Tugas Etika Profesi
Tugas Etika Profesi
A. KASUS POSISI
Seorang laki-laki yang bernama Agus menderita sakit pada mata kiri
dengan keluhan berupa rasa gatal dan kemerahan. Ia berobat kepada seorang
dokter spesialis mata yang bernama dokter M, berpraktik di Rumah Sakit R.
Setelah dokter M melakukan diagnosa, pasien dinyatakan menderita uveitis
posterior (iridocylitis) sehingga diberikan resep berupa obat tetes mata
cendotropin 1% dan tablet kalmethason. Seminggu kemudian, kondisi pasien
tidak mengalami perubahan sehingga ia kembali berobat kepada dokter M.
Setelah memeriksa mata pasien, dokter M memberikan resep baru berupa obat
salep mata gentamicyn untuk digunakan pada kedua matanya. Selama
pengobatan dengan salep gentamicyn kondisi penglihatan mata
pasien
menjadi kabur seperti berkabut dan mata kanan terasa gatal serta kemerahan
seperti gejala awal yang terjadi pada mata kirinya. Selain itu pasien juga
merasakan sakit apabila sedang memegang/menyisir rambutnya dan ketika
mendengar suara-suara yang menyentak. Seminggu setelah pemberian resep
salep gentamicyn, pasien Agus kembali mengunjungi dokter M di tempat
praktik Rumah Sakit R. Dokter M kembali memeriksa kondisi mata pasien,
kemudian mengganti obat salep yang diberikan sebelumnya dengan obat tetes
cair scherozon. Pasien disarankan untuk memeriksakan kembali matanya
seminggu kemudian. Pada hari yang telap ditetapkan oleh dokter tersebut
1
kondisi kedua mata pasien semakin parah bahkan menjadi tidak dapat melihat.
Pasien Agus kembali mengunjungi dokter M dengan diantar oleh keluarganya.
Ketika memeriksa kondisi pasien Agus, dokter M melihat sebuah luka di leher
pasien tersebut. Dr. M menyarankan agar pasien menjalani rawat inap dan
merujuk pasien kepada dokter F, seorang ahli penyakit dalam (internist).
Dokter F mendiagnosa pasien Agus menderita penyakit Scropuloderma (TBC
kulit) dan diberikan terapinya. Namun setelah pasien Agus menjalani rawat
inap selama enam hari, ketika luka pada lehernya sudah membaik, kondisi
matanya tidak menunjukkan tanda-tanda sembuh. Pasien disarankan dokter M.
untuk melanjutkan pengobatan dengan rawat jalan. Selama menjalani rawat
jalan, pasien Agus beberapa kali mengunjungi dr. M di tempat praktiknya baik
di Rumah Sakit R maupun di tempat praktik rumah dokter M. Dalam salahsatu
kunjungan di tempat praktik rumah, dokter M meminta pasien Agus untuk
berbesar hati karena kondisi matanya diduga telah mengalami kebutaan total
akibat penyakinya. Dokter M juga menyarankan pasien Agus untuk mengikuti
kursus-kursus di Panti Rehabilitasi Cacat Netra Wyata Guna. Pasien Agus
mengikuti saran dokter M dengan mengikuti kursus pijat untuk bekal di
kemudian hari.
Setelah lebih kurang dua belas tahun berlalu, Agus merasa kesulitan
mencari nafkah sebagai pemijat tunanetra. Pada suatu waktu ia berkesempatan
untuk berkonsultasi dengan seorang advokat tentang riwayat kebutaan
matanya. Advokat tersebut menyarankan Agus untuk mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum malpraktik secara perdata dengan tujuan
2
Kerugian
yang
ditimbulkan;
d.
Hubungan
sebab
akibat
antara
Komentar:
Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi akibat kurangnya pengetahuan
pasien, keluarganya dan para penegak hukum. Suatu hal yang tidak mudah
akibat keterbatasan atau keawaman mereka di bidang medik. Untuk mencapai
suatu kepastian hukum dan keadilan dalam hal malpraktik medik, selain
menggunakan kaidah-kaidah hukum juga diperlukan penerapan kaidah-kaidah
etik bagi profesi dokter. Dokter diharapkan secara profesional dapat
menjunjung etika profesi dokter untuk menghindari konflik batin ketika harus
membela pasien atau membela sejawatnya. Dengan demikian penulis mencoba
membahas mengenai malpraktik medik ditinjau dari hukum dan etik.
B. PEMBAHASAN
disiplin
kesehatan,
lembaga
penyelesaian
sengketa
Ikatan Dokter Indonesia Jawa Barat, Peranan MKEK dalam Konflik Etika Medikolegal di
Rumah Sakit, Jurnal Dinkes Prov. Jabar, Kelima, V, 2006, hlm. 1-4
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, CV Mandar Maju, 2001,hlm. 82
hukum telah dirancang untuk mengantisipasi masa yang akan datang namun
ketika masa itu tiba, hukum yang telah dipersiapkan sudah tertinggal atau
tidak relevan lagi untuk diterapkan.
Pemerintah dewasa ini sedang giat menjalankan pembangunan di
segala bidang. Salahsatu yang menjadi sasaran utamanya yaitu pembangunan
di bidang hukum untuk mengantisipasi berbagai perkembangan khususnya
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembangunan di bidang hukum
kesehatan akhir-akhir ini ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Untuk memenuhi kebutuhan manusia di bidang kesehatan, masyarakat
sangat bergantung pada profesi kedokteran seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang ilmu kedokteran. Namun
perkembangan tersebut belum tentu sejalan dengan perilaku masyarakat.
Sebagai contoh, di masa lalu jika seseorang sakit ia lebih dahulu memilih
terapi tradisional atau alami dan ketika penyakitnya tidak sembuh akan
dilanjutkan dengan terapi medik. Di masa sekarang ketika ilmu kedokteran
telah berkembang pesat, sebagian masyarakat justru berpola pikir mundur dan
terbalik. Mereka akan memilih terapi medik lebih dahulu untuk mengobati
penyakitnya baik yang ringan maupun berat. Namun ketika terapi medik tidak
berhasil menyembuhkannya, mereka akan berusaha mencari terapi alternatif
Hal ini memberikan sinyal bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
belum
tentu
selaras
dengan
perkembangan
perilaku
dan
3.
10
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, 1991, hal. 83
11
kehendak Allah. Di dalam Al Quran QS. As-Syuaraa: 26:80 ... dan apabila
aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku. 4
Dengan demikian ayat tersebut menjadi dasar bagi kita untuk
memahami bahwa jasa yang diberikan oleh dokter kepada pasien adalah bukan
untuk menyembuhkan, melainkan hanya sebagai ikhitiar atau upaya untuk
menyembuhkan karena kesembuhan hanya dari Allah.
Perkembangan malpraktik medik di Indonesia diawali dengan
dibahasnya Kode Etik Kedokteran Indonesia di dalam Musyawarah Kerja
Ikatan Dokter Indonesia di Jakarta, pada tanggal 1-3 Mei 1969. 5 Pada
musyawarah kerja tersebut dibahas mengenai pekerjaan dokter yang mulia dan
harus
sesuai
dengan
falsafah
Pancasila.
