OLEH :
RAHMADONA
BP. 1121228046
DOSEN PEMBIMBING :
Dr. SARI DEWI, Sp.A. M.Biomed.
LEMBARAN PERSETUJUAN
Laporan kasus yang berjudul Kajian Asuhan Kebidanan pada Bayi Ny. D
dengan Asfiksia Neonatorum dan Hiperbilirubinemia di ruang Neonatologi RSUD
Pariaman ini telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing.
Dosen Pembimbing,
Rahmadona
Mengetahui,
Ketua Program Studi,
DAFTAR ISI
LEMBARAN PERSETUJUAN...............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................................1
A.Latar Belakang.................................................................................................................1
B.Tujuan Penulisan..............................................................................................................2
Tujuan umum................................................................................................................2
Tujuan Khusus..............................................................................................................2
BAB II TINJAUAN TEORITIS.............................................................................................3
A. Asfiksia...........................................................................................................................3
1. Definisi......................................................................................................................3
2. Etiologi......................................................................................................................4
3. Patofisiologi..............................................................................................................6
4. Diagnosis...................................................................................................................9
5. Komplikasi..............................................................................................................10
6. Penatalaksanaan......................................................................................................14
B. Hiperbilirubin................................................................................................................22
1. Definisi....................................................................................................................22
2.Klasifikasi................................................................................................................23
3. Etiologi....................................................................................................................26
4.Tanda dan Gejala......................................................................................................29
5.Patofisiologi.............................................................................................................30
6.Diagnosis..................................................................................................................32
7.Komplikasi...............................................................................................................35
8.Pencegahan...............................................................................................................35
9. Penatalaksanaan Medis............................................................................................36
BAB III TINJAUAN KASUS...............................................................................................42
BAB IV KAJIAN / ANALISA ASUHAN KEBIDANAN.....................................................46
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................................51
TINJAUAN KEPUSTAKAAN..............................................................................................52
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Bayi baru lahir harus menjalani proses adaptasi dari kehidupan di dalam rahim
(intrauterine) ke kehidupan di luar rahim (ekstrauterin). Pemahaman terhadap
adaptasi dan fisiologi bayi baru lahir sangat penting sebagai dasar dalam memberikan
asuhan. Perubahan lingkungan dari dalam uterus ke ekstrauterin dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti kimiawi, mekanik, dan termik yang menimbulkan perubahan
metabolik, pernapasan dan sirkulasi pada bayi baru lahir normal. Penelitian telah
menunjukkan bahwa lebih dari 50% kematian bayi terjadi dalam periode neonatal
yaitu dalam bulan pertama kehidupan.
WHO (2012) menyebutkan bahwa asfiksia adalah kegagalan
bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Sedangkan menurut
Ikatan Dokter Anak Indonesia Asfiksia adalah kegagalan napas secara spontan dan
teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan
hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis (Depkes RI, 2008). Sementara itu, ikterus
adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan
bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin
serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila
kadar bilirubin yang tidak dikendalikan ( Markum, A.H 1991).
Selama observasi yang dilakukan di ruangan perinatologi RSUD Pariaman,
Penulis menemukan kasus bayi baru lahir dengan gestasi cukup bulan dan berat
badan lahir 3300 gram yang mengalami asfiksia neonatorum dan hiperbilirubin. Nilai
Apgar saat lahir adalah 6/7. Dalam rentang 24 jam pertama di rawat di ruang
perinatologi, ditemukan ikterik di seluruh tubuh (hingga ke kaki). Karena itu, Penulis
merasa tertarik untuk menyusun laporan kasus serta melakukan kajian asuhan
kebidanan pada bayi NyD dengan asfiksia neonatorum dan hiperbillirubin.
B.Tujuan Penulisan
Tujuan umum
Untuk mengetahui tentang kajian asuhan kebidanan pada bayi NyD dengan
asfiksia neonatorum dan hiperbilirubinemia.
Tujuan Khusus
a. Diketahuinya tentang asfiksia neonatorum
b. Diketahuinya tentang hiperbilirubinemia
c. Diketahuinya tentang laporan kasus pada bayi NyD dengan asfiksia
neonatorum dan hiperbilirubinemia
d. Diketahuinya tentang kajian asuhan kebidanan pada bayi NyD dengan
asfiksia neonatorum dan hiperbilirubinemia
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Asfiksia
1. Definisi
Asfiksia merupakan hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis.
Bila proses ini berlangsunh lama dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian.
Asfiksia juga dapat memperngaruhi fungsi organ vital lainnya (Saifuddin, 2011)
Asfiksia adalah keadaan bayi yang tidak bernafas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir. Seringkali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan
mengalami asfiksia sesudah persalinan (JNPK-KR, 2008).
WHO (2012) menyebutkan bahwa asfik sia adalah kegagalan bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Sedangkan menurut Ikatan Dokter
Anak Indonesia Asfiksia adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia,
hiperkarbia dan asidosis (Depkes RI, 2008).
AAP dan ACOG (2004) dalam IDAI (2012) menyebutkan asfiksia perinatal
pada seorang bayi menunjukkan karakteristik sebagai berikut yaitu Asidemia
metabolik atau campuran (metabolik dan respiratorik) yang jelas yaitu PH <7 pada
sampel darah yang diambil dari arteri umbilikal, nilai apgar 0-3 pada menit ke-5,
manifestasi nerologi pada periode BBL segera, termasuk kejang, hipotonia, koma
3
atau ensefalopatia hipoksik iskemik dan terjadi disfungsi sistem multiorgan segera
pada periode bayi baru lahir.
2. Etiologi
Menurut IDAI (2012) terdapat beberapa faktor risiko terjadinya asfiksia pada
bayi baru lahir yaitu :
a. Faktor risiko antepartum meliputi :
Diabetes, hipertensi, anemia janin, perdarahan pada trimester I dan II, infeksi
ibu, ibu dengan penyakit jantung, ginjal, paru dan
arteriosus
sekarang
melalui
oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh. Pada akhir masa transisi
normal,
bayi
menghirup
udara
mendapatkan oksigen.
Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan
dari jalan napasnya. Oksigen dan pengembangan paru merupakan rangsang
utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam
pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi
7
dengan
penurunan
frekuensi
jantung
selanjutnya
bayi
akan
dan
gangguan
berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbulkan
kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya (Morales, at. al.
2011)
4. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan gangguan/kesulitan bernapas waktu lahir
dan lahir tidak bernafas/menangis. Pada anamnesis juga diarahkan untuk
mencari faktor resiko.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat
berat ringannya asfiksia yaitu :
Tanda
Frekuensi Jantung
Tidak ada
Usaha Bernafas
Tidak ada
Lambat, tidak
teratur
Ekstrimitas Flexi
Sedikit
Menangis kuat
Tonus Otot
Lumpuh
Refleks
Tidak ada
Gerakan sedikit
Menangis
Warna
Biru/ pucat
Tubuh kemerahan
ekstrimitas biru
Tubuh dan
ekstremitas
kemerahan
Gerakan Aktif
Keterangan :
Skor Apgar 7-10 : Asfiksia ringan
Skor Apgar 4-6 : Asfiksia sedang
Skor Apgar 0-3 : Asfiksia berat
5. Komplikasi
Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan dapat
pula terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada keadaan hipoksia
akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti otak, jantung,
dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak dibandingkan organ
lain seperti kulit, jaringan muskuloskeletal serta organ-organ rongga abdomen dan
rongga toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal dan traktus gastrointestinal.
Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan
energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis anerobik.
Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruvat) menimbulkan
peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH darah sehingga
10
hipoksia terjadi dua proses yang saling berkaitan sebagai penyebab perdarahan
peri/intraventrikular.
Pada proses pertama, hipoksia akut yang terjadi menimbulkan vasodilatasi
serebral dan peninggian aliran darah serebral. Keadaan tersebut menimbulkan
peninggian tekanan darah arterial yang bersifat sementara dan proses ini ditemukan
pula pada sirkulasi kapiler di daerah matriks germinal yang mengakibatkan
perdarahan. Selanjutnya keadaan iskemia dapat pula terjadi akibat perdarahan
ataupun renjatan pasca perdarahan yang akan memperberat keadaan penderita. Pada
proses kedua, perdarahan dapat terjadi pada fase pemulihan pasca hipoksia akibat
adanya proses reperfusi dan hipotensi sehingga menimbulkan iskemia di daerah
mikrosirkulasi periventrikular yang berakhir dengan perdarahan.
c. Sistem pernapasan
Penyebab terjadinya gangguan pernapasan pada bayi penderita asfiksia
neonatus masih belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori mengemukakan
bahwa hal ini merupakan akibat langsung hipoksia dan iskemianya atau dapat pula
terjadi karena adanya disfungsi ventrikel kiri, gangguan koagulasi, terjadinya
radikal bebas oksigen ataupun penggunaan ventilasi mekanik dan timbulnya
aspirasi mekonium.
d. Sistem kardiovaskuler
12
13
6. Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah mempertahankan kelangsungan
yang dikerjakan pada bayi, lazim disebut resusitasi bayi baru lahir. Prinsip
dasar
ketuban jernih, apakah bayi bernapas atau menangis dan apakah tonus otot bayi baik
atau kuat.
Bila semua jawaban ya maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam
prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan,
diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga
suhu. Bila terdapat jawaban tidak dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi
memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan yaitu:
1) Langkah awal dalam resusitasi
Memberikan kehangatan
Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas dalam keadaan telanjang agar
panas dapat mencapai tubuh bayi dan memudahkan eksplorasi seluruh
tubuh. Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi
hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus.
15
Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung pada
keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium. Bila terdapat mekoneum dalam
cairan amnion dan bayi tidak bugar (bayi mengalami depresi pernapasan,
tonus otot kurang dan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit) segera
dilakukan penghisapan trakea sebelum timbul pernapasan untuk mencegah
sindrom aspirasi mekonium. Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah
pemasangan laringoskop dan selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian
dengan kateter penghisap dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan
trakea sampai glottis Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun
bayi tampak bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti
pada bayi tanpa mekoneum.
16
pernapasan. Karenanya cukup satu atau dua tepukan pada telapak kaki atau
gosokan pada punggung.
17
2) Penilaian
18
Pernapasan
Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dan
dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil. Pernapasan yang
megap-megap adalah pernapasan yang tidak efektif dan memerlukan intervensi
lanjutan.
Frekuensi jantung
Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi jantung
dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian dikalikan 10 sehingga
akan dapat diketahui frekuensi jantung permenit.
Warna kulit
Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh. Setelah
frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada sianosis sentral
yang menandakan hipoksemia. Warna kulit bayi yang berubah dari biru menjadi
kemerahan adalah petanda yang paling cepat akan adanya pernapasan dan
sirkulasi yang adekuat. Sianosis akral tanpa sianosis sentral belum tentu
menandakan kadar oksigen rendah sehingga tidak perlu diberikan terapi oksigen.
Hanya sianosis sentral yang memerlukan intervensi.
b. Pemberian oksigen
19
Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen.
Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan sungkup
oksigen, sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece resuscitator dan
selang/pipa oksigen.
Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila tidak terdapat
sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap baik
walaupun konsentrasi oksigen sama dengan konsentrasi oksigen ruangan. Bila bayi
kembali sianosis, maka pemberian oksigen perlu dilanjutkan sampai sianosis sentral
hilang. Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah arteri dan oksimetri
untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal.
20
d. Kompresi dada
Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah
dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada
(cardiac massage) terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu
menekan jantung ke arah tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal dan
memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital tubuh.
Kompresi dada hanya bermakna jika paru-paru diberi oksigen, sehingga
diperlukan 2 orang untuk melakukan kompresi dada yang efektif-satu orang
menekan dada dan yang lainnya melanjutkan ventilasi. Orang kedua juga bisa
melakukan pemantauan frekuensi jantung, dan suara napas selama ventilasi tekanan
positif. Ventilasi dan kompresi harus dilakukan secara bergantian.
e. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dapat dilakukan pada setiap tahapan resusitasi sesuatu
dengan keadaan, antara lain beberapa keadaan berikut saat resusitasi. Jika terdapat
mekoneum dan bayi mengalami depresi pernapasan, maka intubasi dilakukan
sebagai langkah pertama sebelum melakukan tindakan resusitasi yang lain, untuk
membersihkan mekoneum dari jalan napas.
Jika ventilasi tekanan positif tidak cukup menghasilkan perbaikan kondisi,
pengembangan dada, atau jika ventilasi tekanan positif berlangsung lebih dari
21
22
B. Hiperbilirubin
1. Definisi
Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar
nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001). Nilai normal bilirubin indirek 0,3 1,1
mg/dl, bilirubin direk 0,1 0,4 mg/dl. Hiperbillirubin ialah suatu keadaan dimana
kadar billirubinemia mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan
kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik (Prawirohardjo, 1997).
Ikterus merupakan perubahan warna kuning pada kulit, membrane mukosa,
sclera dan organ lain yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin di dalam
darah dan ikterus sinonim dengan jaundice.
Ikterus adalah warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena
adanya bilirubin pada jaringan tersebut akibat peningkatan kadar bilirubin dalam
darah
(Brooker, 2001).
