Anda di halaman 1dari 17

MENGEMBANGKAN KOMPETENSI MANUSIA:

STRATEGI UNGGUL MEMBANGUN KEMANDIRIAN DAERAH


Oleh:
Drs. Muhammad Jufri, S.Psi., M. Si.
Psikologi Universitas Negeri Makassar
Abstrak
Perubahan kondisi lingkungan strategik nasional dan
internasional merupakan tantangan sekaligus peluang bagi
organisasi atau lembaga penyelenggara pemerintahan.
Kondisi ini harus direspon secara tepat dengan perubahan
sikap mental manusia. Kemampuan bersaing dalam
organisasi akan tercapai bila didukung oleh manusia
bersumber daya, dimana mereka mampu mengembangkan
empat jenis kapital yang diperlukan untuk memasuki
milenium ketiga, yaitu kapital intelektual, kapital sosial,
kapital lembut, dan kapital spiritual. Keempat kapital tersebut
merupakan bagian dari strategi membangun kemandirian
daerah mengarah pada terselenggaranya pemerintahan
yang baik (Good Governance).

Pengantar
Percaturan

global

dengan

muatan-muatannya

yang

sarat

berimplikasi pada perubahan yang cepat, spektakuler, sulit diprediksi, dan


menuntut persaingan yang ketat. Kondisi ini hanya bisa disikapi dengan
satu kata kunci yaitu competitiveness. Pertanyaannya sekarang bukan
saja mampukah kita bersaing tetapi dapatkah kita memenangkan
persaingan tersebut?
Kemampuan dan kemenangan dalam bersaing akan tercapai bila
didukung oleh sumber daya manusia atau kompetensi manusia yang
handal dan berkualitas tinggi, mampu membaca perkembangan zaman
serta mampu membuat prediksi dan perhitungan yang tepat, arif dan
bijaksana dalam mengantisipasinya. Kualitas sumber daya manusia
(SDM) masyarakat Indonesia saat ini masih sangat rendah jika
dibandingkan dengan negara lain. Laporan yang diterbitkan UNDP

dengan mengacu pada Human Development Index, menyebutkan bahwa


posisi SDM Indonesia saat ini berada diperingkat 109 dari 174 negara di
dunia. Ini terjadi sebagai akibat kurang berfungsinya bidang pendidikan
dalam memberdayakan masyarakat secara keseluruhan. Karena itu,
diperlukan persiapan yang matang, salah satunya dapat diupayakan
melalui aktualisasi peran pendidikan baik pada tataran mikro maupun
makro sehingga pendidikan sebagai tulang punggung pembangunan
dapat memainkan peran nyata dalam menciptakan human capital yang
handal.
Pendidikan adalah wahana untuk mempersiapkan manusia di
dalam memecahkan problema kehidupan di masa kini maupun di masa
datang. Oleh karena itu sistem pendidikan yang dikembangkan oleh suatu
masyarakat

atau

institusi

harus

mampu

membangun

dan

mengembangkan kompetensi manusia untuk mempersiapkan kehidupan


yang lebih baik. Suatu sistem pendidikan yang baik harus disusun atas
dasar kondisi lingkungan masyarakat, baik kondisi masa kini maupun
antisipasi kondisi di masa yang akan datang. Derasnya arus perubahan
yang terjadi saat ini berdampak pada cepat usangnya hardware dan
software bidang pendidikan sehingga sektor pendidikan harus terus
diberdayakan agar mampu mengantisipasi setiap perubahan. Perubahan
kondisi lingkungan ini adalah merupakan tantangan sekaligus peluang
yang harus direspon secara tepat dan memberikan nilai tambah (added
value).
Sistem pendidikan yang dikembangkan harus selalu disesuaikan
dengan perubahan lingkungan karena pendekatan masa lalu hanya cocok
untuk situasi masa lalu. Pendekatan masa lalu seringkali tidak tepat jika
diterapkan pada kondisi berbeda. Bahkan seringkali pendekatan masa lalu
menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan.

