Anda di halaman 1dari 33

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Defenisi Rinosinusitis Kronis


Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal
yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari
12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor (Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto, 2006; Setiadi M,
2009).
Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal drip,
gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham,
nyeri telinga, batuk, demam, halitosis. (Judith, 1996; Becker 2003; Soetjipto,
2006; Setiadi M, 2009).
Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi
sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua
sinus paranasal disebut pansinusitis (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan
sinusitis

etmoid,

sinusitis

frontal dan

sinusitis

sfenoid

lebih

jarang

(Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.2

Anatomi Sinus Paranasal


2.2.1

Sinus Maksila
Pada waktu lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil disebelah

medial orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung,
kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi sama
tinggi (Ballenger, 1994).
Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna terjadi
setelah erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15
dan 18 tahun. Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal
yang terbesar, bentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya kearah apeks prosessus zygomaticus os maksila. Menurut
Moris pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir
78 x 46 mm dan untuk usia 15 tahun 3132 x 1820 x 1920 mm. Sinus
maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 68 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Ballenger, 1994; Soetjipto
dan Mangunkusumo, 2000).
Perdarahan pada sinus maksila meliputi cabang arteri maksilaris
termasuk infraorbita, cabang lateral nasal dari arteri sfenopalatina, arteri greater
palatine serta anterior superior dan posterior dari arteri alveolaris, sedangkan
vena yang mendarahinya adalah vena maksilaris yang berhubungan dengan
plexus vena pterygoid (Amedee, 1993).

Universitas Sumatera Utara

Sinus maksila ini mendapat persarafan dari nervus maksilaris (V2) yang
mempersarafi sensasi dari mukosa dibagian lateroposterior nasal dan cabang
superior alveolar dari nervus infraorbita (Amedee, 1993).
Sinus maksila mempunyai beberapa dinding yaitu:
a.

Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os


palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka
inferior dan sebagian kecil os maksilaris. Dinding medial sinus maksila
merupakan dinding lateral hidung dimana terdapat ostium sinus yang
menghubungkan sinus maksila dengan infundibulum ethmoid. Ostium
ini terletak pada bagian superior dari dinding medial, biasanya pada
pertengahan posterior dari infundibulum, sekitar 9 mm ke arah posterior
duktus nasolakrimalis. Ujung posterior dari ostium berlanjut ke lamina
papyracea dari tulang etmoid (Miller dan Amedee, 1998).

b.

Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita terdiri dari tulang
yang tipis yang dilewati oleh kanalis infra orbitalis (Ballenger, 1994).

c.

Dinding posteriorinferior atau dasarnya biasanya paling tebal dan


dibentuk oleh bagian alveolar os maksila atas dan bagian luar palatum
durum. Dinding posterior memisahkan sinus dari fossa infratemporal
dan fossa pterigomaksila (Ballenger, 1994).

d.

Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila yang berhadapan


dengan fossa kanina dan memisahkan sinus dari kulit pipi (Ballenger,
1994).

Universitas Sumatera Utara

e.

Dasar dari sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Pada anak
letaknya sekitar 4 mm diatas dasar cavum nasi , dan

pada dewasa

letaknya 4- 5 mm dibawah dasar cavum nasi (Miller dan Amedee,


1998).
Proses supuratif yang terjadi disekitar gigi ini dapat menjalar ke mukosa
sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat
menimbulkan hubungan dengan ronggga sinus yang akan mengakibatkan
sinusitis (Ballenger, 1994). Anomali fasial atau sinus yang besar dapat juga
menyebabkan sinusitis kronis (Medina, 1999).
2.2.2

Sinus Frontal
Perkembangan sinus frontal dimulai pada bulan keempat kehamilan

kemudian berkembang kearah atas dari hidung pada bagian frontal reses
(Amedee, 1993).
Sinus ini jarang tampak pada pemeriksaan rontgen hingga tahun kedua
setelah kelahiran, kemudian sinus ini berkembang secara lambat kearah vertikal
pada tulang frontal dan telah lengkap pada usia remaja (Amedee, 1993).
Sekitar 5% dari populasi mengalami kegagalan pertumbuhan dari sinus
ini. Ukuran sinus frontal pada orang dewasa sekitar 28 x 27 x 17 mm dengan
volume 6 sampai 7 ml. (Amedee, 1993).
Perdarahan pada sinus frontal meliputi cabang supra troklear dan
supraorbital dari arteri optalmikus dan melalui vena superior optalmikus yang
mengalir kedalam sinus kavernosus (Amedee, 1993; Marks, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Sensasi mukosa sinus frontal ini mendapati persarafan dari percabangan


supratroklear nervus frontal yang berasal dari nervus optalmikus (V1) (Amedee,
1993; Marks, 2000).
Sinus frontal terletak pada tulang frontal dibatas atas supraorbital dan
akar hidung. Sinus ini dibagi dua oleh sekat secara vertikal dibatas midline
dengan

ukuran

masing-masing

yang

bervariasi.

