hasil pemeriksaan laboratorium ditemukan kadar bilirubin
total 6,40 mg/dl dan GDR 61 mg/dl. Berdasarkan klasifikasi hiperbilirubin Kramer,
47

bayi Ny.D mengalami ikterik derajat IV karena kuning pada sub kutis mencakup
kepala, leher, dada, tangan dan kaki di bawah lutut.
Pencegahan yang dapat dilakukan pada bayi baru lahir agar tidak menderita
hiperbilirubinemia adalah pemberian minum secara dini (early feeding). Mekanisme
fisiologisnya tidak diketahui

pasti

tetapi

dapat

menurunkan

sirkulasi

enterohepatik. Jika dibandingkan bayi yang tidak minum selama 24-48 jam
kehidupan dan bayi yang mendapat minum secara dini maka bayi yang mendapat
minum secara dini mempunyai

kadar

bilirubin

yang

rendah

(Merestein,

Gardner, 2002)
Pemberian pendidikan menjadi fokus utama pada ibu-ibu yang lahir dan
melahirkan, pendidikan kesehatan biasanya mengenai penjelasan tentang menyusui
dan perawatan bayi baru lahir. Menurut

pandangan

konsultan

laktasi

dan

perspektif pencegahan kernikterus, prioritas pendidikan kesehatan yang harus


diberikan pada orangtua adalah manajemen menyusui. Kurangnya
kesehatan

pada

prenatal, antenatal

akan

menjadi

salah

satu

pendidikan
hambatan

keberhasilan menyusui (Gartner et al. 2005 dalam Mannel, 2006).


Terapi medis yang diberikan pada bayi Ny.D berdasarkan instruksi dokter
untuk mengatasi hiperbilirubin adalah dengan terapi sinar (fototerapi). Fototerapi
merupakan terapi dengan menggunakan sinar yang dapat dilihat untuk pengobatan
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Terapi ini merupakan terapi yang digunakan
pada neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia indirek.

Di Amerika Serikat

sekitar 10% neonatus memerlukan fototerapi.


48

Tujuan dari fototerapi adalah untuk membatasi peningkatan bilirubin serum


dan mencegah akumulasi toksiknya di dalam otak yang dapat menyebabkan
komplikasi neurologis permanen yang serius yang dikenal sebagai kern ikterus.
Penelitian Pishva dkk di Amerika Serikat menyatakan bahwa jarak sinar
fototerapi 20 cm ke permukaan tubuh neonatus lebih efektif dan cepat dalam
menurunkan kadar bilirubin dibandingkan dengan jarak 40 cm karena intensitas yang
lebih tinggi.
Keefektifan suatu fototerapi ditentukan oleh intensitas sinar. Adapun faktor
yang mempengaruh intensitas sinar ini adalah jenis sinar, panjang gelombang sinar,
jarak sinar ke pasien yang disinari, luas permukaan

tubuh yang terpapar dengan

sinar serta penggunaan media pemantulan sinar. Panjang gelombang sinar yang paling
efektif untuk menyerap bilirubin adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425
475 nm (nanometer) yang mempunyai intensitas sinar yang tinggi.
Menggeser sinar lebih dekat ke bayi akan meningkatkan intensitas sinar.
Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi adalah badan bayi, harus diposisikan di
pusat sinar, tempat intensitas sinar paling tinggi. Fototerapi menggunakan media
pemantulan sinar yaitu kain dan plastik putih yang diletakkan di sisi kanan dan kiri
neonatus ternyata memberikan hasil peningkatan intensitas sinar.

49

BAB V
KESIMPULAN

Asfiksia

merupakan

kegagalan

bernapas

secara

spontan

dan

teratur segera setelah lahir. Asfiksia neonatorum masih merupakan masalah pada
bayi baru lahir dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.
Hiperbilirubin adalah suatu kedaaan dimana kadar bilirubin serum total yang
lebih dari 10 mg % pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit,
sclera dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus,
yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak.
Kasus bayi Ny. D yang lahir dengan sectio caesaria atas indikasi bekas sectio
2 kali pada tanggal 17-7-2013 pukul 12.20 wib didiagnosa mengalami asfiksia
neonatorum dan hiperbilirubin.
Asfiksia neonatorum yang terjadi pada bayi Ny.D disebabkan oleh factor
risiko yang memicunya yaitu lahir dengan sectio caesaria. Ikatan Dokter Anak
Indonesia (2012) menyebutkan bahwa asfiksia pada bayi dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah faktor persalinan yang meliputi partus lama,
partus dengan tindakan (seksio caesaria, vakum ekstraksi/forsep).
Pencegahan yang dapat dilakukan pada bayi baru lahir agar tidak menderita
hiperbilirubinemia adalah pemberian minum secara dini (early feeding). Terapi medis
yang diberikan pada bayi Ny.D berdasarkan instruksi dokter untuk mengatasi
hiperbilirubin adalah dengan terapi sinar (fototerapi)
50

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Morales, at. al. 2011. Pathophysiology of perinatal asphyxia: can we predict and
improve

individual

outcomes?.

Diakses

dalam

http://rarediseases.about.com/cs/kernicterus/a/090703.htm
Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.
97-103
WHO. 2010. Recommendations on Basic Newborn Resuscitation. WHO Library
Cataloguing-in-Publication
Data.
Diakses
dalam
:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75157/1/9789241503693_eng.pdf
Ngatisyah.2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2.Jakarta: EGC
Nelson, W.E., Behrman, R.E., Kliegman, R., Arvin, A.M. (2000). Nelson Ilmu
Kesehatan Anak, vol:1, 5thed. Jakarta:EGC.
Surasmi, Asrining ,dkk.2011.Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC
Dewi, V.N.L. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Medika
Cunningham, F.G, et al. 2013. Williams Obstetric, 23rd edition. Mc GrawHill: New
York
Enkin, et al. 2000. A Guide to Effective care in Pregnancy and ChildBirth, 3rd
Edition. Oxfod University Press: London
Fraser, D dan Cooper, M. 2009. Myles Buku Ajar Bidan. Jakarta. EGC
Gamble, et al. 2007. A Counselling Model for Postpartum Women After Distressing
Birth

Experiences.

Journal

of

Midwifery

25.

doi:10.1016/j.midw.2007.04.004. Pg.e21-e30.
51

Oxorn H dan Forte W. 2010. Ilmu Kebidanan: Patologi dan Fisiologi Persalinan.
Andi offset dan yayasan essential Medica. Yogyakarta
Saifuddin, A, 2011. Ilmu Kebidanan..PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta.
____________, 2009. Buku Acuan Kesehatan Maternal dan Neonatal. PT. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.

_____________, 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo dan JNPK-KR. Jakarta.
Pratoom H. 2 0 0 3 . The Development of the Kangaroo Mother Care (KMC)
Global
and
National
Perspectives.
D i a mb i l
da ri
http://www.sehat2013.com. diakses tanggal 15 Juli 2013
Pusponegoro, Hardiono D. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi
I
Ikatan Dokter Anak Indonesia.Jakarta
Hasan R, Alatas H. 2004. Perinatologi. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak 3; edisi ke-4.
Jakarta : FKUI.

52

Anda mungkin juga menyukai