Anda di halaman 1dari 13

Tugas Kelompok

Mata Kuliah Hukum Administrasi Perencanaan

Review Perencanaan dan Konflik di Indonesia


Lingkungan dan Sumberdaya

Disusun Oleh:

Alfin Rischa Novianti

(125060600111032)

Aji Wahyu Qan D

(125060600111037)

Narisa Maulida

(125060601111006)

Mochammad Tegar S

(125060601111003)

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

1.1 Latar Belakang Permasalahan


Menurut UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997,
Pasal 1 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana lingkungan hidup dapat diartikan
sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya dalam
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
Sumber daya alam seperti air, udara, tanah, hutan dan lainnya merupakan sumberdaya yang
penting bagi kelangsungan hidup mahkluk hidup termasuk manusia. Bahkan, sumber daya alam
ini tidak hanya mencukupi kebutuhan hidup manusia, tetapi juga dapat memberikan kontribusi
besar terhadap kesejahteraan yang lebih luas. Oleh karena itu, dalam pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan sangat rentan adanya konflik. Konflik structural merupakan konflik yang
menjadi penyebab terjadinya konflik lingkungan atau sumber daya alam. Konflik ini bermula
dari adanya ketimpangan sosial, ekonomi dan politik antara para pihak termasuk dalam akses
terhadap sumber daya alam. Hal ini disebabkan oleh sifat dari sumber daya alam yang memiliki
sifat ketergantungan dan terbatas.
Konflik lingkungan yang terjadi di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Provinsi
Sulawesi Selatan yaitu konflik kebijakan pengelolaan yaitu kebijakan yang tumpang tindih
antara kepentingan pusat dan daerah. Kemudian, konflik kewenangan dan peran yang timbul
sebagai akibat dari adanya tarik menarik peran antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat
serta belum adanya kesamaan persepsi mengenai fungsi, kedudukan dan peran Taman Nadional
di mata masyarakat dan pihak terkait lainnya. Selanjutnya, konflik pada permasalahan
kemiskinan dan disparitas dalam pengelolaan lingkungan. Di satu sisi masyarakat merasa
memiliki lingkungan sekitarnya yang merupakan hak turun temurun dari leluhur sedangkan disisi
lain masyarakat tidak memiliki bukti-bukti atau legalitas secara hukum. Sehingga nantinya akan
mengakibatkan terjadinya konflik yang mempengaruhi pengelolaan Taman Nasional secara
keseluruhan.
Apabila konflik yang terjadi di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung tidak dikelola
dengan baik dapat berujung pada terjadinya tindak kekerasan yang akan merugikan pihak-pihak
yang berkonflik. Sehingga dibutuhkan adanya penjelasan mengenai jenis-jenis konflik, penyebab

konflik, pihak-pihak yang dilibatkan dan upaya penyelesaian konflik dalam pengelolaan Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung.
1.2 Peraturan yang Terkait
Dari permasalahan yang terdapat pada Jurnal Konflik pada Kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan dan Upaya Penyelesaiannya adalah
adanya permasalahan antara masyarakat dengan pemerintah selaku pengelola kawasan TN Babul
yang terdiri dari konflik yang terkait dengan tata batas kawasan TN Babul dan adanya konflik
yang terkait dengan pemanfaatan SDAH yang terdapat dalam kawasan TN Babul. Mengenai
konflik yang terkait pemanfaatan SDAH dapat diselesaikan dengan pengaturan zonasi dengan
peraturan yang terkait menegnai pengelolaan kawasan konservasi adalah UU No. 5/1990, PP No.
28/2011, dan Permenhut No. P.56/2006 Tentang pengaturan zonasi dalam Taman Nasional.
Berdasarkan UU No. 5/1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem
mengenai pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan dengan memperhatikan
kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar.
Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar yang dapat dilaksanakan dalam bentuk :
a. pengkajian, penelitian dan pengembangan;
b. penangkaran;
c. perburuan;
d. perdagangan;
e. peragaan;
f. pertukaran;
g. budidaya tanaman obat-obatan;
h. pemeliharaan untuk kesenangan.
Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan
dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna,
dimana pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan. Selain hal tersebut
berdasarkan PP No. 28/2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam pemanfaatan Taman Nasional dapat dimanfatkan secara tradisional berupa
kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional

terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi. Berdasarkan hal tersebut dalam pemanfaatan SDA
dibutuhkan suatu penataan kawasan agar tetap memperhatikan konservasi alam, yaitu dengan
adanya penyusunan zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan zona
lain yangs sesuai dengan kepentingan (PP No. 28/2011). Dalam penataaan batas zonasi perlu
dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan pihak pemerintah setempat.
Batas antar zona perlu dibangun dengan jelas agar tidak terjadi kesalahpahaman antar
masyarakat dengan pemerintah setempat. Sesuai dengan PP No. 28/2011 dimana masyarakat
sekitar berhak mengetahui rencana pengelolaan Taman Nasional, memberi informasi, saran, serta
pertimbangan dalam penyelenggaraan, melakukan pengawasan, dan menjaga dan memelihara
Taman Nasional tersebut.
1.3 Review/ Pembahasan
Pembahasan pada laporan ini dilakukan melalui tiga tahapan yaitu pada proses
perencanaan, konflik atau permasalahan yang terjadi dan penyelesaian konflik. Berikut
penjelasan mengenai tiga tahapan tersebut.
1.3.1

Perencanaan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul) merupakan kawasan hutan yang

ditunjuk menjadi kawasan konservasi atau taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Saat ini TN Babul
dikelola oleh Balai TN Babul, yang berkedudukan di kecamatan Bantimurung, Maros, Sulawesi
Selatan. Kawasan Hutan Bantimurung-Balusaraung memiliki tanah seluas 43.750 hektar yang
terdiri dari Cagar Alam seluas 10.282,65 hektar, Taman Wisata Alam seluas 1.624,25 hektar,
Hutan Lindung seluas 21.343,10 hektar, Hutan Produksi Terbatas seluas 145 hektar, dan
Hutan Produksi Tetap seluas 10.355 hektar. TN Babul secara administratif terletak dalam tiga
wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, dan Kabupaten Bone, Provinsi
Sulawesi Selatan. Wilayah TN Babul terbagi ke dalam 10 wilayah kecamatan, 40 desa dan 71
dusun/lingkungan.
Sejarah keputusan pemerintah dalam menetapkan kawasan hutan Bantimurung
Bulusaraung menjadi taman nasional dimulai sejak Alfred Russel Wallace yang mengeksporasi
Bantimurung tahun 1857 dan mempublikasikan hasil eksplorasinya dalam buku The Malay
Archipelago tahun 1869, setelah itu banyak penelitian dilakukan di kawasan tersebut. Pada

Tahun 1970-1980, dimulailah penetapan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai kawasan


konservasi seluas 11.906,9 Ha, yaitu Taman Wisata Alam Bantimurung, Taman Wisata Alam
Gua Pattunuang, Cagar Alam Bantimurung, Cagar Alam Karaenta dan Cagar Alam Bulusaraung.
Beberapa tahun kemudian, negera-negara didunia merekomendasikan Pemerintah Indonesia
untuk menetapkan kawasan hutan tersebut menjadi Kawasan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
Penetapan dan pemasangan batas Kawasan TN Babul dimulai sejak tahun 1980-1990 dan
rekonstruksi tata batas pada tahun 2007. Pengukuran untuk penetapan status kawasan hutan
lindung, hutan produksi, hutan wisata, dan cagar alam didasarkan pada kriteria yang telah
disusun oleh Departemen Kehutanan. Masyarakat memahami pengukuran dan penetapan batas
batas yang dilakukan oleh pemerintah dari informasi masyarakat sekitar sendiri, dari orang tua
mereka, dan dari aparat kehutanan. Namun, perubahan fungsi beberapa kawasan hutan menjadi
TN Babul berdampak terhadap aktivitas masyarakat sekitar TN Babul dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Masyarakat sekitar kawasan TN Babul merasakan bahwa perubahan
kawasan hutan tersebut menyebabkan mereka mengalami keterbatasan dalam memanfaatkan
sumberdaya SDAH telah berlangsung secara turun temurun. Kondisi ini menyebabkan TN Babul
sangat rentan terjadinya konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah.
1.3.2

Konflik atau Permasalahan yang Terjadi


Konflik pada kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Provinsi Sulawesi

Selatan disebabkan karena Perubahan fungsi sebagian kawasan hutan di Kabupaten Maros
menjadi kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul), yang kemudian
membawa dampak tersendiri bagi aktivitas masyarakat sekitar kawasan yang dapat memicu
terjadinya konflik antara pemerintah dengan masyarakat.
Masyarakat yang sebagian berprofesi sebagai petani sangat bergantung kepada sumberdaya
lahan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat sekitar TN Babul pada umumnya
(76,7%) memiliki lahan dalam kawasan TN Babul. Lahan garapan masyarakat dalam kawasan
TN Babul belum memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (56,1% masyarakat memiliki
luas lahan 1 ha). Lahan harapan tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk
mengembangkan beberapa komoditi di dalamnya diantaranya komoditi kehutanan. Konflik yang
terjadi antara masyarakat dengan pemerintah selaku pengelola kawasan TN Babul terdiri dari:
1. Konflik yang terkait dengan tata batas kawasan TN Babul,

Konflik antara masyarakat dengan pihak kehutanan (Balai Pemantapan Kawasan Hutan
dan Dinas Kehutanan Maros) terjadi saat pengukuran untuk penetapan status kawasan hutan
lindung, hutan produksi, hutan wisata, dan cagar alam di Kabupaten Maros. Masyarakat
berpedoman pada batas yang ditetapkan pada masa kolonial Belanda yang lokasinya berada
jauh di atas bukit, sementara pihak kehutanan memasukkan suatu wilayah menjadi kawasan
hutan didasarkan pada kriteria yang telah disusun oleh Departemen Kehutanan, sehingga
sebagian wilayah yang selama ini digarap oleh masyarakat berubah status menjadi kawasan
hutan.
2. Konflik yang terkait dengan pemanfaatan SDAH yang terdapat dalam kawasan TN Babul
Konflik tata batas antara masyarakat dengan TN Babul pada akhirnya berimplikasi menjadi
konflik dalam sumberdaya alam hutan baik berupa pemanfaatan lahan maupun pemanfaatan
tanaman yang telah dikembangkan oleh masyarakat yang sekarang berada di dalam kawasan
TN Babul. Konflik dalam pemanfaatan lahan terjadi karena adanya perbedaan pemahaman
antara masyarakat dengan pemerintah tentang peruntukan lahan dalam kawasan hutan. Bagi
masyarakat sekitar hutan, lahan yang ada baik lahan yang terdapat dalam kawasan hutan
maupun yang terdapat di luar kawasan hutan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya dengan jalan membuka kebun atau sawah. Bagi pemerintah lahan yang ada
khususnya yang terdapat dalam kawasan hutan diperuntukkan sesuai dengan fungsinya
(fungsi produksi, lindung, dan konservasi) dan terkadang bertentangan dengan apa yang
dilakukan oleh masyarakat. Demikian pula, dalam hal pemanfaatan tanaman yang terdapat
dalam kawasan hutan, bagi masyarakat semua yang dihasilkan oleh tanaman (kayu dan non
kayu) dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa
memandang fungsi hutan tersebut (fungsi produksi, lindung, dan konservasi). Akan tetapi bagi
pemerintah, pemanfaatan tanaman yang ada dalam kawasan hutan harus disesuaikan dengan
fungsi hutan tersebut.
Penyebab Konflik dalam Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Provinsi
Sulawesi Selatan yaitu :
1. Hubungan masyarakat
Konflik disebabkan karenaadanya polarisasi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara
kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Dalam konteks pengelolaan TN Babul,
konflik dalam kaitannya dengan dimensi hubungan masyarakat lebih disebabkan oleh

munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat kehutanan yang pada akhirnya