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat
23
2.Klasifikasi
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis menurut Tarigan (2003) dan Callhon (1996) dalam
Schwats (2005) adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
Timbul pada hari kedua ketiga
Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg % pada
neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan (kadar
bilirubintak terkonjugasi pada minggu pertama >2mg/dl). Pada bayi cukup
bulan yang mendapatkan susu formula, kadar bilirubin akan mencapai
puncaknya sekitar 6-8mg/dl pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan
menurun cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat
24
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktorfaktor
lain.
Sebagai
contoh,
bayi
prematur
akan
memiliki
puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan
berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina
cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5
setelah lahir.
Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir
meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup
eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan
konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
b. Ikterus Pathologis/ hiperbilirubinemia
Ikterus patologis/hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan dimana kadar
konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai nilai yang mempunyai potensi untuk
menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Ikterus yang kemungkinan
menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut :
1) Menurut Surasmi (2003) bila :
Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran
Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg % atau > setiap 24 jam
Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg % pada neonatus < bulan dan
25
Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia,
hipoksia,
sindrom
gangguan
pernafasan,
infeksi,
hipoglikemia,
menetek, penurunan BB yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak
stabil)
Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari
Daerah Ikterus
Perkiraan kadar
Bilirubin (rata-rata)
Aterm
Prematur
5,0
9,0
9,4
12,4
11,4
16,0
13,3
26
3. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
a. Produksi
yang
mengeluarkannya,
berlebihan. Hal
misalnya
ini
pada
melebihi
hemolisis
kemampuan
yang
bayi
untuk
meningkat
pada
inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD,
piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi hepar.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein.
Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel
hepar.
c. Gangguan
transportasi
karena
kurangnya
albumin
yang
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar
oleh penyebab lain.
e. Hiperbilirubin pada bayi baru lahir paling sering timbul karena fungsi hati masih
belum sempurna untuk membuang bilirubin dari aliran darah
.
Hiperbilirubin juga bisa terjadi karena beberapa kondisi klinis, di antaranya
adalah:
a. ikterus fisiologis merupakan bentuk yang paling sering terjadi pada bayi baru
lahir. Jenis bilirubin yang menyebabkan pewarnaan kuning pada ikterus disebut
bilirubin tidak terkonjugasi, merupakan jenis yang tidak mudah dibuang dari
tubuh bayi. Hati bayi akan mengubah bilirubin ini menjadi bilirubin terkonjugasi
yang lebih mudah dibuang oleh tubuh. Hati bayi baru lahir masih belum matang
sehingga masih belum mampu untuk melakukan pengubahan ini dengan baik
sehingga akan terjadi peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang ditandai
sebagai pewarnaan kuning pada kulit bayi. Bila kuning tersebut murni
disebabkan oleh faktor ini maka disebut sebagai ikterus fisiologis
b. Breastfeeding jaundice, dapat terjadi pada bayi yang mendapa air susu ibu (ASI)
eksklusif. Terjadi akibat kekurangan ASI yang biasanya timbul pada hari kedua
atau ketiga pada waktu ASI belum banyak dan biasanya tidak memerlukan
pengobatan.
c. Ikterus ASI (breastmilk jaundice), berhubungan dengan pemberian ASI dari
seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang
disusukannya bergantung pada kemampuan bayi tersebut mengubah bilirubin
28
indirek. Jarang mengancam jiwa dan timbul setelah 4-7 hari pertama dan
berlangsung lebih lama dari ikterus fisiologis yaitu 3-12 minggu.
d. Ikterus pada bayi baru lahir akan terjadi pada kasus ketidakcocokan golongan
darah (inkompatibilitas ABO) dan rhesus (inkompatibilitas rhesus) ibu dan janin.
Tubuh ibu akan memproduksi antibodi yang akan menyerang sel darah merah
janin sehingga akan menyebabkan pecahnya sel darah merah sehingga akan
meningkatkan pelepasan bilirubin dari sel darah merah.
e. Lebam pada kulit kepala bayi yang disebut dengan sefalhematom dapat timbul
dalam proses persalinan. Lebam terjadi karena penumpukan darah beku di
bawah kulit kepala. Secara alamiah tubuh akan menghancurkan bekuan ini
sehingga bilirubin juga akan keluar yang mungkin saja terlalu banyak untuk
dapat ditangani oleh hati sehingga timbul kuning
kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 mol/l. Gejala utamanya adalah kuning
di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejalagejala:
a. Dehidrasi. Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntahmuntah)
b. Pucat. Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan
golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah
ekstravaskular.
c. Trauma lahir. Bruising, sefalhematom (peradarahan kepala), perdarahan
tertutup lainnya.
d. Pletorik (penumpukan darah). Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh
keterlambatan memotong tali pusat.
e. Letargik dan gejala sepsis lainnya.
f. Petekiae (bintik merah di kulit). Sering dikaitkan dengan infeksi congenital,
sepsis atau eritroblastosis.
g. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) Sering berkaitan dengan
anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
h. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa), Omfalitis (peradangan
umbilikus), Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
i. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
j. Feses dempul disertai urin warna coklat. Pikirkan ke arah ikterus obstruktif,
selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.
