Anda di halaman 1dari 2

Ambalat

Sadumuk Bathuk, Sanyari Bumi


Alexandra Retno Wulan

Mon Jun 12 2006

Koran Tempo - 12 June 2009


Jelas Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki agenda jelas dan komitmen tegas
untuk usaha mempertahankan wilayah teritorial dan kedaulatan serta martabat bangsa
Indonesia di masa mendatang
Indonesia lagi-lagi mendapat tantangan besar dalam isu keamanan nasionalnya. Setelah
jatuhnya pesawat Hercules yang menunjukkan betapa sangat rapuhnya alat utama sistem
persenjataan (alutsista) Indonesia, selama beberapa hari terakhir perairan Indonesia di
wilayah Ambalat lagi-lagi dimasuki kapal cepat milik pemerintah Malaysia dengan frekuensi
lebih sering.
Blok Ambalat, atau Blok ND bagi Malaysia, adalah wilayah seluas 15.235 kilometer persegi
yang penuh dengan minyak dan gas bumi. Wilayah ini merupakan bagian dari perairan
Indonesia di kawasan Laut Sulawesi menurut Konvensi Laut Internasional 1982. Selama
2008, Koran Tempo mencatat bahwa pelanggaran wilayah perairan Indonesia oleh kapalkapal milik Tentara Laut Diraja Malaysia terjadi 28 kali. Selama 2009, intrusi kapal Malaysia
sudah dicatat sebanyak 13 kali dan tidak hanya oleh kapal tentara tapi juga kapal-kapal
kepolisian Malaysia. Dengan kata lain, pemerintah Malaysia justru sudah menganggap
wilayah Blok Ambalat atau Blok ND sebagai wilayah di bawah otoritas kementerian dalam
negerinya.
Menurut teori ilmu hubungan internasional, kedaulatan negara masih merupakan isu utama
dan penting dalam hubungan bilateral, regional, maupun internasional. Karena itu, batas
teritorial negara menjadi salah satu prinsip yang harus diperjuangkan dan dipertahankan.
Hampir semua perang yang terjadi dalam sejarah adalah perang memperebutkan wilayah
teritorial negara. Selain itu, ilmu hubungan internasional juga mengajukan bahwa perang
harus dianggap sebagai alternatif terakhir sebuah proses politik. Theodore Roosevelt dalam
sebuah pidatonya di New York pada 1899 pernah mengatakan bahwa sebaiknya menghindari
memukul orang, tetapi apabila harus dilakukan, lakukanlah dengan keras hingga terjatuh.
Dengan demikian, ada dua hal yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan interaksi
negara dalam konteks hubungan internasional.
Pertama, penting bagi setiap negara untuk dapat memanfaatkan secara maksimal seluruh
sumber daya yang dimilikinya untuk menghindari perang dalam kaitannya dengan
mempertahankan kedaulatan teritorialnya. Diplomasi selama ini dipercaya merupakan
instrumen utama dalam interaksi antarnegara. Dalam kasus Ambalat, Departemen Luar
Negeri Indonesia menyatakan telah berkali-kali mengirim nota protes. Tetapi, dengan
kenyataan bahwa frekuensi intrusi meningkat selama dua tahun terakhir, tampaknya hampir
dapat dipastikan diplomasi Indonesia dipandang tidak cukup bergigi oleh Malaysia, apalagi
setelah kasus Sipadan dan Ligitan. Karena itu, Indonesia harus memikirkan langkah langkah
strategis lain dalam proses diplomasi kasus ini, misalnya dengan mempertimbangkan
peningkatan tahap protes diplomatik dengan memberikan ancaman pemutusan hubungan
bilateral di antara kedua negara.

Kedua, persiapan untuk memukul lawan tetap harus dilakukan oleh Indonesia. Adagium Latin
si vis pacem para bellum, atau dalam bahasa Indonesia "untuk mencapai perdamaian harus
mempersiapkan perang", mungkin masih sangat signifikan dalam kerangka kontemporer
masa kini. Karena itu, hitungan anggaran perang yang harus disiapkan sebesar Rp 20 triliun
per bulan apabila Indonesia menyatakan perang menjadi kurang penting dibandingkan
dengan kebutuhan konkret untuk mempersiapkan peningkatan anggaran pertahanan negara
untuk mencapai persentase ideal 10-15 tahun mendatang. KRI Suluh Pari, KRI Untung
Surapati, dan KRI Hasanuddin telah menunjukkan keandalannya menghalau segala bentuk
pelanggaran wilayah perairan Indonesia yang dilakukan oleh kapal cepat Malaysia. Tetapi
tetap alutsista Indonesia secara relatif kalah gesit dibandingkan dengan kapal-kapal tentara
laut dan bahkan dengan kapal polisi Malaysia. Jelas bahwa kebutuhan transformasi
pertahanan Indonesia akan modernisasi alutsista adalah sebuah keniscayaan, terutama setelah
berbagai kasus yang menunjukkan lemahnya alat utama sistem persenjataan Indonesia dan
masih kurang gesitnya Indonesia menghalau berbagai pelanggaran terhadap wilayah
perbatasan laut dan udaranya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan di
Ambalat adalah harga mati. Tapi, selama masa pemerintahannya, tampaknya usaha diplomasi
maupun pertahanan, terutama dalam kasus Ambalat, tidak menunjukkan hasil. Peningkatan
frekuensi pelanggaran batas wilayah justru terjadi selama dua tahun terakhir sejak kasus
Ambalat mengemuka pada 2003. Meminjam adagium Jawa soal pentingnya mempertahankan
keutuhan wilayah, kedaulatan negara, dan martabat bangsa, jelas Indonesia membutuhkan
pemimpin yang memiliki agenda jelas dan komitmen tegas untuk usaha mempertahankan
wilayah teritorial dan kedaulatan serta martabat bangsa Indonesia di masa mendatang,
sehingga tidak ada lagi kasus Sipadan-Ligitan yang sangat menyakitkan hati seluruh bangsa
Indonesia. *
http://www.csis.or.id/publications/page/ambalat__sadumuk_bathuk__sanyari_bum
i.html

Anda mungkin juga menyukai