Anda di halaman 1dari 18

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya, dimana
budaya tersebut tersebar dari sabang sampai marouke.
Budaya yang ada di Indonesia tidak hanya dalam hal seni
budaya melainkan dalam hal yang lebih spesifikpun terdapat
keberagamannya. Misalnya dalam hal adat-istiadat dalam
hukum keluarga yang berkenaan dengan budaya perkawinan,
budaya kekerabatan, sampai dengan budaya dalam hal
kewarisan pun terdapat keberagamannya di Indonesia.
Indonesia yang merupakan negara berdasarkan pancasila
mengupayakan penyatuan terhadap keberagaman yang ada
di negara ini dalam tatanan Bhineka Tunggal Ika, dimana
keberagaman yang ada dijadikan satu kesatuan yang disebut
dengan negara Republik Indonesia. Ketika membahsa budaya
maka

knstitusipun

memberikan

jaminan

kepada

setiap

masyarakat adat untuk melestarikan budayanya. Maka tidak


pernah ada pembatasan pengembangan budaya di Indonesia
karena

memang

dasar

negarapun

(konstitusi)

telah

menjaminnya.
Di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut
suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya
hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbedabeda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau
kelompok-kelompok etnik.1 Misalnya adat Lampung mengatur
masalah perkawinan dengan mengedepankan garis keturunan
patrilinial,

sedangkan

minagkabau

menggunakan

sisitem

matrilinial, sedngkan jawa menggunakan sistem parental. Dari


1 Soerjono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1966, hlm.7

ketiga sistem tersebut, mungkin masih ada variasi lain yang


merupakan perpaduan dari ketiga sistem tersebut, misalnya,
sistem

patrilineal

beralih-alih

(alternerend)

unilateral berganda (double unilateral).

dan

sistem

Namun tentu saja

masing-masing sistem memiliki ciri khas yang berbeda


dengan sistem yang lainnya.
Hukum waris diartikan sebagai suatu aturan yang mengatur
tentang warisan, sedangkan dalam konteks hukum adat waris
maka diartikan sebagai aturan dalam pembagian harta
warisan menurut hukum adat sesuai dengan adat (suku)
masing-masing

individu.

Perihal

waris

sebenanrnya

merupakan suatu hal yang muncul dari adanya suatu


perkawinan, dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, perkawinan diartikan sebagai suatu ikatan yang
kuat antara laki-laki dengan seorang perempuan untuk
membentuk keluarga yang kokoh dan bahagian berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Setelah adana perkawinan maka terdapat hal yang berkenaan
dengan harta, yaitu pewarisan yang berkenaan dengan harta
peninggalan orang yang sudah meninggal. Dalam suasana
hukum di Indonesia, perihal kewarisan diatur dalam hukum
nasional, hukum agama (misalnya Hukum islam), dan Hukum
Adat. Dimana menurut ketiganya dalam pembagian warisan
dan cara pembagiannya pun memiliki perbedaan, begitu pula
menurut hukum adat.
Berkaca dari pendapat seorang pakar hukum Eugen Ehrlich
dalam bukunya berjudul Fundamental Principles of the
Sociology of Law. Dari bukunya tersebut terdapat

konsep

living law, konsep ini menekankan bahwa, hukum positif


2 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1981, hlm. 284.

hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup


dalam masyarakat, atau dengan apa yang disebut dengan
hukum adat .3 Setiap orang memiliki suku yang berbeda maka
akan terdapat perbedaan pula dalam hal budaya hukum
warisnya, baik dalam hukum adat lampung, Minangkabau,
Semendo, dan lain-lain yang didalamnya juga termasuk
hukum adat masyarakat jawa.
Masyarakat

jawa

yang

merupakan

suatu

suku

atau

masyarakat adat yang sistem kekerabatannya daah parental


yaitu mengambil dari garis orangua (ayah dan ibu), hal ini
berbeda dengan masyarakat adat lampung yang patrilinial
(garis bapak) maupun minangkabau yang matrilinial (garis
ibu).

Jika

dalam

masyarakat

adat

lampung

yang

mengutamakan garis bapak, maka sudah pasti terdapat


perbedaan

dalam

hal

warisannya,

begitupula

dengan

masyarakat matrilinial dimana terdapat perbedaan perolehan


warisan sesuai dengan filosofi masing-masing. Akan tetapi
berbeda dengan masyarakat adat jawa, yang menggunakan
sisitem parental yang berarti maka tidak terdapat perbedaan
antara laki-laki dan perempuan didalamnya, dimana antara
kedunaya memiliki kedudukan yang sama. Oleh karena itu
dalam tugas makalah ini, akan dijelaskan bagaimana budaya
hukum waris masyarakat adat jawa.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dipecahkan dalam makalah
ini, adalah :
1. Bagaimana budaya hukum waris dalam masyarakat adat
Jawa ?
3Syafruddin Kalo, Modul Kuliah Penemuan Hukum, Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan, USU Medan, 2007, hlm.18

Dengan pokok bahasan :


1.
2.
3.
4.
5.

Sistem Waris Adat


Waris Adat Jawa
Harta Warisan dalam Adat Jawa
Ahli Waris dalam Adat Jawa
Proses Pembagian Harta Warisan dalam Masyarakat Adat
Jawa:
a. Selama Pewaris Masih Hidup
b. Setelah Pewaris Meninggal

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk pemenuhan tugas kelompok mahasiswa dalam
mengikuti kuliah antropologi hukum di Fakultas Hukum
Universitas Lampung
2. Untuk mengetahui bagaimana adat atau budaya dalam
masyarakat adat jawa mengenai waris.
D. Manfaat
Adapun manfaat dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui tentang sistem pembagian hukum waris dalam
masyarakat adat jawa
2. Mengetahui budaya masyarakat adat Jawa dalam harta
warisan
3. Mengetahui proses pembagian harta warisa dalam adat
Jawa

II.

PEMBAHASAN

A. Sistem Waris Adat


Hukum adat waris adalah aturan-aturan hukum adat yang
mengatur tentang bagaimana harta peninggalan atau harta
warisan diteruskan atau dibagi dari pewaris kepada para waris
deri generasi ke generasi berikutnya. Menurut Teer Haar
dikatakan bahwa hukum waris adat adalah aturan-aturan
hukum yang mengatur tentang cara bagaimana dari masa ke
masa proses penerusan dan peralihan harta kekayaan yang
berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. 4 Hal
4 Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju :
Bandung, hlm. 211.

tersebut

sejalan

dengan

pendapat

Soepomo,

yang

menerangkan bahwa hukum waris itu memuat peraturanperaturan

yang

mengatur

proses

meneruskan

serta

mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang


yang tak berwujud benda dari suatu angkatan manusia
kepada keturunannya.5
Hukum adat waris Indonesia tidak terlepas dari pengaruh
susunan

masyarakat

kekerabatannya

yang

berbeda.

Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa hukum waris adat


mempunyai corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat
yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem
keturunannya

patrilinial,

matrilinial,

dan

parental

atau

bilateral. Walaupun dalam bentuk kekerabatan yang sama,


namun belum tentu memiliki sistem kewarisan yang sama
menurut hukum adatnya.
Apabila dilihat dari orang yang menerima warisannya, ada
tiga macam sistem kewarisan di Indonesia yaitu sistem
kolektif, kewarisan mayorat, kewarisan individual. Diantara
ketiga sistem kewarisan tersebut pada kenyataannya ada
yang bersifat campuran.

1. Sistem Kolektif
Apabila para waris mendapatkan harta peningalan yang
diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang
tiak

terbagi-bagi

secara

perseorangan,

maka

kewarisan

demikian itu disebut kewarisan kolektif.


5 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Penerbitan Universitas, 1996, hlm.
72.

2. Sistem Mayorat
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi danhanya
dikuasai anak tertua, yang berarti hak pakai, hak mengolah
dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh anak
tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memlihara
adik-adiknya yang pria dan wanita sampai mereka dapat
berdiri sendiri, maka sistem ini disebut dengan sistem
mayorat. Dalam hal sistem mayorat ini, dibagi menjadi
mayorat laki-laki dan mayorat perempuan serta mayorat
wanita bungsu.
3. Sistem Individual
Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara
perorngan dengan hak milik, yang berarti setiap waris
berhak memakai, mengolah dan menikmati hasilnya atau juga
mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka
kewarisan demikian disebut kewarisan individual. Sistem
kewarisan individual memiliki ciri-ciri yaitu harta peninggalan
atau harta warisan dapat dibagi-bagikan di antara para ahli
waris seperti yang terjadi dalam masyarakat bilateral. 6
Adapun contoh yang menganut sistem individual adalah Jawa,
dimana setiap anak dapat memperoleh secara indivdual harta
peningalan dari ayah ibu atau kakek neneknya. Sietem
pewarisan individual, yang memberikan hak mewaris secara
individual atau perorangan kepada ahli warisnya seperti Jawa,
madura, Aceh, dan Lombok.

6 Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, Surabaya: Laksbang Yustitia
Surabaya, 2011, hlm. 117

B. Waris Adat Jawa


Masyarakat adat jawa yang memiliki hubungan kekerabatan
Parental atau bilateral memiliki sistem kewarisan yaitu sistem
Individual, dimana harta warisan yang diperoleh dapat dimiliki
secara perseorangan, hal ersebut jelas berbeda dengan
sistem mayorat yang digunakan masyaralat adat Lampung.
Secara umum, asas yang digunakan dalam hukum adat waris
ini sesuai dengan sistem kekerabatan yang dimiliki oleh suatu
masyarakat adat, begitu pula dengan adat Jawa.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa masyarakat jawa
menganut sistem kekerabatan parental atau bilateral dengan
sistem waris Individual yang berarti adanya suatu keharusan
bagi ahli waris untuk mendapatkan bagian sehingga dapat
menguasai

harta

warisan

yang

telah

dibagi

secara

perseorangan. Adapun faktor yang menyebabkan hal tersebut


perlu

dilakukan

adalah

dikarenakan

tidak

adanya

lagi

keinginan untuk menguasai harta warisan secara kolektif. Hal


ini dikarenakan para ahli waris tidak lagi berada dalam satu
rumah orangtuanya melainkan sudah tersebar sendiri-sendiri
mengikut suami atau istrinya (mencar).7 Ada hal positif dalam
sistem kewarisan individal yang diterapkan oleh masyarakat
adat jawa ini, yaitu adanya suatu kebebasan untuk mengolah
harta warisan tanpa adanya pengaruh dari ornag lain baik
kerabat maupun pihak lainnya yang memiliki kepentingan.
Sedangkan hal negatifnya yaitu adanya suatu kerengangan
tali kekerabatan kaena memnag sifat pewarisannya individual

7 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat. Cet. 4.Bandung:PT Citra Aditya Bakti. 1990,
hlm. 25

yaitu

mengurus

masing-masing

sehingga

dapat

merenggangkan kekerabatan antara keluarga atau kerabat.


C. Harta Warisan Masyarakat Adat Jawa
Menurut Djamanat Samosir, harta warisan adalah harta
yang dikuasai atau harta yang diperoleh atau dikuasai suatu
keluarga sebagai basis materil untuk kelangsungan hidup
suatu keluarga. Fungsi harta warisan adalah sebagai basis
material kehidupan suami-isteri dan anak- anaknya (keluarga)
dalam membiayai kebutuhan hidupnya sehari-hari. 8 Secara
umum ada beberapa yang menjadi objek atau harta warisan,
yaitu :
1.
2.
3.
4.

Harta
Harta
Harta
Harta

Pusaka
Bawaan
Pencaharian
dari pemberian seseorang kepada suami atau istri

atau keduanya
Menurut Djojodigoeno dan Tirtawinata dalam bukunya Adat
Privaatrecht Van Middle-Java sebagaimana dikutip oleh Tolib
Setiady

menegaskan:

Rakyat

Jawa

Tengah

mengadakan

pemisahan arta warisan ini dalam 2 (dua) golongan, yaitu:9


1. Gawan (Harta Bawaan)
Harta ini adalah harta yang dibawa oleh suami atau istri pada
saat akan dilangsungkan perkawinan. Dimana apabila terjadi
suatu perceraian dikemudian hari maka harta warisan beruoa
harta bawan ini akan kembali kepada mssing-masing pihak
yang membawanya. Seperti yang dinyakatan oleh orang jawa
8 Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Bandung: Nuansa Aulia, 2013, hlm. 295.
9 Fuad, 2013, Makalah Hukum Waris Adat Kedudukan duda dan janda menurut hukum
waris adat, http://fuadfh.blogspot.com/2015/04/makalah-hukum-waris-adat-kedudukanduda.html, diakses pada tanggal 25 April 2015, jam 02.30 WIB.

tetep dadi duwekke dewe-dewe, bali menyang asale.10


Kecuali apabiladalam perkawinan yang memiliki perbedaan
derajat dalam ekonomi (kaya dan Miskin), misalnya suami
tingi (kaya) atau disebut manggih koyo dengan istri rendah,
maka harta kekayaannya menjadi milik suami atau dikuasai
oleh suami.
2. Gono-Gini (Harta Bersama)
Harta

gono-gini

adlah

harta

yang

diperoleh

semasa

perkawinan yang didapat secara bersama-sama. Di jawa,


harta gono-gini adalah sraya ne wong lan duwekke wong
loro yang berarti bahwa hasil kerja dua orang (suami dan
istri) sehingga menjadi harta dua orang (bersama).
Sebenanrnya kedua harta diatas belumlah termasuk kedalam
kategori harta warisan, melainkan baru harta peningalan
karena harta warisan adalah harta yang sudah siap dibagi
(sudah dikurangi hutang piutang dan sebaginya).

D. Ahli Waris dan bagiannya


Dalam hukum waris yang menjadi ahli waris aalah anak-anak
dan janda/duda yang diutamakan menjadi ahli waris, jika
memungkinkan barulah keluarga terdekat yang sesuai dengan
ketetntuan dapat menjadi ahli waris. Dalam masyarakat adat
Jawa semua anak baik laki-laki maupun perempuan, lahir lebih
dahulu atau belaknagan semuanya berhak menjad ahli waris
dan mendapatkan warisannya.

10 Ungkapan Jawa yang berarti tetap menjadi kepunyaan masing-masing dan kembali pada
asalnya.

10

Akan tetapi, jika pewaris tidak memiliki anak sama sekali,


anak angkat atau anak pupon pun tak punya, maka yang
berhak menjadi ahli warisnya adalah :
1. Orang tua pewaris (Bapak atau Ibu)
2. Jika orangtua tidak ada baru saudara kandung pewaris dan
keturunannya, dalam hal ini masih banyak perdebatan
apakah anak angkat juga termasuk kedalam ahli waris atau
bukan.
3. Jika dalam poin dua tidak ada, maka barulah kakek atau
nenek pewaris berhak mewaris
4. Jika poin tuga tidak ada, baru ke paman atau bibi pewaris
dari garis ayah maupun ibu
Pada asasnya dalam masyarakat adat jawa, janda atau duda
bukanlah ahli waris dari pewaris yang meninggal, karena
dipahami bahwa janda dan duda mandapatkan harta warisan
dari harta bersama atau harta perkawinannya.11

E. Proses Pewarisan dalam Masyarakat Adat Jawa


Proses

yang

bagaimana

dimaksud

cara

pewaris

dalam

hal

ini

meninggalkan,

adalah

tentang

membagi

atau

meneruskan harta warisan bagi para ahli warisnya ketika


masih hidup dan sudah meninggal, dimana proses tersebut
merupakan bagian dari budaya masyarakat adat Jawa dalam
hal pewarisan.

11 Bandingkan dengan Keputusan Mahkamah Agung Tanggal 29 Oktober 1958 Reg No.
298 K/Sip/1958 bahwa :Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa , apabila dalam suatu
perkawinan tidak dilahirkan seorang anakpun, maka istri atau janda tetap dapat
menguasai barang-barang gono-gini sampai ia meninggal atau sampai dia kawin lagi.

11

Dalam masyarakat adat, begitu pula dengan masyarakat adat


Jawa, proses pemberian harta warisan dilakukan dengan dua
cara yaitu sebelum pewaris meninggal dan setelah pewaris
meninggal dunia. Dalam masyarakat jawa pembagian waris
ketika pewaris masih hidup dapat dilakukan dengan cara
lintiran (penerusan atau pengalihan), cungan (penujukan),
atau dengan cara weling atau wekas (berpesan, berwasiat).
Dalam hal ini, akan kita lihat bagaimana budaya dalam hukum
waris adat ketika pewaris masih hidup, karena pada dasarnya
untuk pewaris yang sudah wafat atau meninggal budaya
pewarisannya sama seperti yang berlaku dalam hukum
nasional yang berlaku di Indonesia pada umumnya. Seperti
yang sudah disebutkan diatas, untuk proses pemberian harta
warisan ketika pewaris msih hidup dapat dilakukan dengan
beberapa cara yang biasa digunakan dalam masyarakat adat
Jawa yang lebih sering disebut dengan istilah adat Jawa dalam
pebagian harta warisan ketika pewaris masih meningal dunia,
yaitu :
1. Penerusan atau Pengalihan (Lintiran)
Ketika pewaris masih hidup, biasnya pewaris melakukan
enerusan atau pengalihan harta warisan kepada ahli warisnya,
maka sejak penerusan atau pengalihan itulah harta kekayaan
sudah beralih kepada ahli waris.

Dalam pemberian harta

warisan dengan cara penerusan atau pengalihan ini dilakukan


sebagai pemberian bekal kepada anak yang akan menerukan
kehidupan baik untuk meneruskan keturunan (perkawinan),
mislanya ntuk membangun rumah dan sebaginya. Dalam
masyarakat adat jawan hal ini disbeut dengan istilah mencar
atau mentas. Biasanya dalam kebiasaan masyarakat adat
jawa anak yang akan menikah dibekali berupa tanah atau

12

rumah

atau

ternak,

dimana

benda-benda

tersebut

diperhitungkan dalam harta keluarga ketika pewaris sudah


meninggal. Penerusan ini dapat dilakukan juga terhadap anak
angkat yang dinilai sudah memberikan banyak pengorbanan,
jasa, kontribusi dalam keluarga tersebut, sehingga ditakutkan
apabila warisan diberikan ketika pewaris sudah meninggal
maka anak angkat dapat atau kemungkinan tersingkirkan oleh
anak kandung. Sehingga budaya masyarakat adat awa dalam
pembagian
keadilan

warisan

bagi

ini

anak

sangatlah

kandung

dan

mempertimbnagnkan
anak

angkat

serta

menghindari adanya permsalahan yang muncul sebagai


akbibat dari harta warisan yang ditinggalkan.
2. Penunjukan (Cungan)
Berbeda dengan proses penerusan, dalam cungan harta
warisan yang diberikan akan beralih hak penguasaan dan
pemilikiannya setelah pewaris meninggal dunia. Sehingga
dapat dikatakan bahwa proses cungan ini memberikan dan
membawa
dilakukannya

suatu

akibat

cungan,

hukum.

maka

pewaris

Sehingga
masih

setelah
memiliki

wewenang untuk menguasai harta yang ditunjukkan itu.


Kemdian dalam keadaan yang mendesak, maka pewaris dapat
merubah maksudnya dalam hal penunjukkan harta warisan
ini. maka dalam proses cungan ini, dapat dikatakan masih
berupa penunjukan sementara yang bukan merupakan suatu
pemerian secara mutlak (masih dapat berubah apabila
terdapat suatu hal yang mendesak). Penunjukan ini bukan
hanya sebatas benda bergerak saja, melainkan juga benda
tidak bergerak seperti tanah ladang, sawah, kebun, dan
sebaginya yang dlam bahsa jawa disebut dengan istilah
garisan.

13

Dalam masyarakat adat Jawa, adakalanya setelah pemberian


garisan itu ditunjukan atau diteruskan penguasaannya kepada
anak lelaki atau perempuan yang telah mencar dan hidup
mandiri harus memberikan punjunga yaitu kewajiba bagi
setiap anak yang telah diberi tanah itu untuk tetap memberi
bagian hasil tertentu kepada orangtuanya selama masih
hidup. Cara tersebut juga msih berlaku meskipun sudah
dioperkan atau diteruskan.

3. Pesan atau Wasiat (Welingan, Wekasan)


Welingan ini dilakukan biasanya pada saat pewaris sakit dan
tidak ada harapan lagi untuk sembuh, atau pewaris akan pergi
jauh seperti naik haji. Dimana welingan ini berlaku apabila
pewaris benar-benar tidak pulang lagi atau benar-banar
meninggal, sedangkan apabila pewaris sehat kembali atau
pulang dari pergian jauh maka welingan ini dapat dicabut
kembali. Tujuan dari cara ini adalah agar para ahli waris
mebagikan harta warisan dengan cara yang layak menurut
anggapan pewaris, dan agar tidak terjadi perselisihan, dan
tujuan lainnya yaitu pewaris menyatakan secara mengikat
sifat-sifat barang/harta yang ditinggalkannya. Pewaris dapat
mencabut atau menarik kembali suatu wasiat yang sudah
dibuat atau diikrarkan. Tetapi selama wasiat tidak dicabut
atau ditarik kembali, para ahli waris berkewajiban untuk
menghormati wasiat tersebut.12
Sedangkan pewarisan ketika pewaris sudah meninggal dunia
dilakukan dengan cara menurut adat masyarakat jawa yaitu
harta peninggalan dikuasai oleh tokoh adat dan kemudian
12 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,
Bandung: Refika Aditama, hlm. 101.

14

dibagikan

keapada

pembagian

warisan

ahli

sistem

masyarakat

kekerabatan

masyarakat

adat Jawa

dilakukan

setelah

waris

acara

sesuai

Individual

parental
pembagian
slametan

dengan

yang

atau
harta

prinsip

dianut

bilateral.

oleh

Dalam

warisan dapat

(Selamatan),

dimana

elatana itu ada beberapa macam seperti mitung dino, matang


puluh, nyatus, atau nyewu.13 Namun biasanya dilakukan ketika
nyewu (setahun setelah wafatnya pewaris). Hal tersebut
dilakukan dengan harapan seluruh angota keluarga dan ahli
waris dapat berkumpul semua di kediaman pewaris.
Adapun mengenai juru bagi tidak ada ketetntuan pasti siapa
yang menjadi juru bagi dalam warisan adat Jawa, akan tetapi
yang dapat menjadi juru bagi adalah sebagai berikut :
a. Orangtua yang masih hidup (Janda atau duda pewaris)
b. Anak tertua laki-laki atau perempuan
c. Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil, dan
bijaksana
d. Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau
pemuka agama yang diminta, ditunjuk atau dipilih para ahli
waris.
Dalam masyarakat adat jawa kebiasaan atau adat dalam
pembagian warisan tidak dilihat dari nilai ekonomis secara
matematis, melainkan meilhat wujud benda dan kebutuhan
ahli waris yang bersangkutan. Jadi meskipun dikenal adanya
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan tetapi dalam
pembagan warisan juga memperhatikan kebutuhan dari ahli
warisnya.
Pada masyarakat adat Jawa dalam hal pembagian harta
warisan dilakukan dengan dua cara, yaitu :
13 https://id.scribd.com/doc/28975432/Sistem-Kewarisan-Masyarakat-Adat-Jawa, diakses pada
hari minggu, tanggal 26 April 2015, jam 12:47 WIB.

15

1. Segendong-Sepikul
Segendong-Sepikul yaitu dalam hal pembagian harta warisan
anak

laki-laki

mendapatkan

dua

kali

lipat

dari

anak

perempuan. Berarti dalam hal ini hampir sama dengan prinsip


Hukum Islam dalam pembaian warisan, dimana laki-laki
mendapatkan dua bagian dan perempuan satu bagian (2:1).
2. Dundum Kupat
Sedangkan pembagian dengan cara dundum kupat dilakukan
dengan

mebagi

secara

seimbang

antara

laki-laki

dan

perempuan (kedudukan hak dan kewajiban yang sama).

III.

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam pembahasan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Masyarakat adat jawa merupakan masyarakat dengan
sistem

kekerabatan

parental

atau

bilateral

yang

mengambil garis keturunan dari garis orangtua dan sistem


pewarisannya adalah sistem individual yang berarti harta
warisan dapat dikuasai secara perorangan tanpa ada
campur tangan dari pihak manapun.
2. Adapun budaya masyarakat adat Jawa dalam hal warisan
adalah :

16

a. Ahli

Warisnya

adalah

Orangtua,

Keturunan

(anak

kandung) dan anak angkat masih dalam perdebatan


apakah anak angkat juga termasuk atau tidak, nenek
dan/atau kakek, dan paman dan/atau bibi. Dimana ahli
waris tersebut hampir sama dengan ketentuan dalam
waris nasional atau waris Islam pada umumnya.
b. Harta warisan dalam masyarakat adat Jawa adalah :
1. Gawan, yaitu harta bawaan suami atau istri. Ada
budaya dalam masyarakat adat Jawa apabila Laki-laki
tinggi (kaya) menikah dengan wanita rendah, maka
harta Gawan dikuasasi oleh Suami ketika bercerai.
2. Gono-Gini, yaitu harta bersama.
c. Proses pewarisan dalam Adat Jawa dilakukan dengan
dua cara, yaitu :
1. Ketika pewaris masih hidup, dilakukan dengan alasan
agar tidak terjadi prseisihan dan warisan dapat
dibagi secara baik dan layak. Adapun cara-caranya
yaitu :
a. Lintiran
b. Cungan
c. Welingan atau Wekasan
2. Ketika Pewaris sudah meninggal, dilakukan dengan
cara :
a. Segendong sepikul
b. Dundum kupat

DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Hadikusuma, Hilman. 1990.
Hukum Waris Adat. Cet.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

4.

------------------------------. 2003. Pengantar Hukum Adat Indonesia.


Bandung: Mandar Maju :

17

Kalo, Syafruddin. 2007. Modul Kuliah Penemuan Hukum, Program


Pasca Sarjana Magister Kenotariatan USU Medan.
Rato, Dominikus. 2011. Hukum Perkawinan dan Waris Adat.
Surabaya: Laksbang Yustitia Surabaya.
Samosir, Djamanat. 2013. Hukum Adat Indonesia. Bandung:
Nuansa Aulia.
Soekanto, Soerjono. 1981. Hukum Adat Indonesia, Jakarta:
Rajawali.
-----------------------------. 1966. Kedudukan Janda Menurut Hukum
Waris Adat, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Soepomo.

1996.

Bab-bab

Tentang

Hukum

Adat.

Jakarta:

Penerbitan Universitas.
Suparman,

Eman.

2007.

Hukum

Waris

Indonesia

Dalam

Perspektif Islam, Adat, dan BW. Bandung: Refika Aditama.

INTERNET:
www.id.scribd.com
www.fuadfh.blogspot.com

18

Anda mungkin juga menyukai