5.Patofisiologi
Produksi bilirubin berasal dari pemecahan hemoglobin, dimana dalam keadaan
normal, sel darah merah akan pecah dalam waktu 120 hari. Pada bayi premature akan
30
lebih mudah pecah, yaitu 80-90 hari. Hal inilah yang menyebabkan kadar bilirubin
pada bayi premature cenderung untuk meningkat.
Transportasi bilirubin melalui hepar untuk diproses, bilirubin indirek atau
uncojugated di dalam tubuh dan bersifat larut dalam lemak akan berikatan dengan
albumin masuk ke hati untuk diproses menjadi bilirubin indirek atau conjugated yang
bersifat larut dalam air. Dimana setelah diproses melalui hati, berubah menjadi
urobilinogen yang mewarnai air seni dan sterkobilinogen yang mewarnai feses
Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Keadaan yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin
pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran eritrosit, polisitemia. Gangguan pemecahan bilirubin plasma juga
dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila
kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu bilirubin ini akan
bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan ada
bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak.
Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila bilirubin tadi
dapat menembus darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kern ikterus. Pada umumnya dianggap
bahwa kelainan pada syaraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar
bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar bilirubin melewati darah
otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin indirek akan
31
mudah melewati darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir
Rendah, hipoksia, dan hipolikemia.
6.Diagnosis
a. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat
digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus
kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan
metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat
masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif
segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut. WHO dalam
panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
kurang.
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
tampak kuning.
b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis
ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum
32
bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat
meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin
total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil).
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin
total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
c. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan
prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang
gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit
neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat
dipengaruhi
pigmen
kulit.
Saat
ini,
alat
yang
dipakai
menggunakan
studi
observasional
prospektif
untuk
mengetahui
akurasi
8.Pencegahan
Ikterus dapat dicegah dan dihentikan peningkatannya dengan :
a. Pengawasan antenatal yang baik.
b. Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa
kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole, novobiosin, oksitosin dan
c.
d.
e.
f.
g.
lain-lain.
Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus.
Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus.
Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir.
Pemberian makanan yang dini.
Pencegahan infeksi
9. Penatalaksanaan Medis
Ikterus fisiologis tidak memerlukan penanganan yang khusus, kecuali
pemberian minum sedini mungkin dengan jumlah cairan dan kalori yang cukup.
Pemberian minum sedini mungkin akan meningkatkan molitas khusus dan juga
menyebabkan bakteri di introduksi ke usus. Bakteri dapat merubah bilirubin direct
menjadi urobilin yang dapat di absorpsi kembali. Dengan demikian, kadar bilirubin
serum akan turun. Meletakkan bayi di bawah sinar matahari selama 15-20 menit, ini
di lakukan setiap hari antara pukul 6.30 8.00.
Selama ikterus masih terlihat, perawat harus memperhatikan pemberian minum
dengan jumlah cairan dan kalori yang cukup dan pemantauan perkembangan ikterus.
35
Apabila ikterus makin meningkat intensitasnya, harus segera di catat dan di laporkan
karena mungkin di perlukan penanganan yang khusus.
a. Tindakan umum
Memeriksa golongan darah ibu (Rh, ABO) dan lain lain pada waktu hamil
Mencegah trauma lahir, pemberian obat pada ibu hamil atau bayi baru lahir
b. Tindakan khusus
Setiap bayi yang kuning harus di tangani menurut keadaannya. Bila kadar
bilirubin serum bayi tinggi, sehingga di duga akan terjadi kern ikterus,
hiperbilirubenia tersebut harus diobati dengan tindakan berikut:
36
difusi. Di dalam darah fotobilirubin berikatan dengan albumin dan di kirim ke hati.
Fotobilirubin kemudian bergerak ke empedu dan di ekskresikan kedalam duodenum
untuk di buang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh hati. Hasil fotodegradasi
terbentuk ketika sinar mengoksidasi bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.
Fototerapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar
bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab kekuningan dan hemolisis dapat
menyebabkan anemia. Secara umum fototerapi harus diberikan pada kadar bilirubin
indirek 4-5 mg/dl. Noenatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram
harus difototerapi dengan konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa ilmuwan
37
lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam, untuk
orang
tua
untuk
memberikan
rangsang
visual
pada
penutup mata.
Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya
mungkin.
Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu.
Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses, dan muntah
diukur, dicatat dan dilakukan pemantauan tanda dehidrasi
Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin serum barada dalam batas normal,
terapi sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah,
perlu dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak
efektif atau bayi menderita dehidrasi, hipoksia, infeksi, dan gangguan metabolisme.
38
Energi
cahaya
fototerapi
dapat
meningkatkan
suhu
lingkungan
dan
Timbul kelainan kulit di daerah muka badan dan ekstremitas, dan akan segera
hilang setelah terapi berhenti. Di laporkan pada beberapa bayi terjadi bronze
baby syndrome, hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan
segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara dan tidak
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
c. Transfusi Pengganti
Transfuse pengganti atau imediat didindikasikan adanya faktor-faktor :
Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu
Penyakit hemolisis berat pada bayi baru lahir
Penyakit hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama
Kadar bilirubin direk labih besar 3,5 mg/dl di minggu pertama
Serum bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl pada 48 jam pertama
Hemoglobin kurang dari 12 gr/dl
Bayi pada resiko terjadi kern Ikterus
Mengatasi anemia sel darah merah yang tidak susceptible (rentan) terhadap
(kurang dari 2 hari), Rh negative whole blood. Darah yang dipilih tidak
mengandung antigen A dan antigen B. Setiap 4 -8 jam kadar bilirubin harus di cek.
Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
40
BAB III
TINJAUAN KASUS
: 17 Juli 2013
: 18 Juli 2013
No. MR
Pukul
: 05 55 01
: 09.30 wib
I. PENGUMPULAN DATA
A. IDENTITAS
Nama bayi
: By. Ny. Dona Indriyani
Umur bayi
: 1 hari
Tgl/Jam lahir : 17 Juli 2013 pukul 12.20 Wib
Jenis kelamin :
Berat badan : 3300 gram
Panjang badan: 48 cm
Nama
Umur
Suku
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
Nama Suami
Umur
Suku/Bangsa
Agama
Pendidikan
Pekerjaan
Alamat
: Tn. Hendri
: 38 tahun
: Minang
: Islam
: SMA
: Swasta
: Sicincin
B. DATA SUBJEKTIF
Keluhan utama bayi :
Bayi baru lahir pukul 12.20 wib tanggal 17-7-2013 secara sectio caesaria atas
indikasi bekas sectio 2 kali, warna kulit kemerahan, tidak segera menangis,
merintih dan nafas cuping hidung, ketuban jernih. A/S 6/7 BB 3300 gram JK
perempuan, masuk ke ruang neonatologi tanggal 17-7-2013 pukul 13.30 wib.
1. Riwayat Penyakit Kehamilan :
a. Perdarahan
: tidak ada
b. Pre-eklampsia
: tidak ada
41
c. Eklampsia
d. Penyakit kelamin
e. Lain-lain
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
: normal
: tablet tambah darah dan vitamin
: tidak ada
: tidak ada
: tidak ada
Apperance
(Warna kulit)
( ) ( ) biru/pucat
( 1) (1) tubuh
kemerahan tangan
dan kaki biru
( )( )
kemerahan
Pulse
(Frek.
Jantung)
( ) ( ) tidak ada
( ) ( ) >100
Grimate
(reflek)
( ) ( ) tdk
bereaksi
(1) ( ) gerakan
sedikit
( ) (2) menangis
Activity
(aktifitas/tonus
otot)
Respiratory
(usaha nafas)
( ) ( ) lumpuh
( ) ( ) extremitas
Fleksi sedikit
( ) ( ) tidak ada
( ) ( ) menangis
kuat
G
A
Jumlah
=5 menit berikutnya
42
C. DATA OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum
b. Suhu
c. Pernafasan
d. Nadi
e. BB sekarang
: sedang
: 36,7 C
: 44 kali/menit
: 150 kali/menit
: 3300 gram
: ada
: ada
: ada
: ada
: ada
: ada
4. Antropometri
a. Lingkar Kepala
b. Lingkar Dada
c. Lingkar Lengan Atas
d. Lingkar Perut
: 34 cm
: 32 cm
: 11 cm
: 33 cm
43
5. Eliminasi
a. Miksi
b. Defekasi
: sudah ada
: sudah ada
BAB IV
KAJIAN / ANALISA ASUHAN KEBIDANAN
Bayi Ny. D masuk ruang neonatologi tanggal 17-7-2013 pukul 13.30 wib.
