PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Menurut WHO (2008), pada tahun 2002 penyakit infark miokard akut, merupakan
penyebab kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%) kematian terjadi
akibat penyakit infark miokard akut di seluruh dunia. Penyakit infark miokard akut adalah
penyebab utama kematian pada orang dewasa. Infark miokard akut adalah penyebab
kematian nomor dua di negara berpenghasilan rendah, dengan angka mortalitas 2.470.000
(9,4%). Di Indonesia pada tahun 2002 penyakit infark miokard akut merupakan penyebab
kematian pertama dengan angka mortalitas 220.000 (14%).1
Infark miokard akut (IMA) didefinisikan sebagai nekrosis miokard yang disebabkan
oleh tidak adekuatnya pasokan darah akibat sumbatan akut arteri koroner.2,3,4 Hal ini biasanya
menyebabkan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen, yang mana paling sering
disebabkan oleh rupturnya plak dan pembentukan trombus pada pembuluh darah koroner,
sehingga terjadi penurunan suplai darah ke miokardium. 3 Infark miokard akut merupakan
bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tidak
stabil, IMA tanpa elevasi (NSTEMI) dan IMA dengan ST elevasi (STEMI). 4 Aterosklerosis
adalah penyebab utama yang bertanggungjawab untuk sebagian besar kasus sindrom koroner
akut. Tetapi selain itu, terdapat juga penyebab lain dari IMA antara lain oklusi koroner akibat
vaskulitis, hipertrofi ventrikel (hipertrofi ventrikel kiri, idiopathic hypertrophic subaortic
stenosis [IHSS], penyakit jantung katup, emboli arteri koroner, yang diakibatkan oleh
kolesterol atau udara, anomali koroner kongenital, dan lain sebagainya.3,4
Untuk menurunkan angka kematian akibat penyakit ini, kesadaran masyarakat segera
mengenali gejala-gejala infark miokard akut dan kesigapan segera membawa penderita ke
fasilitas kesehatan terdekat perlu ditingkatkan.2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. EPIDEMIOLOGI
1
Penyakit Jantung Koroner (PJK) umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40
tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit
tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk
mendefenisikan pasien usia muda dengan penyakit jantung koroner atau infark miokard
akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang rendah pada usia muda. Persentase penderita
IMA dengan usia di bawah 40 tahun adalah 2-8% dari seluruh penderita IMA dan sekitar 10%
pada penderita dengan usia di bawah 46 tahun. 5
Berdasarkan data rekam medis Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK),
penderita IMA yang berusia di bawah 45 tahun sejumlah 92 orang dari 962 penderita IMA di
tahun 2006, atau 10,1%. Di tahun 2007 angka ini menjadi 10,7% (117 penderita IMA usia
muda dari 1096 seluruh penderita IMA). Sedangkan di tahun 2008 menjadi 10,1% (108
penderita IMA usia muda dari 1065 seluruh penderita IMA). 5
2.2. DEFINISI
Infark miokard adalah nekrosis otot jantung yang bersifat ireversibel, dan merupakan
akibat dari iskemik yang berkepanjangan. Hal ini biasanya terjadi akibat ketidakseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen, yang mana paling sering disebabkan oleh rupturnya plak dan
pembentukan trombus pada pembuluh darah koroner, sehingga terjadi penurunan suplai darah
ke miokardium.2,3,4
Sindrom koroner akut (SKA) sudah berperan sebagai terminologi operasional yang
bermanfaat sebagai rujukan dari segala bentuk gejala klinis, yang sesuai dengan iskemia
miokard akut. Terminologi baru ini lebih akurat membagi SKA sewaktu datang pertama kali
sebagai infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) dan IMA tanpa elevasi segmen
ST (NSTEMI) daripada dibagi atas infark miokard akut gelombang Q (IMAQ. QwMI) dan
infark miokard akut tanpa gelombang Q (IMAnQ, non Q MI), demikian juga dengan angina
pektoris tidak stabil (UAP) (gambar 1).6
diturunkan
5. Dyslipidemia
6. Gaya hidup yang santai atau kurang aktivitas fisik
7. Stress psikososial
cap yag tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik
terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercayai menjadi dasar sehingga STEMI
memberikan respon terhadap terapi trmbolitik. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai
agonis (kolagen, ADP, epinefrin dan serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya
akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten).
Selain itu aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen
asam amino pada proterin adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF)
dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet
yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Kaskade
koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X
diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin
mengkonversi fibrinogen, menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari trombosit dan fibrin.4
atau dementia, nyeri dada yang dirasakan mungkin tidak bersifat khas. Pada penderitapenderita ini keluhan yang sering diutarakan adalah sesak nafas dan nyeri dada atipikal. 2,3,4,10
Infark miokard pada umumnya sering muncul pada pagi hari, kemungkinan hal ini
sebagian disebabkan peningkatan agregasi platelet yang diinduksi oleh katekolamin dan
peningkatan konsentrasi plasminogen activator inhibitor -1 (PAI-1) dalam serum yang terjadi
pada saat bangun pagi. Secara keseluruhan, onset tidak secara langsung berkaitan dengan
latihan fisik yang berat.3
2.5.2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita infark miokard bisa bervariasi, pada pasien tertentu
dapat ditemukan keadaannya tenang, dengan hasil pemeriksaan fisik yang normal, sedangkan
penderita lainnya merasakan nyeri yang hebat, dengan distress pernafasan yang signifikan
dan membutuhkan ventilator.3
Tujuan penting dari pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah untuk menyingkirkan
penyebab nyeri dada non-kardiak dan gangguan jantung non-iskemik (antara lain: emboli
paru, disseksi aorta, perikarditis, penyakit jantung katup) atau penyebab ekstrakardiak yang
potensial seperti penyakit paru akut (seperti: pneuomotoraks, pneumonia, atau effusi
pleura).4,10
Pasien dengan gejala yang sedang berlangsung biasanya terbaring dengan tampilan
pucat dan diaphoresis. Hipertensi dapat memicu infark miokard, atau merupakan refleksi
adanya kenaikan katekolamin karena kecemasan, nyeri, atau simpatomimetik eksogen.
Hipotensi dapat mengindikasikan disfungsi ventrikel karena iskemia. Hipotensi pada keadaan
infark miokard biasanya mengindikasikan adanya infark miokard yang luas baik yang
disebabkan oleh penurunan kontraktilitas jantung secara global atau karena infark ventrikel
kanan. Tanda lain pada disfungsi ventrikel adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas
bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur
midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup
mitral dan pericardial friction rub. Disfungsi katup jantung biasanya akibat infark yang
melibatkan otot papillary. Regurgitasi mitral karena iskemia otot papillary atau nekrosis bisa
terjadi.3,4 Peningkatan suhu sampai 38C dijumpai pada minggu pertama pasca STEMI.4
2.5.3. Elektrokardiografi (EKG)
Elektrokardiografi (EKG) memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis. Rekaman
yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. EKG sebaiknya dilakukan dalam
10 menit setelah kontak pertama dengan tenaga medis atau saat kedatangan di IGD.2,4,10,11,12
Gambaran diagnosis EKG pada NTSEMI antara lain:
1. Depresi segmen ST >0,05 mV
7
2. Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di
sandapan prekordial
Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia jantung,
terutama sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen
ST. Namun EKG yang normal pun tidak dapat menyingkirkan diagnosis Angina Pektoris
Tidak Stabil (APTS)/NSTEMI.12 Apabila pada pada pemeriksaan EKG yang pertama tidak
menunjukkan kelainan, pemeriksaan EKG harus dilakukan kembali apabila pasien tetap
mengalami gejala dan harus dibandingkan dengan rekaman EKG saat tidak mengalami
gejala. Perbandingan dengan rekaman EKG yang sebelumnya, cukup bermanfaat terutama
pada pasien dengan penyakit jantung yang mendasari seperti hipertrofi ventrikel kiri atau
sudah pernah mengalami infark miokard. Rekaman EKG harus diulang paling tidak 3 atau 69 jam dan 24 jam setelah timbul gejala pertama kali, dan sesegera mungkin pada kasus gejala
nyeri dada yang berulang. Pemeriksaan EKG sebelum pasien dipulangkan juga disarankan.
Pada hasil rekaman EKG yang normal, kemungkinan adanya NSTEMI-ACS belum bisa
disingkirkan. Pada kasus tertentu, iskemik pada area arteri sirkumfleks atau iskemik ventrikel
terisolasi seringkali terlewatkan dari EKG 12 sandapan, tetapi dapat dideteksi pada sandapan
V7V9 dan pada sandapan V3R DAN V4R. Pemeriksaan EKG standar pada saat istirahat
tidak secara adekuat merefleksikan gambaran trombosis koroner dan iskemik miokard.
Sekitar dua pertiga dari semua episode iskemik pada fase yang tidak stabil biasanya secara
klinis tidak tampak (silent), sehingga tidak terdeteksi pada pemeriksaan EKG ynag
konvensional. Oleh karena itu, rekaman online continuous computer-assisted 12-lead ST
segmen juga merupakan diagnostik yang bernilai.10
Gambar 5. ST elevasi pada sandapan II, III, Avf, V5, dan V6 serta depresi ST pada
prekordial13
Untuk menentukan lokasi iskemia atau infark miokard serta predileksi pembuluh
koroner mana yang terlibat, diperlukan dua atau lebih sadapan yang berhubungan yang
menujukkan gambaran anatomi daerah jantug yang sama dan dapat ditentukan sebagai
berikut :
Lokasi Infark
Gelombang Q/elevasi
ST (sadapan)
Arteri koroner
Antero-septal
Anterior
V3 dan V4
V5 dan V6
Anterior Ekstensif
I, aVL, V2 V6
Antero lateral
Septal
V1, V2
Posterior
V7 V9 (V1 V2)
Inferior
Right ventrikel
V3R V4R
Arteri
coroner
bagian proksimal
kanan
11
Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan adanya
nekrosis jantung (infark miokard). 4,12
CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis,
Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8
jam.
Creatinin Kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan
mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
Lactic dehydrogenase (LDH): meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard,
mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
13
14
15
transportasi ke rumah sakit melainkan karena lama waktu mulai onset nyeri dada sampai
keputusan pasien untuk meminta pertolongan pertama. Hal ini bisa ditanggulangi dengan cara
edukasi kepada masyarakat oleh tenaga profesional kesehatan mengenai pentingnya
tatalaksana dini. 4,8,9
Pemberian fibrinolitik prahospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedis di
ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasikan EKG dan tatalaksana STEMI dan
kendali komando medis online yang bertanggungjawab pada pemberian terapi. Di Indonesia
saat ini pemberian trombolitik pra hospital belum bisa dilakukan. 4,8,9
Gambar 8 . Pilihan transportasi pasien dengan STEMI dan terapi reperfusi awal9
2.7.1.2. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI mencakup:
mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat pasien yang merupakan kandidat
terapi reperfusi segera, triase pasien risiko rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan
menghindari pemulangan cepat pasien dengan STEMI. 4,8,9
1. Tatalaksana umum
16
Morfin
Morfin sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan
dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping
yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar
melalui penurunan simpatis. Sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi
curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elvasi
tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dengan NaCl
0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan
bradikardia atau blok jantung derajat tinggi terutama pasien dengan infark posterior.
Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV. 2,4
Aspirin
17
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien dengan STEMI dan efektif pada
spektrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenasi trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis
160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75160 mg. 2,4
Penyekat beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain
nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg setiap
2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60x/menit, tekanan
darah sistolik >100 mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm
dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol pral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan 100
mg tiap 12 jam. 2,4
Penggunaan beta blocker dan dosisnya :
Beta blocker
Metoprolol
Atenolol
Esmolol
Betanolol
Bisoprolol
Acebutolol
Dosis
25-200mg/12 jam
25-200mg/24 jam
50-300mg/kg/menit(iv)
5-20 mg/24 jam
5-20 mg/24 jam
200-600mg/12 jam
Antikoagulan
Pada infark miokard akut yang ST elevasi > 12 jam diberikan heparin bolus iv 5000
unit dilanjutkan drip 10000 IU /12 jam dengan infus selama rata-rata 5 hari dengan
menyesuaikan aPTT 1,5-2 nilai kontrol. Antikoagulan oral diberikan 3 bulan.
Terapi reperfusi
Reperfusi akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi
dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang
menjadi gagal pompa atau takiaritmia ventrikular yang maligna. 2,4
Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau medical
contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30
menit atau door-to-baloon (medical contact to-baloon) time untuk PCI dapat dicapai
dalam 90 menit. 2,4
Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain: 4
Risiko perdarahan
Jika terapi reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI.
Jika
PCI
tidak
tersedia,
manfaat
terapi
reperfusi
farmakologis
harus
4. Reperfusi Farmakologis
Fibrinolisis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit
sejak masuk (door-to-needle time < 30 menit). Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi
cepat patensi arteri koroner.2,4,8,9
Indikasi terapi fibrinolitik :2
1. Gejala yag sesuai dengan infark miokard akut
2. Perubahan EKG :
ST elevasi > 0,1 mm pada minimal 2 sandapan yang berdekatan
Gambaran bundle branch block baru atau diduga baru
3. Onset nyeri dada:
< 6 jam
: sangat bermanfaat
6-12 jam
: bermanfaat
20
>12 jam
berlanjut, yang terbukti dari berlanjutnya nyeri dada dan ST elevasi pada EKG.
Pemberian terapi fibrinolitik jangan menunggu hasil pemeriksaan enzim jantung,
karena penundaan yang tidak perlu ini dapat mengurangi miokardium yang seharusnya dapat
terselamatkan. Jika keluhan pasien sesuai dengan infark miokard akut dan kadar enzim
meningkat, namun tidak terdapat ST elevasi pada EKG, maka diagnosisnya adalah infark
non-ST elevasi. Pasien ini harus mendapat terapi heparin, aspirin, dan obat-obat anti-angina.
Terapi fibrinolitik/trombolitik tidak boleh diberikan pada NSTEMI. 2
Kontraindikasi absolut terapi fibrinolitik:2,4
1. Stroke hemoragik, kapanpun terjadinya atau stroke jenis lain yang terjadi dalam 1
tahun terakhir ini.
2. Neoplasma intrakranial
3. Perdarahan internal aktif (tidak termasuk menstruasi)
4. Suspek diseksi aorta
Kontraindikasi relatif terapi fibrinolitik:2,4
1.
2.
3.
4.
Antitrombin terapi
Kontraindikasi
spesifik
Riwayat SK atau
% selama 30 60
48 jam
21
Alteplase(tPA)
menit
15 mg iv bolus 0,75
Heparin iv selama
24-48 jam
Aktivitas
Diet
miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair dengna mulut dalam 4-12 jam
pertama. Diet mencakup lemak < 30 % kalori total dan kandungan kolesterol <300
mg/hari. Menu harus diperkaya dengan makanan yang kaya serat, kalium,
mg/hari).
Sedasi
periode inaktivitas dengan penenang. Diazepam 5 mg, oksazepam 15-30 mg, atau
lorazepam 0,5-30 mg, atau lorazepam 0,5-2 mg, diberikan 3-4 kali sehari biasanya
efektif.
Terapi Farmakologis
1. Antitrombotik
Penggunaan antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti
klinis dan laboratoris bahwa trombosis mempunyai peran penting dalam patogenesis. Tujuan
primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner
yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi trombosis.
Aspirin merupakan antiplatelet standar STEMI.4,8,9
22
reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan
stent. 4,8,9
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractinated
heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan trombolitik
spesifik fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan dan mempertahankan patensi
arteri yang terkait infark. Dosis yang direkomendasikan adalah 60 U/kg (maksimum 4000 U)
dilanjutkan infus inisial 12 U/kg
thromboplastin selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali. Antikoagulan alternatif
pada pasien STEMI adalah low-molecular-weight heparin (LMWH). 4,8,9
2. Penyekat Beta
Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi: yang terjadi segera
jika obat diberikan secara akut dan yag diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan
untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya
infark, dan menurunkan risiko aritmia ventrikel yang serius. 4,8,9
3. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas
bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Manfaat maksimal tampak pada
pasien dengan risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark
sebelumnya, dan/atau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan
manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan
hemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistolik >100 mmHg.
Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan
menurunkan risiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada psien yang
mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark. 4,8,9
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Penelitian klinis
mengenai gagal jantung menyatakan penggunaan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) pada
pasien yang intoleran dengan penggunaan inhibitor ACE. 4,8,9
23
Definisi
Mortalitas (%)
Tak ada tanda gagal jantung 6
kongestif
II
+ S3 dan/atau ronki basah
III
Edema paru
IV
Syok kardiogenik
Tabel 2.1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
17
30-40
60-80
25
Klas
Indeks Kardiak
(L/min/m2)
I
>2,2
II
>2,2
III
<2,2
IV
<2,2
PCWP : Pulmonary capilary wedge pressure
PCWP (mmHg)
Mortalitas (%)
<18
>18
<18
>18
3
9
23
51
Pada 25% episode IMA kematian terjadi mendadak dalam beberapa menit setelah
serangan, karena itu banyak yang tidak sampai ke rumah sakit. Mortalitas keseluruhan 15
26
30%. Risiko kematian tergantung pada faktor: usia1 penderita, riwayat penyakit jantung
koroner, adanya penyakit lain lain dan luasnya infark. Mortalitas serangan akut naik dengan
meningkatnya umur. Kematian kira kira 10 20 % pada usia di bawah 50 tahun dan 20%
pada usia lanjut.13
BAB III
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama
: Tn. M
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 48 tahun
Alamat
: Mandau-bengkalis
Tanggal Masuk RS
: 17 Maret 2014
27
ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama
Nyeri dada sejak 1 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 1 hari yang lalu SMRS pasien mengeluhkan Nyeri dada. Nyeri dirasakan
dengan durasi kurang lebih 1 menit. Nyeri dirasakan bertambah berat SMRS. Nyeri tidak
dipengaruhi oleh aktifitas dan tidak dipengaruhi dengan perubahan posisi tubuh. Nyeri
dirasakan seperti dihimpit benda berat dan rasa tertusuk tusuk serta dijumpai penjalaran
sampai ke punggung, nyeri hilang timbul dengan intensitas tetap. Nyeri dirasakan Os hilang
pada saat istirahat. Nyeri di sertai keringat dingin (+). Riwayat jantung berdebar-debar (-).
Riwayat Os pernah merokok sejak 29 tahun yang lalu sebanyak 2 bungkus/hari jenis filter
dengan hisapan dalam. Riwayat hipertensi tidak ada, Riwayat Hiperkolesterol tidak ada.
Awalnya pasien dibawa ke RS Sante yosep pada tanggal 14 maret 2014 kemudian karena
keterbatasan alat di RS tersebut akhirnya pasien dibawa ke RS permata hati pada tanggal 15
maret 2014 dan didiagnosa akut MCI inferior dan karena keterbatasan fasilitas di RS permata
hati kemudian pasien di rujuk ke RSUD Arifin achmad 16 maret 2014. Ketika di IGD Os
datang dengan keluhan nyeri dada (+) lalu kemudian Os di Rawat inap di RSUD Arifin
Achmad bagian Kardiologi, dan di diagnosa akut MCI Inferior, selama 4 hari pengobatan
keluhan os berkurang dan di perbolehkan pulang dengan keadaan membaik pada tanggal 19
Maret 2014.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita keluhan yang sama
Penyakit jantung (-)
Hipertensi (-)
DM (-)
Asma (-)
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum :
Kesadaran
:
Tanda-tanda vital :
:
:
kuat,
pengisian
cukup)
16x/menit
37,0C
Pemeriksaan fisik
Kepala dan leher
Kulit dan wajah
Mata
Mulut
Leher
Thorak
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
:
o Batas jantung kiri atas
midclavicularis sinistra
o Batas jantung kanan atas
: SIK III garis sternalis dextra
o Batas jantung kanan bawah
: SIK V garis sternalis dextra
Auskultasi
: Bunyi jantung I-II regular, gallop (-), murmur (-).
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
Ektremitas
Akral hangat, capillary refilling time < 2 detik, edema ekstremitas bawah (-), clubbing finger
(-), garis beau (-), telapak tangan lembab (-), tremor jari (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin (17/03/2014) :
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Trombosit
Eritrosit
:
:
:
:
:
13,5 gr/dl
38,6 %
17.400/mm3
261.000/mm3
4,49 juta/mm3
:
:
:
:
:
110 mg/dl
45 mg/dl
1,25 mg/dl
128 U/L
58 U/L
Glukosa
Ureum
Creatinin
AST
ALT
30
EKG awal
Kesan : Suspek infark inferior (ST elevasi pada lead II,III dan aVF).
31
RESUME
Tn.M 48 tahun, Rujukan dari RS Permata hati dengan keluhan nyeri dada sejak 1 hari
SMRS. Dari anamnesis didapatkan nyeri dirasakan dengan durasi kurang lebih 1 menit. Nyeri
dirasakan bertambah berat SMRS. Nyeri dirasakan seperti dihimpit benda berat dan rasa
tertusuk tusuk serta dijumpai penjalaran sampai ke punggung, nyeri hilang timbul dengan
intensitas tetap. Nyeri dirasakan Os hilang pada saat istirahat. Nyeri di sertai keringat dingin
(+). Riwayat Os pernah merokok sejak 29 tahun yang lalu sebanyak 2 bungkus/hari jenis
filter dengan hisapan dalam. Ketika di IGD Os datang dengan keluhan nyeri dada (+) lalu
kemudian Os di Rawat inap di RSUD Arifin Achmad bagian Kardiologi, dan di diagnosa akut
MCI Inferior, selama 4 hari pengobatan keluhan os berkurang dan di perbolehkan pulang
dengan keadaan membaik pada tanggal 19 Maret 2014.
Dari pemeriksaan fisik dalam batas normal. Dari pemeriksaan penunjang seperti EKG
didapatkan adanya gambaran ST elevasi pada lead II, III dan AVF. Pada rontgen thorak tidak
ditemukan kelainan.
DAFTAR MASALAH
1. Nyeri dada
2. Hipotensi
Rencana Penatalaksanaan
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Ramipril 1 x 2,5 mg
Simvastatin 1 x 20 mg
Follow up
Tanggal
18
Maret
2014
Akut
(-)
Lemas (+)
Nafsu
STEMI
makan
menurun
N: 56 x/menit
S: 37 C
P: 24 x/menit
ISDN 3 10 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Aspilet 1 x 80 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Ramipril 1 x 2,5 mg
Simvastatin 1 x 20 mg
(+)
Tanggal
19
Maret
2014
Akut
(-)
Lemas (+)
Nafsu
STEMI
makan
membaik
N: 60 x/menit
S: 36,5 C
P: 24 x/menit
ISDN 3 10 mg
Clopidogrel 1 x 75 mg
Aspilet 1 x 80 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Ramipril 1 x 2,5 mg
Simvastatin 1 x 20 mg
(+)
33
PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa pada pasien ini mengalami penyakit akut MCI inferior. Hal ini
berdasarkan dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan nyeri dada seperti dihimpit
benda berat dan diperkuat dari pemeriksaan EKG didapatkan infark inferior (ST elevasi pada
lead II,III dan aVF ).
Masalah pada pasien adalah nyeri dada dan hipotensi. Berdasarkan kepustakaan
diketahui bahwa manifestasi klinis akut MCI inferior adalah nyeri dada seperti dihimpit
benda berat dikarenakan nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan sehingga berakibat adanya gangguan pada organ-organ tubuh. Penatalaksaan pada
pasien ini adalah dengan pemberian obat ISDN 3 10 mg, Clopidogrel 1 x 75 mg, Aspilet 1
x 80 mg, Bisoprolol 1 x 2,5 mg, Ramipril 1 x 2,5 mg, Simvastatin 1 x 20 mg.
34
DAFTAR PUSTAKA
Diunduh
dari
4. Sudoyo, A.W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi ke-IV.
Jakarta: Balai penerbitan FK UI.
5. Rilantono, L.I., dkk. 2001. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta Balai penerbitan FK UI.
173-178
6. Kalim, H., dkk. 2004. Pedoman Perhimpunan Kardiovaskular Indonesia: Tatalaksana
Sindroma Koroner Akut Tanpa ST-Elevasi. Jakarta: PERKI.
7. Stary, H.C., et al. 2002. Update on the Medical Management of Acute Coronary
Syndrome.
8. OConnor, et al. 2010. Circulation Journal of American Heart Association: Part 10:
Acute Coronary Syndromes : 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
9. Antman, A. M., et al. 2004. Circulation Journal of American Heart Association:
ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-Elevation Myocardial
Infarction
Executive
Summary.
Diunduh
dari:
http://circ.ahajournals.org/content/110/5/588.full.pdf+html
10. Antman, A. M., et al. 2008. Circulation Journal of American Heart Association: 2007
Focused Update of the ACC/AHA 2004 Guidelines for the Management of Patients
With
ST-Elevation
Myocardial
Infarction.
Diunduh
dari:
http://circ.ahajournals.org/content/123/18/2022.full.pdf
11. Hamn, C.W., et al. 2011. European Heart Journal : ESC Guidelines for the
management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent
ST-segment
elevation.
Diunduhdari:
http://www.escardio.org/guidelinessurveys/escguidelines/GuidelinesDocuments/Guid
elines- NSTE-ACS-FT.pdf
35
12. Tobing, D. 2006. ECG Changes In Ischemia, Injury and Infarction. Department Of
Cardiology and Vascular Medicine Faculty of Medicine University of Indonesia
National Cardiovascular Center Harapan Kita.
13. Price S. A. Patofisiology : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta EGC
2005. Hal 580-595
36