Anda di halaman 1dari 15

PENGGUNAAN OBAT PADA POPULASI KHUSUS

GERIATRI

I GST AGUNG PUTU DEDDY MAHARDIKA


0708505032

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Warga usia lanjut yang tercantum dalam Undang-Undang no. 13/1998 tentang
Kesejahteraan Usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau
lebih.
Pada usia 60 tahun ke atas terjadi proses penuaan yang bersifat universal
berupa kemunduran dari fungsi biosel, jaringan, organ, bersifat progesif, perubahan
secara bertahap, akumulatif, dan intrinsik. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya
perubahan pada berbagai organ di dalam tubuh seperti sistem gastrointestinal, sistem
genitourinaria, sistem endokrin, sistem immunologis, sistem serebrovaskular, sistem
saraf pusat dan sebagainya.
Dengan bertambahnya usia maka tidak dapat dihindari terjadinya perubahan
kondisi fisik baik berupa berkurangnya kekuatan fisik yang menyebabkan individu
menjadi cepat lelah maupun menurunnya kecepatan reaksi yang mengakibatkan
gerak-geriknya menjadi lamban. Selain itu timbulnya penyakit yang biasanya juga
tidak hanya satu macam tetapi multipel, menyebabkan usia lanjut memerlukan
bantuan, perawatan dan obat-obatan untuk proses penyembuhan atau sekadar
mempertahankan agar penyakitnya tidak bertambah parah.
Terapi pengobatan pada pasien usia lanjut secara signifikan berbeda dari
pasien pada usia muda, karena adanya perubahan kondisi tubuh yang disebabkan oleh
usia, dan dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan
sebelumnya.
Keputusan terapi untuk pasien usia lanjut harus didasarkan pada hasil uji
klinik yang secara khusus didesain untuk pasien usia lanjut. Pasien usia lanjut
memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari pasien usia muda. Penyakit yang
beragam dan kerumitan rejimen pengobatan adalah hal yang sering terjadi pada

pasien usia lanjut. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan pasien mengalami


kesulitan dalam mematuhi proses pengobatan mereka sendiri seperti menggunakan
obat dengan indikasi yang salah, menggunakan obat dengan dosis yang tidak tepat
atau menghentikan penggunaan obat.
Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas maka peran profesi apoteker perlu
diubah paradigmanya dari daug oriented menjadi patient oriented yang dikenal
dengan istilah Pharmaceutical Care yang merupakan tanggung jawab profesi
apoteker dalam hal farmakoterapi dengan tujuan meningkatnya kualitas hidup pasien.

BAB II
KARAKTERISTIK PASIEN GERIATRI
BERKAITAN DENGAN TERAPI OBAT

Farmakokinetika dan farmakodinamika pada pasien geriatri akan berbeda dari


pasien muda karena beberapa hal, yakni terutama akibat perubahan komposisi tubuh,
perubahan faal hati terkait metabolisme obat, perubahan faal ginjal terkait ekskresi
obat serta kondisi multipatologi. Selain itu, perubahan status mental dan faal kognitif
juga turut berperan dalam pencapaian hasil pengobatan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa aspek psikososial juga akan mempengaruhi penerimaan pasien dalam terapi
medikamentosa.
2.1 Perubahan Farmakokinetika
a. Bioavaibilitas oral
Sejak 60 tahun yang lalu Vanzant dkk (1932) telah melaporkan terjadinya
aklorhidria (berkurangnya produksi asam lambung) dengan bertambahnya usia
seseorang. Aklorhidria terdapat pada 20-25% dari mereka yang berusia 80 tahun
dibandingkan dengan 5% pada mereka yang berusia 30 tahun-an. Maka obat-obat
yang absorbsinya di lambung dipengaruhi oleh keasaman lambung akan terpengaruh
seperti: ketokonazol, flukonazol, indometasin, tetrasiklin dan siprofloksasin.
Akhir-akhir ini dibicarakan pengaruh enzim gut-associated cytochrom P-450.
Aktivitas enzim ini dapat mempengaruhi bioavailability obatyang masuk per oral.
Beberapa obat mengalami destruksi saat penyerapan dan metabolisme awal di hepar
(first-pass metabolismdi hepar); obat-obat ini lebih sensitif terhadap perubahan
bioavailabilityakibat proses menua. Sebagai contoh, sebuah obat yang akibat aktivitas
enzim tersebut mengalami destruksi sebanyak 95 % padafirst-pass metabolism,
sehingga yang masuk ke sirkulasi tinggal 5%; jika karena proses menua destruksi
obat mengalami penurunan(hanya 90 %) maka yang tersisa menjadi 10% dan
sejumlah tersebut yang masuk ke sirkulasi. Jadi akibat penurunan aktivitas enzim

tersebut maka destruksi obat berkurang dan dosis yang masuk ke sirkulasi meningkat
dua kali lipat. Obat dengan farmakokinetik seperti kondisi tersebut di atas disebut
sebagai obat dengan high first-pass effect; contohnya nifedipin dan verapamil.
b. Distribusi obat (pengaruh perubahan komposisi tubuh & faal organ akibat
penuaan)
Sesuai pertambahan usia maka akan terjadi perubahan komposisi tubuh.
Komposisi tubuh manusia sebagian besar dapat digolongkan kepada komposisi cairan
tubuh dan lemak tubuh. Pada usia bayi, komposisi cairan tubuh tentu masih sangat
dominan; ketika beranjak besar maka cairan tubuh mulai berkurang dan digantikan
dengan massa otot yang sebenarnya sebagian besar juga berisi cairan. Saat seseorang
beranjak dari dewasa ke usia lebih tua maka jumlah cairan tubuh akan berkurang
akibat berkurangnya pula massa otot. Sebaliknya, pada usia lanjut akan terjadi
peningkatan komposisi lemak tubuh. Persentase lemak pada usia dewasa muda sekitar
8-20% (laki-laki) dan 33% pada perempuan; di usia lanjut meningkat menjadi 33%
pada laki-laki dan 40-50% pada perempuan. Keadaan tersebut akan sangat
mempengaruhi distribusi obat di dalam plasma. Distribusi obat larut lemak (lipofilik)
akan meningkat dan distribusi obat larut air (hidrofilik) akan menurun. Konsentrasi
obat hidrofilik di plasma akan meningkat karena jumlah cairan tubuh menurun. Dosis
obat hidrofilik mungkin harus diturunkan sedangkan interval waktu pemberian obat
lipofilik mungkin harus dijarangkan.
Kadar albumin dan 1-acid glycoprotein juga dapat mempengaruhi distribusi obat
dalam tubuh. Hipoalbuminemia sesungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh
proses menjadi tua namun juga dapat disebabkan oleh penyakit yang diderita. Tinggi
rendahnya kadar albumin terutama berpengaruh pada obat-obat yang afinitasnya
terhadap albumin memang cukup kuat seperti naproxen. Kadar naproxen bebas dalam
plasma sangat dipengaruhi oleh afinitasnya pada albumin. Pada kadar albumin normal
maka kadar obat bebasjuga normal; pada kadar albumin yang rendah maka kadar obat
bebas akan sangat meningkat sehingga bahaya efek samping lebih besar.

c. Metabolisme
Faal hepar
Massa hepar berkurang setelah seseorang berumur 50 tahun; aliran darah ke
hepar juga berkurang. Secara umum metabolisme obat di hepar (biotransformasi)
terjadi di retikulum endoplasmik hepatosit, yaitu dengan bantuan enzim mikrosom.
Biotransformasi biasanya mengakibatkan molekul obat menjadi lebih polar sehingga
kurang larut dalam lemak dan mudah dikeluarkan melalui ginjal. Reaksi kimia yang
terjadi dibagi dua yaitu reaksi oksidatif (fase 1) dan reaksi konyugasi (fase 2). Reaksi
fase satu dapat berupa oksidasi, reduksi maupun hidrolisis; obat menjadi kurang aktif
atau menjadi tidak aktif sama sekali. Reaksi fase 1 (melalui sistem sitokhrom P450, tidak memerlukan energi) biasanya terganggu dengan bertambahnya umur
seseorang. Reaksi fase dua berupa konyugasi molekul obat dengan gugus glukuronid,
asetil atau sulfat; memerlukan energi dari ATP; metabolit menjadi inaktif. Reaksi fase
2 ini tidak mengalami perubahan dengan bertambahnya usia.
Reaksi oksidatif dipengaruhi pula oleh beberapa hal seperti: merokok, indeks
ADL's (= Activities of Daily Living) Barthel serta berat ringannya penyakit yang
diderita pasien geriatri. Keadaan-keadaan tersebut dapat mengakibatkan kecepatan
biotransformasi obat berkurang dengan kemungkinan terjadinya peningkatan efek
toksik obat.
Faal ginjal
Fungsi ginjal akan mengalami penurunan sejalan dengan pertambahan umur.
Kalkulasi fungsi ginjal dengan menggunakan kadar kreatinin plasma tidak tepat
sehingga sebaiknya menggunakan Cockroft-Gault,
CCT = (140-umur) x BB (kg) (dalam ml/menit)
72 x [kreatinin]plasma
dikali 0,85 untuk pasien perempuan.

GFR dapat diperhitungkan dengan mengukur kreatinin urin 24 jam; dibandingkan


dengan kreatinin plasma. Dengan menurunnya GFR pada usia lanjut maka diperlukan
penyesuaian dosis obat; sama dengan pada usia dewasa muda yang dengan gangguan
faal ginjal. Penyesuaian dosis tersebut memang tak ada patokannya yang sesuai
dengan usia tertentu; namun pada beberapa penelitian dipengaruhi antara lain oleh
skor ADLs Barthel. Pemberian obat pada pasien geriatri tanpa memperhitungkan faal
ginjal sebagai organ yang akan mengekskresikan sisa obat akan berdampak pada
kemungkinan terjadinya akumulasi obat yang pada gilirannya bisa menimbulkan efek
toksik.
Patokan penyesuaian dosis juga dapat diperoleh dari informasi tentang waktu
paruh obat.
T 1/2 = 0,693 x volume distribusi
Clearance
contoh: antipyrine, distribusi plasma menurun, clearance juga menurun sehingga hasil
akhir T 1/2 tidak berubah. Sebaliknya pada obat flurazepam, terdapat sedikit
peningkatan volume distribusi dan sedikit penurunan clearance maka hasil akhirnya
adalah meningkatnya waktu paruh yang cukup besar.
2.2 Perubahan Farmakodinamika
Sensitivitas

jaringan

terhadap

obat

juga

mengalami

perubahan

sesuai

pertambahan umur seseorang. Mempelajari perubahan farmakodinamik usia lanjut


lebih kompleks dibanding farmakokinetiknya karena efek obat pada seseorang pasien
sulit di kuantifikasi; di samping itu bukti bahwa perubahan farmakodinamik itu
memang harus ada dalam keadaan bebas pengaruh efek perubahan farmakokinetik.
Perubahan farmakodinamik dipengaruhi oleh degenerasi reseptor obat di jaringan
yang mengakibatkan kualitas reseptor berubah atau jumlah reseptornya berkurang.

Berikut ini disampaikan beberapa contoh obat yang sering digunakan pada usia
lanjut dengan beberapa pertimbangan sesuai respons yang bisa berbeda:
Warfarin: perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan respon yang ada
adalah akibat perubahan farmakodinamik. Sensitivitas yang meningkat adalah akibat
berkurangnya sintesis faktor-faktor pembekuan pada usia lanjut.
Nitrazepam: perubahan respons juga terjadi tanpa perubahan farmakokinetik yang
berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia lanjut sensitivitas terhadap nitrazepam
memang meningkat. Lebih lanjut data menunjukkan bahwa pemberian diazepam
intravena pada pasien usia lanjut memerlukan dosis yang lebih kecil dibandingkan
pasien dewasa muda, selain itu efek sedasi yang diperoleh memang lebih kuat
dibandingkan pada usia dewasamuda.
Triazolam: pemberian obat ini pada warga usia lanjut dapat mengakibatkan
postural sway-nya bertambah besar secara signifikan dibandingkan dewasa muda.
Sensitivitas obat yang berkurang pada usia lanjut juga terlihat pada pemakaian
obat propranolol. Penurunan frekuensi denyut nadi setelah pemberian propranolol
pada usia 50-65 tahun ternyata lebih rendah dibandingkan mereka yang berusia 25-30
tahun. Efek tersebut adalah pada reseptor 1; efek pada reseptor 2 yakni
penglepasan insulin dan vasodilatasi akibat pemberian isoprenali tidak terlihat.
Perubahan sensitivitas menunjukkan bahwa terdapat perubahan pada pasca-reseptor
intraselular.

BAB III
KARAKTERISTIK LAIN TERAPI OBAT PAA GERIATRI

Selain jenis penyakit yang berbeda, pada kelompok pasien berusia lanjut juga
terjadi apa yang disebut sebagai multipatologi; satu pasien menderita beberapa
penyakit. Keadaan ini bisa lazim terjadi pada kelompok populasi pasien berusia lanjut
mengingat pada perjalanan hidup mereka bisa menderita suatu penyakit yang akan
cenderung menahun, dan disusul oleh penyakit lain yang juga cenderung menahun
akibat pertambahan usia, demikian seterusnya. Di tengah perjalanannya bukan tidak
mungkin seorang pasien mengalami kondisi akut seperti pneumonia atau infeksi
saluran kemih yang mengakibatkan ia harus dirawat. Kondisi akut yang terjadi pada
seseorang dengan berbagai penyakit kronik degeneratif acap kali menambah daftar
obat yang harus dikonsumsi pasien.
Pada beberapa situasi memang jumlah obat yang diberikan kepada pasien bisa
lebih dari dua macam, lebih dari tiga macam, atau bahkan lebih dari empat macam.
Hal ini terkait dengan multipatologi yang merupakan salah satu karakteristik pasien
geriatri. Namun demikian tetap harus diingat bahwa semakin banyak obat yang
diberikan maka semakin besar pula risiko untuk terjadinya efek samping; dan yang
lebih berbahaya lagi adalah bertambah pula kemungkinan terjadinya interaksi di
antara obat-obat tersebut.
Faktor lain yang dapat dikemukakan di sini adalah bahwa masih terdapat banyak
kecenderungan untuk secepat mungkin mengatasi semua gejala, yang sayangnya
tanpa sengaja mungkin telah melanggar prinsip cost effectiveness. Keadaan
multipatologi di atas sebenarnya tidak boleh diidentikkan dengan multifarmasi atau
yang lebih lazim dikenal dengan istilah polifarmasi.
Istilah polifarmasi sendiri sebenarnya masih diartikan secara beragam oleh
beberapa ahli. Beberapa definisi antara lain:

1) meresepkan obat melebihi indikasi klinik;


2) pengobatan yang mencakup setidaknya satu obat yang tidak perlu;
3) penggunaan empiris lima obat atau lebih
(Michocki,2001).
Apapun definisi yangdigunakan, yang pasti adalah polifarmasi mengandung risiko
yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang dapat dipetik sehingga sedapat
mungkin dihindari (Barenbeim,2002).
Masalah yang dapat timbul akibat pemberian obat pada pasien geriatri adalah
sindroma delirium atau acute confusional state. Tune (1999) menyebutkan bahwa
drug induced delirium adalah penyebab tersering dari sindroma ini yang
mekanismenya:
1) akibat perubahan metabolisme obat terkait usia;
2) polifarmasi;
3) interaksi beberapa obat;
4) kekacauan pengobatan karena pasien sulit mengingat;
5) penurunan produksi dan turnover neurotransmiter terkait usia.
Disebutkan pula bahwa efek kumulatif obat antikolinergik paling sering
menimbulkan sindroma delirium; seperti diketahui bahwa neurotransmisi kolinergik
memang menurun sejalan dengan penambahan umur seseorang. Ternyata, beberapa
obat yang sebenarnya bukan tergolong antikolinergik namun jika diberikan pada usia
lanjut akan memberikan efek antimuskarinik; beberapa diantaranya adalah simetidin,
ranitidin, prednisolon, teofilin, digoksin, lanoksin, furosemid, isosorbid-dinitrat dan
nifedipin. Semakin banyak obat yang diberikan maka semakin besar pula
kemungkinan efek antikolinergik yang bisa muncul.
Selain masalah di atas, kemungkinan interaksi di antara berbagai obat yang
digunakan juga harus diwaspadai. Semakin banyak obat yang digunakan maka
semakin banyak pula kemungkinan interaksi obat. Jumlah kemungkinan interaksi
pada N obat dapat dihitung dengan menggunakan rumus N x (N 1)/2. Jadi, enam obat

saja dapat menimbulkan 15 interaksi. Suatu penelitian melaporkan jumlah pasien


dengan kemungkinan interaksi sebanyak 2,4% dengan 2 obat, 8,8% dengan 3 obat,
22,7% dengan 6 obat dan 55,8% dengan 12 obat. Tidak semua kemungkinan interaksi
obat menunjukkan gejala klinik (Smonger, Burbank, 1995)
Mekanisme interaksi obat yang sudah dikenal terutama berhubungan dengan
metabolisme obat di hepar. Metabolisme obat ini melalui jalur yang dibantu oleh
sistem enzim sitokrom P-450 (CYP) dengan berbagai isoenzimnya. Beberapa contoh
dapat dikemukakan di sini:
Pemberian rifampisin akan meningkatkan kerja CYP sehingga asetaminofen yang
diberikan akan lebih cepat dimetabolisme, maka efektifitasnya menurun; hal yang
sama pada pemberian lansoprazolatau omeprazol yang juga meningkatkan CYP, pada
gilirannya akanmempercepat metabolisme teofilin yang diberikan bersamaansehingga
dosis lazim teofilin menjadi tak efektif. Sebaliknya, jika pasien menerima obat
simetidin, fluoroquinolon, verapamil atau amiodaron yang semuanya bersifat
menghambat CYP, makapemberian bersamaan dengan asetaminofen, teofilin,
diazepam, haloperidol, penyekat beta, antidepresan trisiklik dan SSRl (= Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor) akan meningkatkan toksisitas obat-obat yang
disebutkan terakhir (Schwartz, 1999).
Kondisi lain yang patut dicermati adalah, gejala dan tanda pada pasien geriatri
sering sekali menyimpang dari yang klasik. Dalam berbagai kepustakaan disebutkan
bahwa sindroma delirium, jatuh, inkontinensia urin, vertigo, muntah dan diare sering
merupakan gejala yang mengakibatkan keluarga membawa pasien geriatri ke rumah
sakit. Saat diagnosis ditegakkan ternyata masalahnya tidak berhubungan dengan
keluhan

utama.

Kondisi

seperti

ini

mengakibatkan

dokter

yang

kurang

berpengalaman akan memiliki kecenderungan mengobati semua gejala dan tanda


yang muncul sehingga menambah daftar obat menjadi lebih panjang lagi.
Jika dicermati lebih lanjut sesungguhnya akan terlihat bahwa dengan mengobati
penyakit atau masalah utamanya maka beberapa gejala dan tanda lain yang semula
diduga sebagai masalah terpisah akan teratasi dengan sendirinya. Dalam hal ini

dibutuhkan kejelian, ketelitian dan pengendalian keinginan untuk senantiasa


mengobati semua gejala secepatnya-sebuah fenomena yang sering terjadi baik pada
dokter maupun pasien tanpa memperhatikan prinsip cost effectiveness.
Pengaruh kondisi mental dan kognitif
Depresi dan penurunan faal kognitif (atau sampai demensia) akan mempunyai
dampak antara berupa tidak akuratnya informasi obat-obat apa yang selama ini
dikonsumsi. Di sisi lain, informasi obat-obat yang dipakai adalah sangat penting
dalam rangka menghindarkan diri dari kecenderungan polifarmasi dan efek interaksi
obat. Pada kondisi ini maka kehadiran pendamping (keluarga atau pelaku rawat)
menjadi penting karena bisa menjembatani antara minimnya informasi dan keperluan
data lengkap. Jika pasien telah mendapatkan obat yang diperlukan, masalahnya belum
selesai, compliance atau kepatuhan minum obat akan sangat dipengaruhi oleh tingkat
gangguan faal kognitif maupun emosi seseorang. Depresi dan kepikunan akan
mempengaruhi kepatuhan minum obat sehingga efek maksimal yang diharapkan bisa
terganggu.
Telah dibicarakan beberapa perubahan fisiologik dan kondisi multipatologi yang
bisa berpengaruh terhadap hasil pengobatan pasien geriatri. Aklorhidria, perubahan
first-pass metabolism, afinitas terhadap albumin, metabolisme oksidatif dan
konyugatif di hepar serta penurunan faal ginjal akan mempengaruhi farmakokinetika
obat. Perubahan komposisi tubuh di usia lanjut juga besar pengaruhnya terhadap efek
obat. Perubahan reseptor obat di jaringan akan banyak berpengaruh terhadap
farmakodinamika obat yang sampai saat ini masih sulit dikuantifikasi. Beberapa
aspek yang juga harus diperhatikan adalah adanya pengaruh faktor emosi dan
penurunan faal kognitif terhadap hasil pengobatan secara keseluruhan.

BAB IV
PENUTUP

Bagaimana meresepkan obat untuk pasien geriatri? Mungkinkah menghindari


polifarmasi? Bagaimana menentukan prioritasnya? Jawabannya tidak semudah yang
dibayangkan. Pertimbangan akan kebutuhan, indikasi, kontraindikasi dan keperluan
serta tujuan pengobatan menjadi penting. Tujuan pengobatan tidak selalu harus
berdasarkan sudut pandang dokter, namun selain penemuan obyektif, perlu pula
diingat akan pentingnya pendapat pasien dan keluarga tentang tujuan pengobatan
sebelum dokter memutuskan memberikan rejimen pengobatan.
Dokter yang menangani pasien geriatri lazimnya tidak bekerja sendiri karena
kompleksitas masalah medik dan non medik yang ada. Beberapa dokter dan tenaga
kesehatan lain akan bekerja bersama dan sebaiknya di dalam sebuah tim terpadu yang
bekerja dengan prinsip interdisiplin dan bukan sekadar multidisiplin apalagi
paradisiplin. Kelebihan sistem interdisiplin ini antara lain adalah memungkinkannya
pemantauan terus menerus jumlah dan jenis obat yang diberikan sehingga berbagai
pihak akan secara otomatis mempunyai kecenderungan saling mengingatkan.
Pencapaian tujuan bersama sangat memungkinkan terjalinnya kerja sama yang baik
demi kepentingan pasien. Saling keterlibatan yang intens dari masing-masing disiplin
akan memperbesar peluang rejimen pengobatan yang lebih efisien sehingga pada
gilirannya akan mampu menekan polifarmasi. Setiap dokter yang terlibat senantiasa
dituntut untuk mengevaluasi pengobatannya secara rutin; obat yang sudah tidak
diprioritaskan akan diganti dengan obat lain yang lebih utama atau dapat dihilangkan
dari daftar obat manakala masalah lain menjadi lebih tinggi skala prioritasnya.
Dengan demikian maka efektivitas dan keamanan pengobatan bagi setiap pasien akan
lebih terjamin .
Beberapa langkah praktis berikut ini mungkin dapat lebih memudahkan bagi setiap
dokter dan tenaga kesehatan lain yang terlibat:

Mencatat semua obat yang dipakai saat ini (resep dan non-resep, termasuk jamu)

Mengenali nama generik dan golongan obat


Mengenali indikasi klinik untuk setiap obat
Mengetahui profil efek samping setiap obat
Mengenali faktor risiko sesuatu efek yang tak terduga (misalnya interaksi)
Menyederhanakan rejimen pengobatan
Menghentikan pemberian obat tanpa manfaat penyembuhan
Menghentikan pemberian obat tanpa indikasi klinik
Mengganti dengan obat yang lebih aman, bila perlu
Tidak menangani efek tak terduga suatu obat dengan obat lagi
Menggunakan obat tunggal bila cara pemberiannya tidak sering
Membiasakan untuk melakukan evaluasi daftar obat secara berkala

DAFTAR PUSTAKA

Sumber :
Pedoman Pelayan Kefarmasi Untuk Pasien Geriatri
Direktorat Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2006
Berenbeim DM. 2002. Polypharmacy: overdosing on good intentions. Manag
Care;10(3):1-5.
Michocki RJ. 2001. Polypharmacy and principles of drug therapy. Adelman AM, Daly
MP, eds. 20 Common problems in geriatrics.Boston:McGraw Hill :69-81.
Schwartz JB. Clinical Pharmacology. 1999. Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH,
Halter JB, Ouslander JG, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology.
New York:McGraw Hill,:308-9.
Smonger AK, Burbank PM. 1995. Drug therapy and the elderly. Boston :Jones
Barlett;:53.
Tune LE. Delirium. 1999. Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander
JG, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York:McGraw
Hill :1230-3.

Anda mungkin juga menyukai