Sinus

frontal

sangat

berhubungan erat dengan tulang etmoid anterior (Amedee, 1993).


Dinding posterior dari sinus ini melebar secara inferior obliq dan
posterior dimana nantinya akan bertemu dengan atap dari orbita. Ostium alami
dari sinus ini terletak di anteromedial dari dasar sinus. Sel-sel infraorbita bisa
terobstruksi dan membentuk mukokel yang terisolasi dari ostium dan sinus
etmoid (Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).
2.2.3

Sinus Etmoid
Sel-sel etmoid mulai terbentuk pada bulan ketiga dan keempat setelah

kelahiran yang merupakan invaginasi dari dinding lateral hidung pada daerah
meatus medial (etmoid anterior) dan meatus superior (etmoid posterior). Saat
setelah lahir, biasanya tiga atau empat sel baru tampak (Amedee, 1993; Marks,
2000).
Secara embriologis, sinus etmoid ini terbentuk dari lima etmoturbinal.
Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid basal lamella (ground
lamella), konka superior dan konka suprema (Amedee, 1993; Marks, 2000).
Sel-sel sinus etmoid ini akan tumbuh secara cepat sehingga pada usia
dewasa mencapai ukuran 20 x 22 x 10 mm pada kelompok sel anterior dan 20 x

Universitas Sumatera Utara

20 x 10 mm pada kelompok sel posterior. Sel-sel etmoid ini biasanya


mengandung 1015 sel persisi dengan total volume 1415 ml (Amedee, 1993;
Marks, 2000).
Perdarahan pada sinus etmoid meliputi cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoidalis anterior dan posterior, cabang arteri optalmikus dari arteri karotis
interna. Sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan etmoidalis yang
mengalir kedalam sinus kavernosus (Amedee, 1993).
Inervasi persarafan dari sinus etmoid ini berasal dari cabang
posterolateral hidung dari nervus maksilaris (V2) dan cabang nervus etmoidalis
dari nervus optalmikus (V1) (Amedee, 1993).
Anatomi dari sinus etmoid ini cukup kompleks, bervariasi dan
merupakan subjek penelitian yang baik. Sinus etmoid memiliki dinding yang
tipis dengan jumlah dan ukuran yang bervariasi. Pada bagian lateral berbatasan
dengan dinding medial orbita (lamina papyracea) dan bagian medial dari kavum
nasi (Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).
Sinus ini terletak di inferior dari fossa kranial anterior dekat dengan
midline. Beberapa sel melebar mengelilingi frontal sfenoid dan tulang maksila.
Kelompok sel anterior kecil-kecil dan banyak, drainasenya melalui meatus
media, sedangkan sel-sel posterior drainasenya melalui meatus superior
(Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000).
2.2.4

Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid mulai berkembang saat bulan ketiga setelah kelahiran yang

merupakan invaginasi dari mukosa bagian superior posterior dari kavum nasi,
yang juga dikenal sebagai sphenoethmoidal recess (Amedee, 1993).

Universitas Sumatera Utara

Pneumatisasi sfenoid ini terjadi selama pertengahan usia kanak-kanak


dan mengalami pertumbuhan yang cepat saat berusia 7 tahun. Sinus ini
mengalami pertumbuhan maksimal dan terhenti setelah berusia 12 sampai 15
tahun (Amedee, 1993).
Sinus sfenoid kiri dan kanan yang asimetris tersebut dibagi oleh septum
intersinus. Ukuran sinus ini sekitar 2,5 x 2,5 x 1,5 mm pada tahun pertama dan
14 x 14 x 12 mm saat berusia 15 tahun. Kapasitas sinus berkisar 7,5 ml
(Amedee, 1993).
Perdarahan sinus sfenoid meliputi cabang arteri sfenopalatina dan arteri
etmoidalis posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan
pleksus pterigoid (Amedee, 1993).
Inervasi persarafan dari sinus sfenoid ini berasal dari cabang nervus
etmoidalis posterior dari nervus optalmikus (V1), dan cabang nasal dan
sfenopalatina dari nervus maksilaris (Amedee, 1993).
Sinus sfenoid ini pada bagian dinding lateralnya berbatasan dengan arteri
karotis interna, nervus optikus dan vena kavernosa serta sinus interkavernosus.
Pada daerah ini juga terdapat bagian ketiga, keempat opthalmikus dan maksilaris
dari nervus kranialis kelima dan keenam (Murray, 1989; Maran, 1990).
Dibagian superior terletak lobus frontalis dan bagian olfaktori. Dibagian
posterior terdapat fosa pituitari. Nervus dan pembuluh darah sfenopalatina
terletak didepan dari sinus sfenoid ini, sedangkan nervus vidianus terletak
dibagian inferiornya (Murray, 1989; Maran, 1990).

