Anda di halaman 1dari 9

TANGGAPAN TERHADAP MAKALAH KELOMPOK II

TENTANG TANTANGAN BIROKRASI DI MASA DEPAN


Oleh : Ismanto
NPM : 2015.02.018
I.

Tantangan di Bidang Politik


Kehidupan demokratis bermasyarakat dan bernegara merupakan tuntutan
semua komponen bangsa, yang akan selaras apabila setiap warga Negara
mampu menjaga dan memelihara keseimbangan hak dan kewajibannya, seperti
hak menyatakan pendapat, hak memilih dan dipilih h ak berserikat hak menjadi
anggota organisasi politik berdasarkan keyakinan politiknya. Peroleh hak
dikemungkinkan bila warga Negara menuaikan kewajibannya, namun yang
menjadi masalah adalah kecenderungan manusia untuk mendahulukan haknya
ketimbang kewajibannya, hal ini menuntut birokrasi untuk merespon melalui
pelaksanaan pendidikan politik. Terdapat tiga konotasi kemudian demokratis bagi
birokrasi yang perlu perhatian:
1. Kehidupan bernegara yang demokratis berarti berfungsinya dengan efektif
semua lembaga kontitusional mulai dari legislative, eksekutif, dan yudikatif.
2. Dalam mencapai tujuan politik, organisasi politik harus mendapat hak hidup,
dengan peran sosialisasi kebijakan politik, pendidikan politik, partisipasi
politik, penyalur aspirasi dan pengawasan social penyelenggaraan Negara.
3. Terdapatnya aparat eksekutif yang benar benar berperan sebagai pelaksana
utama kebijakan politik nasional yang telah disepakati bersama mitra
kerjanya, yaitu sebagai abdi seluruh masyarakat, yang netral, transparan, dan

II.

kehidupan demokratis pada birokrasi itu sendiri.


Tantangan di Bidang Politik
Dalam bidang Pendidikan, para birokrat hendaknya lebih mampu lagi
mengembangkan sebuah sistem pendidikan yang ideal serta bernilai agama,
karena jujur saja melihat perkembangan zaman yang sudah sedemikian majunya
baik dari segi pengembangan ilmu pengetahuan maupun penerapannya, tidaklah
diimbangi dengan pengembangan karakter SDM yang berbudi luhur dan
berakhlak. Budaya untuk menghormati guru sudah semakin luntur, bahkan
terkesan tidak lagi menjadi perhatian bersama. Selain itu pula, birokrat harusnya

dapat mengembangkan SDM masyarakat kita melalui program pelatihan yang


sifatnya lebih kepada pengembangan skill indvidu masyarakat kita, utamanya
bagaimana menciptakan lapangan kerja baru sehingga tidak selalu bergantung
kepada negara, sehingga mereka juga mampu menghasilkan sebuah produkproduk yang menjadi andalan negara dan dapat bernilai jual dan berdaya
III.

bersaing baik di regional ASEAN maupun global.


Tantangan di Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Kemajuan zaman dewasa ini sudah sedemikian canggihynya. Komunikasi
tidaklah lagi dibatasi oleh jarak maupun waktu. Selain itu aksesnya pun dapat
dilakukan dimana saja dan kapan saja. Namun demikian perkembangan tersebut
tidak jarang juga menimbulkan masalah terutama dalam hal pengaplikasiannya.
Apabila diaplikasikan dengan benar tentunya saja akan membawa dampak yang
sangat positif, tidak hanya bagi personal namun juga tidak menutup
kemungkinan

bagi

kemajuan

bangsa

dan

negara.

Namun

apabila

pengaplikasiannya tidak pada hal yang benar, bisa jadi akan membawa dapak
yang negatif, tidak hanya bagi personalnya saja, namun juga tidak menutup
kemungkinan bagi bangsa secara umum Disinilah peran seorang birokrat
bagaimana membuat sebuah regulasi yang sifatnya tidak hanya sebagai
tindakan preventif saja, namun juga protektif terhadap budaya-budaya dari luar
yang bisa menghancurkan nilai-nilai ketimuran yang kita junjung tinggi selama
ini. Sementara dalam hal ilmu pengetahuan, birokrat seharusnya lebih jeli dan
mengupayakan pendidikan lanjut bagi para pendidik (Guru) dengan jalan
mengupayakan beasiswa kepada pemerintah (Negara) sehingga dengan makin
mengasah dan mengembangkan kemampuan para tenaga pendidik tersebut,
diharapkan akan mampu menularkannya kepada peserta didiknya, sehingga
pada akhirnya akan lahir generasi penerus bangsa yang memiliki SDM yang
unggul.

TANGGAPAN TERHADAP MAKALAH KELOMPOK III


TENTANG KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DALAM BIROKRASI PEMERINTAHAN
Oleh : Ismanto

NPM : 2015.02.018
Menambahkan penjelasan pada poin 3 (Perilaku dan Karakter Kepemimpinan)
berdasarkan

penjelesan

tentang

Gaya

Kepemimpinan

Transformasional

yang

dipergunakan oleh Bernard M. Bass, yang meliputi :


1. Charisma/Idealized Influence (Pengaruh Ideal)
Perilaku pemimpin yang membuatnya dikagumi, sehingga bawahannya
sangat memuji, mengagungkan, mengikuti dan menjadikannya sebagai role
model.

Pemimpin

menunjukkan

keyakinan

dan

daya

tarik

kepada

pengikutnya sehingga terjadi ikatan emosional pada tingkatan tertentu.


Pemimpin ini memiliki nilai yang ditunjukkan jelas dalam setiap tindakan
sehingga menjadi contoh pengikutnya. Kepercayaan yang dibangun antara
pemimpin dan pengikutnya didasarkan landasan moral dan etika.
2. Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasi)
Perilaku pemimpin mengartikulasikan visi yang mendorong dan memberuu
inspirasi pengikutnya. Pemimpin memberi tantangan kepada pengikut untuk
memenuhi standar yang lebih tinggi, mengkomunikasikan optimisme tentang
pencapaian tujuan masa depan, dan memberi tugas yang berarti. Pengikut
harus memiliki pengertian kuat terhadap tujuan organisasi jika mereka ingin
termotivasi mewujudkannya.
3. Intellectual Stimulation (Stimulasi Intelektual)
Pemimpin bersedia mengambil resiko dan meminta ide pengikutnya,
membangkitkan semangat dan mendorong kreativitas pengikutnya. Visi
pemimpin menjadi kerangka pikir pengikut untuk menghubungkannya dengan
pimpinan, organisasi dan sesama mereka serta tujuan organisasi. Ketika
stimulasi terjadi, kreativitas mampu menghadapi segala masalah.
4. Individualized Consideration or Individualized Attention (Pertimbangan
Individu)
Pimpinan selalu hadir ketika pengikut membutuhkan, pimpinan ini bertindak
sebagai mentor, mendengar apa yang menjadi perhatian dan kebutuhan
pengikut, termasuk kebutuhan dihormati dan menghargai kontribusi individual

terhadap organisasi. Pendekatan ini mendidik pimpinan generasi berikut dan


mendorong terpenuhinya aktualisasi diri.
Lebih

lanjut

Bernard

M.

Bass

menyatakan

bahwa

kepemimpinan

transformasional memiliki karakteristik yang membedakan dengan gaya kepemimpinan


yang lainnya, dimana seorang pemimpin dituntut harus memiliki visi dan misi yang
rasional (masuk akal) serta memiliki karisma kepemimpinan yang membanggakan,
sehingga bawahan baik secara langsung maupun tidak langsung akan menaruh respek
atau rasa hormat dan kepercayaan penuh kepada atasannya. Kemudian, seorang
pemimpin semestinya mampu melihat dengan jeli setiap masalah yang mungkin saja
timbul dalam intern sebuah organisasi, yakni dengan jalan melakukan pendekatan
kepada bawahannya secara personal, sehingga dengan demikian bawahan akan
merasa terayomi dan merasa dijamin hak-haknya sebagai manusia, yang akan
menumbuhkan efek kebanggaan seorang bawahan terhadap pimpinannya. Selain itu,
seorang pemimpin diharapkan mampu untuk mengkomunikasikan harapan dan tujuan
dari organisasi serta mampu memberikan pehamaman yang mudah dimengerti kepada
para bawahan akan langkah-langkah strategis yang mesti ditempuh agar tujuan dari
organisasi terlaksana dengan efektif dan efisien.
Diharapkan dengan kemampuan Intelejensi, rasionalitas, ketelitian dan keakuratan
yang menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap pimpinan organisasi dalam
menganalisis setiap kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman dalam kehidupan
organisasi, diharapkan mampu menjawab tantangan kedepan, sehingga tujuan
organisasi dapat terealiasasi.

TANGGAPAN TERHADAP MAKALAH KELOMPOK IV


TENTANG KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
Oleh : Ismanto
NPM : 2015.02.018

Konsep awal tentang Kepemimpinan Transformasional ini dikemukakan oleh


Burn yang menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional adalah sebuah peroses
dimana pimpinan dan para bawahannya berusaha untuk mencapai tingkat moralitas
dan

motivasi

transformasional

yang

lebih

tinggi.

(mentransformasi

Untuk

memperjelas

nilai-nilai)

ia

posisi

kepemimpian

membedakannya

dengan

kepemimpinan transaksional (jual beli nilai-nilai). Dalam pengertian lainnya, pemimpin


transformasional mencoba untuk membangun kesadaran para bawahannya dengan
menyerukan cita-cita yang besar dan moralitas yang tinggi seperti kejayaan,
kebersamaan dan kemanusiaan.
Seorang pemimpin dikatakan transformasional diukur dari tingkat kepercayaan,
kepatuhan, kekaguman, kesetiaan dan rasa hormat para pengikutnya. Para pengikut
pemimpin transformasional selalu termotivasi untuk melakukan hal yang lebih baik lagi
untuk mencapai sasaran organisasi. Kepemimpian Transformasional ini memiliki
keterkaitan dengan kepemimpinan karismatik. Karisma merupakan bagian yang sangat
penting dalam Kepemimpinan Transformasional, namun karisma itu tidak cukup untuk
melakukan proses transformasi. Perbedaan yang paling menonjol adalah para
pemimpin transformasional mencoba untuk memberikan kekuasaan sesuai dengan
kapasitas kewenangan masing-masing dan memberdayakan bawahan tetapi pada
kepemimpinan karismatik boleh jadi pemimpin mencoba untuk membuat para
pengikutnya tetap lemah agar selalu merasa tergantung dan patuh padanya.
Teori kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan terakhir yang
hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini. Gagasan awal mengenai model
kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh James McGregor Burns yang
menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya ke dalam konteks organisasional
oleh Bernard Bass. Dalam upaya pengenalan lebih dalam tentang konsep
kepemimpinan transformasional ini, Bass mengemukakan adanya kepemimpinan
transaksional yaitu kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo.
Kepemimpinan jenis ini didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu
proses pertukaran (exchange process) di mana para pengikut mendapat imbalan yang
segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin.

Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang


dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan
transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang
sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan
mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya.
Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan organisasi menuju arah baru.
Menurut Burn, pemimpin bukan saja pemimpin yang memungkinkan terjadinya proses
pertukaran dengan kemauan atau keinginan para pengikutnya, atau Pemimpin
Transaksional, apalagi bagi para pengikutnya yang baru belajar, tetapi dalam proses
selanjutnya perlu pemimpin yang dapat mengangkat dan mengarahkan pengikutnya ke
arah yang benar, ke arah moralitas dan motivasi yang lebih tinggi atau sering disebut
sebagai Pemimpin Transformasional. James MacGregor Burns, dalam Leadership
(pemenang Pulitzer Prize), But transformational leadership ultimately becomes moral
in that it raises the level of human conduct and ethical aspiration of both leader and the
led, and thus it has a transforming effect on both.
Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kepemimpinan yang
melibatkan perubahan dalam organisasi (dipertentangkan dengan kepemimpinan yang
dirancang untuk memelihara status quo). Kepemimpinan ini juga didefinisikan sebagai
kepemimpinan yang membutuhkan tindakan memotivasi para bawahan agar bersedia
bekerja demi sasaran-sasaran "tingkat tinggi" yang dianggap melampaui kepentingan
pribadinya pada saat itu. Perhatian orang pada kepemimpinan di dalam proses
perubahan (management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari bahwa
pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena
perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan anggapan orang bahwa perubahan itu
justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi. Di dalam merumuskan proses
perubahan, biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, di mana
lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan
keterbukaan dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut, tetapi di
dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan
transaksional yang mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung
dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan

menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai
manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya.
Pemimpin

transformasional

bisa

berhasil

mengubah

status quo

dalam

organisasinya dengan cara mempraktikkan perilaku yang sesuai pada setiap tahapan
proses transformasi. Apabila cara-cara lama dinilai sudah tidak lagi sesuai, maka sang
pemimpin akan menyusun visi baru mengenai masa depan dengan fokus strategik dan
motivasional. Visi tersebut menyatakan dengan tegas tujuan organisasi dan sekaligus
berfungsi sebagai sumber inspirasi dan komitmen.
Menindaklanjuti idenya Max Weber mengenai masyarakat law bureaucracy, John
Gregorius Burns menggulirkan ide kepemimpinan trnsformasional pada tahun 1978.
Menurut Burns, kepemimpinan transformasional adalah sebuah kepemimpinan yang
melibatkan seluruh elemen anggota organisasi/masyarakat dalam kepemimpinannya.
Oleh karena itu, kepimimpinan bukan hanya terdiri dari orang yang memimpin saja,
akan tetapi juga melibatkan anggota (followers) dalam proses kepemimpinannya. Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa pada kondisi masyarakat yang sudah sangat berdaya;
batas kapasitas pribadi antara yang dipimpin dengan pemimpin sudah sangat tipis
(artinya sudah sama-sama pintar). Masyarakat tidak lagi membutuhkan sosok pimpinan
yang serba bisa dan instruksionis, melainkan pemimpin yang bisa menampung aspirasi
bersama untuk bersama-sama diwujudkan dalam tindakan kelembagaan yang
sistematis.

Lebih

lanjut,

kepemimpinan

transformasional

lebih

mengandalkan

pertemuan visi kedepan yang dibangun berdasarkan konsesus bersama antara


pemimpin dan anggota. Oleh karena itu pemimpin tidak lagi menjadi satu-satunya orang
yang bertugas untuk memberikan visi gerakan dan kemudian mendiseminasikan
kepada anggotanya; peminpin justru menjadi interpreter (penerjemah) visi bersama
para anggotanya untuk di transformasikan dalam bentuk kerja nyata kolektif yang
mutual.

TANGGAPAN TERHADAP MAKALAH KELOMPOK V


TENTANG MANAJEMEN PERUBAHAN (EDISI KETIGA)
Oleh : Ismanto

NPM : 2015.02.018
Dari hasil pemaparan makalah kelompok penyaji (Kelompok V) yang
membawakan materi MANAJEMEN PERUBAHAN (Edisi Ketiga) dalam pendekatan
organisasional, bahwa perlu dipahami bersama bahwa esensi dari sebuah perubahan
salah satunya adalah Perubahan tersebut hakikatnya mengarah pada keadaan yang
lebih baik. Namun demikian dari hasil uraian kelompok penyaji tidak mencantumkan
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektifitas pencapaian tujuan dalam sebuah
organisasi.
Banyak pendapat yang mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas organisasi, namun pada dasarnya pendapat-pendapat tersebut telah
terangkum dalam hasil penelitian Richard M. Steers, seperti teori mengenai pembinaan
organisasi yang menekankan adanya perubahan yang berencana dalam organisasi
yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Jadi keberhasilan pembinaan
organisasi akan mengakibatkan keberhasilan organisasi. Dydiet Hardjito (1997: 65)
mengemukakan bahwa keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya dipengaruhi
oleh komponen-komponen organisasi yang meliputi: (1) struktur; (2) tujuan; (3)
manusia; (4) hukum; (5); prosedur pengoperasian yang berlaku; (6) teknologi; (7)
lingkungan; (8) kompleksitas; (9) spesialisasi; (10) kewenangan; serta (11) pembagian
tugas.
Dalam mencapai efektivitas suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang berbeda-beda tergantung pada sifat dan bidang kegiatan atau usaha suatu
organisasi. Demikian banyak rangkaian kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi
efektivitas organisasi seperti apa yang dikemukakan diatas, tetapi disini akan dituliskan
empat saja faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas. Adapun pengaruh 4 faktor
tersebut terhadap efektivitas organisasi sebagai berikut:

1). Karakteristik Organisasi


Karakteristik organisasi terdiri dari struktur dan teknologi. Struktur diartikan
sebagai hubungan yang relatif tetap sifatnya, merupakan cara suatu organisasi

menyusun orang-orangnya untuk menciptakan sebuah organisasi yang meliputi faktorfaktor seperti deentralisasi pengendalian, jumlah spesialisasi pekerjaan, cakupan
perumusan interaksi antar pribadi dan seterusnya. Secara singkat struktur diartikan
sebagai cara bagaimana orang-orang akan dikelompokkan untuk menyelesaikan
pekerjaan..
2). Karakteristik Lingkungan
Karakteristik lingkungan ini mencakup dua aspek yaitu internal dan eksternal.
Lingkungan internal dikenal sebagai iklim organisasi. yang meliputi macam-macam
atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi dan efektivitas
khususnya atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi tertentu
dari efektivitas khususnya atribut diukur pada tingkat individual sedangkan Lingkungan
eksternal adalah kekuatan yang timbul dari luar batas organisasi yang memperngaruhi
keputusan serta tindakan di dalam organisasi seperti kondisi ekonomi, pasar dan
peraturan pemerintah. Hal ini mempengaruhi: derajat kestabilan yang relatif dari
lingkungan, derajat kompleksitas lingkungan dan derajat kestabilan lingkungan.
3). Karakteristik Pekerja
Karakteristik pekerja berhubungan dengan peranan perbedaan individu para
pekerja dalam hubungan dengan efektivitas. Para individu pekerja mempunyai
pandangan yang berlainan, tujuan dan kemampuan yang berbeda-beda pula. Variasi
sifat pekerja ini yang sedang menyebabkan perilaku orang yang berbeda satu sama
lain. Perbedaan tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap efektivitas
organisasi. Dua hal tersebut adalah rasa keterikatan terhadap organisasi dan prestasi
kerja individu.
4). Kebijakan dan praktek manajemen
Karena manajer memainkan peranan sentral dalam keberhasilan suatu
organisasi melalui perencanaan, koordinasi dan memperlancar kegiatan yang ditujuan
ke arah sasaran. Pada intinya manajemen adalah tentang memutuskan apa yang harus
dilakukan kemudian melaksanakannya melalui orang-orang (Amstrong, 1993: 14).
Definisi ini menekankan bahwa dalam organisasi merupakan sumber daya terpenting.

Anda mungkin juga menyukai