dan
merupakan
mediator
rangsang
syaraf.
HPA-axis
dalam
konsep
hormon
melawan
dan
penerbangan,
amigdala.
Hipotalamus merupakan pusat kontrol untuk sebagian besar sistem hormon tubuh.
Sel-sel dalam hipotalamus menghasilkan hormon corticotrophin-releasing factor (CRF) pada
manusia sebagai tanggapan atas sebagian besar semua jenis stres fisik atau psikologis, yang
pada gilirannya mengikat reseptor spesifik pada sel-sel hipofisis, yang menghasilkan hormon
adrenocorticotropic (ACTH). ACTH ini kemudian diangkut ke targetnya kelenjar adrenal
merangsang produksi hormon adrenalin. Kelenjar adrenal yang terletak di atas ginjal lalu
meningkatkan sekresi kortisol. Pelepasan kortisol memulai serangkaian efek metabolik yang
bertujuan untuk mengurangi efek berbahaya dari stres melalui umpan balik negatif baik
kepada hipotalamus dan hipofisis anterior, yang mengurangi konsentrasi ATH dan kortisol di
dalam darah setelah keadaan stres reda.
Psikoneuroimunologi sebagai ilmu yang digunakan untuk menjelaskan tentang
respons imun pada kondisi stres mulai dikembangkan. Holden (1980) dan Ader (1981)
menyatakan bahwa psikoneuroimunologi adalah kajian yang melibatkan berbagai segi
keilmuan, neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Martin (1938) mengemukakan
2 konsep dasar psikoneuroimunologi yaitu:
Status emosi menentukan fungsi sistem kekebalan. Stres dapat meningkatkan
kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma. Sistem saraf, endokrin, dan sistem imun
saling berhubungan dengan memanfaatkan berbagai substansi penghantar sinyal stres dan
reseptor sinyal, yang berakibat terjadi pengaturan perilaku sel pada sistem imun Stres dapat
menyebabkan peningkatan kortisol dan katekolamin sehingga akan menekan aktivitas sel
imunokompeten yang berakibat pada penurunan ketahanan tubuh. Konsep ini memberi
peluang untuk menjelaskan perubahan biologis sebagai bentuk respons stres oleh rangsangan.
Sinyal stres yang dirasakan individu, dirambatkan melalui hypotalamic - pituitary adrenocortical axis (HPA axis). Stresor menyebabkan peningkatan corticotropin releasing
factor (CRF) hipotalamus, yang memicu aktivitas HPA aksis. Pengaruh kortisol pada
hambatan sekresi IL-l eleh makrofag dan IT,-2 .Boleh sel Th yang clapat menurunkan sintesis
imunogobulin oleh sel. Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan
tidak terpenuhi secara adekuat sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor
(1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan
reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau
menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres. Sedangkan Selye (1976)
mendefinisikan stres sebagai the nonspesific response of the body to any demand, stress
juga dapat diartikan sebagai berikut, stress occurs where there are demands on the person
which tax or exceed his adjustive resources (Lazarus, 1976).
Stres dapat mengenai semua orang dan semua usia. Stres baik ringan, sedang maupun
berat dapat menimbulkan perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku. Stres
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu akut dan kronik (Wheaton, 1983). Sedangkan
dalam penelitian Ross dan Viowsky (1979) menyatakan bahwa efek psikologi tidak
tergantung pada jumlah stres maupun beratnya stres yang terjadi, akan tetapi tergantung pada
status stress itu sendiri, apakah stres tersebut diinginkan (desirable stress) atau tidak
diinginkan (undesirable stress). Stres yang tidak diinginkan mempunyai potensi yang lebih
besar
dalam
menimbulkan
efek
psikologik.
Menurut Prawirohusodo, stresor adalah faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres. Stresor
dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu :
Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain.
Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta dan
lain-lain.
Stresor
sosial
budaya
menganggur,
perceraian,
perselisihan
dan
lain-lain.
Stres yang merusak sering disebut distress, adalah ketika seseorang mendapat impuls
rangsangan secara terus-menerus dan berulang kali yang melampaui batas adaptasi. Telah
dilaporkan bahwa pekerja yang berada atau bekerja di tempat yang mempunyai tingkat
kebisingan tinggi sering mengalami gangguan kesehatan dan mudah terserang infeksi
(Budiman, 2004).
hormon (terutama kortisol pada manusia) sebagai tanggapan terhadap rangsangan oleh
ACTH. Glukokortikoid pada gilirannya kembali bertindak hipotalamus dan hipofisis (untuk
menekan
produksi
CRH
dan
ACTH)
dalam
siklus
umpan
balik
negatif.
CRH dan vasopresin dilepaskan dari terminal saraf neurosecretory di median eminence.
Mereka diangkut ke anterior pituitari melalui sistem pembuluh darah portal dari hypophyseal
tangkai. Di sana, CRH dan vasopresin bertindak sinergis untuk merangsang sekresi ACTH
dari corticotrope disimpan sel. ACTH ini diangkut oleh darah ke korteks adrenalin dari
kelenjar adrenal, di mana cepat merangsang biosintesis kortikosteroid seperti kortisol dari
kolesterol.
Kortisol adalah hormon stres utama dan memiliki efek pada berbagai jaringan dalam
tubuh, termasuk pada otak. Di otak, kortisol bekerja pada dua jenis reseptor - reseptor
mineralokortikoid dan glukokortikoid reseptor, dan ini dinyatakan oleh berbagai jenis neuron.
Salah satu target penting Glukokortikoid adalah hipotalamus, yang merupakan pusat
pengendali utama dari sumbu HPA.
INTERAKSI ANTARA STRES DENGAN SISTEM IMUN
Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang
terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf
otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan
keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai
organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan
neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary
Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (HypothalamicPituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti.