Anda di halaman 1dari 36

15

BAB II

LANDASAN TEORI

A. KONSEP DIRI

1. Pengertian Konsep Diri

Dalam kamus besar bahasa Indonesia istilah ―konsep‖ memiliki arti

gambaran, proses atau hal-hal yang digunakan oleh akal budi untuk memahami

sesuatu. Istilah ―diri‖ berarti bagian-bagian dari individu yang terpisah dari yang

lain. Konsep diri dapat diartikan sebagai gambaran seseorang mengenai dirinya

sendiri atau penilaian terhadap dirinya sendiri (KBBI, 2008).

Konsep diri merupakan sebuah konstruk psikologis yang telah lama menjadi

pembahasan dalam ranah ilmu-ilmu sosial (Marsh & Craven, 2008). Shavelson,

Hubner, & Stanton (1976) menyatakan bahwa konsep diri merupakan persepsi

seseorang terhadap dirinya sendiri, dimana persepsi ini dibentuk melalui

pengalaman dan interprestasi seseorang terhadap dirinya sendiri. Marsh (1990)

juga menambahkan bahwasanya konsep diri merupakan nilai dari hasil proses

pembelajaran yang dilakukan dan dari hasil situasi psikologis yang diterima.

Menurut Purkey (1988), konsep diri merupakan totalitas dari kepercayaan

terhadap diri individu, sikap dan opini mengenai dirinya, dan individu tersebut

merasa hal tersebut sesuai dengan kenyataan pada dirinya. Menurut Rice & Gale

(1975) konsep diri terdiri diri dari berbagai aspek, misalnya aspek sosial, aspek

fisik, dan moralitas. Konsep diri merupakan suatu proses yang terus selalu

berubah, terutama pada masa kanak-kanak dan remaja. Menurut Gage dan

Berliner (1998) selain merupakan cara bagaimana individu melihat tentang diri

15
16

mereka sendiri, konsep diri juga mengukur tentang apa yang akan dilakukan di

masa yang akan datang, dan bagaimana mereka mengevaluasi performa diri

mereka.

Konsep diri merupakan hal yang penting dalam kehidupan sebab

pemahaman seseorang mengenai konsep dirinya akan menentukan dan

mengarahkan perilaku dalam berbagai situasi. Jika konsep diri seseorang negatif,

maka akan negatiflah perilaku seseorang, sebaliknya jika konsep diri seseorang

positif, maka positiflah perilaku seseorang tersebut (Fits dan Shavelson, dalam

Yanti, 2000). Hurlock (1999) menambahkan bahwasanya konsep diri individu

dapat menentukan keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam hubungannya

dengan masyarakat.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwasanya konsep diri

adalah sebuah pandangan ataupun persepsi individu mengenai dirinya sendiri

yang terbentuk melalui interaksi dengan lingkungan serta berpengaruh terhadap

aktivitas kehidupan individu tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

teori konsep diri Shavelson ,dkk (1976).

2. Perkembangan Teori Konsep diri

Freud pada tahun 1900 mengungkapkan bahwasanya hal yang terpenting

dari diri individu adalah proses mental. Freud mengatakan bahwasanya konsep

diri merupakan sebuah unit psikologis yang paling dasar untuk memahami proses

mental individu. Konsep ini terus dikembangkan oleh Freud dalam perkembangan

teori ego dan dalam interpretasi terhadap diri individu. Dalam perkembangannya,

konsep diri semakin luas digunakan dalam dunia terapi dan konseling. Lecky pada

tahun 1945 menggunakan istilah konsistensi diri yang mengacu pada dasar-dasar

16
17

perilaku individu dalam terapi dan pada tahun 1948, Raimy memperkenalkan

istilah konsep diri dalam wawancara konseling karena ia melihat bahwasanya

dasar-dasar dari konseling adalah bagaimana individu tersebut melihat dirinya

secara utuh dalam konsep dirinya (Purkey, 1988).

Selanjutnya, Roger pada tahun 1947 mencoba untuk mengembangkan pola

“self” dalam sebuah sistem psikologis. Roger menilai bahwa ―self” merupakan

dasar atau hal utama yang menjadi bagian dari kepribadian dan penyesuaian

individu. Roger juga mengatakan bahwasanya ―self” merupakan produk sosial

yang tumbuh dari proses interpersonal yang dilakukan. Teori konsep diri semakin

berkembang pada tahun 1970 sampai tahun 1980-an dengan pola konsep diri

umum. Pada saat itu semakin banyak peneliti yang menyadari betapa pentingnya

mempelajari konsep diri karena konsep diri sangat mempengaruhi perilaku

individu. Dalam permasalahan seperti penggunaan alkohol, permasalahan

keluarga, penyalahgunaan obat-obatan, masalah akademis dan lain sebagainya,

sangat dipengaruhi oleh konsep diri seseorang. Sehingga banyak para peneliti

mengembangkan suatu cara bagaimana agar dapat menguatkan konsep diri untuk

menjadi lebih baik (Purkey, 1988).

Pada awalnya konsep diri merupakan suatu konstruk yang bersifat umum

atau yang lebih dikenal dengan istilah unidimensional (Prasetyo, 2006). Konsep

diri umum merupakan generalisasi pemahaman konsep diri tanpa melihat

deskripsi spesifik dari apa yang dilihat secara khusus. Hal ini mengandung arti

bahwa konsep diri umum merupakan pemahaman seorang individu terhadap diri

mereka secara umum tanpa melihat bagian-bagian yang lebih spesifik dari diri

mereka (Puspasari, 2007).

17
18

Perkembangan konsep diri selanjutnya lebih mengarah pada konsep diri

yang bersifat spesifik atau yang lebih dikenal dengan istilah multidimensional.

Konsep diri spesifik merupakan pola penilaian konsep diri individu yang melihat

ke dalam perspektif yang lebih luas terhadap diri individu, sehingga bisa

mendapatkan gambaran diri individu dari berbagai sudut pandang yang beragam

dan dinamis (Metivier, 2009). Jika hanya ada satu penjelasan mengenai konsep

diri unidimensional, maka pada konsep diri multidimensional dapat melihat diri

seseorang dari berbagai konteks, seperti konsep diri spiritual, konsep diri sosial,

konsep diri terhadap lingkungan dan lain sebagainya (James, dalam Metivier,

2009).

Pada seperempat abad terakhir, penelitian mengenai konsep diri semakin

meningkat. Hal ini disebabkan karena keinginan para peneliti untuk

mengembangkan konstruk konsep diri pada diri individu. Salah satu pola

pengembangan konsep diri yang banyak dilakukan adalah dengan menggunakan

pola konsep diri yang bersifat multidimensional (Marsh & Craven, 2008). Marsh

& Parker (dalam Metivier, 2009) mengatakan bahwasanya pola pengukuran

konsep diri yang bersifat multidimensional memiliki beberapa keuntungan

dibandingkan dengan pola unidimensional. Dalam konsep diri yang bersifat

multidimensional kita dapat melihat karakteristik individu dari berbagai macam

konteks pada diri individu, dapat memprediksi perilaku seseorang, dapat

membantu menyelesaikan permasalahan pada individu, dan dapat

mengembangkan integrasi antar konstruk daripada konsep diri yang bersifat

unidimensional.

18
19

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep diri yang bersifat

multidimensional. Hal ini dilakukan untuk mengetahui konsep diri secara spesifik

sehingga mendapatkan berbagai macam konsep diri individu dari sudut pandang

yang beragam selain dari beberapa keunggulan pola konsep diri multidimensional

yang telah disebutkan di atas.

3. Jenis dan Struktur Konsep Diri

Shavelson, Hubner, dan Stanton (1976) membagi konsep diri menjadi

beberapa bagian, yakni general-esteem, konsep diri akademis dan konsep diri non

akademis. Dimana konsep diri akademis dan non akademis dibagi menjadi

beberapa bagian lagi seperti dalam tabel berikut :

Gambar 1
Struktur konsep diri Shavelson, Hubner, & Stanton (1976)

Konsep diri secara umum dibagi ke dalam 4 jenis konsep diri, yakni :

1. Konsep diri akademis (Academic self concept), yang terdiri dari konsep diri

mengenai kemampuan berbahasa inggris, sejarah, matematika, dan ilmu

pengetahuan alam.

19
20

2. Konsep diri Sosial (social self-concept), yang terdiri dari konsep diri teman

sebaya (peers) dan konsep diri terhadap orang berpengaruh (significant

others).

3. Konsep diri emosional (emotional self-concept).

4. Konsep diri fisik (physical self-concept), yang terdiri dari konsep diri

kemampuan fisik dan konsep diri mengenai penampilan diri.

Kemudian pada tahun 1985, Marsh merevisi struktur konsep diri bersama

dengan Shavelson dengan pola sebagai berikut :

Gambar 2
Struktur Konsep Diri Marsh & Shavelson (1985)

Dalam pola ini Marsh & Shavelson tidak membentuk pola hierarkial.

Namun lebih kepada pola multifacet dari general konsep diri kepada banyak jenis

konsep diri seperti konsep diri penampilan fisik, hubungan dengan orangtua,

akademis, problem-solving, spiritual, hubungan teman sebaya baik yang sejenis

maupun lawan jenis, kejujuran, emosional dan lain-lain.

Marsh & Shavelson (1985) dalam teorinya membuat 13 jenis konsep diri

yang dapat diteliti dalam diri individu, yakni :

1. Konsep diri umum (general self-concept).

2. Konsep diri akademis (academic self-concept).

3. Konsep diri matematika (mathematic self-concept).

20
21

4. Konsep diri problem-solving.

5. Konsep diri spiritual.

6. Konsep diri kestabilan emosi (emotional self-concept).

7. Konsep diri yang berhubungan dengan teman yang berjenis kelamin sama

(same sex peers self-concept).

8. Konsep diri yang berhubungan dengan teman yang berjenis kelamin berbeda

(opposite sex peers self-concept).

9. Konsep diri hubungan orangtua (parent self-concept).

10. Konsep diri penampilan fisik (physical appearance self-concept).

11. Konsep diri kekuatan fisik (physical ability self-concept).

12. Konsep diri verbal (verbal self-concept).

13. Konsep diri kejujuran (honesty self-concept).

Dari berbagai macam jenis konsep diri Marsh & Shavelson di atas, peneliti

hanya mengambil tujuh jenis konsep diri yang akan diteliti. Hal ini dilakukan

peneliti karena ketujuh jenis konsep diri ini dianggap berpengaruh oleh peneliti

terhadap proses mentoring Agama Islam yang dilaksanakan.

Ketujuh jenis konsep diri tersebut adalah :

1. konsep diri akademis, dalam prosesnya mentoring mengajarkan tentang

motivasi belajar dan strategi untuk memaksimalkan potensi akademis peserta

mentoring.

2. konsep diri problem-solving, dalam prosesnya mentoring melatih peserta untuk

berfikir untuk memecahkan permasalahan yang ada.

3. konsep diri spiritual, dalam prosesnya mentoring memiliki tujuan utama untuk

meningkatkan potensi spiritual dalam diri peserta.

21
22

4. konsep diri kejujuran, dalam prosesnya mentoring mengajarkan tentang moral

(akhlak) yang di dalamnya terdapat poin-poin mengenai kejujuran.

5. konsep diri parent-relation, dalam prosesnya mentoring juga membicarakan

mengenai cara berbakti dengan orangtua.

6. konsep diri emotional, dalam prosesnya mentoring melatih peserta untuk dapat

mengelola diri dan emosinya.

7. konsep diri umum (general-esteem), dalam prosesnya mentoring memiliki

tujuan untuk membangun individu untuk menjadi insan yang lebih berguna secara

paripurna (keseluruhan).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Konsep diri seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal

(Marsh, 2003; Burger, 2008). Faktor internal tersebut diantaranya adalah

intelegensi, motivasi dan emosi (Marsh, 2003; Stuart & Sudeen, 1998; Hurlock,

1999), kompetensi personal (Marsh, 2003; Hurlock, 1999; Christa, 2007;),

episode keberhasilan dan kegagalan (Burger, 2008; Stuart & Sudeen, 1998;

Hurlock, 1999; Ulfah, 2007), episode dalam kehidupan (Burger, 2008; Stuart &

Sudeen, 1998) keberhasilan personal (Marsh, 2003), status kesehatan (Burger,

2008; Hurlock, 1999), usia (Burger, 2008; Stuart & Sudeen, 1998; Ulfah, 2007;

Rola, 2006), kondisi dan penampilan fisik (Hurlock, 1999; Rola, 2006), persepsi

individu tentang kegagalan (Burger, 2008; Stuart & Sudeen, 1998), jenis kelamin

(Rola, 2006), aktualisasi diri (Fits, dalam Agustiani, 2006), religiusitas (Agustiani,

2006) dan tingkat stres seseorang (Burger, 2008).

Sedangkan faktor eksternal diantaranya adalah lingkungan keluarga

(Marsh, 2003; Stuart & Sudeen, 1998; Hurlock; Ulfah, 2007; Shavelson & Roger,

22
23

1981; Christa, 2007), teman sebaya (Marsh, 2003; Stuart & Sudeen, 1998; Ulfah,

2007; Shavelson & Roger, 1981; Christa, 2007), peran pendidik (Marsh, 2003;

Stuart & Sudeen, 1998; Hurlock, 1999; Ulfah, 2007; Shavelson & Roger, 1981;

Christa, 2007), kebudayaan (Hurlock, 1999; Ulfah, 2007; Shavelson & Roger,

1981), status sosial (Hurlock, 1999; Ulfah, 2007; Shavelson & Roger, 1981), dan

pengalaman interpersonal (Fits, dalam Agustiani, 2006).

Dari berbagai faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang, maka

peneliti mengambil kesimpulan bahwasanya faktor-faktor utama yang

mempengaruhi konsep diri pada mahasiswa adalah :

1. Faktor internal :

a. Intelegensi, motivasi dan emosi (karakter mahasiswa).

b. Kompetensi personal (kemampuan dan keterampilan tertentu yang dimiliki

oleh mahasiswa).

c. Episode dalam kehidupan (pengalaman mahasiswa yang berpengaruh

besar dalam hidup, seperti masa sekolah).

d. Episode keberhasilan dan kegagalan (pengalaman dalam memanfaatkan

peluang, misalnya pengalaman berorganisasi).

e. Keberhasilan personal (pengalaman berprestasi).

f. Status kesehatan (riwayat kesehatan mahasiswa).

g. Penampilan fisik (kepercayaan diri mahasiswa terhadap penampilannya).

h. Aktualisasi diri, (misalnya hobi mahasiswa).

i. Persepsi tentang kegagalan (pengalaman kegagalan di masa lalu).

j. Jenis kelamin.

k. Religiusitas.

23
24

l. Usia.

m. Tingkat stres.

2. Faktor Eksternal

a. Orangtua dan keluarga (hubungan dengan orangtua, termasuk tempat

tinggal individu).

b. Teman sebaya (misalnya teman bermain/peers,teman kuliah, dan lain-

lain).

c. Peran pendidik (misalnya peran dosen, pementor, pembina, dan lain-lain).

d. Kebudayaan (misalnya suku, agama, adat istiadat, dan lain-lain).

e. Status sosial (misalnya status pendidikan orangtua, pendapatan orangtua,

dan lain-lain).

f. Pengalaman interpersonal (misalnya riwayat pembinaan yang pernah

dilakukan).

Dalam penelitian ini, hal yang difokuskan untuk meningkatkan konsep diri

mahasiswa muslim adalah melalui faktor religiusitas dari faktor internal, dan

peran pendidik dari faktor eksternal.

5. Pengukuran Konsep Diri

Burns (dalam Strein, 1995) mengemukakan dua cara yang dapat dilakukan

untuk mengukur konsep diri, yaitu :

1. Melalui respon atas aitem-aitem dalam skala konsep diri spesifik yang

diberikan kepada subjek.

2. Melalui pengamatan individual atas pola perilaku yang muncul dari subjek.

Untuk metode pelaporan yang dapat digunakan dalam mengukur konsep diri

individu di antaranya :

24
25

1. Skala Penilaian

Skala ini dapat berupa kuesioner, inventori, atau skala-skala sikap yang

diberikan kepada subjek.

2. Daftar ceklist

Metode ini mengarahkan subjek untuk memilih aitem-aitem yang sesuai

dengan kondisi subjek yang sebenarnya.

3. Teknik Sort-Q

Metode ini mengarahkan subjek untuk melakukan sortir ataupun pengurutan

terhadap kumpulan aitem-aitem yang ada dalam tes. Sehingga didapatkan

sebuah kontinum penilaian yang sesuai dengan diri subjek.

4. Metode respons yang tidak terstruktur (bebas)

Metode ini meminta subjek untuk memberikan jawaban yang tidak terstruktur

(bebas). Jenis soal yang ditawarkan biasanya tertulis dalam bentuk essay,

dimana subjek disuruh untuk menuliskan kata-kata dalam kolom yang

kosong.

5. teknik-teknik proyektif

Teknik ini sering digunakan dalam mengukur konsep diri yang tidak sadar

(unconscious self-concept).

6. Wawancara

Alat ukur yang dapat digunakan dalam mengukur konsep diri ini cukup

banyak. Marsh (1992) membuat beberapa alat ukur konsep diri yang dapat

digunakan di berbagai negara, diantaranya adalah SAS (Sydney Attributional

Scale), SDQI, SDQII, & SDQIII (Self Description Questionnaire), ASDQI &

ASDQII (Academic Self Description Questionnaire), EASDQ (Elite Athlete Self

25
26

Description Questionnaire), PSDQ (Physical Self Description Questionnaire), dan

NSCQ (Nurse Retention Index Questionnaire).

Selain di atas, alat ukur konsep diri lainnya yang sering digunakan adalah

adalah Tennessee Self-Concept Scale –Second Edition, Coopersmith Self-Esteem

Inventory, Multidimensional Self Concept Scale, Piers-Harris Children’s Self-

Concept Scale (Ellie, Hoffman, & Kemple, 2011).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur SDQIII (Self

Description Questionnaire) yang dikembangkan oleh Marsh (1984). SDQIII

merupakan alat ukur lanjutan dari SDQI dan SDQII. Alasan peneliti

menggunakan alat ukur ini karena SDQIII dapat digunakan untuk subjek yang

berusia remaja akhir hingga dewasa. Sejalan dengan tujuan penelitian ini adalah

untuk mengukur konsep diri remaja akhir (mahasiswa). Sedangkan metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah melalui teknik ceklist dan wawancara.

Teknik ceklist dilakukan dengan memberikan ceklist pada skala SDQIII yang

sesuai dengan keadaan diri subjek. Teknik wawancara dilakukan untuk

memperkuat hasil penelitian dari skala.

B. RELIGIUSITAS

1. Pengertian Religiusitas

Drikarya (dalam Widiyanta, 2005) mendefinisikan religiusitas sebagai

kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan yang berfungsi

untuk mengikat dan mengutuhkan seseorang atau kelompok orang dalam

hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia serta alam sekitarnya. Menurut

26
27

Joni (2008), religiusitas adalah suatu penghayatan ajaran agama yang mengarah

kepada ketaatan dan komitmen seseorang dalam melaksanakan ajaran agamanya.

Menurut Rahmat (1989), religiusitas adalah kepercayaan individu tentang

ajaran-ajaran agama tertentu yang dianut dan dampak dari ajaran agama dalam

kehidupan sehari-hari. Mangunwijaya (1986) mengungkapkan bahwa religiusitas

lebih melihat kepada segala sesuatu yang ada dalam lubuk hati, getaran hati

nurani pribadi, serta sikap personal yang menjadi misteri bagi orang lain karena

menapaskan intimitas jiwa, yaitu cita rasa yang mencakup totalitas kedalaman isi

pribadi manusia.

Dari segenap definisi di atas dapat disimpulkan bahwasanya religiusitas

merupakan keyakinan atau kerpercayaan individu terhadap ajaran agama yang

berasal dari nurani pribadi seseorang yang diaplikasikan dalam bentuk komitmen

ibadah dan pengamalan nilai-nilai hidup sehari-hari.

2. Aspek-Aspek Religiusitas

Menurut Marsal (2008) ada 5 dimensi dari religiusitas, yaitu :

a. Religious belief atau disebut juga dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh

mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya

kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka.

b. Dimensi praktis keagamaan (religious practice), yaitu tingkatan sejauh mana

seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya yang berupa

ibadah, misalnya shalat, berdoa, sembahyang, meditasi.

c. Dimensi pengalaman keagamaan (the experience dimension or religious

experience), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-

kewajiban ritual dalam agamanya. yang mencakup kenyataan bahwa semua

27
28

agama punya harapan yang standar (umum) namun setiap pribadi penganutnya

bisa memperoleh suatu pengalaman langsung dan pribadi (subyektif) dalam

berkomunikasi dengan realitas supranatural itu. Misalnya merasa dekat dengan

Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh

Tuhan, dan sebagainya.

d. Dimensi pengetahuan (the knowledge dimension) adalah dimensi yang

menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran

agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci manapun yang lainnya. yang

merujuk pada ekspektasi bahwa penganut agama tertentu hendaknya memiliki

pengetahuan minimum mengenai hal-hal pokok dalam agama: iman, kristus,

Kitab Suci dan tradisi.

e. Dimensi konsekuensi sosial (the consequences dimension) yaitu dimensi yang

mengukur sejauh mana prilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya

dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya sakit,

menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya. Dimensi

ini mengidentifikasi efek dari keempat dimensi diatas dalam praktek, pengalaman

serta kehidupan sehari-hari.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Thouless (1992), membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

keagamaan menjadi empat macam, yaitu :

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran

Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan

keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, sekolah, kampus, tradisi-

28
29

tradisi sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan

berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu.

b. Faktor kebutuhan

Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap

keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan

pengalaman emosional keagamaan.

c. Faktor kehidupan

Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat, yaitu :

1. kebutuhan akan keamanan atau keselamatan

2. kebutuhan akan cinta kasih,

3. kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan

4. kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian.

d. Faktor intelektual

Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya ada dua faktor umum

yang mempengaruhi religiusitas seseorang, yakni faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal mencakup faktor kebutuhan, intelektual serta

pengalaman. Sedangkan faktor eksternal mencakup pendidikan dan pengajaran.

Dalam hal ini peneliti akan melakukan intervensi untuk meningkatkan religiusitas

melalui metode pendidikan dan pengajaran Islam.

d. Metode pendidikan Islam untuk meningkatkan religiusitas

Menurut Uhbiyati (1997), ada beberapa metode pendidikan Islam yang

efektif dilaksanakan dalam upaya peningkatan religiusitas, yaitu :

1. Metode Mutual Education

29
30

Metode Mutual Education adalah suatu metode pendidikan secara

kelompok seperti yang dicontohkan oleh Nabi SAW, misalnya mentoring Agama

Islam atau halaqoh, ceramah terbuka, dan praktek sholat berjama’ah.

2. Metode Pendidikan Dengan Cara Instruksional

Metode ini mengajarkan tentang ciri-ciri orang yang beriman dalam

bersikap dan bertingkah laku agar mereka dapat mengetahui bagaimana

seharusnya mereka bersikap dan berbuat dalam kehidupan sehari-hari.

3. Metode Bercerita

Metode ini mengisahkan peristiwa atau sejarah hidup manusia masa

lampau yang menyangkut ketaatan dan kemungkarannya dalam hidup terhadap

perintah Tuhan yang dibawakan oleh Nabi SAW yang hadir ditengah-tengah

mereka.

4. Metode Bimbingan Dan Penyuluhan

Metode ini adalah metode dimana individu diajarkan bagaimana mengatasi

segala bentuk kesulitan hidup yang dihadapi atas dasar iman dan taqwanya

terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

5. Metode Pemberian, Contoh, Atau Teladan

Metode ini dilakukan dengan menunjukkan contoh keteladan dari

kehidupan Nabi Muhammad SAW yang mengandung nilai paedagogis bagi

manusia.

6. Metode Diskusi

Metode ini mengajarkan manusia dengan tujuan lebih memantapkan

pengertian dan sikap pengetahuan mereka terhadap suatu masalah dari sudut

pandang Al-Quran.

30
31

7. Metode Tanya Jawab

Metode ini merupakan metode paling tua dalam pendidikan dan

pengajaran disamping metode khutbah.

8. Metode Imstal/Perumpamaan

Metode ini digunakan untuk menyampaikan materi tentang kekuasaan

Tuhan dalam menciptakan hal-hal yang haq dan yang bathil. Contoh

perumpamaan: ―orang-orang yang berlindung kepada selain Allah SWT adalah

seperti laba-laba yang membuat rumah‖. Padahal rumah yang paling lemah adalah

rumah laba-laba.

9. Metode Targhib Dan Tarhib

Targhib adalah janji terhadap kesenangan dan kenikmatan akhirat yang

disertai bujukan. Sedangkan tarhib adalah ancaman karena dosa yang dilakukan.

10. Metode Taubat Dan Ampunan

Cara membangkitkan jiwa dari rasa frustasi kepada kesegaran hidup dan

optimisme dalam belajar seseorang, dengan memberikan kesempatan bertaubat

dari kesalahan/kekeliruan yang telah lampau yang diikuti dengan pengampunan

atas dosa dan kesalahan. Dengan cara ini orang akan

mengalami katarisasi (pembersihan batin) sehingga memungkinkan timbulnya

sikap dan perasaan mampu untuk berbuat yang lebih baik dan diiringi dengan

sikap optimisme dan harapan hidup dimasa depan.

Meskipun dalam pelaksanaanya digunakan semua metode di atas, namun

metode yang utama digunakan dalam penelitian ini adalah melalui metode mutual

education. Mutual education adalah metode pembelajaran melalui pendekatan

kelompok, salah satu contoh yang disebutkan diatas adalah dengan mentoring

31
32

agama Islam. Listyaningsih (2009) dan Rusmiyati (2003) juga menguatkan

bahwasanya upaya untuk meningkatkan religiusitas seseorang adalah dengan

melalui pembinaan keislaman atau mentoring agama Islam.

C. MENTORING AGAMA ISLAM

1. Pengertian Mentoring

Mentoring merupakan sebuah pola pengembangan diri yang terus

berkembang dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970 hingga tahun 1980-an,

mentoring adalah suatu proses yang hanya diberikan untuk proses penjenjangan

karir. Namun seiring berjalannya waktu, mentoring hingga saat ini juga diterapkan

dalam dunia pendidikan (Ingrid, 2005).

Mentoring merupakan bimbingan yang diberikan melalui demonstrasi,

instruksi, tantangan dan dorongan secara teratur selama periode waktu tertentu.

Mentoring biasanya dilakukan oleh individu yang lebih tua untuk meningkatkan

kompetensi serta karakter individu yang lebih muda. Selama proses ini

berlangsung, pementor dan mentee mengembangkan suatu ikatan komitmen

bersama yang melibatkan karakter emosional dan diwarnai oleh sikap hormat

serta kesetiaan (Santrock, 2007).

Mentoring adalah suatu proses yang lebih mengarah kepada keinginan untuk

saling berbagi pengetahuan khususnya kepada seseorang yang belum memiliki

pengalaman sehingga dapat meningkatkan hubungan kepercayaan diantara sesama

(David dalam Brewerton, 2002). Inti dari proses mentoring adalah membangun

hubungan interpersonal yang berhubungan dengan konteks pekerjaan tertentu

(Belle & Rose, 2007).

32
33

Menurut McCreath (2000), mentoring merupakan sebuah pendekatan yang

lebih bersifat persahabatan. Dimana dalam proses persahabatan tersebut ada visi

untuk meningkatkan kualitas diri antar sesama baik secara pemikiran maupun

emosional.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwasanya mentoring adalah suatu

proses peningkatan kualitas diri yang dilakukan secara interpersonal baik dalam

hal pendidikan dan pekerjaan melalui pendekatan emosional diantara pementor

dengan para mentee-nya.

2. Pengertian Mentoring Agama Islam

Satria (2010) mengatakan bahwasanya mentoring Agama Islam merupakan

sebuah metode pendidikan Islam yang efektif dilakukan untuk para mahasiswa di

perguruan tinggi. Dalam Islam, istilah mentoring Agama Islam lebih dikenal

dengan istilah halaqah atau usroh. sebuah istilah yang berhubungan dengan

pendidikan dan pengajaran Islam. Mentoring terdiri dari sekelompok kecil

individu yang secara rutin mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok

kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji Islam dengan

kurikulum tertentu. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari lembaga yang

menaungi mentoring tersebut.

Mentoring Agama Islam adalah suatu proses pendidikan yang harus dilalui

setiap mahasiswa muslim yang mengambil mata kuliah Islam. Pengelolaan

mentoring Agama Islam ini dilakukan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Islam

(UKMI) dari tingkat Universitas hingga tingkat Jurusan melalui koordinasi

langsung dengan seluruh dosen Agama Islam. Mentoring Agama Islam dilakukan

satu minggu sekali dengan waktu yang telah disepakati dalam kelompok tersebut.

33
34

Proses jalannya mentoring Agama Islam diawali dengan adanya pembukaan

mentoring Agama Islam. Pada acara tersebut, setiap mahasiswa muslim akan

dibagi menjadi beberapa kelompok oleh departemen mentoring yang kemudian

akan didampingi oleh satu orang pementor (Muhammad, 2011).

Rusmiyati (2003) dalam bukunya yang berjudul ―panduan mentoring

Agama Islam‖ menambahkan bahwasanya dalam proses mentoring Agama Islam

kegiatan pembinaan yang dilakukan kepada mahasiswa berlangsung secara

periodik dengan bimbingan seorang pementor. Pola pendekatan teman sebaya

yang diterapkan menjadikan program ini lebih menarik dan efektif serta memiliki

keunggulan tersendiri.

3. Komponen Mentoring Agama Islam

Ada 3 komponen yang mempengaruhi jalannya proses mentoring, yakni :

1. Pementor

Pementor merupakan seseorang yang ditunjuk sebagai pembina dalam

proses mentoring. Biasanya pementor merupakan kakak kelas atau senior dari

suatu tingkatan yang telah mengikuti pelatihan dan seleksi pementor di tingkat

kampus sebelumnya (Ridwansyah, 2008).

Berdasarkan pedoman dakwah lembaga mentoring Agama Islam LDK

USU (2012), syarat – syarat untuk menjadi seorang pementor adalah :

a. Masih mengikuti kegiatan follow up mentoring.

b. Minimal telah mengikuti mentoring selama setahun di kampus.

c. Telah mengikuti kegiatan dauroh/ sekolah pementor universitas.

d. Lulus dari seleksi pementor universitas ataupun fakultas.

e. Mendapatkan izin dan rekomendasi dari pementornya.

34
35

Berikut profil umum yang harus dimiliki oleh seorang pementor (Modul

mentoring LDK USU, 2012):

1. Memiliki kepribadian Islam (Islamic personality).

2. Memiliki pemikiran Islam yang baik (Islamic thinking).

3. Study oriented.

4. Rela berkorban (high dedication).

5. Openness, friendly, flexible.

2. Kurikulum

Kurikulum merupakan kumpulan dan urutan materi yang akan

disampaikan kepada kelompok mentoring (mentee) secara periodik. Biasanya

kurikulum tersebut berasal dari organisasi yang menaungi mentoring seperti

melalui lembaga dakwah kampus (LDK) yang ada di masing-masing perguruan

tinggi (Satria, 2010).

3. Mentee

Peserta mentoring atau yang lebih dikenal dengan istilah mentee adalah

sekelompok individu yang mendapatkan perlakuan mentoring dari para pementor

dalam jumlah yang berkisar antara 3-12 orang (Satria, 2010). Mentee biasanya

merupakan mahasiswa muslim yang baru masuk di perguruan tinggi (semester

pertama).

4. Pelaksanaan Mentoring Agama Islam

Ruswandi dan Adeyasa (2012) dalam modulnya yang berjudul

―manajemen mentoring‖ mengemukakan beberapa hal yang terkait dalam proses

mentoring agama Islam :

a. Latar belakang

35
36

Mentoring sebagai metode pembinaan mahasiswa dalam memahami Islam

dengan cara yang menyenangkan lahir dari suatu pemikiran sebagai berikut :

1. Metode tradisional yang ada saat ini untuk mempelajari Islam tidak

komprehensif.

2. Tidak cocoknya metode tradisional untuk mahasiswa.

3. Konsep pendidikan Islam yang selama ini ada hanya sekedar keilmuan

saja, dan jarang mencapai tataran amal dalam aplikasi kehidupan sehari-

hari.

b. Visi

Membentuk insan muslim dengan kepribadian dan gaya hidup Islam.

c. Misi

1. menjadikan program mentoring sebagai suatu sarana pendidikan Islam

bagi mahasiswa muslim.

2. Kaderisasi mahasiswa muslim untuk bergerak menyeru pada hal yang

ma’ruf dan mencegah yang munkar.

d. Tujuan Mentoring

Peserta memperoleh pemahaman yang benar tentang Islam dan

bersemangat untuk beribadah kepada Allah swt.

e. Sasaran Mentoring

Mentoring ditujukan kepada mahasiswa muslim dan dibimbing oleh para

pementor.

f. Waktu

Mentoring dilaksanakan satu pekan sekali selama lebih kurang 2 jam

dalam kurun waktu lebih kurang 12 kali pertemuan.

36
37

g. Tempat

Mentoring biasanya dilaksanakan di masjid-masjid atau mushala kampus.

Namun hal ini bisa tidak tetap setiap minggunya. Mentoring terkadang dapat

dilakukan di alam terbuka dan dimana saja sesuai dengan kesepakatan antara

pementor dengan para mentee.

5. Tahapan Proses Dalam Mentoring Agama Islam

Dalam buku modul mentoring LDK UKMI Addakwah USU (2012),

tahapan-tahapan dalam proses mentoring yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Pembukaaan

Untuk mentoring perdana, pembukaan dapat dibuka oleh pementor.

Namun untuk selanjutnya, mentee dapat ditunjuk secara bergilir sesuai

kesepakatan untuk membukanya. Pembukaan merupakan sarana pengkondisian

antusiasme mentee, sehingga perlu dilakukan pengkodisian pembukaan yang

menarik dan membangun semangat dalam proses mentoring.

2. Pembacaan dan penghayatan Al-Qur’an

Pembacaan Al-Qur’an merupakan proses dimana para mentee membaca

Al-Qur’an secara bergiliran dan dibimbing oleh pementor. Jumlah ayat yang

dibaca tidak dibatasi, namun disesuaikan antara jumlah peserta dengan waktu.

Dalam hal ini umumnya pembacaan Al-Qur’an dilakukan sebanyak setengah

sampai satu halaman Al-Qur’an per individu.

Penghayatan Al-Qur’an adalah proses perenungan ayat dan makna dari

ayat-ayat Qur’an yang telah dibacakan baik dari segi arti ayat, makna ayat,

asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), dan relevansinya dalam kehidupan sehari-

37
38

hari. Dalam hal ini yang membawakan adalah para mentee secara bergantian tiap

minggunya yang selanjutnya diarahkan oleh pementor.

3. Penyampain Materi

Selain penguasaan materi, efektifitas cara penyampaian materi mentoring

juga menjadi hal yang penting. Materi mentoring ini terdapat dalam buku modul

mentoring yang biasanya dikeluarkan oleh lembaga dakwah di setiap kampus.

Dalam hal ini pementor menyampaikan materi dengan pola pendekatan yang lebih

aplikatif dengan realita kehidupan sehari-hari dan fakta yang ada dalam kehidupan

nyata sehingga tidak terkesan menggurui para mentee, namun lebih saling

mengingatkan dan menyadarkan peserta mentoring.

4. Diskusi

Diskusi tidak harus dilakukan di akhir mentoring, namun dapat juga

dilakukan di sela-sela materi. Diskusi bisa berupa pertanyaan-pertanyaan dari

mentee atau kasus-kasus yang berkaitan dengan materi. Diskusi juga tidak mesti

selalu mengarah kepada pertanyaan seputar materi yang baru dibahas. Mentee

juga dapat menanyakan perihal apapun mengenai problematika keIslaman yang

mungkin sedang dialami oleh para mentee.

5. Sharing

Agenda ini merupakan agenda dimana para mentee dan pementor saling

menanyakan kabar pribadi, keluarga, dan perihal-perihal seputar ibadah, kuliah,

serta aktifitas lainnya. Agenda ini merupakan sarana yang dapat mempererat

hubungan diantara sesama kelompok mentoring dan proses pertukaran pikiran

menjadi semakin lebih terbuka di dalamnya.

6. Penutup

38
39

Penutupan biasanya dilakukan dengan lafaz hamdalah dan doa penutup

majelis yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok mentoring.

6. Aspek- Aspek dalam Mentoring Agama Islam

Ada beberapa aspek yang perlu ditinjau untuk mengetahui sejauh mana

keberhasilan proses mentoring dilakukan (Zein dalam Romli, 2007), diantaranya

adalah :

1. Kognitif, yaitu penguasaan pengetahuan yang menekankan pada

mengenal dan mengingat kembali materti yang disampaikan dan telah

diajarkan. Secara kognitif materi yang disampaikan akan menjadi sebuah

pola fikir (mindset) yang dapat menjadi sebuah peta pemikiran (fikroh).

Sehingga dapat menghasilkan pola fikir yang positif melalui Islam

terhadap semua kondisi kehidupan yang dilakukan.

2. Psikomotorik, yaitu aspek yang berkaitan dengan keterampilan yang

bersifat amal nyata. Hal ini dapat dilihat dari tingkah lakunya dan dapat

diamati melalui ibadah-ibadah yang dilakukan serta etika dalam bergaul

dan adab-adab tertentu.

3. Afektif, yaitu aspek yang terkait dengan sikap mental, perasaan dan

kesadaran siswa. Hasil ini akan diperoleh melalui suatu proses internalisasi

ke arah rohaniyah. Pertumbuhan itu terjadi ketika peserta menyadari nilai

yang terkandung dalam pembelajaran agama dan kemudian nilai-nilai

tersebut dijadikan sebagai suatu sistem nilai diri, sehingga menuntun

segenap pernyataan sikap, tingkah laku dan perbuatan moralnya dalam

menjalani kehidupan ini.

7. Materi mentoring Agama Islam

39
40

Materi-materi di dalam mentoring merupakan materi yang dapat

mendukung pelajaran Agama Islam, juga dapat menumbuhkan pemahaman-

pemahaman yang lebih baik tentang Agama Islam seperti materi tentang akidah,

ibadah, dan akhlak (Rusmiyati, 2003).

Berikut judul-judul materi yang dibawakan dalam proses mentoring (Modul

Mentoring LDK USU, 2012) :

1. Mentoring versus me

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah diharapkan peserta mampu

memahami urgensi mentoring / pendidikan Islam.

2. Yuk pedekate ke Allah swt.

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami

pentingnya mengenal Allah swt. dalam kehidupan manusia dan memahami

bahwa dengan ma'rifatullah seseorang dapat menambah keimanan dan

ketakwaannya.

3. D’ messenger

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami

pentingnya mengenal dan mengimani Rasul.

4. Islam forever

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah memberikan pemahaman

mengenai Islam kepada peserta mentoring.

5. Ukhuwah never die!

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mentoring

diharapkan dapat memahami indahnya persaudaraan dalam Islam dan dapat

mengaplikasikannya.

40
41

6. Be a nice person, guys!

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta dapat

menginternalisasi akhlak Islami dan selalu berusaha menjaga akhlak Islami.

7. Musuh abad 21 (ghozwul fikri)

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mampu

mengerti dan memahami tentang ghozwul fikri atau perang pemikiran dari

dunia barat.

8. Al-Qur’an kitab cinta

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta dapat

menanamkan cinta pada Al-Qur’an, agar lahirnya generasi yang memiliki

keterikatakan dengan kitabullah, baik untuk memahaminya, maupun

mengamalkannya.

9. Sempurnakan baktimu!

Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami

makna dan mempraktekkan birrul walidain atau berbakti kepada orangtua

dalam kehidupan sehari-hari

Selain dari 9 judul materi di atas, masih terdapat materi lain yang

disampaikan dalam tiga pertemuan berikutnya. Dalam hal ini, pementor

memberikan materi sesuai dengan kebutuhan para menteenya. Materi yang

disampaikan dapat berupa materi pengembangan diri seperti mengenal diri (who

am i), Komunikasi efektif (effective communication), pemecahan masalah

(Problem-solving), dan lain lain.

Selain materi pengembangan diri juga disampaikan materi profesi

keIslaman sesuai dengan fakultas masing masing. Misalnya di fakultas psikologi

41
42

diberikan materi psikologi Islami, pengobatan ala nabi di farmasi, hukum Islam di

fakultas hukum, ekonomi syariah di fakultas ekonomi dan lain sebagainya.

8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Pelaksanaan Mentoring

Agama Islam

Menurut gopee (2011) ada beberapa hal yang mempengaruhi efektifitas

pelaksanaan mentoring, yakni :

1. Efektifitas dari pola hubungan kekerabatan antara mentee dengan

pementor

2. Efektifitas komunikasi yang terbangun antara mentee dan pementor

3. Karakter dari seorang pementor

4. Tindakan dari pementor untuk mendukung mentee dalam belajar

Mahasri dan Najmuddin (2008) mengemukakan beberapa aspek yang dapat

mempengaruhi efektifitas mentoring, yakni :

1. Kesesuaian materi yang disajikan dengan buku panduan.

2. Ketertarikan mentee terhadap materi yang disajikan oleh pementor.

3. Penyimpangan materi yang disajikan oleh pementor.

4. Waktu penyajian materi.

5. Variasi penggunaan metode pembelajaran.

6. Sikap mentee terhadap metode yang digunakan pementor.

7. Penggunaan alat dan media pembelajaran.

8. Kesiapan pementor.

9. Kedisiplinan pementor.

10. Penguasaan materi oleh pementor.

11. Pola hubungan pementor dengan mentee.

42
43

12. Sikap mentee terhadap pementor.

13. Harapan mentee terhadap pementor.

Dalam penelitian ini, faktor-faktor yang telah dikemukakan di atas tidak

dikontrol oleh peneliti.

D. MAHASISWA

1. Definisi Mahasiswa

Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di

universitas, institut atau akademi. Mereka yang terdaftar sebagai murid di

perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa. usia mahasiswa meliputi

rentang usia 18/19 tahun sampai 24/25 tahun (Takwin, 2008). Para mahasiswa

khususnya mahasiswa baru masuk ke dalam kategori remaja akhir yang berusia

sekitar 18 - 21 tahun (Monks dkk, 2001). Masa remaja adalah periode tengah

dalam kehidupan manusia (life-span) dimana seseorang mulai bertanya-tanya

mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar

bagi pembentukan nilai diri mereka. Usia remaja merupakan masa peralihan

antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa (Papalia, 2007).

Rentang umur mahasiswa ini masih dapat dibagi atas periode 18/19 tahun

sampai 20/21 tahun, yaitu mahasiswa dari semester 1 sampai dengan semester IV,

dan periode 21/22 tahun sampai 24/25 tahun, yaitu mahasiswa semester V sampai

dengan semester VIII (Winkel dalam Ahmaini, 2010). Sedangkan mahasiswa

muslim adalah mahasiswa yang beragama Islam, terdata sebagai mahasiswa Islam

di kampus dan terdaftar sebagai umat Islam dalam catatan kependudukan di

Indonesia.

43
44

2. Perkembangan Konsep Diri Pada Remaja dan Mahasiswa

Konsep diri belum ada ketika lahir, kemudian berkembang secara bertahap

sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain

(Salbiah, 2003). Konsep diri itu terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung

sejak usia dini hingga dewasa. Saat individu semakin beranjak dewasa, maka

keberadaan konsep diri juga semakin kompleks (Dianingtyas, 2012). Pada masa

remaja konsep diri berkembang dengan sangat cepat. Oleh karenanya, pada masa

inilah remaja diharapkan dapat mengembangkan konsep dirinya untuk menjadi

lebih baik (Sebastian, Burnett & Blakemore, 2008).

Masa remaja merupakan masa penghubung antara masa anak-anak menuju

masa dewasa (Rola, 2006). Pada masa ini, terdapat banyak perubahan pada

remaja. Oleh karena itulah masa remaja disebut dengan masa-masa yang rentan

(Reyna, Chapman, Dougherty, Confrey, 2011). Perubahan-perubahan tersebut

diantaranya adalah perubahan intelektual dan cara berpikir remaja, perkembangan

seksual, terjadinya perubahan fisik yang sangat cepat, serta meningkatnya

hubungan sosial, dimana remaja mulai berintegrasi dengan masyarakat luas

(Barbara, Robert & Edmund, 1986).

Hal yang dominan dalam mempengaruhi konsep diri remaja adalah

lingkungan, diantaranya adalah lingkungan keluarga, teman sebaya, sekolah, dan

reaksi dari lingkungan lainnya (Dusek & Jerome, 1978). Namun diantara banyak

lingkungan tersebut, kelompok teman sebaya lebih dominan dalam mempengaruhi

konsep diri remaja. Teman sebaya menggantikan peran orang tua sebagai orang

yang turut berpengaruh dalam pembentukan konsep diri mereka. Remaja

mengidentifikasi dirinya dengan remaja seusianya dan mengadopsi bentuk-bentuk

44
45

tingkah laku dari kelompok teman sebaya dari jenis kelamin yang sama

(Agustiani, 2006).

Secara umum, konsep diri antara remaja pria sama dengan remaja wanita

sama. Meskipun pada remaja wanita cenderung lebih rentan dalam menghadapi

tantangan hidup dibandingkan dengan remaja pria. Namun, remaja wanita lebih

memiliki konsep diri sosial dan kesadaran diri yang lebih tinggi daripada pria

(Florence & Roberta, 1975). Pada pria, rasa percaya mereka juga lebih tinggi

daripada perempuan (Sutary, Lilis, & Yulianeta, 2007).

Ketika terjadi perubahan-perubahan yang mempengaruhi remaja pada

beberapa permasalahan kehidupan, konsep diri juga berada dalam keadaan terus

berubah. Ketidakpastian masa depan membuat formulasi tujuan mereka menjadi

sulit. Namun, dari penyelesaian masalah dan konflik remaja inilah lahir konsep

diri orang dewasa. Ketika individu hampir mendekati 25 tahun biasanya ego orang

dewasa sudah terbentuk dengan lengkap, ketika saat itu tiba maka konsep diri

seseorang sudah menjadi semakin sulit untuk berubah (Agustiani, 2006).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan konsep diri

remaja khususnya pada remaja akhir sangat menentukan. Sebab, masa remaja

merupakan gerbang utama yang dekat menuju kepada masa dewasa. Peran teman

sebaya menjadi sangat berarti bagi remaja, yang terkadang lebih utama daripada

peran orangtua. Oleh karena itu, untuk membentuk konsep diri yang lebih baik

bagi remaja perlu dilakukan kontrol yang membangun bagi orangtua terhadap

anak remajanya.

45
46

D. PENGARUH MENTORING AGAMA ISLAM TERHADAP

PERUBAHAN KONSEP DIRI MAHASISWA MUSLIM

Kehadiran mahasiswa seharusnya dapat menjadi teladan bagi kaum muda

lainnya. Namun pada kenyataannya, banyak perilaku moral yang kurang baik

yang ditunjukkan mahasiswa yang perlu menjadi perhatian utama bagi orangtua

dan civitas akademika kampus. Tak jarang mahasiswa menjadi sumber konflik

dengan aksi demonstrasi dan tawuran yang meresahkan warga masyarakat (Noe,

2012). Konflik internal dan penyimpangan perilaku etis juga kerap terjadi pada

mahasiswa. Penyimpangan perilaku yang sering dilakukan mahasiswa sering

tampak di media seperti gank motor, penyalahgunaan obat-obatan, merokok, seks

bebas, dan lainnya (Monks, Knoers, & Hadinoto, 2001). Perilaku-perilaku negatif

yang ditunjukan oleh mahasiswa tersebut menunjukkan bagaimana konsep diri

mereka (Ulfah, 2007).

Konsep diri tidak hanya bersifat unidimensional, yang artinya hanya

dilihat dari satu aspek diri secara menyeluruh. Konsep diri juga ada yang bersifat

spesifik atau yang lebih dikenal dengan istilah multidimensional. Konsep diri

spesifik merupakan pola penilaian konsep diri individu yang melihat ke dalam

perspektif yang lebih luas terhadap diri individu, sehingga bisa mendapatkan

gambaran diri individu dari berbagai sudut pandang yang beragam dan dinamis

(Metivier, 2009). Pada konsep diri multidimensional kita dapat melihat beberapa

macam konsep diri seperti konsep diri akademis, konsep diri problem solving,

konsep diri spiritual, konsep diri kejujuran, konsep diri parent-relation, konsep

diri emosional, konsep diri umum dan konsep diri lainnya (James, dalam Metivier,

2009).

46
47

Konsep diri akademis (academic self-concept adalah konsep diri seseorang

mengenai kemampuan dirinya dalam hal akademis. Konsep diri emotional

(emotional self-concept), adalah konsep diri seseorang mengenai kemampuannya

dalam mengelola emosinya. Konsep diri kejujuran (honesty self-concept) adalah

konsep diri seseorang mengenai kejujuran dan kepercayaan terhadap dirinya.

Konsep diri yang berhubungan dengan orang orang tua (parent relation) adalah

bagaimana seseorang individu memandang hubungan mereka dengan orangtua

mereka. Konsep diri spiritual (spiritual self-concept) adalah kapasitas individu

mengenai hubungannya dengan Agama dan Tuhan. Konsep diri pemecahan

masalah (problem solving) adalah kemampuan individu untuk dapat memecahkan

suatu masalah atau persoalan. Konsep diri umum (general esteem) adalah konsep

diri individu secara keseluruhan mengenai kemampuan dirinya secara umum

beserta penerimaan dirinya.

Menurut Brooks (dalam Debby, 2011) Semakin tinggi nilai konsep diri

seseorang tentu pribadi individu tersebut semakin baik dan semakin positif pula.

Individu dengan konsep diri yang positif dapat dilihat dengan perilaku sebagai

berikut : merasa mampu mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain,

menerima pujian tanpa rasa malu, merasa mampu memperbaiki diri. Conger

(dalam Mönks dkk, 2001) menyatakan bahwa konsep diri yang negatif pada

individu dapat membentuk sifat memberontak, mendendam, curiga, dan implusif.

Menurut Agustiani (2006), salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan konsep diri adalah dengan menanamkan nilai-nilai religiusitas pada

remaja tersebut. Drikarya (dalam Widiyanta, 2005) mendefinisikan religiusitas

sebagai kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan yang

47
48

berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan seseorang atau kelompok orang

dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia serta alam sekitarnya.

Kresnawati (dalam Kusuma, 2010) pada penelitiannya terhadap 114 orang

pelajar SMA di Jakarta menemukan bahwasanya ada hubungan positif antara

religiusitas dengan kemampuan pemecahan masalah pada remaja. Dari hasil

analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa pemahaman tingkat agama berbanding

lurus dengan kemampuan individu dalam memecahkan masalah. Sebanyak 76

orang (66,7%) berkategori baik dalam memecahkan masalah, dan yang

berkategori tidak baik sebanyak 38 orang (33,3%).

Cole (dalam Rahayu, 2008) juga menambahkan bahwasanya agama atau

religiusitas dalam diri individu terbukti berperan dalam mengurangi tingkat

konflik yang terjadi, terutama konflik yang berkaitan dengan ketidakpuasan

terhadap dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Beberapa ahli sepakat bahwa

agama sangat potensial untuk mendorong dan mengarahkan hidup manusia pada

perubahan-perubahan ditingkat mikro individual dan makro sosial ke arah yang

baik dan benar.

Konsep diri belum ada ketika lahir, kemudian berkembang secara bertahap

sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain

(Salbiah, 2003). Konsep diri itu terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung

sejak usia dini hingga dewasa. Saat individu semakin beranjak dewasa, maka

keberadaan konsep diri juga semakin kompleks (Dianingtyas, 2012). Pada masa

remaja pembentukan konsep diri berada pada tahapan yang kritis. Selama masa

remaja kelompok teman sebaya mulai memainkan peran yang dominan

menggantikan orang tua sebagai orang yang turut berpengaruh dalam

48
49

pembentukan konsep diri mereka. Remaja mengidentifikasi dirinya dengan remaja

seusianya dan mengadopsi bentuk-bentuk tingkah laku dari kelompok teman

sebaya dari jenis kelamin yang sama (Agustiani, 2006).

Untuk merubah konsep diri mahasiswa ke arah yang lebih baik maka

diperlukan sebuah treatment atau perlakuan melalui penanaman nilai-nilai-

religiusitas kepada mahasiswa. Salah satu program treatment religiusitas yang

tepat diberikan untuk mahasiswa adalah melalui program mentoring Agama Islam

(Rusmiyati, 2003). Program mentoring Agama islam yang dikembangkan dengan

pola pendidikan teman sebaya efektif diterapkan kepada mahasiswa. Hal ini

disebabkan karena mahasiswa yang berada pada tahap perkembangan remaja

akhir, lebih mudah mengidentifikasi dirinya dengan remaja seusianya sebagai

significant other baginya daripada kelompok individu lain (Agustiani, 2006).

Dalam penelitian yang pernah dilakukan mengenai dampak mentoring

terhadap konsep diri ditemukan bahwasanya individu yang mengikuti mentoring

menunjukkan peningkatan kesejahteraan psikologis, mentoring dapat membuat

konsep diri menjadi lebih positif dan mengurangi kecenderungan untuk

melakukan perilaku-perilaku beresiko (Darrick & David, 2007). Mentoring juga

dapat menurunkan tingkat penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang dari

46% hingga 70%, meningkatnya semangat belajar, serta terbangunnya

keharmonisan hubungan dengan keluarga dan teman sebaya (Bilchik, 1997).

E. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis dalam penelitian ini didasarkan kepada 7 jenis konsep diri yang

akan diukur, yaitu:

49
50

1. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri

akademis mahasiswa muslim USU.

2. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri

problem-solving mahasiswa muslim USU.

3. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri

spiritual mahasiswa muslim USU.

4. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri

kejujuran mahasiswa muslim USU.

5. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri

parent-relation mahasiswa muslim USU.

6. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri

emotional mahasiswa muslim USU.

7. Ada pengaruh mentoring Agama Islam terhadap perubahan konsep diri umum

(general-esteem) mahasiswa muslim USU.

50

Anda mungkin juga menyukai