Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jika lihat dari perkembangan hidup manusia, suatu hukum tersebut bisa terjadi mulai
dari diri manusia yang telah diberikan kesempurnaan yaitu berupa akal dan pikiran yang
belum tentu dimiliki oleh makhluk lain. Dimana perilaku-perilaku tersebut nantinya akan
menjadi kebiaasaan pribadi yang kemudian akan di ikuti oleh masyarakat sekitar yang
lambat laun akan menjadi suatu adat. Setelah adat terbentuk pada suatu masyarakat, mereka
akan saling mempercayai hal-hal yang dilakukan secara turun temurun tersebut. kemudian
kebiasaan masyarakat ini lambat laun akan menjadikan adat tersebut sebagai adat yang mau
tidak mau harus diikuti bagi semua masyarakat yang ada pa tempat tertentu yang memiliki
sanksi-sanksi, baik berupa sanksi moral, maupun sanksi dari Pemangku Adat setempat.
Perkembangan zaman maupun kemajuan teknologi dan gaya hidup masyarakat modern
ternyata sangat sulit untuk meninggalkan kebiasaan yang hidup didalam peri kehidupan
masyarakat, walaupun demikian mungkin hanya terlihat dalam proses zaman yaitu
kebiasaan tersebut slalu dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan keadaan dan
kehendak zaman, sehingga kebiasaan atau adat itu tetap berkembang dan lestaridalam
keberadaannya saat ini.
Oleh karena itu kami mengajak halayak banyak untuk melestarikan adat serta budaya
Indonesia mulai dari sabang sampai marauke.adat bangsa Indonesia ini slalu berkembang
dan senantiasa bergerak dan mengikuti peradaban-peradaban bangsa di dunia. Adat istiadat

yang hidup ditengah-tengah kita merupakan hal yang sangat mengagumkan bagi Hukum
Adat kita sebagai hukum asli dari masyarakat dan bangsa Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah corak Hukum Adat Indonesia?
2. Bagaimanakah sistem Hukum Adat Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui dan memahami corak-corak Hukum Adat Indonesia.
2. Untuk mengidentifikasi sistem Hukum Adat Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Adat


Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan
para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan serta
mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya serta merta dan ditaati
dengan sepenuh hati. Hukum adat dalam proses abadi dibentuk dan dipelihara oleh dan
dalam keputusan pemegang kekuasaan (Tolib Setiady,S.H M.Pd., M.H)
B. Unsur-Unsur Pembentuk Hukum Adat
Unsur-unsur hukum adat dengan perpedoman atau batasan hukum adat dari Prof.
Dr SOEPOMO, S.H, ditambah dengan formulasi Hukum adat dari para pakar yang
berkumpul di Yogyakarta dalam seminar Hukum Adat dan pembinaan hukum Nasiaonal
tersebut dimuka, maka dapat dinyatakan bahwa terwujud Hukum Adat itu di pengaruhi
Agama.
Seminar sendiri menyatakan Hukum adat merupakan Hukum Indonesia asli yang
tidak tertulis dalam bentuk Perundang-undangan Republik Indonesia, yang di sana sini
mengandung Unsur Agama.Pandangan bahwa unsur Agama memberi pengaruh terhadap
perwujudan Hukum Adat bukanlah pandangan baru, sebab menurut Prof.Dr.
SOEKANTO ( 1985 :57 ) dinyatakan sebagai berikut:
Jika kita mengeluarkan pertanyaan hukum apakah menurut kebenaran, keadaan
yang bagian terbesar terdapat dalam Hukum Adat, maka jawabannya adalah Hukum
Melayu Polinesia yang asli itu dengan disana sini sebagai bagian yang sangat kecil adalah
hukum Agama.

Demikian pula Prof.Mr.Mm Djojodigoeno mengemukakan batasan yang sama


karna beliau berpandangan sebagai berikut. unsur lainya yang tidak begitu besar artinya
atau luas pengaruhnya ialah unsur-unsur ke agamaan , teristimewa unsu-unsur yang
dibawa oleh agama Islam, pengruh Agama Hindu dan Kristenpun ada juga.
Dengan denikian kita sepakat bahwa pengaruh Agama terhadap proses
terwujudnya Hukum Adat sangat bersifat umum dan diakui oleh para pakar Hukum adat
pada umumnya. Contohnya sebagai berikut.
Rangkaian adat di Lombok terutama di desa Bayan, kecamatan Bayan pada
prosesi adat yang bernama Maulid Adat. Maulid adat ini dilakukan satu tahun sekali
setiap acara maulid Nabi. Yang membedakan maulid yang ada di Desa Bayan dengan
daerah-daerah lain yaitu dilakukan secara adat tradisional khas Bayan dengan
menggunakan baju adat. Baju adat yang digunakan masih bercorak Hindu. Disini kita
dapat melihat bahwa agama dapat mempengaruhi dan menjadi unsure dalam suatu adat
yang kita lakukan.
Jadi, setelah kita melihat definisi dari para pakar dan sepenggal contoh tersebut
dapat disimpulkan bahwa agama sangatlah mempengaruhi lahirnya adat manusia. Semua
adat yang dilakukan oleh masyarakat indonesia kebanyakan mengaitkannya dengan
agama. Mereka melakukan kegiatan tersebut sejak nenek moyang mereka lahir dan masih
berkembang sampai sekarang.

C. Wujud Hukum Adat


Di dalam masyarakat hukum adat terlihat dalam 3 wujud yaitu :
1. Hukum yang tidak tertulis (Ius Non Scriptum)

2. Hukum yang tertulis (ius Scriptum)


Misalnya :
Perturan perundang-undangan yang dikeluarkan raja-raja atau sultan-sultan dahulu
di jawa, Bali, dan di Aceh.
3. Uraian-uraian Hukum secara tertulis lazimnya.
Uraiannya berupa hasil penelitian yang dibukukan seperti antara lain :
Buku hasil penelitian Soepomo yang berjudul Hukum Perdata Adat Jawa
Barat dan buku hasil penelitian Jaya Diguno/Tirta winata yang diberi judul Perdata
Adat Jawa Tengah.
D. Sifat Hukum Adat
Menurut Prof. Mr, F.D HOLEMAN ada empat sifat umum Hukum Adat
1. Sifat Relegium Magis
Sehubung dengan sifat Religio Magis ini Dr. Kuntjara Ninggrat dalam tesnya
menulis bahwaalam fikiran Religio Magis itu mempunyai Unsur-unsur sebagai
berikut:
a. Kepercayaan kepada mahluk Halus,Roh_roh Dan Hantu-hantu yang menempati
seluruh alam semesta dan khusus terhadap gejala-gejala alam, tumbuhan,
b.

binatang, tibuh manusia, dan benda-benda lainya.


Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan
khusus terdapat pada pristiwa-peristiwa luar baisa,tumbuh-tumbuhan yang

luarbiasa ,benda-benda yang luar biasa,dan suara-suara yang luar biasa.


c. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang fasip itu dipergunakan sebagai
magischeb krachtdalam berbagai perbuatan ilmu ghaib untuk mencapai
kemauan manusia untuk menolak bahaya ghaib.

d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan saksi dalam alam menyebabkan keadaan


krisis ,menyebabkan timbulnya berbagaimacam bahaya ghaib yang hanya dapat
di hindari atau di hindarkan dengan berbagai macam pantangan.

