Anda di halaman 1dari 2

Kebijakan Berjalan dalam Gelap

Alexandra Retno Wulan

Tue Jun 13 2006

Koran Tempo - 30 June 2009


siapa pun yang akan mengambil kekuasaan dalam pemerintahan berikutnya harus
memastikan efektivitas serta pencapaian departemen luar negeri dan kinerja pemerintah
secara keseluruhan
Salah satu pilar penyangga utama kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama sejak
perjanjian Westphalia 1648, adalah kebijakan luar negeri. Jika elemen kebijakan luar negeri
merupakan sebuah hal yang signifikan, kebutuhan untuk melakukan review kinerja
departemen luar negeri selama lima tahun terakhir menjadi sangat penting untuk pemerintah
selanjutnya, terlepas dari siapa pun yang akan terpilih pada 8 Juli 2009. Adalah hal yang tidak
mudah kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin untuk melakukan kaji ulang ataupun
penilaian terhadap kebijakan luar negeri Indonesia selama lima tahun terakhir.
Terdapat tiga argumentasi utama untuk mendukung pernyataan tersebut. Argumentasi
pertama dari pernyataan ini adalah tidak adanya dasar yang dapat dijadikan acuan untuk
melakukan penilaian terhadap kebijakan luar negeri Indonesia selama lima tahun terakhir.
Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda tidak pernah berhasil mengeluarkan cetak
biru maupun buku putih kebijakan luar negeri Indonesia. Selama lima tahun terakhir, Menteri
Wirajuda selalu mengawali tahun dengan pidato yang secara tersirat merefleksikan kerja
departemennya di tahun yang telah berlalu dan memberikan deskripsi terhadap apa yang akan
dilakukan departemennya pada tahun yang sedang berjalan. Tapi pidato-pidato ini kemudian
tidak secara tegas dan sistematis menjelaskan proyeksi kebijakan luar negeri Indonesia
maupun langkah-langkah diplomasi yang harus ditempuh untuk mencapai proyeksi tersebut.
Dengan demikian, menjadi tidak mudah untuk mencari benang merah kebijakan luar negeri
Indonesia maupun justifikasi dari setiap kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Menteri
Wirajuda dari tahun ke tahun selama lima tahun terakhir ini. Selain itu, penilaian terhadap
keberhasilan maupun kegagalan niscaya tidak mungkin untuk dilakukan dengan ketiadaan
buku putih maupun cetak biru kebijakan luar negeri, yang secara normatif menjadi acuan
maupun indikator penilaian tersebut.
Argumentasi kedua adalah adanya ketidakjelasan kepemimpinan nasional Indonesia dalam
elemen hubungan luar negeri. Selama lima tahun terakhir ini, Indonesia seperti memiliki
beberapa komandan tertinggi ataupun arsitek untuk kebijakan luar negerinya. Presiden
sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan menugasi orang pilihannya sendiri untuk menjajaki
kemungkinan proses mediasi di Burma. Wakil presiden sebagai orang kedua dalam
pemerintahan melakukan inisiasi negosiasi perdamaian di Aceh, yang kini bahkan dijadikan
rebutan hasil pencapaian selama musim kampanye pemilihan presiden. Adapun Menteri
Wirajuda sebagai kepala departemen juga mengarahkan dan menjalankan kebijakan luar
negeri Indonesia.
Belum lagi Indonesia juga memiliki jabatan baru untuk wakil menteri luar negeri dalam
periode pemerintahan yang sedang berjalan ini. Berbagai ilustrasi ini tentunya semakin
menambah keruwetan serta mengaburkan fungsi, peran dan wewenang kepemimpinan
nasional dalam konteks kebijakan luar negeri. Sebagai konsekuensinya, sulit untuk

melakukan penilaian terhadap siapa yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan
ataupun kegagalan kebijakan luar negeri Indonesia selama periode lima terakhir.
Argumentasi ketiga adalah tidak adanya wadah formal yang menjamin berlangsungnya
mekanisme komunikasi dan hubungan baik antardepartemen yang terkait dengan
pembentukan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia. Selama lima tahun terakhir,
Indonesia mengandalkan mekanisme informal dalam komunikasi antardepartemen yang
terkait dengan berbagai isu dalam pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam bidang
batas teritorial dan sengketa wilayah dengan beberapa negara tetangga, misalnya, departemen
luar negeri sudah seharusnya bekerja sama dengan departemen pertahanan. Tetapi tidak
adanya institusi formal semacam Dewan Keamanan Nasional membuat Indonesia harus
mengandalkan mekanisme informal antardepartemen
Mekanisme informal tentunya tidak dapat menjamin keberlangsungan komunikasi dan
hubungan baik antara departemen luar negeri dan departemen lain yang pada tahap lanjut
dapat mengacaukan keseluruhan bangunan berbangsa dan bernegara Indonesia. Sulit
dibayangkan apa yang terjadi terhadap Indonesia apabila Menteri Wirajuda dan Menteri
Pertahanan Juwono Sudarsono sedang tidak berniat menjalin hubungan informal yang baik
antardepartemen pada saat Indonesia tengah menghadapi sengketa wilayah teritorial dengan
Malaysia.
Jelas tidak mungkin menegasikan peran dan usaha keras Menteri Wirajuda dan segenap
organisasi departemen luar negeri Indonesia yang sudah secara aktif melakukan banyak hal
dalam diplomasi dan negosiasi, terutama selama lima tahun terakhir. Namun, berbagai
argumentasi dan ilustrasi di atas secara obyektif membuktikan sulitnya melakukan penilaian
terhadap keberhasilan maupun kegagalan kinerja Menteri dan Departemen Luar Negeri
Indonesia selama lima tahun terakhir ini. Kegagalan melakukan penilaian dapat memberikan
kontribusi negatif terhadap keseluruhan bangunan kebijakan luar negeri Indonesia di masa
mendatang. Karena itu, setidaknya tiga catatan penting di atas harus segera diperhatikan oleh
siapa pun yang akan mengambil kekuasaan dalam pemerintahan berikutnya untuk
memastikan efektivitas serta pencapaian departemen luar negeri dan kinerja pemerintah
secara keseluruhan.
http://www.csis.or.id/publications/page/kebijakan_berjalan_dalam_gelap.html

Anda mungkin juga menyukai