Universitas Sumatera Utara

2.3

Fisiologi Sinus Paranasal


Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti dan
masih belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa sinus
paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa karena terbentuknya sebagai akibat
pertumbuhan tulang muka (Ramalinggam dan Sreeramamoorthy, 1990;
Soetjipto dan mangunkusumo, 2000).
Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka sinus dapat
membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan, menghangatkan,
melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan. Kebanyakan
penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal

hanya

berpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit (Soetjipto dan


Mangunkusumo, 2000; Karen dan Edmund, 2010).
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:
2.3.1

Sebagai pengatur kondisi udara (air coditioning)


Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan
dan mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat
sanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif
antara sinus dan rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosa
sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa
hidung (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.3.2

Sebagai penahan suhu (thermal insulators)


Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas,
melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang
berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak
terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi (Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2000).

2.3.3

Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat
tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang,
hanya akan memberikan penambahan berat sebesar 1% dari berat kepala,
sehingga

teori

ini

dianggap

tidak

bermakna

(Soetjipto

dan

Mangunkusumo, 2000).
2.3.4

Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara
dan mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat,
posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai
resonator yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara
dan besarnya sinus pada hewan tingkat rendah (Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.3.5

Sebagai peredam perubahan tekanan udara


Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus (Soetjipto
dan Mangunkusumo, 2000).

2.3.6

Membantu produksi mukus


Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya
kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif
untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis
(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000).

2.4

Patofisiologi Rinosinusitis Kronis


Pada

umumnya

penyebab

rinosinusitis

adalah

rinogenik,

yang

merupakan perluasan infeksi dari hidung (Hilger, 1997).


Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan manifestasi gejala
infeksi dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinussinus itu sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung (Mangunkusumo,
2000).
Kompleks ostiomeatal (KOM) atau celah sempit di etmoid anterior yang
merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan
penting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM

Universitas Sumatera Utara

seperti peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan
drainase sehingga terjadi sinusitis (Mangunkusumo, 2000).
Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka
bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah
sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya (Mangunkusumo,
2000).
Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari
KOM, berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa
ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang
sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih
(Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000).
Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan
terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena
gangguan ventilasi, maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadi
kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga
merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen (Busquets, 2006;
Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000; Wilma, 2007).
Menurut Sakakura (1997), Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal
dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator
diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune
complek, lipolisaccharide dan lain-lain (Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan


akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi
mukos dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan
infeksi inflamasi akan kembali terjadi (Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001).
Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya
sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir,
sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik (Mangunkusumo, 1999; Nizar,
2000).
Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia.
Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau
terbentuk polip dan kista (Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000).
Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium
tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus (Massudi,
1996).
Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa

akan menembus

kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel


mast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin
dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler,
sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di
submukosa (Massudi, 1996).
Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan
rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik
(Massudi, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udema/hipertrofi


konka, rinitis alergi/rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan
sebagainya. Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah:
infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah,
malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar (Massudi, 1996).
Faktor yang lebih penting untuk diketahui dan merupakan dasar
patofisiologi terjadinya infeksi sinus adalah: adanya gangguan dari mukosa
sinus, mukosa osteum sinus dan sekitarnya (komplek ostiomeatal) (Massudi,
1996).
Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan
pada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus.
Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah
sempit dan letaknya tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium
(Massudi, 1996).
Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler
submukosa sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah didalam
rongga sinus. Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler
di submukosa, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah proses
transudasi (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).
Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa sehingga
akan menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan terperangkap
didalam rongga sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan mengganggu

Universitas Sumatera Utara

fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah timbunan
transudat didalam rongga sinus (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).
Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yang
berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk
pertumbuhan kuman (Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996).
Rinosinusitis kronis berbeda dari rinosinusitis akut dalam berbagai
aspek. Rinosinusitis kronis umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan
medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
(Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan alergi dan
defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah
terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis
akut tidak sempurna (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drainase
sekret akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia
rusak dan seterusnya (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

2.5

Patologi Rinosinusitis Kronis


Perubahan patologi yang terjadi pada mukosa dan dinding tulang sinus
saat berlangsungnya peradangan supuratif adalah seperti yang biasa terjadi
dalam rongga yang dilapisi mukus (Ballenger, 1997).

Universitas Sumatera Utara

Vaskularisasi dan permeabilitas kapiler akan meningkat. Hal ini akan


menyebabkan udema dan hipertrofi membran mukosa yang kemudian menjadi
polipoid, dan pada kasus yang sangat akut keseluruhan rongga sinus dapat terisi
oleh membran mukosa yang edema, rongga sinus menjadi menghilang (Ronald,
1995).
Sel goblet hiperplasi dan akan terjadi infiltrasi seluler kronis. Ulserasi
epitel akan menyebabkan terbentuknya jaringan granulasi. Abses-abses kecil
yang multipel terjadi dalam mukosa yang menebal dan fibrosis dari strauma
submukosa yang melapisinya. Perubahan dalam mukosa pada saat ini bisa
irreversibel, dan bila penyebab infeksi telah diobati, mukosa tidak dapat kembali
normal (Ronald, 1995).
Ada 4 tipe yang berbeda dari infeksi hidung dan sinus; kongesti akut,
purulen akut, purulen kronis dan hiperplastik kronis (Ballenger, 1997).
Penyakit sinus supuratif kronis dapat diklasifikasikan secara mikroskopik
sebagai (1) adematous; (2) granular dan infiltrasi; (3) fibrous; atau (4) campuran
dari beberapa atau semua bentuk ini. Sering terjadi perubahan jaringan
penunjang, dengan penebalan dilapisan sub epitel. Penebalan ini didalam
struktur seluler terdiri dari timbunan sel-sel spiral, bulat, bentuk bintang,
plasmosit, eosinofil, dan pigmen (Ballenger, 1997).
Perubahan yang terjadi dalam jaringan dapat disusun seperti dibawah ini,
yang menunjukkan perubahan patologik pada umumnya secara berurutan:
a.

Jaringan sub mukosa diinfiltrasi oleh serum, sedangkan permukaannya


kering. Lekosit juga mengisi rongga jaringan submukosa.

Universitas Sumatera Utara

b.

Kapiler berdilatasi, mukosa sangat menebal dan merah akibat udema dan
pembengkakan struktur subepitel. Pada stadium ini biasanya tidak ada
kelainan epitel.

c.

Setelah beberapa jam atau beberapa hari, serum dan lekosit keluar
melalui epitel yang melapisi mukosa, kemudian bercampur dengan
bakteri, debris epitel dan mukus. Pada beberapa kasus, terjadi perdarahan
kapiler, dan darah bercampur dengan sekret. Sekret yang mula-mula
encer dan sedikit, kemudian menjadi kental dan banyak, karena terjadi
koagulasi fibrin dan serum.

d.

Pada banyak kasus, resolusi terjadi dengan absorbsi eksudat dan


berhentinya pengeluaran lekosit memakan waktu 10 sampai 14 hari.

e.

Akan tetapi pada kasus lain, peradangan berlangsung dari tipe kongesti
ke tipe purulen, lekosit dikeluarkan dalam jumlah yang besar sekali.
Resolusi masih mungkin, meskipun tidak selalu terjadi, karena
perubahan jaringan belum menetap, kecuali proses segera berheti,
perubahan jaringan akan terjadi permanen, maka akan terjadi keadaan
kronis. Tulang dibawahnya dapat terlihat tanda osteitis dan akan diganti
dengan nekrosis tulang (Ballenger, 1997).
Perluasan infeksi dari sinus kebagian lain dapat terjadi: (1) melalui

tromboflebitis dari vena yang perforasi; (2) perluasan langsung melalui bagian
dinding sinus yang ulserasi atau nekrotik; (3) dengan terjadinya defek; dan (4)
melalui jalur vaskuler dalam bentuk bakterimia. Masih dipertanyakan apakah
infeksi dapat disebarkan dari sinus secara limfatik (Ballenger, 1997).

Universitas Sumatera Utara

2.6

Epidemiologi Rinosinusitis Kronis


2.6.1

Etiologi
Rinosinusitis dapat disebabkan oleh Alergi (musiman, perenial atau

karena pekerjaan tertentu), Infeksi seperti beberapa bakteri patogen yang sering
ditemukan pada kasus kronis adalah Stafilokokus 28%, Pseudomonas
aerugenosa 17% dan S. aureus 30%. Ketiganya ini mempunyai resistensi yang
tinggi terhadap antibiotik, misalnya Pseudomonas aerugenosa resisten terhadap
jenis kuinolon. Jenis kuman gram negatif juga meningkat pada sinusitis kronis
demikian juga bakteri aerobik termasuk pada sinusitis dentogenik. Bakteri
rinosinusitis kronis paling sering adalah Peptococci, Peptostreptococci,
Bacteriodes dan Fusobacteria (Weir dan Wood, 1997; Soetjipto, 2000; Kahmis,
2009).
Rinosinusitis kronis juga dapat disebabkan oleh kelainan (Struktur
anatomi, seperti variasi KOM, deviasi septum, hipertrofi konka) atau Penyebab
lain (idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi,
atrofi) (Weir dan Wood, 1997).
2.6.2

Kekerapan
Pada tahun 2001, menurut laporan tahun 2004 dari US Centers for

Disease Control and Prevention lebih dari 35 juta orang dewasa Amerika
menderita rinosinusitis atau sekitar 17,4% dari seluruh orang dewasa di Amerika
Serikat, bahkan rinosinusitis kronis lebih banyak dari penyakit jantung dan
migrain, terlihat dari data dibawah ini: posisi sinusitis diantara penyakit lain
(Metson dan Mardon, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Jumlah orang Amerika penderita penyakit kronis


Penyakit
Dalam Juta
Lower Back Pain (LBP)

63.2

Hipertensi

41.8

Artritis

41.2

Rinosinusitis

35.5

Cervical pain

34.0

Migrain

33.9

Penyakit jantung

23.5

Asma

22.2

Hay fever

20.4

Gastritis

18.9

Diabetes

13.0

Gambar 2.1 Posisi sinusitis diantara penyakit lain


Prevalensi rinosinusitis di indonesia cukup tinggi, terbukti pada data
penelitian tahun 1996 dari sub-bagian Rinologi

Departemen THT-KL FK-

UI/RSCM bahwa dari 496 pasien rawat jalan di sub-bagian ini didapati 50%
nya dengan rinosinusitis kronis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi
operasi BSEF (Soetjipto, 2006).
Iriani dkk (1996) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis
kronis yang dilakukan tindakan BSEF di Departemen THT-KL FK UNHAS
Ujung Pandang menjumpai rinosinusitis kronis terbanyak pada kelompok umur
16-30 tahun atau sebesar 55,1%.
Muyassaroh dan Supriharti (1999) pada penelitiaanya terhadap terhadap
52 pasien rinosinusitis kronis yang berobat ke SMF THT-KL RSUD Dr. Kariadi
Semarang mendapatkan kelompok terbanyak pada umur (20-29 tahun) atau

Universitas Sumatera Utara

sebesar 26,9% sedangkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 29


penderita (55,8%) dan perempuan sebanyak 23 penderita (44,2%).
Kurnia (2002) pada penelitiannya terhadap 40 penderita rinosinusitis
kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan penderita terbanyak pada
kelompok umur (25 -34 tahun) sebanyak 14 penderita (40%), perempuan lebih
banyak daripada laki-laki, dimana perempuan 21 penderita (52,5%) dan laki-laki
19 penderita (47,5%). Keluhan utama rinosinusitis kronis yang terbanyak adalah
hidung tersumbat 38 penderita (95%).
Triolit Z (2004) pada penelitiaanya terhadap 30 penderita rinosinusitis
kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur
terbanyak adalah (38-47 tahun) sebanyak 36,6%, sedangkan jumlah penderita
perempuan sebanyak 16 penderita (53,3%) dan laki-laki sebanyak 14 penderita
(46,67%). Keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 18
penderita (60%) diikuti sakit kepala sebanyak 12 penderita (40%).
Andika (2007) dalam penelitiannya terhadap 30 penderita rinosinusitis
maksila kronis di RSUP H. Adam malik, Medan mendapatkan 12 penderita lakilaki (40%) dan 18 penderita perempuan (60%). Keluhan utama terbanyak adalah
hidung tersumbat sebanyak 19 penderita atau sebesar (63,4%).
Di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK. Universitas Hasanuddin
Makassar, jumlah kasus rinologi periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2007
yaitu penderita rawat jalan sebanyak 12.557 kasus, penderita rawat inap
sebanyak 1.092 kasus dengan perbandingan antara pria dan wanita hampir sama

Universitas Sumatera Utara

(46% : 54%). Kasus rawat inap yang terbanyak yaitu rinosinusitis (41,5%), pada
kelompok umur 30 39 tahun (23,3%) (Sujuthi dan Punagi, 2008).
Dewanti (2008) pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis
kronis Dibagian THT-KL FK. UGM/RS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006
2007 didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 penderita (57,6%) dan
perempuan 50 penderita (42,4%). Sinus yang paling sering terlibat adalah
maksilaris 68 kasus (57,6%), maksilaris-etmoidalis 20 kasus (16,9%) dan 13
kasus (11%) etmoidalis, rinosinusitis unilateral 77 kasus (65,3%) dominasi
dektra; dan bilateral 41 kasus (34,7%). Gejala klinis yang terbanyak ditemukan
adalah obstruksi nasi paling dominan sebanyak 65 kasus (55,1%), dan rinorea
sebanyak 34 kasus (28,8%).
Pada penelitian di poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandung
periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 penderita
rinosinusitis kronis atau sebesar 64,29% dari seluruh pasien yang datang ke
poliklinik THT-KL. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sebanyak 82 penderita
(49,08%) dan perempuan 86 penderita (50,92%) (Bagja dan Lasminingrum,
2008).
Pada penelitian lainnya seperti Elfahmi

(2001) pada penelitiannya

terhadap 40 penderita rinosinusitis kronis, didapatkan kelompok umur terbanyak


adalah (35-44 tahun) sebanyak 30%. Jenis kelamin perempuan sebanyak 19
penderita (47,5%) dan laki-laki sebanyak 21 penderita (52,5%).
Nuutien (1993) pada penelitiannya terhadap 150 pasien rinosinusitis
kronis didapatkan perempuan sebanyak 83 penderita (55,3%) dan laki-laki

Universitas Sumatera Utara

sebanyak 67 penderita (44,7%). Yuhisdiarman (2004) pada penelitiannya


terhadap 35 penderita rinosinusitis kronis mendapatkan kelompok umur
terbanyak adalah (35-44 tahun) sebesar 34,3%, jenis kelamin terbanyak adalah
perempuan sebesar 20 penderita (57,2%) dan laki-laki 15 penderita (42,8%).
Pujiwati (2006) pada penelitiannya terhadap

80 orang, yang menderita

rinosinusitis kronis akibat kerja sebanyak 35 orang ( 43,8%.)

2.7

Gejala dan Tanda Klinis


2.7.1 Gejala Subjektif
a. Nyeri
Sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin
tidak. Secara anatomi, apeks gigi-gigi depan atas (kecuali gigi insisivus)
dipisahkan dari lumen sinus hanya oleh lapisan tipis tulang atau mungkin
tanpa tulang hanya oleh mukosa, karenanya sinusitis maksila sering
menimbulkan nyeri hebat pada gigi-gigi ini (Ballenger, 1997).
b. Sakit kepala
Merupakan tanda yang paling umum dan paling penting pada
sinusitis. Wolff menyatakan bahwa nyeri kepala yang timbul merupakan
akibat adanya kongesti dan udema di ostium sinus dan sekitarnya
(Ballenger, 1997).
Penyebab sakit kepala bermacam-macam, oleh karena itu
bukanlah suatu tanda khas dari peradangan atau penyakit pada sinus. Jika
sakit kepala akibat kelelahan dari mata, maka biasanya bilateral dan

Universitas Sumatera Utara

makin berat pada sore hari, sedangkan pada penyakit sinus sakit kepala
lebih sering unilateral dan meluas kesisi lainnya (Ballenger, 1997).
Sakit kepala yang bersumber di sinus akan meningkat jika
membungkukkan badan kedepan dan jika badan tiba-tiba digerakkan.
Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat ataupun
saat berada dikamar gelap (Ballenger, 1997).
Nyeri kepala pada sinusitis kronis biasanya terasa pada pagi hari,
dan akan berkurang atau hilang setelah siang hari. Penyebabnya belum
diketahui dengan pasti, tetapi mungkin karena pada malam hari terjadi
penimbunan ingus dalam rongga hidung dan sinus serta adanya statis
vena (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
c. Nyeri pada penekanan
Nyeri bila disentuh dan nyeri pada penekanan jari mungkin
terjadi pada penyakit di sinus-sinus yang berhubungan dengan
permukaan wajah (Ballenger, 1997).
d. Gangguan penghindu
Indra penghindu dapat disesatkan (parosmia), pasien mencium
bau yang tidak tercium oleh hidung normal. Keluhan yang lebih sering
adalah hilangnya penghindu (anosmia). Hal ini disebabkan adanya
sumbatan pada fisura olfaktorius didaerah konka media. Oleh karena itu
ventilasi pada meatus superior hidung terhalang, sehingga menyebabkan
hilangnya indra penghindu (Ballenger, 1997).

Universitas Sumatera Utara

Pada kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filament
terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indra
penghindu dapat kembali normal setelah infeksi hilang (Ballenger,
1997).
2.7.2

Gejala Objektif

a. Pembengkakan dan udem


Jika sinus yang berbatasan dengan kulit terkena secara akut,
dapat terjadi pembengkakan dan udem kulit yang ringan akibat
periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti pada penebalan
ringan atau seperti meraba beludru (Ballenger, 1997).
b. Sekret nasal
Mukosa hidung jarang merupakan pusat fokus peradangan
supuratif, sinus-sinuslah yang merupakan pusat fokus peradangan
semacam ini (Ballenger, 1997).
Adanya

pus

dalam

rongga

hidung

seharusnya

sudah

menimbulkan kecurigaan adanya suatu peradangan dalam sinus. Pus di


meatus medius biasanya merupakan tanda terkenanya sinus maksila,
sinus frontal atau sinus etmoid anterior, karena sinus-sinus ini bermuara
ke dalam meatus medius (Ballenger, 1997).

Universitas Sumatera Utara

2.8

Pemeriksaan
2.8.1

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan

pada daerah sinus yang terkena disamping pemeriksan rinoskopi anterior


dan rinoskopi posterior (Ballenger, 1997; Soetjipto dan Mangunkusumo,
2000).
2.8.2

Transiluminasi
Transluminasi mempuyai manfaat yang terbatas, hanya dapat

dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas
pemeriksaan radiologik tidak tersedia (Soetjipto dan Mangunkusumo,
2000).
2.8.3

Pemeriksaan radiologi

a. Foto rontgen sinus paranasal


Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain: Waters, PA
dan Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto
rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema
permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan udema
tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus
(Ballenger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada
resesus alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang
berasal

dari

gigi

atau

daerah

periodontal

(Ballenger,

1997;

Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

Universitas Sumatera Utara

Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat


dilihat adanya batas cairan (air fluid level) pada foto dengan posisi tegak
(Ballenger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
b. CT-Scan (Computer Tomography) sinus paranasal
Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat
pada penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan
komplikasi, CT-Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan
sifat dan sumber masalah (Ballenger, 1997).
CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan,
memberikan visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung,
komplek osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang
mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus.
Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi
akan terlihat jelas (Ballenger, 1997).
CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan
menggunakan sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini
sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor
angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic Staging System
ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila, etmoid anterior,
etmoid posterior dan sinus sphenoid, Penilaian Gradasi radiologik dari 02, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi
2 : Opasifikasi komplit (Mackay IS dan Lund VJ, 1997).

Universitas Sumatera Utara

2.8.4

Nasoendoskopi
Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas

pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang


berhubungan dengan faktor lokal penyebab sinusitis (Ballenger, 1997).
Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan
septum nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapat
mengetahui adanya polip atau tumor (Ballenger, 1997).

2.9

Diagnosis
Gejala klinik rinosinusitis kronis menurut American Academy of
Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic Society (ARS)
adalah rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan 2
gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau
lebih (Setiadi M, 2009).
Berdasarkan kriteria Task Force on Rinosinusitis, gejala mayor
skor diberi skor 2 dan gejala minor skor 1, sehingga didapatkan skor
gejala klinik sebagai berikut; Gejala Mayor: Nyeri sinus = skor 2,
Hidung buntu = skor 2, Ingus purulen = skor 2, Post nasal drip = skor 2,
Gangguan penghidu = skor 2, Sedangkan Gejala Minor: Nyeri kepala =
skor 1, Nyeri geraham = skor 1, Nyeri telinga = skor 1, Batuk = skor 1,
Demam = skor 1, Halitosis = skor 1 dan skor total gejala klinik = 16
Pengukuran skor total gejala klinik dikelompokkan menjadi dua, yaitu;

Universitas Sumatera Utara

sedang-berat (skor 8), dan ringan (skor <8) dengan Skor total gejala
klinik: skala nominal (Setiadi M, 2009).

2.10

Penatalaksanaan
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi
seperti deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi
adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis,
dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesui dengan kelainan
yang ditemukan (Waguespack, 1994; Soetjipto, 2000; Ulusoy, 2007).
Jika tidak ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah
bakterial yang memerlukan pemberian antibiotik dan pengobatan medik
lainnya (Soetjipto, 2000).
A. Medikamentosa
A.1

Antibiotika
Meskipun tidak memegang peran penting, antibiotika dapat

diberikan sebagai terapi awal. Pilihan antibiotika harus mencakup laktamase seperti pada terapi sinusitis akut lini ke II, yaitu amoksisillin
klavulanat atau ampisillin sulbaktam, sefalosporin generasi kedua,
makrolid, klindamisin. Jika ada perbaikan antibiotik diteruskan
mencukupi 10 14 atau lebih jika diperlukan (Weir, 1997; Soetjipto,
2000; Ahmed, 2003; Kennedy, 2006; Dubin MG dan Liu C, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Jika tidak ada perbaikan dapat dipilih antibiotika alternatif seperti


siprofloksasin, golongan kuinolon atau yang sesuai dengan kultur. Jika
diduga ada bakteri anaerob, dapat diberi metronidazol (Soetjipto, 2000).
Jika dengan antibiotika alternatif tidak ada perbaikan, maka
eveluasi kembali apakah ada faktor predisposisi yang belum terdiagnosis
dengan pemeriksaan nasoendoskopi maupun CT-Scan (Soetjipto, 2000).
A.2

Terapi Medik Tambahan


Dekongestan, Dekongestan berperan penting sebagai terapi awal

mendampingi antibiotik. Dekongestan oral menstimulasi reseptor adrenergik dimukosa hidung dengan efek vasokontriksi yang dapat
mengurang keluhan sumbatan hidung, meningkatkan diameter ostium
dan meningkatkan ventilasi (Soetjipto, 2000; Dubin MG dan Liu C,
2007).
Preparat yang umum adalah pseudoefedrine dan phenylpropanolamine. Karena efek peningkatan tekanan darah tinggi dan
penyakit jantung harus dilakukan dengan hati-hati (Soetjipto, 2000).
Dekongestan topikal mempunyai efek yang lebih cepat terhadap
sumbatan hidung, namun efeknya ini sebetulnya tidak fisiologik dan
pemakaian jangka lama (lebih dari 7 hari) akan menyebabkan rinitis
medika mentosa (Soetjipto, 2000).
Antihistamin, Alergi berperan sebagai penyebab sinusitis kronis
pada lebih dari 50% kasus, karenanya penggunaan antihistamin justru

Universitas Sumatera Utara

dianjurkan, demikian juga kemungkinan imunoterapi (Soetjipto, 2000;


Dubin MG dan Liu C, 2007; Yuan LJ dan Fang SY, 2008).
Karena

antihistamin

generasi

pertama

mempunyai

efek

antikolinergik yang tinggi, generasi kedua lebih disukai seperti


azelastine, acrivastine, cetirizine, fexofenadine dan loratadine (Soetjipto,
2000).
Kortikosteroid, ada 2 jenis kortikosteroid, yaitu kortikosteroid
topikal dan kortikosteroid oral, kortikosteroid topikal mempunyai efek
lokal terhadap bersin, sekresi lendir, sumbatan hidung dan hipo/anosmia.
Penemuannya merupakan perkembangan besar dalam pengobatan rinitis
dan sinusitis (Soetjipto, 2000).
Penggunaannya kortikosteroid topikal meluas pada kelainan
alergi dan non-alergi. Meskipun obat semprot ini tidak mencapai
komplek osteomeatal, keluhan pasien berkurang karena udema di rongga
hidung dan meatus medius hilang (Soetjipto, 2000; Yuan LJ dan Fang
SY, 2008).
Sedangkan kortikosteroid oral dapat mencapai seluruh rongga
sinus. Terapi singkat selama dua minggu sudah efektif menghilangkan
beberapa keluhan. Preparat oral dapat diberikan mendahului yang
topikal, obat oral dapat membuka sumbatan hidung terlebih dahulu
sehingga distribusi obat semprot merata (Soetjipto, 2000).

Universitas Sumatera Utara

B. Penatalaksanaan Operatif
Sinusitis kronis yang tidak sembuh dengan pengobatan medik
adekuat dan optimal serta adanya kelainan mukosa menetap merupakan
indikasi tindakan bedah (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).
Beberapa macam tindakan bedah mulai dari antrostomi meatus
inferior, Caldwel-Luc, trepanasi sinus frontal, dan Bedah Sinus
Endoskopi Fungsional (BSEF) dapat dilaksanakan (Nizar, 2000;
Soetjipto, 2000).
Bedah

sinus

konvensional

tidak

memperlihatkan

usaha

pemulihan drainase dan ventilasi sinus melalui ostium alami (Nizar,


2000; Soetjipto, 2000).
Namun

dengan

berkembangnya

pengetahuan

patogenesis

sinusitis, maka berkembang pula modifikasi bedah sinus konvensional


misalnya operasi Caldwel-Luc yang hanya mengangkat jaringan
patologik dan meninggalkan jaringan normal agar tetap berfungsi dan
melakukan antrostomi meatus medius sehingga drainase dapat sembuh
kembali (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan kemajuan
pesat dalam bedah sinus. Jenis operasi ini lebih dipilih karena merupakan
tindakan konservatif yang lebih efektif dan fungsional (Nizar, 2000;
Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006; Salama N, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Keuntungan BSEF adalah penggunaan endoskop dengan


pencahayaan yang sangat terang, sehingga saat operasi kita dapat melihat
lebih jelas dan rinci adanya kelainan patologi dirongga-rongga sinus
(Nizar, 2000; Soetjipto, 2000; Kennedy, 2006; Salama N, 2009).
Jaringan patologik yang diangkat tanpa melukai jaringan normal
dan ostium sinus yang tersumbat diperlebar (Nizar, 2000; Soetjipto,
2000; Kennedy, 2006).
Dengan ini ventilasi sinus lancar secara alami, jaringan normal
tetap berfungsi dan kelainan didalam sinus maksila dan frontal akan
sembuh sendiri (Nizar, 2000; Soetjipto, 2000).

2.11

Komplikasi
Kompikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukan
antibiotika. Komplikasi yang dapat terjadi ialah:
A.

Osteomielitis dan abses subperiostal


Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada

anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral


(Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki ; 2000).

Universitas Sumatera Utara

B.

Kelainan Orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita).

Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila
(Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Variasi yang dapat timbul ialah udema palpebra, selulitis orbita, abses
subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus (Hilger, 1997; Mangunkusumo dan Rifki, 2000).
C.

Kelainan Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ektradural, abses otak dan trombosis

sinus kavernosus (Mangunkusumo dan Rifki, 2000; Dhingra, 2007).


D.

Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronis dan brokiektasis. Adanya kelainan sinus

paranasal disertai denga kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat
juga timbul asma bronkial (Mangunkusumo dan Rifki, 2000).

Universitas Sumatera Utara

2.12

Kerangka Teori

Gangguan Silia

Gangguan
DrainaseSinus

Perubahan
MukosaSinus

Umur,
JenisKelamin,
Pekerjaan

Infeksi

GejalaKlinis
Rinosinusitis
(Lebihdari12Minggu)
Rinosinusitis
Kronis

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai