Anda di halaman 1dari 21

MALPRAKTIK MEDIK DITINJAU DARI HUKUM DAN ETIK

A. KASUS POSISI
Seorang laki-laki yang bernama Agus menderita sakit pada mata kiri
dengan keluhan berupa rasa gatal dan kemerahan. Ia berobat kepada seorang
dokter spesialis mata yang bernama dokter M, berpraktik di Rumah Sakit R.
Setelah dokter M melakukan diagnosa, pasien dinyatakan menderita uveitis
posterior (iridocylitis) sehingga diberikan resep berupa obat tetes mata
cendotropin 1% dan tablet kalmethason. Seminggu kemudian, kondisi pasien
tidak mengalami perubahan sehingga ia kembali berobat kepada dokter M.
Setelah memeriksa mata pasien, dokter M memberikan resep baru berupa obat
salep mata gentamicyn untuk digunakan pada kedua matanya. Selama
pengobatan dengan salep gentamicyn kondisi penglihatan mata

pasien

menjadi kabur seperti berkabut dan mata kanan terasa gatal serta kemerahan
seperti gejala awal yang terjadi pada mata kirinya. Selain itu pasien juga
merasakan sakit apabila sedang memegang/menyisir rambutnya dan ketika
mendengar suara-suara yang menyentak. Seminggu setelah pemberian resep
salep gentamicyn, pasien Agus kembali mengunjungi dokter M di tempat
praktik Rumah Sakit R. Dokter M kembali memeriksa kondisi mata pasien,
kemudian mengganti obat salep yang diberikan sebelumnya dengan obat tetes
cair scherozon. Pasien disarankan untuk memeriksakan kembali matanya
seminggu kemudian. Pada hari yang telap ditetapkan oleh dokter tersebut
1

kondisi kedua mata pasien semakin parah bahkan menjadi tidak dapat melihat.
Pasien Agus kembali mengunjungi dokter M dengan diantar oleh keluarganya.
Ketika memeriksa kondisi pasien Agus, dokter M melihat sebuah luka di leher
pasien tersebut. Dr. M menyarankan agar pasien menjalani rawat inap dan
merujuk pasien kepada dokter F, seorang ahli penyakit dalam (internist).
Dokter F mendiagnosa pasien Agus menderita penyakit Scropuloderma (TBC
kulit) dan diberikan terapinya. Namun setelah pasien Agus menjalani rawat
inap selama enam hari, ketika luka pada lehernya sudah membaik, kondisi
matanya tidak menunjukkan tanda-tanda sembuh. Pasien disarankan dokter M.
untuk melanjutkan pengobatan dengan rawat jalan. Selama menjalani rawat
jalan, pasien Agus beberapa kali mengunjungi dr. M di tempat praktiknya baik
di Rumah Sakit R maupun di tempat praktik rumah dokter M. Dalam salahsatu
kunjungan di tempat praktik rumah, dokter M meminta pasien Agus untuk
berbesar hati karena kondisi matanya diduga telah mengalami kebutaan total
akibat penyakinya. Dokter M juga menyarankan pasien Agus untuk mengikuti
kursus-kursus di Panti Rehabilitasi Cacat Netra Wyata Guna. Pasien Agus
mengikuti saran dokter M dengan mengikuti kursus pijat untuk bekal di
kemudian hari.
Setelah lebih kurang dua belas tahun berlalu, Agus merasa kesulitan
mencari nafkah sebagai pemijat tunanetra. Pada suatu waktu ia berkesempatan
untuk berkonsultasi dengan seorang advokat tentang riwayat kebutaan
matanya. Advokat tersebut menyarankan Agus untuk mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum malpraktik secara perdata dengan tujuan
2

mendapatkan ganti rugi atas kebutaan matanya. Gugatan perdata diajukan di


Pengadilan Negeri Bandung dengan petitum jumlah ganti kerugian seluruhnya
satu milyar rupiah. Agus telah menggugat Rumah Sakit R sebagai Tergugat I,
dokter M sebagai Tergugat II, dokter F sebagai Turut Tergugat I dan Rumah
Sakit A (tempat praktik baru dr. M) sebagai Turut Tergugat II.
Pengadilan Negeri Bandung yang memeriksa perkara tersebut di dalam
pertimbangannya antara lain menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum
(onrechmatigedaad)

memiliki empat unsur yang kesemuanya harus

terpenuhi, yaitu: a. Perbuatan melawan hukum; b. Kesalahan/kelalaian;


c.

Kerugian

yang

ditimbulkan;

d.

Hubungan

sebab

akibat

antara

kesalahan/kelalaian dan kerugian yang ditimbulkan. Pada kasus tersebut,


hakim melihat bahwa tidak terdapat bukti yang menjelaskan perbuatan
melawan hukum dokter yang telah menyebabkan kerugian pasiennya. Menurut
pertimbangan hakim pula, pasien seharusnya mengajukan terlebih dahulu
dokter M kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran dan/atau membuat
laporan polisi untuk membuktikan terlebih dahulu kesalahan/kelalaian dokter.
Dengan demikian majelis hakim menganggap gugatan penggugat belum
jelas/belum lengkap, terlalu dini (prematur). Atas pertimbangan-pertimbangan
tersebut majelis Hakim memutuskan gugatan Penggugat tidak dapat diterima
(niet ontvankelijk).

Komentar:
Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi akibat kurangnya pengetahuan
pasien, keluarganya dan para penegak hukum. Suatu hal yang tidak mudah
akibat keterbatasan atau keawaman mereka di bidang medik. Untuk mencapai
suatu kepastian hukum dan keadilan dalam hal malpraktik medik, selain
menggunakan kaidah-kaidah hukum juga diperlukan penerapan kaidah-kaidah
etik bagi profesi dokter. Dokter diharapkan secara profesional dapat
menjunjung etika profesi dokter untuk menghindari konflik batin ketika harus
membela pasien atau membela sejawatnya. Dengan demikian penulis mencoba
membahas mengenai malpraktik medik ditinjau dari hukum dan etik.

B. PEMBAHASAN

1. Etika Profesi Dokter


Kata etika menurut kamus lengkap bahasa Indonesia berarti ilmu yang
berkenaan tentang yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral.
Sedangkan profesi berarti pekerjaan yang ditandai oleh pengetahuan atau
pendidikan tertentu. Di dalam literatur mengenai etika profesi umumnya yang
dimaksud dengan profesi ialah suatu pekerjaan yang dilakukan berdasarkan
keahlian secara terus menerus baik untuk mencari nafkah maupun tidak dan
keahlian tersebut didapatkan dengan pendidikan formal tertentu.
Apabila kita akan membahas etika profesi maka bukan hanya dokter
yang pekerjaannya dibatasi etika profesi, namun profesi lain seperti advokat
atau dosen juga demikian. Ketika seorang profesi berbuat salah atau lalai maka
ia dapat diduga telah melakukan malpraktik. Malpraktik berasal dari kata
malpractice yang berarti praktik yang salah. Dengan demikian dokter, advokat,
dosen dan semua profesi dapat melakukan malpraktik.
Malpraktik yang dilakukan seorang profesi dapat dikategorikan
melanggar etika profesi dan dapat pula dikatakan melanggar hukum.
Umumnya jika dokter melakukan pelanggaran hukum dapat dipastikan ia telah
melanggar etika profesinya. Namun jika dokter tersebut melanggar etika
profesi, belum dapat dipastikan dokter tersebut juga telah melanggar hukum.

Seringkali dokter bertanya dengan sinis mengapa jika profesinya lalai


masyarakat langsung memberikan stigma telah terjadi suatu malpraktik.
Namun apabila kelalaian atau kesalahan dilakukan oleh seorang dukun atau
paranormal, maka tidak pernah dikatakan terjadi malpraktik. Jika dihubungkan
dengan uraian di atas, dapat dihubungkan bahwa dukun atau paranormal
bukan seorang profesional. Keahlian yang dimiliki oleh seorang dukun atau
paranormal tidak berdasarkan pendidikan formal tertentu. Sehingga tentu
kalangan mereka tidak dapat dikategorikan telah melakukan malpraktik.
Etika kedokteran sebagai kaidah etik yang mengikat profesi dokter
dibuat dan disahkan oleh organisasi profesi dokter yaitu Ikatan Dokter
Indonesia. Pelanggaran terhadap kaidah-kaidah ini dapat dikenakan sanksi
administrasi dari organisasi profesi. Pembuktian ada atau tidaknya
pelanggaran etik yang dilakukan oleh seorang dokter hanya dapat dilakukan
oleh para dokter sendiri. Dalam organisasi profesi dokter atau organisasi
profesi lainnya, lembaga tersebut biasa disebut dengan Majelis Kehormatan.
Pada profesi dokter dikenal dengan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
(MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran adalah suatu wadah yang
berperan di dalam memerikasa dan membuat putusan/vonis terhadap dokter
yang diduga melakukan malpraktik atau kelalaian medik, sehubungan dengan
pengaduan pasien/keluarganya atau pengacaranya yang disebut dengan
sengketa medik. Sebagai suatu lembaga peradilan dokter, Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran telah memiliki standar prosedur operasional
6

penanganan sengketa medik berupa pedoman penatalaksanaan sengketa medik


yang telah diberlakukan di seluruh Indonesia pada Muktamar Ikatan Dokter
Indonesia ke-23 tahun 1997. Secara sosiologis MKEK menempati porsi
terbesar dalam penanganan kasus-kasus ini di banyak provinsi di Indonesia
dibandingkan dengan lembaga peradilan etik (MAKERSI, MP2EPM),
lembagaperadilan

disiplin

kesehatan,

lembaga

penyelesaian

sengketa

konsumen (BPSK) maupun lembaga peradilan umumnya (Pengadilan Negeri)


baik perdata maupun pidana. Dalam kiprahnya MKEK akan senantiasa
menangani pelbagai konflik dalam etika kedokteran khususnya etika praktis. 1
Etika profesi bagi seorang dokter memiliki kekuatan hukum setelah
diundangkannya Kode Etik Kedokteran Indonesia melalui Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 434/Menkes/SK/X/1983 pada tanggal 28 Oktober 1983.
Dengan berlakuknya Kode Etik Kedokteran Indonesia sebagai suatu
peraturan-perundang-undangan, maka selururh dokter yang telah melafalkan
sumpahnya terikat secara hukum pada kode etik tersebut.2

2. Kesehatan dan Masyarakat


Kebutuhan pokok manusia yang utama untuk mempertahankan hidup
ialah makanan, pakaian dan perumahan. Namun masih terdapat kebutuhankebutuhan yang tidak kalah penting bagi manusia untuk mempertahankan
1

Ikatan Dokter Indonesia Jawa Barat, Peranan MKEK dalam Konflik Etika Medikolegal di
Rumah Sakit, Jurnal Dinkes Prov. Jabar, Kelima, V, 2006, hlm. 1-4
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, CV Mandar Maju, 2001,hlm. 82

eksistensinya antara lain pendidikan dan kesehatan. Di dalam memenuhi


kebutuhan hidupnya, manusia akan berikhtiar dengan segala kemampuan dan
dengan segala cara. Bahkan, kalau perlu dengan memanfaatkan bantuan/jasa
orang lain.
Setiap kelompok masyarakat selalu mengalami perubahan sebagai
akibat perubahan perilaku individu didalamnya. Perubahan ini dapat terjadi
sebagai akibat dari perubahan sosial, budaya maupun sebagai dampak
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dinamika masyarakat
demikian terjadi di belahan dunia dimanapun baik di negara maju maupun
negara berkembang. Perubahan di masyarakat seringkali menimbulkan konflik
ketika kondisi yang telah maju tidak disertai perubahan perangkat-perangkat
penunjangnya, misalnya suatu peraturan perundang-undangan yang telah
usang masih belum diperbaharui. Konflik juga dapat terjadi apabila perubahan
hanya terjadi pada sekelompok masyarakat saja atau perubahan yang tidak
diikuti dengan peningkatan intelektualitas anggota masyarakat.
Di Indonesia banyak peraturan perundang-undangan yang telah usang
sehingga tidak relevan lagi untuk diterapkan sebagai hukum positif. Selain itu
banyak peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi sebagai akibat perubahan
di masyarakat masih belum memiliki peraturan perundang-undangannya.
Sebagai

a tool for social engineering seperti yang dikemukakan oleh Roscoe

Pound, hukum selayaknya hadir di tengah masyarakat untuk mengawal


perubahan-perubahan yang akan berlangsung. Namun pada kenyataannya
hukum selalu tertinggal dari perubahan masyarakat itu sendiri. Seringkali
8

hukum telah dirancang untuk mengantisipasi masa yang akan datang namun
ketika masa itu tiba, hukum yang telah dipersiapkan sudah tertinggal atau
tidak relevan lagi untuk diterapkan.
Pemerintah dewasa ini sedang giat menjalankan pembangunan di
segala bidang. Salahsatu yang menjadi sasaran utamanya yaitu pembangunan
di bidang hukum untuk mengantisipasi berbagai perkembangan khususnya
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembangunan di bidang hukum
kesehatan akhir-akhir ini ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Untuk memenuhi kebutuhan manusia di bidang kesehatan, masyarakat
sangat bergantung pada profesi kedokteran seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang ilmu kedokteran. Namun
perkembangan tersebut belum tentu sejalan dengan perilaku masyarakat.
Sebagai contoh, di masa lalu jika seseorang sakit ia lebih dahulu memilih
terapi tradisional atau alami dan ketika penyakitnya tidak sembuh akan
dilanjutkan dengan terapi medik. Di masa sekarang ketika ilmu kedokteran
telah berkembang pesat, sebagian masyarakat justru berpola pikir mundur dan
terbalik. Mereka akan memilih terapi medik lebih dahulu untuk mengobati
penyakitnya baik yang ringan maupun berat. Namun ketika terapi medik tidak
berhasil menyembuhkannya, mereka akan berusaha mencari terapi alternatif
Hal ini memberikan sinyal bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi

belum

tentu

selaras

dengan

perkembangan

perilaku

dan

intelektualitas pada masyarakat.


9

Ketika semakin banyak orang memanfaatkan terapi medik, ternyata


semakin sering pula terjadi ketidakpuasan masyarakat atas pelayanan medik
yang diterimanya. Penyebabnya antara lain, di masa lalu pasien yang tidak
puas atas pelayanan medik umumnya tidak akan melakukan upaya apapun
untuk menuntut haknya. Hal ini karena dipengaruhi pola paternalistik pasien
kepada profesi medik. Pasien beranggapan posisinya lebih rendah dihadapan
dokter sehingga tidak memiliki keberanian untuk menggugat dokter.
Perubahan yang terjadi di masa sekarang, ketika pasien merasa tidak
memperoleh haknya, ia akan berupaya baik secara hukum maupun non hukum
untuk memperjuangkan hak-haknya. Namun keberanian untuk menggugat
dokter seringkali tidak disertai dengan bekal pengetahuan yang cukup
sehingga pada akhirnya gugatan tersebut ditolak atau tidak dapat diterima.
Berdasarkan uraian di atas penulis mencoba untuk melakukan
pembahasan malpraktik medik ditinjau dari sosiologi dan etika. Tujuannya
agar malpraktik medik dapat dikupas secara komperhensif sesuai dengan
pemahaman profesinya serta perilaku, perubahan atau perkembangan
masyarakat. Masyarakat yang merasa telah dirugikan dokter umumnya awam
sehingga untuk mengetahui adanya kesalahan atau kelalai dokter memerlukan
bantuan organisasi dokter khususnya majelis kehormatan etika kedokteran.

3.

Perkembangan Malpraktik Medik

10

Permasalahan atas hubungan hukum antara dokter dan pasien


khususnya dalam hal malpraktik medik merupakan fenomena yang sering
muncul di dalam kehidupan sehari-hari. Penyelesaian perkara sengketa medik
umumnya berujung pada kerugian para pihak. Secara singkat pokok
permasalahan hukum antara rumah sakit, dokter dan pasien menyangkut
malpraktik medik dapat dimulai dari pengertian malpraktik dan hubungan
yang terjadi antara dokter, pasien dan rumah sakit.
Malpraktik berasal dari bahasa Inggris malpractice yang berarti
wrongdoing atau neglect of duty. (dari The advanced Learners Dictionary of
Current English by Hornby cs, 2-nd edition, Oxford University Press,
London)3 Dalam pengertian sehari-hari malpraktik sesungguhnya dapat terjadi
kepada setiap orang selama orang tersebut sedang menjalankan kewajiban
profesinya (duty). Maka tidak hanya profesi medik saja yang dapat melakukan
malpraktik, namun seorang notaris, pengacara atau seorang guru dapat
melakukan malpraktik. Di Indonesia malpraktik lebih sering dikonotasikan
pada perkara medik. Penulis dalam tulisan ini menggunakan istilah malpraktik
medik agar konotasinya hanya terbatas untuk bidang medik.
Sebelum membahas aspek-aspek dalam malpraktik medik, penulis
ingin mengingatkan bahwa rumah sakit adalah sebagai sarana pelayanan
medik dan profesi dokter pada prinsipnya hanya sebagai perantara saja.
Kesehatan atau kesembuhan seseorang pada hakikatnya dapat terwujud atas

Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, 1991, hal. 83

11

kehendak Allah. Di dalam Al Quran QS. As-Syuaraa: 26:80 ... dan apabila
aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku. 4
Dengan demikian ayat tersebut menjadi dasar bagi kita untuk
memahami bahwa jasa yang diberikan oleh dokter kepada pasien adalah bukan
untuk menyembuhkan, melainkan hanya sebagai ikhitiar atau upaya untuk
menyembuhkan karena kesembuhan hanya dari Allah.
Perkembangan malpraktik medik di Indonesia diawali dengan
dibahasnya Kode Etik Kedokteran Indonesia di dalam Musyawarah Kerja
Ikatan Dokter Indonesia di Jakarta, pada tanggal 1-3 Mei 1969. 5 Pada
musyawarah kerja tersebut dibahas mengenai pekerjaan dokter yang mulia dan
harus

sesuai

dengan

falsafah

Pancasila.

Berawal

dari

itu

banyak

diselenggarakan pertemuan-pertemuan, seminar-seminar yang membahas


tentang tanggungjawab dan etika profesi seorang dokter. Kemudian dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
telah diatur mengenai tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau
kelalaian dalam menjalankan profesinya (Pasal 54) dan seseorang berhak atas
ganti rugi akibat kesalahan/kelalaian tenaga kesehatan (Pasal 55). Seiring
dengan

makin

maraknya

kasus-kasus

malpraktik

akhir-akhir

ini,

diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik


Kedokteran. Hakikatnya ada dua permasalahan dasar yang menjadi urgensi
4

Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir AL-Quran, Al-Quran, tajwid dan terjemahannya,


PT Syaamil Cipta Media, 2006
Adolf Heuken S.J dkk, Ensiklopedi Etika Medis, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta 1979,
hal.160

12

diundangkannya Rancangan Undang-Undang Praktik Kedokteran. Pertama,


bagi kepentingan masyarakat luas adalah agar masyarakat terlindungi terhadap
praktik kedokteran yang eksploitatif dan tidak memenuhi etika kedokteran
yang mengakibatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap profesi dokter.
Kedua, memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi profesi
medis dari gugatan imaterial masyarakat yang berlebihan yang akan dapat
menimbulkan ekses praktik kedokteran yang ketakutan (defensive) dan
timbulnya krisis malpraktik yang merugikan citra profesi dokter.6

4. Aspek Hukum Malpraktik Medik


Malpraktik medik dapat terjadi ketika seorang dokter sebagai subyek
hukum mengadakan suatu perjanjian dengan subyek hukum lain yaitu pasien.
Ketika dokter dan pasien telah sampai pada suatu kesepakatan maka terjadi
hubungan transaksi/kontrak terapeutik. Di Indonesia, perjanjian atau perikatan
diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata antara lain Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang syarat
sahnya perjanjian. Di dalam Hukum Kedokteran, rumah sakit, dokter dan
pasien masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Rumah sakit berhak
mendapatkan pembayaran pasien dan berkewajiban memberikan fasilitas
sarana medik, pasien berhak atas jasa pelayanan medik dan berkewajiban
membayar biaya periksa/jasa. Sedangkan dokter berhak menerima uang jasa
6

Agus Purwadianto, Urgensi Undang-Undang Praktik Kedokteran bagi Masyarakat-Sebuah


Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23 No.2 tahun 2004, hal.5

13

serta berkewajiban memberikan pelayanan medik kepada pasien dengan


sebaik-baiknya. Apabila dicermati, jasa yang diberikan dokter kepada pasien
tidak seperti jasa yang umum terdapat di masyarakat. Perikatan mereka bukan
tentang hasil tertentu yang telah diketahui sejak awal. Sebagai perbandingan,
jasa montir telah diketahui hasilnya yaitu agar barang yang direparasi dapat
berfungsi baik kembali. Seorang notaris dapat diukur hasil pekerjaannya
karena klien mengetahui hasil pekerjaannya berupa akta notarii. Tetapi
seorang dokter tidak dapat memberikan suatu jaminan hasil berupa
kesembuhan bagi pasien. Dokter hanya dapat menjanjikan sebuah upaya yang
semaksimal mungkin untuk menyembuhkan, namun bukan kesembuhan yang
dijanjikan.
Di dalam ilmu hukum dikenal dua jenis perjanjian yaitu perjanjian
hasil (resultaat verbintenis) dan perjanjian upaya semaksimal mungkin
(inspanning verbintenis). Pengertian upaya semaksimal mungkin tentu sulit
untuk diukur karena sifatnya relatif. Bagi

profesi dokter sesuai dengan

sumpah jabatannya, upaya semaksimal mungkin berarti sesuai standar yang


berlaku. Dalam hukum kedokteran dikenal dua jenis standar yaitu standar
profesi dan standar prosedur pelayanan medik. Standar profesi berarti seorang
dokter telah memenuhi standar untuk menjalankan profesinya sehingga
memiliki kewenangan. Standar prosedur pelayanan medik berarti seorang
dokter di dalam melayani pasien harus memenuhi semua prosedur dan
ketentuan yang berlaku di dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan
kepada pasien.
14

Ketika seorang dokter di dalam mejalankan profesinya tidak sesuai


dengan standar profesi atau standar pelayanan medik, maka dokter dianggap
telah melakukan kelalaian atau kesalahan. Kelalaian atau kesalahan ini dapat
diduga sebagai malpraktik. Perbuatan malpraktik medik adalah perbuatan
melawan hukum seperti diatur Pasal 1365 dan Pasal 1366 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, karena dasar perikatannya adalah undang-undang dan
kepatutan.
Untuk memenuhi ketentuan pasal ini harus dibuktikan tiga unsur secara
kumulatif. Pertama, unsur kesalahan atau kelalaian; kedua, unsur kerugian;
dan ketiga, unsur hubungan sebab akibat antara kesalahan atau kelalaian dan
kerugian yang timbul. Perlu diperhatikan pula, ketiga unsur tersebut tidak
boleh dipenuhi secara alternatif melainkan harus secara kumulatif.
Mengenai hak dan kewajiban bagi dokter maupun pasien, diatur pula
dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran. Hak-hak pasien yang merupakan kewajiban
bagi seorang dokter antara lain: a. Hak atas informasi medik; b. Hak atas
persetujuan tindakan medik (informed consent); c. Hak atas pendapat kedua
(second opinion); d. Hak atas rahasia kedokteran; serta e. Hak untuk melihat
rekam medis. Kelima hak pasien tersebut merupakan penerapan dari dua
macam hak asasi manusia yang menurut Leenen, yaitu 1) hak atas pelayanan

15

kesehatan sebagai aspek sosial dan 2) hak untuk menentukan nasib sendiri
sebagai aspek pribadi.7

5. Aspek Etik Malpraktik Medik


Permasalahan selanjutnya ialah sejauhmana seseorang dapat menuntut
atau menggugat dokter sedangkan pasien, keluarganya atau pengacaranya
adalah orang yang awam di bidang medik. Dalam hal demikian saatnya bagi
kaidah-kaidah etik profesi dokter untuk berperan. Proses penegakan hukum
akan sulit dilakukan bahkan tidak dapat dilakukan tanpa bantuan profesi
dokter sendiri. Malpraktik medik yang menyangkut tindakan dokter hanya
dapat dibuktikan dengan bantuan ahli yaitu profesi dokter itu sendiri. Tentu
sangat dibutuhkan keahlian dokter untuk membuktikan sejawatnya bersalah
atau tidak. Dengan demikian tidak mustahil terjadi konflik moral pada dokter
yang menjadi saksi ahli atau yang duduk di dalam Majelis Kehormatan Etika
Kedokteran ketika menyatakan rekan sejawatnya bersalah. Bukankah
salahsatu bunyi kode etik kedokteran Indonesia menyatakan seorang dokter
arus memperlakukan sejawatnya seperti ia memperlakukan dirinya sendiri.
Menurut dokter H. Ali Akbar, pada tahun 1953 telah dibuat oleh
Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara suatu fatwa tentang Tuntunan

Soerjono Soekanto, Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, CV Mandar Maju, Bandung,
1990, hlm. 1

16

Rohaniah Agama Islam dalam Perawatan Orang Sakit yang dapat


dipersamakan dengan kode etik kedokteran Islam, sebagai berikut:8
1. Kewajiban orang merawat si sakit:
a. perawatan jasmani menurut teknik kedokteran;
b. sifat-sifat yang harus dimiliki perawat dan juru rawat;
c. tuntutan rohani menurut tuntunan syara;
d. soal pemeriksaan dan perawatan pasien oleh dokter dan juru rawat yang
berlainan jenis kelaminnya.
2. Adab menziarahi orang sakit:
a. Islam menganjurkan menziarahi orang sakit;
b. Yang harus dilakukan oleh orang yang menziarahi orang sakit;
3. Kewajiban orang sakit:
Hal-hal yang harus dilakukan oleh orang sakit;
4. Bayi yang baru lahir:
Hal-hal yang sangat dianjurkan agama Islam pada bayi yang baru lahir;
5. Orang yang baru meninggal:
Hal-hal yang baik dilakukan dan dikerjakan dalam rumah sakit terhadap
orang yang baru meninggal.
Di dalam dunia internasional, Etika Kedokteran Islam terkumpul di dalam
Thibbun Nabawi yang mengatur hubungan dokter dengan khaliknya, dokter dengan
pasien dan dokter dengan sejawat.

A. Heuken, Loc.cit, hlm. 62

17

C. SIMPULAN DAN SARAN

1. SIMPULAN
Peristiwa malpraktik medik hanya dapat terjadi setelah perjalanan panjang dari
suatu hubungan antara dokter dan pasien. Hubungan yang dikenal dengan perjanjian
terapeutik ini diikuti dengan hak dan kewajiban dari dokter dan pasien. Seorang
pasien yang telah memberikan kepercayaan kepada dokter untuk menolongnya
berkewajiban memberikan keterangan yang benar tentang keadaan kesehatan dirinya
dan sepantasnya memberikan honorarium kepada dokter. Pasien berhak menerima
pelayanan kesehatan yang memenuhi standar dan berhak mendapatkan informasi
serta petunjuk yang jelas dari dokter. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan
kesehatan dengan menjunjung tinggi etika profesinya kepada pasien serta
menyampaikan informasi tentang kesehatan yang diperlukan pasien. Dokter berhak
atas honorarium dari pasien. Hak dan kewajiban dokter maupun pasien pada
kenyataannya sering tidak dapat terwujud sepenuhnya. Misalnya ketika dokter
memberikan informasi kepada pasien, seolah-olah pasien mengerti apa yang telah
dijelaskan oleh dokter padahal sebenarnya tidak dimengerti. Pasien seringkali tidak
ingin dianggap kurang pengetahuan atau bodoh sehingga tidak berterus terang kepada
dokter jika sebenarnya informasi yang disampaikan belum dapat dimengerti. Dokter
juga seringkali tidak menyampaikan informasi yang lengkap dan jelas mengingat
keterbatasan waktu konsultasi. Ketidakselarasan ini yang dapat memicu terjadinya
malpraktik medik. Pasien yang sebenarnya tidak cukup mengerti mengenai kondisi
18

penyakit dan kesehatannya menganggap telah dirugikan oleh tindakan dokter padahal
dokter telah berbuat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Begitu pula dengan
pengetahuan ilmu kedokteran para penegak hukum seperti advokat, polisi, jaksa dan
hakim sangat terbatas sehingga seringkali memberikan advis yang kurang tepat bagi
pasien yang telah merasa dirugikan oleh dokter. Sehingga mereka terburu-buru
mengajukan gugatan/tuntutan malpraktik medik padahal sebenarnya unsur-unsur
malpraktik medik tidak/ belum terpenuhi.
Dalam hal demikian etika profesi dokter sangat memainkan peranan penting
ketika seorang dokter diminta sebagai saksi ahli maupun untuk memeriksa dokter lain
dalam wadah yang disebut Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. Dokter tersebut
akan sampai pada suatu yang dilematis antara membela pasien yang dirugikan atau
membela dokter, teman sejawatnya. Terlebih dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia
terdapat ketentuan yang berbunyi seorang dokter memperlakukan teman sejawatnya
sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

2. SARAN
Pasien sebaiknya tidak ragu-ragu untuk meminta informasi dari dokter secara
lengkap dan jelas untuk mencegah timbul salah pengertian atas keterangan yang
diberikan dokter. Seorang dokter dituntut pula untuk dapat memberikan informasi
yang jelas dan lengkap kepada pasien dan juga memperhatikan latar belakang sosial
dari pasiennya sehingga dalam menyampaikan informasi kepada pasien harus
menggunakan bahasa/istilah yang dimengerti oleh pasien awam. Selain itu dokter
19

dalam menjalankan profesinya harus selalu menjunjung tinggi etika profesi dengan
mengutamakan pelayanan kepada pasien.
Para penegak hukum harus menambah pengetahuan tentang ilmu kedokteran
agar ketika diminta pendapat oleh masyarakat yang merasa dirugikan dokter, tidak
salah dalam memberikan saran/ advis. Pemerintah juga harus melengkapi peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Misalnya setelah terbit Undang-Undang Praktik
Kedokteran perlu dirancang pula peraturan perundang-undangan tentang Hak Pasien.

D. DAFTAR PUSTAKA
20

Adolf Heuken S.J dkk, Ensiklopedi Etika Medis, Yayasan Cipta Loka Caraka,
Jakarta 1979
Agus Purwadianto, Urgensi Undang-Undang Praktik Kedokteran bagi MasyarakatSebuah Tinjauan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23 No.2 tahun 2004
Fred Ameln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, 1991
Ikatan Dokter Indonesia Jawa Barat, Peranan MKEK dalam Konflik Etika
Medikolegal di Rumah Sakit, Jurnal Dinkes Prov. Jabar, Kelima, V, 2006
Soerjono Soekanto, Segi-segi Hukum Hak dan Kewajiban Pasien, CV Mandar Maju,
Bandung, 1990
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, CV Mandar Maju, Bandung, 2001
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir AL-Quran, Al-Quran, tajwid dan
terjemahannya, PT Syaamil Cipta Media, 2006

21

Anda mungkin juga menyukai