memunculkan bibit permusuhan kepada aparat kehutanan. Ketidakpercayaan masyarakat
terhadap aparat kehutanan berawal dari pemberian informasi yang kurang benar dan lengkap
saat dilakukan penataan batas kawasan hutan sebelum berubah fungsi menjadi TN Babul.
2. Negosiasi prinsip
konflik disebabkan karena posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan oleh
pihak pihak yang berkonflik. Perbedaan pandangan dalam pemanfaatan SDAH terjadi karena
masyarakat sekitar melakukan pembandingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di
masa lalu dengan saat ini, atau melakukan pembandingan terhadap adanya sejumlah
masyarakat yang melakukan kegiatan pemanfaatan dalam kawasan Taman Nasional.
3. Kebutuhan manusia
konflik disebabkan karena kebutuhan dasar manusia yang tidak terpenuhi atau terhalangi.
Konflik antara masyarakat dengan pemerintah selaku pengelola kawasan TN Babul lebih
banyak disebabkan oleh karena masyarakat merasa keberadaan kawasan TN Babul dengan
segala aturan yang terdapat di dalamnya akan menghalangi mereka untuk memenuhi
kebutuhannya
4. Identitas
konflik disebabkan karena identitas yang terancam yang sering berakar pada penderitaan
dimasa lalu yang tidak terselesaikan. Pemerintah pada umumnya memandang masyarakat
yang tinggal di sekitar hutan sebagai perambah atau berpotensi sebagai perambah, peladang
berpindah, pencuri kayu, dan sebagai pelaku penggembala liar yang dapat menjadi masalah
dalam pengelolaan hutan. fakta di lapangan bahwa perilaku masyarakat sekitar dalam
pemanfaatan SDAH ada yang positif dan ada pula yang negatif. Sebagai contoh keberadaan
tegakan kemiri yang banyak dijumpai di Kecamatan Camba, Mallawa dan Kecamatan
Cenrana yang telah dikembangkan secara turun-temurun dan masih terjaga sampai saat ini,
merupakan bukti kearifan lokal masyarakat sekitar hutan dalam mengelola dan memanfaatkan
SDAH.
5. Transformasi konflik
konflik disebabkan karena ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah
sosial, ekonomi, dan budaya. Konflik antara masyarakat dan pengelola TN Babul terjadi
karena adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat sekitar TN Babul. Masyarakat

yang telah hidup secara turun-temurun jauh sebelum daerah tersebut ditetapkan sebagai
kawasan hutan dan berubah fungsi menjadi TN Babul menjadi terpinggirkan dari daerahnya
karena keterbatasan lahan garapan dan sumber penghasilan
1.3.3

Penyelesaian Konflik
Upaya penyelesaian konflik dalam pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

menggunakan strategi penyelesaian konflik yang disebut dengan dual concern model atau biasa
disebut dengan model kepedulian rangkap dua. Strategi ini pertama kali dikembangkan oleh
Pruitt dan Rubin serta model ini digunakan dalam menentukan pemilihan strategi berdasarkan
kekuatan kepedulian relatif atas hasil yang diterima oleh diri sendiri dan hasil yang diterima oleh
pihak lain. Strategi tersebut antara lain contending (bertanding), problem solving (pemecahan
masalah), yielding (mengalah) dan inaction (diam). Berikut strategi-strategi yang dilakukan oleh
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung :
Tabel 1 Strategi yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung

Strategi Problem Solving


Sikap akomodatif terhadap
peluang dilakukannya
peremajaan kemiri dalam
kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung
Peluang untuk tetap
melakukan aktivitas ekonomi
berupa pengelolaan areal
persawahan dalam zona
khusus
Kolaborasi dengan masyarakat
dalam kegiatan reboisasi
pengayaan lahan bekas HKm
yang dituangkan dalam bentuk
nota kesepahaman

Strategi Yielding
Upaya untuk meninjau ulang

batas-batas kawasan Taman


Nasional Bantimurung
Bulusaraung yang
dipermasalahkan oleh masyarakat
Peluang perubahan beberapa zona
yang diusulkan oleh Balai Taman
Nasional Bantimurung
Bulusaraung pada beberapa lokasi
sesuai usulan masyarakat
Pengakuan secara de facto hak
kepemilikan lahan masyarakat di
Kampung Pangja (Dusun
Pattunuang) dan Dusun Tallasa
Keterlibatan dalam mempercepat
proses enclave pada daerah
tersebut

Strategi Inaction
Menyikapi permasalahan
peluang pemanfaatan hasil
hutan berupa kayu yang telah
dikembangkan oleh
masyarakat sebelum adanya
penunjukkan kawasan Taman
Nasional Bantimurung
Bulusaraung karena akan
dilakukan pengkajian lebih
lanjut

Kemudian, beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dan mencegah
terjadinya konflik yang lebih luas diantaranya adalah :
1. Melakukan komunikasi dan duduk bersama (berdialog)
Kegiatan ini dilakukan untuk meminimalisir perbedaan antara masyarakat dan pengelola
TN Babul serta untuk menjalin suasana keakraban dan kebersamaan antara pemerintah dan
masyarakat. Beberapa stakeholder yang dapat terlibat dalam proses dialog antara lain Balai
TN Babul, masyarakat sekitar TN Babul, pemerintah desa dan kecamatan, Pemda Maros
(instansi teknis terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pariwisata, Dinas

Pertanian, Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan), LSM dan Forum
Masyarakat TN Babul, serta perguruan tinggi/lembaga penelitian.
2. Mengintesifkan kegiatan sosialisasi
Kegiatan sosialisasi dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat
terkait kebijakan pengelolaan TN Babul. Dengan adanya kegiatan sosialisasi tersebut
diharapkan masyarakat mengetahui posisi mereka dalam pengelolaan TN Babul dan dapat
melakukan penyesuaian penyesuaian dengan dukungan berbagai pihak yang dilandasi
semangat kebersamaan.
3. Mendetailkan kegiatan-kegiatan pada setiap zona Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung
Rancangan zonasi yang ditawarkan harus segera ditindak lanjuti dengan mendetailkan
kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat pada setiap zona khususnya zona
tradisional dan zona khusus dengan memperhatikan kondisi dan aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat dan penyusunan mekanisme pemanfaatan hasil dari kegiatan yang
dilakukan.
4. Mengembangkan sumber-sumber penghasilan bagi masyarakat
Perlunya upaya pengembangan sumber-sumber pendapatan baru yang lebih ramah
lingkungan. Salah satu komoditas yang dapat dikembangkan dalam kawasan TN Babul adalah
iles-iles atau yang biasa disebut tanaman tirai dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Hal
yang perlu dilakukan oleh Balai TN Babul adalah melakukan koordinasi dengan instansi
terkait seperti Badan Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Maros dan Perum Perhutani Unit II
Jawa Timur untuk membantu masyarakat dalam hal budidaya dan pengolahan pasca
panennya.
5. Mengembangkan zona pemanfaatan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Kawasan TN Babul memiliki potensi yang cukup baik untuk pengembangan wisata, baik
wisata alam karena memiliki panorama alam yang indah, maupun wisata sejarah karena
banyaknya situs-situs peninggalan bersejarah. Objek-objek wisata tersebut pada umumnya
terdapat pada zona pemanfaatan TN Babul.
6. Mengembangkan zona penyangga kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
Apabila lahan-lahan masyarakat yang terdapat di luar kawasan TN Babul dapat
dimaksimalkan maka tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan TN Babul dapat

dikurangi, sehingga tekanan terhadap kawasan TN Babul pada akhirnya menjadi berkurang.
Selain itu, dapat dikembangkan unitunit usaha produktif di luar kawasan yang berbasis pada
potensi sumberdaya di desa serta tidak berbasis lahan agar secara berangsur-angsur
mengurangi ketergantungan mereka terhadap kawasan Taman Nasional.

1.4 Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
W, Abdul Kadir., M, Nurhaedah., Purwanti, Rini. 2013. Konflik pada Kawasan Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan dan Upaya Penyelesaiannya. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. III (1) : 186-198
Budimanta, Arif. Pengelolaan Lingkungan Hidup : Suatu Langkah Menuju Sinergitas. 2007.
https://abudimanta.wordpress.com/2008/10/20/pengelolaan-lingkungan-hidup
%E2%80%9Csuatu-langkah-menuju-sinergitas%E2%80%9D/ (diakses pada 01 Mei 2015)

LEMBAR JOBDESC
Nama
Aji Wahyu Qan D
Alfin Rischa N
Narisa Maulida
M. Tegar S

Jobdesc
Perencanaan
Latar belakang permasalahan
Penyelesaian Konflik
Peraturan yang terkait
Kesimpulan
Konflik atau permasalahan yang terjadi

Anda mungkin juga menyukai