Berawal
dari
itu
banyak
makin
maraknya
kasus-kasus
malpraktik
akhir-akhir
ini,
12
13
15
kesehatan sebagai aspek sosial dan 2) hak untuk menentukan nasib sendiri
sebagai aspek pribadi.7
Soerjono Soekanto, Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, CV Mandar Maju, Bandung,
1990, hlm. 1
16
17
1. SIMPULAN
Peristiwa malpraktik medik hanya dapat terjadi setelah perjalanan panjang dari
suatu hubungan antara dokter dan pasien. Hubungan yang dikenal dengan perjanjian
terapeutik ini diikuti dengan hak dan kewajiban dari dokter dan pasien. Seorang
pasien yang telah memberikan kepercayaan kepada dokter untuk menolongnya
berkewajiban memberikan keterangan yang benar tentang keadaan kesehatan dirinya
dan sepantasnya memberikan honorarium kepada dokter. Pasien berhak menerima
pelayanan kesehatan yang memenuhi standar dan berhak mendapatkan informasi
serta petunjuk yang jelas dari dokter. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan
kesehatan dengan menjunjung tinggi etika profesinya kepada pasien serta
menyampaikan informasi tentang kesehatan yang diperlukan pasien. Dokter berhak
atas honorarium dari pasien. Hak dan kewajiban dokter maupun pasien pada
kenyataannya sering tidak dapat terwujud sepenuhnya. Misalnya ketika dokter
memberikan informasi kepada pasien, seolah-olah pasien mengerti apa yang telah
dijelaskan oleh dokter padahal sebenarnya tidak dimengerti. Pasien seringkali tidak
ingin dianggap kurang pengetahuan atau bodoh sehingga tidak berterus terang kepada
dokter jika sebenarnya informasi yang disampaikan belum dapat dimengerti. Dokter
juga seringkali tidak menyampaikan informasi yang lengkap dan jelas mengingat
keterbatasan waktu konsultasi. Ketidakselarasan ini yang dapat memicu terjadinya
malpraktik medik. Pasien yang sebenarnya tidak cukup mengerti mengenai kondisi
18
penyakit dan kesehatannya menganggap telah dirugikan oleh tindakan dokter padahal
dokter telah berbuat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Begitu pula dengan
pengetahuan ilmu kedokteran para penegak hukum seperti advokat, polisi, jaksa dan
hakim sangat terbatas sehingga seringkali memberikan advis yang kurang tepat bagi
pasien yang telah merasa dirugikan oleh dokter. Sehingga mereka terburu-buru
mengajukan gugatan/tuntutan malpraktik medik padahal sebenarnya unsur-unsur
malpraktik medik tidak/ belum terpenuhi.
Dalam hal demikian etika profesi dokter sangat memainkan peranan penting
ketika seorang dokter diminta sebagai saksi ahli maupun untuk memeriksa dokter lain
dalam wadah yang disebut Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. Dokter tersebut
akan sampai pada suatu yang dilematis antara membela pasien yang dirugikan atau
membela dokter, teman sejawatnya. Terlebih dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia
terdapat ketentuan yang berbunyi seorang dokter memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
2. SARAN
Pasien sebaiknya tidak ragu-ragu untuk meminta informasi dari dokter secara
lengkap dan jelas untuk mencegah timbul salah pengertian atas keterangan yang
diberikan dokter. Seorang dokter dituntut pula untuk dapat memberikan informasi
yang jelas dan lengkap kepada pasien dan juga memperhatikan latar belakang sosial
dari pasiennya sehingga dalam menyampaikan informasi kepada pasien harus
menggunakan bahasa/istilah yang dimengerti oleh pasien awam. Selain itu dokter
19
dalam menjalankan profesinya harus selalu menjunjung tinggi etika profesi dengan
mengutamakan pelayanan kepada pasien.
Para penegak hukum harus menambah pengetahuan tentang ilmu kedokteran
agar ketika diminta pendapat oleh masyarakat yang merasa dirugikan dokter, tidak
salah dalam memberikan saran/ advis. Pemerintah juga harus melengkapi peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Misalnya setelah terbit Undang-Undang Praktik
Kedokteran perlu dirancang pula peraturan perundang-undangan tentang Hak Pasien.
D. DAFTAR PUSTAKA
20
Adolf Heuken S.J dkk, Ensiklopedi Etika Medis, Yayasan Cipta Loka Caraka,
Jakarta 1979
Agus Purwadianto, Urgensi Undang-Undang Praktik Kedokteran bagi MasyarakatSebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23 No.2 tahun 2004
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, 1991
Ikatan Dokter Indonesia Jawa Barat, Peranan MKEK dalam Konflik Etika
Medikolegal di Rumah Sakit, Jurnal Dinkes Prov. Jabar, Kelima, V, 2006
Soerjono Soekanto, Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, CV Mandar Maju,
Bandung, 1990
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, CV Mandar Maju, Bandung, 2001
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir AL-Quran, Al-Quran, tajwid dan
terjemahannya, PT Syaamil Cipta Media, 2006
21