2. Sifat Komun ( Comun/ Masyarakat )


Adalah suatu corak yang khas dari masyarakat kita yang masih sangat
terpencil atau dalam kehidupan sehari-hari masih sanagat tergantung pada tanah atau
alam pada umumnya. Masyarakat desa atau senantiasa memegang peranan yang
menentukan pertimbangan putusan yang tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan.
Keputusan desa adalah berat berlaku terus dalam keadaan apaun juga harus di patuhi
dengan hormat.
Prof.Dr. Achmad Sanusi, S.H, M.P.A (1991 : 126 ) Ditegaskan Bahwa dalam
hal sifat Comun ini:
Setiap orang merasa dirinya benar-benar selaku anggota masyarakat bukan
sebagai oknum yang berdiri sendiri terlepas dari imbangan-imbangan sesamanya, ia
menerima hak serta menanggung kewajiban sesuai dengan kedudukannya.
Kepentingan pribadi seseorang selalu diimbangi oleh kepentingan umum. Demikaian
sama pula halnya dengan hakhak pribadi seseoranng selalu di imbangi dengan
kepentingan umum. Hak-hak subyektif dijalankan dengan memperhatikan fungsi
sosialnya.
Ia terikat kepada sesamanya, kepada kepala adat dan kepada masyarakatnya.
Lahirlah keinsyafan akan keharusan tolong menolong, gotong royong, dalam
mengerjakan suatu kepentingan dalam masyarakat. Cara-cara bertindak dalam

hubungan sosial ataupun hukum selalu di sertai asas-asas permusyawaratan,


kerukunan, perdamaian, keputusan dan keadilan.
3. Sifat Kontant
Sifat kontant atau Tunai ini mengandung arti bahwa dengan suatu perbuatan
nyata atau suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang di
maksud telah selesai seketika itu juga dengan serentak bersama itu juga dengan
serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan
oleh adat.
Contoh :
Jual beli lepas, Perkawinan Jujur, melepaskan Hak atas tanah, adopsi dan sebagainya.
4. Sifat Konkrit ( Visual )
Didalam arti berfikir yang tentu senantiasa di coba dan di usahakan supaya
hal-hal yang dimaksud, dininginkan, dikhendaki atau di kerjakan, di transpormasikan
atau diberi wujud suatu benda, diberi tanda yang kelihatan baik langsung maupun
menyerupai obyek yang di kehendaki.

Contoh :
Panjer di dalam jual beli atau dalam hal memindahkan hak atas tanah, Paningset
(payangcang) dalam pertunanangan, membalas dendam terhadap yang membuat
patung, boneka atau barang lain lalu barang itu di musnahkan, dibakar atau di
pancung.

E. Corak Hukuk Adat


Prof. Hilman Hadikusumah, S.H., menegaskan bahwa Hukum Adat Indonesia yang
normatif pada umumnya menunjukkan corak-corak sebagai berikut:
1.

Tradisional
Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional , artinya bersifat turun
temurun dari zaman nenek moyang sampai ke anak-cucu-cicit sekarang dimana
keadaannya masih tetap berlaku dan tetap dipertahankan oleh masyarakat yang
bersangkutan. Secara tidak langsung tradisi yang telah dilakukan oleh orang tua atau
nenek moyang kita terdahulu akan memberikan inspirasi kepada keturunan mereka
bahwa tradisi itu harus dipertahankan. Mereka lambat laun akan mempercayai hal-hal
yang berbau mitos menjadi hal yang bisa masuk akal.
Misalnya:
a. Di dalam hukum kekerabatan Adat Suku Sasak
Kekerabatan orang sasak terutama Bangsawan menarik garis keturunan lakilaki, sejak dahulu sampai sekarang adat kekerabatan tersebut masih terus
dilakukan. Perempuan yang garis keturunan bangsawan harus menikah dengan
laki-laki keturunan bangsawan. Sedangkan wanita yang tidak menikah dengan