Bayi lahir pukul 12.20 wib tanggal 17-7-2013 secara sectio caesaria atas indikasi
bekas sectio 2 kali, warna kulit kemerahan, tidak segera menangis, merintih dan nafas
cuping hidung, ketuban jernih. A/S 6/7 BB 3300 gram JK perempuan.
Setelah dilakukan pemeriksaan, ditetapkan bayi Ny.D mengalami asfiksia
neonatorum, dan oleh dokter diinstruksikan diberikan O2 1 ltr/mnt, infuse D10% 6
tts/mnt serta cek Hb dan GDR menunjukan hasil Hb 19,1 gr% dan GDR 414 mg/dl.
Cek Hb ulang dilakukan 2 kali lagi yaitu jam 21.30 wib GDR 91 mg/dl dan jam 23.30
wib GDR 94 mg/dl.
Perkembangan hari ke-2, bayi Ny.D tanda vital dalam kisaran normal,
namun ditemukan ikterik hingga ke kaki. Atas instruksi dokter, dilakukan cek ulang
GDR dan kadar bilirubin dengan hasil GDR 61 mg/dl, kadar bilirubin total 6,40
mg/dl, diagnose bayi berkembang menjadi asfiksia dan hiperbilirubin serta terapi
yang direncanakan antara lain fototerapi, IUFD D10% + 20 cc Calcium Gluconas,
ampicillin 300 mg/12 jam, gentamicin 8 mg/12 jam, ASI 8 x 3 cc.
Berdasarkan teori, asfiksia neonatorum yang terjadi pada bayi Ny.D
disebabkan oleh factor risiko yang memicunya yaitu lahir dengan sectio caesaria.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (2012) menyebutkan bahwa asfiksia pada bayi dapat
45
disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor persalinan yang meliputi
partus lama, partus dengan tindakan (seksio Caesaria, vakum ekstraksi/forsep).
Varney (2008) juga menyebutkan bahwa kegagalan pernafasan pada bayi baru
lahir dapat disebabkan karena persalinan dengan tindakan, partus lama, trauma
kelahiran, infeksi serta penggunaan obat-obatan selama persalinan seperti analgesia.
Bayi yang lahir melalui seksio sesarea, terutama jika tidak ada tanda persalinan,
tidak mendapatkan manfaat dari pengurangan cairan paru dan penekanan pada toraks
sehingga mengalami paru-paru basah yang lebih persisten.
Situasi ini dapat mengakibatkan takipnea sementara pada bayi baru lahir. Di
samping itu bayi lahir dengan seksio sesarea yang mengalami asfiksia juga berkaitan
dengan tindakan anestesi yang mempunyai pengaruh depresi pusat pernafasan bayi.
Asuhan kebidanan yang dapat diberikan kepada bayi dengan asfiksia tergantung
pada keadaan asfiksia. Segera setelah bayi lahir lakukan penilaian terhadap bayi
apakah bayi cukup bulan, apakah air ketuban jernih atau bercampur mekonium,
apakah menangis atau bernafas dan apakah tonus otot baik. Jika terdapat tardapat
masalah atau gangguan pada bayi seperti bayi tidak menangis atau tidak bernafas
atau megap-megap atau tonus otot tidak baik maka dapat dilakukan penanganan
dengan melakukan resusitasi.
Pada kasus bayi Ny.D, setelah lahir melalui sectio caesaria, bayi tidak segera
menangis, hanya merintih dan nafas cuping hidung. Air ketuban waktu lahir juga
jernih dan tidak ada pewarnaan mekonium. Bayi kemudian hanya diberikan O 2 1
ltr/mnt bayi dan infuse D 10% 6 tt/mnt dan tidak memerlukan tindakan resusitasi
46
bayi Ny.D mengalami ikterik derajat IV karena kuning pada sub kutis mencakup
kepala, leher, dada, tangan dan kaki di bawah lutut.
Pencegahan yang dapat dilakukan pada bayi baru lahir agar tidak menderita
hiperbilirubinemia adalah pemberian minum secara dini (early feeding). Mekanisme
fisiologisnya tidak diketahui
pasti
tetapi
dapat
menurunkan
sirkulasi
enterohepatik. Jika dibandingkan bayi yang tidak minum selama 24-48 jam
kehidupan dan bayi yang mendapat minum secara dini maka bayi yang mendapat
minum secara dini mempunyai
kadar
bilirubin
yang
rendah
(Merestein,
Gardner, 2002)
Pemberian pendidikan menjadi fokus utama pada ibu-ibu yang lahir dan
melahirkan, pendidikan kesehatan biasanya mengenai penjelasan tentang menyusui
dan perawatan bayi baru lahir. Menurut
pandangan
konsultan
laktasi
dan
pada
prenatal, antenatal
akan
menjadi
salah
satu
pendidikan
hambatan
Di Amerika Serikat
sinar serta penggunaan media pemantulan sinar. Panjang gelombang sinar yang paling
efektif untuk menyerap bilirubin adalah sinar biru dengan panjang gelombang 425
475 nm (nanometer) yang mempunyai intensitas sinar yang tinggi.
Menggeser sinar lebih dekat ke bayi akan meningkatkan intensitas sinar.
Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi adalah badan bayi, harus diposisikan di
pusat sinar, tempat intensitas sinar paling tinggi. Fototerapi menggunakan media
pemantulan sinar yaitu kain dan plastik putih yang diletakkan di sisi kanan dan kiri
neonatus ternyata memberikan hasil peningkatan intensitas sinar.
49
BAB V
KESIMPULAN
Asfiksia
merupakan
kegagalan
bernapas
secara
spontan
dan
teratur segera setelah lahir. Asfiksia neonatorum masih merupakan masalah pada
bayi baru lahir dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.
Hiperbilirubin adalah suatu kedaaan dimana kadar bilirubin serum total yang
lebih dari 10 mg % pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit,
sclera dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus,
yaitu keadaan kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak.
Kasus bayi Ny. D yang lahir dengan sectio caesaria atas indikasi bekas sectio
2 kali pada tanggal 17-7-2013 pukul 12.20 wib didiagnosa mengalami asfiksia
neonatorum dan hiperbilirubin.
Asfiksia neonatorum yang terjadi pada bayi Ny.D disebabkan oleh factor
risiko yang memicunya yaitu lahir dengan sectio caesaria. Ikatan Dokter Anak
Indonesia (2012) menyebutkan bahwa asfiksia pada bayi dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah faktor persalinan yang meliputi partus lama,
partus dengan tindakan (seksio caesaria, vakum ekstraksi/forsep).
Pencegahan yang dapat dilakukan pada bayi baru lahir agar tidak menderita
hiperbilirubinemia adalah pemberian minum secara dini (early feeding). Terapi medis
yang diberikan pada bayi Ny.D berdasarkan instruksi dokter untuk mengatasi
hiperbilirubin adalah dengan terapi sinar (fototerapi)
50
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Morales, at. al. 2011. Pathophysiology of perinatal asphyxia: can we predict and
improve
individual
outcomes?.
Diakses
dalam
http://rarediseases.about.com/cs/kernicterus/a/090703.htm
Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.
97-103
WHO. 2010. Recommendations on Basic Newborn Resuscitation. WHO Library
Cataloguing-in-Publication
Data.
Diakses
dalam
:
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/75157/1/9789241503693_eng.pdf
Ngatisyah.2005. Perawatan Anak Sakit Edisi 2.Jakarta: EGC
Nelson, W.E., Behrman, R.E., Kliegman, R., Arvin, A.M. (2000). Nelson Ilmu
Kesehatan Anak, vol:1, 5thed. Jakarta:EGC.
Surasmi, Asrining ,dkk.2011.Perawatan Bayi Resiko Tinggi.Jakarta: EGC
Dewi, V.N.L. (2010). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba
Medika
Cunningham, F.G, et al. 2013. Williams Obstetric, 23rd edition. Mc GrawHill: New
York
Enkin, et al. 2000. A Guide to Effective care in Pregnancy and ChildBirth, 3rd
Edition. Oxfod University Press: London
Fraser, D dan Cooper, M. 2009. Myles Buku Ajar Bidan. Jakarta. EGC
Gamble, et al. 2007. A Counselling Model for Postpartum Women After Distressing
Birth
Experiences.
Journal
of
Midwifery
25.
doi:10.1016/j.midw.2007.04.004. Pg.e21-e30.
51
Oxorn H dan Forte W. 2010. Ilmu Kebidanan: Patologi dan Fisiologi Persalinan.
Andi offset dan yayasan essential Medica. Yogyakarta
Saifuddin, A, 2011. Ilmu Kebidanan..PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jakarta.
____________, 2009. Buku Acuan Kesehatan Maternal dan Neonatal. PT. Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
52