Perubahan kondisi lingkungan


Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang
akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan di dalam lingkungan
kehidupan manusia. Naisbitt (1995) bahkan berkata bahwa satu-satunya
yang tetap sekarang adalah perubahan (the constant one now is
changing). Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan,
baik kehidupan individual, kehidupan organisasi maupun kondisi suatu
daerah yang pada waktu yang lalu tampak sudah mapan, kini menjadi
ketinggalan zaman. Akhir-akhir ini banyak sekali muncul tulisan tentang
pergeseran

paradigma

kehidupan.

Umumnya

tulisan

tersebut

menganalisis tentang paradigma baru yang perlu diterapkan untuk


memasuki milenium ketiga. Tulisan tersebut berfokus pada perubahan
paradigma yang membedakan milenium kedua dan milenium ketiga.
Salah satu pergeseran paradigma adalah paradigma di dalam
melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa
diramalkan (predictability). Pada milenium kedua orang selalu berfikir
bahwa segala sesuatu bersifat stabil dan bisa diprediksi. Pada milenium
ketiga terjadi pergeseran, dimana semakin sulit untuk melihat adanya
stabilitas tersebut. Apa yang akan terjadi

ke depan semakin untuk

diprediksi karena perubahan menjadi tidak terpolakan dan tidak lagi


bersifat linier. Banyak contoh yang bisa dikemukakan untuk mendukung
pendapat tersebut. Bila pada awal tahun sembilanpuluhan (akhir milenium
kedua) para pakar memprediksi bahwa Asia akan menjadi pusat
perdagangan dunia karena jumlah penduduk yang besar sebagai pasar,
dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi di atas 7% (Naisbitt, 1995), tetapi
tanpa diduga di penghujung dekade akhir millenium ketiga, ekonomi
berbagai negara Asia jatuh tersungkur dengan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang mendekati nol atau minus. Tidak ada orang yang menduga
bahwa pertumbuhan ekonomi negara tersebut begitu mengenaskan.
Contoh lain kondisi negara kita sendiri yakni kuatnya pemerintahan
Soeharto. Tidak ada dugaan kalau rezim ini akan berakhir tragis dengan

meninggalkan beban malapetaka yang maha besar menimpa rakyat


negeri ini. Berbagai krisis yang melanda Korea, Thailand, Filipina,
Malaysia, Indonesia dan berbagai negara Asia lainnya serta runtuhnya
rezim Soeharto yang tanpa diduga adalah bukti bahwa paradigma
stabilitas dan prediktabilitas sudah harus ditinggalkan.
Untuk menghadapi kondisi di milenium ketiga yang semakin tidak
bisa diprediksi tersebut, diperlukan perubahan sikap mental manusia.
Orang tidak bisa lagi bersifat reaktif, menunggu dan menghindari resiko
demi mempertahankan status-quo. Orang harus bersifat proaktif dan
memiliki toleransi atas ketidakjelasan yang terjadi akibat perubahan
dengan tingkat turbulensi yang tinggi. Banyak pakar melihat kegagalan
manusia, seperti kegagalan mengelola negara/daerah, mengelola usaha,
dan pengelolaan intitusi pendidikan karena sifat yang tidak proaktif dan
melihat sukses masa lalu sebagai suatu jaminan sukses di masa depan.
Padahal sukses di masa lalu tidak akan menjamin sukses di masa depan
karena masa depan akan sangat berbeda dengan masa lalu. Orang harus
terus mempertanyakan formula sukses masa lalu apakah masih bisa
diterapkan untuk kondisi perubahan yang super cepat. Bila tidak dilihat
dengan kritis formula sukses di masa lalu akan menjadi sumber kegagalan
di masa depan (Gibson, 1997).
Dalam praksis pendidikan nasional kita dewasa ini masih terdapat
kelemahan sebagai akibat dari kekurangkritisan kita dalam menyikapi
formula sukses masa lalu. Penekanan pendidikan pada semua jenjang
yang masih menempatkan aspek kognitif, ternyata tidak lagi mampu
mengakomodir tuntutan pendidikan di masa depan. Proses pembelajaran
hanya memusatkan perhatian pada pengembangan otak belahan kiri dan
kurang mengembangkan otak belahan kanan. Kondisi ini menyebabkan
pendidikan nasional kita hanya mampu menghasilkan orang-orang yang
tidak mandiri, tidak kreatif, dan tidak memiliki self awareness. Kondisi
outcome pendidikan seperti ini sungguh-sungguh tidak sesuai lagi dengan
tuntutan dan prasyarat bagi kehidupan dan persaingan di era global.

Dengan demikian harus ada kemauan keras untuk memberikan perhatian


dan tidak menelantarkan aspek afektif yang berproses pada belahan otak
kanan seperti sikap, minat, motivasi berprestasi, empati, toleransi,
kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, yang justru lebih banyak
menentukan peran dalam segala dimensi kehidupan manusia. Pendidikan
nasional kita harus segera melakukan redefinisi terhadap praksisnya yang
telah lama keliru, bila tidak ingin mandeg menjadi barang usang yang
tidak dilirik oleh zaman karena tidak mampu menunjukkan aktualisasinya
dalam menanggapi aspirasi dan tuntutan masyarakat.
Manusia milenium ketiga yang perlu dipersiapkan
Milenium ketiga adalah masa yang menawarkan banyak peluang
dan sekaligus banyak tantangan yang menyulitkan. Kesuksesan merebut
peluang dan mengatasi kendala semuanya terpulang pada kemampuan
manusia untuk mengelola peluang dan tantangan tersebut. Untuk itu,
manusia harus menghadapinya secara bersama-sama dengan memiliki
visi, misi dan nilai (value) yang sama. Memasuki pusaran global adalah
suatu keharusan, tetapi bermain pada pusaran tersebut tanpa persiapan
atau kompetensi yang memadai adalah suatu kekonyolan.
Maynard dan Mehrtens (1993) beranggapan milenium ketiga
adalah kelanjutan tahap perubahan dunia yang digambarkan oleh Alvin
Toffler dalam buku The Power Shift (1990). Alvin Toffler beranggapan
bahwa perubahan dunia terjadi dalam tahapan yang berbeda mulai dari
gelombang pertama (first wave), gelombang kedua (second wave), dan
gelombang

ketiga

(third

wave).

Maynard

dan

Mehrtens

(1993)

menamakan milenium ketiga sebagai gelombang keempat (fourth wave)


dari perkembangan dunia.
Gelombang pertama adalah era pertanian, yang berfokus pada
kehidupan yang bergelut dengan alam. Hubungan manusia dengan alam
lebih tertuju pada perlakuan individu terhadap alam, dan manusia lebih
dikuasai oleh alam ketimbang dia menguasai alam. Pada masa ini

manusia bisa hidup sendiri-sendiri untuk mencari kehidupan. Peranan otot


(brawn) akan lebih besar dari peranan otak (brain) di dalam kelansungan
hidup manusia. Pekerjaan manusia di era pertanian lebih didominasi oleh
kerja otot mengolah alam daripada kerja otak. Pada era ini kerjasama
antara manusia tidak terlalu urgen untuk keberlangsungan hidup. Pada
masa ini nuansa kempetisi antar manusia sangat lemah atau hampir tidak
ada kompetisi.
Gelombang kedua adalah era industrialisasi. Manusia semakin
menggunakan akalnya untuk menciptakan mesin untuk mempermudah
kehidupan manusia. Pada masa ini diciptakan mesin uap, pembangkit
tenaga listrik, alat-alat transportasi dan alat komunikasi yang semakin
canggih. Di era ini nuansa kompetisi antar manusia semakin mengental.
Manusia berkempetisi untuk menguasai sumber daya alam. Persaingan
menuntut mereka untuk unggul dan mandiri. Dalam masa ini ada
kecenderungan kuat untuk melihat pihak lain sebagai kompetitor. Masa ini
ditandai dengan suatu pola permainan zero-sum game. Saya menang
kamu kalah, atau sebaliknya kamu menang saya kalah. Nuansa
keserakahan manusia untuk menguasai sumber daya sangat menonjol.
Gelombang ketiga adalah era informasi. Era ini merupakan bagian
penting dari awal milenium ketiga, dimana manusia memanfaatkan
informasi informasi sebagai kekuatan dalam kehidupan. Teknologi
komputer menjadi penguasa. Hampir semua pekerjaan sudah bisa diatur
oleh komputer dan banyak pekerjaan sudah bisa dilakukan oleh robot
yang diprogram oleh komputer. Manusia pada era ini saling terkait satu
dengan lainnya dan mereka harus bekerja sama termasuk dalam berbagi
wawasan guna memperoleh keuntungan bersama. Keterkaitan manusia
terjadi melalui internet. Manusia memiliki peluang yang sangat besar untuk
belajar dengan memanfaatkan internet sebagai sarana untuk memperluas
pengetahuannya. Kemampuan belajar untuk memperluas pengetahuan
akan menjadi faktor survival. Pada masa ini masyarakat harus
membangun learning society .

Gelombang keempat adalah era yang ditandai oleh semakin


intensifnya pemanfaatan teknologi komputer dan semakin canggihnya
perangkat informasi. Nuansa perubahan pada gelombang ketiga yang
menekankan pada kerjasama ternyata tidak cukup kuat untuk menangkal
dampak negatif yang muncul dari nilai baru. Manusia di berbagai negara
akan survival bila mereka dapat melihat dirinya dalam suatu kesatuan.
Manusia harus menjadi pelayan dunia (serve as a global steward), harus
memiliki visi, misi, dan value yang sama untuk menjaga kelangsungan
hidup alam semesta, termasuk kehidupan bersama untuk manusia.
Hidup pada era gelombang keempat tidak lagi hanya berfokus pada
kelangsungan hidup manusia, tetapi juga kelangsungan hidup alam yang
berfungsi sebagai penyangga kehidupan manusia. Fokus perhatian dalam
kegiatan pembangunan harus berorientasi pada kelansungan hidup di
masa depan. Hal ini sesuai pula dengan ajaran agama yang
memerintahkan manusia untuk menjaga alam semesta ini. Manusia harus
melihat dirinya sebagai ummat yang satu (ummataw-wahidah) sebagai
halifatullah fil-ard yang harus memelihara alam semesta dan secara
bersama-sama berbuat untuk kepentingan bersama. Maynard dan
Mehrtens

(1993)

menggambarkan

kondisi

tersebut

dalam

suatu

paradigma kehidupan baru berorientasi pada we are one and choose to


co-create .
Penghargaan terhadap keanekaragaman (diversity) pada era
gelombang keempat ini menjadi semakin penting. Kelangsungan hidup
bermasyarakat dan berusaha dalam bidang apa saja sangat tergantung
pada pengakuan dan penghargaan pada keanekaragaman tersebut.
Mengambil contoh pada kehidupan biologis misalnya tanaman yang
hanya terdiri atas satu jenis tanaman saja akan sangat mudah sekali
diserang penyakit. Keunggulan satu spesies tanaman sangat tergantung
pada dukungan dari berbagai jenis tanaman lainnya (bio-diversity). Suatu
organisasi termasuk institusi pendidikan akan berusia panjang bila dia
memperhatikan ekosistem usaha yang beraneka ragam, dan membangun

sinerji dengan berbagai organisasi atau institusi lain yang merupakan


komponen ekosistem tersebut. Kekacauan antar etnik yang mengganggu
keamanan masyarakat terjadi karena kurangnya penghargaan antar etnik
yang menjadi komponen bangsa. Peristiwa kerusuhan etnis ataupun
melibatkan unsur sara seperti di Ambon, Poso dan Mamasa Sulawesi
Barat menjadi salah satu contoh dari kurangnya penghargaan terhadap
keanekaragaman. Padahal agamapun mengajarkan bahwa perbedaan
yang diikat dengan rasa saling menghargai dan tidak saling menguasai
akan mendatangkan kekuatan. Konsep ini keanekaragaman sangat
sesuai dengan ajaran agama Islam yang mengajarkan kita untuk
menghargai perbedaan, karena perbedaan itu adalah hikmah bagi mereka
yang mengerti.
Peranan Pendidikan dalam menyiapkan kompetensi manusia
Lembaga

pendidikan

mengembang

berbagai

tugas,

tugas

pendidikan dan pengajaran, tugas penelitian dan pengembangan ilmu,


tugas pengabdian pada masyarakat, serta tugas pengembangan nilai dan
kepribadian. Tugas-tugas ini terlembaga dalam berbagai misi lembaga
pendidikan. Sebagai suatu sub sistem dalam masyarakat lembaga
pendidikan harus dapat menyiapkan manusia yang memiliki kompetensi
untuk hidup bersama dalam ikatan global. Lembaga pendidikan harus
dapat

mengembangkan

kapital

yang

diperlukan

untuk

memasuki

kehidupan milenium ketiga, dan juga sebagai prasyarat pengembangan


kemandirian daerah. Ada empat jenis kapital yang diperlukan untuk
memasuki milenium ketiga, yaitu kapital intelektual, kapital sosial, kapital
lembut, dan kapital spiritual (Ancok, 2001). Dengan menumbuhkan
kompetensi manusia melalui keempat kapital ini diharapkan akan terwujud
manusia yang berorientasi Kita bukan berorientasi Saya (diri saya,
keluarga saya, sekolah saya, partai saya, golongan saya, dan
sebagainya). Manusia yang demikian inilah yang oleh Stephen Covey
disebut sebagai manusia yang efektif (Covey, 1989).

1. Kapital Intelektual
Kapital intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk
menemukan peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak
pakar yang mengatakan bahwa kapital intelektual ini sangat besar
perannya dalam menambah nilai suatu kegiatan, termasuk dalam
mewujudkan kemandirian suatu daerah. Berbagai organisasi, lembaga
dan strata sosial yang unggul dan meraih banyak keuntungan atau
manfaat

adalah

karena

mereka

terus

menerus

mengembangkan

sumberdaya atau kompetensi manusianya (Ross, 1997).


Manusia harus memiliki sifat proaktif dan inovatif untuk mengelola
perubahan lingkungan kehidupan (ekonomi, sosial, politik, teknologi,
hukum, dll) yang sangat tinggi kecepatannya. Mereka yang tidak
beradaptasi dengan perubahan yang super cepat ini akan dilanda
kesulitan. Pada saat ini manusia, organisasi, negara, dan daerah tidak lagi
berlayar di sungai yang tenang yang segala sesuatunya dapat diprediksi
dengan tepat. Kini sungai yang dilayari adalah sebuah arum jeram yang
ketidakpastian jalannya perahu semakin tidak bisa diprediksi karena
begitu banyaknya rintangan yang tidak terduga. Dalam kondisi yang
ditandai oleh perubahan yang super cepat manusia harus terus
memperluas dan mempertajam pengetahuannya dan mengembangkan
kreatifitasnya untuk berinovasi.
Sekolah atau lembaga pendidikan non formal lainnya sebagai
garda paling depan di dalam mengembangkan kapital intelektual ini harus
mampu

membangun

suatu

masyarakat

pengetahuan

(knowledge

community). Hal ini baru dapat terjadi bila seluruh jajaran pengelola
pendidikan

dan

pelatihan

(Diklat)

berusaha

secara

serius

untuk

menanamkan dan menambah pengetahuan baik pada dirinya sendiri, atau


pada peserta didik yang diasuhnya. Para guru di sekolah atau Widyasuara
pada berbagai Diklat tidak boleh puas dengan apa yang sudah dicapainya
secara akademik, apalagi kempetensinya semakin dituntut dalam rangka
pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan penyediaan

10

tenaga aparatur yang profesional, dimana tuntutannya sangat menantang,


dan menuntut adanya perubahan paradigma baru dalam kegiatan
pembelajaran. KBK merupakan sebuah usaha yang berani dan tidak mainmain. Kebijakan ini sekaligus berimplikasi pada perubahan paradigma,
dimana guru/widyasuara yang sebelumnya terbiasa mengajar dengan
mengacu pada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis, sekarang harus
mendesain sendiri pengajarannya mengacu pada kompetensi yang ingin
dikembangkan pada peserta didik, dan menerapkannya sendiri dengan
cerdas. Pembelajaran bergeser dari guru dan apa yang harus dilakukan
ke peserta didik dan apa yang harus dilakukan , dari teacher-oriented ke
student-oriented. Pertanyaannya adalah mampukah para guru atau
widyasuara untuk merubah paradigma ini?, apakah mereka memahami
secara utuh karakteristik dari masing-masing peserta didiknya, padahal
untuk menghafal nama 10 orang peserta didik saja terkadang sudah
kesulitan?, dan mampukah mereka mendampingi peserta didik ke arah
pencapaian kompetensi ini secara individual?.
Pekerjaan membangun kapital intelektual ini adalah pekerjaan yang
tiada akhir, karena ilmu yang kita miliki akan mudah sekali ketinggalan
zaman. Kita akan menjadi penyebar kerusakan bila konsep yang kita
ajarkan adalah konsep yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan
perubahan. Untuk mengatasi hal-hal yang demikian suasana akademik di
lembaga diklat atau sekolah harus ditumbuhkan melalui berbagai forum
akademik, antara lain seminar ilmiah, diskusi pembahasan buku baru,
diskusi tentang metode pembelajaran harus menjadi kebiasaan hidup
sehari-hari di lembaga diklat dan sekolah. Dengan melakukan saling tukar
menukar informasi dan wawasan yang melibatkan widyasuara atau guru
dan siswa melalui forum tersebut akan semakin berkembang kapital
intelektual.

11

2. Kapital Sosial
Kapital intelektual baru akan tumbuh bila masing-masing orang
mau berbagi wawasan. Untuk dapat berbagi wawasan orang harus
membangun

jaringan

hubungan

sosial

dengan

orang

lainnya.

Kemampuan membangun jaringan sosial inilah yang disebut dengan


kapital sosial. Semakin luas pergaulan sosial seseorang akan semakin
luas jaringan hubungan sosial (social networking) semakin tinggi nilai
seseorang.
Kapitas sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa
hidup dalam perbedaan dan menghargai perbedaan. Pengakuan dan
penghargaan atas berbedaan adalah suatu syarat tumbuhnya kreativitas
dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan orang lain yang berbeda, dan
menghargai serta memanfaatkan secara bersama perbedaan akan
memberikan kebaikan buat semua. Dalam ajaran agama setiap manusia
diminta membangun hubungan dengan sesama karena silaturrahmi akan
memberikan kebaikan. Ide kreatif seringkali muncul melalui diskusi.
Demikian pula peluang usaha atau berprestasi seringkali terbuka karena
adanya jaringan hubungan silaturrahmi yang berlangsung damai dan
harmoni.
Islam juga dengan tegas menganjurkan untuk membangun kapital
sosial ini. Q.S. Al-Hujarat ayat 13, Allah berfirman:

Hai manusia,

sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang


perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kenal mengenal . Karena itu, untuk menumbuhkan kapital sosial
pada manusia di sekolah dan di luar sekolah diperlukan kegiatan
pengabdian masyarakat untuk menumbuhkan sifat-sifat demikian. Banyak
pelatihan yang bisa ditawarkan pada siswa atau masyarakat untuk
menumbuhkan kapital sosial, misalnya pelatihan untuk menumbuhkan
social skill , pelatihan keterampilan berkomunikasi efektif, dan pelatihan
untuk menjadi manusia efektif seperti Paket Seven Habits of Highly
Effective People yang sekarang ini sangat populer di beberapa negara.

12

Berbagai ilmu di bidang human relation telah memberikan jalan


bagaimana manusia harus berinteraksi dalam suatu kebersamaan yang
saling menguntungkan.
3. Kapital Lembut
Kapital lembut (soft capital) diperlukan untuk menumbuhkan kapital
sosial dan intelektual. Sifat bisa dipercaya dan percaya pada orang lain,
bisa menahan emosi, pemaaf, penyabar, ikhlas dan selalu ingin
menyenangkan

orang

lain

sangat

diperlukan

untuk

membangun

masyarakat yang mandiri, beradab dan berkinerja tinggi.


Suasana yang terjadi saat ini dan ke depan akan terus diwarnai
oleh banyaknya konflik yang terjadi, dimana orang semakin tidak bisa
melihat orang lain sebagai bagian dari sukses dirinya sendiri. Konflik antar
pendukung partai dan Pilpres dan Pilkada dalam sistem pemilihan
langsung,

konflik

antar

kelompok

kaya

dan

miskin,

kelompok

berpengetahuan tinggi dan berpengetahuan rendah, kelompok yang


memiliki akses pada kekuasaan dan yang tidak memiliki akses pada
kekuasaan diprediksi akan

meningkat intensitasnya. Kapital lembut ini

tentunya akan menjadi perekat sosial dan peredam emosi yang dapat
menekan munculnya konflik dan kekerasan. Islam melalui Al-Quran dan
Hadist telah menyarankan manusia untuk mengembangkan sikap dan
perilaku yang penuh kelembutan dalam setiap gerak kehidupannya.
Dalam Al-Quran Surat Al-Imran ayat 133-134 misalnya Allah berfirman:
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orangorang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya,
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orangorang yang berbuat kebaikan .
Tulisan Daniel Goleman (1996) yang sempat menjadi book seller
sangat relevan bagi pengembangan kapital lembut ini, bahkan sesuai pula

13

dengan ajaran agama. Melalui Kecerdasan emosional yang diperkenalkan


Goleman, manusia seakan terbawa pada satu kesadaran baru dalam
pembentukan kompetensi manusia atau SDM yang handal, bahkan
kecerdasan

otak

yang

sebelumnya

sangat

diunggulkan

dalam

keberhasilan seseorang ternyata tidaklah lebih baik dari kecerdasan


emosional yang justru menunjukkan proporsi lebih tinggi. Keberhasilan
seseorang lebih didominasi oleh kemampuannya dalam mengenali dan
mengendalikan emosi, berempati, memiliki motivasi, dan menunjukkan
kecakapan sosial.
Kapital lembut dapat ditumbuhkan melalui upaya antara lain
pengajian agama, pelatihan inteligensi emosional, pelatihan kecakapan
sosial, pelatihan pengenalan dan pengendalian emosi. Untuk itu, sudah
saatnya bagi pendidikan dasar dan menengah mendorong atau bahkan
mewajibkan siswanya untuk mengikuti paket pengembangan kepribadian
seperti itu sehingga mereka akan memiliki kesiapan yang lebih baik untuk
bekal mereka memasuki pusaran global yang menuntut pemilikan
kompetensi keilmuan, personal dan kemasyarakatan.
4. Kapital Spiritual
Belakangan ini kapital spiritual banyak dibicarakan oleh para pakar.
Sebut saja seperti Zohar dan Marshall (2000), Agustian (2001), Tasmara
(2001). Kapital spiritual ini menjadi semakin penting peranannya karena
upaya membangun manusia yang cerdas dengan IQ yang tinggi dan
manusia yang pandai mengelola emosinya dalam berhubungan dengan
orang lain tidaklah menghantarkan manusia pada kebermaknaan hidup.
Padahal kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi yang kuat yang
mendorong orang untuk melakukan sesuatu kegiatan yang berguna.
Hidup yang berguna adalah hidup yang memberi makna pada diri sendiri
dan orang lain. Selain itu kapital spiritual ini juga memberikan perasaan
hidup yang komplit (wholeness). Inilah yang disebut oleh Abraham Maslow

14

dengan Peak Experience , yaitu perasaan yang muncul karena kedekatan


dengan sang pencipta.
Bagi orang Islam modal atau kapital intelektual, sosial, dan lembut
yang dibicarakan sebelumnya adalah bagian dari ekspresi kapital spiritual.
Semakin tinggi iman dan taqwa seseorang semakin tinggi pula ketiga
kapital di atas. Namun demikian banyak akademisi yang menyarankan
agar kapital spiritual ini dipisahkan dari ketiga kapital tersebut dengan
tujuan

untuk

semakin

menekankan

betapa

pentingnya

upaya

pengembangan keberagamaan manusia. Agama dianggap sebagai


pembimbing kehidupan agar tidak menjadi egoistis yang orientasinya
hanya memikirkan kepentingan diri sendiri saja. Karena itu, upaya untuk
mengembangkan keagamaan adalah bagian mutlak dan utama bagi
tumbuhnya masyarakat yang makmur dan sejahtera, serta aman dan
damai.
Penutup
Mengingat

perubahan

lingkungan

yang

sangat

cepat

dan

percepatan akumulasi pengetahuan baru (setiap 18 bulan terjadi


peningkatan pengetahuan baru sebanyak dua kali sebelumnya), maka
paradigma pendidikan harus dirubah. Lembaga-lembaga pendidikan harus
terintegrasi dalam 3 hal berikut: (1) pendidikan harus mengacu pada
konsep belajar dan bekerja, untuk itu perlu dilakukan need assessment
dan resources mapping guna memahami karakteristik lingkungan dan
sumber belajar yang tersedia di daerah, baik dari aspek geografis maupun
demografi sehingga kompetensi manusia yang dikembangkan sejalan
dengan usaha-usaha pengembangan kemandirian daerah, (2) pendidikan
harus menjamin life long learning, (3) pendidikan harus berimbang antara
pendidikan sekolah formal dan informal (seimbang antara pengembangan
nalar dan emosi).
Akhirnya, apakah kemandirian suatu daerah atau negara dalam
mengejar ketertinggalannya dapat terwujud menyamai atau bahkan

15

melebihi dari daerah lainnya sangat tergantung kepada upaya manusia


(warga masyarakatnya) untuk mempersiapkan kompetensi dirinya. Banyak
hal yang harus dipersiapkan baik dari segi perangkat keras maupun
perangkat lunak. Manusia sebagai perangkat lunak sudah selayaknyalah
berbuat

untuk

sebelumnya.

mengembangkan

Sekolah

dengan

keempat

kapital

perangkatnya

yang

diharapkan

diuraikan
mampu

mengembangkan sistem pembelajaran produktif yang dapat mengantar


peserta didiknya menemukan kecakapan hidup agar bisa survival dalam
kompleksitas kehidupannya, dan dalam skala makro mampu membawa
kecerahan bagi ummat manusia.

Daftar Bacaan
Ancok, D. (2001). Membangun Modal Manusia melalui Pengembangan IQ,
EQ, dan SQ. (Makalah). Surakarta: Fak.Psikologi UMS.
Agustian, A.G. (2001). Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi
dan Spiritual (ESQ). Jakarta: Arga.
Covey, S.R. (1988). Seven Habits of Highly Effective People: Powerful
Lessons in Personal Change. New York: Simon & Schuster.
Goleman, D. (1996). Emotional Intelligence. New York: Bantam Books.
Maynard, H. B. Jr. & Mehrtens, S. E. (1993). The Fourth Wave: Business
in the 21st Century. San Fransisco: Berret-Koehler Publishers.
Naisbitt, J. (1995). Megatrends for Asia. New York: William Morrow and
Company.
Ross, J. (1997). Intellectual Capital: Navigating the New Business
Landscape. New York: MacMillan.
Tasmara, T. (2001). Kecerdasan Ruhiyah (Trancendental Intelligence).
Jakarta: Gema Insani Press.
Toffler, A. (1970). Future Schock. New York: Bantam Books.
------------- (1980). The Third Wave. New York: Bantam Book.
Zohar & Marshall. (2000). SQ: Spiritual Quotient, The Ultimate
Intelligence. London.

16

This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com.


The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai