Inervasi
Inervasi
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
etmoid,
sinusitis
frontal dan
sinusitis
sfenoid
lebih
jarang
2.2
Sinus Maksila
Pada waktu lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil disebelah
medial orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung,
kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi sama
tinggi (Ballenger, 1994).
Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna terjadi
setelah erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15
dan 18 tahun. Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal
yang terbesar, bentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya kearah apeks prosessus zygomaticus os maksila. Menurut
Moris pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir
78 x 46 mm dan untuk usia 15 tahun 3132 x 1820 x 1920 mm. Sinus
maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 68 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Ballenger, 1994; Soetjipto
dan Mangunkusumo, 2000).
Perdarahan pada sinus maksila meliputi cabang arteri maksilaris
termasuk infraorbita, cabang lateral nasal dari arteri sfenopalatina, arteri greater
palatine serta anterior superior dan posterior dari arteri alveolaris, sedangkan
vena yang mendarahinya adalah vena maksilaris yang berhubungan dengan
plexus vena pterygoid (Amedee, 1993).
Sinus maksila ini mendapat persarafan dari nervus maksilaris (V2) yang
mempersarafi sensasi dari mukosa dibagian lateroposterior nasal dan cabang
superior alveolar dari nervus infraorbita (Amedee, 1993).
Sinus maksila mempunyai beberapa dinding yaitu:
a.
b.
Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita terdiri dari tulang
yang tipis yang dilewati oleh kanalis infra orbitalis (Ballenger, 1994).
c.
d.
e.
Dasar dari sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Pada anak
letaknya sekitar 4 mm diatas dasar cavum nasi , dan
pada dewasa
Sinus Frontal
Perkembangan sinus frontal dimulai pada bulan keempat kehamilan
kemudian berkembang kearah atas dari hidung pada bagian frontal reses
(Amedee, 1993).
Sinus ini jarang tampak pada pemeriksaan rontgen hingga tahun kedua
setelah kelahiran, kemudian sinus ini berkembang secara lambat kearah vertikal
pada tulang frontal dan telah lengkap pada usia remaja (Amedee, 1993).
Sekitar 5% dari populasi mengalami kegagalan pertumbuhan dari sinus
ini. Ukuran sinus frontal pada orang dewasa sekitar 28 x 27 x 17 mm dengan
volume 6 sampai 7 ml. (Amedee, 1993).
Perdarahan pada sinus frontal meliputi cabang supra troklear dan
supraorbital dari arteri optalmikus dan melalui vena superior optalmikus yang
mengalir kedalam sinus kavernosus (Amedee, 1993; Marks, 2000).
ukuran
masing-masing
yang
bervariasi.
Sinus
frontal
sangat
Sinus Etmoid
Sel-sel etmoid mulai terbentuk pada bulan ketiga dan keempat setelah
kelahiran yang merupakan invaginasi dari dinding lateral hidung pada daerah
meatus medial (etmoid anterior) dan meatus superior (etmoid posterior). Saat
setelah lahir, biasanya tiga atau empat sel baru tampak (Amedee, 1993; Marks,
2000).
Secara embriologis, sinus etmoid ini terbentuk dari lima etmoturbinal.
Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid basal lamella (ground
lamella), konka superior dan konka suprema (Amedee, 1993; Marks, 2000).
Sel-sel sinus etmoid ini akan tumbuh secara cepat sehingga pada usia
dewasa mencapai ukuran 20 x 22 x 10 mm pada kelompok sel anterior dan 20 x
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid mulai berkembang saat bulan ketiga setelah kelahiran yang
merupakan invaginasi dari mukosa bagian superior posterior dari kavum nasi,
yang juga dikenal sebagai sphenoethmoidal recess (Amedee, 1993).
2.3
hanya
2.3.2
2.3.3
teori
ini
dianggap
tidak
bermakna
(Soetjipto
dan
Mangunkusumo, 2000).
2.3.4
2.3.5
2.3.6
2.4
umumnya
penyebab
rinosinusitis
adalah
rinogenik,
yang
seperti peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan
drainase sehingga terjadi sinusitis (Mangunkusumo, 2000).
Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka
bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah
sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya (Mangunkusumo,
2000).
Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari
KOM, berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa
ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang
sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih
(Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000).
Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan
terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena
gangguan ventilasi, maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadi
kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga
merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen (Busquets, 2006;
Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000; Wilma, 2007).
Menurut Sakakura (1997), Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal
dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator
diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune
complek, lipolisaccharide dan lain-lain (Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001).
akan menembus
fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah timbunan
transudat didalam rongga sinus (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).
Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yang
berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk
pertumbuhan kuman (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).
Rinosinusitis kronis berbeda dari rinosinusitis akut dalam berbagai
aspek. Rinosinusitis kronis umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan
medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
(Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan alergi dan
defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah
terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis
akut tidak sempurna (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drainase
sekret akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia
rusak dan seterusnya (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
2.5
b.
Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat udema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada
kelainan epitel.
c.
Setelah beberapa jam atau beberapa hari, serum dan lekosit keluar
melalui epitel yang melapisi mukosa, kemudian bercampur dengan
bakteri, debris epitel dan mukus. Pada beberapa kasus, terjadi perdarahan
kapiler, dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula
encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi
koagulasi fibrin dan serum.
d.
e.
Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti
ke tipe purulen, lekosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali.
Resolusi masih mungkin, meskipun tidak selalu terjadi, karena
perubahan jaringan belum menetap, kecuali proses segera berheti,
perubahan jaringan akan terjadi permanen, maka akan terjadi keadaan
kronis. Tulang dibawahnya dapat terlihat tanda osteitis dan akan diganti
dengan nekrosis tulang (Ballenger, 1997).
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi: (1) melalui
tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) perluasan langsung melalui bagian
dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) dengan terjadinya defek; dan (4)
melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah
infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik (Ballenger, 1997).
2.6
Etiologi
Rinosinusitis dapat disebabkan oleh Alergi (musiman, perenial atau
karena pekerjaan tertentu), Infeksi seperti beberapa bakteri patogen yang sering
ditemukan pada kasus kronis adalah Stafilokokus 28%, Pseudomonas
aerugenosa 17% dan S. aureus 30%. Ketiganya ini mempunyai resistensi yang
tinggi terhadap antibiotik, misalnya Pseudomonas aerugenosa resisten terhadap
jenis kuinolon. Jenis kuman gram negatif juga meningkat pada sinusitis kronis
demikian juga bakteri aerobik termasuk pada sinusitis dentogenik. Bakteri
rinosinusitis kronis paling sering adalah Peptococci, Peptostreptococci,
Bacteriodes dan Fusobacteria (Weir dan Wood, 1997; Soetjipto, 2000; Kahmis,
2009).
Rinosinusitis kronis juga dapat disebabkan oleh kelainan (Struktur
anatomi, seperti variasi KOM, deviasi septum, hipertrofi konka) atau Penyebab
lain (idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi,
atrofi) (Weir dan Wood, 1997).
2.6.2
Kekerapan
Pada tahun 2001, menurut laporan tahun 2004 dari US Centers for
Disease Control and Prevention lebih dari 35 juta orang dewasa Amerika
menderita rinosinusitis atau sekitar 17,4% dari seluruh orang dewasa di Amerika
Serikat, bahkan rinosinusitis kronis lebih banyak dari penyakit jantung dan
migrain, terlihat dari data dibawah ini: posisi sinusitis diantara penyakit lain
(Metson dan Mardon, 2006).
63.2
Hipertensi
41.8
Artritis
41.2
Rinosinusitis
35.5
Cervical pain
34.0
Migrain
33.9
Penyakit jantung
23.5
Asma
22.2
Hay fever
20.4
Gastritis
18.9
Diabetes
13.0
UI/RSCM bahwa dari 496 pasien rawat jalan di sub-bagian ini didapati 50%
nya dengan rinosinusitis kronis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi
operasi BSEF (Soetjipto, 2006).
Iriani dkk (1996) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis
kronis yang dilakukan tindakan BSEF di Departemen THT-KL FK UNHAS
Ujung Pandang menjumpai rinosinusitis kronis terbanyak pada kelompok umur
16-30 tahun atau sebesar 55,1%.
Muyassaroh dan Supriharti (1999) pada penelitiaanya terhadap terhadap
52 pasien rinosinusitis kronis yang berobat ke SMF THT-KL RSUD Dr. Kariadi
Semarang mendapatkan kelompok terbanyak pada umur (20-29 tahun) atau
(46% : 54%). Kasus rawat inap yang terbanyak yaitu rinosinusitis (41,5%), pada
kelompok umur 30 39 tahun (23,3%) (Sujuthi dan Punagi, 2008).
Dewanti (2008) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis
kronis Dibagian THT-KL FK. UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006
2007 didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 penderita (57,6%) dan
perempuan 50 penderita (42,4%). Sinus yang paling sering terlibat adalah
maksilaris 68 kasus (57,6%), maksilaris-etmoidalis 20 kasus (16,9%) dan 13
kasus (11%) etmoidalis, rinosinusitis unilateral 77 kasus (65,3%) dominasi
dektra; dan bilateral 41 kasus (34,7%). Gejala klinis yang terbanyak ditemukan
adalah obstruksi nasi paling dominan sebanyak 65 kasus (55,1%), dan rinorea
sebanyak 34 kasus (28,8%).
Pada penelitian di poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandung
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 penderita
rinosinusitis kronis atau sebesar 64,29% dari seluruh pasien yang datang ke
poliklinik THT-KL. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sebanyak 82 penderita
(49,08%) dan perempuan 86 penderita (50,92%) (Bagja dan Lasminingrum,
2008).
Pada penelitian lainnya seperti Elfahmi
2.7
makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala
lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya (Ballenger, 1997).
Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika
membungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba digerakkan.
Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat ataupun
saat berada dikamar gelap (Ballenger, 1997).
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari,
dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum
diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi
penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis
vena (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
c. Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin
terjadi pada penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan
permukaan wajah (Ballenger, 1997).
d. Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium
bau yang tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering
adalah hilangnya penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya
sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah konka media. Oleh karena itu
ventilasi pada meatus superior hidung terhalang, sehingga menyebabkan
hilangnya indra penghindu (Ballenger, 1997).
Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament
terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra
penghindu dapat kembali normal setelah infeksi hilang (Ballenger,
1997).
2.7.2
Gejala Objektif
pus
dalam
rongga
hidung
seharusnya
sudah
2.8
Pemeriksaan
2.8.1
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan
Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat
dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas
pemeriksaan radiologik tidak tersedia (Soetjipto dan Mangunkusumo,
2000).
2.8.3
Pemeriksaan radiologi
dari
gigi
atau
daerah
periodontal
(Ballenger,
1997;
2.8.4
Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas
2.9
Diagnosis
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of
Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS)
adalah rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2
gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau
lebih (Setiadi M, 2009).
Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis, gejala mayor
skor diberi skor 2 dan gejala minor skor 1, sehingga didapatkan skor
gejala klinik sebagai berikut; Gejala Mayor: Nyeri sinus = skor 2,
Hidung buntu = skor 2, Ingus purulen = skor 2, Post nasal drip = skor 2,
Gangguan penghidu = skor 2, Sedangkan Gejala Minor: Nyeri kepala =
skor 1, Nyeri geraham = skor 1, Nyeri telinga = skor 1, Batuk = skor 1,
Demam = skor 1, Halitosis = skor 1 dan skor total gejala klinik = 16
Pengukuran skor total gejala klinik dikelompokkan menjadi dua, yaitu;
sedang-berat (skor 8), dan ringan (skor <8) dengan Skor total gejala
klinik: skala nominal (Setiadi M, 2009).
2.10
Penatalaksanaan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi
seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi
adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis,
dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan
yang ditemukan (Waguespack, 1994; Soetjipto, 2000; Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah
bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik
lainnya (Soetjipto, 2000).
A. Medikamentosa
A.1
Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat
diberikan sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup laktamase seperti pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin
klavulanat atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua,
makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan
mencukupi 10 14 atau lebih jika diperlukan (Weir, 1997; Soetjipto,
2000; Ahmed, 2003; Kennedy, 2006; Dubin MG dan Liu C, 2007).
mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat
mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium
dan meningkatkan ventilasi (Soetjipto, 2000; Dubin MG dan Liu C,
2007).
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenylpropanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan
penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati (Soetjipto, 2000).
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap
sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan
pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis
medika mentosa (Soetjipto, 2000).
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis
pada lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru
antihistamin
generasi
pertama
mempunyai
efek
B. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik
adekuat dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan
indikasi tindakan bedah (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus
inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan (Nizar, 2000;
Soetjipto, 2000).
Bedah
sinus
konvensional
tidak
memperlihatkan
usaha
dengan
berkembangnya
pengetahuan
patogenesis
2.11
Komplikasi
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan
antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
A.
B.
Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).
Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila
(Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus (Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
C.
Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis
Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus
paranasal disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat
juga timbul asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
2.12
Kerangka Teori
Gangguan Silia
Gangguan
DrainaseSinus
Perubahan
MukosaSinus
Umur,
JenisKelamin,
Pekerjaan
Infeksi
GejalaKlinis
Rinosinusitis
(Lebihdari12Minggu)
Rinosinusitis
Kronis