Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

FARMAKOTERAPI I
INFEKSI AVIAN FLU

disusun oleh :
1.
2.
3.
4.

Prisca Nadya Verina Djala


Christina Gabriella Rawing
Cresentia Claresta
Christian Edward Kurniawan

(128114010)
(128114019)
(128114021)
(128114027)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
A. Definisi dan Etiologi
1

Virus influenza termasuk famili Orthomyxoviridae. Virus influenza tipe A dapat


berubah-ubah bentuk, dan dapat menyebabkan epidemi dan pandemi. Berdasarkan sub
tipenya terdiri dari Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). Strain yang sangat
virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A H5N1.

Virus Avian influenza (H5N1)


Virus influenza merupakan virus RNA yang memiliki sifat mudah mengalami
perubahan, tergolong dalam Famili Orthomyxoviridae dengan genus Ortho-myxovirus.
Virus ini memiliki beberapa tipe, antara lain : A, B dan C. Ada tiga jenis virus influenza:
A, B dan C. Virus Influenza A dapat menginfeksi manusia, burung, babi, kuda, dan hewan
lainnya, namun burung liar adalah tempat tinggal alami bagi virus ini. Virus influenza B
biasanya hanya ditemukan pada manusia dan umumnya berhubungan dengan epidemi
yang lebih ringan daripada virus influenza A. Virus influenza C menyebabkan sakit
ringan pada manusia dan bukan masalah yang signifikan bagi kesehatan manusia.
Hanya virus influenza A yang dibahas dalam makalah ini. Virus memiliki amplop
yang mengandung dua bagian penting pada permukaan antigen dan menentukan sifat
patogenitas virus. Bagian tersebut adalah hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA).
Dikenal 15 macam hemaglutinin dan 9 macam neuraminidase, sehingga dari kombinasi
keduanya bisa terbentuk lebih dari 100 strain viruis. Pada Tipe A sudah dikenal antara
lain : H1N1, H5N1, H3N2.
Virus influenza memiliki sifat sebagai berikut :
o Dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22 C dan lebih dari 30 hari
pada suhu 00 C.
o Di dalam tinja unggas dan dalam tubuh unggas sakit, namun akan mati pada
pemanasan 600 C selama 30 menit, 560 C selama 3 jam dan pemanasan 800 C
selama 1 menit.
o Mati dengan deterjen/sabun, desinfektan misalnya formalin, karbol, kaporit,
klorin dan cairan yang mengandung iodin atau alkohol 70%.
Sumber yang dapat menyebabkan penularan H5n1 melalui :
2

o Binatang dengan kontak langsung pada unggas yang sedang sakit atau
o Udara atau peralatan yang tercemar virus tersebut baik yang berasal dari tinja atau
sekret unggas yang terserang Flu Burung (H5N1)
o Makanan yang berasal dari produk unggas yang sedang sakit yang dikonsumsi
mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna.
Kelompok yang berisiko tinggi terinfeksi Flu Burung (H5N1) adalah mereka yang :
o Kontak erat dalam jarak 1 meter (merawat, melakukan tindakan invasif, berbicara
atau bersentuhan dengan pasien suspek)
o Kontak langsung (misalnya

memegang,

menyembelih,

mencabuti

bulu,

memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar,


bangkai unggas.
o Kontak tidak langsung yaitu berada dalam lingkungan yang tercemar oleh sekret
atau kotoran unggas (pasar, peternakan, tempat pemotongan unggas, pengepul
unggas).
Berdasarkan tingkat infeksi virus Avian Influenza dapat dikelompokkan atas dua
tingkatan infeksi yaitu highly pathogenic avian influenza (HPAI) dan low pathogenic
avian influenza (LPAI). Highly pathogenic avian influenza merupakan infeksi yang
sangat patogen yang dapat menyebabkan angka kematian sampai 100%. Unggas yang
terinfeksi oleh HPAI biasanya akan mati secara mendadak dengan atau tanpa
menunjukkan gejala klinis. Gejala yang sering terlihat yaitu depresi, lemah, dan koma.
Gejala depresi dapat ditandai dengan bulu kasar, nafsu makan menurun, diare, gerakan
lambat, dan produksi telur menurun. Infeksi oleh HPAI umumnya disebabkan oleh virus
AI sub tipe H5 dan H7.
Sedangkan pada infeksi LPAI dicirikan dengan infeksi yang ringan. Kasus yang
disertai kontaminasi oleh agen infeksi patogen yang lain menyebabkan LPAI berubah
menjadi patogen dan angka kematian yang cukup besar.
Avian Influenza

atau flu burung adalah penyakit infeksi pada unggas yang

disebabkan oleh virus influenza strain tipe A. Virus H5N1 biasanya tidak menginfeksi
manusia, tetapi infeksi dengan virus ini terjadi pada manusia. Sebagian besar orang-orang
yang memiliki kontak langsung atau dekat dengan unggas yang terinfeksi H5N1 akan
terinfeksi juga.
3

B. Epidemiologi
Berdasarkan data dari WHO pada tanggal 10 desember 2013 menyebutkan, bahwa
influenza A(H5N1) telah menyebabkan wabah avian influenza yang sudah menginfeksi
manusia di berbagai belahan dunia, antara lain, Thailand, China, Vietnam, Indonesia , Iraq,
Turki, India, Azerbaijan, Bangladesh, Myanmar. Berdasarkan data dari WHO dari tahun 2003
hingga 2013, telah terjadi 648 kasus dengan angka kematian sebanyak 384 kasus.
Gambar I. kurva epidemologi kasus avian influenzainfluenza (H5N1) pada manusia
periode 2004-2015

Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 di Indonesia telah ditemukan kasus Flu
Burung pada manusia sebanyak 162 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 134 orang.

Dengan tingkat kematian tertinggi berada di DKI Jakarta. Hal ini disebabkan oleh
jumlah peduduk yang padat

Dibanding tahun 2012 terjadi penurunan jumlah kasus flu burung pada tahun 2013.
Pada 2012 terjadi sebanyak Sembilan kasus dan pada tahun 2013 menurun menjadi riga
kasus. Ketiga kasus ini terjadi di provinsi jawa barat (dua kasus) dan di kabupaten bekasi
(satu kasus). Gambaran penurunan jumlah kasus flu burung (H5N1) dapat dilihat pada
grafik berikut ini :

Sejak dilaporkan kasus pertama pada tahun 2005, penyebaran kasus flu burung
H5N1 pada manusia telah terjadi di lima belas provinsi di Indonesia, yaitu Sumatra
Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatra Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, jawa
barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, NTB, dan Sulawesi
Selatan.
C. Patofisiologi
a. Struktur Sel

Haemagglutinin (H atau HA) : Membantu virus mengenali dan menempel pada sel host.
Terdiri dari karbohidrat & protein kompleks. Berikatan
dengan sialic acid (N-acetyl-neuraminic. Protein ini juga
bertanggung jawab untuk fusi membran dalam entri virus.
Neuraminidase (N)

: Terdiri dari karbohidrat & protein kompleks. Berfungsi


sebagai suatu enzim yang dapat menghidrolisis ikatan
antara galaktosa dan sialic acid pada rantai ujung
oligosakarid-glikoprotein. Selain itu berfungsi untuk
melepaskan partikel virus yang sudah selesai bereplikasi
dalam sel host dan mencegah virus yang sudah terbentuk
menempel kembali kepada reseptor sialic melalui tonjolan.

Matrik protein (M)

: Memiliki peran dalam penyususnan virion virus influenza.


Protein M2 menyusun struktur selubung virus dan berperan
sebagai saluran ion. Protein M2 berperan mencegah
penurunan pH ketika virus berada didalam sel pada saat
endositosis.

RNA fragmen

: Yang bertanggung jawab untuk replikasi dan transkripsi,


terbentuk dari PB2, PB1 dan PA.

NS1 dan NS2 protein

: Memiliki fungsi regulasi dalam sintesis komponen virus


dalam sel yang terinfeksi.

b. Siklus replikasi
Virus influenza mengikat permukaan sel host melalui ikatan hemagglutinin (HA)
pada sialic acid . pengikatn HA terhadap -2,3 Ilinked sialic acid (pada burung) atau
-2,6 linked sialic acid (pada manusia). Setelah menempel pada sel host, virus masuk
melalui proses endositosis dengan mediasi penurunan pH sekitar pH 5.0. Ketika virus
memasuki sel, virus tersebut akan mengalami degradasi dengan cara menyatukan
membran virus dengan membran endosome. Pada fase ini M2 berperan untuk
mencegah terjadinya penurunan pH sehingga proses fusion dan uncoating data
berjalan dengan lancar. Proses endositosis ini akan berlangsung beberapa waktu. [3]
Setelah proses replikasi dan transkripsi selesai akan menghasilkan vRNPs. vRNPs
ini yang kemudian dibawa kedalam nucleus untuk melakukan proses replikasi yang
akan menghasilkan viral mRNA dan cRNA. Viral mRNA dibawa keluar ke
sitoplasma untuk melakukan sinteasis protein.
Setelah sintesis protein disitoplasma selesai, sebagian protein dibawa kembali
kedalam nucleus untuk membantu pembentukan vRNP. Sebagian protein yang tidak
dibawa kembali ke nucleus, diteruskan ke reticulum endoplasma dan badan golgi
utnuk diproses lebih lanjut. Pada tahap akhir, vRNP yang baru terbentuk dibawa
keluar nucleus dan bersama dengan M1 membentuk partikel virus baru. Setelah
partikel virus terbentuk, virus baru tersebut dikeluarkan dari sel host dengan bantuan
neuraminidase. Proses ini di kenal dengan nama budding.

Delapan segmen yang berada di inti sel ditambah dengan segmen RNA yang masih
tersisa di sitoplasma melakukan replikasi, yaitu perbaikan RNA. Berbeda dengan virus
RNA lainnya, dimana replikasinya terjadi diluar inti sel. Dengan berlangsung di dalam
inti sel, AI menggunakan bahan bahan yang diperlukan dari dalam inti sel inang.
Proses ini yang memudahkan terjadi Antigenic drift dan antigenic shift. Segmen RNA
yang sudah mengalami replikasi, keluar ke sitoplasma dan dibungkus oleh protein HA
(hemaglutinin), NA (neuroaminidase), M (matriks) serta NS (nonstruktural) . Dan
keluar dari sel inangnya. Proses ini bisa berlangsung dua jam sejak terjadi infeksi.
c. Imunitas tubuh

Respon imun humoral dari B-limfosit yang berinteraksi dengan antigen virus
influenza berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi. Kemudian
merangsang pertumbuhan IgA dan IgG. IgA diangkut melintasi epitel mukosa saluran
napas dan berfungsi untuk menetralisir dan membersihkan infeksi virus. Sedangkan
IgG bertanggung jawab untuk melindungi saluran pernapasan bagian bawah.
Selanjutnya sel dendrite melalui MHC I dan II yang kemudian menyebabkan
aktivasi, proliferasi dan diferensiasi sel T-specific antigen (CD4 atau CD8). Sel T
CD4 akan mengaktifkan sel T helper (Th) sedangkan sel T CD8 mengaktifkan sel T
sitokinin. CD4 membantu limfosit B untuk menghasilkan anti - HA dan anti - NA. Sel
Th dapat dibagi menjadi Th1 dan Th2 sel. Infeksi influenza lebih banyak
menginduksi Th1 respon, namun sitokin Th2 ( IL-4 , IL - 5 , IL - 6 , IL - 10 ) juga
ditemukan didalam sel yang terinfeksi. Sel T CD8 berperan mengenali epitop dari HA
atau protein internal (M, NP, atau PB2).

D. Tanda dan Gejala

10

Pada umumnya gejala klinis yang ditimbulkan oleh flu burung (H5N1) mirip dengan flu
biasa
Tanda
o Demam (>380 C) dan batuk
o Gangguan pernapasan akut
o Sesak napas / kesulitan bernapas yang menandakan terjadinya kelainan

saluran napas bawah yang memburuk dengan cepat.


o Nyeri perut
o Diare
Komplikasi
o Paru-Paru Basah
o Kegagalan pernafasan
o Kejang
o Kegagalan beberapa organ (misalnya gagal ginjal)
o Kematian
Anak kecil dengan infeksi virus influenza mungkin memiliki gejala awal menyerupai

sepsis bakteri dengan demam tinggi, dan kejang demam telah dilaporkan pada 6% -20%
dari anak-anak dirawat di rumah sakit dengan infeksi virus influenza.
Birus flu burung (H5N1) yang memiliki patogenik rendah menunjukan gejala yang
ringan. Seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, dan nyeri otot. Avian influenza yang
memiliki patogenitas sangat tinggi menimbulkan penyakit pernapasan parah (misalnya
sesak nafas, kesulitan nafas, pneumonia, gangguan pernapasan akut, radang paru-paru,
gagal napas). Infeksi vurys dari HPAI H5N1 dapat menyebabkan kematian. Akurasi
diagnosis klinis infeksi dengan influenza tipe A berdasarkan tanda dan gejala sendiri
terbatas karena gejala dari oenyakit bisa disebabkan oleh pathogen lain termasuk virus
influenza B musiman.
E. Diagnosis
1. Langkah Diagnostik
Diagnosis banding disesuaikan dengan tanda dan gejala yang
ditemukan. Penyakit dengan gejala hampir serupa yang sering
ditemukan antara lain:
Pneumonia yang disebabkan oleh virus lain, bakteri atau jamur dan
demam Berdarah.

11

Pemeriksa laboratorium yang dapat dilakukan dalam menyingkirkan


diagnosis banding adalah melakukan dengue blot untuk menyingkirkan
diagnosisi demam berdarah, dilakukan biakan sputum dahak, darah, dan urin
dan uji widal yang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis demam tifoid.

2. Diagnosis berdasarkan laboratorium


2.1 Conventional reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) dan realtime
reverse transcriptase PCR . PCR mendeteksi RNA virus baik dalam kultur virus
maupun spesimen klinis, dan dapat juga ditargetkan pada gen yang relatif ada pada
seluruh virus influenza A atau pada hemaglutinin atau neuraminidase yang bersubtype
spesifik. Waktu yang dibutuhkan convetional RT-PCR adalah 6-8 jam untuk ekstraksi
RNA virus dan deteksi amplifikasi. Sedangkan pada metode Real time RT-PCR dapat
dipersingkat interval waktunya menjadi 3-4jam dengan meningkatkan sensitifitas dan
kemungkinan kuantitasi pada gen target virus.
2.2 Kultur Virus
Kultur virus akan memberikan hasil setelah 2-10 hari baik dengan shell vial atau
metode kultur sel standart. Kultur positif influenza mungkin dapat ataupun tidak
dapat menunjukkan efek sitopatik, sehingga langkah kedua untuk secara khusus
mengidentifikasi virus influenza dengan imunofluoresensi, hemaglutinasi inhibisi
(HI) atau RT-PCR diperlukan. Keuntungan dari kultur virus adalah tersedianya untuk
karakteristik lebih lanjut. Kultur virus pada lini sel yang tepat juga dapat mendeteksi
pernafasan yang penting lainnya. Kebanyakan virus unggas mudah tumbuh dalam
telur berembrio dan ini adalah pilihan untuk amplifikasi virus dari host unggas.
2.3 Deteksi antigen cepat

12

Deteksi antigen virus dapat dilakukan dengan imunofluoresensi atau enzim


imunoassay. Metode berbasis enzim imunoassay sederhana dan mudah untuk
dilakukan. Namun saat ini, tes tersebut diarahkan pada antigen virus yang dikulturkan
(misalnya virus nukleoprotein, protein matriks) dan mendeteksi seluruh subtype virus
influenza A, baik pada manusia ataupun unggas. Oleh karena itu, tes ini tidak dapat
membedakan subtype virus H3N2, atau H1N1 dari avian influenza H5N1.
2.4 Identifikasi serologi antibodi terhadap virus flu burung A (H5N1)
Uji serologi tersedia untuk pengukuran antibodi spesifik influenza A termasuk tes
inhibisi hemaglutinasi (HI), enzim immunoassay (EIA) dan tes virus neutralization
(VN). Uji microneuratralization (MN) saat ini direkomendasikan untuk mengukur
antibodi terhadap avian influenza A yang sangat patogen, namun uji ini tidak praktis
untuk pengujian diagnosis klinis rutin karena terdapat kendala-kendala seperti :
Antibiotik memakan waktu hingga beberapa minggu untuk mengembangkan dan

menjadi terdeteksi dalam serum.


Secara umum, panel standart reagen untuk H5N1 dan strain baru lainnya tidak

tersedia secara luas dan hasil antar tes sangat bervariasi.


Uji MN secara teknis sulit untuk dilakukan
Uji VN dan MN memerlukan penggunaan virus hidup, sehingga hanya dapat

dilakukan pada laboratorium dengan fasilitas biosafety level 3 penahanan.


Kesulitan dalam menentukan titik akhir di HI karena ukurannya yang kecil
Reaktivitas tidak spesifik pada seluruh uji serologi mungkin terjadi karena infeksi
sebelumnya dengan virus manusia atau faktor-faktor lain.

F. Penatalaksanaan Terapi Farmakologi dan Non-Farmakologi


1.) Outcome

Menghilangkan gejala yang menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien.


Mencegah terjadinya kematian yang disebaban oleh penyakit flu-avian.

2.) Terapi Farmakologi


Ada empat obat antivirus yang tersedia saat ini untuk mengobati infeksi influenza A
yaitu dua inhibitor M2 (amantadine dan rimantadine) dan inhibitor neuraminidase
(zanamivir-relenza dan oseltamivir-tamiflu).

Obat dari inhibitor

neuraminidase

13

(oseltamivir dan zanamivir) memiliki efek samping yang lebih sedikit dan resitensi yang
lebih kecil daripada inhibitor M2 ion chanel (rimantadine dan amantadine).
2.1 Inhibitor M2
Amantadinie dan rimantadine merupakan obat yang memiliki aktivitas mengganggu
uncoating virus dalam sel dan efektif hanya terhadap influenza A. di Negara asia selatan
dan timur menunjukan terjadinya resistensi dalam penggunaan adamantanes. Oleh karena
itu kelompok obat ini dieliminasi sebagai agen terapi untuk kasus avian influenza.
2.1.1 Amantadine dan rimantadine

Mengganggu uncoating virus didalam sel host dengan cara memblok saluran ion yang
dibentuk oleh protein M2. Hanya efektif terhadap semua influenza A (H1N1, H2N2, dan
H5N1) tetapi tidak terhadap influenza B. hal ini disebabkan oleh hanya influenza A yang
memiliki protein M2. Merupakan antikolinergik sehingga memiliki efek samping seperti
mual, muntah, diare, dan konstipasi.
2.2 Inhibitor neuraminidase
Diberikan 36-48 jam setelah timbul gejala akan mengurangi gejala penyakit dalam
satu atau dua hari. Inhibitor neuraminidase akan mempersingkat gejala penyakit lebih
dari tiga hari dibanding dengan pengobatan yang dimulai pada 48 jam. Contoh obat dari
inhibitor neuraminidase adalah zanamivir dan oseltamivir. Kedua obat ini menggangu
rilis progeny virus influenza dari sel inang yang terinfeksi, hal ini akan mencegah infeksi
sel inang baru dan dengan demikian dapat menghentikan penyebaran infeksi pada saluran
pernapasan. Kedua obat ini harus diberikan sedini mungkin Karena replikasi virus
influenza pada saluran pernapasan mencapai puncak antara 24 72 jam setelah onset
penyakit. Molekul target inhibitor neuraminidase dengan membelah ikatan yang
terbentuk antara neuraminidase virus H5N1 dengan reseptor sialic dari sel host. Tanpa
ikatan ini maka infeksi akan terbatas pada satu putaran replikasi.

14

2.2.1

Oseltamivir
Oseltamivir merupakan antibiotik yang hanya tersedia dalam bentuk

sediaan oral. Oseltamivir merupakan first line antiviral untuk pengobatan infeksi
virus H5N1. Mekanisme kerja oseltamivir adalah menghambat neuraminidase,
dimana neuraminidase ini diperlukan oleh virus H5N1 untuk lepas dari sel hospes
pada fase budding sehingga membentuk virion yang infektif. Bila neuraminidase
ini dihambat, maka replikasi virus akan berhenti. Pemberian oseltamivir yang dini
dapat menurunkan nilai mortalitas. Terapi oseltamivir diberikan selama 5 hari,
kecuali apabila ada diagnosis alternatif ditegakkan. Dosis standart dewasa
pemberian oseltamivir pada penderita flu burung tanpa komplikasi flu musiman
yang kompleks adalah 75mg dua kali sehari (WHO, 2007), sedangkan untuk
anak-anak digunakan suspensi dengan dosis sebagai berikut :

(Depkes RI, 2007)


15

2.2.2

Zanamivir
Zanamivir digunakan untuk saluran pernafasan melalui inhalasi oral

dengan menggunakan diskhaler. Mekanisme kerja dari zanamivir adalah


menginhibisi neuraminidase virus influenza yang menyebabkan perubahan
agregasi dari partikel virus untuk selanjutnya menjadi bebas (Depkes RI, 2007).

16

2.3 Terapi Kombinasi


Pengobatan infeksi influenza dapat menyebabkan resistensi. Bahkan pengobatan dini
mungkin gagal untuk mencegah komplikasi pada beberapa pasien, terutama mereka yang
terinfeksi virus influenza A H1N1, H5N1, dan H7N9. Selain itu, pengobatan dengan satu
obat antivirus dapat menyebabkan kemungkinan resistensi antivirus.
17

Strategi yang dapat mengoptimalkan terapi antivirus adalah untuk menggabungkan


beberapa obat yang disebut dengan terapi kombinasi. Karena respon imun yang muncul
terhadap infeksi mungkin juga berkontribusi terhadap penyakit patogenesis, hasil yang
lebih baik yang dapat diperoleh dari kombinasi terapi antivirus dengan obat yang
memodulasi respon imun pada individu yang terinfeksi.
Treatment kombinasi obat antivirus dengan mekanisme aksi yang berbeda
berpotensi meningkatkan outcome pengobatan pada influenza berat, bisa dengan melalui
penekanan replikasi virus, dan mungkin juga mengurangi dosis yang diperlukan untuk
masing-masing obat, membatasi toksisitas dan munculnya mutan resisten obat.
Studi praklinis telah menunjukkan bahwa kombinasi dari oseltamivir dan
adamantanes (amantadine atau rimantadine) telah meningkatkan aktivitas antivirus,
mengurangi munculnya resistensi, dan pada model tikus dari A (H5N1) infeksi virus
amantadine rentan, menunjukkan efek antivirus yang lebih besar dan meningkatkan
kelangsungan hidup dibandingkan dengan terapi obat tunggal. Terapi kombinasi juga
secara signifikan menurunkan titer virus di paru-paru dan mencegah menyebar ke otak.
Kombinasi oseltamivir dan amantadine menghambat H5N1 replikasi virus di
paru-paru dan otak yang terinfeksi, sedangkan monoterapi hanya sebagian efektif.
Kombinasi oseltamivir dan ribavirin (inhibitor polimerase) menunjukkan efikasi aditif.

18

3.) Terapi Non-Farmakologi


3.1 Pra Paparan
o Menghindari melakukan kontak langsung tanpa alat perlindungan diri baik
terhadap unggas atau burung dalam kondisi hidup maupun yang dalam kondisi
mati.

19

o Tidak mengkonsumsi makanan berupa daging maupun telur dalam keadaan yang
kurang matang atau setengah matang.
o Menghindari tekenca cairan yang ada pada paruh, hidung dan mata unggas yang
sakit.
o Membiasakan diri untuk membuang dan menimbung kotoran unggas atau burung
yang ada dilingkungan sekitar tempat tinggal.
o Mencuci daging dan telur unggas sebelum dimakan dan disimpan di kulkas
maupun lemari.
o Mencuci tangan dengan sabun menggunakan air yang mengalr setelah
mmemegang unggas, burung ataupun telur.
o Mencuci tangan dengan sabun setelah memegang unggas atau telur.
o Menggunakan alat perlindungan diri yang telah disediakan oleh pihak rumah sakit
ketika mengunjungi penderita flu burung dan segera membersihkan diri setelah
melakukan kunjungan.
3.2 Terapi Non-Farmakologi Pasca Paparan
o Istirahat yang cukup dan teratur
o Meningkatkan gizi makanan
o Banyak minum air putih, teh, dan sari buah.
o Jika terjadi pilek, segera untuk ditangani guna untuk mempercepat kesembuhan
dan menghindari komplikasi.
o Hidung yang tersumbat dapat diatasi dengan menghirup uap hangat yang
dihasilkan dari air hangat diwadah bermulut lebar (panci), dan ditetesi dengan
beberapa tetes minyak atsiri.

20

G. Contoh Kasus dan Pembahasan


Identitas pasien :
Anak laki-laki berusia 9 bulan mengalami deman dan batuk. Dia diberikan
parasetamol untuk mengatasi gejala yang muncul. Sepuluh hari kemudian, dia mengalami
dyspnea dan dirawat di Rumah Sakit Anak Jayavarman VII di Provinsi Siem Reap, Kamboja.
Hasil pemeriksaan klinis pada saat pemeiksaan awal pasien didapatkan data suhu tubuh
sebesar 38,2 C, frekuensi pernapasan 48 napas / menit, saturasi oksigen berkisar antara 93%
-99%. Serta dilakukan rontgen dada dan ditemukan adanya udara yang terjebak pada kedua
paru-paru anak dan disertai dengan adanya penebalan di daerah bronkiolus.
Juga dilakukan pemeriksaan lab di mana ditemukan bahwa nilai AST (Aspartat
transaminase) dalam kondisi normal, kadar sel darah merah dan sel darah putih termasuk
limfosit masih dalam kondisi normal, , namun kadar hemoglobin rendah 7,7 g / dl (normal:
13.519.5) dan hematokrit juga rendah 25% (normal: 44.064.0), sedangkan kadar
trombosit meningkat dan ada pada angka 461 x 109 / L (normal: 150 x 109400 x 109) serta
adar alanin aminotransferase (ALT) pada 95 IU / l (normal: 541).
Dari hasil pemeriksaan awal anak didiagnosis mengalami penyakit bronkitis akut,
anemia, infeksi saluran pernapasan dan kemungkinan overdosis parasetamol. Anak diberikan
obat untuk meredakan gejala yang muncul berupa amoksisilin intravena, salbutamol dan
terbutalin nebulised. Namun kondisi anak terus memburuk dengan cepat.
Beberapa hari kondisi anak semakin parah dan akhirnya dipindahkan ke unit
perawatan intensif. Dari hasil pemeriksaan di ketahu bahwa frekuensi pernapasan anak
meningkat menjadi 68 napas /menit. Juga dilakukan tes lab kembali dan ditemukan kadar
hemoglobin yang semakin menurun yaitu 6,6 g/dl dan nilai ALT yang semakin meningkat
menjadi 104 IU/I sehingga pasien di diagnosa megalami gangguan fungsi hati.
Karena kondisi pasien yang terus memburuk dalam waktu yang singkat maka pihak
rumah sakit mencari tahu informasi mengenai kebiasaan dan kegiatan pasien akhir-akhir ini.
Dan diperoleh informasi bahwa beberapa minggu sebelumnya mereka mengunjungi sebuah
desa di Provinsi Prey Veng dimana dalam waktu yang bersamaan ditemukan adanya laporan
21

terbaru mengenai unggas yang sakit dan mati didesa tersebut. Juga didapatkan informasi
bahwa ibu dari anak tersebut juga sedang di rawat dirumah sakit dengan gejala yang sama
dengan yang dialami oleh penderita.
Dari

informasi

tersebut

diputuskan

dilakukan

pengambilan

serum

dan

Nasopharynegal swabs pada pasien untuk diteliti oleh QRT-PCR. Dan disaat yang bersamaan
sang anak diberikan terapi menggunakan obat Oseltamivir 3mg / kg dua kali sehari karena
pasien diduga menjadi pasien suspect flu burung. Namun sang anak meninggal dihari yang
sama dengan saat ia pertama kali diberikan terapi dengan oseltamivir dan dinyatakan positif
terkena penyakit flu burung yang disebabkan oleh virus H5N1.

Pembahasan Kasus
Penanganan awal anak di berikan Parasetamol yang merupakan obat untuk mengatasi
gejala demam dan batuk pada anak. Dalam kasus ini pemberian parasetamol yang diberikan
sudah tepat, karena gejala yang nampak baru sebatas demam dan batuk dan belum muncul
gejala spesifik yang dapat menjadi penyakit flu burung. Parasetamol memiliki indikasi ntuk
menghilangkan demam yang dialami oleh anak.
Dari hasil pemeriksaan awal anak didiagnosis mengalami penyakit bronkitis akut,
infeksi saluran napas, anemia dan kemungkinan overdosis parasetamol. Anak diberikan obat
untuk meredakan gejala yang

berupa amoksisilin intravena, salbutamol dan terbutalin

nebulised. Namun kondisi anak terus memburuk dengan cepat.


Salbutamol dikombinasikan dengan terbutalin nebulised untuk mengatasi bronkitis
akut yang dialami oleh pasien. Juga diberikan amoksisilin secara intravena yang berperan
dalam mengatasi adanya infeksi pada saluran pernapasan karena anak mulai mengalami
kesulitan bernapas. Dan akhirnya anak diberikan osetalmivir yang merupakan first line terapi
dari kasus flu burung.

H. Daftar Pustaka
22

Aditama,T.Y., 2006, Flu Burung di Manusia, UI Press, Jakarta.


CDC., 2005, Influenza Viruses, http://www.cdc.gov/flu/avian/gen-info/flu-viruses.htm, diakses
tanggal 20 februari 2015.
CDC., 2010, Key Facts About Avian Influenza (Bird Flu) and Highly Pathogenic Avian Influenza
A (H5N1) Virus, http://www.cdc.gov/flu/avian/gen-info/facts.htm , diakses tanggal 26
februari 2015.
Chea N., Yi SD., Rith S., Seng H., Ieng V., Penh C., et al., 2014, Two clustered cases of
confirmed influenza A(H5N1) virus infection Cambodia 2011, Eurosurveillance, Euro
Surveill, 19 (25), 1-12.
Generasi

Biologi,

2011,

Pandemi

Flu

Babi

Akibat

Virus

H1N1,

http://www.generasibiologi.com/2009/04/pandemi-flu-babi-akibat-virus-h1n1.html,
diakses tanggal 20 februari 2015.
Dunning J, Baillie J.K., Cao, B., Hayden. F.G., 2014, Antiviral combinations for severe
influenza, The Lancet Journal, Volume 14, No. 12, p12591270.
Guan, Yi et al, 2007, Avian Influenza Virus (H5N1): A Threat to human health, Clim. Microbial.
20 : 243-267.
Herman Kosasih.,

Roselinda.,

Nurhayati.,

Alexander Klimov.,

Xu Xiyan.,

Lindstrom., et al., 2012, Surveillance of Influenza in Indonesia

Stephen

20032007,

Eurosurveillance, Euro Surveill, 7(3), 312-320.


Kamps, S.B., 2006, Influenza Report 2006, Flying publisher, Paris, pp. 87-91;95;101-105
Kuiken,

T.,

2006,

Host

species

barriers

to

influenza

virus

infections,

http://www.microbiologybytes.com/virology/Orthomyxoviruses.html, diakses tanggal 23


februari 2015.
U.S. Department of Health & Human Services, 2015, H5N1 Avian Flu (H5N1 Bird Flu)
http://www.flu.gov/about_the_flu/h5n1, diakses tanggal 22 februari 2015.

23

Radji, Maksum, 2006, Avian Influenza A (H5N1) : Patogenesis, Pencegahan, dan Penyebaran
pada Manusia, Majalah Ilmu Kefarmasian, volume III, hal 61-62.

WHO.,

2013,

http://www.who.int/influenza/human_animal_interface/EN_GIP_20131210CumulativeN
umberH5N1cases.pdf, diakses tanggal 26 februari 2015.
WHO, 2007, Clinical management of human infection with avian influenza A (H5N1) virus, p.511.
WHO, 2013, Hospital Care for Children, second edition, WHO press, Switzerland, p.126.
WHO, 2007, Recommendations and laboratory procedures for detection of avian influenza A
(H5N1) virus in specimens from suspected human cases, p.5-6.

24

Anda mungkin juga menyukai