Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Kesadaran adalah kesiagaan seseorang terhadap diri dan sekitarnya. Secara


patofisiologi kesadaran normal tergantung pada input sensorik ke otak dan
aktivitas intrinsik sistem aktivasi retikuler, formation retikularis asendens di
batang otak dan hubungan roseralnya di otak yang mempertahankan korteks
serebri. Dalam praktek klinis, digunakan klasifikasi tingkat kesadaran dengan
menggunakan Glassgow Coma Scale.1
Koma adalah keadaan dimana kesadaran menurun pada derajat yang
terendah. Substra anatomik dan derajat kesadaran dapat disingkat sebagai jumlah
(kuantitas) input susunan saraf pusat menentukan pada derajat kesadaran. Cara
pengelolahan input itu sehingga menelurkan pola-pola output susunan saraf pusat
mentukan kualitas kesadaran. Melalui lintasan ini seluruh korteks serebri kedua
sisi menerima impuls aferen spesifik. Dan koma akan menjadi kenyataan jika
korteks serebri kedua sisi tidak lagi menerima impuls afferen spesifik tersebut.2
Dalam eksperimen, koma dapat dibangkitkan jika lapisan substansia grisea
kedua hemisperium dibuang atau jika inti intralaminar talamik semuanya rusak.
Akibat dari kerusakan tersebut maka penyaluran impuls asendens spesifik menjadi
tersumbat pada nuklei intralimnares atau pada substansia grisea yang terdapat
pada sekitar akuaduktus sylvii.2
Kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari bahan outopsi manusia sesuai
dengan hasil penyelidikan eksperimental. Semua gangguan yang dapat

menimbulkan koma dapat tercakup dalam gangguan di substansia retikularis


bagian otak yang paling rostral dan gangguan difus pada kedua hemisperium.
Bagian rostral batang otak merupakan bagian batang otak yang sebagian terletak
infratentorial dan sebagian supratentorial. Hemisferium kedua sisi dapat
terganggu secara menyeluruh jika terdapat sel-sel yang menyusun korteks serebri
pada kedua sisi mengalami gangguan metabolik, baik itu yang berasal dari racun
endogenik maupun dari eksogenik.

BAB II
ISI
A. DEFINISI
Koma dapat didefinisikan sebagai keadaan yang tidak sadar yang karenanya
tidak dapat dibangunkan melalui stimulus kata-kata (verbal), sensoris, atau fisik
biasa. Biasanya koma dapat dilihat dengan menggunakan Skala Koma Glasgow
dengan skor 7. Selain itu, jika tanda vital dan sistem kardiovaskuar normal
dapat juga diarahkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisis.3
B. ETIOLOGI ,GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSA

Adapun etiologi, gejala klinis dan diagnosa dari koma bisa dilihat secara rinci
pada tabel di bawah ini : 3

Suatu keadaan penurunan kesadaran dapat dinilai sebagai berikut : 4


1. Tidak responsive tetapi tampak terjaga (akinetik mutisme)
a. Abulla : kelainan lobus frontalis
b. Kelainan psikiatrik : katatonis, hysteria
c. Sindrom locked in : infark pada pons
d. Status epileptikus non konvulsi : jarang ditemukan
2. Penurunan responsibiltas dan tampak tidur
a. Mengamuk (koma dangkal) : memberi respon terhadap suara
b. Stupor (koma sedang) : member respon terhadap rangasang nyeri
c. Koma dalam : tidak ada respon terhadap rangsang
d. Pseudo koma : hysteria
C. KLASIFIKASI
Klasifikasi koma lebih bersifat memberi gambaran umum tentang koma,
bukan tujuan terapeutik yang spesifik. Klasifikasi koma didasarkan atas anatomi,
patofisiologi, serta gambaran klinis.5
Berdasarkan anatomi dan patofisiologinya, koma dibagi menjadi :5
1. Koma kortikal bihemisferik
Merupakan koma/ensefalopati metabolik, dan/atau gangguan fungsi/lesi
struktur korteks bihemisferik. Faktor penyebabnya antara lain sinkop, syok,
hipoksia, gangguan cairan dan elektrolit, intoksikasi, demam tinggi.
2. Koma diensefalik

Dapat bersifat supratentorial, infratentorial, dan kombinasi antara keduanya.


Terjadinya koma dapat melalui mekanisme herniasi unkus, tentorial, atau
sentral. Faktor penyebabnya antara lain stroke atau gangguan peredaran darah
otak, tumor otak, abses otak, edema otak, perdarahan traumatik, hidrosefalus
obstruktif, meningitis dan ensefalitis.
Koma diensefalik
Supratentorial
Infratentorial
ekstraserebral
intraserebral
ekstramedular
intramedular
Hemoragik epidural Hemoragik serebri
Ruptur angioma
Infark pontin
Hematom subdural

Hemoragik

Ruptur aneurisma

Infark

Empiema subdural

intraventrikular

Abses serebelli

mesensefalon

Tumor intraserebri

Tumor intrapontin
Tumor intra
mesensefalon

Sedangkan berdasarkan gambaran kliniknya, koma dibagi menjadi :


1. Koma dengan defisit neurologis fokal
Defisit neurologis fokal dapat berupa hemiplegia, paralisis nervi kranialis,
pupil anisokoria, afasia, refleks fisiologis/patologis asimetri, rigiditas,
dekortikasi atau deserebrasi. Faktor penyebab meliputi gangguan peredaran
darah otak, tumor otak, ensefalitis, abses otak, kontusio serebri, perdarahan
epidural, dan perdarahan subdural.
2. Koma dengan tanda rangsang meningeal
Faktor penyebabnya antara lain meningitis, meningoensefalitis, perdarahan
subaraknoid, tumor di fosa posterior.
3. Koma tanpa defisit neurologis fokal/tanda rangsang meningeal
Faktor penyebabnya antara lain intoksikasi, gangguan metabolik, sinkop,
syok, comotio serebri, hipertermia, hipotermia, sepsis, malaria otak,
ensefalopati hipertensi, eklampsia, dan epilepsi.
D. FISIOLOGI KESADARAN NORMAL
Pusat pengaturan kesadaran pada manusia secara anatomi terletak pada
serabut transversal retikularis dari batang otak sampai thalamus dan dilanjutkan
dengan formasio activator reticularis, yang menghubungkan thalamus dengan

korteks cerebri. Formasio reticularis terletak di substansi grisea otak dari daerah
medulla oblongata sampai midbrain dan thalamus. Neuron formasio reticularis
menunjukkan hubungan yang menyebar. Perangsangan formasio reticularis
midbrain membangkitkan gelombang beta, individu menjadi dalam keadaan
bangun dan terjaga. Lesi pada formasio reticularis midbrain mengakibatkan orang
dalam stadium koma, dengan gambaran EEG gelombang delta. Jadi formasio
reticularis midbrain merangsang ARAS (Ascending Reticular Activating System),
suatu proyeksi serabut difus yang menuju bagian area di forebrain. Nuklei
reticular thalamus juga masuk dalam ARAS, yang juga mengirimkan serabut difus
ke semua area di korteks cerebri.6
Formasio reticularis secara difus menerima dan menyebarkan rangsang,
menerima imput dari korteks cerebri, ganglia basalis, hipothalamus, sistem
limbik, cerebellum, medula spinalis dan semua sistem sensorik. Sedangkan
serabut efferens formasio retikularis yaitu ke medula spinalis, cerebellum,
hipothalamus, sistem limbik dan thalamus yang lalu akan berproyeksi ke korteks
cerebri dan ganglia basalis. ARAS juga mempunyai proyeksi non spesifik dengan
depolarisasi global di korteks, sebagai kebalikan dari proyeksi sensasi spesifik
dari thalamus yang mempunyai efek eksitasi korteks secara khusus untuk tempat
tertentu. Eksitasi ARAS umum memfasilitasi respon kortikal spesifik ke sinyal
sensori spesifik dari thalamus. Dalam keadaan normal, sewaktu perjalanan ke
korteks, sinyal sensorik dari serabut sensori aferens menstimulasi ARAS melalui
cabang-cabang kolateral akson. Jika sistem aferens terangsang seluruhna, proyeksi
ARAS memicu aktivasi kortikal umum dan terjaga.6
Neurotransmitter yang berperan pada ARAS yaitu neurotransmitter kolinergik,
monoaminergik dan GABA. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari
susunan saraf pusat di mana korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri
sendiri terhadap lingkungan atau input-input rangsang sensoris (awareness). Jadi
kesadaran akan bentuk tubuh, letak berbagai bagian tubuh, sikap tubuh dan
kesadaran diri sendiri merupakan funsi area asosiasi somestetik (area 5 dan 7
brodmann) pada lobus parietalis superior meluas sampai permukaan medial
hemisfer.6

Jaras kesadarannya: masukan impuls dari pusat sensorik pada korteks serebri
menuju ARAS diproyeksikan kembali ke korteks cerebri terjadi
peningkatan aktivitas korteks dan kesadaran.6
E. PATOFISIOLOGI
Koma disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh
misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan
langsung atau tidak langsung terhadap formatio retikularis di talamus,
mesensefalon, atau pons. Secara anatomik, letak lesi yang menyebabkan koma
dapat dibagi sebagai berikut : supratentorial (15%), infratentorial (15%), dan difus
(70%), misalnya pada intoksikasi obat dan gangguan metabolik.7,8
1. Koma kortikal-bihemisferik
Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada tercukupinya
penyediaan O2. Pada individu sehat dengan konsumsi O2 otak 3,5 mL/100 gram
otak/menit maka aliran darah otak adalah 50 mL/100 gram otak/menit. Bila
aliran darah otak turun menjadi 20-25 mL/100 gram otak/menit, mungkin akan
terjadi kompensasi dengan menaikkan ekstraksi O2 dari aliran darah. Apabila
aliran darah otak turun lebih rendah lagi maka akan terjadi penurunan konsumsi
O2 secara proporsional.7,8
Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan
teroksidasi menjadi CO2 dan air. Untuk memelihara integritas neuronal,
diperlukan penyediaan ATP yang konstan untuk mengeluarkan ion Na 2+ dari
dalam sel dan mempertahankan ion K+ di dalam sel. Apabila tidak ada oksigen,
maka terjadilah glikolisis anaerob untuk memproduksi ATP. Glukosa dapat
berubah menjadi laktat dan ATP, tetapi energi yang ditimbulkan menjadi lebih
kecil.7,8
Dengan demikian, glukosa dan O2 memegang peranan yang penting dalam
memelihara kesadaran dengan baik. Meskipun demikian, kesadaran dapat
dipengaruhi oleh hal lain seperti gangguan asam basa darah, elektrolit,
osmolalitas, ataupun defisiensi vitamin.7,8
a. Hipoventilasi
6

Diperkirakan berhubungan dengan hipoksemia, hiperkapnia, gagal jantung


kongestif, infeksi sistemik, serta penurunan kemampuan respirasi. Dasar
mekanisme terjadinya gangguan kesadaran pada hipoventilasi belum
diketahui secara jelas. Hipoksia merupakan faktor potensial untuk terjadinya
ensefalopati, tetapi bukan faktor tunggal karena gagal jantung kongestif
masih mempunyai toleransi terhadap hipoksemia dan pada kenyataannya
tidak menimbulkan ensefalopati. Retensi CO2 justru berhubungan dengan
gejala neurologis yang timbul, dan bergantung pula pada lamanya kondisi
hipoventilasi.7,8
b. Anoksia iskemik
Merupakan suatu keadaan dimana darah masih mampu untuk membawa
oksigen ke otak, tetapi aliran darah otak mengalami gangguan untuk
menyuplai darah ke otak. Penyakit yang mendasari biasanya menurunkan
curah jantung misalnya infark jantung, aritmia, syok, refleks vasofagal, atau
penyakit yang meningkatkan resistensi vaskular serebral misalnya sumbatan
arteri.7,8
c. Anoksia anoksik
Merupakan suatu keadaan dimana terjadi ketidakcukupan jumlah oksigen
yang masuk kedarah. Dengan demikian, baik isi maupun tekanan oksigen
dalam darah menjadi menurun. Keadaan demikian ini terdapat pada tekanan
oksigen di lingkungan rendah, atau ketidakmampuan oksigen untuk mencapai
dan menembus membran kapiler alveoli akibat penyakit paru.7,8
d. Anoksia anemik
Disebabkan oleh jumlah Hb yang menurun sehingga tidak ada yang
membawa dan mengikat oksigen, sementara oksigen yang masuk ke dalam
darah cukup. Keadaan ini terjadi pada anemia maupun pada keracunan CO.7,8
e. Hipoksia atau iskemia difus
Disebabkan oleh dua keadaan, yaitu penurunan kadar oksigen dalam darah
yang terlalu cepat atau aliran darah otak yang menurun mendadak. Penyebab
utamanya antara lain adanya obstruksi jalan napas, obstruksi arteri serebral
7

masif (akibat gantung diri), atau keadaan yang menyebabkan menurunnya


curah jantung secara mendadak (seperti asistole, aritmia berat, emboli
pulmonal, atau perdarahan sistemik masif). Keadaan seperti trombosis atau
emboli termasuk purpura trombositopenia trombotika, DIC, endokarditis
bakterialis

akut,

malaria

falsiparum,

dan

emoboli

lemak

mampu

menimbulkan iskemia multifokal yang luas dan secara klinis akan memberi
gambaran iskemia serebral difus.7,8
f. Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme yang paling sering menimbulkan gangguan adalah
gangguan

metabolisme

karbohidrat

yang

meliputi

hiperglikemia,

hipoglikemia, dan asidosis laktat. Diabetes melitus tidak mengganggu otak


secara langsung, tetapi komplikasi yang ditimbulkan oleh DM seperti
ketoasidosis metabolik dan hiperosmolar non ketotik pada DM sering
menimbulkan koma. Selain itu, keadaan seperti asidosis laktat, iatrogenik,
hiponatremia, hipofosfatemia, uremia juga dapat menimbulkan koma. Perlu
dicatat bahwa pada infark otak dan cedera kepala, glukosa darah dapat
meningkat. Hipoglikemia yang terjadi dapat mengganggu sintesis asetilkolin
di dalam otak. Hal ini akan menimbulkan blokade jalur kolinergik, dan
kegagalan demikian dapat menurunkan fungsi kerja sejumlah asam amino
seperti glutamat, glutamin, GABA dan alanin. Sementara itu aspartat
meningkat 4x dan amonia meningkat 14x sehingga mengganggu kesadaran
dan jika didiamkan dapat menimbulkan koma. Hipoglikemia akan
mengganggu korteks otak secara difus, atau mengganggu fungsi batang otak
atau keduanya. Terdapat kerusakan neuron secara dini dan paling berat di
korteks otak, sementara neuron di batang otak dan ganglia basal mengalami
kerusakan yang lebih ringan.7,8
g. Gangguan keseimbangan asam basa
Dari keempat gangguan asam basa yang ada, yang dapat menimbulkan koma
secara langsung adalah asidosis respiratorik. Asidosis metabolik lebih sering
menimbulkan delirium dan obtundansi. Alkalosis respiratorik menimbulkan

bingung dan perasaan tidak enak di kepala. Alasan mengapa gangguan


keseimbangan asam basa sistemik tidak mempengaruhi kesadaran otak adalah
karena adanya mekanisme fisiologis dan biokimia seperti kompensasi
respirasi, perubahan aliran darah otak, gradien ion antara darah dan otak,
buffer selular dalam jaringan saraf yang melindungi keseimbangan asam basa
di otak terhadap perubahan pH serum yang cukup besar.7,8
h. Koma hepatik
Meningkatnya kadar amonia dalam darah merupakan faktor utama penyebab
terjadinya koma hepatik. Amonia dalam kadar tinggi bersifat toksik terhadap
sel-sel otak. Selain itu, amonia juga dapat mengganggu pompa natrium dan
kalium, sehingga juga dapat mengganggu sistem kerja Na-K-ATP-ase. Lebih
dari itu, kadar amonia yang tinggi dapat mengganggu metabolisme energi sel
otak yang mirip dengan keadaan hipoksia berat.7,8
i. Defisiensi vitamin B
Defisiensi vitamin B sering kali mengakibatkan delirium, demensia, dan
mungkin stupor. Defisiensi tiamin dianggap sebagai diagnosis banding yang
paling serius dari koma, karena dapat mengakibatkan penyakit Wernicke,
yaitu suatu kompleks gejala yang disebabkan oleh kerusakan neuron dan
vaskular di substantia grisea daerah sekitar akuaduktus Sylvii dan ventrikel.7,8
2. Koma diensefalik
Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio retikularis di
daerah mesensefalon dan diensefalon disebut koma diensefalik. Secara anatomis,
koma diensefalik dibagi menjadi 2 bagian, yaitu akibat lesi di daerah
supratentorial dan infratentorial.7,8
a. Lesi supratentorial

Pada umumnya berbentuk SOL sebagai akibat dari beberapa hal seperti
gangguan peredaran darah otak dalam bentuk perdarahan, neoplasma, abses
otak, edema otak, dan hidrosefalus obstruktif. SOL tersebut menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial yang kemudian menekan formatio
retikularis di mesensefalon dan diensefalon.5,6,7
b. Lesi infratentorial
Meliputi dua macam proses patologis dalam ruang infratentorial. Pertama
proses diluar batang otak atau serebelum yang mendesak sistem retiukularis,
dan yang kedua merupakan proses di dalam batang otak yang secara langsung
mendesak dan merusak sistem retiularis batang otak. Proses yang timbul
berupa :7,8
1. Penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon
2. Herniasi serebelum dan batang otak ke rostral melewati tentorium serebeli
yang kemudian menekan formasio retikularis di mesensefalon
3. Herniasi tonsilo serebellum ke bawah melalui foramen magnum dan
sekaligus menekan medula oblongata
c. Herniasi sentral

10

Disebabkan oleh meningkatnya tekanan intrakranial secara menyeluruh,


dimana terjadi hernia otak melalui tentorium serebeli secara simetris.
Penyebab terseringnya adalah perdarahan talamus, edema otak akut, dan
hidrosefalus obstruktif akut.7,8
d. Herniasi unkus
Merupakan herniasi lobus temporal bagian mesial terutama unkus. Herniasi
ini disebabkan oleh kompresi rostrokaudal progresif, secara bertahap tekanan
makin ke kaudal dan makin berat, dan dikenal empat tahap dengan sindrom
yang khas. Bagian pertama yang tertekan adalah diensefalon dan nukleus
hipotalamus. Tahap berikutnya merupakan penekanan terhadap mesensefalon.
Dalam keadaan ini, N III ipsilateral akan terjepit diantara arteri serebri
posterior dan arteri serebelli superior sehingga terjadilah oftalmoplegi
ipsilateral. Apabila penekanan terus berlangsung, maka pons akan tertekan
dan akhirnya akan berlanjut menekan medula oblongata. Tahap terakhir ini
merupakan tahap agonia. Faktor penyebabnya adalah gangguan peredaran
darah otak, neoplasma, abses dan edema otak.7,8
e. Herniasi singuli
Terjadi dibawah falks serebri, disebabkan oleh proses penekanan dari satu sisi
hemisfer otak. Akibat dari herniasi singuli adalah tertekannya sistem arteri
dan vena serebri anterior yang kemudian mengganggu fungsi lobus frontalis
bagian puncak dan medial. Keadaan ini akan menimbulkan inkontinensia urin

11

dan alvi serta gejala gegenhalten dan negativisme motorik atau paratonia
(pada setiap rangsangan akan timbul gerakan melawan secara refelktorik).7,8
F.

Pemeriksaan Saraf
1. Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu

Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan
rahang tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat.
2. Pola pemafasan
a. Cheyne-Stokes dan central hyperventilation dapat dilihat pada
gangguan metabolik dan lesi struktural di beraneka ragam tempat di
otak dan tidak dapat menunjukkan tingkat anatomi lesi yang
menyebabkan koma.
b. Ataxia dan gasping paling sering dilihat pada lesi pontomeduler.
c. Depressed, pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat
disebabkan oleh lesi medula oblongata, atau diakibatkan obat-obatan.
3. Posisi kepala dan mata
Pada lesi hemisfer, kepala dan kedua mata melirik ke arah lesi dan
menjauh dari hemiparesis, lesi di pons kebalikannya. Pada lesi di talamus
dan mesensefalon bagian atas, kedua mata melirik ke arah hidung.
4. Funduskopi
Papil edema menandakan peninggian tekanan intrakranial. Perdarahan
subhyaloid, biasanya menandakan ruptur aneurisma atau malformasi
arteriovena.
5. Pupil
a. Diperhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek.
b. Midposition (3-5 mm) dan refleks cahaya negative kerusakan
mesensefalon (pusat refleks pupil di mesensefalon).
c. Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata tidak ada
koma metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat.

12

d. Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menandakan


penekanan N.III oleh hernia unkus lobus temporalis serebri. Kedua
pupil dilatasi dan refleks cahaya negatif bisa juga oleh anoksi,
keracunan atropin dan glutethimide.
e. Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan pons
seperti infark atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga menyebabkan
pinpoint pupil dan refleks cahaya positif. Bila dengan rangsang nyeri
pada kuduk pupil berdilatasi, berarti bagian bawah batang otak masih
utuh.
6. Gerakan bola mata
Khas untuk lesi batang otak.
a. Gerakan bola mata spontan
b. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan lambat dari
c.
d.
e.
f.

satu sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih utuh.
Retractory nystagmus ciri kerusakan tegmentum mesensefalon.
Convergence nistagmus yaitu ciri kerusakan mesensefalon.
Ocular bobbing yaitu ciri kerusakan caudal pontin.
Nystagmoid jerking of a single eye yaitu ciri kerusakan midpontine-

lower pontine.
g. Seesaw nystagmus yaitu ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan di
batang otak. Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi struktural
penyebab koma.
G. TATALAKSANA
Untuk penetalaksaan dari koma, kita harus mengetahui penyebabnya.
Seorang dokter dengan pasein koma, harus mendapatkan banyak informasi. Tapi
yang paling utama adalah memperhatikan tanda vital dari pasien. Misalnya koma
yang disebabkan oleh infeksi, maka kita harus memberikan terapi antibiotik, koma
yang disebabkan oleh hipoglikemik maka, kita harus memberikan glukosa. Dan
juga bisa dilakukan tindakan operasi apabila ada massa yang ,enekan otak atau
adanya cairan.10

13

Adapun langkah-langkah dari penatalaksanaan koma adalah : 11


1. Pemantauan ABC (Airway, Breathing and Circulation)
Tanda-tanda vital harus diperhatikan dan juga penilaian kesadaran melalui
GCS dan juga penilaian darah melalui tes laboratorium dan pengeluaran urin.
2. Pasien dengan GCS 8 memerlukan tindakan intubasi untuk menjaga saluaran
pernapsannya.
3. Untuk pasien hipotensi (tekanan darah <70 mmHg) digunakan obat
vasopressor dan jika pasien hipertensi (tekanan darah >130 mmHg)
digunakan labetolol intravena dengan dosis 5-20 mg.
4. Jika penyebab koma tidak diketahui dapat diberikan 25 gram dextrosa.
5. Pasien yang terkena sindrom herniasi batang otak yang ditemukan dengan
pemeriksaan CT scan, dapat dilakukan pemberian mannitol 1 gr/kb intravena.
6. Hipertermia (suhu >38,5C) dapat dicurigai adanya kerusakan pada otak
karena iskemik dapat diberikan antipiretik. Dan pasien yang dicurigai
meningitis dapat diberikan antibiotik seperti ceftriakson 2 gr/intravena setiap
12 jam dan vancomycin 2 gr/hari secara intravena.
PROGNOSIS
Prognosis koma bergantung pada banyak faktor, seperti penyebab, situasi
klinik pada saat pertama kali ditangani, kecepatan tindakan, kelengkapan fasilitas,
penyulit yang muncul dan kemampuan dokter serta perawat yang menanganinya.11

BAB III
KESIMPULAN
Ada banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya koma, dengan
penanganan yang mungkin berbeda disetiap penyebab. Faktor risiko yang

14

ditimbulkan sering kali beragam, bergantung dari kondisi awal penyebab pasien
koma. Prinsip penanganan koma sebagian besar sama, tetapi jika terdapat penyulit
atau terdapat beberapa penyakit lain, maka penanganan yang lebih kompleks
dibutuhkan untuk menangani penyakit tersebut. Prongosis dari koma bergantung
dari banyak hal, dan sering kali berakibat fatal jika tidak ditangani dengan baik,
atau meskipun sudah ditangani dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurology. 2007. Jakarta : Erlangga.


2. Priguna, Sidharta, Prof, DR dan Mardjono, Mahar, Prof, DR. Neurology Klinis
Dasar. 2012. Jakarta : Dian Rakyat.
3. Behram, Kliegman dan Arvin. Ilmu Kesehatan Anak. 2000. Jakarta : EGC

15

4. Weiner, Howard L. Buku Saku Neurology. 2000. Jakarta :EGC


5. Priguna Sidharta, M. D., Ph. D. , Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum.
2004. Jakarta : Dian Rakyat.
6. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor's Principles of Neurology. New
York : McGraw-Hill, 2005. Vol. 8. 0-07-146971-0.
7. Ropper AH. Coma. [book auth.] Kasper DL, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J Fauci AS. Harrison's Principles of
Internal Medicine. New York : McGraw-Hill, 2008, Vol. 17, 268.
8. http://www.smallcrab.com/kesehatan/944-mengenal-koma
9. Prof.DR.dr. S.M. Lumbantobing (ed. 2005) Neurologi Klinik, pemeriksaan
fisik dan mental, cetakan ketujuh. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
10. http://www.webmd.com/brain/coma-types-causes-treatments-prognosis
11. http://www.uptodate.com/contents/stupor-and-coma-in-adults/contributorspdf

16

Anda mungkin juga menyukai