keturunan bangsawan atau menikah dengan masyarakat menak (masyarakat


biasa), maka garis keturunan wanita akan mengikuti laki-laki tanpa membawa
gelar kebangsawanannya. Didalam kekerabatan tersebut laki-laki paling
ditonjolkan dalam keluarga, sebab menurut mereka laki-laki merupakan pemimpin
dan imam bai anak dan istri mereka kelak.
b. Di Bayan, Lombok Utara
Corak tradisional di Lombok utara di tandai dengan ketentuan bahwa dalam
hukum kewarisan berupa harta tetap seperti rumah, sawah dan lain-lain
berdasarkan patrilinial (garis keturunan laki-laki) dengan aturan nyenyong
berbanding melembah. Nyenyong disini merupakan sebutan bagi perempuan dan
melembah untuk laki-laki. Artinya laki-laki memperoleh bagian yang lebih
banyak dari perempuan, walaupun perempuan tersebut lebih tua dari laki-laki.
Jika hartaitu berupa aset tidak tetap seperti rumah atau perabot maka yank berhak
atas semua itu adalah perempuan.
2. Keagamaan
Hukum adat itu pada umumnya bersifat magis relegius yaitu sifat keagamaan
artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan
terhadap yang Ghaib dan atau berdasarkan ajaran Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Menurut kepercayaan Bangsa Indonesia, bahwa di alam semesta ini benda-benda itu
serba berjiwa (animism), benda-benda itu punya daya bergerak (dinamisme) di sekitar
kehidupan manusia itu ada roh-roh halus yang mengawasi kehidupan manusia (jin,
malaikat, dan lain-lain), dan alam jagat ini ada karena ada yang menciptakan yaitu Yang
Maha Pencipta. Oleh karenanya apabila manusia akan memutuskan atau menetapkan,

mengatur, menyelesaikan suatu karya (hajat) biasanya berdoa memohon keridhoan Yang
Maha Pencipta, Yang GHaib, dengan harapan bahwa hajat tersebut dapat berjalan sesuai
dengan yang dikehendaki dan tidak melanggar pantangan atu pamali yang dapat
mengakibatkan timbulnya kutukan dari Tuhan Yang Maha Kuasa (prof. Hilman
Hadikusumah).
Misalnya:
Adat masyarakat terutama yang beragama islam dalam memulai pembicaraan, datang
bertamu, selalu mengucapkan salam. Karna itu merupan ajaran Rasullah dan harus kita
terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Umat hindu (Bali) ditempat-tempat tertentu
mereka mendirikan tugu tempat sesajen.
Corak keagamaan di dlam Hukum Adat ini sudah tertian di dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke-3 yang berbunyi : atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorong keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
3. Kebersamaan
Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (communal), artinya ia
lebih mengutamakan kepentingan bersama dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh
kepentingan bersama ( satu untuk semua. Semua untuk satu). Hubungan hukum antara
anggota masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya didasarkan oleh rasa
kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong. Oleh karenanya
hingga sekarang kita masih dapat melihat adanya tanah pusaka yang tidak dibagi-bagi
secara individual melainkan menjadi milik bersama untuk kepentingan bersama. Di
pedesaan jika ada tetangga yang terkena musibah atau kematian, para tetangga akan

saling berdatangan untuk menyampaikan bela sungkawa, atau masyarakat sasak di


Lombok menyebutnya dengan Belangar. Belangar ini merupakan adat yang diterapkan
dimana seseorang akan membawa berupa beras atau gula untuk dibawa ketempat acara
kematian tersebut. Semua ini dilakukan untuk meringankan beban keluarga yang
ditinggalkan.
4. Konkrit dan Visual
Corak Hukum Adat adalah Konkrit, artinya jelas, nyata berwujud, Visual artinya
dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak sembunyi. Jadi, sifat hubungan hukum yang
berlaku di dalam Hukum Adat itu adalah terang dan tunai, tidak samar-samar, terang
disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang lain, dan nampak terjadi ijab Kabul
( serah terima).
Misalnya:
a. Di dalam jual beli jatuh bersamaan waktunya antara pembayaran harga dengan
penyerahan barangnya. Jika barang diterima pembeli akan tetapi harganya belum
dibayar, maka hal itu bukanlah jual beli, melainkan utang piutang.
b. Dalam perjanjian jual beli tanah misalnya, di mana pihak pembeli dan penjual
sepakat akan tetapi harga tanahnya belum dibayar dan tanahnyapun belum
deserahkan oleh penjualnya. Biasanya pembeli member uang panjer sebagai tanda
pengikat (tanda jadi). Artinya si penjual tanah tidak boleh lagi menjual tanahnya pada
orang lain.
5. Terbuka Dan Sederhana
Corak Hukum Adat Terbuka, artinya dapat menerima masuknya unsur-unsur yang
datanng dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri.
Sederhana, artinya bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasinya, bahkan

kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan saling


percaya mempercayai.
Keterbukaan, misalnya dapat dilihat dari masuknya Agama Hindu dalam hukum
perkawinan adat yang disebut Kawin Anggau, yaitu jika suami wafat maka si istri kawin
lagi dengan saudara si suami. Atau masuknya pengaruh Agama Islam didalam hukum
waris adat yang disebut pembagian sagendong sapikul (bagian warisan bagi ahli waris
pria dan wanita berbanding 2:1).
Kesederhanaannya, dapat dilihat dari contoh sebagai berikut.
a. Terjadinya transaksi-transaksi yang berlaku tanpa surat menyurat, misalnya
didalam perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarap cukup
adanya kesepakatan ke dua belah pihak secara lisan dengan tanpa adanya surat
menyurat dan kesaksian dari Kepala Desa.
b. Dalam transaksi gadai, sewa-menyewa, Hutang-piutanng, Tukar-menukar, sangat
sederhana karena tidak menggunakan bukti tertulis.
c. Dalam system perkawinan (masa lampau) memang tidak menggunakan surat
kawin, bahkan sampai sekarangpun dikalangan kaum petani dan nelayan kecil
(miskin) di daerah terpencil masih banyak yang tidak membutuhkan surat kawin,
apalagi mengingat biayanya cukup mahal.
d. Dalam pembagian warisan menurut Hukum Adat, jarang sekali dibuatkan surat
menyurat tanda pembagian dan banyaknya bagian dari para ahli waris.

6. Dapat Berubah Dan Menyesuaikan


Menurut prof. Dr. Supomo, S.H., sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Prof. Mr.
Cornellis Van Vollenhoven dinyatakan sebagai berikut: Hukum Adat terus menerus
dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Hukum Adat pada
waktu yang telah lampau agak berbeda isinya. Hukum adat menunjukkan perkembangan,
dan seterusnya.
Di Indonesia Hukum Adat menyesuaikan diri dengan kehidupan bangsa yang ada di
Indonesia sepanjang perjalanan sejarahnya (Moch Koesnnoe 1993:67). Dengan demikian
Hukum adat dapat berubah menurut keadaan, waktu dan tempat.
Adat yang Nampak sekarang sudah jauh berbeda dari adat di masa Hindia Belanda.
Dahulu kebanyakan transaksi jual-beli, pembagian harta warisan, pinjam meminjam tidak
pernah dibuat bukti tertulis, namun sekarang seiring dengan perkembangan zaman dan
kemajuan di bidang pendidikan, serta banyaknya tindakan penipuan di masyarakat, maka
transaksi tersebut dibuat dengan menggunakan system surat menyurat walaupun masih
terbatas di bawah tangan belum dilakukan di hadapan Notaris.
Maka tertinggallah adat yang tak lekang dipanas dann tak lapuk dihujan, karena telah
berubah sesuai dengan tuntutan perkembangan pola perilaku masyarakat sekarang.
7. Tidak Dikodifikasi
Hukum Adat kebanyakan tidak tertulis walaupun ada juga di antaranya yang dicatat
didalam aksara daerah , bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang tidak sistematis,
namun hanya sekedar sebagai pedoman dan bukan mutlak harus dilaksanakan oleh
anggota masyarakat, kecuali yang bersifat perintah Tuhan.

Jadi, hukum adat pada umumnya tidak dikodifikasikan seperti halnya hukum barat
( Eropa) yang disusun secara teratur dan sistematis di dalam kitab yang disebut kitab
Perundang_undangan, sehingga oleh karena hukum adat mudah berubah dan dapat
menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
8. Musyawarah dan Mufakat
Hukum Adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat di dalam keluarga,
didalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan baik untuk memulai sesuatu pekerjaan
maupun didalam mengakhiri pekerjaan apalagi yang bersifat peradilan didalam
menyelesaikan perselisihan antara satu dengan yang lainnya.
Didalam menyelesaikan perselisihan selalu diutamakan jalan penyelesaian secara
rukun dan damai dengan musyawarah mufakat, tidaklah tergopoh-gopoh begitu saja
langsung menyampaikannya atau menyelesaikannya ke pengadilan Negara. Jalan
penyelesaian damai yang demikian sangat membutuhkan adanya itikat baik dari para
pihak dan adanya semangat yang adil dan bijaksana dari orang yang dipercayakan sebagai
penengah, atau semangat dari Majelis Permusyawaratan Adat.

F. Sistem Hukum Adat


Suatu sistem adalah susunan yang teratur dari berbagai unsur, dimana unsur yang satu
dengan yang lain secara fungsional saling bertautan sehingga memberikan suatu kesatuan
pengertian.
Selanjutnya berbicara mengenai sistem hukum adat ini Prof. Dr. Soepomo, S.H.,
menyebutkan sebagai berikut.

Tiap-tiap hukum merupan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya merupakan


suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam fikiran, begitupun Hukum Adat. Sistem
Hukum Adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran Bangsa Indonesia yang tidak sama
dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar sistem hukum
adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup didalam masyarakat
Indonesia.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka apabila dibandingkan dengan
Hukum Barat (Eropa) sistematik Hukum Adat Orang Lampung yang disebut Kuntjara Raja
Niti (tidaklah sistematis oleh karena tidak dikelompokkan kaidah-kaidah hukum yang
sama, uraian pasal-pasalnyapun melompat).
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka Sistem Hukum Adat adalah mencakup
hal-hal sebagai berikut.
1. Mendekati Sistem Hukum Inggris
Menurut Prof. Mr. Mm. Djojodigeono, dikatan bahwa Dalam Negara
Aglo Saxon dimana sistem Common Law tidak lain daripada sistem hukum adat
hanya bahannya berlainan. Didalam Hukum Common Law bahannya membuat
banyak unsur-unsur Hukum Romawi Kuno yang konon katanya telah
mengalami Receptio In Complexu.
Kemudian didalam Encilopedia Americana (1983) dikatakan Bahwa
Civil Law di Eropa Barat dan daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Orang
Eropa bertindak kepada Hukum Romawi, bersumber dari badan legislatif dan
berbentuk kodifikasi sedangkan Common Law di Inggris dan didaerah-daerah lain
yang kebanyakan berasal dari keputusan-keputusn hakim. Oleh karenanya istilah

Common Law merupakan hukum yang disebut sebagai Judge Made Law berbeda
Civil Law yang merupakan statury law.
Common Law di Inggris berkembang sejak formulaan abad ke
IX dibawah kekuasaan Raja William The Qonqueror yang meletakkan dasardasar pemerintahan pusat pada peradilan Raja yang disebut Curia Regis yaitu
peradilan yang menyelsaikan berbagai perkara suatu perselisihan secara damai.
Jadi, di Inggris dikenal adanya Juru Damai yang disebut Justice of the
peac. Hal ini mirip Peradilan Adat (peradilan desa) di Indonesia yang
menyelsaikan perkara perselisihan secara damai (dimasa-masa lalu dan sekarang
sudah tidak berlaku). Namun di Inggris seseorang menuntut orang lain di Muka
Hakim Pidana tanpa melalui badan penuntut.
2. Tidak membedakan Hukum Publik dan Hukum Privat
Hukum Adat kita tidak seperti halnya Hukum Eropa dimana membedakan
antara hukum yang bersifat publik dan bersifat perdata. Hukum publik yang
menyangkut kepentingan umum seperti Hukum Ketata Negaraan yang mengatur
tugas-tugas pemerintahan dan anggota-anggota masyarakat. Hukum Perdata dan
Hukum Sipil (privat) yang mengatur hubungan antara anggota-anggota
masyarakat yang satu dengan yang lainnya, dan anggota masyarakat terhadap
badan negara sebagai badan hukum.
Pembagian Hukum Publik Hukum Privat ini berasal dari Hukum Romawi.
Hukum Publik dipertahankan oleh pribadi-pribadi individu. Hukum adat tidak
membedakan berdasarkan kepentingan dan siapa yang mempertahankannya dari
kepentingan yang dimaksud. Dengan demikian tidak ada perbedaan antara
kepentingan umum dan kepentingan khusus.
3. Tidak Membedakan Hak Kebendaan Dan Hak Perorangan

Hukum Adat tidak membedakan antara hak kebendaan (zakelijke rechten) yaitu
hak yang berlaku bagi setiap orang dan hak perseorangan (persolijke
rechken) yaitu hak seseorang untuk menuntut orang lain agar berbuat atau tidak
berbuat terhadap hak-haknya.
Menurut Hukum Barat atau Eropa setiap orang yang mempunyai hak atas sesuatu
benda berarti ia berkuasa untuk berbuat (menikmati, memakai, mentransaksikan)
benda miliknya itu dan sekaligus karenanya mempunyai hak perseorangn atas hak
miliknya itu. Antara kedua hak itu tidak terpisah. Namun menurut Hukum Adat,
hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan baik berwujud benda maupun tidak
berwujud benda seperti hak atas nyawa, kehormatan hak cipta dan lain-lainnya
tidak bersifat mutlak sebagai hak pribadinnya sendiri oleh karena pribadinya tidak
lepas hubungan dengan kekeluargaan dan kekerabatannya.
4. Tidak membedakan Pelanggaran Perdata dan Pidana
Hukum Adat juga tidak membedakan antara perbuatan yang sifatnya
pelanggaran hukum perdata dan pelanggaran hukum pidana sehingga perkara
perdata diperiksa oleh hakim perdata dan perkara pidana diperiksa oleh hakim
pidana.
Menurut peradilan adat kedua pelanggaran dimaksud yang dilakukan
seseorang diperiksa, dipertimbangkan dan diputuskan sekaligus dalam suatu
persidangan yang tidak terpisah.
Misalnya:
A memiliki hutang kepada B, setelah B 2 kali menagih kepada A akan
tetapi A tidak nampak berusaha untuk melunasi hutangnya. Ketika B menagih A

untuk ketiga kalinya, bukannya B dilayani dengan baik namun malah memukul B
sampai kepalanya terluka. B kemudian melaporkan perkara tersebut ke pihak
yang berwenang untuk di sidangkan di pengadilan.
Menurut Hukum Barat (Eropa), perkara penganiayaan itu diperiksa oleh
Hakim Pidana dan perkara utang piutang di periksa oleh Hakim Perdata dalam
pengadilan yang terpisah. Namun Menurut Hukum Adat, kedua perkara tersebut
diperiksa sekaligus dalam persidangan (misalnya diputus oleh hakim bahwa A
bersalah dan dihukum agar melunasi hutangnya dan membayar denda pula kepada
B atas perbuatan penganiayaannya, kemudian keluarga B wajib meminta maaf
dan hidup rukun kembali dengan keluarga A). dengan demikian kehidupan yang
terganggu didalam kehidupam masyarakat yang bersangkutan dikembalikan
(dipulihkan) seperti sedia kala.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan yang fundamental dalam sistem ini
menurut Soerojo Wignjoedipoero, S.H., (1990:70) pada hakikatnya disebabkan
oleh karena hal-hal sebagai berikut:
a. Corak serta sifat yang berlainan antara Hukum Adat dan Hukum Barat
(Eropa),
b. Pandangan hidup (volkgeist) yang mendukung kedua macam hukum itupun
berbeda.
Aliran Hukum Barat bersifat libralistis dan bercorak nasionalistisintelektuallis, sedangkan aliran Timur khususnya aliran pikiran tradisional
Indonesia bersifat kosmis, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia
ghoib, dunia manusia berhubungan erat dengan segala hidup di alam ini. Segala
sesuatu memiliki sangkut paut dan saling mempengaruhi.

Menurut Abdoel Djamali (2008), berdasarkan sumber hukum dan tipe


hukum adat dari sembilan belas daerah mengenai tata negara di indonesian sistem
hukum adat dibagi menjadi tiga kelompok:
a. Hukum adat mengenai tata negara (tata susunan rakyat). Hukum adat iini
mengatur tentang susunan dari dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan
hukum(rechtsgemenschappen) serta susunan dan alat-alat kelengkapan,
jabatan-jabatan dan penjabatannya.
b. Hukum Adat mengenai warga (hukum warga) terdiri dari:
1.
Hukum pertalian sanak (perkawinan, warisan);
2.
Hukum tanah (hak tanah, transaksi-transaksi tanah);
3.
Hukum perhutangan (hak-hak atasan, transaksi-transaksitentang benda
selain tanah dan jasa).
c. Hukum adat mengenai delik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan
tentang berbagai delik dan reaksi masyarakat terhadapp pelanggaran hukum
pidana tersebut.

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Dengan demikian sumber hukum adat Indonesia adalah berasal dari kehidupan
sehari-hari yang langsung timbul sebagai kenyataan kebudayaan orang Indonesia asli.
Berbagai macam corak dan sistem hukum adat yang ada di Indonesia, namun masingmasing daerah di Indonesia memiliki cirri khas tersendiri. Mereka memiliki aturan masingmasing dalam menjalankan adat istiadat mereka.

B.

Saran
Lestarikanlah budaya dan adat dimanapun kalian berada tanpa meninggalkan nilainilai keagamaan yang menjadi keyakinan dalam setiap diri manusia. Tetaplah menjadi
manusia yang penuh rasa hormat terhadap budaya dan juga adat dari manusia ataupun
kelompok manusia lainnya. Karena kita berpijak diatas tanah Indonesia, dalam masyarakat
yang heterogen, Negara yang kaya akan warisan budaya dan adatnya yang dipersatukan
dalam semboyamnya Negara kita Bhineka Tunggal Ika.

DAFTAR PUSTAKA

Abdoel Djamali R. S.H., (2008), Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grapindopersa, Jakarta.
Achmad Sanusi, Prof. Dr. S.H.,(1991), Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum
Indonesia, Penerbit Tarsito, Bandung.
Hilman Hadikusuma, Prof. S.H.,(1992), Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,
Bandung.
Menurut Abdoel Djamali (2008)
Soekanto, Prof. Dr. Mr., (1985), Meninjau Hukum Adat Indonesia, Penerbit CV. Rajawali,
Jakarta.
Soepomo, R. Prof. Dr. S.H,(1993), Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Penerbit PT Raja Pradnya
Pramita, Jakarta.
Soerojo Wignjoedipoero, S.H, (1990:70),Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Haji
Masagung, Jakarta.
Tolib Setiadi, Bey, S.H. M. Pd.,(2000),Pokok-Pokok Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit EmpatTiga, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai